BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Sosial Dalam kehidupan bersama, antar individu satu dengan individu lainnya terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui hubungan itu individu ingin menyampaikan maksud, tujuan dan keinginannya masing-masing. Gillin & Gillin (1954:489) interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi apabila seorang individu melakukan tindakan, sehingga menimbulkan reaksi dari individuindividu yang lain, karena itu interaksi terjadi dalam suatu kehidupan sosial. Hubungan-hubungan
sosial
itu
pada
awalnya
merupakan
proses
penyesuaian nilai-nilai sosial dalam kehidupan sosial, kemudian meningkat menjadi semacam pergaulan yang tidak hanya sekedar pertemuan secara fisik, melainkan merupakan pergaulan yang ditandai adanya saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing pihak yang terjadi dalam hubungan sosial tersebut. Di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu terikat dalam strukturstruktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Setiap struktur sosial mengatur kedudukan masing-masing individu dalam kaitannya kedudukan-kedudukan dari individu yang lain yang secara keseluruhan memperhatikan corak-corak tertentu yang berada dari struktur sosial yang lain.
Kebutuhan individu akan individu lain mendorong dirinya untuk belajar pola-pola, rencana-rencana dan strategi untuk bergaul dengan individu yang lain. Individu pun mulai belajar memainkan peranan sesuai dengan status yang diakui oleh lingkungan sosialnya. Status dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu status yang diperoleh dengan sendirinya (ascribed status) dan status yang diperoleh dengan kerja keras atau diusahakan (achieved status). Status otomatis (ascribed status) merupakan status yang diterima individu secara otomatis sejak individu itu dilahirkan, hal ini bisasanya terjadi karena kedudukan orang tuanya sebagai orang yang terpandang atau bangsawan. Status disengaja (achieved status) merupakan status yang dicapai individu melalui usaha-usaha yang disengaja, hal ini tampak dalam usaha pencapaian cita-cita atau profesi sebagai guru, dokter dan banyak lainnya (Sunarto:2000). Sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan individu lain ntuk memenuhi segala kebutuhannya, dari sinilah terbentuk kelompok-kelompok yaitu suatu kehidupan bersama individu dalam suatu ikatan, dimana dalam suatu ikatan tersebut terdapat interaksi sosial dan ikatan organisasi antar masing-masing anggotanya (Soekanto,2001:128). Dalam proses sosial, interaksi sosial merupakan sarana dalam melakukan hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Ciri-ciri hubungan sosial pada masyarakat khususnya masyarakat kota memiliki hubungan sosial yang longgar, hal ini karena kota merupakan pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya, selain hubungan sosial yang longgar ciri-ciri hubungan sosial yang lain adalah solidaritas organik (rasa bersatu atas dasar
kontrak atau perjanjian), pembagian kerja komplek, dan sanksi sosial berdasarkan hukum. Dalam hal ini interaksi menurut pendapat Young (Gunawan, 2000:31) adalah kontak timbal balik antara dua orang atau lebih. Sedangkan menurut psikologi tingkahlaku (Behavioristic Psychology), interaksi sosial berisikan saling perangsangan dan pereaksian antara kedua belah pihak individu. Hubungan sosial masyarakat juga tidak terlepas dari corak hubungan kerjasama, hubungan persaingan, dan corak hubungan konflik. Ketiga corak hubungan itu akan mewarnai kehidupan masyarakat kota yang cenderung tidak saling mengenal satu dengan yang lain karena kepentingan-kepentingan yang berbeda. Individu hanya mempunyai hubungan sosial dengan individu-individu tertentu karena individu tersebut mempunyai kepentingan yang sama. Dalam kehidupan sosial yang terkecil, seorang individu berhubungan sosial antara warga penghuni rumah susun sederhana sewa di mana ia berada pada lingkungan sosial tersebut. Pada tingkat berikutnya, hubungan sosial diperluas menjadi hubungan bertetangga yang tinggal berdekatan dengan ruangnya ataupun bersebrangan dengan bangunan yang dihuni. Hubungan bertetangga di kota tidak seintim hubungan sosial pada masyarakat desa yang cenderung saling mengenal satu dengan yang lain, serta mempunyai rasa bersatu yang biasanya dikuatkan dengan sentimen-sentimen kelompok. Dalam hal ini, hubungan sosial bertetangga diartikan sebagai kesatuan tempat tinggal yang menempati suatu wilayah tertentu yang batas-batasnya ditentukan luasnya jaringan sosial di lingkungan tempat tinggal yang berdekatan yang dalam hal ini ialah hunian rumah susun sederhana
sewa. Pola-pola hubungan (interaksi) sosial yang teratur dapat terbentuk apabila ada tata kelakuan atau perilaku dan hubungan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Sistem itu merupakan pranata sosial yang didalamnya terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani serta ada lembaga sosial yang mengurus pemenuhan kebutuhan masyarakat sehingga interaksi sosial dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur. Menurut Bales dan Homans dalam Santoso (2004:10), pada hakekatnya manusia memiliki sifat yang dapat digolongkan ke dalam : a. Manusia sebagai makhluk individual, b. Manusia sebagai makhluk sosial, dan c. Manusia sebagai makhluk berkebutuhan. Menurut Kimbal Young dan Raymond dalam Soekanto (1970:192) mengatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorang secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang, perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerjasama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam penelitian skripsi ini yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah suatu proses hubungan sosial yang dinamis baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok manusia sehingga terjadi hubungan yang timbal balik antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain agar terjadi perubahan di dalam lingkungan masyarakat.
2.1.1 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Interaksi Sosial Dalam interaksi sosial terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut, yaitu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya interaksi tersebut (Santoso, 2004:12). Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial sebagai berikut: a. Situasi sosial, memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada dalam situasi tersebut. Misalnya, apabila berinteraksi dengan individu lainnya yang sedang dalam keadaan berduka, pola interaksi yang dilakukan apabila dalam keadaan yang riang atau gembira, dalam hal ini tampak pada tingkah laku individu yang harus dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi, b. Kekuasaan
norma-norma kelompok,
sangat
berpengaruh
terhadap
terjadinya interaksi sosial antar individu. Misalnya, individu yang menaati norma-norma yang ada dalam setiap berinteraksi individu tersebut tak akan pernah berbuat suatu kekacauan, berbeda dengan individu yang tidak menaati norma-norma yang berlaku, individu itu pasti akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan sosialnya, dan kekuasaan norma itu berlaku untuk semua individu dalam kehidupan sosialnya. c. Tujuan pribadi masing-masing individu. Misalnya setiap individu tentunya punya tujuan yang dicapai dalam berinteraksi, seseorang penghuni melaporkan suatu permasalahan huniannya kepada pihak pengolala dengan tujuan agar masalah cepat teratasi. d. Setiap individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara. Pada dasarnya status atau kedudukan yang dimiliki
oleh setiap individu adalah bersifat sementara, misalnya seorang warga yang biasa berinteraksi dengan ketua RT, maka dalam hubungan itu terlihat adanya jarak antara seorang yang tidak memiliki kedudukan yang menghormati orang yang memiliki kedudukan dalam kelompok sosialnya. e. Ada penafsiran situasi, dimana setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut. Misalnya, apabila ada teman yang terlihat murung atau suntuk, individu lain harus bisa membaca situasi yang sedang dihadapainya, dan tidak seharusnya individu lain tersebut terlihat bahagia dan cerita dihadapannya. Bagaimanapun individu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dengan keadaan yang sedang dihadapi dan berusaha untuk membantu menafsirkan situasi yang tak diharapkan menjadi situasi yang diharapkan.
2.1.2 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Interaksi sosial adalah bentuk utama dari proses sosial, yaitu pengaruh timbal-balik antara berbagai bidang kehidupan bersama. Menurut Soekanto (2001:76-107) interaksi sosial merupakan bentuk yang tampak apabila orang saling mengadakan hubungan, baik secara individu maupun secara kelompok. Bentuk interaksi sosial memiliki dua jenis yaitu: interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan interaksi sosial yang bersifat disosiatif. Interaksi sosial asosiatif merupakan hubungan yang bersifat positif, artinya hubungan ini dapat mempererat atau memperkuat jalinan atau solidaritas kelompok sedangkan interaksi sosial disosiatif merupakan hubungan yang bersifat
negatif, artinya hubungan ini dapat merenggangkan atau menggoyahkan jalinan atau solidaritas kelompok yang telah terbangun. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial yang sifatnya asosiatif meliputi: kerja sama (cooperation), akomodasi (accomodation), asimilasi (assimilition), dan akulturasi (acculturation). Bentuk interaksi yang sifatnya disosiatif meliputi: persaingan (competition), kontravensi (contravention) dan pertentangan (conflict)). Beberapa bentuk interaksi sosial asosiatif meliputi : 1. Kerjasama (cooperation) Kerjasama adalah suatu usaha bersama antar individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama timbul apabila seseorang menyadari memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, serta menyadari bahwa hal tersebut bermanfaat bagi dirinya atau orang lain. Kerja sama timbul karena orientasi individu terhadap kelompoknya (in group) dan orientasi individu terhadap kelompok lainnya (out group).
2. Akomodasi (accomodation) Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses (Young dan Raymond, 1959:146). Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kesetabilan.
3. Asimilasi (Assimilition) Asimilasi merupakan bentuk proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan di antara orang-orang atau kelompok manusia. Mereka tidak lagi merasa sebagai kelompok yang berbeda sebab mereka lebih mengutamakan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai bersama. Bila kedua kelompok masyarakat telah mengadakan asimilasi, batas antara kedua kelompok masyarakat itu dapat hilang dan keduanya berbaur menjadi satu kelompok.
4. Akulturasi (acculturation) Akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila terjadi percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Dalam akulturasi, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, sebagian berusaha menolak pengaruh itu.
Beberapa bentuk interaksi sosial disosiatif meliputi : 1. Persaingan (competition) Persaingan adalah suatu perjuangan (struggle) dari pihak-pihak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu ciri dari persaingan adalah perjuangan menyingkirkan pihak lawan itu dilakukan secara damai atau secara fair Play, artinya selalu menjunjung tinggi batas-batas yang diharuskan. Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya bidang ekonomi, bidang kekuasaan, bidang percintaan, dan sebagainya. Persaingan dalam mana meliputi
beberapa pihak yang melakukan persaingan, pihak-pihak yang berkompetisi (bersaing) disebut saingan (rivalry) Taneko (1990:121).
2. Kontravensi (contravention) Kontravensi berasal dari kata Latin, conta dan venire, yang berarti menghalangi atau menantang. Dalam kontravensi dikandung usaha untuk merintangi pihak lain mencapai tujuan. Yang diutamakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal ini didasari oleh rasa tidak senang karena keberhasilan pihak lain yang dirasakan merugikan, walaupun demikian tidak terdapat maksud untuk menghancurkan pihak lain. Narwoko dan Suyanto (2010:70).
3. Pertentangan atau Pertikaian (conflict) Konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan (Narwoko dan Suyanto, 2010:68). Konflik terjadi karena adanya perbedaan
pendapat,
perasaan
individu,
kebudayaan,
kepentingan,
baik
kepentingan individu maupun kelompok, dan terjadi perubahan-perubahan sosial yang cepat yang menimbulkan disorganisasi sosial. Perbedaan-perbedaan ini akan memuncak menjadi pertentangan karena keinginan-keinginan individu tidak dapat diakomodasikan. Berbagai macam bentuk interaksi ini sering terjadi dalam lingkungan masyarakat, sehingga di dalam berinteraksi terdapat kerjasama, persaingan
ataupun pertikaian. Dengan demikian aktivitas sosial itu terjadi karena adanya aktivitas dari individu dalam hubungannya dengan individu yang lain.
2.2 Konsep Perilaku Menyimpangan Dalam Masyarakat Fenomena perilaku menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat memang menarik untuk dibicarakan. Perilaku menyimpang itu adalah perilaku dari para warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana kita memang dapat mengatakan, bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat (minimal disuatu kelompok atau komunitas tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai atau norma sosial yang berlaku.(Narwoko, 2010:98) Tindakan menyimpang yang dilakukan orang-orang tidak selalu berupa tindak kejahatan besar, seperti merampok, korupsi, menganiaya atau membunuh. Melainkan bisa pula cuma berupa tindakan pelanggaran kecil-kecilan, semacam berkelahi dengan teman, suka meludah disembarang tempat, makan dengan tangan kiri dan sebagainya. Secara umum yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang antara lain adalah : 1. Tindakan nonconform yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Contohnya, membuang sampah tidak pada tempatnya, warga RuSuNaWa yang menempati hunian dilantai atas membuang sampah sembarangan ke lantai bawah tempat dimana penghuni lain tinggal.
2. Tindakan anti sosial atau asosial yaitu tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum. Bentuknya seperti menarik diri dari pergaulan sekitar lingkungan warga RuSuNaWa. 3. Tindakan-tindakan kriminal yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Contohnya, pencurian yang terjadi di lingkungan hunian RuSuNaWa. Meskipun secara nyata kita dapat menyebtkan berbagai bentuk perilaku menyimpang, namun mendefenisiskan arti perilaku menyimpang itu sendiri merupakan hal yang sulit karena kesepakatan umum tentang itu berbeda-beda diantara berbagai kelompok masyarakat. Hal lain yang menyebabkan perilaku menyimpang bersifat relatif adalah karena perilaku menyimpang itu juga dianggap seperti gaya hidup, kebiasaan-kebiasaan, fashion ayau mode yang dapat berubah dari zaman ke zaman. Pada masa lalu jika ada lelaki atau perempuan yang memasuki usia 25 tahun tetapi belum bersedia menikah dianggap sebagai jejaka atau perawan tua yang dapat membawa aib keluarga. Tetapi, pada masa kini usia 25 tahun adalah masa yang menyenangkan untuk kuliah, berteman, mengeksplorasi kehidupan dan mengembangkan karir. Kualitas
tindakan
menyimpang
yang
dilakukan
seorang
dapat
dikategorikan berdasarkan rangkaian pengalamannya dalam melakukan tindakan tersebut. Jenis penyimpangan semacam itu disebut dengan primary deviance (penyimpangan primer). Penyimpangan jenis ini dialami oleh seseorang mana kala ia belum memiliki konsep sebagai penyimpangan atau tidak menyadari jika perilakunya menyimpang. Bentuk penyimpangan primer ini biasanya dialami oleh
seseorang yang tidak menyadari bahwa perilakunya dapat menjurus kearah penyimpangan yang lebih berat. Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah sampai pada tahap secondary deviance (penyimpangan sekunder). Suatu tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan (reinforcement) melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang. Tindakan menyimpang, baik primer maupun sekunder, tidak terjadi begitu saja tapi berkembang melalui suatu periode waktu dan juga sebagai hasil dari serangkaian tahapan interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan untuk bertindak menyimpang. Pemahaman tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang dapat berperilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis, paling tidak ada dua perspektif yang digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau kelompok orang berperilaku menyimpang. Pertama adalah perspektif individualistik dan yang kedua adalah teori-teori sosiologi. Teori individualistik berusaha mencari penjelasan tentang munculny tindakan menyimpang melalui kondisi yang secara unik mempengaruhi individu. Teori individualistik sebagian besar berdasarkan pada proses-proses yang sifatnya individual dan mengabaikan proses sosialisasi atau belajar tentang norma-norma sosial yang meyimpang. Perspektif ini juga mengabaikan faktor-faktor kelompok atau budaya yang dapat melatarbelakangi tindakan menyimpang pada seseorang. Rumpun teori-teori individualistik itu, antara lain adalah : 1. Penjelasan biologis. 2. Penjelasan psikiatri atau model medis.
3. Penjelasan psikoanalisis 4. Penjelasan psikologis Berbeda dengan halnya dengan teori individualistik, teori-teori yang berperspektif sosiologis tentang penyimpangan berupaya menggali kondisikondisi sosial yang mendasari penyimpangan. Berapa hal yang dianggap bersifat sosiologis
dalam
memahami
tindakan
menyimpang,
misalnya
proses
penyimpangan yang ditetapkan oleh masyarakat, bagaimana faktor-faktor kelompok dan subkultur berpengaruh terhadap terjadinya perilaku menyimpang pada seseorang dan reaksi-reaksi apa yang diberikan oleh masyarakat pada orangorang yang dianggap menyimpang dari norma-norma sosialnya. Secara umum ada dua tipe penjelasan dalam perspektif sosiologis tentang penyimpangan, yaitu struktural dan prosesual. Pada penjelasan yang bersifat struktural adaah sejumlah asumsi yang mendasarinya. Pertama, penyimpangan dihubungkan dengan kondisi-kondisi strukturak tertentu dalam masyarakat. Kedua, menjelaskan penyimpangan sebagai suatu proses epidemiologi, yaitu suatu kondisi dimana distribusi atau penyebaran penyimpangan dapat terjadi dalam waktu dan tempat tertentu, atau dari suatu kelompok ke kelompok lain. Ketiga, menjelaskan bentuk-bentuk tertentu dari penyimpangan sebagai suatu fenomena yang terjadi diberbagai strata sosial, baik dikelas bawah maupun dikelas atas. Sedangkan pada penjelasan yang bersifat prosesual didasarkan pada : 1. Gambaran tentang proses individu sampai pada tindakan atau perilakunya yang menyimpang. 2. Penjelasan tentang sebab-sebab terjadinya tindakan menyimpang yang spesifik (disebut sebagai penjelasan bersifat etiologi).
3. Penjelasan tentang bagaimana orang-orang tertentu sampai melakukan tindakan menyimpang.
2.2.1 Teori Labeling (Pemberian Cap) Teori labeling menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance). Definisi menyimpang dari kaum reaktivis didasarkan pula dari teori labeling ini. Dalam penjelasannya teori labeling juga menggunakan pendekatan interaksionisme yang tertarik pada konsekuensi-konsekuensi dari interaksi antara si penyimpang dan masyarakat biasa (Konvensional). (Narwoko, 2010:114) Menurut
para
ahli
teori
labeling,
mendefinisikan
penyimpangan
merupakan suatu yang bersifat relatif dan bahkan mungkin juga membingungkan. Karena untuk memahami apa yang dimaksud sebagai suatu tindakan menyimpang harus diuji melalui reaksi orang lain. Oleh karena itu Becker, salah seorang pencetus teori labeling (dalam Clinard & Meier, 1989:92) mendefinisikan penyimpangan sebagai “suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”. Dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualiatas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya. Konsekuensi dari pemberian label tersebut, terutama oleh aparat atau alatalat negara (polisi, jaksa, hakim) mungkin akan berakibat serius pada tindakan penyimpangan yang lebih lanjut. Inilah yang membedakan bentuk penyimpangan primer (primary deviance) dengan penyimpangan sekunder (secondary deviance),
dimana cap menyimpang menghasilkan suatu peran sosial yang menyimpang juga. Artinya dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia (yang telah diberi cap) cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang (disebut juga sebagai proses reorganisasi psikologis) dan kemungkinan berakibat pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara.
2.3 Habitus dan Lingkungan (habit and field) Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika habitus adalah produk internalisasi dunia sosial. Kita sebenarnya dapat membayangkan habitus sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan. Habitus mencerminkan pembagian objek dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan kelas sosial. Habitus diperoleh dari akibat lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Jadi habitus akan berbeda-beda, tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial. Karena tidak setiap orang sama kebiasaannya, orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial cenderung mempunyai kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial, tetapi dengan adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak dapat
dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2010: 522) Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah, serta berkembang dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Habitus sangat menentukan keberhasilan persaingan di arena sosial. Habitus merupakan hasil keterampilan yag menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang keliahatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Konsep habitus menunjukkan bahwa keterampilan seseorang dalam menjawab tantangan dikondisikan oleh lingkungannya dan dipengaruhi oleh rutinitas tindakannya (Haryatmoko, 2010 : 164) Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus diciptakan melalui praktik (tindakan); di pihak lain, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial. Bourdieu mengungkapkan fungsi perantara tindakan ketika ia mendefinisikan habitus sebagai sistem yang tertata dan menata kecenderungan yang ditimbulkan oleh tindakan dan terus-menerus tertuju pada fungsi praktis. Sementara tindakan cenderung membentuk habitus, pada gilirannya berfungsi sebagai penyatu dan menghasilkan praktik/tindakan. Menurut Bourdieu (Ritzer, 2010 : 524) habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dengan prinsip
itu aktor membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial. Seperti dinyatakan Bourdieu dan Wacquant, “orang tidaklah bodoh”. Namun, orang juga tak rasional sepenuhnya (Bourdieu dengan pernyataannya ini melecehkan teori pilihan rasional). Aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa orang bertindak, dan itulah logika tindakan. Habitus berfungsi di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan. Meski kita tak menyadari habitus dan cara bekerjanya, namun ia mewujudkan dirinya sendiri dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berbicara, bahkan dalam cara berteman. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi orang tidak memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang mempengaruhi secara mekanis. Jadi, dalam pendekatan Bourdieu kita menghindari keekstreman sesuatu yang baru yang tak teramalkan dan determinisme total. Lingkungan (field) menurut Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Lingkungan adalah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Lingkungan bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubjektif antara individu. Penghuni posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghuni posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu melihat lingkungan sebagai sebuah arena pertarungan: “lingkungan adalah juga lingkungan
perjuangan”.
Struktur
lingkunganlah
yang
menyiapkan
dan
membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual
dan kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip perjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Bourdieu menyusun tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan. Langah pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap khusus dengan lingkungan politik. Langkah kedua menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu. Ketiga, analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2010: 524-525) Penghuni posisi dalam lingkungan menggunakan berbagai strategi. Gagasan ini sekali lagi menunjukkan bahwa, menurut Bourdieu, aktor mempunyai derajat kebebasan tertentu: “Habitus tak meniadakan peluang untuk membuat perhitungan strategis di pihak agen. Tetapi, strategi tak mengacu pada “tujuan dan rencana untuk mengejar tujuan yang sudah diperhitungkan tetapi mengacu pada perkembangan aktif garis tindakan yang diarahkan secara objektif yang menaati aturan dan membentuk pola yang koheren dan secara sosial dapat dipahami, meskipun tak mengikuti aturan yang ditetapkan secara sadar atau tertuju pada tujuan yang diterapkan sebelumnya oleh seorang penyusun strategi. Melalui strategi itulah penghuni posisi itu berupaya secara individual atau kolektif melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan berupaya memaksakan prinsip perjenjangan yang paling menguntungkan terhadap produk mereka sendiri. Strategi agen tergantung pada posisi mereka dalam lingkungan. Habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi dan hanya sah dalam sebuah lingkungan, dalam hubungannya dengan suatu lingkungan. Habitus
itu sendiri adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis di mana kekuatannya hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu. Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi yang berbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama. (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2010: 528) Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realita, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang membentuk dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini sama sekali tidak bisa
dipisahkan.
Kepribadian
seseorang
didasarkan
pada
habitusnya.
Pembentukan dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai sebuah lingkaran, yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus sangat memperhitungkan
hasil
dari
keteraturan
perilaku
manusia,
disisi
lain,
perkembangan dan lahirnya habitus menyandarkan dirinya pada improvisasi struktur maupun aturan yang sudah ada. Dengan demikian, di dalam habitus, ada dua gerak timbal balik, yakni pertama adalah struktur obyektif yang dibatinkan, kedua adalah gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi, yang menyingkapkan hasil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi dapat lebih jelas dipahami. Habitus disini mengandaikan seluruh proses pembatinan, dimana dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri dalam hubungan-hubungan sosial, nilai-nilai serta keyakinan masyarakat dimana dia hidup.
2.4 Modernitas dan Identitas Pada Masyarakat Beresiko Transformasi dalam identitas diri dan globalisasi adalah dua kutub dialektika kondisi lokal dan global modernitas. Perubahan aspek keintiman kehidupan pribadi berkaitan langsung dengan kemapanan hubungan sosial yang paling luas cakupannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, “diri” dan “masyarakat” saling berkaitan dalam lingkungan global. (Giddens dalam Ritzer & Goodman, 2010: 559) Giddens mendefinisikan dunia modern sebagai dunia refleksif dan ia menyatakan, “refleksivitas modernitas meluas hingga ke inti diri, kedirian menjadi sebuah proyek refleksif. Artinya, diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah, dan dibentuk. Tak hanya individu bertanggung jawab untuk menciptakan dan memelihara kedirian, tetapi tanggung jawab ini pun berlanjut dan mencangkup semuanya. Diri adalah produk dari eksplorasi dan produk dari perkembangan hubungan sosial yang intim. Dalam kehidupan modern, bahkan tubuh “tertarik ke dalam organisasi refleksif kehidupan sosial”. Giddens menyatakan, modernitas adalah kultur beresiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu; bagi kebanyakan orang, itu bukan masalah. Konsep resiko menjadi masalah mendasar baik cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan parameter risiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya. Ulrich Beck menyatakan masyarakat baru atau yang baru muncul ini modernitas refleksif. Sebuah proses individualisasi yang kini terjadi, yakni agen-
agen semakin bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat di mana mereka hidup. Sebagai contoh, daripada ditentukan oleh situasi kelas mereka, aktor berperan kurang lebih berdasarkan atas kemauan mereka sendiri. Dengan menyerahkan pada diri mereka sendiri, orang terpaksa menjadi refleksif. Pentingnya refleksitas dalam hubungan sosial dicontohkan Beck seperti berikut: “Bentuk baru hubungan sosial dan jaringan sosial kini tergantung pada pilihan orang secara individual; ikatan sosial pun makin refleksif, dengan demikian ikatan sosial itu dibentuk, dipelihara, dan terus-menerus diperbaharui oleh individu. (Ritzer & Goodman, 2010: 561-562)
2.5 Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) Dalam bukunya “The descent of Man” Darwin (Eko, 2004:55) menyatakan bahwa untuk melindungi diri terhadap panas matahari, kera menggunakan untaian jerami di atas kepalanya. Sedang pada malam hari, mereka membuat dataran sebagai alas tempat tidur untuk kemudian menutupi dirinya dengan daun pandanus. Konon itulah awal dari lahirnya pakaian dan rumah dalam bentuknya yang paling sederhana. Membangun rumah masih tetap merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh pribadi, keluarga atau masyarakat. Setiap lingkungan pemukiman berkembang sesuai pola kehidupan masyarakatnya dengan karakter dan identitas masing-masing. Pada masa sekarang ini, yang ditandai dengan ledakan penduduk dan derasnya arus urbanisasi, pembangunan perumahan merupakan suatu kegiatan industri yang kompleks. Masalah yang timbul manakala rumah dianggap sekedar
komoditi, sebagai produk akhir barang jadi. Aspek-aspek sosial budaya, kesejahteraan ekonomi, tata nilai dan perilaku manusianya lepas dari pengamatan. Tantangan paling besar yang harus dihadapi dalam bidang perumahan di indonesia sekarang ini, bagaimana mengatasi masalah perumahan masyarakat miskin terutama di kota-kota besar yang merupakan mayoritas pusat ativitas. Tuntutan akan kebutuhan pengadaan rumah sangat besar dan selalu meningkat, sedangkan lingkungan hunian yang ada dinilai kurang manusiawi. Tambahan pula kemampuan ekonomi mereka terbatas, sulit untuk bisa mengangkat sendiri tanpa bantuan pihak lain. Selama ini perumahan/rumah, sebetulnya tidaklah betul-betul murah dan tidak menjangkau masyarakat lapisan bawah. Kenyataan menunjukkan bahwa bagi kebanyakan rakyat miskin, rumah termasuk dalam daftar prioritas rendah sesudah lapangan kerja, pangan, sandang dan kesehatan. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, yang berfungsi dalam mendukung terselenggaranya pendidikan, keluarga, persemaian budaya, peningkatan kualitas generasi yang akan datang dan berjati diri. Salah satu permasalahan utama pertumbuhan penduduk perkotaan adalah peningkatan permintaan akan rumah. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. (Undang Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman)
Permasalahan
utama
yang
dihadapi
oleh
negara-negara
sedang
berkembang termasuk Indonesia adalah permasalahan permukiman penduduk khususnya di kota-kota besar. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya lahan perkotaan. Salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan rumah di perkotaan yang terbatas adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun. Untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah, Pemerintah membangun rumah susun sederhana dengan sistem sewa. Untuk memenuhi kebutuhan pokok akan rumah tinggal yang sangat meningkat, khususnya
pada
daerah-daerah
perkotaan
dan
daerah-daerah
industri,
Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama serta status penguasaannya dengan sistem sewa. Berdasarkan Undang Undang No 20 Pasal 3 tahun 2011, Penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk: a. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya.
b. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. c. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh. d. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan produktif; e. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) f. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah susun. g. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu. h. Memberikan
kepastian
hukum
dalam
pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.
penyediaan,
kepenghunian,
2.5 Definisi Konsep 2.5.1 Interaksi Sosial Bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi. Interaksi sosial juga dapat dinamakan proses sosial, interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia yang saling mempengaruhi, mengubah ataupun memperbaiki kelakuan individu satu dengan individu lainnya. Dengan demikian antar individu tersebut terjadi hubungan timbal balik. Pola interaksi yang diteliti pada ruang lingkup lokasi hunian RuSuNaWa akan mengetahui bagaimana dalam kesehariannya para penghuni melakukan interaksi sosial ke penghuni lainnya untuk menyesuaikan dirinya dari masalah-masalah yang timbul.
2.5.2 Disharmonis Suatu bentuk tidak terjadinya keselarasan secara keseluruhan yang dianggap mempunyai nilai negatif dengan beberapa penilaian. Dalam hal ini disharmonis yang dimaksud keadaan atau kondisi dimana para penghuni yang tinggal di RuSuNaWa merasakan tidak bahagianya menempati hunian tersebut dikarenakan beberapa masalah di lingkungan hunian tersebut meliputi terajadinya permasalahan dengan penghuni lainnya dan pengelola RuSuNaWa.
2.5.3 Penghuni Individu ataupun kelompok manusia yang mendiami suatu tempat hunian tertentu, dalam hal ini yaitu rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) dengan status kepemilikan sewa. Penghuni mensepakati aturan-aturan yang diberlakukan pihak pengelola hunian tersebut.
2.5.4 Rumah Susun sederhana Sewa (RUSUNAWA) Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama serta status penguasaannya dengan sistem sewa. RuSuNaWa ditujukan untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). RuSuNaWa pada penelitian ini dijadikan tempat lokasi penetian untuk skripsi ini.
2.5.5 Perilaku Sosial Perilaku
sosial
adalah
perilaku
yang
relatif
menetap
yang
diperlihatkan oleh individu di dalam berinteraksi dengan orang lain. Orang yang berperilakunya mencerminkan keberhasilan dalam proses sosialisasinya dikatakan sebagai orang yang sosial, sedangkan orang yang perilakunya tidak mencerminkan proses sosialisasi tersebut disebut non sosial. Yang termasuk ke dalam perilaku non sosial adalah perilaku a-sosial dan anti sosial. Seseorang yang berperilaku a-sosial tidak mengetahui apa yang yang dituntut
oleh kelompok sosial, sehingga berperilaku yang tidak memenuhi tuntutan sosial. Mereka akan mengisolasi diri atau menghabiskan waktunya untuk menyendiri. Sedangkan yang berperilaku anti sosial mereka mengetahui halhal yang dituntut kelompok tetapi karena sikap permusuhannya, mereka melawan norma kelompok tersebut.
2.5.6 Problem Sosial Suatu problem atau masalah yang menyangkut persoalan sosial, sebab problem ini berkaitan erat dengan hubungan antar manusia. Problem sosial merupakan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan integritas hubungan sosial di dalam masyarakat (Setiadi, Elly M.,Usman Kolip.2010:925). Hal ini perlu diamati bagaimana keadaan yang terjadi pada lokasi hunian RuSuNaWa akan menciptakan suatu kondisi tertentu mempengaruhi segala aktivitas di lingkungan hunian.
2.5.7 Sikap Apatis Masyarakat Suatu sikap yang mencerminkan suatu perilaku tidak peduli, acuh tidak acuh, masa bodoh terhadap suatu hal penting serta merasa bahwa dirinya tidak bertanggung jawab atas suatu hal. Hal demikian akan menciptakan suatu permasalahan di kemudian hari, individu seharusnya lebih tanggap terhadap permasalah di sekitar lingkungannya. Keadaan yang serupa bisa terjadi di hunian RuSuNaWa, dalam kesehariannya penghuni tidak memperdulikan barang yang ditujukan untuk kepemilikan bersama akibatnya sering terjadi masalah dalam pengelolaan RuSuNaWa.