BAB II TINJAUAN PUSTAKA Permukiman merupakan tempat dimana masyarakat terintegrasi dalam satu kesatuan dan terjadi hubungan kerja sama demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bab ini akan membahas tinjauan pustaka yang mendukung pembahasan penelitian ini, antara lain: asal usul terbentuknya permukiman, tipologi permukiman dan permukiman etnik Melayu yang nantinya akan menjadi landasan dalam studi kasus penelitian ini sendiri. 2.1.
Terbentuknya Suatu Permukiman Permukiman merupakan suatu proses dimana awalnya manusia berkumpul
dan tinggal bersama pada tempat-tempat tertentu (Marpaung dan Alip, 2009) Kemudian manusia tersebut hidup secara berkelompok yang didasari oleh hubungan kekerabatan, status kemasyarakatan ataupun pekerjaan yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, maka terbentuklah suatu area hunian dengan latar belakang masyarakat yang beragam. Proses terbentuknya suatu area hunian manusia terjadi melalui proses yang panjang. Proses inilah yang dinamakan sejarah atau asal usul terjadinya suatu permukiman. Sejarah mempunyai peran penting dalam menjelaskan suatu kronologis peristiwa yang terjadi, dimana selalu ada kesinambungan antara kejadian sebelumnya dengan kejadian selanjutnya. Menurut Kevin Lynch, bentuk permukiman terjadi sangat didukung oleh fungsi utamanya. Fungsi utama tersebut dipengaruhi oleh ide-ide masyarakat yang menghuni suatu permukiman. Ide-ide tersebut selalu dilatarbelakangi oleh
7
Universitas Sumatera Utara
peristiwa-peristiwa yang menjadi basis terciptanya suatu bentuk (Kostof, 1991). Terbentuknya suatu permukiman tidak terlepas dari tokoh dibalik pendirinya. Pendiri atau pencipta suatu permukiman bisa berasal dari kalangan apapun. Militer, pejabat pemerintahan, pengusaha, peneliti, penjajah maupun tokoh agama bisa dikategorikan pendiri suatu permukiman (Kostof, 1991 : 12). Seperti yang dilakukan Olmsted pada tahun 1869 dalam merancang kawasan desa Riverside di Kota Illinois, Amerika Serikat (Gambar 2.1). Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa Olmsted merancang suatu tapak yang tadinya terlihat rata menjadi sesuatu yang berkarakter. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari pola sirkulasi jalannya yang berliku dan penyusunan blok-blok yang memiliki ciri khas dari kawasan tersebut. Penyusunan blok-blok dan pola sirkulasi jalan yang berliku memberikan kesan romantis sehingga membuat kawasan tersebut memiliki keunikan. Hal ini dapat menjadi gambaran bahwa seorang arsitek dalam merancang suatu kawasan harus memiliki dasar pemikiran. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang menciptakan suatu area hunian yang menjadi tempat tinggal mereka. Suatu bentuk kawasan ataupun permukiman yang diciptakan oleh seseorang haruslah memiliki dasar pemikiran yang dapat membuat kawasan tersebut memiliki ciri khas.
8
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1.
Rancangan tapak permukiman desa Riverside, Illinois
(Sumber: http://www.fredericklawolmsted.com/riverside.html)
2.2.
Permukiman yang Tumbuh secara Tidak Terencana Pada dasarnya bentuk permukiman terdiri dari dua jenis, yaitu
permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Permukiman terencana merupakan suatu area hunian yang dirancang oleh seseorang tokoh. Permukiman ini biasanya berbentuk grid, lingkaran atau poligon dengan sirkulasi jalan berbentuk radial dan berasal dari pusat permukiman. Permukiman tidak terencana berkembang sesuai dengan berjalannya waktu. Permukiman ini biasanya memiliki beberapa keunikan antara lain bentuknya yang tidak beraturan, sirkulasi jalan yang berliku, dan munculnya lorong-lorong di sekitar bangunan (Kostof, 1991:43). Kajian ini akan membahas mengenai permukiman yang berkembang secara tidak berencana. Permukiman jenis ini berkembang sesuai dengan aktifitas
9
Universitas Sumatera Utara
manusia didalamnya yang pada dasarnya dilakukan sesuai keinginannya sendiri (Kostof, 1991:48). Terbentuknya permukiman tidak terencana dapat dijelaskan melalui proses dimana awalnya individu mendatangi suatu kawasan tertentu dan kemudian bermukim di kawasan tersebut yang disebutkan oleh F. Castagnoli dalam bukunya yang berjudul Orthogonal Town – Planning in Antiquity, 1971 (Kostof, 1991: 43). Kemudian individu tersebut akan menghasilkan keturunan sehingga pada permukiman tidak terencana mayoritas penduduknya memiliki hubungan saudara. Permukiman yang terbentuk tidak terencana tidak selalu sudah jelas, karena adanya unsur campuran antara sifat yang statis dan dinamis (Krier, 1997). Bangunan dan aspek fisik yang mempengaruhi keberadaan suatu massa bangunan dianggap sebagai elemen statis. Jalan sebagai ruang penghubung merupakan elemen dinamis (Mc Clusky, 1979). Jalan merupakan ruang luar utama dan komponen dasar dari permukiman (Oktay, 1998). Secara umum, bentuk dari permukiman tidak terencana menurut Fernandez (2011) adalah bentuk grid teratur, bentuk grid tidak teratur, bentuk dengan koridor sentral dan bentuk dengan koridor pusat. Bentuk permukiman tidak terencana dengan grid teratur memliki bentuk grid urban dengan jalan yang paralel dan melintang dengan dimensi yang hampir seragam. Hal ini biasa terjadi pada lahan yang relatif datar. Bentuk yang teratur ini mengikuti kondisi lahan dan sangat memungkinkan untuk menemukan kekacauan konfisgurasi pada lahan yang datar (Gambar 2.2).
10
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2
Permukiman tidak terencana dengan bentuk grid teratur (Sumber: Fernandez, 2011)
Bentuk permukiman tidak terencana dengan grid tidak teratur memiliki konfigurasi fisik dan spasial dalam bentuk yang tidak teratur (Gambar 2.3). Hal ini terjadi karena perbedaan antara sistem jalan dan jalur garis alam yang terbentu secara alami, seperti garis sungai.
Gambar 2.3
Permukiman tidak terencana dengan bentuk grid tidak teratur (Sumber: Fernandez, 2011)
11
Universitas Sumatera Utara
Bentuk permukiman tidak terencana dengan koridor sentral merupakan permukiman yang tumbuh dengan mengikuti jalur lalu lintas utama yang memberikan nilai sebagai sumbu fokus utama dan beberapa cabang yang lateral (Gambar 2.4).
Gambar 2.4
Permukiman tidak terencana dengan koridor pusat (Sumber: Fernandez, 2011)
Sementara itu pola permukiman tidak terencana menurut Wiriaatmadja (1981) pada umumnya adalah pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain (Gambar 2.5), pola permukiman dengan cara berkumpul dan tersusun memanjang mengikuti jalan lalu lintas (Gambar 2.6), pola permukiman dengan cara terkumpul dan menggerombol dalam sebuah kampung atau desa (Gambar 2.7) dan pola permukiman berkumpul dan tersusun melingkar mengikuti jalan (Gambar 2.8).
12
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5
Pola permukiman tersebar dan berjauhan (Sumber: Wiriaatmadja, 1981)
Gambar 2.6
Pola permukiman berkumpul dan tersusun memanjang (Sumber: Wiriaatmadja, 1981)
13
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7
Pola permukiman berkumpul dan menggerombol (Sumber: Wiriaatmadja, 1981)
Gambar 2.8
Pola permukiman berkumpul dan tersusun melingkar (Sumber: Wiriaatmadja, 1981)
Berdasarkan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa permukiman tidak terencana, cenderung memiliki pola yang tidak terencana pula. Hal itu biasanya diakibatkan oleh pergerakan manusia di dalam permukiman tersebut. Namun pola yang tidak terencana tersebut dapat memberikan suatu keunikan
14
Universitas Sumatera Utara
tersendiri terhadap permukiman tersebut. Sesuatu yang cenderung terjadi secara acak, dapat memberikan kesan yang menyenangkan, penasaran dan kebahagiaan.
2.3.
Budaya dalam Permukiman Dalam tulisan Rapoport, A. (1969) dinyatakan, dalam suatu permukiman
terjadi hubungan antara manusia, alam dan penciptanya. Perbedaan gaya hidup dan sistem nilai yang dianut suatu masyarakat, berpengaruh besar terhadap bagaimana masyarakat itu membentuk lingkungannya. Faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan mengenai bentuk dan pola suatu rumah meliputi faktor budaya religi dan perilaku. Sedangkan rumah menunjukkan fungsi tertentu yaitu: (a) Sebagai tempat tinggal yang nyaman; (b) Sebagai sumber ibadah; (c) Sebagai sumber ilmu; (d) Sebagai sumber pendapatan. Permukiman memiliki banyak bentuk yang khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakatnya, antara lain berupa sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan serta teknologi yang akan memberi kontribusi fisik lingkungan. Menurut Koentjaningrat (1985), perumahan dan permukiman (rumah dan lingkungannya) sebagai wujud fisik kebudayaan (physical culture) merupakan hasil dari kompleks gagasan suatu budaya yang tercermin pada pola aktivitas sosial masyarakat. Sejalan dengan pendapat Rapoport, A. (1969), bahwa arsitektur terbentuk dari tradisi masyarakat (folk traditional) merupakan bangunan yang mencerminkan secara langsung budaya masyarakat, nilai-nilai yang dianut, kebiasaan-kebiasaan serta keinginan-
15
Universitas Sumatera Utara
keinginan masyarakat. Keterkaitan antara budaya dan rumah sebagai salah satu unsur pembentuk permukiman dijelaskan Rapoport, A. (1969) bahwa rumah tidak hanya dapat dipandang sebagai bentuk fisik yang tersusun dari serangkaian struktur saja, namun merupakan bentuk dari fenomena budaya yang berasal dari lingkungan pergaulan yang dimiliki. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pola dalam suatu desa sangat dipengaruhi oleh budaya. Budaya adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan sebagian tata cara hidup yang dianggap lebih tinggi dan diinginkan. Tentu setiap daerah memiliki ciri- ciri adat, kehidupan dan tingkah laku yang berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk fisik bangunan, tata letak dan unsur- unsur lainnya seperti kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat kampung. Rapoport (1969) menjelaskan bahwa faktor budaya akan menentukan perilaku seseorang, yang antara lain tercermin dalam cara hidup dan peran yang dipilihnya dalam masyarakat serta menentukan macam wadah kegiatan tersebut.
2.4.
Tipologi Permukiman
2.4.1. Definisi Tipologi Untuk memahami suatu tempat (place) yang dibentuk sebagai wadah dari kebutuhan manusia baik berupa rumah atau lingkungan permukiman, bisa dilakukan dengan membagi tiga komponen struktural yang ada pada tempat tersebut, yaitu tipologi, morfologi dan topologi (Scultz,1988). Topologi merupakan tatanan spasial dan pengorganisasian spasial yang abstrak dan matematis. Morfologi merupakan artikulasi formal untuk membentuk
16
Universitas Sumatera Utara
karakter arsitektur, dan dapat dibaca melalui pola, hierarki dan hubungan ruang. Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenal bagian-bagian arsitektur, yang mana hal ini dapat didukung dari pemahaman skala dan identitas. Tipologi dalam hal ini lebih menitikberatkan sesuatu yang tradisional daripada yang modern. Tipologi adalah studi tentang tipe. Tipe adalah kelompok dari objek yang memiliki ciri khas formal yang sama. Dalam hal ini tipologi merupakan sebuah bidang studi yang mengklasifikasikan, mengkelaskan, mengelompokkan objek dengan persamaan ciri khas dan sifat dasar ke dalam tipe – tipe tertentu dengan cara memilah bentuk keragaman dan kesamaan jenis (Sulistijowati,1991). Berdasarkan teori tersebut, maka beberapa bangunan dalam suatu lingkungan yang memiliki keunikan yang sama tentunya dapat diidentifikasi memiliki tipologi yang sama. Saverio Muratory dalam buku “Urban and Regional Planning” membedakan tipologi tersebut menjadi 4 tingkatan skala yaitu bangunan, kabupaten, kota dan wilayah. Menurut Muratory, hal-hal yang dapat diidentifikasi tipologinya adalah tata bangunan, jalan dan ruang luar (McLoughlin, 1969). Tata bangunan dan aspek fisik yang mempengaruhi keberadaan suatu massa bangunan dianggap sebagai elemen statis. Di dalam tata bangunan terdapat beberapa hal yang dapat ditemukan ciri khasnya di antaranya material bangunan, fasade bangunan, bentuk bangunan dan gaya arsitekturnya. Sementara itu jalan dan ruang luar merupakan elemen dinamis yaitu suatu elemen yang dapat bergerak membentuk suatu permukiman. Jalan dan ruang luar merupakan suatu ruang penghubung masyarakat di sekitar hunian.
17
Universitas Sumatera Utara
Tipologi adalah ilmu yang mempelajari sesuatu dengan cermat dengan pendekatan yang lebih dalam dan dalam bentuk yang modernisasi. Muratori memiliki maksud eksplisit bahwa metodenya dalam menganalisa dapat digunakan sebagai dasar untuk mendesain arsitektur dan perkotaan. Dalam pandangan Muratori tipologi tidak hanya tentang bangunan tetapi juga tentang dinding, jalanjalan, kebun, pembangunan kota dan segala sesuatu yang menentukan bentuk kota dalam jangka waktu tertentu (McLoughlin, 1969). Contoh tipologi yang mengembangkan teori Muratori dapat dilihat pada bangunan Cannigia dan Maffei (Gambar 2.8). Bangunan ini memperkenalkan konsep ke pola dasar. Dalam karyanya mereka mencari apa yang disebut dengan bentuk dasar yang mendahului semua jenis yang telah ada dan mencoba menggabungkan di antara keduanya. Misalnya Roman Domus sebagai bentuk dasar
untuk setengah abad ke depan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
wawasan mendalam ke dalam ciri khas tersebut. Wawasan ini dapat digunakan untuk mengembangkan bangunan-bangunan baru yang mengambil studi dari masa lalu sampai sekarang ini. Hal ini bertujuan untuk memadukan kreativitas dalam konteks yang menjadi sesuatu keunikan tersendiri.
18
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9
Pola permukiman di Cannigia dan Maffei (Sumber Buku ‘ll progetto nell’edilizia, 1984)
2.5.
Pola Permukiman Bentuk kota atau kawasan merupakan hasil proses budaya manusia dalam
menciptakan ruan kehidupannya, sesuai kondisi site, geografis, dan terus berkembang menurut proses sejarah yang mengikutinya. Menurut Kostof (1991), peran dan perkembangan masyarakat sangat berpengaruh dalam suatu proses pembentukan suatu kawasan. Sehingga terbentuknya pola suatu kawasan akan terus berkembang sebagai proses yang dinamis dan berkesinambungan tanpa suatu
19
Universitas Sumatera Utara
awal dan akhir yang jelas. Kota lahir dan berkembang secara spontan, diatur menurut pendapat masyarakat secara umum yang dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, agama, sesuai dengan kondisi alamiah, sehingga lahir suatu pola kota organik yang berorientasi pada alam, dan mempunyai sosial yang kuat. Berkembangnya
masyarakat
baik
kuantitas
maupun
kualitas
menuntut
terbentuknya suatu kota yang lebih teratur, agar lebih mudah dan terarah pengorganisasiannya melalui pola grid. Sehingga bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa kedua faktor alam dan faktor aspirasi masyarakat tersebut saling dikombinasikan untuk menghasilkan suatu pola yang harmonis antara kehidupan manusia dan lingkungan alamnya. Pola permukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik daerahnya. Kondisi fisik yang dimaksud antara lain meliputi iklim, kesuburan tanah, dan topografi dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah tersebut. Pengaruh kondisi fisik ini sangat terlihat pada pola permukiman di daerah pedesaan, sedangkan di daerah perkotaan kurang begitu jelas, mengingat penduduk kota sangat padat, kecuali yang bertempat tinggal sepanjang aliran sungai, biasanya membentuk pola linear mengikuti aliran sungai.
2.5.1. Macam – Macam Pola Permukiman Menurut
Bintarto,
ada
tiga
pola
permukiman
penduduk
dalam
hubungannya dengan bentang alamnya, yaitu sebagai berikut:
20
Universitas Sumatera Utara
a. Pola permukiman memanjang (Linear) Pola permukiman memanjang memiliki ciri permukiman berupa deretan memanjang karena mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau pantai.
Gambar 2.10 Pola permukiman penduduk memanjang Sumber: www.flickr.com 1. Mengikuti Jalan Pada daerah ini permukiman berada di sebelah kanan dan kiri jalan. Umumnya pola permukiman seperti ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga memudahkan pembangunan jalanjalan di permukiman. Pola ini terbentuk secara alami untuk mendekati sarana transportasi.
21
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.11 Pola permukiman penduduk mengikuti jalan Sumber: www.flickr.com 2. Mengikuti rel kereta api Pada daerah ini permukiman berada di sebelah kanan dan kiri rel kereta api. Umumnya pola permukiman seperti ini banyak terdapat di daerah perkotaan dan daerah yang padat penduduknya.
Gambar 2.12 Pola permukiman penduduk mengikuti rel kereta api Sumber: www.aulia kids.org
22
Universitas Sumatera Utara
3. Mengikuti alur sungai Pada daerah ini permukiman terbentuk memanjang mengikuti aliran sungai. Biasanya pola permukiman ini terdapat di daerah pedalaman yang memiliki sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan penduduk.
Gambar 2.13 Pola permukiman penduduk mengikuti alur sungai Sumber: www.flickr.com 4. Mengikuti Garis Pantai Daerah pantai pada umumnya merupakan permukiman penduduk yang bermata pencaharian nelayan. Pada daerah ini permukiman terbentuk memanjang mengikuti garis pantai. Hal itu untuk memudahkan penduduk dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu mencari ikan di laut.
23
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.14 Pola permukiman penduduk mengikuti garis pantai Sumber: www.gunungkidulkab.go.id b. Pola Permukiman Terpusat Pola permukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola permukiman memusat mengitari mata air dan tanah yang subur. Sedangkan daerah pertambangan di pedalaman permukiman memusat mendekati lokasi pertambangan. Penduduk yang tinggal di permukiman terpusat biasanya masih memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan. Pola permukiman ini sengaja dibuat untuk mempermudah komunikasi antar keluarga atau antar teman bekerja.
24
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.15 Pola permukiman terpusat di daerah pegunungan Sumber: lh3.ggpht.com c. Pola Permukiman Tersebar Pola permukiman tersebar terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah ini, penduduk akan mendirikan permukiman secara tersebar karena mencari daerah yang tidak terjal, morfologinya rata dan relatif aman. Mata pencaharian penduduk pada daerah ini sebagian besar dalam bidang pertanian, lading, perkebunan dan peternakan.
25
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.16 Pola permukiman tersebar Sumber: www.wikipedia.org
2.6.
Masyarakat Melayu Sumatera Timur dalam Tata Kehidupan dan Lingkungan Pemukimannya 2.6.1
Tata Kehidupan Masyarakat Melayu Sumatera Timur Dalam kehidupan masyarakat Melayu Sumatera Timur, kerukunan
ditujukan dari cara bertindak dan berperilaku, berupa hubungan antara seseorang terhadap saudara-saudaranya, keluarga maupun masyarakat luas. Musyawarah merupakan cara yang dilakukan untuk menjaga kerukunan, begitu pula terhadap pemeliharaan nilai-nilai religius dan tatanan lingkungan. Upacara ritual berkembang dan masih dijunjung tinggi di kalangan masyarakat Melayu Sumatera Timur yang berdiam di suatu tempat, baik di desa maupun yang berada di kota. Semua hal tersebut mempengaruhi pembentukan pola permukiman Melayu Sumatera Timur.
26
Universitas Sumatera Utara
Rukun
merupakan
keadaan
ideal
yang
diharapkan
dapat
dipertahankan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat dan keluarga. Suasana kehidupan masyarakat diharapkan dapat mencerminkan keadaan masyarakat yang harmonis. Keadaan rukun terjadi apabila semua pihak dalam keadaan damai, suka bekerja, saling menerima dalam keadaan tenang dan sepakat. Suatu konflik dapat terjadi apabila kepentingan-kepentingan saling bertentangan. Kerukunan menuntut agar setiap individu berusaha untuk melepaskan kepentingan pribadi untuk kepentingan desa atau kampung, dan merupakan perwujudan kerukunan. Hal tersebut terjadi misalnya pada pembuatan saluran air, kegiatan bersih desa, perbaikan jalan dan lain-lain. Dalam menjaga kerukunan, orang melakukan musyawarah untuk dapat menentukan sikap dan keputusan bagi orang banyak, sehingga orang dapat mengemukakan pendapatnya. Musyawarah dimana semua suara dan pendapat didengarkan merupakan bentuk cara pengambilan keputusan sebagai pemecahan atas suatu masalah yang ditunjukkan oleh masyarakat Melayu Sumatera Timur. 2.6.2. Masyarakat Melayu Sumatera Timur dan Lingkungan Permukimannya Masyarakat Melayu Sumatera Timur pada umumnya berdiam di suatu tempat atau desa dengan sawah ladang berada di sekitar tempat tersebut. Tradisi dan sifat gotong royong dipegang kuat oleh masyarakat
27
Universitas Sumatera Utara
meski hubungan dengan sesama individu dalam proses produksi usaha tani telah bersifat komersial. Umumnya tempat kediaman berbentuk persegi panjang dengan pola jaringan jalan berbentuk empat persegi panjang. Permukiman cenderung mengelompok di dekat jalan-jalan utama dan tidak tersusun pada pusat tertentu, seperti mengitari rumah penguasa atau kepala desa, tempat-tempat ibadah, maupun pasar atau pusat perbelanjaan lainnya.
2.7.
Permukiman Suku Melayu Sumatera Timur 2.7.1. Karakteristik Permukiman Masyarakat Melayu Sumatera Timur Penduduk mendirikan rumah secara berkelompok. Rumah-rumah penduduk berada di antara jalan raya atau jalan setapak, tetapi ada juga yang letaknya tidak beraturan. Pola permukiman Melayu Sumatera Timur terbentuk dengan adanya jalan besar, sungai, pohon-pohon, bambu atau pohon kelapa sebagai batas. Lapangan dan mesjid sebagai tempat berkumpul masyarakat biasanya terdapat pada pusat desa. Masalahmasalah yang timbul dalam masyarakat dibahas secara musyawarah.
28
Universitas Sumatera Utara
2.7.2. Proses Perubahan Lingkungan Fisik Sesuatu yang merupakan hasil karya manusia karena latar belakang sosial budaya masyarakat atau kondisi sosial budaya manusia pada umumnya. Dalam perkembangan dan pertumbuhannya akan mengalami perubahan, terutama pada ruang dan bentuk dari lingkungan. Perubahan-perubahan itu disebabkan dari dalam yang dimulai dari kegiatan budaya masyarakat yang lambat laun akan mengalami variasi. Perubahan-perubahan tersebut meliputi industrialisasi dan kontak dengan budaya lain yang tidak saja menimbulkan dampak positif tetapi juga negatif.
2.8.
Karakteristik Tata Kehidupan dan Lingkungan Permukiman Suku Melayu Pada permukiman Melayu kita akan menjumpai adanya perbedaan atau karakteristik tertentu, baik tata kehidupan maupun lingkungan permukimannya. Bagi orang Melayu, permukiman atau perkampungan haruslah dibangun penuh perhitungan, karena disanalah mereka menetap turu temurun. Permukiman dibangun dengan landasan adat (budaya) serta kepercayaan yang dianutnya, kemudian disempurnakan dengan “larang pantang” yang diberlakukan secara ketat. Orang-orang tua Melayu mengingatkan: “dalam menyusuk (membangun) kampung, adat dipegang lembaga dijunjung” atau dikatakan: “apabila hendak menusuk kampung,
29
Universitas Sumatera Utara
adat dipakai lembaga dihitung, supaya tuah apat besambung, supaya rezeki terus melambung”. Ketentuan adat tentang membangun kampung atau permukiman disebut “Adat Menusuk Kampung” (Adat Membangun Kampung). Dahulu, ketentuan adat inilah yang menjadi acuan dasar dari masyarakat setempat dalam membuat perkampungan. Ketentuan adat ini memberi petunjuk bahwa masyarakat Melayu tidaklah membuat perkampungan dengan semena mena, tetapi melalui proses yang panjang. Hal ini membuktikan bahwa mereka membangun perkampungan dengan perhitungan yang cermat, agar kampung itu memberikan manfaat bagi penghuninya. Selain itu juga menimbulkan rasa aman dan sejahtera, serta memberi peluang untuk pengembangan perkampungan ke masa depannya. Acuan di atas memberi petunjuk betapa ketat dan cermatnya ketentuan adat tentang membangun suatu perkampungan. Orang tua menegaskan di dalam menyusuk kampung adat dipakai lembaga dijunjung, atau dikatakan apabila kampung hendak didirikan, adat dan undang jadi pedoman, pantang dan larang jadi pegangan, musyawarah mufakat jadi landasan.
30
Universitas Sumatera Utara
2.9.
Karakteristik
Tata
Kehidupan
dan
Lingkungan
Permukiman
Masyarakat Suku Melayu di Dusun 2 Desa Besilam-Babussalam Langkat Kondisi permukiman yang ada saat ini dapat dilihat bahwa pada umumnya bangunan rumah di Dusun 2 Desa Besilam-Babussalam berbentuk rumah panggung baik permanen maupun tidak permanen. Letak rumah masyarakat di sana ada yang terletak dekat dengan jalan utama dan ada yang jauh dari jalan utama. Sehingga untuk mencapai jalan utama harus melewati jalan setapak. Bangunan rumah tinggal hampir seluruhnya tidak mengalami perubahan fungsi sebagai fungsi utama yaitu rumah tinggal. Hanya sebagian bangunan yang pada awalnya berfungsi sebagai rumah tinggal yang kemudian digunakan untuk toko atau warung. Pada kawasan ini juga terdapat beberapa bangunan seperti kantor kepala desa, gedung sekolah, rumah suluk untuk pria dan wanita, rumah fakir miskin dan anak terlantar, tempat penampungan janda-janda. Sedangkan bangunan peribadatan terdiri dari satu buah mandarsah. Ruang terbuka yang ada pada kawasan ini selain berfungsi sebagai jalan, juga untuk makam yang terletak dekat dengan lokasi mandarsah. Penduduk pada Dusun 2 Desa Besilam-Babussalam Langkat hampir rata-rata bersuku Melayu. Masyarakat merupakan penganut agama Islam yang taat dan hidup dalam suasana agamamis. Dimana mandarsah dan agama memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan pendidikan agama sangat ditekankan pada generasi muda.
31
Universitas Sumatera Utara
2.10. Arsitektur Tradisional Melayu Sumatera Timur Dalam budaya Melayu Sumatera Timur, seni pembangunan rumah tradisional disebut dengan istilah Seni Bina. Rumah memiliki arti yang sangat penting bagi orang Melayu. Rumah bukan saja sebagai tempat tinggal dimana kegiatan kehidupan dilakukan dengan sebaik-baiknya tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup. Orang Melayu selalu berusaha mendirikan rumah walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana. Orang Melayu juga mendambakan rumah kediaman yang baik dan sempurna, yang bangunan fisiknya memenuhi ketentuan adat dan keperluan penghuninya. Sedangkan dari sisi spiritualnya, rumah itu dapat mendatangkan kebahagiaan, kenyamanan, kedamaian dan ketenteraman. Hal ini menjadikan rumah mustahak dibangun dengan berbagai pertimbangan yang cermat, dengan memperhatikan lambang-lambang yang merupakan refleksi nilai budaya masyarakat pendukungnya. Karena luasnya kandungan makna dan fungsi bangunan dalam kehidupan orang Melayu, yang akan menjadi kebanggaan dan memberikan kesempurnaan hidup, bangunan sebaiknya didirikan melalui tata cara yang sesuai dengan ketentuan adat. Dengan memakai tata cara yang tertib, barulah sebuah bangunan dapat disebut “Rumah Sebenar Rumah”. Menurut Husny (1976), karakteristik rumah Melayu dipengaruhi oleh aspek iklim setempat dan syariat agama. Pengaruh iklim dimanifestasikan dalam bentuk rumah berkolong atau panggung dengan tiang-tiang yang tinggi serta ditunjukkan dengan adanya banyak jendela yang ukurannya hampir sama dengan pintu. Banyaknya jendela dan lubang angin bertujuan untuk memberi udara dan cahaya yang cukup bagi penghuninya. Sementara syarat agama (Syariat Islam)
32
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi arsitektur Melayu, diantaranya berupa pemisahan ruang lelaki dan ruang perempuan (Sinar, 1993). Juga terlihat dari ukiran-ukiran dinding dan tiang yang menghindari motif hewan ataupun manusia. Motif yang digunakan adalah motif berbentuk bunga, daun dan buah serta sulur-sulurannya (Husny, M. L., 1976). Bahan bangunan yang digunakan dalam pembuatan rumah Melayu Sumatera Timur masih terbuat dari kayu dan atapnya masih menggunakan rumbia. Menurut Sinar (1993), bahwa kayu untuk rumah berasal dari kayu yang tahan lama dan tahan air. Jenis-jenis kayu yang digunakan antara lain kayu cengal, merbau, damar laut, kulim, petaling, cingkam, damuli, lagan dan sebagainya. 2.10.1 Rumah Tinggal Melayu Sumatera Timur Rumah tinggal Melayu Sumatera Timur adalah jenis rumah panggung atau rumah berkolong dengan tiang-tiang yang tinggi. Tinggi tiang penyangga ini berkisar antara dua sampai dua setengah meter. Berikut akan dipaparkan bagian-bagian rumah tinggal Melayu Sumatera Timur (Gambar 2.17).
33
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17 Rumah Tradisional Melayu Sumatera Timur Sumber: Digambar ulang, 2014 1. Atap dan Bubungan Bahan utama atap adalah daun nipah dan daun rumbia. Tetapi pada perkembangannya sering dipergunakan atap seng. Atap dari daun nipah dan daun rumbia dibuat dengan cara menjalinnya pada sebatang kayu yang disebut bengkawan. Untuk memasang atap digunakan tali rotan sedangkan untuk memasang perabung digunakan pasak yang terbuat dari nibung. Rumah Melayu asli memiliki bubungan panjang sederhana dan tinggi. Pada pertemuaan atap dibuat talang yang berguna untuk menampung air
34
Universitas Sumatera Utara
hujan. Pada kedua ujung perabung rumah induk dibuat agak terjungkit ke atas. Dan pada bagian bawah bubungan atapnya melengkung, menambah seni kecantikan arsitektur rumah Melayu. 2. Tiang Bangunan tradisional Melayu adalah bangunan bertiang. Tiang dapat berbentuk bulat atau bersegi. Ukuran sebuah tiang bergantung kepada besar atau kecilnya rumah. Bentuk tiang secara tradisional mengandung lambang yang dikaitkan dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Termasuk kaitannya dengan alam lingkungan dan arah mata angin. Lambang-lambang itu kemudian dijalin dengan makna tertentu yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. 3. Pintu Pintu disebut juga dengan Lawang. Pintu masuk di bagian muka rumah disebut pintu muka. Sedangkan pintu di bagian belakang disebut pintu dapur atau pintu belakang. Pintu masuk ke rumah harus mengarah ke jalan umum. Pintu berbentuk persegi empat panjang. Ukuran pintu umumnya lebar antara 60 sampai 100 cm dengan tinggi 1,5 sampai 2 meter. Pintu sebaiknya terletak di kiri rumah atau dekat ke bagian kiri rumah. Di atas pintu kebanyakan dibuat tebukan yang indah bentuknya menunjukkan ketinggian martabat si empunya rumah.
35
Universitas Sumatera Utara
4. Jendela Jendela lazim disebut Tingkap atau Pelinguk. Bentuknya sama seperti bentuk pintu. Tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih rendah. Jendela mengandung makna tertentu. Jendela yang sengaja dibuat setinggi orang dewasa berdiri dari lantai, melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang baik dan patuh yang tahu adat tradisinya. Sedangkan letak yang rendah melambangkan pemilik bangunan adalh orang yang ramah tamah, selalu menerima tamu dengan ikhlas dan terbuka. 5. Tangga Tangga naik ke rumah pada umumnya menghadap ke jalan umum. Tiang tangga berbentuk segi empat atau bulat. Kaki tangga terhujam ke dalam tanah atau diberi alas dengan benda keras. Bagian atas disandarkan miring ke ambang pintu dan terletak di atas bendul. Anak tangga dapat berbentuk bulat atau pipih. Anak tangga kebanyakan berjumlah ganjil. Sebab menurut kepercayaan, bilangan genap kurang baik artinya. 6. Dinding Pada umumnya dinding terbuat dari kayu meranti, punak, medang atau kulim dengan tebal 2-5 cm dan lebar 15-20 cm. Makna dinding selalu dikaitkan dengan sopan santun yaitu sebagai batas kesopanan. Dinding rumah dibuat dari papan yang dipasang vertikal dan dijepit dengan kayu penutup. Kira-kira 20 cm di bawah tutup tiang biasanya dibuat lubang
36
Universitas Sumatera Utara
angin. Pada lubang angin ini diberi hiasan dengan tebukan. Makin tinggi nilai tebukan ini, makin tinggilah martabat serta makin terpandang si empunya rumah.
37
Universitas Sumatera Utara