BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ruang (Space) Ruang atau space dapat terdiri dari ruang daratan, ruang lautan dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya, bersifat 3 dimensi (UU 26 tahun 2007). Kota adalah satuan organik yang terus tumbuh melalui proses kompromi dari berbagai heterogenitas yang hidup di dalamnya, memiliki ciri dan karakteristik yang khas dimana setiap individu yang berbeda memiliki posisi yang sama penting dalam menentukan arah kebijakan bersama. Pada dasarnya ruang kota harus dibedakan oleh suatu karakteristik yang menonjol, seperti kualitas pengolahan detail dan aktivitas yang berlangsung di dalamnya. Sebuah ruang kota dapat diolah dengan lansekap yang indah sebagai taman kota yang tenang. Dalam hal ini sebuah tempat tertentu dalam kota berfungsi sebagai lokasi suatu aktivitas penting, tetapi tidak mempunyai pelingkup fisik dan lantai yang semestinya. Ruang demikian adalah oase di dalam kota. Ruang Kota (urban space), terbentuk oleh muka bangunan dengan lantai kota baik berupa jalan, plaza atau ruang terbuka lainnya. Ruang terbuka merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Pengertian ruang terbuka tidak terlepas dari pengertian tentang ruang, menurut filosof Immanuel Kant, (Budiyono, 2006) ruang bukanlah sesuatu yang objektif sebagai
7
8
hasil pikiran dan perasaan manusia. Sedangkan menurut Plato (Budiyono, 2006), ruang adalah suatu kerangka atau wadah dimana objek dan kejadian tertentu berada. Sedangkan kata terbuka sendiri berarti tidak mempunyai penutup, sehingga bisa terjadi intervensi sesuatu dari luar terhadapnya, seperti air hujan dan terik matahari. Dengan demikian ruang terbuka merupakan suatu wadah yang menampung aktivitas manusia dalam suatu lingkungan yang tidak mempunyai penutup dalam bentuk fisik.
2.2
Ruang Publik (Public Space) Secara umum public space dapat didefinisikan dengan cara membedakan
arti katanya secara harfiah terlebih dahulu. Public merupakan sekumpulan orangorang tak terbatas siapa saja, dan space atau ruang merupakan suatu bentukan tiga dimensi yang terjadi akibat adanya unsur-unsur yang membatasinya (Ching, 1992). Unsur-unsur tersebut berupa bidang-bidang linier yang saling bertemu yaitu, bidang-bidang dasar/alas, bidang-bidang vertikal dan bidang-bidang penutup (atap). Sedangkan public space yang terbentuk di luar ruangan yang dibatasi oleh unsur buatan disebut juga urban space. Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada urban space, Lynch (1987) mengkategorikannya menjadi 2 (dua), yaitu lapangan (square) dan jalur/jalan (the street). Ruang kota, baik berupa lapangan maupun koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial (Shirvani, 1985). Namun pada kenyataannya, dewasa ini semakin terdesak oleh kepentingan ekonomi.
9
Dalam pengertian yang paling umum, ruang publik dapat berupa taman, tempat bermain, jalan, atau ruang terbuka. Ruang publik kemudian didefinisikan sebagai ruang atau lahan umum, dimana masyarakat dapat melakukan kegiatan publik fungsional maupun kegiatan sampingan lainnya yang dapat mengikat suatu komunitas,
baik
melalui
kegiatan
sehari-hari
atau
kegiatan
berkala.
(Kusumawijaya, 2006). Ruang publik kota sebagai ruang yang dapat diakses oleh setiap orang dengan sendirinya
harus memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang
menurut Lynch dan Carr (1981), penggunaan ruang publik sebagai ruang bersama merupakan bagian integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya pengendalian terhadap kebebasan tersebut. Pengendalian dalam penggunaan ruang publik berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut. Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna (Putnam, 1993) yang mempunyai arti: 1.
Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas.
2.
Demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibilitas bagi berbagai kondisi fisik manusia.
3.
Bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas dan konteks sosial.
10
Dengan karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kapital sosial. Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya. Tetapi kebanyakan ruang publik kota diduduki secara intens atau menetap dan selama tidak ada yang keberatan maka penguasaan itu akan semakin kuat. Seperti menduduki pedestrian sebagai tempat berdagang, sedangkan pedestrian adalah ruang publik untuk tempat pejalan kaki.
2.3
Ruang Publik Kota Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyatakan ruang publik kota meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang publik kota merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Ruang manfaat jalan hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan
11
jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki. Badan jalan hanya diperuntukkan bagi pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan. Saluran tepi jalan hanya diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan jalan bebas dari pengaruh air. Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang publik kota yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan. Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, dimana masing-masing memiliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari: a.
Ruang publik kota adalah ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas (dengan atau tanpa jalur pemisah), bahu jalan dan jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak dibagian paling luar dari ruang publik kota yang digunakan untuk mengamankan bangunan jalan.
b.
Ruang milik jalan (right of way) adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang publik kota yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang publik kota pada masa yang akan datang. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan menyatakan bahwa, transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat,
12
aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu-lintas di Jalan, beberapa indikator yang harus dipenuhi dalam transportasi antara lain keamaman, ketertiban dan kelancaran. Kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki seyogyanya menempati bagian-bagian yang telah ditentukan. pedagang kaki lima senantiasa mendekati tempat-tempat yang menjadi lalu-lalang orang. Lalu lintas kendaraan bermotor dan pejalan kaki sudah tentu menjadi incaran pasar bagi pedagang kaki lima, sehingga bagian-bagian jalan berupa trotoar cenderung ditempati oleh pedagang kaki lima. Bahkan jalur lambat, jalur hijau dan bahu jalan tak luput dari incaran pedagang kaki lima. Kemacetan lalu-lintas merupakan permasalahan yang hampir selalu dijumpai pada kota-kota di Indonesia. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada bertambahnya waktu tempuh dan biaya operasi kendaraan (user cost) bagi pengguna jalan serta meningkatkan polusi udara, sehingga kota menjadi sangat tidak nyaman. Dalam jangka panjang, akan menghambat perkembangan kota, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan fisik maupun pariwisata.
13
2.4
Ruang Manfaat Jalan Sebagai Ruang Publik Menurut Donald Elliott (1981), ruang publik terbagi dari tiga yaitu jalan,
pedestrian/trotoar dan non trotoar (tanah kosong, taman baik dipelihara oleh perorangan maupun pemerintah). Dari ketiga bentuk tersebut jalan sebagai inti dari ruang publik dimana terjadi pergerakan manusia tempat bergantung kehidupan kota. Sedang menurut Depertemen Pekerjaan Umum pengertian jalur pejalan kaki adalah semua bangunan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. Jalur pejalan kaki termasuk trotoar dan bahu jalan yang sering dipakai pedagang sebagai tempat kegiatannya setiap hari. Trotoar, yang dimaksud dengan trotoar adalah jalur pejalan kaki yang terletak pada daerah milik jalan, diberi lapisan permukaan, diberi elevasi yang lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan. Untuk pejalan kaki merasa nyaman, perencanaannya pun dibuat sedemikian yaitu: a.
Trotoar pada ruas jalan yang terdapat volume pejalan kaki lebih dari 300 orang per 12 jam (jam 6.00-jam 18.00) dan volume lalu lintas lebih dari 1.000 kendaraan per 12 jam (jam 6.00-jam 18.00).
b.
Ruang bebas trotoar tidak kurang dari 2,5 meter dan kedalaman bebas tidak kurang dari satu meter dan permukaan trotoar. Kebebasan samping tidak kurang dari 0,3 meter. Perencanaan pemasangan utilitas selain harus
14
memenuhi ruang bebas trotoar juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam buku petunjuk pelaksanaan pemasangan utilitas. c.
Lebar trotoar harus dapat melayani volume pejalan kaki yang ada. Lebar minimum trotoar sebaiknya seperti yang tercantum dalam Tabel 2.1 sesuai dengan klasifikasi jalan. Untuk lebih jelasnya lihat pada Tabel 2.1 lebar trotoar minimum. Tabel 2.1 Lebar Trotoar Minimum Standar
Lebar Minimum (Pengecualian)
Kelas I
Minimum (m) 3.0
Kelas II
3.0
1,5
Kelas III
1.5
1,0
Klasifikasi Jalan Rencana
Tipe II
1,5
Sumber: Depertemen Pekerjaan Umum, 1995
Pejalan kaki membutuhkan berjalan dengan leluasa tanpa terganggu dengan pejalan kaki yang lain, dari itu membutuhkan ruang yang beda tergantung dari tujuan berjalan dan kecepatan berjalan kaki. Jan (1987) menyatakan sangat penting bagi pejalan kaki untuk berjalan dengan leluasa tanpa terganggu, baik karena ada benda penghalang maupun karena keberadaan orang lain yang memaksa pejalan kaki bergerak untuk menghindar. Pada saat pelalu kegiatan berkumpul di suatu tempat maka tercipta kondisi kepadatan ruang publik, dapat dilihat pada Tabel 2.2 dibawah ini yang menunjukkan kemampuan bergerak secara leluasa dari pejalan kaki sangat tergantung dari kondisi sekitarnya atau dari keberadaan orang lain bersama-sama di ruang publik.
15
Pejalan kaki sebagai istilah aktif, adalah orang yang bergerak atau berpindah dari suatu tempat titik tolak ke tempat tujuan tanpa menggunakan alat yang bersifat mekanis (kecuali kursi roda). Jalur pedestrian atau jalur pejalan kaki, adalah tempat jalur khusus bagi para pejalan kaki. Pedestrian dapat berupa trotoar, alun-alun dan sebagainya. Baik Shirvani (1985) maupun Lynch (1987) mengemukakan bahwa pedestrian bagian dari public space dan merupakan aspek penting sebuah urban space, baik berupa square (lapangan-open space) maupun street (jalan-koridor). Tabel 2.2 Kondisi Kepadatan Ruang Publik Kondisi Tanpa halangan
Jarak Antar Orang (m)
Luas Per Orang (m)
1.2
1.2 0.9 – 1.2
Ada Halangan
1.0 – 1.2 0.7 - 0.9
Terdesak
0.6
0.3 – 0.7
Padat
0.6
0.2 – 0.3
Berdesakdesakan
0
0.2
Keterangan Sirlukasi antar pejalan kaki mungkin terjadi tanpa saling mengganggu. Sirkulasi antar pejalan kaki yang sedang berdiri. Nyaman buat berdiri tetapi berjalan diantara orang yang sedang berdiri akan menimbulkan sedikit gangguan. Pejalan kaki yang sedang berdiri tidak saling bersentuhan tetapi berada dalam jarak yang kurang nyaman, sirkulasi sama sekali terhalang. Kontak tubuh sulit dihindari, sirkulasi antar manusia tidak mungkin terjadi. Orang yang berdiri penuh sesak, tidak mungkin terjadi gerakan atau sirkulasi apapun.
Sumber: Boris S. Pushkarev with Jeffrey M.Zupan (1978)
16
2.5
Perilaku Pedagang Kaki Lima Sebagai Pengguna Ruang Publik Perilaku pedagang Kaki Lima (PKL) selalu saja menjadi masalah bagi
kota-kota yang sedang berkembang apalagi bagi kota-kota besar yang sudah mempunyai predikat metropolitan. Kuatnya magnet bisnis kota-kota besar ini mampu memindahkan penduduk dari desa berurbanisasi ke kota dalam rangka beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil-kecilan.
2.5.1
Defenisi dan Klasifikasi Pedagang Kaki Lima Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta
istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki (trotoar), melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barangbarang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan. Di atas trotoar selebar lima kaki inilah para pedagang tepi jalan melakukan usahanya, yang kemudian dikenal sebagai pedagang kaki lima, Lili N. (1985). Pedagang kaki lima
merupakan jenis perdagangan informal yang
termasuk khas sebab dapat menjadikan batu loncatan untuk kondisi sosial yang lebih baik.
17
Sektor informal kini menjadi kebijakan eksplisit dalam pembangunan nasional, yang mana sektor informal diharapkan dapat berperan sebagai katup penyelamat dalam menghadapi masalah lapangan kerja bagi angkatan kerja yang tidak dapat terserap dalam sektor modern/formal. Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan pedagang kaki lima, kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya. Keberadaan pedagang kaki lima di tempat–tempat (badan jalan, jalur pejalan kaki) yang berpotensi untuk mendapatkan pembeli, tetapi menimbulkan anggapan bahwa kegiatan mereka tidak tertampung atau mereka tidak mempunyai lokasi berjualan resmi (pasar). Menurut Wirosandjojo (1985) dalam Harris Koentjoro (1994), sektor informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi marginal (kecil-kecilan), yang memiliki ciri-ciri antara lain: a.
Pola kegiatannya tidak teratur, baik waktu, permodalan maupun penerimaan.
b.
Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya kecil dan diusahakan berdasar hitungan harian.
c.
Umumnya tidak memiliki tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya.
d.
Tidak memiliki keterkaitan dengan usaha lain yang besar.
18
e.
Umumnya dilakukan oleh dan melayani masyarakat yang berpenghasilan rendah.
f.
Tidak membutuhkan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan dan ketrampilan kerja.
g.
Umumnya tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari kerabat keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.
h.
Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan formal.
2.5.2
Permasalahan Pedagang Kaki Lima Pembahasan sektor informal khususnya pedagang kaki lima menunjukkan
bahwa di satu sisi pedagang kaki lima memberikan kontribusi yang cukup besar kepada pemerintah, namun dalam waktu yang bersamaan keberadaan mereka juga dianggap menimbulkan permasalahan bagi pemerintah maupun masyarakat lainnya. Berdasarkan hasil identifikasi, terdapat dua permasalahan pokok yang ditimbulkan oleh keberadaan pedagang informal. Pertama, adalah permasalahan yang dihadapi oleh pedagang kaki lima itu sendiri yaitu: a.
Kecilnya modal usaha yang dimiliki;
b.
Rendahnya latar belakang pendidikan;
c.
Rendahnya keterampilan yang dimiliki;
Kedua, permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah atas keberadaan pedagang kaki lima yaitu:
19
a.
Menyebabkan kesemrawutan kota;
b.
Mengurangi keindahan kota;
c.
Menyebabkan kekumuhan kota;
d.
Menimbulkan kerawanan sosial, kenyamanan lalu lintas dan mengganggu aktivitas ekonomi pedagang lain yang memiliki tempat resmi. Permasalahan tersebut timbul dikarenakan pedagang kaki lima di Kota
Medan umumnya menggunakan fasilitas umum antara lain trotoar, di atas parit pada ruas-ruas jalan utama, di depan pertokoan pada pusat kawasan perdagangan, dan di lingkungan pasar-pasar tradisional. Pedagang kaki lima ini melakukan kegiatan usahanya dengan menggunakan gerobak, lapak, dan bangunan semi permanen. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, namun hasilnya belum memuaskan, bahkan ada kecenderungan penyebaran semakin meluas dan jumlahnya semakin bertambah. Meningkatnya jumlah pedagang kaki lima ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung antara lain terbatasnya lapangan kerja baru, krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada pemutusan hubungan kerja, urbanisasi semakin meningkat, keterbatasan kemampuan untuk memiliki tempat usaha yang tetap, penegakan hukum yang masih lemah serta belum dilaksanakannya operasi penertiban secara kontiniu dan konsisten.
2.5.3
Perilaku Pedagang Kaki Lima Terkait dengan sejarah munculnya peristilahan pedagang kaki lima, dalam
perkembangan pola penyebaran pedagang kaki lima juga sangat dipengaruhi oleh
20
aktifitas pedestrian. Pedagang kaki lima di pedestrian hampir dijumpai pada semua fungsi kawasan, baik dengan fungsi utama perkantoran, pendidikan, kesehatan, perumahan maupun perdagangan. Secara umum, faktor utama pemicu hadirnya pedagang kaki lima adalah pejalan kaki. Jika kemudian pada kawasan perdagangan muncul banyak pedagang kaki lima, karena di kawasan tersebut lebih banyak pejalan kakinya. Berdasarkan Absori et.al. dalam Kusumawijaya, (2006) pedagang kaki lima memiliki dimensi kegiatan yang sangat kompleks, baik terkait dengan aspek ekonomi, teknis, sosial, lingkungan maupun ketertiban umum. Beberapa aspek tersebut antara lain: a.
Pedagang kaki lima sering menggunakan public space (tempat umum) secara permanen seperti trotoar, jalur lambat, badan jalan, bahu jalan, lapangan dan sebagainya.
b.
Pedagang kaki lima seringkali mengganggu kelancaran lalu lintas.
c.
Lahan yang dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima sering bertolak belakang dengan aturan peruntukan lahan perkotaan.
d.
Limbah pedagang kaki lima sering mengganggu lingkungan dan kebersihan kota.
e.
Keberadaan pedagang kaki lima sering mengganggu ketertiban umum, terutama pemakai jalan dan pemakai bangunan formal di sekitar pedagang kaki lima.
f.
Pedagang kaki lima sangat sulit ditata atau diatur.
21
Teori-teori pedagang kaki lima yang berkaitan dengan tesis Kajian Spasial Pedagang Kaki Lima dalam Pemanfaatan Ruang Publik Kota sesuai dengan tinjauan pustaka yang dipaparkan di atas didapat temuan sebagai berikut: Tabel 2.3 Teori Pedagang Kaki Lima No
Pedagang kaki lima
1
Pola kegiatan tidak teratur menggunakan ruang publik
2 3
Modal usaha/omset kecil Tempat usaha tidak menetap dan tanpa batas menggunakan ruang publik Melayani masyarakat berpenghasilan rendah Tidak membutuhkan keahlian khusus Mengganggu ketertiban & kelancaran lalu lintas Tidak ada legalitas
4 5 6 7
dalam
Wiro sanjoyo (1985)
Absori et al (2006)
√
√
√ √
√
√ √ √
√
√
√
Pedagang kaki lima ini menyimpan persoalan yang tidak sederhana, apalagi pedagang kaki mengambil ruang publik, yang seharusnya bisa dipakai semua warga publik. Pemakaian ruang publik untuk kepentingan ekonomi rupanya merupakan pemaknaan ekonomis atas ruang publik. Yang menjadi soal apabila pemaknaan itu sekaligus menjadi pemilikan. Bahwa ruang publik menjadi milik dari pedagang kaki lima yang sudah bertahun-tahun memakainya. Sektor informal pedagang kaki lima di satu sisi sebagai pendukung ekonomi masyarakat terutama masyarakat bawah (aspek ekonomi) disamping juga menimbulkan hal negatif bagi masyarakat dan pemerintah setempat dari aspek sosial, lingkungan dan ketertiban umum.
22
Pedagang kaki lima selalu menjadi perdebatan antara pro dan konta karena keberadaannya yang selalu menempati ruang terbuka publik kota (jalan, trotoar, bahu jalan, taman dll) terutama yang memiliki aksesibilitas yang tinggi, sehingga mengakibatkan terjadinya perebutan ruang antara pedagang kaki lima dan pengguna ruang lainnya.
2.6
Kajian Spasial Lynch (1987), menyatakan dalam teorinya mengenai spatial rights, yaitu
suatu pemahaman mengenai kebebasan sekaligus pengendalian dalam penggunaan ruang publik, terdiri dari beberapa aspek-aspek yaitu: 1.
The right of presence, adalah hak untuk berada di ruang publik manapun, dengan atau tanpa tujuan apapun, dengan kesadaran bahwa kita tidak bisa dilarang siapapun untuk berada di ruang publik tersebut. Aspek ini tidak terlepas dari aksesibilitas ruang publik, sebab hadirnya seseorang di ruang publik karena ruang tersebut dapat diakses secara leluasa, seperti adanya toko-toko dan pedagang kaki lima, menggambarkan jenis kelompok manusia hadir di tempat tersebut.
2.
The right of use and action adalah hak menggunakan ruang publik secara bebas tanpa perlu memikirkan apakah tempat tersebut adalah tempat yang tepat untuk kegiatan tersebut, selama kegiatan tersebut tidak mengganggu pengguna atau kelompok pengguna lainnya. Hak ini digunakan pedagang kaki lima dalam melakukan kegiatannya berdagang di ruang publik dan mengancam bagi kebebasan kelompok lainnya.
23
3.
Appropriation, berkaitan dengan hak untuk membuat batas di ruang publik dan kemudian menguasai tempat tersebut. Jika dikaitkan dengan pedagang kaki lima di ruang publik, maka batas yang dibuat merupakan kebutuhan tempat untuk kegiatan berdagang yang berhubungan langsung dengan pembelinya, walaupun bisa mengancam bagi yang lain.
4.
The right of modification, dimana seorang pengguna berhak melakukan perubahan terhadap ruang publik sesuai dengan keputusannya, tetapi dengan pertimbangan bahwa itu dapat menimbulkan kerusakan terhadap ruang tersebut dan bahwa orang lain pun mempunyai hak terhadap ruang itu. Perubahan ruang publik dari pengguna sebelumnya akan diterima pengguna yang akan datang, masalah yang muncul kemudian adalah perubahan itu tidak selalu dapat diterima oleh publik dan sangat berkaitan dengan pengguna masa depan.
5.
The right of disposition, yaitu kepemilikan oleh sekelompok orang terhadap suatu ruang publik secara pengakuan dan bukan berdasarkan aspek legalitas. Aspek ini berkaitan dengan hak untuk mengurangi akses publik ke ruang tersebut untuk alasan keamanan, kebersihan dan lain-lain. Ini merupakan salah satu bentuk kontrol terhadap pengguna ruang publik. Dari keterangan teori Lynch (1987) di atas tidak semuanya dapat
diterapkan di Indonesia, sebab seluruh kota-kota di Indonesia mempunyai budaya tersendiri dalam menggunakan ruang publik kota sebagai sarana berjualan (pasar tradisonal). Budaya Indonesia yang beragam membuat beberapa pasar mempunyai ciri khas tersendiri dalam pemanfaatan ruang publik kota.
24
Pasar sebagai salah satu ruang kegiatan ekonomi merupakan tempat berkumpulnya untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap induvidu dalam masyarakat, pemenuhan kebutuhan tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan hidup juga untuk memperbaiki kondisi manusianya, menurut (Buie, S, 1996). Pasar lalu berkembang menjadi pusat kegiatan sosial. Hal ini yang menyebabkan pasar sebuah pusat dan menyebar dari pusat tersebut. Hak-hak alami seseorang atas ruang harus dapat dikendalikan supaya tidak mengalami pertentangan dengan orang lain yang mempunyai hak terhadap ruang publik tersebut. Konflik yang paling sering terjadi di ruang publik di kota-kota di Indonesia adalah ditimbulkan oleh pemenuhan hak pedagang kaki lima di ruang publik, untuk itu diperlukan perubahan pandangan pada masyarakat dan pemerintah kota, bahwa pedagang kaki lima dapat menjadi daya tarik bagi ruang publik, terutama di pusat-pusat kegiatan kota karena mereka dapat menarik pembeli, apabila lokasi pedagang kaki lima ini diatur untuk menghindari konflik. Padahal dalam jangka panjang keberadaan public space sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi perkotaan. Makin luas urban open space di kota, makin banyak orang yang berkumpul pada simpul/node tersebut dan makin tinggi gedung-gedung di sekelilingnya (nilai ekonomi lahan makin tinggi sehingga intensitas penggunaan lahan makin tinggi pula). Dalam desain ruang terbuka publik, yang dicari adalah keseimbangan antara keterbukaan dan pembatasan, dimana ruang publik tersebut tetap dapat menampung penggunaan yang beragam. Penggunaan ruang publik adalah suatu indikator dari perkembangan atau perubahan sosial masyarakat. Untuk mendesain
25
ruang terbuka publik yang baik, seseorang harus mengerti bagaimana perkembangan tatanan sosial di tempat tersebut. Kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan struktur sosial pada masalah penempatan pedagang kaki lima di ruang publik. Struktur ini sudah ada sejak lama dan sudah harus menjadi bagian integral dari masyarakat kota. Perancangan dan perencanaan ruang terbuka publik yang baik adalah kemampuan untuk mencapai dan memelihara keseimbangan antara hak dan kebutuhan yang berpotensi dalam menimbulkan konflik. Keseimbangan ini perlu dicapai agar hak seseorang atau sekelompok orang dalam mempertahankan posisinya di ruang publik tidak mengganggu orang lain yang juga membutuhkan ruang publik untuk tujuan yang berbeda. Hak-hak alami seseorang atas ruang publik harus dapat dikendalikan supaya tidak mengalami pertentangan dengan orang lain yang juga mempunyai hak terhadap ruang publik tersebut. Ruang terbuka publik merupakan tempat bagi komunitas kehidupan sosial suatu kota untuk memanifestasikan kegiatannya di ruang kota. Bagi pedagang kaki lima bahkan merupakan tempat untuk menunjukkan identitasnya sebagai salah satu penghuni kota yang membutuhkan wadah untuk kegiatannya. Komunitas sosial akan selalu berusaha memanfaatkan ruang publik yang sifatnya bebas tersebut semaksimal mungkin. Jika tidak ada pengendalian maka ketertiban sosial akan terganggu. Di sinilah pemahaman teoritik dalam bab ini berperan, yaitu untuk mengetahui aspek-aspek yang penting untuk dijadikan pertimbangan bagi konsep penataan pedagang kaki lima di ruang publik dan bagi bentuk
26
pengendalian yang tetap menghargai kebebasan publik dalam menggunakan ruang publik kota. Beberapa aspek penting dalam penataan ruang publik untuk dapat mengakomodasi kebutuhan pedagang kaki lima di ruang publik kota, yang dapat diambil dari kajian teori di atas, adalah: a.
Aspek kebebasan dalam menggunakan ruang publik. Ruang publik harus dapat digunakan secara leluasa dan aman oleh pemakainya, dengan demikian harus mempunyai aksesibilitas yang baik bagi setiap kelompok masyarakat kota.
b.
Aspek kontrol dalam penggunaan ruang publik. Ruang publik merupakan bagian integral kehidupan kota dan menjadi milik publik, sehingga menggunakan ruang harus ada aturan-aturan sosialnya. Walaupun setiap orang berhak menggunakan ruang publik, tetap harus ada pengendaliannya dan harus memperhatikan untuk siapa atau untuk apa ruang publik tersebut sehingga dapat ditentukan siapa yang harus mendapat prioritas yang lebih besar dalam penataan.
c.
Aspek besaran ruang yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan di ruang publik. Setiap pengguna ruang publik membutuhkan ruang untuk keberadaannya. Pejalan kaki mempunyai ruang minimal untuk sirkulasi dan pedagang kaki lima harus dapat memanfaatkan ruang yang ada untuk kegiatan berdagangnya. Besaran ini dapat dihitung berdasarkan ukuran standard dan studi ruang gerak dan penerapannya harus semaksimal mungkin mendekati kondisi ideal.
27
d.
Aspek pedagang kaki lima sebagai pendukung kegiatan di ruang publik. Keberadaannya harus dapat ditampung di ruang publik dan bukan diasingkan atau disingkirkan dari kegiatan publik. Pembahasan dalam studi literature menunjukkan bahwa pedagang kaki lima juga merupakan pengguna ruang publik. Sehingga dalam penataan pedagang kaki lima di ruang publik keberadaannya dapat diberi fungsi atau arti yang lebih, misalnya sebagai salah satu perabot urban atau perabot ruang publik. Pedagang kaki lima merupakan salah satu unsur ruang publik yang mempunyai kebutuhan untuk kegiatannya dan harus dapat berintegrasi dengan unsur lainnya. Ruang trotoar dan badan jalan yang dipakai oleh pedagang kaki lima untuk
berdagang yang mempunyai fungsi dan kegiatan yang berlangsung di dalamnya dapat menciptakan ambiguitas atau multi identitas, Soja (2000). Dengan demikian trotoar dan badan jalan yang dipergunakan pedagang untuk kegiatan sehari-hari dapat dinyatakan sebagai ruang paradoks atau ruang hybrid, Bhabha (1994). Oleh karena itu trotoar dan badan jalan sudah seharusnya dianggap sebagai sebuah hasil ruang yang beragam dengan tingkat keterbukaan yang tinggi, (Jhonston, 2000). Lynch (1996), juga menyatakan bahwa sebuah kawasan seharusnya memiliki fleksibilitas untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Alexander (1975), bahwa fleksibilitas bagian bagian dari sebuah kawasan dapat meningkatkan keeratan struktur kawasan secara keseluruhan. Peristiwa – peristiwa pada kawasan kota mampu menjadi perekat pembentukan fisik kota/kawasan karena berlangsung secara alamiah.
28
Teori-teori kajian spasial yang berkaitan dengan tesis Kajian Spasial Perilaku Pedagang Kaki Lima dalam Pemanfaatan Ruang publik kota sesuai dengan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas didapat temuan sebagai berikut : Tabel 2.4 Teori Kajian Spasial No
Kajian Spasial
1
Aksesibilitas ruang publik
2
Ruang publik digunakan sebagai ruang sosial masyarakat Fleksibilitas peristiwa dan penggunaan ruang publik
3
Kevin Lynch (1987)
Alexander (1975)
√
√
Putnam (1993) √
√
√
√
√
Dari hasil paparan teori-teori menunjukan bahwa pertentangan atau munculnya faktor tarik menarik yang wujudnya perebutan ruang sebagai faktor mediasi, menjadi komoditas karena memiliki nilai guna dan tukar yang tinggi. Hal ini disebabkan kebutuhan manusia yang dapat menimbulkan konflik ruang sesama pedagang, karena tidak ada lagi keselarasan antara ruang yang tercipta dengan peristiwa yang berlangsung. Semua lapisan masyarakat berhak untuk berada dan mempergunakan ruang publik selama tidak mengganggu pengguna ruang publik lainnya, hak-hak alami seseorang atas ruang publik harus dapat dikendalikan agar tidak terjadi pertentangan dengan orang lain yang juga mempunyai hak atas ruang publik tersebut. Adanya keseimbangan antara keterbukaan dan pembatasan karena ruang publik merupakan tempat bagi kehidupan sosial masyarakat.