BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat penelusuran atas penelitian-penelitian sebelumnya
yang dianggap bisa menjadi masukan dalam melakukan analisis penelitian. Secara garis besar, beberapa penelitian sebelumnya yang dicantumkan dalam bab ini, memiliki persamaan dari segi objek penelitian yaitu mengenai bahasa dan jender. Perbedaannya muncul dari sisi teori siapa yang digunakan dalam penelitian dan objek penelitiannya. 2.1.1
Perilaku Seksis dalam Bahasa Humor I Made Netra dalam Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukkan Ragam
Humor di Kota Denpasar (2009) menjelaskan bahwa humor tergolong dalam bahasa seksis yang berbentuk monologis dan atau dialogis psikoanalitis, sosial, dan persepsi kognitif. Jika dilihat dari sasarannya, bahasa humor dapat berbentuk humor etnis, humor seksual dan humor politik. Bentuk dan jenis bahasa humor seperti itu dipakai untuk tujuan-tujuan atau fungsi untuk mengabaikan, merendahkan perempuan, dan sejenisnya. Adapun teori yang digunakan adalah formulasi dari teori humor dan linguistik humor serta teori bahasa dan jender. Teori humor dan linguistik humor yang mengacu
Universitas Sumatera Utara
pada Wilson mengartikan bahwa humor adalah bentuk bahasa yang mengandung kebebasan yang dapat dijelaskan dari sudut dampak emosionalnya; di samping itu humor juga mengandung konflik, yang dapat diartikan dengan adanya dorongan untuk saling bertentangan antara dua pelaku, dan ketidakselarasan yang merujuk pada penjelasan kognitif. Sedangkan teori bahasa dan jender mengacu pada Wolfram yang beranggapan bahwa jender digunakan untuk menangkap dan menjelaskan fenomena-fenomena kompleks sosial, budaya dan psikologi yang melekat pada seks atau jenis kelamin. Dengan demikian, variasi bahasa yang dibangun tidak berkaitan dengan fonologi, tata bahasa, dan leksikon, tetapi lebih berkaitan dengan semantik atau makna yang terkandung pada bahasa yang sudah mengarah pada kepada konvensi penggunaan variasi bahasa tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh I Made Netra tersebut pada akhirnya menyimpulkan bahwa berdasarkan jenis komunikasinya, bahasa seksis ditemukan dan digunakan dalam buku humor adalah komunikasi monologis dan dialogis. Selain itu, bahasa seksis yang digunakan dalam humor antara jenis kelamin dengan jenis kelamin tertentu dimaksudkan untuk menjadikan perempuan sebagai objek atau merendahkan, menyepelekan, dan mengesampingkan perempuan yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara tidak langsung dengan pengandaian, dan secara langsung antara jenis kelamin tertentu, seperti antara perempuan dengan perempuan, antara laki-laki dengan laki-laki adalah dan antara laki-laki dengan perempuan. Sebaliknya, secara implisit perempuan pun bisa berperilaku seksis di
Universitas Sumatera Utara
depan kaumnya sendiri dan terhadap laki-laki sehingga laki-laki tersebut diabaikan, dilecehkan, dan disepelekannya. 2.1.2
Paham dan Perilaku Seksis dalam Berbahasa Nababan (2004) melakukan penelitian mengenai wujud paham seksis dengan
judul Paham dan Perilaku Seksis dalam Berbahasa.
Aspek yang diteliti dalam
penelitian ini adalah aspek kata generik yang seksis, dan paham atau perilaku seksis dalam berbahasa. Teori yang diterapkan adalah teori seksisme yang dipelopori oleh Cameron (1994), Vetterling-Braggin (1982), dan Persing (1978). Untuk menunjang penelitian ini, data yang diambil adalah data tulis yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku pelajaran bahasa Inggris SMP dan SMA, dan bahasa lisan dalam komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Adapun hasil analisis atau temuannya adalah sebagai berikut: Kata generik man merujuk pada manusia pada umumnya, dan oleh karena itu, kata gantinya seharusnya he atau she. Sebaliknya kata man dalam “A man was arrested yesterday. He was accused of stealing money from the bank”, bukan kata generik. Oleh sebab itu, penggunaan kata ganti he yang merujuk pada kata man, bukanlah kata seksis. Demikian pula, “The women were talkative”, bukan kalimat seksis karena the women yang dimaksudkan adalah wanita tertentu. Sebaliknya “women are talkative” adalah kalimat yang seksis karena kata women dalam kalimat tersebut merujuk pada perempuan pada umumnya. Padahal tidak semua wanita mempunyai sifat seperti itu.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3
Penggambaran Perempuan dalam Terjemahan Bo li dalam penelitiannya yang berjudul The Images of Women in Translation
in Hong Kong Chinese Newspapers in the Early Twentieth Century: A Case Study of The Chinese Translation of the Brotherhood of the Seven Kings Yousuowei Bao (1905-1906) berusaha menggali paradoks kesalahan penerjemahan dan interpretasi pada terjemahan antarbudaya. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk menuliskan kembali gambaran perempuan dalam cerita detektif Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Cina dan mengetahui alasan sosial yang melatarbelakanginya. Surat kabar harian Yousuowei Bao diprakarsai oleh seorang pria bernama Zheng Guangong di Hong Kong pada tahun 1905 dan mendapatkan perhatian sangat besar dari para peneliti karena peranannya dalam proses revolusi dinasti Qing. Surat kabar tersebut terbagi atas dua bagian yaitu, bagian berita dan tulisan-tulisan humor. Hasil yang ditemukan adalah adanya penganiayaan terhadap gambaran wanita yang muncul akibat manipulasi sistematis dalam proses penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah. Li menggambarkan penganiayaan tersebut dalam empat garis besar yaitu: being laid off, being silenced, being favorably called upon, dan being incognitoed. 2.1.4
Studi Jender dalam Penerjemahan Sastriyani dengan judul penelitian Studi Jender dalam Komik-Komik Prancis
Terjemahan mencoba mengidentifikasikan relasi antara laki-laki dan perempuan
Universitas Sumatera Utara
dalam komik-komik Prancis yang cenderung menempatkan perempuan rendah serta mengungkap bias-bias jender dalam komik-komik Prancis terjemahan. Tokoh laki-laki dan perempuan yang muncul dibedakan dari sifat, aktivitas, dan perannya. Sifat-sifat yang diberikan kepada laki-laki dalam komik tersebut adalah cekatan dan kuat, sedangkan perempuan cenderung memiliki sifat bawel, cerewet, dan genit. Peran publik yang digambarkan dalam komik-komik terjemahan dari Prancis cenderung stereotip, bahkan bias jender, yang mana laki-laki lebih mendominasi dibandingkan perempuan. Pengkajian penelitian tersebut dilakukan dengan metode analisis isi berdasarkan sepuluh sampel populasi komik Prancis terjemahan. Lebih lanjut, penulis menggunakan tolak ukur stereotip peran jender dan ketidakadilan jender dalam komik-komik Prancis.
2.2
Konsep Konsep adalah sendi utama yang mendasari keseluruhan pemikiran dan
merupakan entitas mental yang bersifat universal dan merujuk pada kategori, kejadian atau hubungan. Pemaparan konsep diperlukan untuk memberikan pemahaman makna yang sama antara peneliti dan pembaca. 2.2.1
Jender Pembedaan jender dan seks pertama dikemukakan oleh seksiologis, John
Money pada tahun 1965. Menurutnya seks lebih berkaitan dengan aspek biologis, sedangkan jender sebagai peran (www.wikipedia.org/wiki/gender). Namun saat itu
Universitas Sumatera Utara
pendapat Money tidak begitu dikenal luas, baru sekitar tahun 1968 seorang psikoanalis sastra, Robert Stoller, merincikan tiga komponen pembentuk identitas jender: “Stoller identifies three components in the formation of the core gender identity: biological and hormonal influences, sex assignment of birth, and environmental and psychological influences with effects similar to imprinting”. (www.enotes.com) Jender dan kaitannya dengan ilmu sosial budaya dikembangkan pertama kali oleh Ann Oakley pada tahun 1972 yang mengartikan jender sebagai perbedaan yang bukan bersifat biologis melainkan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial atau diciptakan oleh manusia melalui proses kultural yang panjang (dalam Fakih, 2004: 72). Sejalan dengan Oakley, Basow juga mendefinisikan jender sebagai hasil konstruksi sosial. “Gender is constructed by people, not by biology, and this construction is shaped by historical, cultural, and psychological processes”. (1992: 3) Karena jender merupakan bentukan manusia, maka tidak bersifat kodrati dan dapat berubah menurut waktu dan budaya tempat jender tersebut tumbuh dan berkembang. Akan tetapi masih banyak yang memahami jender secara keliru, dan mengganggapnya sebagai kodrat yang harus dijalani oleh perempuan dan laki-laki. Misalnya saja dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga seperti mengasuh dan mendidik anak, memasak serta membersihkan rumah dianggap menjadi kodrat perempuan, sebaliknya kodrat lelaki adalah mencari nafkah di luar rumah.
Universitas Sumatera Utara
Pembedaan peran menurut jender tersebut akan berakibat ketidakadilan jender yang menurut Fakih menyebabkan terjadinya marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan, subordinasi pada salah satu jenis kelamin yang umumnya adalah kaum perempuan, pelabelan negatif (stereotip) terhadap jenis kelamin tertentu yang memicu diskriminasi ketidakadilan lainnya, kekerasan terhadap perempuan, dan kaum perempuan cenderung mendapat beban kerja domestik yang lebih banyak dan lebih lama dari lelaki (2004:72-75). 2.2.2
Seksisme Salah satu aspek hubungan sosial yang penting di dalam masyarakat adalah
pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Jika bahasa merupakan seperangkat konvensi yang mampu merefleksikan hubungan-hubungan sosial, maka diferensiasi jender tersebut akan tercermin juga di dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena bahasa memuat istilah, konsep, ataupun label yang menandai tingkah laku mana yang pantas bagi laki-laki dan mana yang pantas bagi perempuan (Budiman dalam Susanto, 1992: 73) Untuk menunjang pengertian seksisme, berikut dipaparkan beberapa penjelasannya: 1. Seksisme merupakan suatu paham atau sistem kepercayaan yang mempercayai adanya fenomena yang masih menganggap jenis kelamin tertentu (laki-laki) lebih unggul dari jenis kelamin lainnya (perempuan). Hal tersebut terlihat dari bentuk bahasa yang dipakai oleh laki-laki dalam berkomunikasi atau dari monolog seorang laki-laki tentang perempuan, mengandaikan perempuan dengan binatang
Universitas Sumatera Utara
yang jelek atau dengan benda-benda yang secara pragmatis dan metaforis mengandung nilai-nilai negatif tentang perempuan (Cobuild English Dictionary, 1997: 1512). 2. Seksisme tidak hanya terbatas pada paham tetapi juga pada praktek-praktek yang meneguhkan dominasi dan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu, yaitu kaum laki-laki terhadap kaum perempuan atau bisa juga kaum perempuan sendiri yang melakukannya terhadap kaumnya sendiri atau sesamanya (Cameron dalam Nababan, 2004:156). 3. Seksisme memandang bahwa ketidaksetaraan kaum laki-laki dan perempuan tidak saja terjadi dalam berbagai aktivitas kehidupan, namun juga terlihat melalui bahasa baik secara verbal maupun nonverbal (Persing dalam Nababan, 2004: 156). Seksisme dalam berbahasa menjadi instrumen yang merekam asumsi-asumsi yang diyakini oleh masyarakatnya mengenai bagaimana seharusnya seorang laki-laki atau perempuan memandang, bertindak dan berpikir.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3
Hermeneutika Gadamer Secara umum, dunia hermeneutika berkaitan dengan penafsiran atau
pemahaman akan sesuatu. Penafsiran tersebut tidak bisa terlepas dari teks. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa bahasa, teks, dan hermeneutika adalah satu kesatuan. Bleicher memaparkan bahwa tugas utama hermeneutika adalah memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks dan sebagainya serta menemukan instruksiinstruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis (2003: 5). Dalam pandangan klasik, hermeneutika mengingatkan pada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu bahwa kata-kata yang diucapkan oleh individu adalah simbol dari pengalaman mentalnya, dan katakata yang ditulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan itu 1. Banyak tokoh yang memberikan sumbangan terhadap perkembangan hermeneutika,
salah
satunya
adalah
Hans-Gadamer.
Hermeneutika
yang
dikembangkan oleh Gadamer yaitu tidak memberikan pemahaman makna yang selalu seiring sejalan sesuai yang dimaksudkan oleh pengarang. Menurutnya makna suatu teks akan tetap terbuka dan tidak terbatas. Karenanya, interpretasi atau pemahaman tidak bersifat reproduktif melainkan produktif. Jika dikaitkan dengan dunia penerjemahan maka seorang penerjemah tidak akan bisa melepaskan diri dari situasi historis tempat dia berada. Artinya suatu teks tidak terbatas pada masa teks tersebut ditulis, tetapi memiliki keterbukaan makna
1
Metode Penelitian Kualitatif dan Hermeneutika. (http://skripsimahasiswa.blogspot.com/2011/06/metodologi-penelitian-kualitatif-dan.html)
Universitas Sumatera Utara
untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, pekerjaan menerjemahkan atau menginterpretasi adalah proses yang tak pernah selesai atau berkelanjutan. Menurut Hardiman (dalam Hidayat, 2010) makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi siapapun yang membacanya, sehingga proses penafsiran adalah proses kreatif. Dalam pandangan Gadamer proses pemahaman merupakan peristiwa historis, dialektika dan linguistik (Bleicher, 2003: 157-167). Historis yang dimaksud berkaitan dengan teks dan memiliki tiga kerangka waktu yang mengitarinya yaitu masa lampau tempat teks tersebut lahir dan dipublikasikan, masa kini yang meliputi prasangka penafsir, dan masa depan yang menjadi nuansa baru teks (Hidayat, 2010). Bagi Gadamer penting untuk memasukkan unsur prasangka dalam memahami atau menafsirkan teks. Yang perlu digarisbawahi adalah bukan untuk menjadikan proses pemahaman menjadi subjektif dan tidak kritis. Sehingga perlu adanya pembedaan antara prasangka yang rasional dan yang tidak, serta antara prasangka yang sah dan prasangka yang tidak sah. Selain itu, perlu mengakui keterlibatan tradisi yang akan membantu proses pemahaman. Sementara itu dialektika mengacu pada tugas utama penafsir adalah memahami pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam sebuah teks. Dalam menghadapi pertanyaan yang diajukan teks tersebut, penafsir harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dirinya sendiri sehingga kemungkinankemungkinan makna yang lain akan terbuka (Bleicher, 2003: 167). Dengan kata lain, dialektika mencoba mengeluarkan teks dari alienansinya dan mengembalikannya ke
Universitas Sumatera Utara
kehidupan penafsir di masa kini. Linguistik menurut Gadamer mengandung pengertian bahwa elemen bahasa memiliki peranan sangat penting dalam proses penafsiran karena bahasa merupakan media penghubung antara konteks historis dan masa kini. Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti yang memposisikan diri sebagai penafsir berangkat dari prasangka akan adanya perbedaan visualisasi perempuan dalam teks. Untuk menemukan jawaban atas prasangka tersebut, maka perlu adanya pemahaman mengenai konteks historis yang akan didapat dengan mengaitkan produk terjemahan dengan budaya Jawa yang merupakan budaya asal penerjemah. 2.2.4
Perempuan dalam Budaya Jawa Setiap masyarakat menciptakan dan mengembangkan kebudayaan sebagai
tuntunan yang memandu kehidupan, sesuai dengan lingkungan sosial dan fisik di wilayahnya
masing-masing.
Budaya
sebagai
tuntunan
kehidupan
tersebut
dimanifestasikan pada aspek-aspek kehidupan sebagai perwujudan dari kesamaan budaya maupun identitas yang dimiliki sebagai bagian dari anggota masyarakat tersebut. Sebagai suku bangsa terbesar di Indonesia suku Jawa tersebar di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah menghasilkan budaya Jawa. Menurut Susanto (1992) budaya Jawa sangat mengutamakan keseimbangan, keselarasan, keserasian, semua unsur hidup dan mati harus harmonis, saling berdampingan dan mencari kecocokan oleh sebab itu keluarga Jawa juga mengutamakan keselarasan yang harmonis tanpa adanya gejolak maupun konflik antar anggota keluarga di dalamnya.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga Jawa mendidik anak perempuan sejak kecil untuk menjadi ibu dan istri yang berbakti pada suami. Untuk itu anak perempuan banyak dibekali pengetahuan-pengetahuan praktis untuk mengurus rumah tangga sedangkan anak laki-laki dipersiapkan untuk bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-anaknya. Secara tradisional, aktivitas di dapur, seperti memasak dan aktivitas lain yang terkait dengan itu dalam masyarakat Jawa dipandang sebagai pekerjaan perempuan (Hersri dalam Suyanto, 2010). Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa hidup istilah gawean wong wedok iku macak, masak, lan manak ‘pekerjaan perempuan adalah ‘berdandan, memasak, beranak’. Istilah lain terkait pekerjaan perempuan adalah gawean wong wedok: isah-isah, umbah-umbah, lan lumah-lumah ‘pekerjaan perempuan: mencuci piring, gelas, peralatan dapur lain, mencuci pakaian, terlentang (melayani seksual laki-laki, suami). Secara tegas dalam masyarakat Jawa dikatakan bahwa wilayah kerja perempuan adalah dapur, sumur, kasur. Dengan demikian pekerjaan terkait wilayah tersebut adalah memasak, mencuci (piring, gelas, peralatan dapur lain), mencuci (pakaian), dan merapikan kamar tidur serta melayani seksual laki-laki. Oleh karena itu, Hersri manganalogikan dengan ungkapan sarkatis bahwa perempuan ibarat awan teklek bengi lemek‘ siang menjadi sandal (artinya pesuruh dan sejenisnya) dan ketika malam menjadi alas tidur (pelayan seksual) suami (dalam Suyanto, 2010). Kultur Jawa juga dikenal dengan kultur yang memiliki sifat momot (memuat). Sifat ini menjadikan kultur Jawa tak hanya menjadi ideologi bagi masyarakatnya tapi juga selalu bertahan dari penetrasi luar karena selalu mampu mengintegrasikan hal-
Universitas Sumatera Utara
hal yang bertentangan maupun hal-hal baru. Berfungsinya kultur jawa sebagai ideologi akan selalu memunculkan kepentingan untuk mempertahankan sistem kultur yang sudah ada apabila terjadi penetrasi dari luar (Handayani & Novianto, 2004). Hal ini menyebabkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Jawa masih banyak dipegang dan dijadikan pedoman hidup bagi orang tua pada keluarga Jawa dalam memandang dan menempatkan perempuan. Meskipun sampai saat ini budaya Jawa masih cukup kuat bertahan, namun pernah satu masa mengalami masa kritis. Defeodalisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda menyebabkan banyaknya unsur-unsur peradaban Barat yang masuk ke wilayah kerajaan di Jawa. Norma-norma dan nilai-nilai tradisional bergeser dan mengalami erosi. Krisis ini mendorong pujangga-pujangga istana untuk membantu mengatasi krisis dengan menulis serat-serat (kitab-kitab) yang berisi pendidikan moral tradisional Jawa, bahkan Sunan Pakubuwono IV dan Pangeran Mangkunegara IV juga ikut serta dalam penulisan. Serat-serat tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan hidup dengan tujuan melestarikan norma dan nilai tradisional Jawa dan dapat mengangkat kembali harkat dan martabat kerajaan. Salah satu pedoman yang digunakan kaum perempuan Jawa dalam kehidupan adalah Serat Candrarini yang awalnya hanya ditujukan untuk perempuan yang berasal dari keluarga ningrat. Serat Candrarini terdiri atas dua jenis yang dibedakan dari sisi penulisnya,
yaitu
Serat
Candarini
Mangkunegaran
dan
Serat
Candrarini
Ranggawarsitan. Serat Candrarini yang digunakan dalam penulisan tesis ini ditulis oleh Ranggawarsita pada tahun 1863 atas perintah Sri Sunan Pakubuwono IX dari
Universitas Sumatera Utara
Surakarta yang terdiri atas Pupuh Sinom, Pupuh Dhandhanggula, Pupuh Mijil, dan Pupuh Kinanthi. Serat tersebut adalah tuntuan perilaku bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga poligami. Saat itu feodalisme masih berjaya dan praktik poligami menjadi lumrah. Dari penguasa tertinggi hingga rakyat jelata melakukan poligami. Namun dalam perkembangannya, serat ini menjadi penuntun perilaku perempuan dari berbagai kalangan. Serat tersebut menegaskan posisi perempuan yang menjadi subordinat laki-laki dan melekat pada perempuan secara umum, bahkan hingga kini. 2.2.5
Pelibat Makna pelibat dapat dikatakan sangat erat kaitannya dengan konsep linguistik
karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pelibat tidak ditemukan. Beberapa kata yang terikat dengan kata dasar libat adalah berlibat, berlibat-libat, melibat, melibatkan, terlibat, keterlibatan, dan pelibatan. Menurut konteks situasi menurut Halliday (dalam Sinar, 2010: 58) adalah variabel kontekstual yang mengkarakterisasikan fungsi ekstrinsik konteks situasi dan berhubungan dengan siapa yang berperan, kondisi alami pelibat, status dan peranan mereka: hubungan peranan apa yang ditemukan, termasuk hubungan permanen atau sementara antara satu dengan yang lain. Seluruh jenis ucapan yang mereka lakukan dalam dialog dan ikatan hubungan sosial signifikan yang melibatkan mereka. Meskipun penggunaan istilah pelibat identik dengan konsep konteks situasi, namun pelibat yang dimaksudkan dalam penelitian ini sebatas menunjuk pada orang atau pelaku yang dicantumkan dalam novel Resurrection dan Kebangkitan tanpa
Universitas Sumatera Utara
mengkaitkan dengan konteks situasi secara penuh seperti yang dipaparkan oleh Halliday.
2.3
Landasan Teori Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bab ini akan menjelaskan
mengenai teori yang digunakan dalam penelitian. Kolaborasi dari teori dalam bidang bahasa dan jender yang tentunya masih dalam perspektif bahasa akan digunakan demi menjadikan penelitian ini benar-benar objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. 2.3.1
Teori Gain and Loss in Translation Kajian terjemahan merupakan kajian yang berkaitan dengan banyak disiplin
ilmu, seperti yang dikemukakan oleh Munday: “Translation studies is the new academic discipline related to the study of the theory and phenomena of translation. By its nature it is multilingual and also interdisciplinary, encompassing languages, linguistics, communication studies, philosophy and a range of types of cultural studies”. (2001: 1) Pendekatan dari bidang linguistik terhadap teori-teori terjemahan yang berfokus pada makna, kesepadanan dan pergeseran muncul sekitar 50 tahun yang lalu. Sebelumnya praktek-praktek penerjemahan seperti penerjemahan kitab suci memang sudah berlangsung lebih dari seribu tahun yang lalu, namun belum menjadikan praktek tersebut sebagai sebuah kajian ilmu. Beberapa ahli linguistik yang ikut memberi sumbangsih pada dunia penerjemahan adalah Roman Jakobson, Newmark, Koller, Jean-Paul Vinay, Jean Darbelnet, Catford, Leuven-Zwart dan Eugene Jacques Nida.
Universitas Sumatera Utara
Roman Jakobson yang dikenal sebagai salah satu tokoh formalisme, yaitu paham yang menganggap seni sebagai sebuah aktivitas manusia yang otonom, permanen, mandiri dan sinambung yang tidak memerlukan hal-hal lain di luar dirinya (Hasanudin, 2006: 30), melihat penerjemahan dengan pendekatan sifat makna linguistik dan padanan kata, serta membagi terjemahan ke dalam tiga kelompok yaitu intralingual, interlingual, dan intersemiotik. Newmark membagi terjemahan menjadi terjemahan semantik dan komunikatif. Sedangkan Vinay dan Dalbernet memandang terjemahan dari pendekatan kontrastif yang menghubungkan faktor sosial budaya dan pragmatik (Munday, 2001: 9). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan menurut Nida. Menurutnya (1964:12) penerjemahan merupakan upaya mereproduksi bahasa sasaran yang sepadan dengan bahasa sumber, yang dilihat dari segi makna dan gaya.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 2.1 Proses Penerjemahan Nida (1982: 33) Source Language Text
Target Language Translation
Analysis
Restructuring
Transfer
Inti proses pengalihan makna dari BSu ke BSa seperti yang terlihat pada bagan di atas menurut Nida ada pada makna bukan pada bentuk. Menurutnya, penerjemahan berdasarkan bentuk akan menghasilkan terjemahan yang mengandung fitur-fitur bentuk teks sumber. Terjemahan semacam ini menimbulkan distorsi pada pola gramatikal dan gaya bahasa sasaran sehingga menimbulkan distorsi makna. Untuk menghindari banyaknya penyimpangan makna maka seorang penerjemah wajib memahami dan menguasai baik BSu maupun BSa, bukan hanya dari sisi kebahasaan seperti morfologi, sintaksis, atau semantik tapi juga dari sisi budaya. Penerjemahan antarbahasa tak jarang memunculkan masalah berkaitan dengan pencapaian derajat persetaraan (correspondence) dan perpadanan (equivalence). Persetaraan dirujukkan kepada aspek bentuk bahasa, sedangkan perpadanan dirujukkan kepada realisasi makna yang terkandung dalam bentuk bahasa. Salah satu teknik yang diterapkan Nida untuk mendapatkan kesepadanan makna antara bahasa sumber dan bahasa sasaran adalah dengan melakukan penambahan atau pengurangan dalam terjemahan (Gain and Loss in Translation).
Universitas Sumatera Utara
Penambahan yang dimaksud adalah penambahan informasi dalam terjemahan dengan tujuan-tujuan tertentu, misalnya adanya ketaksaan atau keambiguan dalam bahasa sasaran yang apabila tidak diberikan penjelasan akan disalahartikan oleh pembaca (1964: 227). Sebagai contoh, kata men dalam kajian Tannen adalah pejuang pria namun diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai ‘para pria’. Alasannya adalah bahwa kata men tidak merepresentasikan pria secara umum melainkan pria Amerika tertentu yang menjadi fokus dari kajian Tannen. Sangat dianjurkan bagi penerjemah untuk menambahkan kata Amerika pada terjemahan Indonesia demi menghindari kesalahan interpretasi dari pembaca yang berasal dari Indonesia (Nababan, 2003). Penambahan informasi juga diperlukan mengingat pergeseran bentuk dan perubahan kelas kata untuk menghindari misinterpretasi (Nida dalam Nababan: 2). Sebagai contoh, kata cut dalam kalimat I cut my finger adalah bentuk kalimat aktif. Namun apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kelas kata harus diubah menjadi pasif yaitu ‘tersayat’ (was cut) dan diberikan penambahan yaitu kata ‘pisau’: ‘jari saya tersayat pisau’, sehingga dapat dipahami bahwa kejadian dalam kalimat di atas adalah sebuah kecelakaan atau ketidaksengajaan. Di sisi lain, dalam penerjemahan, pengurangan juga terkadang diperlukan untuk menghindari pemborosan dan keganjilan (Nida, 1964: 228). Teknik ini sering digunakan apabila bahasa sumber cenderung berlebihan. Sebagai contoh, konsep jamak dalam bahasa Inggris terbentuk secara morfologi (child/children, mouse/mice) dan fonologi (book/books, box/boxes, pen/pens). Namun dalam situasi tertentu, kata
Universitas Sumatera Utara
benda jamak didahului oleh penentu yang juga sudah menunjukkan jamak (some books, three pens). Untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ekspresi ‘ganda’ semacam ini harus dihilangkan. Lazimnya, konsep jamak dalam bahasa Indonesia terbentuk secara leksikal yang tersusun dari kata ulang benda bersangkutan ‘buku-buku’ (book-book) ata dengan menambahkan kata tunjuk yang mengacu pada ukuran seperti ’beberapa’ (some) atau ‘tiga’ (three) (Nababan, 2003). Teknik lain yang digagas oleh Nida adalah analisis struktur semantik yang dimaksudkan sebagai cara untuk mejelaskan ambiguitas, menghindarkan bagianbagian yang tak jelas dan mengidentifikasi perbedaan-perbedaan budaya (dalam Setia, 2007:3). Berkenaan dengan padanan, Nida memberikan dua orientasi dasar atau tipe padanan, yaitu (1) padanan formal, dan (2) padanan dinamis (1964: 159). Padanan formal memfokuskan perhatiannya pada pesan itu sendiri, baik bentuk maupun isi pesan dalam bahasa penerima harus mencocokkan sedekat mungkin unsur-unsur yang berbeda dalam bahasa sasaran dan diorientasikan pada struktur TSa, yang menggunakan pengaruh kuat dalam menentukan akurasi dan kebenaran. Padanan dinamis berdasarkan pada prinsip pengaruh padanan yang hubungan antara penerima dan pesan secara substansi sama seperti yang ada antara penerima aslinya dengan pesan bahasa sumber dan bertujuan mencari padanan alami yang paling mendekati pesan bahasa sasaran.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2
Teori Bahasa dan Jender Paradigma dalam perilaku sosial seksis dinamakan jender. Memahami
persoalan jender bukanlah sebuah perkara mudah, karena memerlukan berbagai kajian yang memberikan pemahaman akan jender secara menyeluruh. Kajian-kajian ini biasanya berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial yang akhirnya mendorong munculnya berbagai teori sosial yang merupakan awal dari teori-teori jender atau sering juga disebut dengan teori feminisme. Sebelum melangkah lebih jauh membahas teori antara bahasa dan jender, perlu adanya kesepahaman mengenai perbedaan jender dan feminisme. Kedua hal ini tersebut jelas sangat berbeda namun saling berkaitan. Nancy F. Catt (dalam Nunuk, 2004.a: xxvii) mengungkapkan bahwa pengertian feminisme mengandung 3 komponen yaitu: a) Suatu keyakinan bahwa tidak ada perbedaan yang berdasarkan seks (sex equality), yakni menentang adanya posisi hierarkis antara jenis kelamin. Persamaan hak terletak pada kuantitas dan kualitas. Posisi relasi hierarkis menghasilkan superior dan inferior. b) Suatu pengakuan bahwa dalam masyarakat telah terjadi kontruksi sosial yang merugikan perempuan. c) Feminisme menggugat perbedaan yang mencampuradukkan seks dan jender sehingga perempuan dijadikan sebagai kelompok tersendiri dalam masyarakat. Feminisme pada dasarnya memiliki relasi erat dengan jender sebagai fenomena budaya yang memiliki peran perempuan (Abdullah, 1997: 186-187).
Universitas Sumatera Utara
Gerakan feminis secara leksikal, berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Menurut Eckert and McConnel-Ginet (dalam Sinar, 2004: 3), kajian mengenai bahasa jender secara khusus mengasumsikan dua hal pokok yaitu asumsi tentang adanya bahasa seksis dan adanya metodologi pengkajian jender. Bahasa perempuan misalnya lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, dan solidaritas, sedangkan bahasa laki-laki sebagai bandingannya terikat pada hal ketangguhan, persaingan, kemampuan hierarki dan sejenisnya. Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan yang muncul antara TSu (Resurrection) yang merupakan hasil tulisan dari novelis perempuan dan TSa (Kebangkitan) yang merupakan produk terjemahan dari penerjemah pria maka perlu menggunakan teori bahasa dan jender sebagai parameternya. Teori bahasa dan jender yang digunakan mengacu pada apa yang dikemukakan oleh Lakoff dalam Language and Woman’s Place. Teori Lakoff yang mencuat pada tahun 1975 merupakan bagian dari gelombang I linguistik feminis dan bisa dikatakan sebagai pelopor dari kajian yang memusatkan pada bahasa dan jender. Lakoff mengklasifikasikan bahasa-bahasa yang cenderung lebih sering digunakan oleh jender tertentu (perempuan) dibandingkan jender lainnya (lelaki). Menurutnya, bahasa yang digunakan oleh jender perempuan adalah sebagai berikut: a. Sangat memperhatikan sopan santun dalam berbahasa b. Sering menggunakan bahasa yang standar
Universitas Sumatera Utara
c. Menghindari pemakaian kata-kata yang kasar d. Banyak menggunakan question tags e. Sering menggunakan intonasi yang meninggi f. Banyak menggunakan kata sifat yang tanpa makna g. Senang menggunakan istilah warna (Lakoff, 2004: 43-75) Sebaliknya, bahasa yang digunakan kaum pria cenderung tepat pada sasaran atau tidak bertele-tele, berterus terang, intonasi datar, dan murni kognitif atau tidak menampilkan warna atas emosi mereka.
Universitas Sumatera Utara