BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 1.1 Kajian Pustaka Penulisan ilmiah terlebih sebuah penelitian perlu di dukung oleh kajian kepustakaan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh para ahli telah membicarakan objek yang dianalisis, sekaligus sebagai tanggung jawab moral terhadap peneliti yang terdahulu. Penelitian terhadap Babad Buleleng dari segi struktur dan semiotika dalam bentuk proposal sepanjang pengamatan penulis belum pernah dilakukan, maka untuk menambah pengetahuan dan menguatkan hasil penelitian, penelitian ini akan mengacu pada penelitian atau tulisan sebelumnya. Tulisan-tulisan tersebut sangat bermanfaat dan membantu dalam memberikan gambaran yang berhubungan dengan masalah struktur dan semiotik pada karya sastra babad dalam kehidupan masyarakat Bali. Adapun beberapa tulisan atau penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Sudira (1994) dalam skripsinya yang berjudul “ Perunutan Geguritan Panji Sakti Wijaya dengan Babad Buleleng”. Dalam penelitian ini mengkaji mengenai geguritan Panji Sakti Wijaya yang kemudian ditransformasi (saduran) ke dalam babad Buleleng. Jadi penelitian yang dilakukan lebih menekankan pada struktur dalam geguritan Panji Sakti Wijaya tersebut yang kemudian dibandingkan dari segi alur cerita dengan isi dari teks Babad Buleleng tersebut yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan versi cerita dari kedua karya sastra tersebut. Sedangkan dalam penelitian “Wacana Sakti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti
dalam Babad Buleleng” ini lebih menekankan pada segi struktur susastra babad yang terdapat dalam teks Babad buleleng dan peneliti juga mengkaji tentang semiotik yakni menafsirkan makna melalui simbolsimbol sakti yang dimiliki oleh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. 2) Septiani (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Kesetiaan dan Cinta Kasih Dalam Geguritan Luh Raras Analisis Semiotik”. Dalam penelitian ini maupun yang peneliti lakukan terdapat persamaan dalam hal pengkajiannya yakni segi semiotik, namun dalam objek sasaran yang diteliti berbeda. Dalam penelitian ini juga digubah struktur yang ada dalam geguritan Luh Raras. Namun perbedaannya sendiri terletak pada karya sastra yang digunakan sebagai objek kajian yang akan diteliti. Peneliti meneliti karya sastra Babad namun saudari Ni Kadek Septiani ini meneliti tentang karya sastra geguritan. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis terbantu dengan pengkajian dari segi semiotiknya. 3) Candrika (2012) dalam skripinya yang berjudul “Siwa Tatwa Dalam Babad Nusa Penida Analisis Semiotik”. Dalam penelitian ini mengkaji tentang Babad Nusa Penida yang menggubah struktur babad yang ada di dalamnya. Selain itu pula penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tafsir simbolik terhadap Siwa Tatwa yang menyebabkan timbulnya maknamakna sebagai filsafat siwa. Sedangkan penelitian Babad Buleleng memiliki persamaan yakni untuk merebut makna yang ada dari dalam teks yang ditafsirkan melalui simbol-simbol. Tafsir simboliknya yang dimaksudkan dari kedua penelitian ini memiliki perbedaan yakni dari segi Siwa tatwa dan pada penelitian Babad Buleleng dari segi Saktinya.
Berdasarkan penjelasan dari Candrika mengenai kajian semiotik ini, penulis juga merasa terbantu dalam menganalisis Babad Buleleng karena untuk mengetahui makna yang terkandung melalui tanda dan simbol yang ditimbulkannya dengan menggunakan tafsir simbolik. 4) Coryna (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Kelestarian Alam Cerita
Lipi
Selan
Bukit
Pada
Masyarakat
Adat
Tenganan
Pegeringsingan” menyajikan tentang penelitian cerita prosa rakyat yang disajikan dengan kajian bentuk, fungsi dan makna. Kajian bentuk meliputi: prosa, ragam bahasa, gaya bahasa. Bentuk satuan naratif terdiri dari alur, insiden, latar, tema dan tokoh. Fungsi dan Makna pun dijelaskan dengan mendetail. Sedangkan pada penelitian tentang “Wacana Sakti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam Babad Buleleng” objek yang diteliti adalah babad. Bentuk kajiannya meliputi struktur dan semiotik. Struktur yang digubah adalah struktur pada babad, selain itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tafsir simbolik terhadap sakti yang dimiliki oleh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang menyebabkan timbulnya makna-makna di dalamnya. Berdasarkan penjelasan Coryna, penulis sangat terbantu dengan kajian semiotik dan wacana yang dipaparkan dalam objek kajian yang mengacu terhadap prosa rakyat sedangkan penulis tentang babad. Dengan demikian, jika di simak referensi di atas tampak menekankan pada usaha untuk menggali, melestarikan, dan mengangkat kembali teks karya-karya sastra tradisional yang semakin lama mulai ditinggalkan peminatnya. Tulisan dan penelitian di atas dapat membantu memberikan
inspirasi terhadap penelitian
Babad Buleleng. Dengan diperkenalkan kembali karya sastra di atas termasuk
Babad Buleleng, maka diharapkan masyarakat tidak mengadopsi begitu saja isinya tanpa melewati suatu proses kritik namun melalui kesadaran kritis. 2.2 Konsep Budiono (2005 : 284) dalam "Kamus Bahasa Indonesia" mengartikan konsep adalah rancangan. Konsep atau konseptualisasi merupakan unsur pokok dalam suatu penelitian. Konsep dapat didefinisikan sebagai abstraksi dari sekelompok fakta atau gejala dalam bentuk ide-ide atau gagasan mental. Adapun konsep yang akan diuraikan dalam penelitian ini yaitu konsep babad, Babad Buleleng, wacana, sakti, dan simbolik. Uraian ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan terhadap konsep dasar yang diterapkan dalam penelitian ini, sebagai bingkai pemikiran di dalam penyelesaian pada tahap analisis. 2.2.1
Konsep Babad Babad bukanlah barang baru bagi para sarjana, karena babad sudah lama
mendapat perhatian yaitu mulai abad XIX hingga sekarang. Walaupun demikian, sampai sekarang pun belum ada kesatuan pendapat mengenai asal-usul kata babad atau belum dimiliki batasan babad secara pasti. Menurut Kamus Besar BaliIndonesia ada dua pengertian babad tersebut, yaitu (1) babad berarti selaput rongga perut dalam hewan, dan (2) babad berarti merabas, tebas, pangkas, rambah. Babad sebagai karya sastra sejarah ditulis oleh seorang pujangga yang disebut pratisentana, turunan masing-masing klen. Adapun tujuannya untuk memuliakan leluhur suci yang dipujanya dan dibanggakan yang diangkat dalam cerita itu (Suarka, 1989 : 9). Menurut Suarka (1989 : 10) tradisi penulisan babad oleh seorang anggota warga dengan berbagai tujuan adalah memberikan semacam
peluang bagi si penulis dalam menyelipkan imajinasi, tafsiran fakta, alam pikiran, kepercayaan serta unsur-unsur fiktif yang senantiasa dihubungkan dengan ketinggian derajat leluhurnya. Babad memiliki ciri yang berbeda dari karya sastra yang lain, yaitu : (1) berisikan riwayat keturunan (genealogi), (2) disajikan dengan mengaitkannya pada mitos dan legenda (mitologis dan legendaries), (3) babad di Bali ceritanya sekemudian mengacu pada peranan seorang raja atau pemimpin sebagai penguasa sehingga sifatnya rajasentris, (4) lingkungan tempat tinggal penulis biasanya di puri atau kraton (kraton sentries), (5) selalu dikaitkan dengan hal-hal yang mistik dan religious (mistik-religius) (Sidemen, 2009 : 60 dalam Candrika, 2012: 17) Babad sebagai karya sejarah, adalah babon dari sejarah. Babad sebagai karya sejarah, maksudnya adalah babad memiliki nilai (sejarah) dan sifat (sastra). Apabila dilihat nilai sastra yang terkandung di dalamnya, terdapat unsur keindahan (estetika) dan sifat sastranya adalah imajinatif. Apabila dilihat dari nilai sejarahnya, terdapat unsur sejarah dengan sifatnya yang faktual. Oleh karena itu, babad dikatakan sebagai karya sastra sejarah yang saling melengkapi. Babad sebagai karya sastra sejarah ditulis oleh seorang pujangga yang sebagian besar merupakan keturunannya. Adapun tujuannya untuk memuliakan leluhur suci yang dipujanya dan dibanggakan, serta diangkat dalam teks tersebut. Tradisi penulisan babad untuk Si-penulis dalam menyelipkan imajinasi, tafsiran fakta, alam pikiran, kepercayaan serta unsur-unsur fiktif yang senantiasa dihubungkan dengan ketinggian derajat leluhurnya (Putra, 2012: 1 dalam Candrika, 2012; 18). Babad pada umumnya tergolong jenis sastra prosa, karena itu pada sebuah babad akan didapatkan unsur-unsur yang membangun karya tersebut yang
didalam pengertian modern dikenal sebagai unsur-unsur cipta sastra prosa, seperti tema, insiden, alur, penokohan dan perwatakan, latar, motif, tendens, amanat, teknik cerita dan gaya. Tema babad biasanya terdiri atas pengangungan, pengeramatan, pengesahan, pengukuhan, peperangan (untuk babad jenis uwug). Sedangkan untuk konvensi sastra babad yang lebih spesifik termasuk di dalamnya unsur historis dan genealogis serta aspek fiktif. Unsur-unsur historis dan genealogis mencirikan bahwa babad tergolong karya sastra sejarah; maksudnya unsur-unsur sejarah dan genealogis itu dapat dirasakan dalam struktur isinya yang berupa pelaku pemegang peranan yang biasanya dirangkaikan dalam jalinan silsilah, maupun peristiwa-peristiwa yang diceritakan bertalian dengan pelaku tersebut atau pun gambaran alam pikiran, kehidupan kebudayaan, susunan tata pemerintahan, kebiasaan adat istiadat, dan keadaan masyarakat. Sedangkan aspek fiktifnya merupakan pola unsur sastra babad yaitu berupa unsur-unsur sastra yang mengandung mitologi dalam jalinan genealogi yang dihubung-hubungkan dengan dewa-dewa, bidadari, tokoh-tokoh wayang, nabi-nabi, resi dan diselingi legenda yang bertalian dengan pola dasar alam pikiran pokok kehidupan yang cukup lama mengandung unsur air, tanah, api dan udara. Kadangkala diperkuat lagi dengan simbolisme yang berwujud lambanglambang sinar berkelarat di angkasa yang disebut wahyu, daru, pulung atau berwujud benda-benda pusaka keramat dan kata-kata kiasan. 2.2.2
Babad Buleleng Babad Buleleng sebagai salah satu karya sastra, terbangun atas struktur
yang membentuk dan membangunnya, sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat (utuh). Pola struktur tersebut terdiri dari alur (plot), tema, dan tokoh yang
didukung oleh unsur-unsur pembangunan babad yaitu, mitologi, legenda, hagiografi, simbolis, dan sugesti sebagai suatu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Karya sastra menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan seluruhnya (Luxemburg, 1984: 38). Pada kerangka konseptual babad Buleleng awalnya akan dikupas struktur karya sastra babad. Sesuai perkembangannya, pada struktur babad Buleleng yang telah dikaji dari segi struktur akan dilanjutkan mengenai tanda yang terdapat di dalam teks dengan teori semiotik untuk penyempurnaan akan pemahaman terhadap teks. Karya sastra ini menceritakan tentang asal-usul suatu wilayah yang erat kaitannya dengan mitos serta legenda dari wilayah Den Bukit atau yang sekarang disebut Buleleng. Selain itu, terdapat tokoh sentral yang sangat berpengaruh terhadap wilayah tersebut yaitu Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Beliau merupakan seorang raja yang tangguh dalam medan peperangan sehingga beliau membentuk wilayah kekuasaan yang diberi nama salah satunya adalah Buleleng. Bentuk penyajiannya, yaitu fragmentaris, karena episode-episode yang disajikan di dalam cerita dibatasi oleh masa-masa pemerintahan para tokoh yang sedang berkuasa. Namun, tokoh-tokoh tersebut masih menjadi suatu kesatuan dalam cerita yang merupakan kesatuan silsilah atau keluarga keturunan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Pengalihan kekuasaan dari seorang ayah kepada anak atau keturunannya amat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Menurut Jonathan Culler ( melalui Atmaja, 1986: 2-3 dalam Putra, 1987: 12-13) bahwa dengan adanya sistem struktur karya sastra memberikan indikasi adanya unsur-unsur yang berhubungan secara fungsional. Pada karya sastra yang koheren minimal dituntut adanya tiga unsur, yaitu tema, alur, dan penokohan. Penjelasan lebih lanjut, ide
dasar atau tema penulisan Babad Buleleng dijelaskan melalui dua tema, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema dimaksudkan sebagai dasar penciptaan yang didahului dengan proses kreatif sehingga terwujudlah karya sastra (Goenawan, 1973: 40 dalam Putra, 1987: 31). Tema mayor pada penelitian Babad Buleleng ini dimaksudkan sebagai ide dasar dari penulisan Babad Buleleng, sedangkan tema minor adalah beberapa ide lain atau bentuk yang lain dalam rangka menguatkan dan mendukung tema mayor dari Babad Buleleng. Tema mayor atau ide dasar dari penulisan Babad Buleleng adalah memberikan pengesahan secara tertulis tentang makna suatu hal atau kausalitas suatu peristiwa (alur) yang berhubungan dengan silsilah atau golongan tertentu (tokoh). Dan tema minor adalah sebagai pengagungan, pengukuhan, dan pengeramatan. Tema-tema minor tersebut berupa kisah-kisah di seputar tokohtokoh dalam bentuk mitos, legenda, simbolisme, hagiografi, dan sugesti. Disebutkan, bahwa silsilah atau riwayat leluhur tersebut dihubungkan dengan kisah mitologi, yang bermula dari kelahiran para dewa, bidadari dan nabi-nabi besar (Putra, 1987: 40).
2.2.3
Konsep Wacana Secara etimologis wacana berasal dari vacana (Sansekerta), artinya kata-
kata, cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah, dan nasihat. Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian
kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau lisan dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai dan kategori yang termasuk di dalamnya. Wacana kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan, kadang sebagai sebuah individualitas kelompok dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari jumlah pernyataan (Eriyanto, 2001 : 2). Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai bentuk informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih kekuasaan, dan alih teknologi. Wacana juga merupakan satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau tersebar dalam hierarki gramatikal. Namun, dalam realisasinya wacana dapat berupa karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, frase, bahkan kata yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana, 1984 : 208). Menurut Tarigan (1986 : 27) wacana adalah satuan bahasa lengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana sakti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam Babad Buleleng merupakan implementasi dari tokoh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Hal ini dikarenakan tokoh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti merupakan pendiri dari Kerajaan Buleleng. Beliau adalah seorang raja yang tangguh yang tidak terkalahkan oleh siapapun, sehingga beliau mendapat julukan „sakti‟ yang diberikan oleh rakyatnya karena kesaktian yang dimilikinya. Tidak saja di Den Bukit/Buleleng, Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti sudah terkenal di berbagai daerah di Bali maupun di luar Bali. Daerah kekuasaan beliau saat menjadi seorang raja pun sangat luas. Kata sakti memiliki arti mampu (kuasa) berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam atau mempunyai kesaktian (kamus besar bahasa Indonesia, 2005 : 982). Sejak lahir Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sudah memiliki kelebihan dari dalam dirinya yakni ketika lahir dari ubun-ubun beliau mengeluarkan sinar. Hal itu dijadikan suatu pertanda bahwa nantinya beliau akan menjadi seorang calon pemimpin yang sakti serta unggul dalam peperangan. Setelah beliau dewasa, pertanda itu pun terjadi Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menjadi seorang raja yang sangat sakti dan unggul dalam peperangan. Sakti yang beliau miliki sejak lahir diperkuat juga dengan sakti yang lain yakni senjata keris Ki Semang dan tombak Ki Pangkajatatwa yang diberikan oleh ayah beliau Dalem Sagening. Senjata tersebut beliau digunakan untuk membantu rakyatnya serta merebut daerah kekuasaan musuhnya dalam peperangan. Tanda lahir dan senjata yang beliau miliki dapat dijadikan suatu simbol sakti yang dimiliki oleh seorang tokoh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Wacana Sakti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam babad Buleleng merujuk pada kata “sakti”. Sakti dalam babad Buleleng terrefleksi dari tokoh sentral dalam Babad Buleleng yaitu Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Tokoh Ki Gusti Ngurah Panji sakti sebagai pemimpin kerajaan Sukasada di Den Bukit/Buleleng dikenal sebagai sosok pemimpin rakyat yang menjadi panutan pada masanya. 2.2.4 Konsep Sakti Sakti berarti mampu (kuasa) berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam atau mempunyai kesaktian (kamus besar bahasa Indonesia, 2005 : 982). Sakti juga
memiliki arti mempunyai kuasa yang bersifat gaib (kamus besar bahasa Indonesia, 2005 : 982). Dalam Kamus Bahasa Bali-Indonesia, 1990 : 598) Sakti berarti : 1. Balian-dukun sakti; 2. Maha Kuasa; Asta- delapan kemahakuasaan Tuhan. Dalam ajaran Agama Hindu konsep sakti erat kaitannya dengan Tri Murti. Agama Hindu mengajarkan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah Tunggal. Tuhan itu hanya satu tidak ada Tuhan yang kedua. Tetapi orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama. Bukan saja banyak nama, tetapi juga banyak wujud atau manifestasi Nya. Satu di antaranya adalah bahwa Tuhan itu diwujudkan sebagai Tri Murti. Tri Murti itu merupakan tiga perwujudan utama Tuhan. Istilah lain yang disamakan artinya dengan Tri Murti adalah Tri Sakti. Menurut Kamus Jawa Kuno-Indonesia (Zoetmulder, 1997 : 683,986 dan 1274), Tri artinya tiga, Murti berarti manifestasi, bentuk, wujud atau inkarnasi, sedangkan Sakti diartikan sebagai kekuasaan, kekuatan, kemampuan atau kekuasaan agung. Dengan demikian, Tri Murti atau Tri Sakti dapat diartikan sebagai tiga manifestasi atau tiga perwujudan kekuatan, kemampuan, kekuasaan atau kesaktian yang maha besar dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ketiga wujud kemampuan, kekuatan, kekuasaan dan kesaktian Tuhan itu adalah : (1) Tuhan sebagai pencipta yang disebut Brahma; (2) Tuhan sebagai pemelihara yang disebut Wisnu; dan (3) Tuhan sebagai pelebur yang disebut Siwa.Dari ketiga perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa ini memiliki wujud saktinya masingmasing. Dengan dimilikinya kesaktian, maka Tuhan dinamakan juga Tri Sakti (Suhardana, 2008 : 1-2) Dalam wujudnya sebagai Tri Murti, Tuhan dikatakan memiliki kekuatan, kemampuan dan kekuasaan yang maha besar untuk mencipta, memelihara dan
melebur. Dan sebagai Tri Sakti, Tuhan dinyatakan mempunyai kesaktian yang luar biasa besarnya. Kemampuan, kekuatan dan kekuasaan Nya sebagai Tri Murti dan kesaktian Nya sebagai Tri Sakti itu tidak dapat dipisahkan. Hubungan yang tak terpisahkan itu, maka Tri Murti dan Tri Sakti itu diibaratkan seperti “suami isteri”. Brahma, Wisnu dan Siwa lalu dikiaskan masing-masing mempunyai “isteri” dalam pengertian mempunyai “kekuatan, kemampuan, kekuasaan atau kesaktian”. Dalam bahasa agama hindu “isteri” tersebut dinamakan “sakti”, karena itu Brahma dikatakan mempunyai “sakti” bernama Dewi Saraswati, Wisnu mempunyai “sakti” bernama Dewi Sri atau Dewi Laksmi dan Siwa mempunyai “sakti” bernama Dewi Durgha atau Dewi Uma. Dewi Uma disebut pula sebagai Dewi Parwati (Suhardana, 2008: 39). Dalam agama hindu ilmu mengenai kepemimpinan di kenal dengan nama Niti Sastra. Maharesi Canakya adalah seorang maharesi yang memperkenalkan Niti Sastra sebagai suatu etika dan moralitas. Niti Sastra bertujuan untuk membangun suatu negara, baik dari segi tata negara, tata pemerintahan maupun tata kemasyarakatan. Niti Sastra mengajarkan kepatuhan warga negara terhadap hukum dan kebijaksanaan pemerintah, dengan kata lain mengajarkan warganya untuk selalu ikut dalam pembinaan negara. Niti Sastra sebagai ilmu etika dan moralitas banyak mengajarkan ilmu pengetahuan bagi seorang pemimpin tentang etika dan moralitas, budi pekerti serta tata pergaulan hidup dengan semua mahluk (Suhardana, 2008: 6). Jika dihubungkan dengan “sakti” yang terdapat dalam Wacana Sakti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam Babad Buleleng adalah sebagai bentuk simbol kekuatan atau keunggulan yang dimiliki oleh tokoh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti
sebagai seorang raja. Sakti dimaksudkan juga sebagai sebuah karakter seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan etika dan moral kepemimpinan sehingga terbentuknya suatu keselarasan. Kekuasaan, kewibawaan dan kemampuan merupakan persyaratan sebagai seorang pemimpin. Seperti yang diketahui Ki Gusti Ngurah Panji Sakti merupakan suatu simbol tokoh seorang raja yang sangat tangguh dan unggul dalam peperangan. Sakti yang akan dibahas di sini merupakan kesaktian yang dimiliki oleh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti berupa tanda lahir dan senjata yang beliau miliki yang diberikan oleh ayah beliau Dalem Sagening. Jadi jika dihubungkan dengan penjabaran di atas sakti yang dimaksudkan di sini yakni seorang tokoh yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang memiliki sakti “mempunyai kesaktian” yang tidak semua orang mempunyai itu berupa sakti yang dibawa sejak lahir dan sakti berupa senjata yang mempunyai kekuatan gaib. 2.2.4
Konsep Simbolik Tanda simbolis yang paling penting dalam teks sastra adalah tanda bahasa,
tanda bahasa adalah tanda yang dihubungkan dengan denotatum berdasarkan kesepakatan. Avant-gardistis sebagai perintis pada makrostruktural menyatakan bahwa tanda bahasa dalam sebuah teks sastra tentunya sangat banyak dan beragam. Tanda baca biasa pun termasuk ke dalam tanda bahasa, kata-kata atau bagian-bagiannya (morfem) juga merupakan tanda simbolis. Demikian pula dengan kelompok kata (frasa, anak kalimat, sekuen, dan sebagainya). Tanda-tanda simbolis dalam sebuah teks dapat dikategorisasikan dengan berbagai macam cara yang tidak terhitung banyaknya (Zoest, 1993 : 77). 2.3 Landasan Teori
Teori berfungsi sebagai alat untuk memecahkan masalah penelitian. Maka itu, teori yang digunakan haruslah sesuai dengan objek dan tujuan penelitian sehingga tidak terjadi suatu penyimpangan materi dan teori yang digunakan. Teori adalah 'alat', yang melaluinya dalam suatu penelitian dapat dilakukan secara lebih maksimal. Oleh karena itu, dalam suatu penelitian dimungkinkan menggunakan lebih dari satu teori. Tujuannya sangatlah jelas untuk dapat membandingkan teori satu dengan lainnya dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap objek penelitian (Ratna, 2006 : 6-7). Dalam sebuah penelitian landasan teori sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan hasil yang maksimal mutlak diperlukan. Sebagai bentuk kegiatan yang ilmiah, teori berfungsi sebagai alat untuk memecahkan masalah penelitian. Teori yang dipergunakan haruslah sesuai (relevan) dengan objek analisis dalam suatu penelitian. Secara teoritis penelitian ini menggunakan dua acuan teori yaitu teori struktural dan teori semiotika. 2.3.1 Teori Struktural Secara etimologis struktur berasal dari kata structura (bahasa latin) yang berarti bentuk atau bangunan (Ratna, 2006 : 88). Penelitian suatu karya sastra tidak dapat terlepas dari struktur yang membangunnya. Menurut Teeuw (1984 : 135) analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, teliti, semendetail, dan mendalam mungkin ketertkaitan dan keterjalinan semua anasir serta aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya sastra. Setiap karya sastra baik karya sastra dengan jenis yang sama atau berbeda memiliki unsur-unsur yang berbeda. Artinya, disatu
pihak unsur-unsur yang dibicarakan itu tergantung dari dominasi unsur-unsur, di pihak lain tergantung dari tujuan analisis (Ratna, 2006 : 93-94). Menurut Endraswara (2011 : 49) pada dasarnya strukturalisme merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain. Menurut Atmazaki (dalam Purwanti, 2008 : 7) menyebutkan bahwa komposisi sebuah struktur, yaitu : alur, penokohan, perwatakan, pusat pengisahan/sudut pandang, dan gaya bahasa. Beberapa pandangan tentang struktur di atas merupakan suatu kombinasi yang dapat dilakukan dalam melakukan kerangka kerja yang meliputi: insiden, alur, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan amanat. Sebuah karya sastra dan peristiwa di dalam masyarakat menjadi satu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dengan keseluruhan. Kesatuan struktural mencakup setiap bagian dan sebaliknya bahwa setiap bagian menunjukkan kepada keseluruhan isi dan bukan yang lain (Luxemburg, 1986 : 3). Akan tetapi analisis struktur tidak harus diarahkan oleh ciri khas karya sastra yang hendak di analisis (Teeuw, 1984 : 135137). Menurut Jonathan Culler (melalui Atmaja, 1986: 2-3 dalam Putra, 1987: 1213) menyatakan bahwa dengan adanya suatu sistem struktur karya sastra memberikan indikasi adanya unsur-unsur yang berhubungan secara fungsional. Sastra yang koheren minimal dituntut adanya tiga unsur, yaitu tema, alur, dan penokohan. Darusuprapta mengemukakan bahwa pola unsur struktur sastra
sejarah yaitu mitologi, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti (Putra, 1987: 13-14). Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Jonathan Culler serta dipadukan dengan teori yang dikemukakan oleh Darusuprapta. Kedua teori tersebut akan digunakan dalam penelitian ini mengenai aspek sastra meliputi: tema, alur, tokoh, mitologi dengan jalinan legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti. 1.3.2 Teori Semiotika Pada perkembangan semiotika, baik yang bersifat strukturalis maupun pragmatis sesungguhnya mengarahkan pengkajiannya tentang kebudayaan karena hal tersebut tidak dapat dihindarkan. Pada akhirnya yang memberi makna pada tanda adalah manusia yang berada dalam lingkungan sosial budayanya. Jadi semiotik melihat kebudayaan sebagai sistem tanda yang oleh anggota masyarakatnya diberi makna sesuai dengan konvensi yang berlaku (Hoed, 2008 : 3). Pengkajian tanda-tanda yang terdapat di dalam teks akan dilakukan melalui teori semiotik. Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua yang hadir di dalam kehidupan kita lihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Berdasarkan pendapat tersebut, pada hakekatnya ilmu ini lahir bersamaan oleh dua orang ahli, yakni Ferdinand de Saussure dan Carles Sanders Peierce. Semiotik atau istilah lainnya, yakni semiologi yang merujuk pada Ferdinand de Saussure melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk dan makna. Kaitan keduanya diistilahkan dengan
significant „penanda‟ dengan signifie „petanda‟. Dengan demikian, de Saussure melihat tanda sebagai suatu yang menstruktur dan tersturktur dalam kognisi manusia,sehingga disebut sebagai kaum strukturalis. Segala yang ada dalam kehidupan manusia kita lihat sebagai “bentuk” yang mempunyai “makna”. Konsep beliau ini sering dinamakan dikotomis (Hoed, 2008 : 3). Pradopo (1994 : 96) menyatakan bahwa untuk mempermudah kajian semiotik, perlu diperhatikan konvensi penting dalam karya sastra, yang meliputi konvensi ketidaklangsungan ekspresi dan konvensi hubungan antar teks. Lebih lanjut Pradopo (1994 : 108-109) menyatakan untuk lebih memudahkan pendekatan karya sastra dengan pendekatan semiotik hal pertama yang harus dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya , atau jika diibaratkan secara semiotik berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama, dan pembacaan hermeneutik adalah pembacaan berulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memperhatikan konvensi sastra. Tanda sebaiknya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berdasarkan konvesi sosial yang telah ada sebelumnya, dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Dengan kata lain sesuatu dapat menjadi tanda hanya karena ia dapat ditafsirkan sebagai tanda sesuatu oleh beberapa penafsir. Oleh karena itu, semiotika tidak berkaitan dengan studi-studi atas jenis objekobjek tertentu, akan tetapi objek-objek biasa sejauh (dan hanya sejauh) dia terlibat di dalam semiosis. Menurut Pierce (dalam Septiani, 2012 : 20) menyebutkan bahwa semiotika melihat tanda sebagai “sesuatu” yang mewakili “sesuatu”. Sesuatu itu dapat berupa hal kongkret (dapat di lihat oleh panca indra manusia)
yang kemudian melalui suatu proses mewakii sesuatu yang ada dalam kognisi manusia. Pierce menambahkan bahwa tanda bukanlah suatu struktur melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang di tangkap panca indra. Secara garis besar pemaknaan suatu tanda terjadi dalam bentuk proses semiosis dari yang kongkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat karena sifatnya yang mengaitkan tiga segi yakni : representament, object, dan interpretant. Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik oleh Carles Sanders Peirce. Dengan menggunakan teori Peirce diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga didapatkan hasil yang diinginkan.