BAB II KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, pokok bahasan, dan tujuan serta manfaat penelitian ini. Selanjutnya, pada bab ini ada tiga bagian yang akan dijelaskan. Pertama, konsep dasar yang meliputi penerjemahan; konteks dan teks; dan tenor of discourse (pelibat). Kedua, landasan teori yang berhubungan dengan teori-teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini yang meliputi teori Penerjemahan Berdasarkan Makna (Meaning-Based Translation); teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF); teori Catford tentang Pergeseran (Shift); dan teori fungsi ujar menurut Abdul Chaer serta alasan memilih beberapa teori tersebut. Yang terakhir adalah mengenai kajian terdahulu meliputi penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik penelitian ini. 2.1 Konsep Dasar Ada beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis ini yang perlu diuraikan. Konsep-konsep dasar ini kemudian dijadikan sebagai definisi operasional yang merepresentasikan cakupan pembahasan. Di samping itu, konsepkonsep dasar yang diberikan akan dijadikan penegasan atas beberapa ide yang
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan penelitian dalam tesis ini. Konsep-konsep dasar yang dimaksud adalah (1) Teori penerjemahan; (2) konsep dan teks; dan (3) tenor of discourse (pelibat wacana). 2.1.1 Teori Penerjemahan 2.1.1.1 Defenisi Penerjemahan Pada penelitian ini perlu dibedakan antara kata „translasi‟ dan „penerjemahan‟. Kata „penerjemahan‟ mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata „translasi‟ sebagai padanan kata translation artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan, 2003:18). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah translasi untuk hasil penerjemahan dan istilah penerjemahan untuk proses alih pesan dalam translasi.
Selanjutnya Machali (2000: 9) menyatakan bahwa pembedaan antara produk dan proses ini penting sekali dalam kegiatan penerjemahan. Apabila kita melihat penerjemahan sebagai proses, berarti kita meniti jalan yang dilalui oleh penerjemah untuk sampai pada hasil akhir. Hal ini berarti bahwa kita melihat tahap-tahap apa saja yang harus dilalui seorang penerjemah, prosedur apa yang dilaluinya, metode yang digunakan, dan mengapa ia memilih suatu istilah tertentu untuk menerjemahkan suatu konsep dan bukannya memilih istilah lain yang sama maknanya, dan sebagainya. Semuanya ini tentunya tidak diketahui oleh pembaca hasil terjemahan.
Universitas Sumatera Utara
Menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain (Larson, 1984:3). Dalam hal ini, bentuk lain yang dimaksud dapat berupa bentuk bahasa sumber atau bahasa sasaran. Misalnya jika kita menerjemahakan kata Indonesia (seterusnya Ind) saya ke dalam bahasa Ind, maka bentuk yang dapat dipakai
untuk
menerjemahkannya
adalah
aku.
Selanjutnya
jika
kita
menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris (seterusnya Ing) maka terjemahannya adalah I. Contoh terjemahan kata saya di atas memperlihatkan bahwa menerjemahkan dapat dilakukan dalam bahasa yang sama (intralingual), misalnya dari bahasa Ind ke bahasa Ind, atau dari satu bahasa ke bahasa lain (interlingual), misalnya dari bahasa Ind ke bahasa Ing atau sebaliknya. Apabila kita ingin menerjemahkan teks dari bahasa Ind ke dalam bahasa Ing, maka dalam hal ini bahasa Ind disebut sebagai bahasa sumber (source language) (seterusnya disingkat dengan BSu) dan bahasa Ing disebut sebagai bahasa sasaran (target atau receptor language) (seterusnya disingkat dengan BSa). Sebaliknya bila kita berangkat dari bahasa Inggris, maka bahasa sumber kita adalah bahasa Ing dan bahasa sasaran kita yaitu bahasa Ind. Dalam menerjemahkan, seseorang dituntut untuk memiliki penguasaan linguistik kedua bahasa yakni BSu dan BSa. Selain itu seorang penerjemah juga dituntut menguasai perbedaan dan persamaan budaya. Dengan kata lain, seorang penerjemah idealnya bukan hanya seorang yang bilingual tetapi juga bicultural (Lubis, 2009: 39).
Universitas Sumatera Utara
Kemudian, ada paling sedikit empat kelompok besar aturan berbahasa yang perlu diperhatikan untuk mencapai kewajaran dalam penerjemahan, yaitu aturan gramatikal, aturan kolokasi, aturan fonologi, dan aturan tatakrama berbahasa. Di sini menerjemahkan dapat diartikan mengalihkan makna yang terdapat dalam BSu ke dalam BSa dan mewujudkannya kembali di dalam BSa dengan bentuk-bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku dalam BSa. Jadi yang dialihkan adalah makna bukan bentuk. Contohnya terjemahan bahasa Ing Don’t mention it sebagai jawaban atas Thank you bukanlah jangan menyebutnya atau jangan sebutkan itu, akan tetapi terima kasih kembali atau sama-sama. Kewajaran menurut BSa harus diusahakan agar pembaca hasil terjemahan tidak menyadari bahwa dia sedang membaca suatu terjemahan. Jadi, teks terjemahan yang dibacanya itu aslinya seolah-olah ditulis di dalam BSa. Mengenai kewajaran bentuk terjemahan yang dimaksudkan di sini sesuai dengan kutipan dari Finlay dalam Simatupang (1999:3) berikut ini: “Ideally, the translation should give the sense of of the original in such a way that the reader is unaware that he is reading a translation”. Selanjutnya banyak pakar penerjemahan yang mengemukakan definisi penerjemahan, antara lain: 1.
Nida dan Taber (1982:12) say that translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of a source language message, firstly in terms of meaning and secondly in terms of style. Dalam hal ini, Nida dan Taber menyatakan bahwa “menerjemahkan adalah proses untuk menghasilkan padanan alamai yang paling mendekati dari pesan bahasa sumber (BSu) ke dalam
Universitas Sumatera Utara
bahasa sasaran (BSa), pertama pada tingkat makna dan kedua pada tingkat gaya. Menurut mereka penerjemah harus menggunakan padanan alami terdekat baik dalam arti maupun dalam gaya bahasa penerima. Dengan kata lain, hasil terjemahan jangan sampai terdengar seperti terjemahan, tetapi juga tidak melenceng dari makna bahasa sumber (BSu) 2. Catford (1965:20) states that translation may be defined as follows: the replacement of textual material in one language (Source Language) by equivalent textual material in another language (Target Language). Di sini Catford menyatakan
bahwa
translasi
(penerjemahan)
dapat
didefinisikan
sebagai
penggantian bahan tekstual dalam satu bahasa (bahasa sumber/BSu) dengan bahan tekstual bahasa lain (bahasa sasaran/BSa) yang sepadan. 3. Larson (1984: 3) says that translation consists of translating the meaning of the source language into the receptor language. This is done by going from the form of the first language to the form of a second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must be held constant. Only the form changes. Larson dalam hal ini menyatakan bahwa “penerjemahan meliputi kegiatan menerjemahkan BSu ke dalam BSa, yaitu dimulai dari bentuk bahasa pertama menuju bentuk bahasa kedua dengan menggunakan struktur semantik. Dalam hal ini, maknalah yang dialihkan dan harus dipegang teguh. Hanya bentuknya yang berubah”. 4. Newmark (1981: 7) says that translation is a craft consisting in the attempt to replace a written message and/or statement in one language by the same message
Universitas Sumatera Utara
and/or statement in another language. Di sini menurut Newmark “terjemahan yaitu suatu keahlian yang meliputi usaha mengganti pesan atau pernyataan tertulis dalam suatu bahasa dengan pesan atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain”. 5. Brislin (1976), translation is the general term referring to the transfer of thoughts and ideas from one language (source) to another (target), whether the languages are in written or oral form; whether the languages have established ortographies or do not have such standardization or whether one or both languages is based on signs, as with sign languages of the deaf. Dalam hal ini Brislin mengemukakan bahwa “Terjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada pengalihan pikiran dan ide dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, baik bahasa tulis atau lisan;baik salah satu atau keduanya membentuk ortografi atau tidak mempunyai standar seperti itu; atau baik salah satu atau keduanya berbentuk tanda, seperti bahasa orang tuli.” 2.1.1.2 Kesepadanan dalam Penerjemahan Konsep kesepadanan dalam penerjemahan telah banyak diperbincangkan oleh pakar Konsep kesepadanan yang lebih terperinci dikemukakan oleh Baker (1992). Dia melihat pengertian kesepadanan dalam berbagai tataran dan hubungannya dengan proses penerjemahan. Baker (1992), menjelaskan bahwa kesepadanan meliputi kesepadanan leksikal, gramatikal, tekstual, dan pragmatis. Masalah kesepadanan juga terjadi pada tataran gramatikal karena setiap bahasa mempunyai kaidah gramatikal khas. Menurut Baker, perbedaan itu dapat
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan perubahan bentuk pada saat pengalihan pesan. Perbedaan kaidah gramatikal terdapat dalam jumlah, gender, persona, kala, aspek, dan kalimat aktifpasif. Oleh karena itu, kaidah gramatikal BSu tidak dapat dipaksakan ke dalam TSa. Jika tetap dipaksakan, terjemahannya menjadi tidak wajar dan pesan dalam Tsu tidak dapat dialihkan dengan baik ke dalam Tsa. Dalam contoh penerjemahan conflict resolution menjadi resolusi konflik, struktur frasa MD dalam BSu disesuaikan dengan struktur dalam BSa menjadi DM. Tidak hanya itu, pronomina he atau she dalam TSu diterjemahkan menjadi dia karena kaidah BSa tidak mengenal perbedaan gender. Selain itu ada juga yang disebut dengan kesepadanan harfiah, idiomatis, kesepadanan leksikal dan kesepadanan makna. Kesepadanan harfiah yang dapat terlihat dalam penerjemahan harfiah yaitu penerjemahan yang lepas konteks. Dalam hal ini, unsur-unsur bahasa yang ada pada teks bahasa sumber (BSu) diterjemahkan tanpa mengaitkannya dengan konteks, dan mempertahankan struktur BSu. Kesepadanan Idiomatis yang kerap kali disamakan dengan jenis penerjemahan Idiomatis adalah penerjemahan yang terikat konteks. Seluruh unsur bahasa yang ada diterjemahkan berdasarkan makna pada konteksnya dengan mengacu pada bentuk atau struktur BSa. Penerjemahan jenis ini hampir sama dengan kesepadanan makna yang dikemukakan oleh Mildred Larson yang berlandaskan kepada tiga jenis makna seperti makna referensial, makna konteks linguistik, dan makna situasional. Sementara kesepadanan leksikal adalah jenis kesepadanan yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditemukan dalam dua bahasa. Hal ini disebabkan karena bahasa
Universitas Sumatera Utara
merupakan cerminan budaya dan budaya merupakan ciri pembeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain (Galingging, 1999: 33). 2.1.1.3 Pergeseran dalam Penerjemahan Konsep pergeseran yang dipakai dalam penelitian ini adalah konsep pergeseran menurut Catford karena dipandang konsep Catford dapat menjawab pergeseran-pergeseran yang muncul dalam penerjemahan tenor (pelibat wacana). Catford (1965:20) menegaskan konsep pergeseran bisa dilihat dari dua perspektif yang berbeda tentang translasi: (1) translasi sebagai produk, (2) translasi sebagai suatu proses. Sebagai produk, konsep pergeseran formal identik dengan konsep pergeseran yang mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah padanan di seleksi dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menunjukkan kesejajaran bentuk teks (unit, struktur, ataupun kelas) dalam bahasa sumber. Sebagai suatu proses, pengertian pergeseran formal sejajar dengan istilah transposisi (transposition) yang dikemukakan oleh Newmark (1988) yaitu suatu cara atau prosedur penerjemahan melalui perubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Catford (1965:73-82) membedakan pergeseran dalam translasi ke dalam dua jenis sebagai-berikut. (1) level shift yang muncul di permukaan dalam bentuk item bahasa sumber pada level linguistik tertentu mempunyai padanan dalam level yang berbeda. Misalnya, tataran gramatika berpadanan dengan leksis.
Universitas Sumatera Utara
(2) category shift yaitu suatu istilah generik yang mengacu pada pergeseran yang mencakup empat kategori sebagai berikut: a. structure-shifts, yakni pergeseran struktur yang menyangkut perubahan gramatikal antara struktur bahasa sumber dan sasaran. b. class-shifts, yakni pergeseran kelas bila kata dalam bahasa sumber dipadankan dengan bahasa sasaran mempunyai kelas gramatikal yang berbeda. c. unit-shifts, yakni pergeseran unit yang menyangkut perubahan „rank‟ misalnya dari kata diterjemahkan menjadi frasa. d. intra-system-shifts, yakni pergeseran intra sistem yang terjadi bila secara formal bahasa sumber dan target mempunyai kondisi yang kelihatannya sejajar tetapi secara konstituen mempunyai perbedaan. Misalnya, bentuk tunggal dalam bahasa sumber menjadi bentuk jamak dalam bahasa sasaran.
2.1.1.4 Terjemahan Film Berbahasa Asing
Film menurut sumber data yang diperoleh dari internet adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar =
Universitas Sumatera Utara
citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera (http://bahasfilmbareng.blogspot.com/).
Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida
yang
telah
terekspos
cahaya
dengan
ukuran
yang
tepat
akan
menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang.
Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.
Film atau dunia perfilman sangat berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya film yang beredar di masyarakat yakni baik film lokal maupun mancanegara (luar negeri). Film yang bermuatan luar negeri (mancanegara) seperti
Universitas Sumatera Utara
film Amerika, Prancis, Korea, Jepang, dan sebagainya juga sudah banyak beredar di masyarakat dalam negeri (Indonesia). Hal ini disebabkan karena film-film tersebut sudah memiliki teks terjemahan atau yang kerap kali disebut sebagai subtitel (subtitle) dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, banyak film asing yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Film yang berbahasa asing umumnya diterjemahkan dengan dua cara, yaitu dengan dubbing (sulih suara) dan dengan subtitling (teks terjemahan yang tertulis di layar bagian bawah) (http://wikipedia.com/). Dalam hal ini, dubbing atau sulih suara adalah penggantian dialog pada media audio visual dalam bahasa sumber dengan dialog lisan dalam bahasa sasaran yang memerlukan penyesuaian gerakan bibir, jeda pembicaraan serta gerakan non verbal yang ada pada gambar visual. Sedangkan subtitling adalah terjemahan dialog pada media audio visual dalam bentuk tertulis yang biasanya ditayangkan pada layar bagian bawah. Membuat teks terjemahan film bukanlah pekerjaan yang mudah karena profesi ini tidak sekedar mengalihbahasakan melainkan juga menjembatani dua budaya yang berbeda. Penerjemah harus paham terhadap film dan konteks yang akan diterjemahkan. Selain itu, ada banyak aturan yang harus diperhatikan sehingga teks tidak mengurangi kenikmatan penonton yang menyaksikan sebuah tayangan. Di samping itu, prinsip subtitling adalah membantu penonton memahami isi film, bukanlah membuat penonton sibuk membaca. Oleh sebab itu, bahasa subtitling
Universitas Sumatera Utara
haruslah
merupakan
bahasa
yang
singkat,
padat,
dan
tepat
sasaran
(http//bahasfilmbareng.blogspot.com/).
2.1.2 Hubungan Konteks dan Teks dalam Penerjemahan Dalam melakukan kegiatan penerjemahan, teori bahasa dan linguistik umum tentu akan selalu digunakan. Hal ini didasarkan atas pendapat yang dikemukan Catford (1965: 1) yang mengatakan bahwa: Translation is an operation performed on languages: a process of substituting a text in one language for a text on another, translation must make use of a theory of language, general linguistic theory. Artinya adalah bahwa translasi atau penerjemahan merupakan sebuah proses yang dilakukan pada bahasa: yaitu sebuah proses perubahan teks dalam satu bahasa menuju teks bahasa lain, translasi pasti menggunakan teori bahasa dan teori linguistik umum.
Sementara itu, Halliday dan Hassan dan sejumlah pakar lainnya yang dikutip dalam Choliludin (2005: 16-41) berkenaan dengan hal di atas menjabarkan tentang teks dan konteks, mengemukakan bahwa cara memahami bahasa terletak pada kajian sebuah teks yang memiliki konteks di dalamnya. Maka dalam proses yang sama, konteks dan teks adalah aspek. Gagasan tentang sesuatu yang menyertai teks yang melewati batas yang dikaitkan dan ditulis meliputi non-verbal lain yang muncul dalam lingkungan total yang diungkap. Maka lingkungan total berlaku sebagai penghubung antara teks dan situasi, yaitu tempat teks yang sebenarnya muncul dan ini disebut sebagai konteks situasi. Masalahnya adalah “apakah teks itu?” Halliday
Universitas Sumatera Utara
dan Hassan (1985:13) secara sederhana mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional. Maksud fungsional di sini berarti bahasalah yang melakukan pekerjaan yang sama dalam suatu konteks dan bukan kata-kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Contoh bahasa sehari-hari yang memainkan peran yang sama dalam konteks situasi disebut teks. Teks tersebut bisa dalam bentuk teks lisan atau tulisan maupun dalam bentuk media ungkapan lainnya.
Oleh karena itu, sesorang tidak dapat begitu saja menganggap sebuah teori teks sebagai sebuah ekstensi teori gramatikal untuk menentukan jenis suatu teks. Menurut Halliday dan Hassan (1985: 14) karena hakekat teks sebagai entitas semantik, sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebagai produk maupun sebagai sebuah proses.
Selain itu, teks menghasilkan sebuah makna yang berlaku sebagai hasil yang dapat direkam dan dipelajari dan memiliki konstruksi pasti yang dapat ditampilkan dalam bentuk sistematis. Selanjutnya, teks merupakan prosedur dalam substansi proses berkelanjutan yang mewakili lingkungan yang digunakan untuk perangkat berikutnya. Dengan demikian, perlulah memandang lebih jauh struktur, kata, dan teks sebagai proses dalam sebuah sistem yang menghubungkannya dengan bahasa secara bersama. Teks dalam aspek prosesnya, merupakan peristiwa interaktif yaitu sebuah pertukaran makna sosial.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Halliday dan Hassan (1985: 15), teks adalah sebuah bentuk pertukaran dan bentuk teks yang fundamental adalah dialog interaksi antar pembicara. Hal ini berarti bahwa setiap teks memiliki makna karena dapat dihubungkan dengan interaksi antar pembicara dan satu-satunya alat bagi percakapan umum sehari-hari yang spontan. Oleh sebab itu, teks merupakan produk lingkungan yang dapat diwakili dalam bahasa.
Kemudian untuk memahami jenis teks, seseorang harus terbiasa dengan ciri konteks situasi, yaitu konteks yang memiliki teks yang mengungkap dan memiliki lingkungan tempat makna itu dipertukarkan. Halliday dan Hassan (1985:16) mengajukan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk memilih cara yang sesuai dalam menggambarkan konteks situasi sebuah teks. Adapun tiga variabel konteks situasi menurut Halliday dan Hassan yaitu:
1.Field of Discourse Merupakan istikah abstrak bagi pernyataan „apa yang sedang terjadi‟ yang mengacu pada pilihan substansi linguistik si pembicara. Pilihan linguistik yang berbeda dibuat oleh pembicara yang berbeda tergantung pada jenis tindakannya, selain tindakan berbicara langsung yang mereka pandang sendiri saat ikut andil di dalamnya. Misalnya: pilihan linguistik akan beragam menurut andil pembicara masing-masing apakah ikut dalam pertandingan sepak bola atau membahas tentang
Universitas Sumatera Utara
sepak bola, berpidato politik atau membahas tentang politik, melakukan operasi atau membahas tentang obat-obatan.
2.Tenor of Discourse
Tenor of discourse adalah istilah abstrak untuk hubungan antara orang-orang yang ikut andil dalam berbicara. Bahasa yang digunakan orang beragam tergantung pada jenis hubungannya, seperti hubungan interpersonal antara ibu dan anak, dokter dan pasien, atau derajat orang atas dan yang rendah. Seorang pasien tidak akan memakai kata sumpah serapah untuk menyebut seorang dokter di hadapannya dan seorang ibu tidak akan memulai permintaan pada anaknya dengan mengatakan, “Maaf, apakah bisa kalau kamu...”
Menerjemahkan tenor of discourse secara benar dalam terjemahan dapat cukup menyulitkan. Hal ini tergantung pada apakah seseorang itu memandang tingkat formalitas tertentu sebagai hal yang benar dari sudut pandang budaya bahasa sumber (BSu) atau dari sudut pandang budaya bahasa sasaran (BSa). Misalnya: seorang anak remaja Amerika boleh menggunakan tenor yang sangat informal dengan orang tuanya dengan menggunakan nama depan dan bukan dengan panggilan ibu atau ayah. Dalam hal ini, tingkat formalitas ini akan sangat tidak dapat diterima oleh kebanyakan kebudayaan lain. Berkaitan dengan hal tersebut, seorang penerjemah harus memilih antara mengganti tenornya untuk disesuaikan dengan budaya pembaca sasaran atau tetap seperti aslinya, yaitu mentransfer tenor informalnya untuk memberikan kesan
Universitas Sumatera Utara
jenis hubungan yang biasa dilakukan oleh para anak remaja dengan orangtuanya di masyarakan Amerika. Apa yang dipilih oleh penerjemah pada situasi tertentu tentunya akan tergantung pada apa yang dia lihat sebagai tujuan penerjemahan secara menyeluruh.
3.Mode of Discourse
Mode of discourse mengacu pada jenis peran yang dimainkan bahasa (bicara/pidato, esai, kuliah, intstruksi, dan sebagainya), yaitu jenis peran yang diharapkan partisipan terhadap bahasa dalam suatu situasi: organisasai teks yang simbolik, status yang dimiliki, dan fungsinya dalam konteks termasuk alat penghubung (lisan atau tulisan ataupun suatu gabungan dari keduanya), dan juga mode retorika, apa yang sedang dicapai oleh teks dalam kondisi kategori berikut ini, yaitu persuasif, paparan, didaktis, dan hal senada. Misalnya seperti kata re adalah kata yang diterima dalam surat bisnis, tetapi sangat jarang digunakan dalam bahasa lisan.
Langkah pertama dalam menerjemah adalah menemukan makna yang terkandung melalui analisis makna. Menganalisis teks dengan menggunakan seperangkat framework yang dikemukakan oleh Halliday dalam Choliludin (2005: 12) akan memberi gagasan komprehensif pada para pembaca untuk menghasilkan sebuah hasil terjemahan. Setiap teks baik lisan maupun tulisan mengungkap makna dalam konteks penggunaannya. Jadi, bersamaan dengan konteks yang ada di
Universitas Sumatera Utara
sekitarnya, sebuah teks menciptakan makna. Selain dari konteks situasi, konteks budaya juga perlu diperhatikan oleh seorang penerjemah dalam mengalihkan makna sebuah teks ke dalam bahasa sasaran (BSa).
2.1.3 Pelibat ( Tenor ) Halliday (1985: 12) menyatakan bahwa pelibat merupakan peran struktur yang berkaitan dengan siapa yang berperan, hubungan peran apa yang berlaku di antara partisipan yang secara sosial penting dalam hal ini mereka terlibat di dalamnya. Pelibat wacana (tenor of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat wacana ada tiga hal yang perlu diungkap; peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial. Peran status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen. Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orangorang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak. Pelibat (tenor) atau siapa, yang direpresentasikan pada makna antarpersona yang menunjukkan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial, dengan kata lain makna antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasi dalam makna
Universitas Sumatera Utara
pengalaman. Makna antarpersona mempresentasikan modalitas (modality) yang bersama dengan aksi direalisasikan dalam modus (Modus). Dan „cara‟ (mode), bagaimana pembicaraan itu dilakukan kemudian direpresentasikan dalam makna tekstual yang berupa tema (theme) dan rema (rheme). Selanjutnya Sinar (2010: 58-59) menyatakan bahwa pelibat wacana (tenor of discourse) sebagai variabel kontekstual yang kedua mengkarakterisasikan fungsi ekstrinsik konteks situasi dan berhubungan dengan siapa yang berperan, kondisi alamai partisipan, status dan peranan mereka : hubungan peranan apa yang ditemukan, apakah termasuk hubungan permanen atau sementara antara pelibat yang satu dengan yang lain. Seluruh jenis ucapan yang mereka lakukan dalam dialog dan ikatan hubungan sosial yang signifikan dimana mereka terlibat. Pelibat (tenor) dideskripsikan sebagai berikut: “Pelibat Wacana menunjuk pada orang-orang yang mengambil bagian, pada sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka: jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat, termasuk hubungan-hubungan tetap dan sementara, baik jenis peranan tuturan yang mereka lakukan dalam percakapan maupun rangkaian keseluruhan hubungan-hubungan yang secara kelompok mempunyai arti penting yang melibatkan mereka”. (Halliday dan Hassan, dalam Tou dalam Sinar, 2010)
Secara internal, pelibat wacana dikarakterisasikan melalui tiga dimensi: (1) status, (2) kontak, (3) afeksi, dan (4) kekuasaan. Dengan kata lain, dalam mendiskusikan dimensi pelibat wacana maka kita membaginya ke dalam empat dimensi yaitu status, kekuasaan, kontak, dan afeksi lalu bergerak untuk mengkaji ciriciri fungsi interpersonal yang direalisasikan melalui sistem dan representasi modus.
Universitas Sumatera Utara
Dimensi kekuasaan direalisasikan terutama dalam hal pilihan linguistik pada stratum wacana dan tingkat klausa di dalam sistem leksikogramatika, untuk melihat sejajar atau tidak sejajarnya pelibat secara timbal balik (resiprokal atau tidak) dalam memilih sistem. Sedangkan dimensi kontak adalah frekuensi kita berhubungan dengan lawan bicara yang dapat diukur dengan tidak pernah, jarang, selalu, sering dan sistem ini direalisasikan terutamanya di dalam sistem leksikogramatika dalam hubungannya dengan leksis dan pada semua tata tingkat tata bahasa yaitu klausa, frasa, dan morfem. Sementara itu, dimensi afek merupakan perasaan atau emosi yang timbul terhadap orang lain dan dapat diukur dengan suka, benci, sayang, cinta, dan sistem ini direalisasikan pada tingkat klausa atau yang dibawahnya di dalam sistem leksikogramatika dan fonologi dalam variasin intonasi, ritme, kadar ujaran, dan dimensi status direalisasikan dalam penataan tingkat sosial bahasa pelibat, misalnya dilihat dari status sosial seperti kaya/miskin, profesi/pekerjaan, tingkat pendidikan, status keturunan, lokasi tempat tinggal, dan lain-lain. Realisasi pelibat dalam sistem interpersonal dapat dilihat melalui penggunaan modalitas mungkin, barangkali, serta bentuk perintah seperti mohon kesediaan, dan lain sebagainya. Biasanya bila terjadi interaksi di antara pimpinan dengan bawahan, walaupun dalam suasana informal pun, seorang bawahan membiarkan atasan berinisiatif memilih topik pembicaraan. Faktor bahasa seperti ini dibahas juga dalam dimensi pelibat. Di samping itu, untuk memahami pelibat wacana (tenor of discourse) ini akan jauh lebih mudah dipahami melalui teks yang bersifat interaktif (yang dilisankan)
Universitas Sumatera Utara
seperti acara-acara talkshow, percakapan secara langsung, film baik di televisi, bioskop, dvd, dan sebagainya (Michal Boleslav, www.google.com). Dalam hal ini Michal Boleslav memiliki pendapat hampir sama dengan beberapa tokoh sebelumnya yaitu dalam mengkaji pelibat (tenor) ini melalui status (peranan) dan jarak sosial di antara para pelibat. Status (peranan) disini dapat kita lihat melalui istilah-istilah yang digunakan oleh si pembicara, siapa yang memulai pembicaraan, siapa yang berbicara dan lainnya. Sedangkan jarak sosial ditentukan melalui kata-kata atau ungkapan formal ataupun informal, slang dan lainnya yang digunakan oleh para pelibat. Status (peran) dan jarak sosial ini sangat jelas terlihat melalui tindak tutur (speech acts) yang diaplikasikan di dalam sebuah percakapan. Tenor (pelibat wacana/partisipan) dalam suatu percakapan juga diwujudkan melalui penggunaan pronomina. Pronimna merupakan unsur penting dalam suatu wacana baik wacana lisan maupun tulisan. Hal ini disebabkan pertama-tama karena pronomina melibatkan partisipan, dan yang kedua karena pronomina mencakup makna nomina yang diwakilinya. Jadi, klasifikasi pronomina yang berbeda-beda pada berbagai bahasa terkadang menunjukkan seolah-olah ada bentuk yang tidak mempunyai padanan dalam bahasa lain, atau ada komponen makna yang hilang, sebenarnya tidak demikian karena pronomina dapat menggantikan nomina yang digantikannya dengan keseluruhan makna tercakup di dalamnya. Kemudian medan makna dan rujukan pronomina akan menambah keutuhan wacana. Oleh karena itu, penerjemahan tenor atau pelibat yang diwujudkan dalam pronomina perlu menarik
Universitas Sumatera Utara
rentang partisipan untuk mengingatkan penerjemah agar diperoleh suatu wacana yang utuh (Larson, 1984: 424: 7). Setiap kata memiliki komponen makna tertentu yang tersusun sedemikian rupa, yang berbeda dari satu bahasa dengan bahasa lainnya. Berdasarkan komponen makna yang dimiliki oleh pronomina, dan dengan menggunakana analisis komponen ditemukan bahwa ada kategori yang wajib dimiliki oleh pronomina dalam semua bahasa, yaitu kategori pronomina persona. Pronomina persona mengidentifikasikan adanya pembicara, orang yang diajak bicara, dan orang lain yang dibicarakan. Berdasarkan hal inilah ditentukan persona pertama, kedua dan ketiga, dan bahkan ada juga bahasa yang mengenal persona keempat. Selanjutnya, pronomina persona ini pada beberapa bahasa dibedakan berdasarkan beberapa kategori lain seperti jumlah, genus (gender), bernyawa atau tidak bernyawa, inklusif dan eksklusif dan juga masalah honorifik (Larson: 1984: 127). Jumlah adalah pembagian berdasarkan banyaknya orang yang ada dalam suatu pronomina yang terlibat dalam suatu percakapan. Pembagian ini berbeda-beda
dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia, misalnya membagi jumlah menjadi tunggal dan jamak. Genus merupakan pembagian berdasarkan fenomena nonlinguistik. Galingging (1999: 47) menyatakan bahwa dalam bahasa Inggris, genus dibagi berdasarkan jenis kelamin, tetapi dalam bahasa lain ada yang membedakan berdasarkan ukuran, bentuk, fungsi tekstur dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketercakupan orang yang terlibat dalam suatu percakapan, pronomina dapat dibedakan menjadi inklusif dan eksklusif. Inklusif dan eksklusif dalam bahasa Inggris hanya terdapat pada persona ketiga. Larson dalam Galingging (1999: 47) juga berpendapat bahwa dalam bahasa lain seperti Guatemala, hal ini berlaku juga pada persona pertama tunggal. Kemudian pada pronomina ada bentuk honorifik, yaitu pembagian berdasarkan konteks situasi yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur luar bahasa, seperti unsur-unsur sosial dan kebudayaan suatu bahasa. Kehadiran pronomina berdasarkan fungsi sintaksisnya dalam kalimat, antara lain, adalah sebagai subjek. Sifat utama pronomina adalah deiktis, yakni referen yang diacunya dapat berpindah-pindah tergantung pada siapa yang berbicara dan siapa lawan bicara pada suatu peristiwa pertuturan (Galingging, 1999: 48). Misalnya pronomina persona kedua you (Bahasa Inggris/Bing) pada dasarnya mengacu pada lawan bicara. Akan tetapi, bila yang selanjutnya berbicara adalag lawan bicara, maka you tersebut merujuk pada pembicara pertama. 2.1.4 Pronomina Bahasa Inggris Galingging (1999: 40-41) dalam tesisnya menegaskan bahwa “Pronomina dalam Bahasa Inggris mempunyai penanda morfologis pada beberapa unsurnya. Pronomina dalam bahasa ini mengenal ciri kasus, genus (gender), jumlah dan persona. Kasus dibedakan antara kasus subjektif, kasus objektif, dan kasus genitif. Genus dibedakan antara maskulin dan feminin, jumlah dibedakan antara tunggal dan jamak, dan persona dibedakan antara persona pertama, kedua, dan ketiga”.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian, Quirk membagi pronomina menjadi pronomina utama, pronomina relatif, pronomina interogatif, pronomina demonstratif, dan pronomina tak definit. Pronomina utama terbagi menjadi pronomina persona, seperti: I, me, they, him ; pronomina refleksif seperti myself, themselves ; pronomina posesif seperti my/mine, their/theirs ; pronomina takdefinit dibagi menjadi pronomina takdefinit positif yaitu pronomina takdefinit positif universal, seperti both, each ; pronomina tak definit positif asertif sepert some, several ; pronomina takdefinit positif nonasertif seperti any, either ; dan pronomina takdefinit negatif seperti nobody, neither (Quirk dkk, 1985: 109). Dari keseluruhan bagian tersebut, jenis pronomina yang berkaitan dengan topik dalam penelitian ini adalah pronomina persona yang merupakan bagian dari pronomina utama. Hal ini disebabkan karena kategori persona penting dalam suatu wacana karena pronomina persona ini menyangkut partisipan yang terlibat dalam suatu tindak komunikasi.
Berikut ini merupakan deskripsi pronomina dalam bahasa Inggris yang dikutip dari sumber internet ( http:// belajarbahasainggrisgratis.blogspot.com/ ):
TABEL 1. PRONOMINA BAHASA INGGRIS
SUBJECT
I
OBJECT
POSSESSIVE
POSSESSIVE
ME
ADJECTIVE MY
PRONOUN MINE
Universitas Sumatera Utara
YOU
YOU
YOUR
YOURS
THEY
THEM
THEIR
THEIRS
WE
US
OUR
OURS
HE
HIM
HIS
HIS
SHE
HER
HER
HERS
IT
IT
ITS
Keterangan: I
Orang Pertama Tunggal (Aku)
You
Orang Kedua Tunggal (Engkau, Kau)
He
Orang Ketiga Tunggal (Dia untuk laki-laki)
She
Orang Ketiga Tunggal (Dia untuk wanita)
It
Orang Ketiga Tunggal (Dia untuk benda dan binatang)
We
Orang Pertama Jamak (Kami/kita)
You
Orang Kedua Jamak (Kalian)
They
Orang Ketiga Jamak (Mereka, untuk orang, benda dan binatang)
2.1.4.1 Pronomina Persona Pada dasarnya pronomina persona membedakan pembicara/penulis dengan lawan bicaranya atau pembaca, dan orang yang dibicarakan (Larson, 1984: 127).
Universitas Sumatera Utara
Pembicara/penulis dikelompokkan sebagai persona pertama, yakni I, we, us, me. Kepada siapa persona pertama ini berbicara dikelompokkan sebagai persona kedua, yaitu
you.
Orang
lain
yang
dibicarakan,
atau
yang
bukan
merupakan
pembicara/penulis dan lawan bicara/pembaca disebut sebagai persona ketiga, yakni he, she, they, them. Di antara semua persona di atas, persona pertama jamak mempunyai ciri khusus yaitu inklusif dan eksklusif (Galingging, 1999: 55). Secara leksikal kedua bentuk ini tidak berbeda, tetapi berdasarkan makna yang ada pada konteks pemakaiannya, pronomina ini dapat dibedakan berdasarkan inklusif dan eksklusif, seperti: If we play hardball with them we’ll get to come round before that. We’re going to have some very quiet meetings with them.... Pada kalimat pertama, pembicara dan kelompoknya, serta lawan bicara dan kelompoknya tercakup pada pronomina we, sedangkan pada kalimat kedua, lawan bicara tidak ikut di dalamnya. Suatu kata pada umumnya selalu memiliki lebih dari satu makna, yaitu makna primer dan makna sekunder. Dalam hal pronomina persona, yang dimaksud dengan makna primer adalah makna yang dengan mudah dapat kita sebutkan apabila pronomina tersebut berdiri sendiri, misalnya you berarti engkau atau kamu yang merupakan persona kedua yang menunjuk pada lawan bicara, dan they berarti mereka yang merujuk pada persona ketiga jamak. Makna sekunder pronomina belum tentu demikian. You sebagai pronomina kedua pada suatu konteks tertentu bisa
Universitas Sumatera Utara
bermakna sebagai persona pertama jamak, yakni kita. Jadi dalam hal ini, tidak hanya merujuk pada lawan bicara, tetapi meliputi pembicara serta orang yang diajak bicara. Makna sekunder adalah makna suatu unsur yang tergantung pada konteksnya (Larson, 1984: 100). Misalnya, seseorang tidak dapat dengan mudah mengatakan bahwa we adalah pronomina yang merujuk pada persona pertama jamak, atau pembicara/penulis yang berjumlah jamak, atau you persona kedua mengacu pada lawan bicara. Pada pemkaiannya, pronomina tunggal dapat digunakan dengan makna jamak dan bentuk jamak digunakan dengan makna tunggal. Selain itu, “pronomina tunggal maupun jamak dalam bahasa Inggris dapat digunakan dengan makna generik, yaitu yang melibatkan orang secara umum. Hal ini sepenuhnya tergantung pada konteks pemakaian pronomina seperti konteks linguistik ataupun konteks luar bahasa” (Galingging, 1999: 51). Pronomina persona dalam bahasa Inggris memiliki fungsi yakni merujuk, mengacu, menyapa, dan deiksis. Dalam hal merujuk hanya terdapat pada persona ketiga, fungsi mengacu terdapat pada persona kedua, dan fungsi deiksis terdapat pada persona kedua juga (Alwi dkk, 1998: 220). Fungsi merujuk dimiliki oleh pronomina persona pada umumnya, yaitu apabila pronomina menunjuk pada sesuatu biak pada konteks linguistik, atau konteks luar bahasa. Kemudian pronomina digunakan juga untuk mengacu. Istilah ini digunakan pada konteks semantik, yaitu adanya pembicara/penulis, pendengar/pembicara dan orang lain yaitu orang yang dibicarakan, atau dengan kata lain tergantung pada siapa pembicara, dalam hubungan
Universitas Sumatera Utara
apa, dan dengan siapa, serta pada situasi apa atau tempat terjadinya kegiatan komunikasi tersebut. Lalu, pada situasi tertentu, pronomina juga dapat digunakan untuk menyapa orang lain yang disebut sebagai fungsi penyapa. Dalam hal ini, penggunaan pronomina sangat berkaitan dengan kesopanan, dan pola-pola gramatikalnya tidak sesuai dengan penggunaan pronomina itu sendiri, tetapi dengan pola-pola sosial (Vanek, 1973: 55). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penyapaan terjadi pada persona kedua, maka penggunaannya ditentukan oleh partisipan yang terlibat pada situasi ujaran, seperti siapa pembicara dan lawan bicara. Kemudian yang perlu diketahui dari pronomina bahasa Inggris yaitu bahwa pronomina bahasa Inggris dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin partisipan atau pelibatnya. Namun, hal ini hanya terjadi pada pronomina persona ketiga tunggal saja, sedangkan pada pronomina ketiga noninsan dan persona lainnya tidak dibedakan (Galingging, 1999: 46). Persona ketiga ini dibedakan menjadi he untuk maskulin dan she untuk feminin. Pada bentuk tertentu, maskulin dapat dipakai secara umum, maksudnya mencakup pronomina feminin, tetapi tidak sebaliknya. Kehadiran persona ketiga ini, selalu merujuk pada persona lain pada konteks tertentu sesuai dengan jenisnya. Misalnya: a. When Adrian woke up at nine-fifteen, she could smell bacon cooking downstairs and she could hear Steven clatering around the kitchen.
Universitas Sumatera Utara
b. The silence in Bill’s apartment was deafening when they went back to it once the boys were gone. And Bill looked as though he’d lost his best friend, while Adrian tried desperately to distract him. Pada contoh di atas, she dalam kalimat (a) merujuk pada Adrian, dan he dalam kalimat (b) merujuk pada Bill. Berikut ini diberikan deskripsi pronomina persona dalam bahasa Inggris dalam tabel. TABEL 2. PRONOMINA PERSONA BAHASA INGGRIS Persona Kedua Persona
Persona Ketiga
PersonaPertama Tunggal Tunggal Jamak Tunggal Jamak Maskulin feminin
Subyektif
I
We
You
You
Obyektif
Me
us
You
You
He she
Non
Jamak
personal it
They
it
Them
Him her
2.1.5 Pronomina Bahasa Indonesia Ada beberapa hal yang mempengaruhi penggunaan pronomina dalam bahasa Indonesia pada suatu peristiwa komunikasi, seperti tempat komunikasi berlangsung, waktu, dan partisipan yang terlibat. Penggunaan pronomina dalam hal ini dipengaruhi
Universitas Sumatera Utara
oleh tingkat hubungan pembicara dan lawan bicara, situasi, usia, dan keakraban. Dalam hal ini, orang yang lebih muda biasanya lebih sopan pada yang tua, dan yang tua biasanya menunjukkan tenggang rasa. Demikian juga dengan status sosial yang lebih tinggi pada yang lebih rendah, akan tetapi keakraban dapat menyilang masalah usia, ataupun status sosial di atas (Alwi dkk, 1998: 249) Kemudian, Silangen dalam Galingging (1999: 58-59) menyatakan bahwa pronomina dalam bahasa Indonesia sering diganti pemakaiannya dengan leksem kekerabatan, jabatan, pangkat, serta gelar profesi. Penggunaan ini dimaksudkan untuk mencapai suasana yang lebih sopan, pada peristiwa pertuturan langsung atau untuk menghilangkan rasa tegang. 2.1.5.1 Pronomina Persona Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang. Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga). Di antara pronomina tersebut, ada yang mengacu pada jumlah satu atau lebih dari satu; ada bentuk yang bersifat eksklusif, ada yang bersifat inklusi, dan ada yang bersifat netral (Alwi dkk, 1998: 249). Berikut ini adalah pronomina persona yang disajikan dalam tabel.
Universitas Sumatera Utara
TABEL 3. PRONOMINA PERSONA BAHASA INDONESIA
MAKNA
Persona
JAMAK TUNGGAL
Pertama
Netral
Ekskulsif
Inklusif
Kami
Kita
saya,aku,ku-, -ku
Kedua
engkau, kamu, kalian, kamu, Anda,dikau,kau- sekalian, ,-mu Anda sekalian
Ketiga
ia, dia, beliau, -nya
mereka
Sebagian besar pronomina persona bahasa Indonesia memiliki lebih dari dua wujud atau bentuk. Hal ini disebabkan oleh budaya bangsa Indonesia yang sangat memperhatikan hubungan sosial antarmanusia. Tata krama dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia menuntut adanya aturan yang serasi dan sesuai dengan martabat masing-masing. Pada umumnya, ada tiga parameter yang dipakai sebagai ukuran, yaitu (1) umur, (2) status sosial, dan (3) keakraban (Alwi dkk, 1998: 250). Secara budaya orang yang lebih muda diharapkan menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Sebaliknya, orang yang lebih tua diharapkan pula menunjukkan tenggang rasa terhadap yang muda. Unsur timbal balik seperti itu
Universitas Sumatera Utara
tercermin dalam pemakaian pronomina dalam bahasa Indonesia. Misalnya, pronomina saya lebih umum dipakai daripada aku oleh orang muda terhadap orang tua. Untuk menunjukkan rasa hormat, pronomina beliau dipakai alih-alih dia. Sebaliknya, orang tua mungkin akan merasa senang memakai sapaan seperti adik daripada kamu bila menyapa orang muda yang tidak begitu dikenalnya atau yang bukan bawahannya. Status sosial baik kedudukan dalam masyarakat maupun badan resmi di suatu instansi ikut juga mempengaruhi pemakaian pronomina. Seorang kepala kantor dapat memakai pronomina kamu, misalnya apabila ia berbicara dengan pegawainya, apalagi jika umurnya lebih muda. Sebaliknya ia akan memakai kata Saudara atau Bapak jika yang diajak berbicara itu adalah tamu yang sebaya, baik dalam umur maupun kedudukan. Demikian pula seorang pegawai akan merasa lebih mantap jika ia memanggil atasannya dengan sapaan Bapak atau Ibu sebagai pengganti Anda atau Saudara. Parameter ketiga yakni keakraban, dapat menyilang garis pemisah umur dan status sosial meskipun kadang-kadang hanya dalam situasi-situasi tertentu. Dua orang yang sejak kecil telah bersahabat dapat saja tetap memakai pronomina kamu meskipun yang satu telah menjadi menteri, misalnya, sedangkan yang lain hanyalah guru di sekolah dasar. Dalam pertemuan resmi, guru sekolah dasar itu akan menyapa menteri itu dengan sapaan Bapak pada kalimat „pendapat Bapak dalam soal ini bagaimana?‟ Sebaliknya, pada resepsi pengantin, dapat saja guru itu berkata „kamu
Universitas Sumatera Utara
tinggal di rumah pribadi atau rumah dinas?‟ Hal seperti ini menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia, sering ditentukan oleh pribadi dan kepribadian masing-masing. Demikian pula seorang kepala kantor yang menikah dengan seorang wanita yang menjadi bawahannya tidak akan merasa pantas menyapa ayah mertuanya dengan kamu. Akan lebih layak baginya untuk memakai kata sapaan Bapak. Demikian pula ayah mertua yang sudah tua itu akan menyapa menantunya dengan sapaan Bapak waktu mereka berada di kantor. Dengan gambaran di atas, pemakaian pronomina sangatlah penting karena pemakaian yang salah dapat menimbulkan hal yang mengganggu keserasian pergaulan. Berikut adalah gambaran mengenai berbagai pronomina persona. 2.1.5.2 Persona Pertama Catford dalam Galingging (1999: 60) menyatakan bahwa pada umumnya pronomina bahasa Indonesia mempunyai lebih dari satu bentuk, atau dapat dikatakan mempunyai dua dimensi yang tidak dimiliki bahasa Inggris, dan penggunaannya dipengaruhi beberapa hal, antara lain situasi dan bentuk wacana. Hal ini dapat dilihat pada pronomina persona pertama hamba, atau daku. Bentuk pronomina persona pertama ini hanya muncul dalam wacana tertentu seperti puisi atau karya sastra, atau pada masa lalu digunakan oleh orang yang status sosialnya lebih rendah dari lawan bicaranya. Bentuk ini tidak lazim digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari pada masa kini. Dalam bahasa Inggris kuno ditemukan hal yang sama, yaitu thou dan thee, akan tetapi bentuk tersebut tidak digunakan lagi masa kini, kecuali dalam doa, atau
Universitas Sumatera Utara
pada tempat-tempat tertentu di Inggris, seperti di bagian utara Inggris yang masih menggunakan bentuk ini pada situasi nonreligius (Quirk, 1985: 345). Menurut buku tata bahasa baku bahasa Indonesa edisi ketiga, Persona pertama tunggal dalam bahasa Indonesia adalah saya, aku, dan daku. Ketiga bentuk ini adalah bentuk baku, tetapi mempunyai tempat pemakaian yang agak berbeda. Saya adalah bentuk yang formal dan umumnya dipakai dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Untuk tulisan formal pada buku nonfiksi dan ujaran seperti pidato, sambutan, dan ceramah bentuk saya banyak dipakai. Meskipun demikian, sebagian orang memakai pula bentuk kami dengan arti saya untuk situasi di atas. Hal ini dimaksudkan untuk tidak terlalu menonjolkan diri. Persona pertama aku lebih banyak dipakai dalam pembicaraan batin dan dalam situasi tidak formal dan yang lebih banyak menunjukkan keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Oleh karena itu, bentuk ini sering ditemukan dalam cerita, puisi, dan percakapan sehari-hari. Persona pertama daku umumnya dipakai dalam karya sastra. Pronomina persona aku mempunyai versi bentuk, yakni –ku dan ku-. Di sini bentuk klitika –ku dipakai, antara lain dalam konstruksi pemilikan dan dalam tulisan diletakkan pada kata yang di depannya: kawan kawanku; sepeda sepedaku; anak-anak anak-anakku. Dalam hal ini bentuk utuh aku tidak dipakai seperti
Universitas Sumatera Utara
kawan aku, sepeda aku, ataupun anak-anak aku. Demikian pula bentuk daku tidak dipakai untuk maksud itu. Berbeda dengan aku, bentuk saya dapat dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang dimilikinya. Misalnya rumah saya, kucing saya, tunangan saya. Pronomina persona saya, aku, dan daku, dapat dipakai bersama dengan preposisi. Bentuk terikat ku- sama sekali berbeda pemakaiannya dengan –ku. Pertamatama, ku- dilekatkan pada kata yang terletak di belakangnya. Kedua, kata yang terletak di belakang ku- adalah verba. Dalam nada yang puitis, ku- kadang-kadang dipakai sebagai bentuk bebas seperti terlihat pada kalimat berikut ini: kini kutahu kau tak setia padaku. Contoh kalimat tersebut berbeda dengan penggunaan ku- pada beberapa kalimat berikut: suratmu telah kukirimkan tadi pagi; hal ini sudah kuberitahukan kepada Bu Nyono. Di samping persona pertama tunggal, bahasa Indonesia juga mengenal persona pertama jamak. Menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia, bahasa Indonesia mengenal dua macam pronomina persona pertama jamak yaitu kami dan kita. Kami bersifat eksklusif artinya pronomina itu mencakup pembicara/penulis dan orang
lain
di
pihaknya,
tetapi
tidak
mencakup
orang
lain
di
pihak
pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif artinya pronomina itu mencakup tidak hanya pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan
Universitas Sumatera Utara
mungkin pula pihak lain. Dengan demikian kedua kalimat berikut mempunyai pengertian yang berbeda: Kami akan berangkat pukul enam pagi; dan Kita akan berangkat
pukul
pendengar/pembaca
enam tidak
pagi. akan
Implikasi
kalimat
pertama
ikut,
sedangkan
pada
adalah
bahwa
kalimat
kedua,
pendengar/pembaca akan ikut serta. Seperti dinyatakan sebelumnya, kami juga dipakai dengan pengertian tunggal untuk mengacu kepada pembicara/penukus dalam situasi formal. Persona pertama jamak tidak mempunyai variasi bentuk. Untuk menyatakan pemilikan, atau dalam pemakaiannya dengan preposisi, bentuknya tetap sama, seperti dalam rumah kami, masalah kita, kepada kami, untuk kita. 2.1.5.3 Persona Kedua Persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu, Anda, dikau, kau- dan mu-. (Alwi dkk, 1998). Berikut ini adalah kaidah pemakaiannya. a.Persona kedua engkau, kamu, dan mu- dipakai oleh: 1. Orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama, seperti pada contoh berikut. * Kamu sudah bekerja, „kan? ; * Pukul berapa kamu berangkat ke sekolah, Nak? 2. Orang yang status sosialnya lebih tinggi, seperti pada contoh berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
* Apakah hasil rapat kemarin sudah kamu ketik, Lisa? * Mengapa engkau kemarin tidak masuk? 3. Orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang unsur atau status sosial. Dalam hal-hal tertentu situasi percakapan ikut berperan pula. Perhatikan contoh berikut ini: * Kapan kerbaumu akan kamu carikan rumput? * Baru jadi kepala seksi sebulan, kenapa rambutmu sudah beruban? Dalam bahasa tak formal, ada orang yang menyingkat engkau menjadi kau seperti pada kalimat „Kau ikut, tidak?‟ b. Persona kedua Anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan, seperti halnya kata you dalam bahasa Inggris. Meskipun kata itu telah banyak dipakai, struktur serta nilai sosial budaya Indonesia masih membatasi pemakaian pronomina itu. Pronomina ini dipakai pada saat: 1. Dalam hubungan yang tak pribadi sehingga Anda tidak diarahkan pada satu orang khusus. Contohnya: * Sebentar lagi kita akan mengudara; Anda kami mohon mengenakan sabuk pengaman. * Pakailah sabun ini; kulit Anda akan bersih.
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab. Contohnya: * Anda sekarang tinggal di mana? * Apa Anda sudah mendengar berita itu? c. Seperti halnya dengan daku, dikau juga dipakai dalam ragam bahasa tertentu, khususnya ragam sastra. Bahkan, dalam ragam sastra itu pun pronomina dikau tidak sering dipakai lagi. Contohnya: * Yang kurindukan hanya dikau seorang. * Percayalah, dikaulah yang menjadi tambatan hatiku. Selain itu, tata bahasa baku bahasa Indonesia juga menyatakan bahwa persona kedua dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk jamak. Ada dua macam bentuk jamak yakni (1) kalian, dan (2) persona kedua ditambah dengan kata sekalian seperti dalam Anda sekalian atau kamu sekalian. Meskipun kalian tidak terikat pada tata krama sosial, orang muda atau orang yang status sosialnya lebih rendah umumnya tidak memakai bentuk itu terhadap orang tua atau atasannya. Sebaliknya kebalikannyalah yang terjadi. Kemudian, pemakaian kamu sekalian atau Anda sekalian sama dengan pemakaian untuk pronomina dasarnya, kamu dan Anda, kecuali dengan tambahan pengertian kejamakan.
Universitas Sumatera Utara
Persona kedua yang memiliki variasi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan –mu. Semua persona kedua yang berbentuk utuh dapat dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dengan menempatkannya di belakang nomina yang mengacu ke milik. Sebaliknya, hanya klitika –mu yang dapat juga mengacu pada pemilik, sedangkan kau- tidak dapat. 2.1.5.4 Persona Ketiga Persona ketiga tunggal dalam bahasa Indonesia adalah ia, dia, beliau untuk bentuk bebasnya, dan –nya untuk bentuk terikat. Bentuk terikat ini selalu ditulis serangkai pada akhir kategori lain, dan bentuk jamaknya hanya satu yaitu mereka. Penggunaan pronomina ketiga tunggal ini mempunyai ketentuan khusus. Hanya ia dan dia yang dapat menduduki posisi subjek atau berada di sebelah kanan verba. Yang dapat muncul di sebelah kiri verba hanya dia dan –nya. Jadi –nya hanya muncul di sebelah kiri verba dan tidak pernah muncul di sebelah kanannya, sedangkan ia hanya muncul di sebelah kanan verba tidak pernah di sebelah kirinya. Khusus untuk beliau, pemakaiannya terkait dengan situasi kesopanan atau rasa hormat (Alwi dkk, 1998: 256; Catford, 1965: 44). Sementara itu, pronomina persona ketiga jamak dapat muncul di sebelah kanan juga di sebelah kiri verba, seperti dalam contoh berikut ini: a. Ia hidup melarat di New York, sebagai penulis drama usia muda. b. Bill bertanya dalam hati, tapi ia tidak mengatakan apa-apa, sebab sudah jelas Adrian tak ingin dia ikut masuk, jadi ia tak masuk.
Universitas Sumatera Utara
c. Anak-anak datang mengunjunginya satu kali setiap dua liburan, dan sebulan lamanya saat musim panas. Bill semakin menyayangi mereka. d. Maafkan saya, Mr.Townsend tidak ada di tempat. Beliau sedang rapat. Dalam kalimat (a) ia hadir di sebelah kanan verba, dalam (b) dia merujuk pada Bill dan –nya hadir di sebelah kiri verba. Dalam kalimat (c) mereka bentuk jamak dari persona ketiga merujuk pada anak-anak, dan kalimat (d) beliau yang merujuk pada Mr.Townsend, digunakan untuk menunjukkan rasa hormat seorang sekretaris kepada atasannya. 2.1.5.5 Nomina Penyapa dan Pengacu sebagai Pengganti Pronomina Persona Menurut buku tata bahasa baku bahasa Indonesia, karena keanekaragaman dalam bahasa maupun budaya daerah, pemakai bahasa Indonesia memiliki pula bentuk-bentuk lain yang dipakai sebagai penyapa untuk persona kedua dan pengacu untuk persona pertama dan ketiga. Pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi hal itu: (1) letak geografis, (2) bahasa daerah, (3) lingkungan sosial, dan (4) budaya bangsa (Alwi dkk, 1998; 258). Letak geografis dapat menimbulkan tanggapan yang berbeda mengenai pronomina yang sama. Misalnya, pada masyarakat Jawa orang lebih suka menggunakan kamu daripada engkau meskipun kedua-duanya masih dianggap mengandung unsur kasar. Sebaliknya, di daerah Medan orang malah cenderung memakai engkau daripada kamu (Alwi dkk, 1998: 258).
Universitas Sumatera Utara
Bahasa daerah yang bermacam-macam di tanah air sering pula membuat orang dari daerah Ambon, misalnya, mempunyai pronomina beta sebagai padanan bagi pronomina persona pertama. Penutur Minangkabau cenderung memakai awak daripada kita dalam percakapan sehari-hari, sedangkan orang Manado memakai kitorang untuk kita. Lingkungan sosial seperti yang terdapat di daerah metropolitan Jakarta, yang menampung orang dari berbagai suku bangsa, dapat pula menimbulkan ragam bahasa yang berbeda. Pronomina gua atau gue dan lu dipakai di kota tersebut sebagai padanan bagi persona pertama dan kedua. Bahkan, di Jakarta pronomina baku kita atau kite diberi arti yang berbeda, yakni kata itu mengacu pada orang pertama tunggal (Alwi dkk, 1998). Budaya bangsa Indonesia yang memperthatikan benar tata krama dalam pergaulan sering membuat orang segan memakai pronomina persona kedua kamu, engkau, atau Anda karena pronomina seperti itu dirasakan kurang hormat. Oleh karena itu, ada perangkat nomina tertentu yang dipakai sebagai kata penyapa dan pengacu pemeran peristiwa ujaran. Pada umumnya nomina penyapa dan pengacu itu berkaitan dengan istilah kekerabatan seperti Bapak, Ibu, Kakek, Adik, dan Saudara, dan nama jabatan dan pangkat seperti lurah, profesor, dokter, kapten, dan sebagainya. Sebagai pengganti dari kalimat „Anda sekarang tinggal di mana?‟ Orang memperhalus dan mengakrabkannya dengan kalimat „Bapak sekarang tinggal di mana?‟ (Alwi dkk, 1998: 259).
Universitas Sumatera Utara
Baik nomina penyapa dan pengacu berdasarkan hubungan kekerabatan ataupun yang berdasarkan hubungan jabatan hierarki mempunyai bentuk yang lebih pendek, seperti Pak, Bu, Prof, dan Dok. Dalam konteks tertentu, bentuk lengkap dan bentuk singkatnya dapat dipakai. Akan tetapi, di dalam konteks kalimat yang lain, hanya salah satu yang dapat dipakai dan bukan yang lain. Apabila nama diri mengikuti nomina itu, kedua macam bentuk tersebut dapat dipakai. Contohnya: Baiklah, usul Saudara akan kami pertimbangkan. Bagaimana pendapat Saudara Daryanto? Bapak Daryanto (Pak Daryanto) sekarang tinggal di mana? (Pertanyaan yang diajukan kepada orang yang bernama Daryanto) Antarkan surat ini kepada Bapak. (Permintaan kepada pendengar yang membicarakan persona ketiga) Jika nomina tidak diikuti oleh nama diri, bentuk yang pendek tidak dipakai. Kalimat yang berikut tidak berterima: Tadi pagi Pak pergi ke mana? Apa Bu sudah makan? Apa Dok bersedia memberi resep tanpa periksa? Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita harus membedakan pronomina persona dari nomina penyapa dan nomina pengacu persona. Nomina penyapa dipakai untuk pendengar/pembaca, sedangkan pengacu digunakan
Universitas Sumatera Utara
untuk mengacu pada orang yang dibicarakan. Namun, keduanya bukan pronomina dan bukan pengganti pronomina.
2.2 Landasan Teori Bagian ini akan menjelaskan secara mendetail tentang teori-teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Sehubungan dengan hal tersebut, teori yang akan digunakan adalah teori Penerjemahan Berdasarkan Makna (Meaning-Based Translation); teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF); teori pergeseran (shift); dan konsep fungsi ujar.
Teori penerjemahan yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah teori penerjemahan berdasarkan makna (Meaning-Based Translation) yang dikemukakan oleh Mildred Larson, sedangkan teori LSF (Linguistik Sistemik Fungsional) yakni yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday. Selanjutnya, teori lain yang digunakan dalam menganalisis permasalahan penelitian ini yakni teori pergeseran (shift) menurut Catford dalam bukunya yang berjudul A Linguistic Theory of Translation yang diterbitkan tahun 1965 (seperti yang dipaparkan pada bagian 2.1) dan konsep fungsi ujar menurut Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Kesantunan Berbahasa yang diterbitkan pada tahun 2010.
Adapun latar belakang penggunaan teori-teori tersebut sebagai landasan dalam penelitian ini yaitu karena beberapa teori tersebut sangat sesuai dalam menganalisis segala permasalahan penelitian ini. Adanya konsep Larson yang dipadukan dengan
Universitas Sumatera Utara
konsep LSF menurut Halliday dapat membuktikan bahwa penciptaan teks terjemahan (subtitle) sebuah film itu tidak terlepas dari konteks situasi dan konteks budaya. Sementara itu, teori pergeseran (shift) menurut Catford sesuai digunakan untuk mengungkap jenis pergeseran yang terjadi. Selanjutnya, konsep fungsi ujar menurut Abdul Chaer juga dianggap sesuai untuk digunakan dalam menganalisis bentuk ujaran yang terdapat baik dalam TSu maupun TSa. Di sini, konsep ujar menurut Abdul Chaer yang digunakan yaitu karena Chaer dalam bukunya yang berjudul Kesantunan Berbahasa mengungkap bentuk-bentuk ujaran yang lazim digunakan dalam komunikasi secara lisan. Hal ini sesuai dengan data atau sumber data dalam penelitian ini yakni berupa teks lisan dan tulisan. Selain itu, banyaknya kesesuaian fungsi ujar yang ditemukan dalam data atau sumber data pada penelitian ini dengan fungsi ujar menurut Abdul Chaer juga mendasari pemilihan teori tersebut.
2.2.1 Teori Penerjemahan Berdasarkan Makna (Meaning-Based Translation)
Dalam kaitannya dengan definisi penerjemahan, ada banyak pakar atau ahli penerjemahan yang mengemukakan konsep mereka. Salah satu ahli penerjemahan yang cukup terkenal dengan konsepnya adalah Mildred Larson yang mencetuskan teori Penerjemahan berdasarkan makna (Meaning-Based Translation). Teori ini sekaligus digunakan menjadi acuan dalam menganalisis unsur tenor (pelibat wacana) pada sumber data (TSu dan TSa). Konsep teori ini diperoleh dari buku Mildred Larson yang berjudul Meaning-Based Translation yang diterbitkan pada tahun 1984
Universitas Sumatera Utara
oleh penerbit University Press of America. Dalam bukunya, Larson (1984:3) menyatakan “translation consists of transferring the meaning of the source language into receptor language.” Larson secara sederhana mendefinisikan penerjemahan sebagai proses pengalihan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Selain itu, Larson juga menyebutkan ”it is meaning which is being transferred and must be held constant. Only the form changes”. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa Larson berpendapat bahwa yang mengalami perubahan dalam penerjemahan hanyalah bentuknya. Makna yang ada dalam bahasa sumber ditransfer ke bahasa sasaran dan makna ini haruslah konstan. Pendapat Larson mengenai pengalihan makna dalam penerjemahan ini diperkuat oleh pendapat Newmark yang menyatakan “…it is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” (1988:5). Pada kutipan di atas, Newmark menyebutkan bahwa dalam proses penerjemahan, maksud si penulis teks bahasa sumber haruslah dapat tersampaikan pada pembaca bahasa sasaran. Selain itu, Larson (1984:17) menyatakan bahwa saat menerjemahkan sebuah teks, tujuan penerjemah adalah mencapai translasi idiomatik yang sedemikian rupa, berusaha untuk mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber (BSu) ke dalam bentuk alami dari bahasa sasaran (BSa). Oleh karena itu, penerjemahan merupakan kegiatan yang berkenaan dengan studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi, dan konteks budaya teks bahasa sumber yang dianalisis dengan maksud
Universitas Sumatera Utara
untuk menentukan maknanya. Makna yang ditemukan kemudian diungkapkan dan dikonstruksikan kembali dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa dan konteks budayanya. Dengan kata lain, sebuah penerjemahan tidak semata-mata memfokuskan perhatian pada ketepatan makna saja tetapi juga harus memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut. Situasi komunikasi dalam hal ini berkaitan erat dengan field (medan wacana), tenor (pelibat wacana), dan mode (sarana). Adanya keterkaitan konsep Larson dengan topik penelitian ini mendasari peneliti dalam memilih konsep Larson tersebut sebagai acuan menganalisis segala permasalahan penelitian ini. 2.2.2 Kesepadanan Makna Kemudian, penelitian ini juga berfokus kepada konsep kesepadanan makna menurut Larson. Larson (1984: 36-37) mengemukakan bahwa ada tiga jenis makna, yaitu makna referensial, makna konteks linguistik, dan makna situasional. Makna referensial adalah makna yang terkandung pada struktur semantis yang merujuk langsung pada unsur tertentu yang dapat dilihat atau dibayangkan. Makna konteks linguistik adalah makna yang diperoleh dari kombinasi atau gabungan makna referensial yang tersusun secara semantis, dan makna situasional adalah makna yang diperoleh berdasarkan situasi komunikasi tertentu yaitu yang berhubungan dengan hubungan antar partisipan seperti usia dan status sosial, situasi komunikasi seperti
Universitas Sumatera Utara
tempat dan waktu berlangsungnya komunikasi serta latar belakang budaya partisipannya. Pemilihan konsep kesepadanan makna menurut Larson ini yang akan digunakan yaitu karena didasarkan pada jenis makna yang dikemukakan oleh Larson tersebut sangat sesuai dalam menganalisis topik dalam penelitian ini (konsep pelibat wacana atau partisipan). Dalam kaitannya dengan makna referensial pelibat wacana bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, pada dasarnya kedua bahasa mempunyai makna referensial yang sama, yaitu dalam hal merujuk. Pelibat wacana di sini selalu dimunculkan dengan penggunaan pronomina baik pronomina persona, pronomina penunjuk, dan pronomina penanya yang merujuk kepada pembicara, lawan bicara, dan orang yang dibicarakan. Demikian juga halnya dengan makna konteks linguistik seperti dalam hal fungsi sintaksis, dan makna situasional seperti situasi, tempat, serta waktu komunikasi berlangsung. Meskipun terdapat kesamaan di antara ketiga-tiganya, terdapat juga perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan jumlah pelibat yang diaplikasikan melalui pemakaian pronomina dalam kedua bahasa. Dalam bahasa Inggris, pembicara yang dinyatakan dengan pronomina persona untuk setiap kategori hanya memiliki satu bentuk, sedangkan dalam bahasa Indonesia ada beberapa bentuk yang masing-masing mengandung makna khusus. Misalnya persona I (B.Ing) dalam bahasa Indonesia menjadi saya, aku, hamba, ku- dan lain-lain. Selain itu, perbedaan kedua bahasa tersebut juga dipengaruhi oleh makna situasionalnya. Dalam hal ini,
Universitas Sumatera Utara
pemakaian pronomina persona bahasa Indonesia sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur sosial, misalnya pronomina kedua bahasa Indonesia tidak lazim digunakan pada lawan bicara yang usianya atau status sosialnya lebih tinggi dari pembicara. Oleh karena itu, untuk mendapatkan padanan yang tepat diperlukan kecermatan dalam hal memilih bentuk yang dapat mencerminkan makna yang sama dengan yang dimaksud oleh penulis atau pengarang teks bahasa sumber (BSu) dan sesuai dengan aturanaturan yang ada dalam bahasa sasaran (BSa). 2.2.3 Teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) Teori lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang dikemukakan oleh Halliday. Hal ini didasarkan oleh karena teori LSF ini merupakan teori linguistik yang paling relevan dengan penerjemahan. Di samping itu, fungsi bahasa menurut Halliday juga akan dikemukakan pada bagian ini mengingat bahwa kajian penerjemahan dan teori LSF melibatkan bahasa. Selain itu, teori Linguistik Sistemik Fungsional merupakan teori yang memandang bahwa kajian bahasa tidak dapat terlepas dari konteksnya. Konsep LSF yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan pandangan M.A.K. Halliday dalam bukunya yang berjudul Language as Social Semiotics yang diterbitkan tahun 1978. Buku lain yang dirujuk yaitu buku Halliday dan Hassan yang berjudul Language, Context, and Text: Aspect of Language in a Social Semiotic Perspective yang diterbitkan pada tahun 1985.
Universitas Sumatera Utara
Halliday (1978:2) mengemukakan bahwa konteks sebagai wadah makna dipertukarkan tidak terlepas dari nilai-nilai sosial; dan konteks bahasa itu sendiri merupakan konstruk semiotik. Menurut Halliday bahasa sebagai semiotik sosial terdiri dari tiga unsur (tingkatan), yakni „arti‟, „bentuk‟, dan „ekspresi. Secara teknis, ketiga unsur tersebut dinamakan semantik, tata bahasa (lexicogrammar), dan fonologi (lisan), grafologi (tulisan), atau isyarat (sign). Selanjutnya, Halliday juga memandang bahasa wujud dalam konteks sosial yang mencakup unsur situasi, budaya, dan ideologi. Dalam hal ini, hubungan bahasa dengan konteks sosial adalah hubungan yang timbal balik dengan pengertian bahwa konteks sosial menentukan bahasa dan pada gilirannya bahasa menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, Halliday menganggap bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan konteks. Konteks sebagai wadah terjadinya peristiwa bahasa terdiri dari tiga lapisan, yakni konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi” (Martin dalam Lubis, 2009:23). Sehubungan dengan hal itu, Lubis menegaskan bahwa “ketiga konsep ini mengitari teks secara bertingkat dan membentuk hubungan semiotik bertingkat. Oleh sebab itu makna sebuah teks akan dipahami dengan pertama-tama memahami konteks situasi, kemudian konteks budaya, dan pemahaman terhadap konteks budaya ditentukan oleh ideologi” (Lubis, 2009: 31). Dengan demikian maka hubungan bahasa dengan konteks dapat digambarkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Ideologi Budaya Situasi Teks Sebuah teks menurut Halliday dan Hasan (1985:8-9) adalah bahasa yang fungsional dalam konteks. Dengan kata lain, bahasa yang memberi arti kepda pemakainya disebut bahasa yang fungsional. Hal ini berarti sebuah teks merupakan unit arti atau unit semantik dan bukan unit tata bahasa. Jadi, bahasa itu berfungsi di dalam konteks sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, Lubis dalam disertasinya memberikan contoh sebuah tulisan pendek pada rambu lalu lintas di sebuah persimpangan jalan “Turn left at any time with care” adalah sebuah teks yang sedang berfungsi dalam konteks. Di sini konteksnya ialah jalan itu sendiri dan pemakai jalan. Namun bila tulisan yang sama ditulis pada papan tulis oleh seorang guru bahasa untuk menganalisis strukturnya, tulisan itu tentu saja bukanlah sebuah teks karena tidak sedang berfungsi (Lubis, 2009: 26). Dengan kata lain, sebuah teks itu berfungsi dalam konteks. Maka setiap teks dibentuk oleh konteks situasi. Dalam hal ini, seorang penutur dapat berbicara secara ringkas atau panjang lebar dengan cara memaksa
Universitas Sumatera Utara
ataupun membujuk, tegas atau ragu-ragu, kasar atau lembut, dengan bahasa umum atau teknis dan sebagainya, masing-masing pilihan ditentukan oleh konteks situasi. Kemudian, selain bersifat fungsional, dalam perspektif LSF, bahasa juga adalah kontekstual. Prinsip kontekstual bahasa mengimplikasikan bahwa bahasa merealisasikan dan direalisasikan oleh konteks yang berada di luar bahasa tempat bahasa itu digunakan. Halliday dan Hassan (1985:10) menambahkan bahwa bahasa adalah kontekstual karena pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Jadi ada teks, dan ada teks lain yang menyertainya. Teks lain inilah yang disebut dengan konteks. Konteks dalam teori LSF terbagi atas konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks linguistik merujuk pada bahasa itu sendiri, sedangkan konteks sosial terdiri dari konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi. Konteks situasi menurut Halliday (1978:110) terdiri atas tiga unsur yakni: field (apa yang sedang dibicarakan); dalam situasi atau peristiwa apa partisipan terlibat, tenor atau siapa yang sedang berbicara atau siapa yang terlibat dalam peristiwa termasuk peranan dan status mereka, mode yaitu bagaimana pembicaraan itu dilakukan, misalnya secara lisan atau tulisan. Dengan menggunakan kata tanya apa, siapa, dan bagaimana dapat mendeskripsikan konteks situasi menurut Halliday. Apa mengacu kepada peristiwa yang sedang terjadi, aktivitas verbal dan non verbal apa yang sedang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
partisipan pada saat itu misalnya musyawarah, proses belajar-mengajar di dalam kelas, dan sebagainya. Siapa mengacu kepada partisipan apa yang terlibat dalam peristiwa verbal tersebut, bagaiman status masing-masing partisipan, peran dan sifat hubungan antara satu partisipan dan partisipan lainnya. Misalnya hubungan hirarkis seperti antara atasan dengan bawahan atau hubungan horizontal seperti antara dua orang sejawat yang memiliki hubungan yang setara. Bagaimana mengacu kepada cara apa partisipan melakukan aktivitas verbal tersebut, misalnya dengan menggunakan bahasa lisan atau tulis, hanya satu orang yang berbicara (monolog) seperti pidato, khotbah, dalam bentuk interaksi di antara sesama partisipan (dialog), dan gaya bahasa yang dipakai (formal atau tidak formal). Dalam hal ini, yang menjadi objek kajian penelitian
adalah
konteks
situasi
yang
terfokus
kepada
unsur
tenor
(siapa/pelibat/partisipan). Untuk meneliti unsur tenor atau pelibat wacana ini perlulah kita mengetahui fungsi bahasa. Selanjutnya peneliti memilih menggunakan teori LSF ini adalah pertama-tama karena teori ini merupakan teori yang memandang bahwa kajian bahasa itu tidak terlepas dari konteksnya. Berkaitan dengan penelitian ini, kajian penerjemahan (translasi) juga tidak terlepas dari kajian terhadap teks dan konteks. Selain itu, topik penelitian ini berfokus kepada unsur tenor (pelibat wacana) yang mana unsur tersebut terdapat dalam bahasa dilihat dari konteks sosialnya, yakni konteks situasi. Selanjutnya adanya konsep yang menyatakan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteksnya dan kajian penerjemahan adalah kajian yang melibatkan dua bahasa
Universitas Sumatera Utara
yang juga berkaitan erat dengan konteks bahasa tersebut membuat peneliti menjadikan teori LFS ini sebagai teori pendukung dalam penelitian ini. Dengan kata lain, menurut peneliti, untuk memahami bahasa dan penerjemahan, maka sebaiknyalah memahami konteksnya terlebih dahulu. 2.2.4 Teori Fungsi Ujar Teori lain yang digunakan pada penelitian ini adalah teori fungsi ujar menurut Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Kesantunan Berbahasa. Konsep fungsi ujar yang dipakai adalah berdasarkan teori Abdul Chaer karena konsep fungsi ujar menurut Chaer ini dinilai lebih sesuai digunakan untuk menganalisis sumber data yang berupa data lisan (film). Selain itu, konsep fungsi ujar yang dipaparkan oleh Chaer ini lebih banyak ditemukan di dalam film yang menjadi sumber data penelitian ini. Menurut Abdul Chaer, fungsi utama pertuturan itu jika dilihat dari pihak penutur adalah fungsi menyatakan (deklaratif), fungsi menanyakan (interogatif), fungsi menyuruh (imperatif) termasuk fungsi melarang, fungsi meminta maaf, dan fungsi mengeritik. Dilihat dari pihak lawan tutur adalah fungsi komentar, fungsi menjawab, fungsi menyetujui termasuk fungsi menolak, fungsi menerima atau menolak maaf dan fungsi menerima atau menolak kritik (Chaer, 2010: 79). Karena fungsi untuk lawan tutur sifatnya berpasangan dengan fungsi untuk penutur, maka keduanya akan dibahas sekaligus sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1.Fungsi Menyatakan (Deklaratif) Fungsi menyatakan di dalam kajian gramatikal dilakukan dalam bentuk kalimat deklaratif, yakni kalimat yang hanya menyampaikan berita atau kabar tentang keadaan di sekeliling penutur. Dengan tuturan dalam kalimat deklaratif ini penutur tidak mengharapkan adanya komentar dari lawan tutur. Namun, bukan berarti lawan tutur tidak boleh mengomentarinya. Komentar bisa saja disampaikan sehubungan dengan informasi yang disampaikan penutur. Contohnya: A: Tetangga kita yang baru itu kemarin ditangkap KPK B: (tidak ada komentar) He, kenapa? Apa salahnya, ya? Wah, dia kan orang baik, suka menyumbang. Komentar lawan tutur bisa bermacam-macam sesuai dengan pengetahuan lawan tutur berkenaan dengan tuturan penutur. Dilihat dari maksud tuturannya, fungsi menyatakan ini digunakan untuk beberapa keperluan: pertama, untuk menyatakan atau menyampaikan informasi faktual saja; kedua, untuk menyatakan keputusan atau penilaian; ketiga untuk menyatakan ucapan selamat atau ucapan duka kepada lawan tutur; dan keempat, untuk menyatakan perjanjian, peringatan atau nasihat.
Universitas Sumatera Utara
2.Fungsi Menanyakan (Interogatif) Tuturan dengan fungsi menanyakan dilakukan dalam bentuk kalimat bermodus interogatif. Ciri utama kalimat interogatif dalam bahasa Indonesia adanya intonasi naik pada akhir kalimat. Bila ada intonasi, meskipun kalimatnya tidak lengkap, maka kalimat tersebut sudah sebagai kalimat interogatif atau tuturan yang mengemban fungsi menanyakan. Kemudian, semua tuturan yang berfungsi menanyakan (interogatif) menghendaki adanya jawaban, terutama jawaban lisan; meskipun kemungkinan jawaban dilakukan dalam bentuk tindakan. Contohnya tuturan berikut ini yang diujarkan oleh seorang ibu pagi hari kepada anaknya yang sudah harus segera berangkat sekolah. A: Kamu belum mandi, Nak? B: (tidak berkata apa-apa; melainkan langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi). Dilihat dari jawaban yang dikehendaki atau yang diberikan oleh lawan tutur, dibedakan tuturan dengan fungsi menanyakan (interogatif) yang (a) meminta pengakuan “ya” atau “tidak” dan “ya” atau “bukan”; (b) meminta keterangan mengenai objek yang ditanyakan; (c) meminta alasan atas buah pikiran lawan tutur; (d) meminta pendapat atau buah pikiran lawan tutur; (e) menyungguhkan yang ditanyakan.
Universitas Sumatera Utara
3.Fungsi Memerintah (Imperatif) Tuturan dengan fungsi memerintah dilakukan dalam kalimat bermodus imperatif. Ciri umum kalimat bermodus imperatif adalah digunakan verba dasar atau verba tanpa prefik me-. Misalnya: baca!, baca yang keras!, coba baca baik-baik!, pergi!, pergi cepat!, silahkan pergi dari sini!. Tuturan dengan fungsi memerintah ini yang disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur dengan harapan agar lawan tutur melaksanakan isi tuturan itu. Namun, dalam kenyataan bertutur, fungsi memerintah ini tidak selalu dilakukan dalam kalimat bermodus imperatif, tetapi dilakukan juga dalam berbagai bentuk lain seperti tuturan di bawah ini: a) Kalimat bermodus imperatif seperti yang disebutkan dalam buku-buku tata bahasa. Contoh: Pindahkan kotak ini! Usir anjing itu! b) Kalimat performatif eksplisit. Misalnya saya minta Saudara memindahkan kotak ini. c) Kalimat performatif berpagar (hedge). Contohnya saya sebenarnya mau meminta Saudara memindahkan kotak ini. d) Kalimat menyatakan keharusan. Contohnya Saudara harus memindahkan kotak ini. e) Kalimat menyatakan keinginan. Misalnya saya ingin kotak ini dipindahkan. f) Kalimat dengan saran. Misalnya: bagaimana kalau kotak ini dipindahkan? g) Kalimat dengan pertanyaan. Misalnya: Saudara dapat memindahkan kotak ini?
Universitas Sumatera Utara
h) Kalimat dengan isyarat kuat. Misalnya: dengan kotak ini di sini, ruangan kelihata sesak. i) Kalimat dengan isyarat halus. Misalnya: ruangan ini kelihatan sesak. Tuturan dengan fungsi memerintah secara garis besar dapat dibagi dua yaitu tuturan yang berfungsi suruhan dan tuturan yang berfungsi larangan. 4. Melarang Tuturan dengan fungsi larangan atau melarang juga dilakukan dalam kalimat bermodus imperatif. Misalnya: • Dilarang keras parkir di sini! • Dilarang parkir di sini! • Parkirlah kendaraan Anda di tempat lain! • Sebaiknya Anda parkir di tempat lain. • Mohon agar tidak parkir di sini. 5.Menyetujui dan Menolak Tuturan menyetujui atau menolak pada dasarnya adalah tuturan yang disampaikan oleh lawan tutur sebagai reaksi atas tuturan yang dikeluarkan oleh seorang penutur. Contohnya:
Universitas Sumatera Utara
A: Tolong pindahkan kotak ini! B: Baik, Pak! Sebentar saya pindahkan! Tuturan di atas menunjukkan tuturan yang berfungsi menyetujui. Sementara itu, tuturan berikut ini merupakan tuturan dengan fungsi menolak: A: Tolong, pindahkan kotak ini. B: Tidak mau, Pak. Saya masih sibuk. 6.Fungsi Meminta Maaf Pertuturan dengan fungsi meminta maaf biasanya dilakukan oleh penutur atau lawan tutur karena penutur atau lawan tutur merasa punya kesalahan atau telah dan akan melakukan “ketidaknyamanan” terhadap mitra tuturannya. Di dalam bahasa Indonesia hanya sebuah kata untuk meminta maaf, yaitu kata maaf. Berbeda dengan bahasa yang memiliki beberapa variasi kata yaitu be sorry, apologize, excuse, pardon, regret, dan forgive. Menurut Yanti dalam Chaer, ada tiga macam tindak tutur maaf dalam bahasa Indonesia, yaitu (a) tindak tutur maaf langsung yang dilontarkan tanpa basa-basi yang terbagi lagi atas dua jenis, yaitu (1) langsung dengan kesantunan positif dan (2) langsung dengan kesantunan negatif; (b) tindak tutur maaf yang tidak dilontarkan tetapi dapat diketahui secara tersirat; dan (c) hanya dengan diam saja (tanpa ujaran). Berikut ini disertai dengan contoh:
Universitas Sumatera Utara
• Tindak tutur maaf yang dilontarkan secara langsung dengan kesantunan positif. Contoh: Maaf, ya Bu, saya tidak sengaja. • Tindak tutur maaf yang dilontarkan secara langsung dengan kesantunan negatif. Contoh: Maaf, saya lupa! • Tindak tutur maaf yang hanya tersirat, tidak secara eksplisit menyebutkan maaf. Contoh: Aduh gimana, ya, saya tidak sengaja. 7. Fungsi Mengeritik Dalam pertuturan sehari-hari mengeritik berarti menyebutkan keburukan, kekurangan, kekeliruan, atau kesalahan seseorang. Misalnya: • Masakan ini sangat luar biasa enaknya, hanya agak pedas sedikit rasanya. • Apa yang kurang dari gadis itu? Dia cantik, pandai, dan menarik; hanya kadangkadang dia agak angkuh kepada kita.
2.3 Kajian Terdahulu
Adapun beberapa penelitian terdahulu yang juga berhubungan dengan topik penelitian ini dan juga dijadikan sebagai sumber acuan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
2.3.1
T. Winona Emelia, 2001.
T. Winona Emelia, 2001, dalam tesisnya yang berjudul Makna Antarpersona Dalam Iklan Lisan dan Tulisan. Penelitian ini merupakan penelitian kajian wacana yang mengkaji tentang makna antarpersona yang terdapat dalam iklan lisan dan tulisan. Selain itu, penelitian ini memaparkan bentuk fungsi ujar yang terdapat dalam iklan lisan dan tulisan (sensitif dan non sensitif); fungsi ujar yang dominan penggunaannya serta bagaimana realisasinya dalam modus; serta perbedaan metafora antarpersona yang digunakan dalam iklan sensitif dan non sensitif. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori LFS (Linguistik Fungsional Sistemik). Adanya keterkaitan di antara kajian beliau dengan penelitian ini yaitu bahwa dalam penelitian ini penulis menggunakan landasan teori yang sama dalam meneliti objek penelitiannya. Perbedaan antara kajian terdahulu ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah bahwa penelitian beliau adalah murni kajian wacana yang memfokuskan kepada analisis makna antarpersona yang mengacu kepada modus, sedangkan penelitian ini merupakan gabungan di antara kajian penerjemahan dan kajian wacana yang mengacu kepada konteks situasi yakni hubungan antar pelibat (tenor).
2.3.2 Yusniaty Galingging, 1999. Yusniaty Galingging, 1999, dalam tesisnya yang berjudul Penerjemahan Pronomina Persona Insan Bahasa Inggris Ke Bahasa Indonesia : Sebuah Studi
Universitas Sumatera Utara
Kasus, mendeskripsikan bentuk-bentuk pronomina persona insan dalam novel bahasa Inggris
dan
terjemahannya
(bahasa
Indonesia).
Teori
penerjemahan
yang
digabungkan dengan teori LFS sebagai pendukung dipakai sebagai landasan teori dalam penelitian tersebut. Dalam hal ini, beliau membahas apakah pronomina yang digunakan dalam teks sumber (TSu) sepadan dengan teks sasaran (TSa) baik dari konteks situasi maupun konteks budaya yang berlaku pada bahasa sasaran (BSa). Kemudian, keterkaitan kajian ini dengan penelitian yang telah beliau lakukan adalah bahwa objek kajian dalam penelitian beliau ini juga berkaitan dengan objek penelitian dalam tesis ini. Tenor atau hubungan di antara pelibat yang menjadi objek kajian dalam tesis ini terwujud melalui penggunaan Pronomina dimana pronomina tersebut merujuk kepada si pembicara, lawan bicara, dan pihak lain yang dibicarakan. 2.3.3 Syahron Lubis, 2009. Syahron
Lubis,
2009,
dalam
disertasinya
yang
berjudul
berjudul
Penerjemahan Teks Mangupa Dari Bahasa Mandailing Ke Dalam Bahasa Inggris. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang memfokuskan pada kajian penerjemahan teks bahasa daerah ke dalam bahasa Inggris. Data yang dianalisis adalah berupa data tulisan tentang adat mangupa dalam bahasa Mandailing yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Selain itu, dalam disertasi ini, peneliti juga memaparkan hubungan antara kajian penerjemahan yang erat kaitannya dengan teori LFS (Linguistik Fungsional Sistemik), di mana dalam menerjemahkan sebuah teks, apapun teksnya, seorang
Universitas Sumatera Utara
penerjemah harus memperhatikan konteks baik konteks situasi (field, mode, tenor) dan konteks budaya. Kajian ini dijadikan sebagai kajian terdahulu dalam tesis ini yaitu karena landasan teori yang beliau gunakan sebagai teori pendukung untuk teori penerjemahan sama dengan teori yang digunakan peneliti dalam tesis ini. Perbedaannya terletak pada objek kajian beliau dengan objek kajian penulis dalam tesis ini. Penulis dalam tesis ini mengkaji tentang penerjemahan unsur pelibat dari TSu berupa teks bahasa Inggris ke dalam TSa berupa teks bahasa Indonesia; sementara kajian beliau berpusat pada penerjemahan teks budaya dari TSu yang berupa teks bahasa daerah (bahasa Mandailing) ke dalam TSa yang berupa teks bahasa Inggris. 2.3.4 Rosmawaty Harahap, 2010. Rosmawaty Harahap, 2010, dalam disertasinya yang berjudul Kesepadanan Dan Pergeseran Dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian Dari Bahasa Angkola Ke Bahasa Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dilandasi oleh kerangka teori yang bersifat plural dan elektik (text-based theory dan translator-based theory) di satu sisi dan di sisi lain form-based translation dan meaning-based translation. Penelitian yang beliau lakukan bertujuan untuk mengungkapkan masalah-masalah kesepadanan dan pergeseran dalam teks terjemahan fiksi Halilian Angkola-Indonesia. Dengan kata lain, fokus kajian yang beliau lakukan terletak pada kesepadanan dan pergeseran makna pada teks budaya. Di dalam penelitiannya, beliau menggunakan teori Semantik sebagai pisau analisis.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini, keterkaitan antara kajian ini dengan penelitian yang peneliti telah lakukan yaitu bahwa adanya sedikit persamaan fokus pembahasan yakni pada pergeseran dan kesepadanan dalam kajian penerjemahan teks. Perbedaannya terletak pada data dan sumber data yang dianalisis. Data yang menjadi objek kajian beliau adalah teks daerah yang berupa teks tulisan, sedangkan data yang penulis teliti di sini adalah berupa teks lisan sebuah film berbahasa Inggris. Selain itu, perbedaan kedua kajian ini juga terletak pada teori yang digunakan. Penulis di sini menggunakan teori LFS sebagai pendukung teori penerjemahan, sedangkan teori yang digunakan pada disertasi Rosmawaty (2010) adalah teori Semantik. 2.3.5 Risnawaty, 2011. Risnawaty, 2011, dalam disertasinya yang berjudul Pergeseran Makna Tekstual Dalam Terjemahan Teks Populer “See You At The Top” (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) juga dijadikan sebagai kajian terdahulu dalam tesis ini. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang penerjemahan dan wacana yang bertujuan untuk mengungkapkan pergeseran makna tekstual yang terdapat dalam sebuah buku teks berjudul “See You At The Top” dan versi terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan dua landasan teori. Pertama, teori Halliday dan Hassan yang berhubungan dengan pengidentifikasian tema-rema dan kohesi; dan kedua teori Catford, Nida dan Taber, Larson, dan Zellermeyer dalam menganalisis pergeseran pada penerjemahan. Keterkaitan kajian beliau dengan penelitian ini terletak pada
Universitas Sumatera Utara
persamaan kajian yaitu kajian penerjemahan dan kajian wacana. Selain itu, penulis dalam penelitian ini juga menggunakan teori Halliday dalam menganalisis teks yang menjadi data penelitian. Meskipun demikian, baik kajian dalam penelitian ini maupun penelitian Risnawaty (2011) dalam disertasinya tetap berbeda. Dalam hal ini, objek penelitian penulis adalah seputar konteks situasi yang merujuk kepada hubungan antar pelibat dalam teks film bahasa Inggris dan subtitlenya dalam bahasa Indonesia, sedangkan objek kajian beliau adalah seputar analisis tekstual yang mengacu kepada tema-rema dan kohesi dalam buku bahasa Inggris dan terjemahannya. 2.3.6 Muhizar Muchtar, 2011. Muhizar Muchtar, 2011, dalam disertasinya yang berjudul Tematisasi Dalam Translasi Dwibahasa: Teks Bahasa Indonesia-Inggris, pada dasarnya bertujuan untuk melihat pengedepanan ide dan pemodelan dalam penerjemahan. Dalam penelitiannya, beliau menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang terfokus pada sistem tema dan rema dan teori penerjemahan menurut Larson dan Catford untuk menghasilkan kaidah penerjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebagai BSu dan BSa. Adapun keterkaitan penelitian beliau dengan penelitian yang penulis lakukan terletak pada gabungan dua kajian, yaitu sama-sama menggabungkan kajian penerjemahan dan kajian wacana serta kesamaan teori yang digunakan. Sementara itu, perbedaan kedua penelitian ini terletak pada sumber data dan topik yang dianilisis.
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Rudy Sofyan, 2009. Rudy Sofyan, 2009, dalam tesisnya yang berjudul Pergeseran Tema Topikal Pada Terjemahan Faktual Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia. Penelitian ini merupakan penelian kualitatif dengan studi pustaka. Penelitian beliau ini bertujuan untuk menemukan tema yang dominan dan mengapa tema tersebut mendominasi. Selain itu, pemaparan tentang pergeseran tema pada tataran klausa dan sampai sejauh mana pergeseran tersebut mempengaruhi makna terjemahan juga menjadi salah satu tujuan dilakukannya penelitian ini. Untuk mencapai tujuan tersebut, beliau menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) dan teori pergeseran menurut Catford. Dari hasil penelitian yang ditemukan, pergeseran pada tataran tema topikal banyak dijumpai. Akan tetapi, pergeseran ini tidak terlalu mengubah makna pada padanan terjemahannya. Keterkaitan kajian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah adanya persamaan teori yang digunakan yakni pemakaian teori LFS dalam mengkaji teks yang menjadi data dalam penelitian. 2.3.8 Barry Turner dan Isabella Wong, 2010. Barry Turner dan Isabella Wong, 2010, dalam jurnal yang berjudul Translation & Interpreting Vol 2, No 2, yang diperoleh melalui sumber internet pada file yang berjudul Tenor of Discourse in Translated Diglossic Indonesian Film Subtitles. Kajian ini merupakan kajian terjemahan yang menitikberatkan pada analisis teks terjemahan (subtitle) film Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Yang menjadi data
Universitas Sumatera Utara
dalam penelitian ini merupakan unsur tenor of discourse atau pelibat wacana yang digunakan baik dalam teks sumber (TSu) maupun teks sasaran (TSa). Di sini, peneliti membandingkan antara pelibat serta hubungan antar pelibat yang digunakan pada TSu dan TSa. TSu diperoleh dari teks film berbahasa Indonesia sedangkan TSa diperoleh dari teks film yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Keterkaitan antara kajian ini dengan penelitian yang peneliti telah lakukan yaitu adanya kesamaan objek kajian penelitian. Perbedaannya terletak pada perbedaan teks sumber (TSu) dan teks sasaran (TSa) yang dikaji. Dalam hal ini, mereka meneliti penerjemahan tenor dari TSu yang diperoleh dari Film bahasa Indonesia yang masih banyak mengandung unsur kedaerahan.
Universitas Sumatera Utara