BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1
Kajian Pustaka Pada kajian pustaka dicantumkan beberapa penelitian baik berupa skripsi
maupun tesis yang menganalisis tentang ekuivalensi leksikal dan analisis komponen makna. Penelitian-penelitian tersebut dijadikan sebagai referensi bahan perbandingan dan pertimbangan dalam penelitian ini. Beberapa penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Laksemini (2010) dalam tesisnya yang berjudul A Study on English Medical Terms of Physiology of Eyes Organs and Their Indonesian Equivalent, menggunakan teori jenis penerjemahan Larson (1984), ekuivalensi penerjemahan Catford (1965), ekuivalensi leksikal Larson (1984) dan fungsi organ Pearce (2002). Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Laksemini mengumpulkan data yang diambil dari buku medis berbahasa Inggris dengan judul “Medical Physiology Tenth Edition” yang ditulis oleh Arthur C. Guyton, M.D. dan Jhon E. Wall, Ph.D. dan dipublikasikan oleh W.B. Saunders Company, dari halaman 566 sampai halaman 600 sebagai bahasa sumber (BSu) serta buku terjemahannya yang berjudul “Fisologi Kedokteran” yang diterjemahkan oleh dr. Irawati Setiawan, dr. LMA. Ken Ariata Tengadi dan dr. Alex Santoso dan dipublikasikan oleh Buku Kedokteran EGC Jakarta, dari halaman 779 sampai halaman 810 sebagai bahasa sasaran (BSa). Data yang dikumpulkan adalah yang berhubungan dengan organ mata. Dalam penganalisisan data metode yang di15
16
gunakan adalah metode kualitatif dengan menjelaskan karakteristik dari data dan penyajian hasil analisis data adalah dengan menggunakan tabel. Hasil dari penelitian Laksemini menunjukkan bahwa terdapat 50 data yang berupa istilah medis yang berhubungan dengan organ mata yang ditemukan dalam sumber data baik yang terdiri dari satu kata atau lebih (berupa frasa), dan hanya terdapat ekuivalensi leksikal ketika konsep sama dan ketika konsep tidak diketahui. Data yang paling banyak terjadi adalah ekuivalensi leksikal ketika konsep tidak diketahui dengan jenis peminjaman kata. Persamaan penelitian Laksemini dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan teori ekuivalensi leksikal Larson sehingga penelitian Laksemini digunakan sebagai sumbangan informasi dalam menganalisis ekuivalensi leksikal dan memperkaya pemahaman ekuivalensi leksikal. Penelitian Laksemini berbeda dengan penelitian ini karena Laksemini hanya menganalisis tentang ekuivalensi leksikal sedangkan pada penelitian ini selain ekuivalensi leksikal juga menganalisis komponen makna untuk mengetahui terjadi atau tidaknya pergeseran makna. Sumber data yang digunakan juga berbeda, Laksemini menggunakan buku medis sedangkan penelitian ini menggunakan manga. Ahdiyani (2011) dalam skripsinya yang berjudul Penerjemahan Kosakata Medan Makna Universitas, menggunakan banyak teori seperti teori diksi dalam penerjemahan Moch. Syarif (2010), medan makna Trier (2004) dan Chaer (1995), komponen makna Chaer (1995) dan Pateda (2010), kolokasi Kamalie (2007) dan Harimurti (2007) dan pembentukan kolokasi Al-Tahir A. Hafiz (2004). Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskripsi analitis
17
yaitu dengan memaparkan dan mengaplikasikan teori-teori yang digunakan. Data yang digunakan diambil dari internet yang bersumber dari berita di Timur Tengah yang berhubungan dengan kosakata medan makna universitas dan beberapa sumber tertulis lain berupa studi pustaka. Hasil dari penelitian Ahdiyani adalah data kosakata medan makna universitas yang ditemukan dan dianalsis adalah rektor, dekan, dosen, mahasiswa/mahasiswi, SKS, KRS, fakultas, program studi, skripsi, tesis, disertasi, beasiswa, mata kuliah, indeks prestasi, BEM, UKM, dan sarjana. Berdasarkan analisis komponen makna, seluruh data tersebut memiliki ciri-ciri yang sama yang menunjukkan bahwa kata-kata tersebut merupakan satu medan makna yang mengacu pada kata universitas, sedangkan ciri pembeda menunjukkan setiap kata pasti memiliki perbedaan. Kosakata-kosakata tersebut jika diaplikasikan dengan konteks yang berbeda akan mengalami perubahan makna yang mengakibatkan perubahan medan makna. Analisis dengan menggunakan teori kolokasi mempengaruhi perubahan makna walaupun makna dasar suatu kata dalam suatu konteks tetap berpengaruh membentuk makna rasionalnya. Persamaan penelitian Ahdiyani dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan analisis komponen makna dalam menganalisis sumber data sehingga penelitian Ahdiyani digunakan sebagai sumbangan informasi dalam penggunaan analisis komponen makna dan memperkaya pemahaman penggunaan analisis komponen makna. Penelitian Ahdiyani berbeda dengan penelitian ini karena Ahdiyani juga membahas perubahan makna dari data yang dikumpulkan ketika diaplikasikan dengan konteks yang berbeda dengan menggunakan teori
18
kolokasi dan pembentukan kolokasi, sedangkan penelitian ini hanya membahas ekuivalensi leksikal dan analisis komponen makna yang digunakan untuk mengetahui terjadi atau tidaknya pergeseran makna pada data-data yang telah dikumpulkan. Sumber data yang digunakan juga berbeda, Ahdiyani menggunakan data yang bersumber dari internet dan beberapa studi pustaka yang berhubungan, sedangkan penelitian ini menggunakan manga. Prasetya (2013) dalam skripsinya yang berjudul Ekuivalensi Leksikal dalam Penerjemahan pada Novel Halloween Party dan Terjemahannya Karya Agatha Christie, menggunakan teori prosedur penerjemahan Larson (1984) dan Newmark (1988), dan pergeseran makna Simatupang (1999) dan Catford (1965). Metode penelitian yang digunakan adalah metode komparatif deskriptif yang berfokus pada deskripsi prosedur penerjemahan. Prasetya mengumpulkan data yang diambil dari novel Halloween karya Agatha Christie sebagai bahasa sumber (BSu) dan novel terjemahannya sebagai bahasa sasaran (BSa). Hasil dari penelitian Prasetya adalah dari data-data yang ia teliti prosedur penerjemahan dalam ekuivalensi leksikal yang terjadi adalah berupa ekuivalensi modifikasi kata umum, ekuivalensi modifikasi kata pinjaman dan subtitusi kultural, dan dari segi semantis terdapat dua pergeseran makna yaitu makna generik ke spesifik dan spesifik ke generik. Persamaan penelitian Prasetya dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan teori dari Larson (1984) yang memfokuskan penelitian pada ekuivalensi leksikal. Sehingga penelitian Prasetya digunakan sebagai sumbangan informasi dalam menganalisis ekuivalensi leksikal dan memperkaya pemahaman
19
ekuivalensi leksikal. Penelitian Prasetya berbeda dengan penelitian ini karena Prasetya menganalisis tentang ekuivalensi leksikal dan jenis pergeseran makna yang terjadi sedangkan pada penelitian ini menganalisis ekuivalensi leksikal dan analisis komponen makna untuk mengetahui terjadi atau tidaknya pergeseran makna pada data-data yang telah dikumpulkan. Sumber data yang digunakan juga berbeda, Prasetya menggunakan novel, sedangkan penelitian ini menggunakan manga. Suryawati (2015) dalam skripsinya yang berjudul Strategi Penerjemahan dan Pergeseran Makna Kosakata Budaya Material pada Novel Densha Otoko Karya
Nakano
Hitori
serta
Terjemahannya
dalam
Bahasa
Indonesia,
menggunakan teori strategi penerjemahan Mona Baker (1992), dan analisis komponen makna Roger T. Bell (1993). Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi pustaka dan teknik catat dalam pengumpulan data yang diperoleh dari novel Densha Otoko karya Nakano Hitori sebagai bahasa sumber (BSu) dan novel terjemahannya yang berjudul Train Man oleh Kanti Anwar sebagai bahasa sasaran (BSa). Metode deskriptif digunakan dalam menganalisis data dan metode formal dalam penyajian data. Hasil dari penelitian Suryawati terdapat lima strategi penerjemahan untuk menerjemahkan kosakata budaya material pada novel Densha Otoko yaitu; 1 data yang menggunakan strategi penerjemahan dengan kata yang lebih umum, 1 data yang menggunakan strategi penerjemahan dengan kata yang lebih netral, 14 data yang menggunakan strategi penerjemahan dengan penggantian budaya (cultural substitution), 16 data yang menggunakan strategi penerjemahan dengan kata pinjaman (loan word) atau kata pinjaman disertai
20
penjelasan dengan rincian 12 data yang menggunakan strategi penerjemahan dengan kata pinjaman (loan word), 4 data yang menggunakan strategi penerjemahan dengan kata pinjaman disertai penjelasan dan 10 data yang menggunakan strategi penerjemahan dengan parafrasa menggunakan kata yang berkaitan. Kosakata budaya material yang diterjemahkan dengan menggunakan strategi penggantian budaya (cultural substitution) dapat menimbulkan pergeseran makna terutama kategori makanan, rumah dan kota. Persamaan penelitian Suryawati dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan teori analisis komponen makna Roger T. Bell (1993) untuk mengetahui terjadi atau tidaknya pergeseran makna pada data yang diteliti. Penelitian Suryawati berbeda dengan penelitian ini karena Suryawati juga menganalisis prosedur penerjemahan sedangkan pada penelitian ini adalah ekuivalensi leksikal. Sumber data yang digunakan juga berbeda, Suryawati menggunakan novel, sedangkan penelitian ini menggunakan manga.
2.2
Konsep Dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep yang merupakan kata
kunci dari suatu penelitian, konsep-konsep yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut. 2.2.1 Penerjemahan Beberapa pakar penerjemahan memiliki definisinya masing-masing tentang penerjemahan. Nida (1969:12) menyatakan ‘translation consist of reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of the source language
21
message, first in terms of meaning and secondly in terms of style’ yang berarti ‘menerjemahkan adalah mereproduksi padanan yang wajar dan paling dekat dengan pesan BSu ke dalam BSa, pertama yang berhubungan dengan arti dan kedua berhubungan dengan gaya’ (dalam Hartono, 2009:1). Larson (1984:3) mengatakan ‘translation is transferring the meaning of the source language into receptor language. This is done by going form the form of the first language to the form of a second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must be held constant’. Dalam definisi ini, Larson memunculkan sebuah kelengkapan dan keharmonisan antara bentuk bahasa dan struktur makna. Makna yang dikandung oleh teks sumber (TSu) harus mampu ditransfer ke teks sasaran (TSa) dengan penuh tanggung jawab (dalam Hartono, 2009:2). 2.2.2 Ekuivalensi Leksikal Newmark (1988:48) mengatakan bahwa tujuan utama dari penerjemahan apapun adalah harus mencapai efek ekuivalensi. Ekuivalensi yaitu menghasilkan efek yang sama atau sedekat mungkin kepada pembaca terjemahan sebagai hasil yang telah diperoleh oleh seorang penerjemah. Hal ini juga disebut prinsip ‘respon ekuivalen’. Kridalaksana (1982:98), leksikal adalah bersangkutan dengan leksem (satuan leksikal dasar yang mendasari berbagai bentuk infleksi suatu kata, sebagai contoh kata slept dan sleeping adalah bentuk leksem dari sleep), bersangkutan dengan kata dan bersangkutan dengan leksikon (komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna) dan bukan dengan gramatika.
22
Catford (1965:71-72) Ekuivalensi leksikal (lexical equivalence) adalah kesepadanan leksikal yang mengikuti penyesuaian proses infleksi atau derivasi bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). 2.2.3 Komponen Makna Chaer (2013:114) meyatakan komponen makna atau sering disebut dengan komponen semantik adalah setiap kata atau unsur leksikalnya terdiri atas satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutir, atau disebutkan satu per satu, berdasarkan pengertian-pengertian yang dimilikinya. Bell (1993:87-88) menyatakan analisis komponen makna (componential analysis) dapat dimanfaatkan untuk mendeskripsikan komponen sistem semantik dari bahasa tertentu dan sangat berguna dalam mengetahui dan memperoleh persamaan dan perbedaan antar bahasa sehingga hal ini bernilai bagi penerjemah dan pembelajar bahasa.
2.3
Kerangka Teori Dalam sebuah penelitian, teori merupakan sebuah landasan yang akan
menjadi acuan pokok dalam penganalisisan data. Penelitian ini menggunakan ekuivalensi leksikal yang dikemukakan oleh Larson (1984) dan analisis komponen makna yang dikemukakan oleh Bell (1993). 2.3.1 Ekuivalensi Leksikal Penerjemahan dideskripsikan sebagai proses mempelajari kosakata, struktur gramatikal, dan situasi komunikasi dari teks bahasa sumber (BSu), lalu dianalisis
23
dengan tujuan mengetahui arti/maknanya, kemudian direkonstruksi kembali dengan menggunakan arti/makna yang sama dengan menggunakan bentuk natural dari bahasa sasaran (BSa). Seorang penerjemah akan selalu mencari ekuivalensi leksikal di antara bahasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa) walaupun proses ini terkadang sangat rumit. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam memilih ekuivalensi leksikal yang sesuai. Pertama, akan terdapat konsep pada teks sumber (TSu) yang telah diketahui pada bahasa sasaran (BSa) namun diterjemahkan dengan ekuivalensi yang tidak harfiah. Kedua, akan terdapat konsep pada bahasa sumber (BSu) yang tidak diketahui pada bahasa sasaran (BSa). Ketiga, terdapat unsur leksikal pada teks yang merupakan istilah-istilah kunci, yaitu suatu hal yang penting untuk tema dan perkembangan teks yang memerlukan perlakuan khusus (Larson, 1984:169). Secara garis besar pembagian ekuivalensi leksikal Larson dapat dilihat pada bagan berikut ini. Ekuivalensi Leksikal
1.
Ekuivalensi Leksikal Ketika Konsep Saling Mengetahui
a. Ekuivalensi Leksikal yang Harfiah b. Ekuivalensi Leksikal yang Tidak Harfiah 1) Frasa Deskriptif 2) Menggunakan Kata yang Berhubungan sebagai Kesepadanan - Sinonim - Bentuk Kembar Sinonim - Bentuk Kembar Hubungan Umum-Khusus - Antonim atau Negasi Antonim - Unsur Leksikal Resiprokal 3) Kata Umum dan Khusus - Kata Umum-Kata Khusus - Kata Khusus-Kata Umum 4) Makna Sekunder dan Figuratif
2.
Ekuivalensi Leksikal Ketika Konsep Tidak Diketahui
a. Bentuk dan Fungsi b. Kesepadanan dengan Memodifikasi Kata Umum - Modifikasi dengan Mengutamakan Bentuk - Modifikasi dengan Pernyataan dari Fungsi - Modifikasi dengan Bentuk dan Fungsi - Modifikasi dengan Perbandingan c. Kesepadanan dengan Memodifikasi Kata Asing d. Kesepadanan dengan Penggantian Budaya
3.
Permasalahan Khusus dalam Menemukan Ekuivalensi Leksikal
a. Kata-Kata Kunci b. Kata-Kata Simbolis c. Kombinasi Kata dan Kesalahan Penerjemahan Harfiah d. Salah Kawan e. Komponen Makna Eksplisit dan Implisit - Pasangan Leksikal yang Tidak Selaras - Eksplisit-Implisit - Implisit-Eksplisit
Bagan 2. Ekuivalensi Leksikal Larson
24
2.3.1.1 Ekuivalensi Leksikal Ketika Konsep Saling Mengetahui Meskipun sebagian besar konsep yang ada pada teks sumber juga terdapat pada bahasa sasaran, konsep ini diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda. Terdapat inti pada komponen makna yang saling diketahui antar suatu bahasa, tetapi hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai keselarasan mutlak. a.
Ekuivalensi Leksikal yang Harfiah Ekuivalensi
leksikal
yang
harfiah
adalah
kesepadanan
dalam
penerjemahan yang berusaha mengikuti bentuk dari bahasa sumber (BSu). Penerjemahan secara baris per baris (interlinear) merupakan penerjemahan harfiah mutlak, namun tidak umum digunakan karena biasanya terdengar tidak memiliki arti dan tidak memiliki nilai komunikasi (Larson, 1984:17). Contohnya adalah sebagai berikut : BSu : kan daro (Chuave, Papua Nugini) BSa : your-name call! (secara harfiah dalam bahasa Inggris) Hasil terjemahan pada BSa tidak memiliki banyak makna, penerjemahan yang lebih tepat seharusnya adalah what is your name?. Sebagian besar penerjemah yang cenderung menerjemahkan secara harfiah
sebenarnya
menggunakan
penerjemahan
harfiah
yang telah
disesuaikan. Penerjemahan ini mengubah urutan dan gramatika sedemikian rupa agar struktur kalimat menjadi jelas dan dapat diterima pada bahasa sasaran (BSa), tetapi unsur leksikalnya tetap diterjemahkan secara harfiah (Larson, 1984:18). Sebagai contoh adalah bahasa dari Papua Nugini yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris berikut ini:
25
BSu : ro ahombo ngusifu pamariboyandi BSa : I her heart I-fastened-her (harfiah mutlak) I fastened her in my heart (harfiah yang disesuaikan) Pada hasil penerjemahan harfiah yang disesuaikan, urutan berubah menyesuaikan menjadi struktur dalam bahasa Inggris yang lebih tepat, meskipun kalimat tersebut belum mampu menyampaikan makna dengan jelas. b.
Ekuivalensi Leksikal yang Tidak Harfiah Setiap bahasa menggabungkan dan mengelompokkan komponen makna secara berbeda-beda, sehingga biasanya terjadi ketidak sepadanan di antara makna sekunder dan makna figuratif dari unsur leksikal di antara dua bahasa. Sebuah ide dapat diekspresikan dari perspektif yang berbeda, seperti secara figuratif pada suatu bahasa dan non figuratif pada bahasa lain, atau secara positif pada suatu bahasa dan secara negatif pada bahasa lain. Seorang penerjemah harus mengetahui bahwa sebuah kata pada bahasa sumber (BSu) bisa diterjemahkan hanya dengan satu kata atau beberapa kata dalam bahasa sasaran (BSa), dan beberapa kata pada teks sumber (TSu) dapat diterjemahkan dengan sebuah kata pada bahasa sasaran (BSa). Seringkali kata pada bahasa sumber (BSu) diterjemahkan dengan jumlah kata yang berbeda pada bahasa sasaran (BSa) (Larson, 1984:170). 1) Frasa Deskriptif Karena terdapat beberapa kata yang ada pada suatu teks yang secara semantik
begitu
kompleks,
sering
terjadi
sebuah
kata
tersebut
diterjemahkan dengan beberapa kata pada bahasa sasaran (BSa), yaitu
26
dengan frasa deskriptif. Maknanya tetap sepadan. Sebagai contoh kata glutton dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi one who eats to much. Contoh lain pada hubungan mata uang seperti five dollars dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi one hundres pesos jika nilai mata uang tersebut sepadan (Larson, 1984:171). 2) Menggunakan Kata yang Berhubungan sebagai Kesepadanan Seringkali dua bahasa tidak memiliki sinonim yang selaras sebagai contoh kata pegkeg dalam bahasa Aguaruna jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dapat menjadi kata goodness (kebaikan), holiness (kesucian), righteousness (kebenaran) dan virtue (kebajikan). Terjemahan dari bahasa Aguaruna tersebut akan tergantung pada jangkauan kolokasi dari setiap sinonim tersebut. Walaupun antar sinonim itu terdapat makna yang tumpang tindih, biasanya akan terdapat batasan kolokasi dan konotasi sinonim yang harus dipertimbangkan. Sebagai contoh kata policeman dan cop
merupakan
sinonim,
namun
pada
sebagian
besar
konteks
pemakaiannya tidak dapat ditukar-tukar. Sangat umum juga ditemukan kata-kata bersinonim atau ungkapan yang digunakan bersama sebagai bentuk kembar (doublets). Bentuk kembar terdiri dari dua kata atau frasa yang hampir bersinonim yang muncul sebagai satu unit. Sebagai contoh, spots dan blemishes, holy dan righteous, dan strangers dan foreigners. BSu perlu dipelajari untuk mengetahui alasan penggunaan bentuk kembar. Bentuk ini mungkin dipakai
27
menekankan maksud penulis, atau mengubah sedikit bidang makna, atau hanya sebagai alasan gaya bahasa. Pada beberapa bahasa juga terdapat bentuk kembar yang berdasarkan atas
hubungan
umum-khusus.
Sebagai
contoh
bahasa
Yunani
menggunakan dua kata untuk berbicara sekaligus seperti answering said. Answering merupakan kata yang lebih khusus dan said lebih umum. Ekuivalensi leksikal juga kadang ditemukan dalam bentuk negasi antonim. Mungkin tidak terdapat padanan langsung dalam bahasa sasaran (BSa), namun terdapat unsur leksikal dengan makna yang berlawanan dan dengan menegasi hal tersebut akan diperoleh makna yang diinginkan. Sebagai contoh kata bad dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Aguaruna menjadi pegkegchau (not good). Jika menggunakan negasi antonim sebagai ekuivalensi leksikal, sangat penting memeriksa kolokasi agar tetap sesuai dengan konteks. Jangkauan kolokasi kata dan antonimnya (dan negasi antonim) jarang ada yang sama. Namun dengan menyadari antonim (dan negasi antonim) pada kedua bahasa akan membantu menemukan padanan yang diinginkan. Dalam
beberapa
situasi,
penerjemah
harus
terbuka
dengan
kemungkinan penggunaan kesepadanan resiprokal yang dapat menjadi pilihan terbaik dalam ekuivalensi leksikal. Dalam menggunakan resiprokal, bentuk gramatikal biasanya diubah dari bentuk aktif ke pasif. Sebagai contoh John gave me the hat dan I received the hat from John (Larson, 1984:172-173).
28
3) Kata Umum dan Khusus Ekuivalensi leksikal yang melibatkan kata umum dan khusus adalah kemungkinan lain yang dapat menjadi sangat berguna. Sebagai contoh dalam bahasa Inggris hanya ada kata banana yang digunakan untuk semua jenis pisang. Sedangkan di dalam beberapa bahasa Amerindian terdapat banyak nama yang lebih spesifik. Contoh lain yaitu pada kalimat There was a light on the table, kata light merupakan kata umum. Pada bahasa sasaran (BSa) dapat digunakan kata candle atau lamp yang merupakan kata khusus dari light. Sedangkan contoh dari kata khusus ke umum adalah kata Lilies yang hanya diterjemahkan menjadi flowers (bunga) atau kata wolf yang hanya diterjemahkan menjadi wild dog-like animals (binatang buas menyerupai anjing). Dalam pembahasan mengenai taksonomi, disebutkan bahwa kata yang sama dapat memiliki beberapa tingkatan hierarki taksonomi. Sebagai contoh dalam bahasa Vietnam, kata rice yang dapat memiliki arti ke segala macam tanaman padi-padian atau tanaman gandum, atau kata pig dalam bahasa Papua Nugini yang menunjukkan pada large four-legged animals (hewan besar berkaki empat) (Larson, 1984:173-175). 4) Makna Sekunder dan Figuratif Makna sekunder dan figuratif pada bahasa sumber (BSu) hampir tidak pernah dapat diterjemahkan dengan unsur leksikal yang sepadan pada bahasa sasaran (BSa). Makna figuratif dan majas selalu memerlukan penyesuaian dalam penerjemahan. Semua penggunaan figuratif tidak boleh
29
dihilangkan dalam terjemahan. Kadang-kadang kata yang tidak figuratif dalam BSu diterjemahkan dengan padanan figuratif. Sebagai contoh kata hypocrite dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi man with two hearts, man with swollen tips, man with sweet mouth atau man who talks with two mouths dalam bahasa Nigeria atau a two-worded persons dalam bahasa Totonac, Meksiko (Larson, 1984:175-176). 2.3.1.2 Ekuivalensi Leksikal Ketika Konsep Tidak Diketahui Salah satu masalah dari kesulitan yang dihadapi oleh penerjemah dalam penerjemahan adalah menemukan ekuivalensi leksikal untuk suatu objek atau peristiwa yang tidak diketahui dalam budaya bahasa sasaran (BSa) dan tidak ada kata atau frasa pada bahasa sasaran (BSa) yang mudah tersedia untuk terjemahan tersebut. Karena adanya perbedaan budaya, akan terdapat konsep pada bahasa sumber (BSu) yang tidak memiliki ekuivalensi leksikal pada bahasa sasaran (BSa). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan geografis, adat istiadat, kepercayaan, wawasan, dan faktor-faktor lainnya. Berikut ini adalah alternatif dasar bagi penerjemah agar dapat menemukan ungkapan/ekspresi yang sepadan dalam BSa (Larson, 1984:179). a.
Bentuk dan Fungsi Pada saat penerjemah dihadapkan pada kata yang tidak mempunyai padanan dalam kosakata bahasa sasaran (BSa), ia harus mengerti benar makna kata tersebut dan penggunaannya dalam konteks. Suatu objek atau peristiwa dapat dilihat dari segi bentuk atau fungsi dari objek atau peristiwa tersebut. Perbedaan ini sangat penting dalam menemukan ekuivalensi leksikal.
30
Sebagai contoh kata pencil memiliki bentuk panjang, berujung lancip, terbuat dari kayu dengan batu grafit di bagian tengah dan kadang-kadang terdapat penghapus di bagian ujung lainnya. Fungsi dari pencil adalah untuk menulis. Sedangkan kata quill yang memiliki fungsi sama untuk menulis memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan pencil. Bentuk merujuk pada aspek fisik objek atau peristiwa, sedangkan fungsi merujuk pada maksud, alasan, dan tujuan dari objek atau peristiwa tersebut. Memahami hubungan bentuk dan fungsi sangatlah penting untuk menemukan ekuivalensi leksikal yang baik. Terdapat empat kemungkinan, yaitu objek atau peristiwa dalam suatu bahasa dan budaya memiliki : 1) Bentuk dan fungsi yang sama dengan bahasa lain. 2) Bentuk mungkin sama tetapi fungsinya berbeda. 3) Bentuk berbeda, tetapi mempunyai fungsi yang sama. 4) Bentuk dan fungsi mungkin sama sekali tidak ada hubungannya. Jika tidak ada hubungan bentuk atau fungsi yang sepadan, maka dalam penerjemahan diperlukan penyesuaian (Larson, 1984:180-182). b.
Kesepadanan dengan Memodifikasi Kata Umum Penggunaan
kata
umum
sebagai
dasar
untuk
mengkonstruksi
kesepadanan yang memadai sangatlah berguna. Seringkali kata umum banyak diperlukan untuk ditambahkan dengan tujuan untuk memperjelas bentuk atau fungsi atau keduanya. Contohnya adalah sebagai berikut :
31
i) Modifikasi dengan mengutamakan bentuk BSu : treasure (bahasa Inggris) BSa : lots of valuabe things (Mezahua, Meksiko) ii) Modifikasi dengan pernyataan dari fungsi BSu : rudder (bahasa Inggris) BSa : board to steer with (Tetelcingo Aztec, Meksiko) iii) Modifikasi dengan bentuk dan fungsi BSu : anchor (bahasa Inggris) BSa : irons to which they attached ropes in order that they would get stuck in the dirt so the boat would not move (Tetelcingo Aztec, Meksiko) Cara lain dalam memodifikasi kata umum dengan tujuan untuk menemukan ekuivalensi leksikal yang baik adalah dengan menggunakan perbandingan. Bentuk dan fungsi tidak dibuat eksplisit, melainkan dibandingkan dengan sesuatu yang sudah dikenal pada bahasa sasaran (BSa) dan mempunyai unsur leksikal (Larson, 1984:182-185). iv) Modifikasi dengan perbandingan BSu : rudder (bahasa Inggris) BSa : thing like an oar (Aguaruna, Peru) c.
Kesepadanan dengan Memodifikasi Kata Asing Kata asing sering digunakan untuk nama orang, tempat, daerah, geografis, dan lain-lain. Kata asing adalah kata dari bahasa lain. Terdapat dua macam kata dari bahasa lain yaitu pertama, kata pinjaman (borrowed words) yang telah diserap ke dalam bahasa sasaran (BSa) sebelum proses penerjemahan.
32
Sebagai contoh dalam bahasa Inggris kata kindergarten yang berasal dari bahasa Jerman dan kata chauffeur yang berasal dari bahasa Italia. Kedua, peminjaman kata asing (loan word) yang benar-benar baru dalam bahasa sasaran (BSa). Sebagai contoh kata Chiriaco tidak akan memiliki arti/makna apapun dalam bahasa lain. Kata tersebut dapat digunakan sebagai kata asing dalam bahasa lain jika ditambahkan penggolong, yaitu the river called Chiriaco. Setelah ditambahi penggolong, kata asing tersebut menjadi bermakna; kata tersebut memiliki komponen umum sungai. Contoh lain adalah kata ajutap dalam bahasa Aguaruna yang tidak memiliki kesepadanan dalam bahasa Inggris. Penerjemah dapat mempertahankan kata asing tersebut dengan menggunakan frasa seperti ‘ajutap, that power received through visions‟ (Larson, 1984:186-187). d.
Kesepadanan dengan Penggantian Budaya Terdapat waktu ketika unsur leksikal bahasa sumber (BSu) akan paling baik diterjemahkan dengan menggunakan kata untuk objek atau peristiwa yang tidak persis sama tetapi terdapat dalam bahasa sasaran (BSa). Rujukan ke dunia nyata dari kebudayaan sasaran menggantikan rujukan yang tidak dikenal dalam kebudayaan sumber. Sebagai contoh kata lamp dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi bamboo torch di Papua Nugini. Kata foxes dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi bush rats di Afrika. Pengganti kebudayaan selalu berakibat penyimpangan makna tertentu dan tidak boleh digunakan kecuali jika tidak ada jalan keluar lain. Dilain hal, pengganti kebudayaan juga mampu membangun kesepadanan dinamis, yang
33
jika tidak digunakan, pesan sesungguhnya mungkin tidak dapat dimengerti (Larson, 1984:187-190). 2.3.1.3 Permasalahan Khusus dalam Menemukan Ekuivalensi Leksikal Pada setiap proyek penerjemahan, akan terdapat beberapa masalah yang mungkin akan menimbulkan masalah khusus dalam setiap penerjemahan (Larson, 1984:195). a.
Kata-Kata Kunci Kata kunci adalah kata yang digunakan berulang-ulang pada teks dan sangat penting bagi tema atau topik pembicaraan. Pada sebuah teks memungkinan adanya beberapa kata kunci. Seorang penerjemah harus mengidentifikasi kata-kata kunci sebanyak mungkin yang akan digunakan sebagai sebuah leksikal bahasa sasaran (BSa) yang terjadi pada setiap kata kunci. Karena kata kunci adalah kata yang paling sering muncul yang mewakili atau menjadi dasar sebuah konsep dari teks. Jika kata kunci tidak diterjemahkan seperti komunikasi dengan arti yang jelas, maka poin dari seluruh teks akan menghilang. Jika kata kunci diterjemahkan ke dalam berbagai kesepadanan ketika yang diinginkan adalah makna yang sama, teks akan menjadi kurang padu dan kurang jelas. Sebagai contoh untuk mencari kesepadanan dari kata priest, seorang penerjemah harus mempertimbangkan seluruh sistem dari aktivitas keagamaan dan mencoba untuk menyesuaikan fungsi dari setiap orang yang memiliki peranan yang berhubungan dengan agama dengan tujuan untuk menemukan satu dari yang paling mendekati atau
34
memiliki kesepadanan dengan kata priest. Contohnya Jewis priest di Israel tidak sama dengan Brahma priest di India (Larson, 1984:195-198). b.
Kata-Kata Simbolis Pada banyak teks akan ditemukan kata-kata kunci yang mengandung nilai simbolis. Kata-kata tersebut mengadung makna figuratif atau metaforis selain makna dasar kata tersebut. Ketika hal tersebut terjadi maka diperlukan penyesuaian dalam terjemahan. Biasanya kata kunci yang mengandung makna simbolis terdapat pada dokumen agama atau politik (Larson, 1984:199-200).
c.
Kombinasi Kata dan Kesalahan Penerjemahan Harfiah Terdapat kelompok kata yang memiliki fungsi sama dengan sebuah kata. Sebagai contoh, frasa livre de classe dalam bahasa Prancis yang secara harfiah adalah book of class sepadan dengan kata textbook dalam bahasa Inggris. Kata pis „mennyj stol dalam bahasa Rusia yang secara harfiah adalah writing table sepadan dengan kata desk dalam bahasa Inggris. Lalu kata pomme de terre dalam bahasa Prancis yang secara harfiah adalah apple of earth adalah potato dalam bahasa Inggris. Kadang-kadang penerjemah merasa puas dengan terjemahan harfiah kombinasi kata, karena ia tidak mengetahui bahwa ada bentuk lain yang lebih idiomatis. Sebagai contoh terjemahan harfiah naval infantery dan war fleet terlihat tidak masalah dalam bahasa Inggris, namun terjemahan yang lebih tepat adalah marines dan navy (Larson, 1984:200-201).
35
d.
Salah Kawan Salah kawan (false friends) dapat di definisikan sebagai kata di dalam bahasa sumber (BSu) yang terlihat sangat mirip dengan kata pada bahasa sasaran (BSa) karena mereka berhubungan namun pada faktanya memiliki arti yang berbeda. Sebagai contoh kata asistir dalam bahasa Spanyol memiliki salah kawan dengan terjemahan Spanyol-Inggris. Hal ini dikarenakan asistir memiliki arti to attend dalam bahasa Inggris. Namun yang ada di benak para penerjemah ketika mendengar kata asistir pertama kali adalah to assist dalam bahasa Inggris. Contoh lain adalah kata vizit dalam bahasa Rusia yang sebenarnya memiliki arti official call (oleh dokter atau pendeta) daripada visit yang bersifat umum dalam bahasa Inggris (Larson, 1984:201-202).
e.
Komponen Makna Eksplisit dan Implisit Pada bagian ini menjadi jelas bahwa unsur leksikal dari bahasa sumber (BSu) jarang memiliki pasangan leksikal yang tepat dari bahasa sasaran (BSa). Terkadang terlihat lebih banyak ketidakselarasan daripada keselarasannya. Hal ini karena bukan dari sebuah kata yang diterjemahkan, melainkan arti atau makna secara keseluruhan dari kombinasi kata-kata tersebut baik klausa, kalimat, paragraf dan sebuah teks. Pada proses terjemahan beberapa komponen makna dari bahasa sumber (BSu) akan tidak lagi eksplisit pada bahasa sasaran (BSa), dan beberapa komponen yang tidak eksplisit pada bahasa sumber (BSu) menjadi eksplisit pada bahasa sasaran (BSa) dan akan selalu terdapat beberapa kehilangan atau penambahan (loss and gain) arti. Hal
36
ini dikarenakan tidak adanya dua sistem bahasa yang benar-benar sama (Larson, 1984:202).
2.3.2 Analisis Komponen Makna Analisis komponen makna yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teori yang dikemukakan oleh Bell (1993:87-88). Bell menyatakan, asumsi yang sangat diperlukan dalam analisis komponen makna adalah arti dari sebuah kata merupakan jumlah dari beberapa elemen makna yang dimiliki (ciri khusus semantik) dan elemen-elemen biner (yang berhubungan) tersebut ditandai dengan (+) jika elemen tersebut ada dan (-) jika elemen tersebut tidak ada. Sebagai contoh analisis komponen makna dapat digunakan untuk menentukan ciri semantis adalah kata-kata dalam bahasa Inggris seperti man, woman, boy, dan girl sebagai berikut. man
boy
+ manusia
woman
+ manusia
+ dewasa
+ dewasa
+ laki-laki
- laki-laki
+ manusia
girl
+ manusia
- dewasa
- dewasa
+ laki-laki
- laki-laki
Keempat kata tersebut memiliki karakteristik dari manusia. Kata man dan woman sama-sama memiliki ciri dewasa dan kata man dan boy memiliki ciri laki-laki. Berdasarkan hal tersebut, ketiga ciri tersebut cukup untuk membuat defiisi dari masing-masing kata tersebut sehingga membedakannya dari keambiguan.