BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Teori Sinyal Teori sinyal merupakan teori yang menjelaskan mengapa perusahaan
mempunyai dorongan untuk memberikan sinyal–sinyal berupa informasi pada pihak eksternal, seperti investor dan kreditor (Dali dkk., 2015). Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lainnya yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lainnya Machfoedz (1999) dalam Yasa (2010). Teori pensinyalan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa manajemen perusahaan sebagai pihak yang memberikan sinyal berupa laporan keuangan perusahaan dan informasi non keuangan kepada lembaga pemeringkat. Lembaga pemeringkat
obligasi ini melakukan
proses
pemeringkatan
sehingga
dapat
menerbitkan peringkat obligasi untuk perusahaan penerbit obligasi. Peringkat obligasi ini memberikan sinyal tentang probabilitas kegagalan pembayaran utang sebuah perusahaan (Estiyanti dan Yasa, 2012).
1
2.1.2
Obligasi
2.1.2.1 Pengertian Obligasi Menurut Sulistyastuti (2002) dalam Adrian dan Muharam (2011) yang dimaksud dengan obligasi (bond) adalah sekuritas berpendapatan tetap (fixed income securities) yang diterbitkan sehubungan dengan perjanjian utang dan memberikan penghasilan secara rutin, yang memiliki kriteria yaitu: 1)
Surat berharga yang mempunyai kekuatan hukum,
2)
Memiliki jangka waktu tertentu atau masa jatuh tempo,
3)
Memberikan pendapatan tetap secara periodik,
4)
Ada nilai nominal. Nilai nominal obligasi disebut juga nilai pari, par
value, stated value, face value, atau nilai kopur. Daya tarik obligasi yang sering digunakan sebagai penilaian oleh calon investor, yaitu : 1.
Pembayaran bunga dengan jumlah tertentu yang dilakukan secara regular oleh emiten.
2.
Pembayaran kembali pokok pinjaman oleh emiten yang dilakukan dengan tepat waktu sesuai waktu jatuh tempo.
3.
Waktu jatuh tempo obligasi ditentukkan ketika masa obligasi habis dan pinjaman tersebut harus dibayar penuh pada tingkat nilai nominalnya.
4.
Tingkat bunga kompetitif, dapat dibandingkan dengan keuntungan yang didapat investor dari tempat lain. Terdapat beberapa komponen yang harus ditetapkan dalam melakukan
penerbitan obligasi antara penerbit obligasi dan investor, yaitu : nilai nominal dari
2
obligasi, tingkat kupon (cupon rate), waktu jatuh tempo dan ada tidaknya jaminan atas obligasi.
Penerbit obligasi berkewajiban untuk melakukan pembayaran
sebesar presentase secara periodik yang didasarkan atas nilai nominal. Kupon tersebut merupakan penghasilan bunga obligasi yang telah didasarkan atas nilai nominal, untuk pembayaran kupon dapat dilakukan setahun sekali, enam bulan sekali dan dapat pula setiap triwulan yang kesemuanya tergantung pada perjanjian yang disepakati. Ketika obligasi memasuki jatuh tempo, maka pemilik dari obligasi mendapatkan pokok pinjaman dan satu kali pembayaran kupon. Berdasarkan jenis kuponnya, obligasi dapat dibagi menjadi empat, yaitu : 1.
Fixed rate obligasi Obligasi yang memberikan kupon dengan tingkat kupon tetap ini berarti sejak awal penerbitan obligasi sampai dengan tanggal jatuh temponya, tingkat kupon tetap tidak berubah.
2.
Floating rate obligasi Obligasi yang memberikan kupon dengan bunga mengambang berarti suku bunga ditetapkan relatif
terhadap suatu benchmark tertentu atau
dapat dikatakan tingkat kuponnya mengikuti tingkat kupon yang berlaku dipasar. 3. Mixed rate bonds Obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap untuk periode tertentu misalnya 1-3 tahun dan setelah 3 tahun tingkat bunganya mengikuti tingkat bunga pasar.
3
4.
Zero Coupon Bonds Obligasi yang
tidak
memberikan pembayaran bunga.
Obligasi ini
memberikan potongan harga (discount) dari nilai par. Pemegang obligasi menerima secara penuh pokok utang pada saat jatuh tempo obligasi. Berdasarkan penerbitnya obligasi dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1.
Obligasi Pemerintah Pusat (Government Bond), yaitu obligasi yang digunakan pemerintah untuk pendanaan dalam utang pemerintah.
2.
Obligasi Pemerintah Daerah (Municipal Bond) terdiri atas General Obligation Bond yaitu arus kas yang bersumber dari penerimaan pajak dan revenue bond adalah obligasi pemerintah daerah yang membayarkan kupon maupun pokok pinjaman dari proyek yang dibiayainya.
3.
Obligasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan obligasi yang diterbitkan untuk pendanaan BUMN.
4.
Obligasi Perusahaan Swasta (Corporate Bond) adalah sebuah sekuritas yang berisikan perjanjian antara penerbit dan investor, dimana penerbit obligasi
memiliki kewajiban
untuk
membayar
kupon
dan
pokok
pinjaman sesuai dengan kesepakatan dan dalam jangka waktu tertentu.
2.1.2.2 Risiko investasi obligasi Menurut Bringham dan Houston (2001) dalam Pakarinti (2012) terdapat beberapa risiko investasi obligasi yang harus diperhatikan oleh investor, yaitu : 1.
Risiko suku bunga atau risiko tingka bunga Pada
umunya
harga
obligasi bergerak
berlawanan arah terhadap
perubahan suku bunga. Apabila suku bunga naik, harga obligasi akan
4
turun, dan sebaliknya. Bagi investor yang merencanakan untuk menjual obligasi sebelum jatuh tempo, suatu kenaikan suku bunga setelah membeli obligasi berarti adalah capital loss yang direalisasikan. Risiko tersebut disebut interest rate risk atau disebut juga price risk. Kenaikan tingkat bunga pasar menyebabkan menurunnya harga obligasi karena sebesar apapun tingkat bunga pasar mengalami peningkatan, pemegang obligasi tetap
hanya
akan
menerima
tingkat
bunga
yang
sudah
ditetapkan. 2.
Risiko reinvestasi (Reinvestment risk) Pendapatan obligasi berasal dari: (a) pembayaran suku bunga dari kupon, (b) pemilik obligasi akan menerima capital gain atau capital loss bila obligasi itu dicairkan, dijual atau jatuh tempo; (c) bunga yang diperoleh dari reinvestasi interim cash flow. Agar seorang investor merealisasikan suatu yield sama dengan yield pada saat obligasi dibeli, interim cash flow tersebut harus diinvestasikan pada suku bunga sama dengan yield yang ditentukan pada saat obligasi dibeli. Risiko bahwa interim cash flow akan diinvestasikan dengan suku bunga yang lebih rendah dan investor akan menerima yield yang lebih rendah daripada yield pada saat obligasi dibeli disebut reinvestment risk.
3.
Risiko bangkrut atau Risiko kredit (Default risk) Risiko kredit, yaitu risiko bahwa emiten akan tidak mampu memenuhi pembayaran bunga dan pokok utang, sesuai dengan kontrak. Obligasi perusahaan mempunyai default risk yang lebih besar daripada obligasi
5
pemerintah. Cara untuk memonitor default risk dari obligasi adalah dengan
melihat
peringkat
obligasi yang
diterbitkan
oleh
lembaga
penerbit. 4.
Risiko waktu (Call Risk) Risiko ini melekat pada callable bonds, yakni obligasi yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh emitennya dengan harga yang telah ditetapkan. Risiko waktu terjadi jika: (a) pola aliran kas emiten tidak pasti, (b) penarikan dilakukan pada saat suku bunga rendah dan (c) potensi kenaikan harga obligasi lebih tinggi dari harga call-nya.
5.
Risiko Inflasi Risiko inflasi disebut pula risiko terhadap daya beli. Risiko inflasi merupakan risiko bahwa return yang direalisasikan dalam investasi obligasi tidak akan cukup untuk menutupi kerugian menurunnya daya beli yang disebabkan inflasi. Bila inflasi meningkat dan tingkat bunga obligasi tetap, maka terjadi penurunan daya beli yang harus ditanggung investor.
6.
Risiko kurs valuta asing Orang Indonesia yang membeli obligasi perusahaan di negara lain dapat mengalami kerugian perbedaan kurs valuta asing (foreign exchange risk).
7.
Risiko Likuidasi (Marketability risk) Yakni risiko yang mengacu pada seberapa mudah investor dapat menjual obligasinya, sedekat mungkin dengan nilai dari obligasi tersebut. Cara untuk
mengukur likuiditas adalah dengan melihat besarnya
6
spead
(selisih) antara harga permintaan dan harga penawarannya yang dipasang oleh perantara pedagang efek. Semakin besar spead tersebut, makin besar risiko likuiditas yang dihadapi. 8.
Event risk Seringkali kemampuan emiten untuk membayar bunga dan pokok utang tanpa terduga berubah karena, bencana alam dan pengambilalihan.
2.1.3
Peringkat Obligasi
2.1.3.1 Deskripsi Peringkat Obligasi Peringkat
obligasi merupakan
suatu
opini yang
dikeluarkan
oleh
Lembaga Pemeringkat Obligasi yang didasarkan pada faktor – faktor tertentu. Menurut
Kusumawati (2009)
peringkat obligasi dapat menunjukkan skala
keamanan obligasi untuk membayar kewajiban pokok dan bunga secara tepat waktu tergantung perjanjian yang telah disepakati. Selain itu Setyapurnama (2006) mendefinisikan peringkat obligasi sebagai suatu indikator dalam menilai ketepatwaktuan pembayaran pokok dan bunga obligasi yang diperdagangkan. Peringkat
kredit
adalah informasi yang dikeluarkan oleh lembaga
pemeringkat obligasi tentang penilaian yang berkualitas dan evaluasi resmi dari sejarah kredit perusahaan dan kemampuan membayar kewajiban (Yu et al., 2005). Semakin tinggi peringkat obligasi yang diberikan maka akan menunjukkan semakin baik pula kualitas dari investasi obligasi tersebut. Hal ini berarti bahwa obligasi semakin terhindar dari adanya default risk dan juga dapat digunakan sebagai sarana promosi serta dapat pula meningkatkan kepercayaan investor terhadap obligasi tertentu.
7
Menurut Keputusan Ketua BAPEPAM dan Lembaga Keuangan Nomor: 712/BL/2012 Tentang “Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk” setiap emiten yang menerbitkan obligasi wajib memperoleh peringkat obligasi dari lembaga pemeringkat, yang paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: 1.
Keunggulan dan kelemahan emiten dan obligasi serta kaitannya dengan kemampuan emiten untuk memenuhi kewajiban atas obligasinya.
2.
Simbol peringkat obligasi yang mencerminkan informasi keunggulan dan kekurangan emiten dan obligasi. Menurut Raharjo (2003) dalam Maharti dan Daljono (2011) ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam menganalisis obligasi, yaitu : 1.
Kinerja Industri Kinerja industri mencakup persaingan industri, prospek dan pangsa pasar, ketersediaan bahan baku, struktur industri, pengaruh kebijakan pemerintah dan kebijakan ekonomi lainnya.
2.
Kinerja Keuangan Kinerja keuangan meliputi aspek
kualitas aset, rasio profitabilitas,
pengelolaan aset dan pasiva, rasio kecukupan modal, tingkat pengelolaan utang, dan rasio kecukupan pembayaran bunga. 3.
Kinerja Non Keuangan Terdiri dari aspek manajemen, reputasi perusahaan, serta perjanjian indenture (meliputi sinking fund, debt test, dividend test, merger, dan sale of asset). Di era ini pengaruh GCG juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis obligasi, sebab sistem tata
8
kelola perusahaan akan berpengaruh pula pada kinerja keuangan perusahaan.
2.1.3.2 Manfaat Peringkat Obligasi Peringkat kredit telah banyak digunakan oleh ikatan investor, emiten utang, dan pejabat pemerintah sering digunakan sebagai alat ukur dalam melihat kemungkinan adanya default risk dari perusahaan dan obligasi (Huang et al., 2004). Selain itu adanya peringkat obligasi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat obligasi sangat membantu investor dalam menilai kualitas dari invesatasi obligasi yang diminati dan juga dapat mempengaruhi harga tidak hanya dari luar berdiri obligasi korporasi tetapi juga suku bunga dan jual obligasi korporasi baru (Bhandari et al., 1979). Menurut Rahardjo (2004) manfaat secara umum dari proses pemeringkatan obligasi adalah : 1)
Sistem informasi yang transparan yang menyangkut berbagai produk obligasi akan menciptakan pasar obligasi yang sehat.
2)
Efisiensi
biaya.
memberikan
Hasil
peringkat
keuntungan,
yaitu
obligasi
menghindari
yang
bagus
kewajiban
biasanya persyaratan
keuangan yang biasanya memberatkan perusahaan, seperti penyediaan sinking fund dan jaminan aset. 3)
Menentukan
besarnya
coupon
rate,
semakin
bagus peringkatnya,
cenderung semakin rendah nilai coupon rate dan sebaliknya apabila pringkatnya semakin rendah maka nilai dari coupon rate akan semakin tinggi.
9
4)
Memberikan
informasi yang
obyektif dan
independen menyangkut
kemampuan pembayaran utang, tingkat risiko investasi yang mungkin timbul, serta jenis dan tingkatan utang tersebut. 5)
Mampu menggambarkan kondisi pasar obligasi dan kondisi ekonomi pada umumnya. Adapula beberapa manfaat yang akan didapatkan oleh emiten adalah:
a)
Informasi posisi bisnis. Pihak perusahaan dapat mengetahui posisi bisnis dan kinerja usahanya dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya.
b)
Menentukan struktur obligasi. Perusahaan dapat menentukan beberapa syarat atau struktur obligasi yang meliputi tingkat suku bunga, jenis obligasi, jangka waktu jatuh tempo, jumlah emisi obligasi serta berbagai struktur pendukung lainnya.
c)
Mendukung kinerja. Apabila emiten mendapatkan peringkat yang cukup bagus maka kewajiban menyediakan sinking fund atau jaminan kredit bisa dijadikan pilihan alternatif.
d)
Alat promosi.
Peringkat obligasi yang baik terlihat lebih menarik
sehingga dapat membantu promosi dari obligasi tersebut. e)
Menjaga kepercayaan investor. Peringkat obligasi yang independen akan membuat investor merasa lebih aman sehingga kepercayaan bisa lebih terjaga.
2.1.4
Lembaga Pemeringkat Obligasi Lembaga-lembaga pemeringkat obligasi adalah organisasi profesional
yang menyediakan jasa analisis dan beroperasi dengan prinsip-prinsip dasar, yaitu
10
independen, obyektif, kredibilitas, dan disclosure. Ong (2002) dalam Dewi dan Yasa (2014). Lembaga pemeringkat obligasi memeriksa prospek keuangan perusahaan
dan
karakteristik
obligasi
dan
menetapkan
peringkat
yang
menunjukkan penilaian independen dari tingkat risiko default yang terkait dengan obligasi perusahaan, lembaga pemeringkat dapat pula memperbaiki efisiensi pasar modal dengan meningkatkan transparansi sekuritas, sehingga dapat mengurangi asimetri informasi antara investor dan penerbit obligasi (Maher & Sen, 1997). Jasa ini sangat bernilai bagi investor kecil yang menghadapi tingginya biaya (relatif terhadap investasinya) dalam menilai creditworthiness obligasi. Oleh karena itu agen pemeringkat menyediakan jasa yang lebih efisien (Beaver et al, 2004). Hasil dari pemeringkatan yang dilakukan oleh tim pemeringkat obligasi adalah berupa sebuah laporan yang berisikan alasan pemberian peringkat (symbol) yang berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-712/BL/2012 Tentang Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk menjelaskan bahwa apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak pemeringkat dengan penerbit obligasi bahwa hasil pemeringkatan akan dipublikasikan, maka Emiten wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK serta mengumumkan kepada masyarakat paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar nasional atau laman (website) Bursa Efek paling lama akhir hari kerja ke - 2 (kedua) setelah diterimanya Peringkat Baru tersebut, mencakup hal - hal sebagai berikut: 1)
Peringkat Baru; dan
11
2)
Penjelasan singkat mengenai faktor - faktor penyebab terbitnya Peringkat Baru Menurut Altman & Kao (1991) dalam Maharti dan Daljono (2011)
lembaga pemeringkat obligasi seperti PT. Pefindo juga melakukan monitoring atas hasil peringkat yang telah dikeluarkannya. Ini dilakuakan untuk menjaga agar informasi atas peringkat yang diberikan relevan dan akurat. Dan apabila selama monitoring ternyata kinerja perusahaan tidak menunjukkan kinerja yang baik bahkan menurun, maka agen pemeringkat dapat menurunkan rating yang diberikan begitupula sebaliknya. Peringkat (symbol) yang digunakan oleh PT. Pefindo yang merupakan salah
satu
lembaga
pemeringkat
tertua
di
Indonesia
adalah
sebagai
sebagai berikut :
Tabel 2.1 Interpretasi Peringkat PT. Pefindo Peringkat Keterangan AAA Merupakan peringkat tertinggi yang diberikan oleh PEFINDO. Kemampuan obligor untuk memenuhi kewajiban keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut relatif dibandingkan obligor Indonesia lainnya adalah superior. AA Memiliki sedikit perbedaan dengan peringkat tertinggi yang diberikan, dan kemampuan Obligor untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut, dibandingkan dengan Obligor lainnya di Indonesia, adalah sangat kuat A Mengindikasikan bahwa kemampuan obligor untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut, dibandingkan dengan Obligor lainnya di Indonesia, adalah kuat. Walaupun demikian, kemampuan obligor mungkin akan terpengaruh oleh perubahan buruk keadaan dan kondisi ekonomi, dibandingkan dengan efek utang yang peringkatnya lebih tinggi
12
Lanjutan Peringkat Keterangan BBB Peringkat ini mengindikasikan parameter proteksi yang memadai relatif dibanding surat utang Indonesia lainnya. Walaupun demikian, kondisi ekonomi yang buruk atau situasi yang terus berubah akan dapat memperlemah kemampuan obligor terhadap komitmen keuangan jangka panjangnya. BB Peringkat ini mengindikasikan parameter proteksi yang sedikit lemah relatif dibandingkan efek utang Indonesia lainnya. Kemampuan obligor memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut sangat terpengaruh oleh memburuknya perkembangan perekonomian, bisnis, dan keuangan, yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kewajiban keuangan atas efek utang. B Peringkat ini mengindikasikan parameter proteksi yang lemah relatif dibanding efek utang Indonesia lainnya. Walaupun obligor pada saat ini masih memiliki kemampuan untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut, pemburukan kondisi perekonomian, bisnis, dan keuangan akan berakibat pada melemahnya kemampuan atau keinginan obligor untuk memenuhi komitmen-komitmen keuangan atas efek utang tersebut. CCC Peringkat pada saat ini rentan untuk gagal bayar dan tergantung pada kondisi bisnis dan keuangan yang lebih menguntungkan untuk dapat memenuhi komitmen keuangan jangka panjangnya atas efek utang. D Peringkat ini diberikan pada gagal bayar atas efek utang terjadi dengan sendirinya pada saat pertama kali timbulnya peristiwa gagal bayar atas efek utang tersebut. Pengecualian diberikan pada saat penundaan pembayaran terjadi dalam masa tenggang, atau penundaan pembayaran tersebut terjadi dalam rangka penyelesaian atas persengkataan komersial yang dianggap layak. Sumber: PT. Pefindo, 2015 Pada peringkat obligasi dari AAA sampai B dapat dimodifikasi menggunakan notasi plus (+) atau minus (-) untuk menunjukkan kekuatan relatif dalam kategori peringkat tersebut. Tanda tambah menunjukkan bahwa suatu kategori peringkat lebih mendekati kategori peringkat yang diatasnya. Tanda kurang berarti bahwa suatu kategori peringkat tetap lebih baik dari kategori peringkat dibawahnya walaupun semakin mendekati.
13
2.1.5
Good Corporate Governance
2.1.5.1
Definisi Corporate Governance Forum for Corporate Govrnance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan
Corporate Governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan,
pihak
kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang bertujuan untuk
menciptakan
nilai tambah
bagi semua
pihak
yang
berkepentingan
(stakeholders). Selain itu Achmad Syakhroza (2002) dalam OECD (2004) mendefinisikan Corporate Governance adalah suatu sistem yang dipakai Board untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi (directing, controlling dan supervising) pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis,
dan
produktif dengan prinsip-prinsip
transparant,
accountable,
responsible, independent, dan fairness dalam rangka mencapai tujuan organisasi. GCG merupakan suatu sistem tata kelola perusahaan yang baik yang mampu memberikan perlindungan efektif bagi pemegang saham dan kreditor sehingga mereka yakin akan memperoleh return atas investasinya dengan benar, selain itu GCG dapat pula membantu menciptakan lingkungan yang kondusif demi terciptanya pertumbuhan yang efisien dan sustainable di sektor korporat (Nasution,dkk, 2007). Menurut FCGI (2001) pelaksanaan GCG di dalam suatu perusahaan diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu:
14
1.
Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan
yang
lebih
baik,
meningkatkan
efisiensi
operasional
perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders. 2.
Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat lebih meningkatkan corporate value.
3.
Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Perusahaan.
4.
Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.
2.1.5.2 Prinsip – prinsip Good Corporate Governance Dalam pedoman GCG, disebutkan bahwa GCG adalah sistem dan proses yang mengatur hubungan serta dapat meningkatkan nilai perusahaan di mata konsumen, pemegang saham, pemerintah, kreditur serta pemegang kepentingan (stakeholders) lainnya dengan memperhatikan 5 (lima) prinsip, yaitu (Kaihatu, 2006) : 1.
Transparency
(keterbukaan
informasi),
yaitu
keterbukaan
dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2.
Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan
pertanggungjawaban
organ
perusahaan terlaksana secara efektif.
15
perusahaan
sehingga
pengelolaan
3.
Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
4.
Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5.
Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
2.1.6
Corporate Governance Perception Index (CGPI) CGPI adalah program riset dan pemeringkatan penerapan tata kelola
perusahaan yang baik di Indonesia pada perusahaan publik yang diselenggarakan oleh The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). Program ini dilaksanakan sejak tahun 2001 dilandasi pemikiran pentingnya mengetahui sejauh mana
perusahaan-perusahaan publik
telah menerapkan prinsip-prinsip
GCG
(Nuswandari, 2009). Keikutsertaan program ini bersifat sukarela. IICG pemeringkatan
mendefinisikan penerepan
CGPI
sebagai
suatu
program
riset
dan
GCG di Indonesia yang memiliki tujuan untuk
mendorong perusahaan dalam upaya meningkatkan kualitas governance. Lebih lanjut dikatakan bahwa CGPI merupakan bentuk penilaian dan penghargaan terhadap upaya perusahaan dalam menerapkan GCG serta mewujudkan bisnis
16
yang etikal dan bermartabat. Dalam penilaiannya aspek yang dinilai adalah prinsip GCG, kepemimpinan, komitmen, strategi, etika, budaya, visi, misi, dan nilai dari suatu perusahaan. Hasil pemeringkatan
penerapan
GCG
yang
telah
dilakukan
oleh
perusahaan disajikan pada laporan CGPI dan Majalah SWA, dengan ketegori pemeringkatan CGPI sebagai berikut:
Tabel 2.2 Kategori Peringkat CGPI Skor
Kategori
55 – 69
Cukup Terpercaya
70 – 84
Terpercaya
85 – 100
Sangat Terpercaya
Sumber: IICG, 2014
Tahapan yang dilakukan dalam penilaian CGPI adalah dengan menilai Self
Assessment,
sistem dokumentasi,
makalah dan melakukan observasi.
Sehingga menghasilkan skor yang akan mempermudah pihak eksternal dalam menilai penerapan GCG dari suatu perusahaan. Dengan adanya CGPI dapat pula bermanfaat
untuk
membenahi
faktor
internal
perusahaan
yang
dalam
pelaksanaannya belum sesuai dengan GCG, meningkatkan kepercayaan investor dan masyarakat, menjadi indikator atau standar mutu serta pengakuan terhadap penerapan GCG dan mewujudkan komitmen serta tanggungjawab bersama sehingga dapat mondorong perusahaan dalam menerapkan GCG.
17
2.1.7
Profitabilitas Profitabilitas adalah sebuah rasio keuangan yang dapat digunakan untuk
mengukur
bagaimana
kemampuan
yang
dimiliki
oleh
perusahaan
dalam
menghasilkan laba, baik dengan total aktiva yang dimiliki, penjualan maupun dengan modal sendiri. Profitabilitas dapat diukur menggunakan beberapa proksi. Proksi yang sering digunakan dalam sebuah penelitian, diantaranya: 1.
Return on Assets (ROA) = Net Income ………………………………(1) Total Assets
2.
Return on Equity (ROE) =
3.
Net Profit Margin (NPM) = Net Income …………………………….(3) Sales
Net Income …………………….....(2) Net Worth/Equity
ROA adalah alat ukur yang paling sering digunakan untuk menunjukkan bagaimana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba melalui aktivitas opersai perusahaan dari keseluruhan dana yang telah ditanamkan ke dalam aktiva. Nilai ROA yang baik adalah nilai ROA yang mendekati 1, artinya semakin baik profitabiitas yang dimiliki perusahaan dikarenakan setiap aktiva yang dimiliki perusahaan akan dapat mengasilkan laba. ROE adalah merupakan rasio keuangan yang menunjukkan bagaiaman kemampuan yang dimiliki perusahaan dalam mengukur tingkat laba yang dihasilkan terhadap ekuitas. Rasio ini dapat pula digunakan untuk mengetahui hasil yang diperoleh dari penanam modal. Semakin tinggi ROE dari perusahaan, maka dapat menunjukkan bahwa kinerja dari manajemen perusahaan meningkat dalam mengelola sumber dana pembiayaan operasional. NPM merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana perusahaan mampu memperoleh laba bersih dari tingkat penjualan bersih. Rasio
18
ini dapat memberikan gambaran laba untuk investor sebagai presentase dari penjualan.
2.1.8
Likuiditas Likuiditas merupakan rasio keuangan yang dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Likuiditas
pada
umumnya
diukur
dengan
beberapa
proksi,
diantaranya: 1.
Rasio Lancar (Current Ratio) = Current Assets …...…………………(4) Current Liabilities
2.
Rasio Uji Cair (Quick Ratio) = Current Assets – Inventory ..………….(5) Current Liabilities
3.
Rasio Kas (Cash Ratio)
= Kas + Surat Berharga ………………..(6) Hutang Lancar
CR merupakan kemampuan jumlah aktiva yang dimiliki perusahaan dalam menjamin hutang lancarnya. Semakin tinggi CR maka semakin terjamin pula hutang-hutang yang dimiliki perusahaan kepada investor. Quick ratio merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya terhadap aktiva lancar yang dimiliki dan dengan tidak memasukkan persediaan. Hal ini disebabkan karena persediaan seperti bahan baku dan bahan baku dalam proses tidak dapat dengan cepat untuk diuangkan. Jika dibandingkan antara current ratio dan quick ratio, apabila nilai current ratio lebih tinggi dari quick ratio maka hal tersebut menunjukkan adanya investasi yang besar di dalam persediaan dan akan berdampak pula pada pembayaran kewajibannya. Cash ratio dapat mengukur
19
jumlah kas dan setara kas yang meliputi surat berharga yang mudah untuk diperjualbelikan dibandingkan dengan utang lancar.
2.1.9
Solvabilitas Solvabilitas
merupakan
kemampuan
perusahaan
dalam
memenuhi
seluruh kewajibannya baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Semakin tinggi rasio ini, maka fleksibilitas keuangan perusahaan tersebut akan semakin tinggi. Salah satu proksi yang dapat digunakan untuk mencari rasio solvabilitas adalah dengan membagi Cash Flow from Operating dengan Total Liabilites. Proksi tersebut dipilih, karena aktivitas operasi merupakan aktivitas yang setiap harinya dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh pendapatan dan semua transaksi yang berkaitan dengan laba yang di laporkan ke dalam laporan laba/rugi. Maka dari itu arus kas dari aktivitas operasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajibannya. Jadi semakin besar arus kas masuk yang diperoleh dari aktivitas operasi maka, rasio solvabilitas akan semakin tinggi sehingga menyebabkan fleksibilitas keuangannya akan semakin tinggi pula.
2.2
Penelitian Terdahulu Penelitian
terdahulu
yang
berkaitan
dengan
penelitian
ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Damayanti dan Fitriyah (2013) yang meneliti mengenai
pengaruh
mekanisme
GCG,
leverage,
produktivitas,
solvabilitas
likuiditas dan profitabilitas terhadap peringkat obligasi. Selain itu penelitian serupa juga dilakukan oleh Dali, dkk. (2015) mengenai pengaruh variabel
20
mekanisme GCG, skor Corporate Governance Perception Index (CGPI), leverage, likuiditas, dan profitabilitas terhadap peringkat obligasi. Lestari dan Yasa (2014) juga meneliti mengenai pengaruh variabel skor CGPI dan profitabilitas terhadap peringkat obligasi. Selanjutnya, Linandarini dan Pamudji (2013)
meneliti
pengaruh
variabel
leverage,
likuiditas,
solvabilitas
dan
produktivitas terhadap peringkat obligasi. Maharti dan Daljono (2011) meneliti pula pengaruh variabel profitabilitas, likuiditas, ukuran perusahaan, leverage dan jaminan terhadap peringakat obligasi dan Estiyanti dan Yasa (2012) meneliti pengaruh variabel laba operasi, laba ditahan, aliran kas operasi, likuiditas, total aset, leverage, umur obligasi dan Jaminan terhadap peringkat obligasi. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian terdahulu lebih banyak menggunakan teknik analisis data regresi logistik ordinal. Penelitian yang dilakukan oleh Damayanti dan Fitriyah (2013), Dali, dkk. (2015), Lestari dan Ya\sa (2014), Maharti dan Daljono (2011) dan Estiyanti dan Yasa (2012) menggunakan teknik analisis data regresi logistik ordinal, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Linandarini dan Pamudji (2013) menggunakan teknik analisis multiple discriminant analysis. Penelitian menunjukkan
hasil
yang
dilakukan
kepemilikan
oleh institusi,
komisaris independen, produktivitas dan
Damayanti
dan
kepemilikan
Fitriyah
(2013)
manajerial,
jumlah
profitabilitas (NPM) tidak berpengaruh
terhadap peringkat obligasi, sedangkan ukuran dewan komisaris, komite audit, pertumbuhan
perusahaan,
leverage
(DER),
solvabilitas dan likuiditas (CR)
berpengaruh terhadap peringkat obligasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
21
Dali, dkk. (2015) adalah kepemilikan institusional, profitabilitas dengan proksi ROA, leverage dengan Debt to Equity Ratio (DER), CGPI, komite audit, proporsi komisaris independen dan kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap peringkat obligasi,
sedangkan ukuran dewan komisaris, kualitas audit dan
likuiditas dengan Current Ratio (CR) berpengaruh negatif terhadap peringkat obligasi. Terkait dengan hasil penelitian terdahulu, penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Yasa (2014) menghasilkan GCG dengan proksi CGPI dan profitabilitas dengan proksi ROA tidak berpengaruh terhadap peringkat obligasi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Linandarini dan Pamudji (2010) dengan teknik analisis data multiple discriminant analysis menghasilkan likuiditas dengan CR, profitabilitas dengan Operating Income per Sales (OIS) dan produktivitas dengan proksi Sales per Total Assets (STA) berpengaruh terhadap peringkat obligasi, sedangkan leverage dengan Longterm Liabilities per Total Assets (LTLTA) dan solvabilitas dengan Cash Flow from Operating per Total Liabilities (CFOTL) tidak berpengaruh terhadap peringkat obligasi. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh
Maharti
profitabilitas,
likuiditas,
berpengaruh
terhadap
dan ukuran
peringkat
Daljono
(2010)
perusahaan, obligasi dan
menunjukkan
leverage
dan
hasil bahwa jaminan
tidak
Estiyanti dan Yasa (2012)
menujukkan hasil bahwa laba ditahan berpengaruh terhadap peringkat obligasi, sedangkan laba operasi,
aliran kas operasi, likuiditas, total asets, leverage, umur
obligasi dan jaminan tidak berpengaruh terhadap peringkat obligasi.
22
Berdasarkan penelitian terdahulu yang menunjukkan ketidakkonsistenan hasil penelitian dan belum banyak peneliti yang menggunkan skor CGPI sebagai proksi dari GCG, maka penulis kembali melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel GCG dengan proksi skor CGPI, profitabilitas dengan proksi ROA, likuiditas dengan proksi CR dan solvabilitas dengan proksi CFOTL terhadap peringkat obligasi.
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan
latar
belakang,
landasan
teori
dan
hasil
penelitian
sebelumnya, maka berikut disajikan kerangka pemikiran yang dituangkan dalam model penelitian. Hubungan beberapa variabel diatas dapat digambarkan pada Gambar 1.1 sebagai berikut:
Gambar 2.1 Model Penelitian
Good Corporate Governance H1 (+)
Profitabilitas H2 (+)
Likuiditas
H3 (+) H4 (+)
Solvabilitas
23
Peringkat Obligasi
2.3.1
Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Peringkat Obligasi Sistem tata kelola perusahaan yang baik biasanya mencerminkan kinerja
perusahaan yang baik dan menunjukkan keharmonisan hubungan antara pihak internal dan eksternal perusahaan karena kedua pihak memiliki tujuan untuk menghasilkan nilai tambah bagi perusahaan. Menurut Dali,dkk (2015) skor CGPI yang
merupakan
indeks
yang
secara
komprhensif
mengukur
Corporate
Governance yang dikeluarkan oleh IICG di Indonesia memiliki pengaruh positif dan signifikan pada peringkat obligasi. Semakin tinggi index menunjukkan bahwa semakin bagus pengelolaan sebuah perusahaan, serta diikuti dengan semakin baik pula peringkat obligasi yang diterima. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Rasyid
dan
Joice
(2013)
juga
menunjukkan mekanisme GCG untuk proksi komite audit dan kualitas audit secara signifikan berpengaruh positif pada peringkat obligasi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Alali et al. (2012) juga menemukan bahwa tata kelola perusahaan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap peringkat obligasi. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut maka hipotesis penelitiannya adalah H1 : Good Corporate Governance berpengaruh positif terhadap peringkat obligasi 2.3.2
Pengaruh Profitabilitas terhadap Peringkat Obligasi Rasio
profitabilitas
adalah
suatu
gambaran
yang
menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam upaya memperoleh laba dengan tingkat penjualan (profit margin), total aktiva (return on asset), dan modal sendiri (return on equity). Scherrer dan Mathison (1996) berpendapat bahwa profitabilitas yang tinggi membantu menstabilkan arus kas operasi, sehingga mengurangi risiko
24
perusahaan. Karena perusahaan dengan profitabilitas tinggi memiliki kemampuan lebih besar untuk membayar dana pinjaman, profitabilitas diharapkan berkorelasi positif dengan peringkat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan profitabilitas dengan proksi ROA memiliki pengaruh yang positif pada peringkat obligasi ,yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rasyid dan Joice (2013), Prasetiyo dan Rahardjo (2010) dan Kim & Gu (2004). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan H2 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap peringkat obligasi 2.3.3
Pengaruh Likuiditas terhadap Peringkat Obligasi Menurut Pottier (1998) dalam Satoto (2011), likuiditas dengan proksi CR
mencerminkan jaminan kemampuan untuk memenuhi kewajiban obligasi yang harus segera dipenuhi bila terjadi klaim. Perusahaan yang likuiditasnya terjamin akan memberikan sinyal kemampuan pembayaran klaim kepada pasar melalui proses rating dengan maksud untuk mempromosikan reputasi manajemen mereka. Sehingga likuiditas merupakan faktor penting bagi keputusan perusahaan untuk mencapai suatu peringkat obligasi. Penelitian yang dilakukan oleh Satoto (2011), Adrian dan Muharam (2011) dan Hardwick et al. (2000) menunjukkan bahwa likuiditas berpengaruh positif terhadap peringkat obligasi. Berdasarkan penelitian diatas, hipotesis penelitian ini adalah H3 : Likuiditas berpengaruh positif terhadap Peringkat Obligasi
25
2.3.4
Pengaruh Solvabilitas terhadap Peringkat Obligasi Solvabilitas
suatu
perusahaan
menunjukkan
kemampuan perusahaan
dalam memenuhi kewajiban jangka panjang dan pendekknya pada saat perusahaan tersebut dilikuidasi. Semakin tinggi solvabilitas suatu perusahaan, maka semakin mudah
kreditor
dalam
mengurangi risiko-risiko
memberikan
kreditnya
karena
perusahaan
dapat
yang akan timbul. Penelitian yang dilakukan oleh
Amrullah (2007) menunjukkan bahwa rasio solvabilitas berpengaruh positif terhadap peringkat obligasi, ini berarti perusahaan mampu dengan baik membayar semua
kewajiban
jangka
panjangnya
termasuk
pembiayaan
obligasi.
Dan
penelitian yang dilakukan oleh Horrigan (1996) juga menunjukkan bahwa rasio solvabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap peringkat obligasi. H4 : Solvabilitas berpengaruh positif terhadap Peringkat Obligasi.
26