BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang selanjutnya disingkat UUD NRI 1945 merupakan salah satu bentuk konstitusi tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar tertinggi dan landasan utama bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya serta kehidupan bangsa dan negara (Djahiri, 1971; Riyanto, 2000). Budiardjo (1981:105) menyatakan bahwa undang-undang dasar adalah hukum tertinggi (supreme law) yang harus ditaati, baik oleh rakyat maupun alat perlengkapan negara. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah UUD NRI 1945 harus dijadikan landasan serta diimplementasikan dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa, dan bernegara, baik oleh pemerintah maupun warga negara Indonesia (Asshiddiqie, 2007:13).
Namun
demikian, implementasi UUD NRI 1945 tersebut dewasa ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan, diantaranya mengenai pelanggaran hak asasi manusia, pengrusakan lingkungan alam Indonesia, munculnya gerakan separatisme, aksi unjuk rasa yang diwarnai oleh tindakan anarkis,serta berbagai pelanggaran lainnya dalam berbagai sektor kehidupan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut pada umumnya terjadi di setiap daerah dan dilakukan oleh setiap lapisan masyarakat, termasuk warga negara muda di Kota Tasikmalaya. Berdasarkan data di bagian Reserse Polres Kota Tasikmalaya, selama tahun 2008 tercatat lebih kurang 10 % pelaku tindak pidana adalah
2
pemuda dan remaja yang masih duduk di bangku persekolahan. Tindak pidana yang mereka lakukan diantaranya tindak pidana asusila, penganiayaan, pencurian dan penyalahgunaan narkoba. Tindak pidana tersebut dilakukan secara individual maupun secara berkelompok. Kemudian angka partisipasi warga negara muda dalam bidang pendidikan mengalami penurunan. Berdasarkan jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA, pada umumnya APM (angka partisipasi murni) terus mengalami penurunan. Artinya banyak warga negara muda di Kota Tasikmalaya yang mengikuti pendidikan sekolah dasar untuk kemudian berhenti atau tidak melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. APM jenjang SD/sederajat pada tahun 2008 sebesar 94,21%. Artinya dari seluruh warga negara muda usia 7-12 tahun di Kota Tasikmalaya, sekitar 94,21% di antara mereka bersekolah, namun sekitar 5,79% tidak bersekolah. Warga negara muda yang tidak bersekolah ini potensial untuk tidak menerima pendidikan yang lebih baik bahkan sangat mungkin menjadi buta huruf. APM SMP/sederajat lebih rendah lagi, yaitu sekitar 80,17%, sedangkan jenjang SMA/'sederajat hanya 70,29%. Artinya terdapat 19,83 % warga negara muda di Kota Tasikmalaya yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP, serta 29,71 % tidak
melanjutkan
ke
jenjang
SMA/sederajat
(Dinas
Pendidikan
Kota
Tasikmalaya, 2008). Hal-hal di atas menunjukkan rendahnya kompetensi warga negara untuk memahami dan melaksanakan ketentuan UUD NRI 1945 sebagai salah satu bentuk konstitusi negara. Kondisi tersebut selaras dengan hasil penelitian Winataputra (2001) yang menunjukkan bahwa salah satu kompetensi yang harus
3
dikuasai oleh warga negara adalah memahami kedudukan dan pentingnya konstitusi (tertulis dan tidak tertulis) dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa, dan bernegara. Dalam kenyataannya, kompetensi warga negara dalam aspek ini masih rendah, padahal kompetensi tersebut merupakan kompetensi paling ideal yang harus dimiliki warga negara. Kenyataan ini dikarenakan terbatasnya informasi bagi warga negara tentang konstitusi, yang dalam banyak hal dianggap sebagai sesuatu yang bukan urusannya. Sikap tersebut didorong oleh anggapan bahwa konstitusi tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Sekaitan dengan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan upaya penyadaran agar UUD NRI 1945 dapat diimplementasikan dalam setiap kehidupan warga negara, sehingga UUD NRI 1945 menjadi Konstitusi yang hidup dalam kehidupan warga negara Indonesia atau Living Constitution (Hasibuan, 1996; Riyanto, 2000; Asshiddiqie, 2008). Kondisi tersebut dapat diwujudkan apabila penerimaan segenap warga negara Indonesia terhadap UUD NRI 1945 benar-benar murni dan konsekuen, serta ditaati dan dijunjung tinggi tanpa adanya penyelewengan. Dengan kata lain, warga negara telah memiliki kesadaran berkonstitusi yang tinggi. Dalam pandangan Loewenstein (Riyanto, 2000:311312), apabila kondisi tersebut telah terwujud, maka UUD NRI 1945 sudah merupakan suatu Konstitusi yang bernilai normatif (normative constitution), yaitu Konstitusi yang dilaksanakan sepenuhnya, bukan saja berlaku dalam arti hukum. Kesadaran berkonstitusi merupakan kesadaran warga negara akan hak konstitusionalnya sebagai kelompok
(Asshiddiqie,
warga negara, baik sebagai perorangan maupun 2008:11).
Lebih
lanjut
Asshiddiqie
(2008:12)
4
menyatakan bahwa dalam kesadaran berkonstitusi juga terkandung maksud ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Winataputra (2007:39) mengemukakan bahwa kesadaran berkonstitusi menunjukkan kualitas pribadi seseorang yang memancarkan wawasan, sikap, dan perilaku yang bermuatan citacita dan komitmen luhur kebangsaan dan kebernegaraan Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesadaran berkonstitusi merupakan kesadaran untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi secara murni dan konsekuen. Kesadaran berkonstitusi warga negara tidak lahir dengan sendirinya, tetapi harus dibina dan ditumbuhkan. Dalam perspektif hukum, untuk menumbuhkan kesadaran berkonstitusi warga negara dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu; 1) identifying constitutional norms and specifying their meaning; dan 2), crafting doctrine or developing standards of review (Fallon, 2001:37-38). Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk menumbuhkan kesadaran berkonstitusi diperlukan pemahaman warga negara terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi materi muatan Konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi warga negara untuk dapat selalu menjadikan Konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa, dan bernegara. Apabila warga negara telah memahami norma-norma dasar dalam Konstitusi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan sendirinya ia dapat mengetahui dan
mempertahankan hak-hak
konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD NRI 1945. Selain itu, warga negara dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan UUD NRI 1945, baik
5
melalui pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan. Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan konstitusi (Asshiddiqie, 2008:11). Jika hal itu dapat diwujudkan, berarti telah terbentuk warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi yang tinggi. Persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini yang ada kaitannya dengan pemahaman warga negara terhadap konstitusi adalah semakin meluasnya materi muatan dalam UUD NRI 1945 sebagai dampak dari dilakukannya perubahan konstitusi sebanyak empat kali (tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002). Sebelum perubahan, UUD NRI 1945 berisi 71 butir ketentuan. Setelah perubahan, UUD NRI 1945 berisi 199 butir ketentuan atau bertambah sekitar 141%. Dari 199 butir ketentuan tersebut, naskah UUD NRI 1945 yang masih asli tidak mengalami perubahan hanya sebanyak 25 butir ketentuan (12%), sedangkan selebihnya sebanyak 174 butir ketentuan (88%) merupakan materi baru. Hal tersebut menyebabkan paradigma pemikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD NRI 1945 juga berbeda dari paradigma yang terkandung dalam naskah asli, ketika UUD NRI 1945 pertama kali disahkan 18 Agustus 1945. Seandainya semua warga negara Indonesia sudah mengetahui seluruh isi UUD NRI 1945 sebelum perubahan, sebenarnya pada saat sekarang ini hanya mengetahui 25 butir ketentuan (12%) dari UUD NRI 1945, sedangkan 174 butir ketentuan (88%) masih banyak belum dimengerti (Budimansyah dan Suryadi, 2008:83). Itulah
6
sebabnya perlu upaya sungguh-sungguh untuk melakukan pendidikan kesadaran berkonstitusi. Sekaitan dengan hal di atas,
pendidikan kesadaran berkonstitusi
merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Hal tersebut pada hakekatnya secara instrumental sudah digariskan melalui tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, diantaranya: 1. Dalam usulan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa “Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa tanggung jawab” yang kemudian oleh Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) dirumuskan dalam tujuan pendidikan: ”…untuk mendidik warga negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan warga negara” (Winataputra, 2007:8) 2. Dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, dalam Bab II Pasal 3 dirumuskan tujuan pendidikan nasional yang
lebih eksplisit menjadi
“…membentuk
manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan warga negara dan tanah air” (Djojonegoro,1996:76). 3. Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang dilengkapi dengan Keputusan
7
Presiden RI Nomor 145 Tahun 1965 rumusan tujuan pendidikan diubah menjadi : “…melahirkan warga negara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya warga negara Sosialis Indonesia, adil, dan makmur, baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila” (Djojonegoro,1996:76). 4. Dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4, dirumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah: “…mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,…”, yang ciri-cirinya dirinci menjadi “…beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab Kewarganegaraan dan kebangsaan”. 5. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 digariskan dengan tegas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk ”...berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Dalam tatanan instrumentasi kurikuler, secara historis dalam kurikulum sekolah terdapat mata pelajaran yang secara khusus mengemban misi pendidikan kesadaran berkonstitusi, yakni mata pelajaran Civics (Kurikulum 1957/1962); Pendidikan Kewarganegaraan yang merupakan Integrasi Sejarah, Ilmu Bumi, dan Kewarganegaraan (Kurikulum 1964); Pendidikan Kewargaan Negara yang
8
merupakan perpaduan Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civics (Kurikulum 1968/1969); Pendidikan Kewargaan Negara, Civics dan Hukum (1973); Pendidikan Moral Pancasila atau PMP (Kurikulum 1975 dan 1984); dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn (Kurikulum 1994). Sedangkan di perguruan tinggi pernah ada mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD NRI 1945, (1960-an), kemudian Filsafat Pancasila (19701980-an, dan Pendidikan Pancasila (1980-1990-an). Dalam mata pelajaran/mata kuliah tersebut, baik secara tersurat maupun tersirat terdapat materi tentang pendidikan kesadaran berkonstitusi (Sumantri, 2001; Winataputra, 2007; Winataputra dan Budimansyah, 2007; Budimansyah dan Suryadi, 2008). Sementara itu, dalam kehidupan warga negara terdapat berbagai paket Penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P-4), yang juga mengandung tujuan dan materi pendidikan kesadaran berkonstitusi. Kini, dalam Pasal 37 ayat (1) hurup b Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian dalam Pasal 37 ayat (2) undang-undang tersebut ditetapkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan wajib diberikan di semua jenjang pendidikan. Sekaitan dengan hal di atas, Riyanto (2008:23) menyatakan bahwa notifikasi (penyebarluasan pemahaman) hukum konstitusi dapat dilakukan melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Hal tersebut dikarenakan, dalam Pendidikan
9
Kewarganegaraan mengandung bahan atau materi tentang Konstitusi sebagai hukum dasar, hukum derajat tinggi, dan hukum tertinggi dalam suatu negara. Pernyataan tersebut tentunya semakin memperkuat kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan kesadaran berkonstitusi. Sebagai wahana pokok pendidikan kesadaran berkonstitusi, Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk melaksanakan UUD NRI 1945 secara murni dan konsekuen. Hal tersebut dikarenakan secara normatif dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah dinyatakan bahwa : Pendidikan Kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Senada dengan hal tersebut, Winataputra (2001:ii) menyatakan bahwa: Secara paradigmatik, sistem Pendidikan Kewarganeraan memiliki tiga komponen yang interaktif, yakni kajian ilmiah Kewarganegaraan, program kurikuler Kewarganegaraan, dan kegiatan sosial-kultural Kewarganegaraan. Ketiga komponen tersebut secara koheren berlandaskan pada pengembangan kecerdasan warga negara, yakni demokratis, taat hukum, religius, dan berkeadaban dalam konteks demokrasi konstitusional Indonesia yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa. Hasil
penelitian
Yunan
(2003)
menunjukkan
bahwa
dalam
mengembangkan materi pembelajaran demokrasi melalui Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang bersumber pada UUD NRI 1945, semangat pasal-pasal UUD NRI 1945 senantiasa dijabarkan dalam pokok-pokok bahasan demokrasi. Hal tersebut pada dasarnya mendorong Pendidikan Kewarganegaraan
10
harus berakar pada nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI 1945. Dengan demikian,
secara langsung akan
mengoptimalkan peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam membentuk karakter warga negara untuk menjadi warga negara yang memiliki kesadaran berkonsitusi yaitu warga negara yang memiliki: 1) pengetahuan tentang Konstitusi; 2) pemahaman tentang Konstitusi; 3) kemampuan bersikap terhadap ketentuanketentuan yang tercantum dalam Konstitusi; dan 4) perilaku yang selalu berlandaskan pada Konstitusi.
B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka secara umum yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda? Untuk lebih menfokuskan penelitian yang dilakukan, maka penulis merumuskan beberapa sub-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pengembangan kompetensi kewarganegaraan warga negara muda? 2. Bagaimana pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda? 3. Bagaimana pengaruh
kompetensi kewarganegaraan terhadap tingkat
kesadaran berkonstitusi warga negara muda?
11
4. Bagaimana pengaruh antara pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi kewarganegaraan secara bersama-sama terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda? Agar penelitian ini mampu memberikan jawaban yang akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka masalah-masalah penelitian dapat dispesifikasikan sebagai berikut: 1.
Pendidikan Kewarganegaraan meliputi: a. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang difokuskan pada aspek: 1) Pengorganisasian materi pembelajaran 2) Penggunaan metode pembelajaran 3) Pengguanaan media pembelajaran 4) Ketersediaan sumber belajar 5) Pola evaluasi pembelajaran b. Kompetensi kewarganegaraan yang terdiri atas: 1) Pengetahuan kewarganegaraan (civic konowledge) 2) Kemampuan/kecakapan kewarganegaraan (civic skill) 3) Disposisi kewarganegaraan (civic disposition)
2. Kesadaran berkonstitusi warga negara muda meliputi: a. Pengetahuan Konstitusional b. Pemahaman Konstitusional c. Sikap Konstitusional d. Perilaku Konstitusional
12
C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam pengaruh pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan
terhadap
pengembangan
kompetensi
kewarganegaraan warga negara muda. 2. mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda. 3. mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam pengaruh kompetensi Kewarganegaraan
terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara
muda. 4. mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam hubungan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi kewarganegaraan secara bersama-sama terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoretik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau bahan kajian dalam dunia pendidikan khususnya Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga pada
13
akhirnya akan memperkuat landasan dimensi Pendidikan Kewarganegaraan yang terdiri atas civic knowledge, civic skill, dan civic disposition. Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak sebagaimana diuraikan berikut: 1. Bagi peneliti a.
Mampu menelaah secara kritis tentang kesadaran berkonstitusi warga negara muda sebagai salah satu komponen penting bangsa Indonesia dalam membangun tatanan demokrasi konstitusional.
b. Memberikan kontribusi positif terhadap berbagai pihak mengenai pentingnya memahami dan mengarahkan perubahan pola pikir warga negara
terhadap
konstitusi
negara,
sehingga
tingkat
kesadaran
berkonstitusi warga negara berkembang secara dinamis. 2. Bagi pihak-pihak lain a. Institusi Pemerintahan: Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mempertegas bahwa penanaman kesadaran berkonstitusi dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa ,dan bernegara adalah mutlak dilakukan. b. Warga negara pada umumnya: Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk menambah wawasan keilmuwan sekaligus sebagai stimulus untuk menggugah kesadaran kolektif dalam melaksanakan nilai-nilai dan substansi konstitusi negara. c. Institusi Pendididikan: Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengkajian yang lebih komprehensif mengenai urgensi kesadaran berkonstitusi dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa dan bernegara.
14
E. Variabel Penelitian dan Definisi Variabel 1. Variabel Penelitian Variabel
bebas
(X)
dalam
penelitian
ini
adalah
Pendidikan
Kewarganegaraan. Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(X1) dan
kompetensi Kewarganegaraan (X2).
Adapun yang menjadi variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah kesadaran berkonstitusi warga negara muda. Sesuai dengan rumusan masalah dan sub-permasalahan penelitian, maka pola hubungan antar variabel penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (X1) Tingkat Kesadaran Berkonstitusi Warga Negara Muda (Y)
Kompetensi Kewarganegaraan (X2) Bagan 1.1. Hubungan Antarvariabel Penelitian
2. Definisi Operasional Variabel Penelitian Setiap terminologi memiliki makna yang berbeda dalam konteks dan dalam lapangan studi yang berbeda. Oleh sebab itu, untuk memperjelas konsep
15
dari variabel yang diteliti, sehingga tidak mengundang tafsir yang berbeda, maka dirumuskan definisi operasional atas variabel penelitian berikut ini. a. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam penelitian ini, istilah Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam pengertian sebagai civic education, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan yang berkedudukan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah. Adapun yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan dalam penelitian ini adalah pengaruh proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan beserta kompetensi kewarganegaraan
yang dimiliki siswa terhadap tingkat
kesadaran berkonstitusi siswa selaku warga negara muda. Adapun indikator Pendidikan Kewarganegaraan yang diukur dalam penelitian ini adalah pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi Kewarganegaraan, dengan definisi operasional sebagai berikut: 1) Pembelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan
(X1)
adalah
proses
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang melibatkan guru sebagai pengajar
dan
siswa
sebagai
peserta
didik
yang
di
dalamnya
dioperasionalisasikan berbagai komponen pembelajaran yang meliputi materi, metode, media, sumber dan evaluasi pembelajaran.
Adapun komponen-
komponen yang akan diukur dari variabel ini seperti yang tercantum dalam tabel berikut:
16
Tabel 1.1. Komponen Variabel Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (X1) VARIABEL KOMPONEN Pembelajaran Pendidikan 1. Materi Pembelajaran PKn a. Kesesuaian materi pembelajaran Kewarganegaraan (variabel X1) dengan kurikulum b. Kesesuaian materi pembelajaran dengan tingkat kemampuan berpikir siswa c. Materi pembelajaran diangkat dari realitas kehidupan siswa d. Materi pembelajaran diorganisasikan dari hal konkrit menuju abstrak e. Materi pembelajaran diorganisasikan dari pengalaman praktis menuju teori f. Materi pembelajaran diorganisasikan dari lingkungan terdekat siswa, lokal, nasional dan internasional g. Materi pembelajaran akurat jika ditinjau dari segi keilmuan h. Materi pembelajaran bersifat aktual dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 2.
Metode Pembelajaran PKn a. Kesesuaian metode dengan materi pembelajaran b. Variasi metode yang digunakan c. Metode yang digunakan menuntut siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran d. Metode yang digunakan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa 3. Media Pembelajaran PKn a. Menggunakan jenis media visual, audio dan audio visual b. Kesesuaian media dengan tujuan dan materi pembelajaran c. Keberfungsian media 4. Sumber Pembelajaran Pkn a. Bentuk sumber pembelajaran: 1) Materi bacaan 2) Materi bukan bacaan, masyarakat, dan lingkungan b. Jenis sumber pembelajaraan: 1) Sengaja direncanakan
17
5.
2) Sengaja dimanfaatkan Evaluasi Pembelajaran PKn a. Penilaian proses belajar dan hasil belajar b. Penilaian kognitif, afektif, dan psikomotor c. Penilaian oleh guru, siswa sendiri (self evaluation), dan siswa lain. d. Bentuk penilaian tertulis (pencil and paper test) dan berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan (project), produk (product), atau portofolio. e. Tindak lanjut hasil penilaian
2) Kompetensi Kewarganegaraan adalah pengetahuan, keterampilan, dan disposisisi Kewarganegaraan yang harus dikuasai siswa SMA selaku warga negara muda, sehingga dapat berperan serta dalam kehidupan demokrasi di berbagai lingkungan kehidupan yang terdiri atas: a) Pengetahuan Kewarganegaraan (civic knowledge), yaitu pemahaman mendasar yang dimiliki oleh siswa tentang hal-hal yang berkaitan dengan Kewarganegaraan, yang meliputi demokrasi dan struktur pemerintahan Indonesia, serta Kewarganegaraan Indonesia. b) Kecakapan Kewarganegaraan (civic skill), yaitu seperangkat keterampilan mendasar yang dimiliki siswa berkaitan dengan Kewarganegaraan yang terdiri atas kecakapan intelektual dan kecakapan partisipatoris. Kecakapan intelektual berupa: (1) kemampuan membaca dan memahami informasi tentang pemerintahan dan isu yang ditemukan di media; (2) kemampuan membedakan antara fakta dan opini dalam tulisan teks; dan (3) kemampuan mengartikulasikan konsep abstrak. Kecakapan partisipatoris
18
berupa :
(1)
kemampuan
partisipasi
umum;
(2) kemampuan
berkomunikasi; dan (3) partisipasi melalui kemampuan menganalisis isuisu publik, kepemimpinan, kelompok mobilisasi, dan komunikasi. c) Disposisi Kewarganegaraan (Civic Disposition), yakni memiliki karakter dan komitmen yang penting bagi kehidupan kewarganegaraan. Disposisi dalam penelitian ini meliputi karakter privat dan karakter publik. Karakter privat dalam penelitian ini meliputi tanggung jawab moral, kejujuran, kecintaan, keyakinan, disiplin diri serta penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, sedangkan karakter publik meliputi kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main serta kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini diuraikan indikator-indikator variabel kompetensi Kewarganegaraan (X2) seperti yang tercantum dalam tabel di bawah ini. Tabel 1.2. Komponen Variabel Kompetensi Kewarganegaraan (X2) VARIABEL Kompetensi Kewarganegaraan (variabel X2)
KOMPONEN 1. Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge) a. Sistem pemerintahan Indonesia b. Dasar-dasar sistem politik Indonesia c. Perwujudan tujuan, nilai, dan prinsip demokrasi oleh pemerintahan yang dibentuk konstitusi d. Hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia e. Peran warga negara dalam kehidupan demokrasi di Indonesia 2. Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skills) a. Kecakapan intelektual 1) Kemampuan membaca dan
19
memahami informasi tentang pemerintahan dan isu yang ditemukan di media 2) Kemampuan membedakan antara fakta dan opini dalam tulisan teks 3) Kemampuan mengartikulasikan konsep abstrak b. Kecakapan partisipatoris 1) Kemampuan partisipasi umum 2) Kemampuan berkomunikasi 3) Partisipasi melalui kemampuan menganalisis isu-isu publik, kepemimpinan, kelompok, mobilisasi dan komunikasi
3. Disposisi Kewarganegaraan (Civic disposition) a. Karakter privat 1) Tanggung jawab moral 2) Kejujuran 3) Kecintaan 4) Disiplin diri 5) Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia b. Karakter Publik 1) Kesopanan 2) Kepedulian sebagai warga negara 3) Mengindahkan aturan 4) Kemampuan untuk mendengarkan, bernegosiasi dan berkompromi
b. Kesadaran Berkonstitusi adalah kesadaran warga negara muda akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya sebagai warga negara, baik sebagai perseorangan maupun kelompok yang tercermin dalam pengetahuan, pemahaman, sikap, dan perilakunya.
20
1) Pengetahuan konstitusional warga negara muda adalah kemampuan warga negara
muda untuk
mengetahui
pengertian
hak
dan
kewajiban
konstitusional warga negara, macam-macam hak konstitusional warga negara, macam-macam kewajiban konstitusional warga negara dan tujuan dicantumkannya hak dan kewajiban warga negara dalam UUD NRI 1945. 2) Pemahaman konstitusional warga negara muda adalah kemampuan warga negara muda untuk memahami pentingnya jaminan hak warga negara dalam UUD NRI 1945, manfaat penegakan hak konstitusional warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945 dan
akibat
pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara. 3) Sikap konstitusional warga negara muda adalah kecenderungan yang diperlihatkan warga negara muda terhadap jaminan hak konstitusional (hak asasi) warga negara dalam UUD NRI 1945 serta terhadap hak dan kewajiban warga negara lainnya yang diatur dalam UUD NRI 1945. 4) Perilaku konstitusional warga negara muda adalah perilaku warga negara muda dalam melaksanakan hak dan kewajiban konstitusionalnya di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Untuk
lebih
jelasnya,
komponen-komponen
variabel
kesadaran
berkonstitusi warga negara muda (Y) ini penulis sajikan dalam tabel berikut: Tabel 1.3.Komponen Variabel Kesadaran Berkonstitusi Warga Negara Muda (Y) VARIABEL Kesadaran Berkonstitusi Warga Negara Muda (Variabel Y)
KOMPONEN 1. Pengetahuan warga negara muda tentang: a. Pengertian hak dan kewajiban konstitusional warga negara b. Macam-macam hak konstitusional
21
warga negara c. Macam-macam kewajiban konstutusional warga negara d. Tujuan dicantumkannya hak dan kewajiban warga negara dalam UUD NRI 1945 2. Pemahaman warga negara muda tentang: a. Pemahaman terhadap pentingnya jaminan hak warga negara dalam UUD RI b. Manfaat penegakkan hak konstitusional warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945 c. Pemahaman tentang akibat pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara 3. Sikap warga negara muda yang meliputi: a. Sikap terhadap jaminan hak konstitusional (hak asasi) warga negara dalam UUD NRI 1945 b. Sikap terhadap hak dan kewajiban warga negara lainnya yang diatur dalam UUD NRI 1945 4. Perilaku konstitusional warga negara muda: a. Pelaksanaan hak dan kewajiban konstitusional warga negara di sekolah b. Pelaksanaan hak dan kewajiban konstitusional warga negara di lingkungan keluarga c. Pelaksanaan hak dan kewajiban konstitusional warga negara di lingkungan masyarakat
c. Warga negara muda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah warga negara Indonesia yang secara akdemik tengah menempuh pendidikan di
22
jenjang Sekolah Menengah Atas dan secara yuridis telah diperbolehkan untuk melaksanakan hak pilihnya dalam kegiatan Pemilihan Umum.
F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian Penelitian ini dilaksanakan atas dasar asumsi bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dapat membentuk warga negara yang memiliki tingkat kesadaran berkonstitusi yang tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman warga negara terhadap konstitusi serta dapat membentuk sikap dan perilaku siswa yang mencerminkan implementasi aturan Konstitusi. Bertolak dari asumsi tersebut dan mengacu kepada rumusan masalah, maka dapat dikemukakan rumusan hipotesis mayor sebagai berikut: Kesadaran berkonstitusi warga negara muda dipengaruhi secara positif oleh Pendidikan Kewarganegaraan. Untuk lebih spesifik dan jelasnya, hipotesis mayor tersebut dapat dikembangkan menjadi beberapa hipotesis minor berikut ini: 1.
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pengembangan kompetensi kewarganegaraan warga negara muda.
2.
Pembelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan
berpengaruh
positif
dan
signifikan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda. 3.
Kompetensi Kewarganegaraan berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda.
23
4. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi kewarganegaraan secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda.
G. Metode Penelitian Menurut jenis pendekatan, penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya berupa angka-angka. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis dengan teknik survey. Hal ini dikarenakan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini merupakan permasalahan yang ada pada masa sekarang (Nazir, 1988:63; Surahmad, 1990:140). Metode deskriptif-analitis dalam penelitian dioperasionalisasikan dengan menggunakan statistik inferensial yaitu untuk menganalisis data sampel dan hasilnya digeneralisasikan (diinferensikan) untuk populasi dimana sampel diambil. (Sugiyono, 2001: 14). Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik angket, wawancara serta studi dokumentasi.
J. Lokasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian adalah SMA-SMA se-Kota Tasikmalaya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA kelas XI di kota Tasikmalaya. Sampel penelitian adalah 150 siswa SMA kelas XI di 3 SMA Negeri dan 6 SMA Swasta yang berada di Kota Tasikmalaya yang ditentukan melalui cluster sampling dan proportinal random sampling.
24