1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945, menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machtsstaat). Di dalamnya terkandung pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi. Dalam paham Negara Hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Pemimpin sesungguhnya dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the Rule of Law, and not of Man, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, nomos.1 Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum dalam fungsinya untuk melindungi kepentingan manusia mempunyai tujuan. Adapun tujuan pokok hukum adalah untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Sehingga dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di
1
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 57
2
dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.2 Rescoe Pound mengemukakan bahwa hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (Law as a Tool of Social Engineering). Hukum dalam konsepsi ini diasumsikan sebagai kaidah atau peraturan hukum yang dapat berfungsi sebagai alat atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Hukum juga untuk menstrukturkan seluruh proses, sehingga kepastian dan ketertiban terjamin.3 Fungsi hukum sebagai sarana pembangunan, menurut Michael Hager yang dikutip oleh A. Mukhtie Fadjar,4 mengabdi dalam tiga sektor, yaitu: 1. Hukum sebagai alat penertib/ordering, yang berarti hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan perselisihan yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik. 2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan/balancing yang berarti hukum berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu.
2
Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta, Hlm.77 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, Hlm. 9 4 A. Mukhtie Fadjar, 1996, Beberapa Permasalahan Pembangunan Hukum Dan Hukum Pembangunan, Fh. Unibraw, Malang, Hlm. 36. 3
3
3. Hukum sebagai katalisator yang berarti hukum berfungsi untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaruan hukum dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum. Pandangan tentang fungsi hukum menurut Michael Hager di atas sesuai dengan suasana pembangunan (hukum) di Indonesia yang dalam konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 antara lain menyatakan: “Pembangunan hukum ditujukan untuk memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum, lebih memberi dukungan dan pengarahan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata, serta menumbuhkan dan mengembangkan disiplin nasional dan rasa tanggung jawab sosial pada setiap anggota masyarakat.” Pembaruan dan Pembangunan Hukum salah satunya tercermin dalam sistem Hukum Penataan Ruang yang mana diawali dari Ordonansi Pembentukan Kota / Stadsvormings Ordonantie (Standsblad 1948 Nomor 166). Kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (LN No. 115 Tahun 1992). Hukum penataan ruang kembali melakukan pembaruan, dengan diundangkannya peraturan existing yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (LN No. 68 Tahun 2007) untuk selanjutnya disingkat (UUPR). Diundangkannya UUPR diharapkan sebagai ketentuan payung (umbrella act), yang mengarahkan semua peraturan perundang-undangan sektoral bermuara, serta hendak melingkupi peraturan perundang-undangan dibawahnya
4
maupun peraturan perundang-undangan yang setara.5 UUPR secara keseluruhan pengaturannya bersifat Top-Down, yang berarti bahwa sistem yang dimuat dalam undang-undang tersebut baik secara eksplisit maupun implisit adalah dari atas ke bawah.
Pemerintah
dalam
membuat
sistem
penataan
ruang
hanya
mempertimbangkan aspek-aspek makro saja dari perspektif kedudukannya yang berada di atas (pemegang kekuasaan). Aspek-aspek perencanaan tidak dilakukan dari perspektif yang lebih kecil cakupannya ke arah yang lebih makro. Dengan dijalankannya sistem seperti ini, maka secara garis besar penataan ruang yang ada di Indonesia telah mengabaikan prinsip-prinsip antara lain :6 1. Uang, waktu, dan perencanaan daerah (perencanaan sektor-sektor) diadakan dalam waktu bersamaan; 2. Gegenstromprinzipt (prinsip saling berdampingan), yang mana penataan ruang mendasarkan diri pada Tata Ruang Dasar, yang ditarik ke supra desa, kemudian baru diadakan penataan ruang top-down. Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang 5
Mieke Komar Kantaatmadja, 1994, Hukum Angkasa Dan Hukum Tata Ruang, Alumni, Bandung, Hlm 89, Lihat Pula Dalam, Imam Koeswahyono, 2012, Hukum Penatagunaan Tanah Dan Penataan Ruang (Problematika Antara Teks Dan Konteks) Ub Press, Malang, Hlm. 91 6 Any Andjarwati, Disampaikan Dalam Seminar Nasional Rangkaian Kegiatan Musyawarah Kerja Nasional IX Ikatan Mahasiswa Pertanian Indonesia, Dengan Tema “Reforma Agraria Dalam Perspektif Pertanian Indonesia”, Yogyakarta, 24 April 2012
5
sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Oleh karena konsideran tersebut UUPR memberikan landasan Hak dan Kewajiban kepada masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang. UUPR dalam konsideran huruf c menegaskan dengan kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang. Maka sejalan dengan hal tersebut, kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang diberikan kewenangannya kepada masingmasing daerah otonom. Sebagaiamana telah dilakukan pembagian urusan pemerintah bidang pekerjaan umum dan penataan ruang, pada sub bidang penataan ruang. Pemerintah Pusat memegang urusan penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional dan pelaksanaan kerjasama penataan ruang antar negara. Daerah provinsi memegang urusan penyelenggaraan penataan ruang daerah provinsi. Daerah kabupaten/kota memegang urusan penyelenggaraan ruang daerah kabupaten/kota.7 Kabupaten Gunungkidul, sebagai salah satu daerah otonom dipilih menjadi objek kajian ini dikarenakan, Pertama Kabupaten Gunungkidul terkenal dengan wisata pantainya, berdasarkan data Dinas Kebudayan dan Pariwisata pada tahun 2012 terdapat 56 (lima puluh enam) nama pantai yang terdaftar.8 Saat ini 7
Lampiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pembagian Urusan Pemerintah Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 8 Firzadi Anhar, 2013, Perkembangan Kawasan Wisata Pantai Pulang Syawal di Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 1
6
pemanfaatan ruang kawasan pesisir Kabupaten Gunungkidul didominasi oleh kegiatan pariwisata sebagai penyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2014 lalu, PAD Kabupaten Gunungkidul dari sektor kegiatan pariwisata naik dua ratus persen dari target awal Rp. 7,6 Miliar menjadi Rp, 15 Miliar.9 Perkembangan dalam bidang pariwisata merupakan ragam pembangunan yang memiliki kontribusi positif bagi berkembangan kehidupan Indonesia dan disadari harus dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.10 Hal tersebut sejalan dengan konsideran huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dimana kepariwisataan merupakan pembangunan Nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Kedua, Status kawasan pesisir pantai Gunungkidul yang merupakan milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau merupakan Sultan Ground, seluas 6.066.638 m2.11 Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai perakturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keisitimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam Pasal 47 9
http://img.krjogja.com/read/243056 diakses pada tanggal 17 September 2015 pukul 22:20 I Gusti Ngurah Bagus, 1992, Hubungan Pariwisata dengan Budaya di Indonesia, Prospek, dan Masalahnya dalam Kumpulan Makalah Kongres Kebudayaan 1991, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, hlm. 123. 11 Suyitno, 2009, Tanah Kasultanan Yogyakarta (SG) dan Puro Pakualaman (SAG); Tinjauan Historis-Yuridis, Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 33 10
7
menegaskan bawa pengelolaan dan pemanfaatan Tanah Kasultanan ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan dan pemanfaatan Tanah Kasultanan melibatkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Daerah. Disamping itu, masyarakat atau pihak ketiga yang telah memanfaatkan Tanah Kasultanan dapat melanjutkan sepanjang pemanfaatannya tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketiga, adanya sederet daftar isu yang telah diinventarisasi oleh anggota Tim Kelompok Kerja (Pokja) penyusun Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Gunungkidul antara lain :12 1. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan masih adanya kemiskinan; 2. Pengembangan ekonomi (perikanan tangkap, pariwisata pesisir dan sarana/prasarana umum); 3. Terjadinya konflik pemanfaatan dan kewenangan akibat belum tegaknya penataan ruang pesisir dan lautan; 4. Tingginya potensi bencana alam seperti gelombang pasang, gempa bumi dan tsunami; 5. Rendahnya penataan dan penegakan hukum di wilayah pesisir serta masih adanya kekosongan hukum; dan 12
Peraturan Bupati Gunungkidul Nomor 210 Tahun 2008 Tentang Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Terpadu Kabupaten Gunungkidul
8
6. Degradasi habitat wilayah pesisir (hutan pantai dan biotanya serta abrasi/akresi). Dengan adanya salah satu isu belum tegaknya penataan ruang pesisir dan lautan, maka perlu dilakukan suatu upaya peningkatan pengelolaan secara bijaksana, berdaya guna, berhasil guna, dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Menindaklanjuti isu tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul, melalui Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Kidul Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010-2030 (selanjutnya disebut Perda RTRW Kabupaten Gunungkidul) telah menetapkan ketentuan peraturan zonasi untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketentuan tersebut antara lain :13 a. Pemanfaatan ruang didominasi untuk kegiatan yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil; b. Pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; c. Pengaturan zona pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil;
13
Pasal 86 Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010-2030
9
d. Pelarangan pemanfaatan ruang yang digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan kegiatan untama kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; e. Pelarangan pendirian bangunan di kawasan sempadan pantai; dan f. Penetapan jenis dan standar penggunaan bangunan yang diizinkan Mendasarkan pada poin-poin yang telah disebutkan di atas, terdapat satu kegiatan yang sampai saat ini belum dikaji secara mendalam tentang penataan kawasan salah satu pantai yang ada di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul, yaitu Pantai Nguyahan. Penataan kawasan wisata Pantai Nguyahan merupakan salah satu program nasional dalam penurunan angka kemiskinan yaitu program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) yang dilakukan di awal tahun 2014 dan telah selesai dilakukan penataan kawasan pada bulan Juli 2015. MP3KI
merupakan
program
dari
Bappenas
berupa
rencana
penanggulangan kemiskinan jangka panjang yang menjadi acuan bagi seluruh pihak dalam menyusun kebijakan kegiatan penanggulangan kemiskinan. Strategi utama penanggulangan kemiskinan jangka panjang terdiri dari tiga dimensi utama berupa system perlindungan social yang menyeluruh terintegrasi dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan, dan penghidupan berkelanjutan (sustainable
livelihood)
yang
meliputi
:
manusia,
finansial/keuangan,
10
infrastruktur/sarana dan prasarana, alam, dan social politik.14 Lokasi percepatan pengurangan kemiskinan adalah kecamatan-kecamatan yang dipilih oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kriteria tersebut sebagai fokus dari harmonisasi dan sinergi berbagai program/kegiatan penganggulangan kemiskinan yang direncanakan oleh berbagai pihak. Sedangkan lokasi penguatan kecamatan kantong kemiskinan adalah kecamatan sebagai kantong-kantong kemiskinan yang dipilih dan ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu oleh Pemerintah Pusat, menerima penambahan dana Bantuan Langsung Masyarakat PNPM Mandiri yang dipergunakan untuk menambah intensitas kegiatan penurunan angka kemiskinan.15 Berdasarkan surat dari Menteri Perencanaan Pembanunan Nasional (Kepala Bappenas) Nomor 03.09/M.PPN/11/2013 tanggal 14 November 2013 lokasi terpilih di Kebupaten Gunungkidul terdapat di 3 (tiga) Kecamatan yakni Kecamatan Saptosari, Panggang, dan Gedangsari.16 Kecamatan Saptosari yang menjadi focus dalam penelitian ini, disebutkan oleh Camat Saptosari sebagai Kecamatan dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Kabupaten Gunungkidul yaitu 60% dari keseluruhan penduduk Kecamatan Saptosari. Menyusul kemudian Kecamatan Panggang dan Gedangsari dengan tingkat kemiskinan 40% dari keseluruhan penduduk.17 Kecamatan Saptosari menerima dan sejumlah Rp. 6,26 14
http://bappeda.gunungkidulkab.go.id/?p=1212 diakses pada 6 Oktober 2015 http://bappeda.gunungkidulkab.go.id/?p=1212 16 Ibid 17 Hasil Penelitian lapangan 15
11
M degan usulan yang berhasil dilaksanakan di Kecamatan Saptosari sebagai berikut : a. Penataan Pantai Nguyahan. Penataan dalam bentuk penurunan jalan masuk dengan jalan conblock, membuat lahan parkir (belum conblock), membangun 35 kios dan kamar mandi. Dana yang digunakan untuk penataan pantai nguyahan kurang lebih Rp. 1 Miliyar. b. Pembukaan Pantai Ngedan. Pantai Ngedan terletak di Desa Krambil Sawit, kegiatan yang dilakukan adalah pembuatan jalan masuk berupa conblock, area parkir conblock, gazebo dan jogging track. Dana yang digunakan untuk membuka Pantai Ngedan kurang lebih Rp. 600 juta. c. Pembuatan rest area, water boom dan kolam renang dengan dana yang digunakan kurang lebih Rp. 2,5 Miliyar. d. Perbaikan infrastruktur pedesaan beserta pelatihan keterampilan yang mendukung berupa pelatihan keterampilan olahan jagung, pelatihan dodol koro benguk, pelatihan bakpia, pelatihan hasil laut, pelatihan pengembangan bahan baku, pelatihan kerajinan perak dan tembaga, serta pelatihan keterampilan sablon, Dana yang dikeluarkan kurang lebih Rp. 600 juta. Pantai Nguyahan ditetapkan menjadi salah satu program MP3KI untuk dilakukan penataan, karena terletak di Desa Kanigoro yang merupakan desa dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Kecamatan Saptosari. Hal tersebut dapat dilihat dari data penerimaan raskin Kecamatan Saptosari, sebagai berikut:
12
Tabel 1.1 Data Penerimaan Raskin Kecamatan Saptosari
No.
Desa
1.
Krambil Sawit
2.
Ngloro
3.
Jml. KK
Tahun
Tahun
Tahun
2013
2014
2015
Jml. Jiwa
1.783
5.623
1.010
1.010
1.010
702
3.110
512
512
512
Jetis
1.083
4.863
625
625
625
4.
Kepek
1.293
5.920
871
872
872
5.
Kanigoro
1.807
6470
1.087
1.087
1.087
6.
Planjan
1.665
3.483
866
866
866
7.
Monggol
1.277
4.503
737
736
736
9.610
33.982
5.708
5.708
5.708
Jumlah
Data Kecamatan Saptosari Dalam Angka, 2015 Dari latar belakang diatas, penulis melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan judul “Pelaksanaan Penataan Kawasan Wisata Pantai Nguyahan Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) dan Aturan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gunungkidul”. Penelitian ini difokuskan pada : Pertama, pelaksanaan penataan kawasan wisata Pantai Nguyahan Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI). Kedua, kesesuaian pelaksanaan penataan kawasan wisata Pantai Nguyahan Dengan Rencana Tata Ruang
13
Wilayah Kabupaten Gunungkidul. Keetiga, kompleksitas permasalahan dalam pelaksanaan penataan kawasan wisata Pantai Nguyahan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Pelaksanaan Penataan Kawasan Wisata Pantai Nguyahan Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI)? 2. Bagaimanakah Kesesuaian Pelaksanaan Penataan Kawasan Wisata Pantai Nguyahan Dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gunungkidul? 3. Apa Saja Kompleksitas Permasalahan Dalam Pelaksanaan Penataan Kawasan Wisata Pantai Nguyahan?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian hukum ini mencakup dua hal, yaitu : 1. Tujuan Objektif a. Mengetahui terkait pelaksanaan penataan kawasan wisata Pantai Nguyahan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI)
14
b. Mengetahui bagaimana kesesuaian penataan kawasan wisata Pantai Nguyahan
dengan
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Kabupaten
Gunungkidul, apakah telah berjalan sesuai dengan aturan hukum postif yang berlaku / ius constitutum ataukah telah terjadi penyalahgunaan / pelanggaran aturan terkait. c. Mengetahui apa saja kompleksitas permasalahan dalam pelaksanaan penataan kawasan wisata Pantai Nguyahan 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh seluruh data yang berkaitan dengan subyek yang diteliti dalam rangka penyusunan penulisan hukum. Penulisan hukum ini digunakan sebagai syarat untuk penulis dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada Strata 1 (satu) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian Untuk menjamin orisinalitas penelitian dan juga dijadikan sebagai bahan rujukan, dilakukan penelusuran referensi terutama terhadap hasil-hasil studi dan pengkajian sebelumnya, ditemukan adanya sejumlah studi yang menaruh perhatian yang sama dengan studi ini. Berikut uraian berkaitan penelitianpenelitian terdahulu yang berkaitan penataan ruang dan pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
15
Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Putri Rochani dengan judul “Pelaksanaan Tata Ruang Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang di Kabupaten Sleman”. Penelitian ini memfokuskan permasalahan pada : 1. Apakah
Pemerintah
Daerah
kabupaten
Sleman
sudah
mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten Sleman? 2. Jika
sudah,
sejauh
mana
Pemerintah
Kabupaten
Sleman
mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang? 3. Jika belum, bagaimanakah pelaksanaan tata ruang di Kabupaten Sleman saat ini? Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Ginanjar Julian Azizi dengan judul “Konsep, Penerapan, dan Kendala Penataan Ruang Kawasan Pesisir Pantai Kuwaru
Kabupaten
Bantul
Yogyakarta”.
Penelitian
ini
memfokuskan
permasalahan pada: 1. Bagaimanakah konsep penataan ruang kawasan pesisir pantai Kabupaten Bantul khususnya Pantai Kuwaru? 2. Bagaimanakah pelaksanaan perencanaan tata ruang pesisir pantai Kabupaten Bantul khususnya pada Pantai Kuwaru? 3. Adakah kendala dalam pelaksanaan tata ruang pesisir Pantai Kuwaru dan bagaimana penyelesaian kendala tersebut?
16
Ketiga, Penelitian yang dilakukan oleh Neny Zulaiha dengan judul “Penyelenggaraan Penataan Ruang Untuk Kepentingan Pemukiman dan/atau Perumahan di Wilayah Pesisir (Studi Kasus Penataan Kawasan Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta)”. Penelitian ini memfokuskan permasalahan pada: 1. Bagaimanakah perencanaan penataan ruang di Kabupaten Bantul terutama menyangkut pemukiman pesisir?; 2. Apakah pembangunan kawasan relokasi di wilayah pesisir Pantai Parangtritis telah memenuhi syarat-syarat untuk dikatakan aman, nyaman dan tanggap terhadap bencana alam? 3. Bagaimana sikap, keputusan dan tindakan masyarakat sebagai penguasa tanah dan/atau bangunan terhadap penataan wilayah peisisr Pantai Parangtritis yang dilakukan? 4. Apa saja kendala yang dihadapi pemerintah daerah kabupaten bantul dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan pantai parangtritis? 5. Apa kebijakan khusus pemerintah kabupaten Bantul untuk mengatasi permasalahan hidup masyarakat pesisir dalam masa transisi berkaitan dengan hilangnya tempat tinggal dan hilangnya pekerjaan? Penelitian ini berbeda dengan temuan tulisan maupun publikasi penelititian yang ada karena dalam penelitian ini menyoroti Pelaksanaan Penataan Kawasan Wisata Pantai Nguyahan Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) dan Aturan Rencana Tata Ruang
17
Wilayah Kabupaten Gunungkidul. Oleh karena itu keaslian penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka.
E. Manfaat Penelitian Penulis meyakini bahwa penelitian yang dilakukan untuk penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Agraria. Lebih khusus dalam bidang penataan ruang wilayah pariwisata pantai di Indonesia. Penulis yakin bahwa ketidak tahuan masyarakat luas akan hukum yang memiliki tujuan untuk mengatur kehidupan mayarakat dalam penataan ruang wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, dapat dijawab secara komprehensif melalui ilmu pengetahuan hukum dalam kerangka teoritis implementatif. 2. Pembangunan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembaharuan dan pengembangan hukum, terutama dalam bidang penataan ruang
dalam
lingkup
Nasional
hingga
daerah.
Pembaharuan
dan
pengembangan hukum dimaksud tetap berlandaskan kepastian hukum,
18
kemanfaatan dan keadilan dengan mengedepankan aspek kepentingan masyarakat umum. 3. Kehidupan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam kehidupan masyarakat mengingat masyarakat memiliki peranan penting dalam proses penataan ruang. Selain itu khususnya untuk pihak-pihak terkait baik pemangku kekuasaan hingga para pelaku usaha yang berkegiatan dalam ruang wilayah pesisir.