1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai ideologi dasar (grund norm) Pancasila serta
memiliki Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945). Meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration Of Human Rights), namun UUDNRI Tahun 1945 sudah memuat ketentuan tentang penghormatan beberapa hak asasi manusia yang selanjutnya disingkat HAM.
Penghormatan terhadap HAM tersebut diantaranya adalah hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama pembukaan UUDNRI Tahun 1945), hak atas kewarganegaraan (Pasal 26), persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)), hak berserikat dan berkumpul bagi semua warga negara (Pasal 28), hak setiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 19 ayat (2)), dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31).
Pelanggaran
HAM
yang
berat
di
Indonesia
semakin
marak
diperbincangkan banyak kalangan dalam berbagai kesempatan, baik di dalam
2
maupun di luar negeri,1 meskipun Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945. Pelanggaran HAM yang berat merupakan tindakan menakutkan yang akan membawa dampak bagi keamanan serta kesejahteraan bangsa dan negara. Pelanggaran HAM yang berat merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan universal,2 dimana dalam menyelesaikan perkara ini membutuhkan suatu penanganan khusus dan cara-cara yang luar biasa untuk mengatasinya.
Penindakan atas kejahatan serius terhadap hak asasi manusia dengan menggunakan instrumen hukum pidana tidaklah mudah karena lebih bernuansa politik.3 Penegakan dan perlindungan dalam menyelesaikannya di Indonesia dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan pada 23 November 2000. UndangUndang ini secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang berat, serta mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu,4 sesuai Pasal 104 ayat (1) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa “Untuk
1
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT. Reflika Aditama, Bandung, hlm. 122. 2 Harifin A. Tumpa, 2010, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 8. 3 Eddy O.S Hiariej, 2009, “Asas Legalitas dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 375. 4 Harifin A.Tumpa Op.Cit., hlm. 2.
3
mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum”. Oleh karena itu, diperlukan metode penegakan hukum dalam suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat.
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157) tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa badan peradilan di bawah Mahkamah Agung terdiri dari :
1.
Lingkungan Peradilan Umum;
2.
Lingkungan Peradilan Militer;
3.
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
4.
Lingkungan Peradilan Agama;
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Untuk itu berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
4
Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.5 Sebagai dasar hukum mengenai pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimana Pasal 1 angka 3 dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Langkah penegakan hukum ini dilakukan dengan jalan membentuk suatu badan peradilan yang independen dalam menangani masalah khususnya seperti pelanggaran HAM yang berat, agar badan peradilan tersebut dapat bertindak sesuai koridor hukum sehingga rekayasa penguasa dapat dihilangkan. Semakin demokratis sistem politik dan ketatanegaraan suatu negara, semakin tinggi penghormatan dan perlindungan atas HAM.6 Berdasarkan ideologi Pancasila, keadilan tidak boleh dibedakan atas dasar latar belakang sosial, ekonomi, politik, ideologi, etnisitas, ras, agama, warna kulit, maupun gender. Hakim sebagai aparat penegak hukum di lembaga peradilan sangat penting dalam usahanya untuk menangani pelanggaran HAM yang berat. Hakim tidak hanya memberi sanksi bagi para pelaku tetapi juga mempunyai peran untuk memberikan efek jera bagi pelanggar hukum. Peran hakim yang sangat penting ini mengakibatkan timbulnya suatu permasalahan baru, karena kredibilitas dan moralitas seorang hakim sebagai aparat penegak hukum
5
Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165). 6 I Wayan Parthiana, 2004, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV. Yrama Widya, Bandung, hlm. 101.
5
dipertaruhkan. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia maka perlu adanya pembentukan hakim ad hoc di lingkungan pengadilan HAM, sesuai Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bahwa “Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc”. Pasal 28 ayat (1), “Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung”. Kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia adalah persoalan kekerasan di Timor-Timur yang berdasarkan mandat dari Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 merupakan kasus-kasus yang terjadi dengan tempus delictie bulan April sampai September 1999 dan locus delictie meliputi Dili, Liquica dan Suai Kovalima.7 Ada perbedaan mengenai locus delictie kasuskasus yang diajukan ke pengadilan dengan hasil kesimpulan penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan peristiwa yang terjadi bukan hanya di 3 (tiga) wilayah tersebut tetapi hampir diseluruh kabupaten di Timor-Timur. Kekerasan tersebut terjadi setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor-Timur, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Jumlah terdakwa yang diajukan ke pengadilan hanya 18 terdakwa baik dari kalangan
7
Sebelumnya dengan Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 2001.
6
militer, polisi maupun sipil.8 Pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264, mengutuk tindakan kekerasan pasca jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili sendiri orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan tersebut. Desakan itu kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.9 Menyikapi Resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut yang merupakan bentuk desakan dunia internasional dan demi untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar lagi, pemerintah Indonesia akhirnya setuju untuk membentuk pengadilan HAM, pada tanggal 23 November 2000 dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, karena PERPU ini oleh DPR dianggap tidak memadai
sehingga
tidak
disetujui
sebagai
undang-undang.10
Dalam
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur,
8
Komposisi para terdakwa dalam 3 kasus pertama tidak mencerminkan adanya pola yang pasti karena 3 berkas pertama ini yang diajukan adalah Abilio Soares yang merupakan terdakwa dari sipil dengan jabatan tertinggi, sementara ada terdakwa lainnya yang merupakan bawahan terdakwa yaitu Leonito Martens (Bupati Liquica), Herman Sedyono (Bupati Kovalima) dan Eurico Guterres (Wakil Panglima PPI). Berkas kedua adalah Timbul Silaen (Kapolda Timor-timur saat itu) yang juga mempunyai bawahan yang diajukan sebagai terdakwa yaitu Hulman Gultom (Kapolres Dili), Adios Salova (Kapolres Liquica) dan Gatot Subyaktoro (Kapolres Suai Kovalima). Berkas ketiga dengan 5 (lima) terdakwa Herman Sedyono, Liliek Koshadiyanto (Dandim Suai Kovalima), Gatot Subyaktoro, Ahmad Syamsuddin (Kepala Staf Kodim Suai) dan Sugito (Danramil Suai), para terdakwa dari milter berdasarkan pada jengjang komando saat itu mempunyai atasan yang juga sebagai terdakwa yaitu Noer Muis (Danrem Dili) dan Adam Damiri (Pangdam Udayana). Dari pola ini tidak jelas apakah strategi penuntutan dari pejabat dengan tingkat paling bawah atau paling atas terlebih dahulu. 9 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 121. 10 Eddy Djunaedi Karnasudirdja, 2003, Dari Pengadilan Militer Internasional Nuremberg ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, PT. Tatanusa, Jakarta, hlm. 82.
7
pelaksanaan peradilan di Indonesia mulai menunjukkan suatu kemajuan dalam menegakkan hak-hak asasi manusia.11 Kasus pelanggaran HAM yang berat di Tanjung Priok terjadi pada September 1984.12 Penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM yang menyimpulkan bahwa telah diduga terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Tanjung Priok. Komnas HAM dalam laporannya juga menunjukkan latar belakang atas peristiwa yang terjadi tidak telepas dari kondisi sosial dan politik saat itu.13 Kejaksaan Agung dalam penuntutan menetapkan 14 orang terdakwa yang dibagi dalam 4 berkas perkara. Terjadi penurunan jumlah pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dari hasil penyelidikan Komnas HAM dengan jumlah terdakwa yang diajukan ke pengadilan.14 Keseluruhan berkas perkara tersebut kemudian dilakukan persidangan dengan sidang pertama pada bulan september 2003, dan para terdakwa dinyatakan bersalah.15 11
Muladi, 2011, Statuta Roma Tahun 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional Dalam Rangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, PT. Alumni, Bandung, hlm. 4-5. 12 Penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk Komisi Penyelidik Peristiwa Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T). 13 Dalam laporanya, KP3T menyatakan bahwa latar belakang sebelum peristiwa tanggal 12 September 1984 dikarenakan oleh adanya kebijakan politik Nasional dengan dikeluarkanya TAP MPR Nomor IV tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang kemudian mendapat tanggapan dari sebagian umat Islam sebagai gejala untuk mengecilkan umat Islam dan mengagamakan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi inilah yang kemudian memperuncing perbedaan antara sebagian umat Islam tertentu dengan aparat yang akan menegakkan ideologi negara dan kebijaksanaan politik Nasional. 14
Nama-nama yang tidak diajukan ke Pengadilan diantaranya adalah LB Moerdani, Try Sutrisno, mantan Presiden Soeharto, dll. 15 Sidang pertama pelanggaran HAM yang berat Tanjung Priok digelar pada 15 September 2003 dengan terdakwa Sutrisno Mascung bersama 10 anak buahnya. Sedangkan sidang untuk Pranowo digelar pada 23 September 2003, R. A Butar-Butar pada 30 September 2003, dan Sriyanto pada 23 Oktober 2003.
8
Pemeriksaan perkara tingkat banding, putusan yang dihasilkan sangat berbeda dengan putusan ditingkat pertama dimana semua terdakwa yang dihukun dinyatakan tidak bersalah. Demikian pula dengan putusan-putusan dalam tingkat kasasi yang menyatakan tidak menerima permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum, meskipun dalam putusan ini ada pendapat yang berbeda dari anggota majelis hakim misalnya dalam perkara dengan terdakwa Pranowo.16 Kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia diselesaikan di pengadilan HAM adalah kasus pelanggaran HAM yang berat di Abepura Irian Jaya. Pada tanggal 8 dan 9 September 2005 Pengadilan HAM Makassar,17 memutuskan untuk membebaskan terdakwa Brigjen (Pol) Johny Wainal, mantan Komandan Satuan BRIMOB Polda Irian Jaya / Papua di Jayapura, karena unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan yang dituduhkan kepadanya tidak terpenuhi,18 di dalamnya terdapat hakim ad hoc yang bersama dengan hakim karier memutus kasus pelanggaran HAM yang berat, yang diangkat oleh Mahkamah Agung. Hakim ad hoc yang terpilih akan melakukan tugasnya untuk menegakkan keadilan sesuai dengan keahlian pada kasus pelanggaran HAM yang berat sebagaimana telah di atur dalam peraturan perundang-undangan, bahwa kedudukan hakim ad hoc begitu penting dalam 16
Ketua Majelis, Artidjo Alkotsar berpendapat berbeda (dissenting opnion) dengan empat hakim yang lain dan menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Keempat hakim lainnya adalah Dirwoto, Sumaryo Suryokusumo, Ronald Zelfinanus Titahelu dan Sakir Ardiwinata. 17 Pengadilan HAM Makassar ini merupakan Pengadilan HAM permanen pertama yang digelar di Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 18 ELSAM, 2007, Ekspose Hasil Eksaminasi Putusan Pengadilan HAM Abepura dan TimorTimur, Jakarta, hlm. 2.
9
proses persidangan pelanggaran HAM yang berat pada pengadilan hak asasi manusia. Maka berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik meneliti mengenai eksistensi hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia di Indonesia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari penjelasan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan untuk diteliti adalah :
1. Apa landasan pemikiran keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia? 2. Bagaimanakah realitas keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif Penelitian ini secara objektif memiliki tujuan untuk mengetahui, menganalisis,
menelaah,
dan
memahami
landasan
pemikiran
keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia, serta realitas keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subjektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis peneliti untuk memperoleh gelar Master Hukum (M.H.) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
10
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, lebih khusus bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya hukum pidana berkaitan dengan eksistensi hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia di Indonesia. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi hukum, akademisi dan regulator dalam rangka menerapkan, mengembangkan dan membentuk hukum khususnya berhubungan dengan eksistensi hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan terdapat beberapa karya tulis baik yang berupa skripsi maupun disertasi yang berkaitan dengan eksistensi hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia di Indonesia. Karya tulis ilmiah yang penulis maksud adalah : 1. Disertasi yang dibuat oleh RB. Sularto, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2010 dengan judul “Pembentukan dan Pengaturan Substansi Pengadilan HAM Ad Hoc dalam Perspektif
11
Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”.19 Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu: 1) Bagaimanakah landasan filosofis pembentukan pengadilan HAM ad hoc dalam kerangka penyelesaian pelanggaran HAM yang berat pada masa yang lalu? 2) Bagaimanakah pembentukan pengadilan HAM ad hoc dalam perspektif kebijakan kriminal dan kebijakan hukum pidana di Indonesia? Hasil penelitian dan pembahasan dari disertasi tersebut dapat ditarik kesimpulan : 1) Bahwa kebijakan hukum pidana di Indonesia dalam menangani pelanggaran HAM yang berat memuat beberapa ketentuan pembatasan asas non retroaktif (nullum crimen sine lege) dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat yang berlandaskan pada penerapan dari asas margin of appreciation dan proportionality principle yang telah dikenal dalam beberapa dokumen internasional. 2) Permasalahan pembentukan pengadilan HAM ad hoc melalui kebijakan hukum pidana yang ada pada hakekatnya bukan terletak pada jenis produk landasan hukumnya sebagai delegated regulation melainkan lebih tertuju pada substansi atau isi dari landasan hukumnya yang merupakan aktualisasi dari argumentasi asas politik (argument of political principle) yaitu dasar yang menyangkut hak19
RB. Sularto, 2010, “Pembentukan dan Pengaturan Substansi Pengadilan HAM Ad Hoc dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
12
hak politik dari warga negara yang bersifat individual dan representasi dari adanya supremasi hukum (rule of law). Pada akhirnya pengadilan HAM ad hoc keberadaannya merupakan bagian dari suatu sistem, yaitu a community of courts, yang dibuat dengan mengacu kepada prinsip-prinsip atau asas-asas dasar (grand principles)
penyelenggaraan
peradilan
pidana
internasional
(international criminal justice). 2. Skripsi yang dibuat Ester Natalia, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2010 dengan judul “Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Legalitas”.20 Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu: 1) Apakah Pengadilan HAM ad hoc melanggar prinsip asas legalitas? 2) Bagaimanakah realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia? Hasil penelitian dan pembahasan dari skripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan : 1) Materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 khususnya Pasal 43 ayat (1) yang menerapkan pemberlakuan surut terhadap suatu kasus pelanggaran HAM yang berat, tidak sesuai dengan isi atau muatan dari Pasal 28 I UUDNRI Tahun 1945 yang merupakan acuan tertinggi dari pemberlakuan asas legalitas dan secara otomatis pula peraturan dibawahnya yang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 20
Ester Natalia, 2010, “Tinjauan Hukum Pelaksanaan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Legalitas”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
13
26 Tahun 2000 tidak boleh bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945. 2) Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dengan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc atas kasus pelanggaran HAM pasca jajak pendapat Timor-Timur dan Tanjung Priok tersebut dikategorikan bersifat retro aktif atau berlaku surut yakni apabila dilihat dari tempus delicti atau waktu kejadian perkaranya maka dapat diketahui bahwa kedua kasus tersebut terjadi di bawah tahun 2000 dimana pada saat itu belum terbentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatur mengenai Pengadilan HAM ad hoc. Penelitian yang dilakukan oleh penulis secara khusus mengkaji tentang eksistensi hakim ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia di Indonesia. Meskipun terdapat beberapa karya tulis ilmiah yang mengkaji tentang hakim ad hoc, namun penelitian ini memiliki objek penelitian yang berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu atau penulisan karya ilmiah sebelumnya. Penelitian dengan objek yang sama belum pernah penulis temukan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun di tempat lain, setelah penulis melakukan penelusuran dan pengamatan.