BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang undangan
di
bidang
perekonomian.
Konstitusi
mengamanatkan
agar
pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Peningkatan perekonomian nasional perlu didukung oleh suatu undang undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756 merupakan suatu kebutuhan yang diperlukan bagi kalangan pengusaha sebagai pelaku usaha, pemerintah sebagai pihak regulator di bidang usaha, karena undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas telah dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia usaha.
1
2
Sebagaimana dinyatakan di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Selain itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Perjuangan untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ini berlangsung cukup lama yaitu sekitar dua tahun sejak tanggal 12 Oktober 2005, dengan mengalami berbagai perombakan, sampai akhirnya undang-undang 14 bab dan 161 pasal ini disahkan oleh DPR pada tanggal 16 Agustus 2007. Secara keseluruhan kalangan dunia usaha menanggapi dengan baik Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hanya saja kalangan pengusaha masih mempermasalahkan satu pasal dalam undang-undang ini yaitu Pasal 74. Pasal itu mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atau biasa disebut sebagai Corporate Social Responsibility (selanjutnya disebut CSR). Banyak kalangan yang menganggap Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas itu merupakan pasal yang kontroversial karena banyak kalangan memandang aturan
3
mengenai CSR ini seharusnya tidak perlu mnjadi bagian dari sebuah UndangUndang Perseroan Terbatas.1 Tanggung jawab sosial perusahaan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas didefinisikan sebagai berikut: “Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.” Muncul sikap pro dan kontra dari masyarakat khususnya kalangan dunia usaha, sejak DPR memasukkan konsep mengenai CSR ini dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Kontroversi ini muncul karena adanya kewajiban pelaksanaan dari CSR. Pendapat dari beberapa pihak yang kontra di antaranya adalah: 1. CSR seharusnya bersifat sukarela. Mereka yang melaksanakan CSR dalam pengelolaan perusahaannya akan merasakan sendiri manfaat dari tanggung jawab sosial yang dilakukannya, sehingga tidak perlu diwajibkan. 2. Diwajibkannya CSR dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dianggap akan memberatkan perusahaan, karena dapat menambah beban biaya operasional. 3. Undang-Undang Perseroan Terbatas hanya mewajibkan CSR bagi perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam. Ketentuan kegiatan usaha dibidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam ini oleh Menteri Energi dan 1
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, Percetakan Penebar Swadaya, Jakarta, hlm. 2.
4
Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.2 Sebaliknya, mereka yang mendukung berargumen kalau tidak diatur maka perusahaan cenderung lalai menjalankan tanggung jawab sosialnya. 3 Pihak proCSR mengharapkan korporasi untuk dapat ikut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan. Korporasi bukanlah entitas terpisah dari sebuah masyarakat dan lingkungan di mana dia berada, tetapi korporasi merupakan bagian integral yang hanya dapat eksis jika memiliki legitimasi sosial yang kuat. Untuk memiliki legitimasi yang kuat, sebuah korporasi mesti memiliki banyak manfaat dan peduli terhadap lingkungan sosialnya. Sementara itu di lain pihak, DPR sebagai perumus konsep CSR ini dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas membantah bahwa CSR akan membebani perusahaan. Hermansyah Nazirun anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengatakan: “Program CSR bersifat penuh toleransi dan tidak semena-mena”.4 Mengenai keberatan terhadap kebijakan CSR bagi perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam, Ketua Panitia Khusus Pembahasan Rancangan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 mengatakan: “Jangan hanya dilihat core businessnya. Rumah sakit pun wajib CSR karena dia membuang limbah. Pokoknya semua usaha yang berhubungan dengan lingkungan”.5
2
Ibid., hlm. 65. Ibid., hlm. 64. 4 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17212/klausul-csr-tidakmenabrak-uud-1945 di unduh tanggal 6 Mei 2013. 5 Ibid. 3
5
Ruang lingkup dan isu-isu mengenai CSR di Indonesia, sudah banyak diatur dalam undang-undang secara parsial. Adapun undang-undang tersebut antara lain yakni: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak,
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya. Namun ada dua instrumen hukum yang secara tegas mewajibkan perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial yakni Undang-Undang 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UUPM) dan Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT). Pada ketentuan menimbang huruf b UUPM, dinyatakan bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Sedangkan dalam ketentuan menimbang huruf a UUPT dinyatakan bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
6
kesatuan ekonomi nasional. Hal itu membutuhkan adanya kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 15 huruf b UUPM menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Kemudian Pasal 16 huruf d meny atakan bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya Pasal 16 huruf e UUPM menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja. Selanjutnya Pasal 17 UUPM menentukan bahwa penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang berkaitan dengan CSR dapat ditemukan dalam Pasal 74 UUPT. Pasal 74 ayat (1) menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Menurut penjelasan Pasal 74 ayat (1), ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan yang selaras dan seimbang sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam
adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya
7
alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Tanggung jawab sosial dan lingkungan menurut Pasal 74 ayat (2) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Pasal 74 ayat (3) menentukan, bagi perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan ayat ini menyebutkan yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundangan yang terkait. Selanjutnya Pasal 74 ayat (4) menentukan bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Terhadap ketentuan ini, Sutan Remy Sjahdeini memberikan catatan sebagai berikut: 1. CSR oleh UUPT telah ditetapkan sebagai kewajiban hukum bukan sebagai kewajiban moral yang pelaksanaannya bersifat sukarela; 2. CSR hanya diberlakukan terbatas pada perseroan yang menjalankan usahanya di bidang sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya alam; 3.
Apabila perseroan tersebut tidak melaksanakan CSR dikenakan sanksi;
8
4. Pendanaan untuk kegiatan CSR itu dapat dianggarkan dan pengeluarannya dapat diperhitungkan sebagai biaya perseroan. 6 Pengaturan CSR pada kedua undang-undang tersebut dianggap membebani dunia usaha, biaya ekonomi tinggi dan segala masalah lain seperti reformasi birokrasi dan penguatan kelembagaan hukum yang belum mendapat perhatian seksama.7 Berbagai persoalan muncul dalam penerapan CSR di Indonesia. Persoalan tersebut terletak pada ranah pengaturan dan sumber pembiayaan untuk pelaksanaan CSR. Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam sistem hukum di Indonesia secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun hal tersebut menimbulkan beberapa persoalan diantaranya: 1. Perbedaan
definisi
di
antara
kedua
Undang-Undang tersebut,
yang
mengakibatkan para pelaku usaha bingung untuk melaksanakan CSR secara tepat. 2. Adanya diskriminasi terhadap perusahan-perusahaan tertentu yang terkena kewajiban untuk melaksanakan CSR. 3. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan ruang lingkup dan isu-isu CSR. Mengenai perbedaan definisi dan istilah, dalam Pasal 15 huruf b UUPM menyebutkan:“setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung
6
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, “Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26, No. 3, hlm. 65-66. 7 Pradjoto, “Tanggung Jawab Sosial Korporasi”, Kompas, 22 Juli 2007.
9
jawab sosial perusahaan”. dalam penjelasan Pasal tersebut, yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Sedangkan CSR menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UUPT menyebutkan:“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”. Hal ini akan menimbulkan persoalan mengenai ketidakkonsistenan istilah, “tanggung jawab sosial perusahaan” dalam Pasal 15 huruf b UUPM tidak memiliki makna yang sama dengan istilah “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” dalam Pasal 1 angka 3 UUPT. Berdasarkan dua pengertian di atas menunjukkan bahwa pengertian CSR dalam Pasal 15 huruf b UUPM hanya sebatas pada “menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai dan budaya masyarakat setempat”. Kalimat tersebut menekankan penciptaan hubungan yang serasi antara korporasi dengan masyarakat, dan juga tidak dijelaskan adanya kontribusi tertentu bagi masyarakat yang dilakukan oleh korporasi. Perusahaan penanam modal hanya dituntut untuk tidak menimbulkan keresahan dan menjaga hubungan baik dengan masyarakat. CSR dalam Pasal 1 angka 3 UUPT, penekanannya pada peran serta perseroan dalam pembangunan ekonomi. Perseroan dituntut untuk meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat. Artinya, ada kewajiban bagi perseroan
10
secara aktif untuk memberikan kontribusi, baik dalam bentuk bantuan maupun kemitraan. CSR di dalam pasal 1 angka 3 UUPT dinyatakan hanya sebagai komitmen perseroan. Sementara itu di dalam Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2), merumuskan perseroan wajib melaksanakan CSR, serta perseroan
wajib
menganggarkan biaya CSR. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan pengertian, karena seolah-olah CSR hanyalah suatu kegiatan yang harus mengeluarkan biaya saja. Tetapi dalam prakteknya, terdapat begitu banyak kegiatan CSR yang tidak mengeluarkan biaya, bahkan dapat menghemat biaya, seperti upaya penghematan energi dan air, pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan lembaga keuangan mikro dan memperlakukan karyawan dengan lebih manusiawi.8Diskriminasi pengaturan CSR, pada ketentuan Pasal 74 UUPT, yang dengan jelas menyebutkan bahwa kewajiban untuk melaksanakan CSR hanya untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas saja. Sedangkan pada UUPM kewajiban CSR diperuntukan bagi setiap penanaman modal, baik usaha kecil, menengah atau korporasi besar, termasuk tidak dibedakannya bagi perusahaan asing, BUMN, maupun swasta nasional. Perbedaan juga nampak pada ruang lingkup bidang usaha perusahaan yang diwajibkan melaksanakan CSR. UUPM tidak memeberikan batasan bidang usaha bagi penanam modal yang dikenai kewajiban melaksanakan CSR, sebagaimana ketentuan
pada pasal 15 huruf b hanya menyebutkan: “ setiap
penanam modal berkewajiban...” Sedangkan Pasal 74 ayat (1) UUPT 8
Mukti Fajar ND, 2009, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Mandatory vs Voluntary, Studi tentang Penerapan Ketentuan Corporate Social Responsibility Pada Perusahaan Multi Nasional, Swasta Nasional dan Badan Usaha Milik Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 307.
11
menyebutkan” Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan ingkungan.” Menurut Penjelasan Pasal 74 ayat (1) yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sementara itu yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Dengan demikian berarti perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam dan tidak berkaitan dengan sumber daya alam, maka pelaksanaan CSRnya tidak diwajibkan. Pada tanggal 4 April 2012, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (selanjutnya ditulis PPTJSL). Kehadiran PP ini diharapkan mampu mengurangi kebingungan dunia usaha di dalam melaksanakan kewajiban CSR, namun kehadirannya masih tetap menunjukkan adanya perbedaan pengaturan bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, sebagaimana ketentuan Pasal 2 PPTJSL menyatakan bahwa setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa :“Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
12
berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang.” Selanjutnya penjelasan Pasal 3 ayat (1) ini, menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahannya berkaitan dengan sumber daya alam “adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan”berdasarkan Undang-Undang” adalah undangundang beserta peraturan pelaksanaan undang-undang mengenai sumber daya alam atau yang berkaitan dengan sumber daya alam, serta etika menjalankan perusahaan, antara lain: peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian, kehutanan, minyak dan gas bumi, badan usaha milik negara, usaha panas bumi, sumber daya air, pertambangan mineral dan batu bara, ketenaga listrikan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, serta perlindungan konsumen. Ketentuan PP ini juga menimbulkan kerancuan konsep mandatory CSR. Menurut Miko Kamal, alih-alih memperbaiki kerancuan dan memperkuat konsep mandatory, justru membuat konsep mandatory CSR Indonesia menjadi semakin tak jelas9. Pasal 4 ayat (1), CSR dilaksanakan oleh direksi perseroan berdasarkan rencana kerja tahunan setelah mendapatkan persetujuan dewan komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Maknanya, Pasal 4 ayat (1) ini menyerahkan sepenuhnya apakah menjadikan CSR wajib atau tidak kepada internal perusahaan (dewan komisaris atau RUPS). Perbedaan pengaturan kewajiban melaksanakan CSR pada UUPM dan UUPT dapat membuat dunia usaha kebingungan dan merasakan adanya diskriminasi pengaturan untuk melaksanakan kewajiban CSR, terutama bagi
9
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt502d8a41c9e04 / csr-tidaklagi-wajib-broleh--miko-kamal--phd diunduh pada tanggal 12 Agustus 2013.
13
perusahaan perusahaan penanam modal yang tidak menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, seperti contohnya perusahaan tiketing yang tidak menjalankan usaha di bidang sumber daya alam, apakah wajib melaksanakan CSR atau tidak?. Contoh lain adalah perusahaan yang tidak berbentuk Perseroan Terbatas, melakukan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam, dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, misalnya melakukan penambangan batu kapur
seperti yang dilakukan oleh
perusahaan kecil di kawasan Padalarang Kabupaten Bandung, dimana kegiatan usahan penambangan batu kapur tersebut memberikan dampak pencemaran lingkungan yang besar akibat penyebaran debu kapur. Contoh lain yaitu penambang batu bintang, yang berada di Kabupaten Pariaman Sumatera Barat, dimana untuk memperoleh batu bintang tersebut perusahaan melakukan pengerukan bukit secara besar-besaran. Hal ini menyebabkan terjadi erosi, pendangkalan sungai dan tercampurnya air sungai dengan lumpur yang mengakibatkan kerusakan lahan-lahan pertanian seperti yang pernah terjadi di Kecamatan Sungai Garingging.10 Apakah perusahaan kecil dan menengah tersebut diwajibkan CSR atau tidak?, mengingat perusahaan tersebut tidak berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan uraian tersebut di atas, menarik diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Kajian Yuridis Terhadap kewajiban Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Bagi Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007”. 10
Ismail Solihin, 2009, Corporate Social Responsibility: From Charity to Sustainability, Salemba Empat, Jakarta, hlm. 171.
14
Untuk menunjukan kebaruan dari tesis yang akan ditulis, di bawah ini disajikan beberapa karya tulis yang ada kaitannya dengan CSR, sebagai berikut: 1) Tesis mahasiswa Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana yang berjudul “Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Terhadap PT yang Bergerak Dalam Bidang Usaha Perhotelan (Studi Pada Hotel Berbentuk PT di Bali) di susun oleh Ni Putu Yogi Paramitha Dewi, Tahun 2011, dengan permasalahan yang dibahas pada tulisan tersebut ada 2 (dua) yaitu; (1) bagaimana standarisasi pelaksanaan CSR terhadap perusahaan (PT) yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumberdaya alam, khususnya yang bergerak di bidang usaha perhotelan?, (2) apakah akibat hukum yang timbul apabila badan usaha perhotelan (PT) tersebut tidak melaksanakan CSR?. 2) Tesis mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana tahun 2011 yang berjudul “Pengembangan Tanggung Jawab Sosial Perseroan (CSR) Dikaitkan Dengan Konsep Tri Hita Karana (studi di Propinsi Bali)” oleh I Gusti Ngurah Anom, . Dengan Rumusan Masalah : (1) Bagaimanakah model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan sehingga terjadi harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana yang terdapat di Bali?; (2) Bagaimanakah bentuk tanggung jawab sosial yang diterapkan masyarakat?.
oleh
perusahaan
dalam
pengimplementasianya
di
15
3) Tesis mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap Pengaturan CSR Pada UU No.40 Tahun 2007 tentang PT” oleh Ika Safitri, dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana konsep CSR dalam etika bisnis di perusahaan?, (2) Bagaimana peranan pemerintah, perusahaan dan masyarakat sebagai kemitraan tripartit dalam penerapan CSR berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT?, (3) Bagaimana pengaturan CSR pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT?. Berdasarkan penelusuran tersebut di atas, penelitian yang penulis lakukan tidak ditemukan adanya kesamaan baik dalam judul maupun rumusan masalahnya. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang pertimbangan para perumus Undang Undang No.40 Tahun2007 tentang Perseroan terbatas khususnya mengenai inskonsistensi pengaturan kewajiban melaksanakan CSR bagi perseroan menurut ketentuan pada Undang Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan ketentuan yang terdapat pada Undang Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan dapat dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak dijadikan sebagai obyek penulisan tesis.
16
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengapa terjadi perbedaan pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal?. 2. Mengapa kewajiban melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) diutamakan bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam?.
1. 3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diteliti, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat dibedakan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun kedua tujuan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 1.3.1
Tujuan Umum Mengenai tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini pada
hakikatnya adalah untuk pengembangan ilmu hukum pada umumnya terutama untuk memberikan gambaran secara garis besar mengenai kajian yuridis terhadap kewajiban melaksanakan corporate social responsibility bagi perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
17
1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, maka adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah: a. Untuk mengetahui dan mengkaji perbedaan pengaturan kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) menurut UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. b. .Untuk mengetahui dan mengkaji mengapa hanya perusahaan yang bergerak di bidang Sumber daya alam saja yang diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
1.4 Manfaat Penelitian Mengenai manfaat dari penelitian ini dapat diklasifikasikan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini diantaranya: a. Untuk menambah kasanah ilmu hukum perusahaan pada umumnya, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban melaksanakan corporate social responsibility bagi perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan kontribusi dalam pengembangan hukum perusahaan, khususnya yang
18
berkaitan dengan kewajiban melaksanakan corporate social responsibility bagi perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. c. Untuk
menambah
referensi
bagi
penelitian
selanjutnya
dalam
mengembangkan keilmuan khususnya yang terkait dengan kewajiban melaksanakan corporate social responsibility bagi perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Perseroan
Terbatas
dalam
kewajiban
melaksanakan
corporate
social
responsibility dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
1.5. Landasan Teoritis Landasan teori adalah landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang diperlukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam sebuah penelitian. Landasan teori berfungsi juga sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Landasan teori berupa perangkat konsep, definisi, dan preposisi yang menyajikan gejala sistematik dan merinci hubungan variabelvariabel untuk meramalkan dan menerangkan gejala tersebut, teori berfungsi sebagai perspekif dan pangkal tolak atau sudut pandang untuk memahami alam pikiran subjek, menafsirkan dan memaknai setiap gejala dalam rangka membangun konsep.11 Untuk menjawab kedua rumusan permasalahan dalam
11
Yogi Paramitha Dewi Ni Putu, 2011, “Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Terhadap PT yang Bergerak Dalam Bidang Usaha
19
penelitian ini, digunakan 3 (tiga) teori, yakni: Teori Keadilan, Teori Kepastian Hukum, dan Reflexive Law Theory serta menggunakan beberapa konsep yakni Konsep Perseroan Terbatas (PT) dan Konsep Corporate Social Responsibility (CSR).
1.5.1 Teori Keadilan Menurut Gustav Radbruch, dalam pembentukan produk hukum termasuk undang-undang yang dibuat oleh negara secara ideal seharusnya mencakup tiga substansi, yaitu: keadilan (gerechtigheit),
kegunaan (zeckmaessigkeit), dan
kepastian (sicherheit)12. Namun demikian ketiga hal tersebut sulit untuk ditegakkan secara bersamaan, karena untuk menegakkan yang satu harus mengorbankan yang lainnya. Namun apabila dikaitkan dengan Pancasila yakni sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka yang lebih diutamakan adalah keadilan. Demikian pula yang diungkapkan oleh Bismar Siregar, yang menyatakan bahwa bila menegakkan keadilan, saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, karena hukum hanyalah sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan.13 Keadilan bagi Aristoteles adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Keadilan artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata
Perhotelan (Studi Pada Hotel Berbentuk PT Di Bali)”,Tesis Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, hlm. 21. 12 Radiman F.S. Sumbayak, 1985, Beberapa Pemikiran Kearah Pemantapan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, IND-HILL.Co, Jakarta, hlm. 25. 13 Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 154.
20
lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Aristoteles mengatakan:14”Justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality”. Prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional.” Berdasarkan prinsip itu, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua bentuk, pertama keadilan distribusi, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang. Distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan illegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya yang hilang.15 Kata adil menurut Aristoteles mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat diartikan menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditujukan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.16Hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi
14
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 36. 15 Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 47-48. 16 Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, op. cit., hlm. 154.
21
kepada setiap orang apa yang berhak diterimanya.17 Anggapan itu didasarkan kepada etika dan berpendapat bahwa hukum hanya bertugas membuat keadilan. Adil di sini debedakan dalam arti distributif dan komutatif. Keadilan distributif adalah pembagian menurut haknya masing-masing sedangkan keadilan komutatif adalah pembagian yang sama tanpa memperhatikan haknya masing-masing.18 Keadilan distributif menurut Thomas Aquinas, merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas) dalam kontek keadilan distributif, keadilan dan kepatutan (equitas) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan yang lainnya (acqualitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan, yaitu: kesamaan proporsional (acqualitas proportionis) dan kesamaan kuatitas atau jumlah (acqualitas quantitas). 19 Keadilan
distributif
dalam
peraturan
perundang-undangan
artinya
peraturan yang adil, yaitu peraturan yang di dalamnya terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, atau setiap orang memperoleh sebanyak mungkin menjadi bagiannya. Demikian pula semestinya diatur, bahwa bagi orang yang telah memberikan kesejahteraan kepada orang banyak, undangundang seharusnya memberikan hak yang lebih kepadanya. Karena dengan telah
17
E.Utrecht, 1960, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, hlm. 24. 18 Surojo Wignjodipuro, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, PT.Gunung Agung, Jakarta, hlm. 20. 19 E.Sumaryono, 2002, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 90-91.
22
memberikan kesejahteraan kepada orang banyak, berarti dia telah melakukan kewajibannya, oleh karena itu dia berhak atas hak yang lebih baik. 20 Bagi bangsa Indonesia rumusan keadilan dapat dijumpai dalam sila-sila Pancasila, seperti dalam sila kedua yang merumuskan” Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Kemudian pada sila kelima merumuskan, ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sila kemanusiaan yang adil dan beradab dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup di masyarakat. Keadilan hanya dapat diwujudkan pada masyarakat yang beradab atau sebaliknya dapat dikatakan bahwa hanya pada masyarakat yang beradablah keadilan dapat dihargai. Dengan demikian keadilan yang dimaksud adalah dalam konteks keseimbangan dari nilai-nilai antinomi yang ada yang meliputi semua bidang, baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur
dalam
keadilan.21
Sila
kelima
dari
Pancasila
dengan
tegas
mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban yang hidup di masyarakat. Hak dan kewajiban selalu bergandengan dalam kehidupan masyarakat. Untuk mencapai keadilan maka hak dan kewajiban harus diberikan secara seimbang. Teori Keadilan ini dikemukan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis adanya diskriminasi pengaturan kewajiban untuk melaksanankan tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal dengan istilah CSR menurut
20
LJ.van Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid sadino, Pradnya Paramita, jakarta, hlm. 11. 21 Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, op. cit., hlm. 167.
23
Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang diutamakan bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam saja sedangkan pada perseroan yang tidak menjalankan kegiatan uasahanya dan/atau tidak berkaitan dengan sumber daya alam tidak diwajibkan melaksanakan CSR. Sedangkan bagi Perseroan yang termasuk perusahaan penanam modal, berdasarkan UndangUndang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, seluruhnya wajib melaksanakan CSR.
1.5.2 Teori Kepastian Hukum Kepastian asal katanya pasti, yang artinya tentu; sudah tetap; boleh tidak; sesuatu hal yang sudah tentu.22 Menurut Peter Mahmud Marzuki memberi penjelasan terhadap kepastian hukum adalah sebagai berikut: Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasa-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.23 Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Dalam hal ini Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa: “kepastian hukum merupakan perlindungan 22
W.J.S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai pustaka, Jakarta, hlm. 847. 23 Peter mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 158.
24
yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.”24 Terkait dengan kepastian hukum Van Kan menyatakan, bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.25 Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum tersebut dibedakan dalam dua macam yaitu: 1) kepastian oleh karena hukum, yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya, artinya adanya konsistensi penerapan hukum kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan; 2) kepastian dalam hukum, artinya kepastian hukum tercapai jika hukum itu sebanyak-banyaknya
undang-undang,
tidak
ada
ketentuan
yang
bertentangan (undang-undang berdasarkan sistem logis dan pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) dan di dalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konstestasi norma, reduksi norma dan distorsi norma.
24
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 145. 25 E. Utrecht, op. cit., hlm. 25.
25
Teori ini dikemukakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis permasalahan tentang adanya inkonsistensi norma yakni adanya perbedaan pengaturan kewajiban untuk melaksanakan CSR pada ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Kepastian hukum yang dimaksudkan disini adalah kepastian bagi dunia usaha untuk melaksanakan kewajiban melaksanakan kewajiban CSR bagi dunia usaha.
1.5.3 Reflexive Law Theory Reflexive law Theory adalah teori hukum yang menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam masyarakat yang komplek untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif. Untuk mengantisipasi berbagai keterbatasan hukum tersebut lahirlah teori hukum reflexive. Reflexive law theory oleh David Hess sebagaimana dikutip dari Mukti Fajar, mencoba untuk menekan kerumitan dan keberagaman masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang ektensif. Reflexive law theory bertujuan untuk mengarahkan pola tingkah laku dan mendorong pengaturan sendiri (self regulation). 26 Teori hukum ini memfokuskan pada proses sosial secara “regulated autonomy” yaitu membiarkan private actors, seperti korporasi untuk bebas mengatur dirinya sendiri. Pada sisi lain hukum reflexive mengintervensi proses sosial dengan membuat prosedur acuan untuk perilaku korporasi. Gunther Teubner mengatakan bahwa telah terjadi evolusi hukum yang menghasilkan 3 tipe
26
Mukti Fajar ND, op.cit., hlm. 29.
26
hukum, yaitu formal, substantive dan reflexive.27Hukum formal adalah bentuk otorisasi pemerintah mengatur melalui aturan perundang-undangan. Tipe ini mengalami kendala bagi pemerintah untuk mengintervensi persoalan-persoalan privat. Sementara itu, hukum substantif adalah bentuk intervensi negara pada tujuan dan hasil yang diinginkan. Walau lebih permissive (longgar) daripada hukum formal, titik fokus hukum substantive menekankan atas hasil yang diinginkan dari regulasi. Namun hukum substantif mempunyai dua kendala untuk diterapkan dalam masyarakat yang kompleks, yaitu cognitive limitation dan normative legitimacy.28 Gunther Teubner menyebutnya dengan istilah crisis of the interventionist state (krisis intervensi negara). Krisis ini merupakan hasil dari ketidakmampuan hukum substantif untuk memenuhi permintaan dari berbagai persoalan masyarakat yang terus berubah. Jika dipaksakan untuk mengikuti perubahan dalam masyarakat, maka akan memunculkan produk hukum yang terlalu banyak yang justru akan menyusahkan pemahaman masyarakat.29 Reflexive law pada dasarnya merupakan hukum prosedural dan oleh karena itu dapat dipertimbangkan sebagai pengaturan mandiri (self regulation). Daripada mengatur outcome yang telah ditentukan sebelumnya, hukum refleksif berusaha untuk mempengaruhi pembuatan keputusan dan proses-proses komunikasi dengan prosedur-prosedur yang dipersyaratkan. Namun, keputusan akhir tetap berada pada sektor-sektor privat. Tujuan adalah untuk mendorong proses-proses reflektif sendiri atau mandiri di dalam korporasi-korporasi tentang dampak dari tindakan-
27
Mukti Fajar ND, op.cit., hlm. 30. Mukti Fajar ND, loc.cit. 29 Mukti Fajar ND, op.cit., hlm. 31. 28
27
tindakannya pada masyarakat. Terkait dengan CSR, makna tanggung jawab sosial yang berorientasi pada proses yang berhubungan dengan konsep respons sosial korporasi. Respon sosial mengacu pada kapasitas sebuah korporasi untuk merespon tekanan-tekanan sosial. Untuk mengkaji CSR, reflexive law theory adalah teori hukum yang berupaya mendorong korporasi untuk menilai kembali praktek-praktek yang telah mereka lakukan dengan memberikan informasi yang mutakhir.
Dalam
mengontrol
perilaku
korporasi,
reflexive
law
theory
menghendaki adanya social accounting, auditing dan reporting yang disebut social reporting. Laporan sosial adalah bentuk laporan singkat mengenai dampak sosial dari perilaku korporasi secara etika terhadap kepentingan masyarakat atau stakeholders.30 Dalam banyak hal, laporan sosial adalah sama dengan audit keuangan perusahaan, tetapi yang berkaitan dengan penampilan sosial (social performance) dari korporasi. Tujuan dari regulasi yang berdasarkan reflexive law theory mendorong manajemen yang proaktif dan responsif terhadap persoalan sosial. Laporan sosial harus merupakan kewajiban untuk semua perusahaan dengan ukuran tertentu. baik untuk korporasi publik maupun privat, agar dapat memperoleh dampak yang signifikan pada stakeholders.
1.5.4 Konsep Perseroan Terbatas Perseroan memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian Perseroan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam pembuatan Akta Pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang
30
Mukti Fajar ND, op.cit., hlm. 32.
28
lain berdasarkan surat kuasa (misalnya notaris). Untuk memperoleh pengesahan, para pendiri bersama-sama atau kuasanya (notaris atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa khusus) mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan Akta Pendirian perseroan. Pengesahan diberikan dalam waktu paling lama enam puluh hari setelah permohonan diterima terhitung sejak permohonan yang diajukan dinyatakan telah memenuhi syarat dan kelengkapan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal permohonan ditolak, maka penolakan harus diberitahukan kepada pemohon secara tertulis beserta alasannya dalam waktu paling lama enam puluh hari setelah permohonan diterima. Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas secara tegas menyatakan bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum. Rumusan ini tentunya membawa konsekuensi bahwa sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas memiliki karakteristik dan kemampuan bertindak sebagai layaknya suatu badan hukum. Peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia yang berlaku saat ini, meskipun cukup banyak yang menyebutkan atau mempergunakan istilah badan hukum, namun tidak ada satupun juga memberikan pengertian atau definisi badan hukum. Pengertian dan definisi badan hukum lahir dari doktrin ilmu hukum, yang dikembangkan oleh para ahli, berdasarkan pada kebutuhan praktek hukum dan dunia usaha. Hal ini pada akhirnya melahirkan banyak teori tentang badan hukum yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Dalam kepustakaan hukum Belanda, istilah badan hukum dikenal dengan sebutan “rechtsperson”, dan dalam
29
kepustakaan Common Law seringkali disebut dengan istilah-istilah legal entity, juristic person, atau artificial person. Legal Entity dalam Kamus Hukum Ekonomi diartikan sebagai “badan hukum yaitu badan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan sebagai subyek hukum, yaitu pemegang hak dan kewajiban”
31
.
Sedangkan juristic person, dalam Law Dictionary, karya PH Collin, disinonimkan dengan artificial person, yaitu “body (such as company) which is a person in the eye of the law”.32 Black’s law Dictionary mendefinisikan artificial persons sebagai “persons created and devised by human laws for the purposes of society and government, as distinguished from natural person”
33
dan legal entity adalah
“an entity, other than natural person, who has sufficient existence in legal contemplation that it can function legally, be sued or sue and make decisions through agents as in the case of corporation”.34 Berdasarkan pengertian yang diuraikan tersebut di atas ada satu hal menarik yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa badan hukum merupakan penyandang hak dan kewajibannya sendiri, yang memiliki suatu status yang dipersamakan dengan orang perorangan sebagai subyek hukum. Dalam pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban badan hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya
31
Elly Erawati dan J.S. Badudu, 1996, Kamus Hukum Ekonomi, InggrisIndonesia, Proyek Elips, Jakarta, hlm. 78. 32 PH. Collin, 1992, Law Dictionary, Universal Book Stall, New Delhi, hlm. 150. 33 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, 6th Edition, West Publishing Co, St. Paul Minn, hlm. 113. 34 Ibid., hlm. 893-894.
30
dan ketidakberadaannya sebagai badan hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum. Keberadaan perseroan sebagai suatu badan hukum diakui dengan tegas dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dengan syarat bahwa status badan hukum perseroan baru diperoleh setelah Akta Pendirian Perseroan disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Pengesahan Akta Pendirian ini, merupakan saat berubahnya status perseroan menjadi badan hukum yang membawa konsekuensi bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.
1.5.5 Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) Istilah CSR hanya diterapkan pada korporasi, karena korporasi merupakan institusi yang dominan di bumi ini di mana korporasi pasti berhadapan dengan persoalan lingkungan dan sosial yang mempengaruhi kehidupan manusia. World Bank Group menyebut CSR sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerjasama dengan para karyawan serta perawakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat dan masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup dengan cara-cara yang bermanfaat, baik bagi bisnis itu sendiri maupun untuk pembangunan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa CSR adalah suatu keharusan atau kewajiban. Menurut Soeharto Prawirokusumo, mengenai konsep tangung jawab sosial dikemukakan sebagai sebuah konsep yang luas yang berhubungan dengan
31
kewajiban perusahaan atau organisasi dalam memaksimumkan impact positif terhadap masyarakatnya.35 Tanggung jawab sosial para pelaku usaha dalam suatu perusahaan pada dasarnya terdiri atas empat dimensi tanggung jawab, yaitu; ekonomi, hukum, etika dan philanthropies. Ditinjau dari perspektif ekonomi, semua perusahaan harus bertanggung jawab kepada para shareholder, karyawan dan masyarakat sekelilingnya dalam hal pendapatan karyawan dan tersedianya pekerjaan. Kedua tanggung jawab tersebut di atas merupakan tanggung jawab pokok perusahaan yang memperkokoh terjadinya tanggung jawab etika dan kegiatan philanthropies. CSR tidak sama dengan corporate philanthropies. Keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Corporate philanthropies telah lama ada seiring dengan berkembangnya masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa, logika corporate philanthropies adalah salah satu konsesi atau perasaan belas kasihan sedangkan CSR bersandar pada prinsip kesamaan martabat dari semua yang terlibat dalam kegiatan perusahaan, dari penyusunan tujuan-tujuan sampai dengan pemenuhan rencana kegiatan usaha. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa pemimpin bisnis selalu menyadari bahwa untuk dapat menjamin kondisi kehidupan pekerja yang lebih baik, artinya mendorong mereka untuk memiliki loyalitas dan identifikasi dengan tujuan-tujuan perusahaan. Begitu juga perhatian yang sama
35
Soeharto Prawirokusumo, 2003, “Perilaku Bisnis Modern-Tinjauan pada Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial”. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 4, hlm. 83.
32
berlaku bagi stakeholder lainnya, seperti masyarakat di sekitar kegiatan perusahaan.36 CSR mewakili kompromi antara etika dan perilaku-perilaku tertentu. CSR muncul untuk meningkatkan image perusahaan di dalam masyarakat di mana perusahaan itu menjalankan kegiatan usahanya. Ide untuk menjadikan kepedulian sosial perusahaan sebagai unsur pemasaran. Perencanaan sosial harus selalu masuk dalam rencana strategi perusahaan. Kegiatan sosial tersebut bukan suatu biaya, tetapi merupakan suatu investasi. Dilihat dari sudut pandang hukum bisnis, setidaknya ada dua tanggung jawab yang harus diajarkan dalam etika bisnis, yaitu tanggung jawab hukum (legal responsibility) yang meliputi aspek perdata (civil liability) dan aspek pidana (crime liability) dan aspek tanggung jawab sosial (social responsibility) yang dibangun di atas landasan norma moral yang berlaku di dalam masyarakat. Artinya, sekalipun suatu kegiatan bisnis secara hukum (perdata dan pidana) tidak melanggar undang-undang atau peraturan, tetapi bisnis tersebut dilakukan dengan melanggar moral masyarakat atau merugikan masyarakat, maka bisnis tersebut dianggap sebagai perbuatan tidak etis (unethical conduct).37 Penerapan CSR oleh perusahaan berarti bahwa perusahaan tidak hanya berusaha mencari keuntungan semata, tetapi perusahaan wajib memperhatikan keadaan ekonomi, sosial dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Direksi
36
Srefana dan Henry Schawallbenberg, 2006, “Religious Values and Corporate Decision Making: An Economic’s Perspective”. Fordham Journal of Corporate and Financial Law, hlm. 575-576. 37 Ridwan Khairandy, 2009, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Total Media,Yogyakarta, hlm. 138.
33
dan pegawai perusahaan seharusnya lebih menyadari pentingnya CSR, karena dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi buruh dan perlindungan lingkungan bagi masyarakat sekitar dan juga para pekerjanya. Kehadiran CSR dalam bisnis perusahaan menjadi lebih jelas dengan adanya perkembangan globalisasi. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa kemanfaatan yang dapat diperoleh dari pengembangan CSR pada suatu perusahaan di era globalisasi, yakni sebagai berikut : a. Pengelolaan risiko; b. Perlindungan dan meningkatkan reputasi dan image perusahaan; c. Membangun kepercayaan dan license to operate bagi perusahaan; d. Meningkatkan efisiensi sumber daya yang ada dan meningkatkan akses terhadap modal; e. Merespon atau mematuhi peraturan yang berlaku; f. Membina hubungan baik dengan stakeholder seperti pekerja, konsumen, partner bisnis, investor yang mempunyai tanggung jawab secara sosial, regulator dan komunitas di mana perusahaan itu beroperasi; g. Mendorong pemikiran yang inovatif; h. Membangun kesempatan untuk mengikuti pasar masa depan.38
38
Kristina K. Herman, 2004, “Corporate Social Responsibility and Sustainable Development: The european Union Initiative as a Case Study”, 11 Indiana Journal of Global Legal Studies, hlm. 207.
34
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Soerjono Soekanto, seperti yang dikutip oleh Bambang Sunggono berpendapat bahwa penelitian hukum dapat dibagi dalam 2 (dua) klasifikasi, yakni: 1.
2.
Penelitian Normatif yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematika hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; d. Penelitian sejarah hukum; dan e. Penelitian perbandingan hukum. Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris, yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap identifikasi; b. Penelitian terhadap efektivitas hukum. 39 Berdasarkan klasifikasi di atas maka penelitian ini
dapat dimasukkan
dalam jenis penelitian hukum normatif, karena penelitian ini berangkat dari adanya inkonsistensi norma pengaturan kewajiban melaksanakan CSR menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal pada Pasal 15 huruf b menyatakan bahwa setiap penanam modal wajib menjalankan CSR sedangkan pada Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan CSR terhadap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data-data sekunder atau penelitian hukum kepustakaan. Dengan demikian bahwa permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji berdasarkan sumber hukum kepustakaan, baik berupa 39
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 42-43.
35
peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum maupun pandangan dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.
1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach). Pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach)
dipergunakan
untuk
mengkaji dan menganalisis data penelitian dari sudut pandang undang-undang.40 Pendekatan sejarah (historical approach) digunakan untuk mengamati sejarah perkembangan CSR sejak sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Sedangkan pendekatan
analisis konsep hukum (analitical & conseptual
approach) digunakan untuk mengkaji dan menganalisis konsep CSR yang terdapat pada Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
1.6.3 Bahan Hukum dan Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian kepustakaan ini bersumber dari; a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, yang terdiri dari: 40
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, hlm. 303.
36
1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
3)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
4)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
5)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan masalaha dalam penelitian ini. c) Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari: 6)
Kamus Umum Bahasa Indonesia
7)
Kamus Inggris – Indonesia
8)
Ensiklopedia.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini digunakan cara studi dokumen, yaitu mempelajari, mengkaji dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dan bahan hukum tertier. Disamping itu juga dikembangkan teknik bola salju untuk mendapatkan bahan hukum seoptimal mungkin dalam membahas permasalahan yang dikaji.
37
1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. 2) Hasil klasifikasi selanjutnya disistematisasikan. 3) Bahan hukum yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis dengan teori teori yang relevan untuk menjawab permasalahan yang ada, kemudian dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. Akhirnya bahan hukum tersebut disajikan secara diskriptif analisis.
38
BAB II TINJAUAN MENGENAI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
2.1 Sejarah Corporate Social Responsibility (CSR) Kemunculan Corporate Social Responsibility (CSR) atau yang dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan dilatarbelakangi berbagai tahapan sejarah yang cukup panjang, dimulai dari perkembangan industri setelah terjadi revolusi industri. Pada saat itu kebanyakan perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan belaka. Mereka memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produk yang dihasilkan perusahaan, dan pembayaran pajak kepada negara.41 Hal ini termasuk pandangan friedman’s paradigm. Alasan yang dikemukakan ad alah bahwa tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan stakeholders, terutama komunitas sekitarnya sudah diserahkan pada pemerintah lewat pembayaran pajak. Asumsi inilah pula yang melatarbelakangi pemahaman dan pengimplementasian CSR didasarkan pada prinsip kesukarelaaan (voluntary). Tekanan terhadap praktik CSR makin kuat, karena didasarkan pada fakta bahwa peran perusahaan multinasional yang makin kuat bahkan mengalahkan kekuatan negara. Korten menyebutnya sebagai institusi paling berkuasa di atas planet ini, Oleh karena itu sangat wajar jika setiap “institusi” yang dominan
41
Yusuf Wibisono, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, Fascho Publishing, Gresik, hlm. 4.
39
seyogyanya mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama42. Tanggung jawab mengemban persoalan sosial ekonomi ini dilandasi oleh filosopi tentang keadilan dan pemerataan, terutama dalam program pembangunan, seperti yang tertera dalam alenea keempat pembukaan UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “..... Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ....” . Wacana CSR mengalami perkembangan pesat pada dekade 1980 sampai 1990-an. Pada tahun 1992 di Rio diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (Earth Summit) yang telah menyepakati bahwa terdapat kebutuhan untuk merubah paradigma pembangunan dari pertumbuhan ekonomi menjadi pembangunan berkerlajutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan tidak hanya dilakukan oleh negara, tetapi juga menjadi pedoman bagi kalangan korporasi. Terkait dengan konsep pembangunan berkelanjutan, terdapat 5 hal penting yang telah disepakati yaitu: 1) ketersedian dana; 2) misi lingkungan; 3) tanggung jawab sosial; 4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat dan pemerintah); 5) mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
42
Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Prinsip, Pengaturan dan Implementasi, In-Trans Publishing, Malang, hlm. 118.
40
Konsep CSR semakin berkembang, terobosan terbesar dilakukan oleh Jhon Elkington melalui bukunya “Cannibals With Forks, The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang dirilis pada tahun 1997 sebagaimana dikutip oleh Wayne Visser, et.al, dengan konsep “3P” (Profit, People, and Panet). Ia berpendapat jika perusahaan ingin berlanjut, maka perlu meperhatikan 3P. Perusahaan disamping mengejar keuntungan (profit), juga harus memberikan kontribusi kepada masyarakat (people), dan ikut menjaga lingkungan hidup (planet). 43 Pada tahun 2002 di Johannesburg diadakan pertemuan internasional yang dihadiri oeh para pemimpin dunia, yang melahirkan konsep social responsibility, sebagai konsep baru yang melengkapi konsep sebelumnya yaitu economic growth dan environmental sustainability. Ketiga konsep inilah yang menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (corporate social responsibility). Pada tanggal 7 juli 2007 di Jenewa, Swiss diadakan pertemuan yang dibuka oleh Sekjen PBB yang bertemakan United Nations (UN) Global Compact. Pertemuan tersebut bertujuan mendorong perusahan untuk bertanggung jawab dan berperilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility. Istilah CSR digunakan di Indonesia sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan telah melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun berbeda secara gramatikal, tetapi secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk peran serta dan 43
Wayne Visser Et.al, 2010, The A-Z of Corporate Social Responsibility, Jhon Wiley and Sons Ltd, UK, hlm. 406.
41
kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”44 sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.
2.2 Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai suatu konsep yang telah populer dan mendunia, belum memiliki difinisi yang tunggal untuk dapat dijadikan pedoman didalam penerapnnya. Beragam definisi mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) dapat ditemukan diantaranya misalnya, definisi yang diberikan oleh World Bussiness Council, yang merupakan suatu lembaga internasional yang terdiri dari 120 perusahaan multinasional yang berasal dari 30 negara
yang
bergerak
dibidang
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan,
memberikan definisi CSR secara luas. Dalam publikasinya yang berjudul “Making Good Bussiness Sense” oleh Lord Holme dan Richard Watts, lembaga ini menjelaskan pengertian CSR sebagai berikut: “Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the
44
Rosita Candra Kirana, 2009, “Studi Perbandingan Pengaturan Tentang Coporate Social Responsibility di Beberapa Negara Dalam Upaya Perwujudan Prinsip Good Corporate Governance”, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, hlm. 40.
42
local community and society at large.”
45
Apabila diterjemahkan secara bebas
pengertian CSR di atas berarti: Tanggung Jawab Sosial perusahaan adalah merupakan komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan, keluarga dan komunitas sosial secara lebih luas. Uni Eropa mendifinisikan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai berikut: “CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basic.”Definisi dari Uni Eropa mengenai CSR tersebut apabila diterjemahkan secara bebas, CSR merupakan suatu konsep dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan didalam operasional bisnisnya dalam berinteraksi dengan stakeholder yang didasari dengan kesukarelaan. Selanjutnya pengertian CSR menurut Bank Dunia merumuskan Corporate Social Responsibility “The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.” 46 Pengertian yang diberikan oleh Bank Dunia ini, apabila diterjemahkan secara bebas yakni CSR merupakan komitmen dunia usaha untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan bekerjasama dengan karyawan, wakil perusahaan, masyarakat lokal, 45
Mallen Baker, 2004, Corporate Social Responsibility: What Does It Means?,News and Resources, http://www.malenbaker.net, diakses tanggal 24 september 2013. 46 Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, 2008, op. cit., hlm. 29.
43
dan komunitas sosial untuk meningkatkan kualitas hidup yang baik bagi dunia usaha dan baik bagi pembangunan. Menurut Yusuf Wibisono, CSR didefinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan
berkelanjutan.47
Selanjutnya
menurut
Soeharto
Prawirokusumo, tanggung jawab sosial adalah sebuah konsep yang luas yang berhubungan
dengan
kewajiban
perusahaan
atau
organisasi
dalam
memaksimumkan impact positif terhadap masyarakatnya.48 Tanggung jawab sosial para pelaku usaha dalam suatu perusahaan terdiri dari atas empat dimensi tanggung jawab yaitu: ekonomi, hukum, etika dan philanthropies. Definisi mengenai Corporate Social Responsibility juga diberikan oleh Michael Hopkins: CSR is concerned with treating the stakeholders of the firm ethically or in responsible manner. Ethically or responsible means treating stakeholders in manner deemed acceptable in civilized societies. Social includes economic responsibility, stakeholders exist both within a firm and outside. The natural environment is a stakeholder. The wider aim of social responsibility is to create higher standards of living, while preserving the profitability of the corporation, for people both within and outside the corporation. 49
47
Yusuf Wibisono, 2007, op. cit., hlm. 7. Soeharto Prawirokusumo, 2003, Perilaku Bisnis Modern-Tinjauan pada Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial, Jurnal Hukum Bisnis, vol 22, No 4, hlm. 83. 49 Michel Hopkins, 2003, “The Business Case for CSR : Where Are We?”, International Jurnal For Business performance Management, Vol.5, No.2, hlm. 125. 48
44
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian sebagaimana telah diuraikan di atas nampak tidak adanya kesamaan definisi dan pengertian mengenai CSR. Sampai sekarangpun belum ada kesamaan bahasa dalam merumuskan definisi dalam memaknai CSR secara tepat, sebagai suatu standar dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut. Pengertian yang diberikan oleh Uni Eropa misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa CSR didasari oleh prinsip kesukarelaan. Sedangkan Michael Hopkins menyatakan bahwa CSR sebagai sebuah kewajiban yang merupakan tanggung jawab etis yang dapat digunakan sebagai penilaian apakah suatu perusahaan bertidak etis atau tidak. Namun dari beberapa perbedaan yang telah diuraikan di atas dapat ditarik benang merah tentang beberapa elemen penting dari CSR, diantaranya ; 1) adanya
upaya
mensinergiskan
kepentingan
ekonomi,
sosial
dan
lingkungan hidup; 2) perilaku perusahaan atau dunia usaha; 3) membangun interaksi dengan stakeholder. Pengertian CSR di Indonesia dapat dilihat pada peraturan perundangundangan yang ada. Diantaranya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Jika dibandingkan kedua undang-undang ini terdapat perbedaan pengertian CSR sebagai berikut: 1) CSR pada penjelasan pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa “ tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
45
perusahaan penanaman modal untuk menciptakan hubungan serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat”. Dapat disimpulkan bahwa CSR menurut UUPM lebih menekankan pada upaya perusahaan untuk menciptakan hubungan yang serasi, harmonis dengan lingkungan ditempat perusahaan beraktifitas. 2) Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menyatakan bahwa: “ Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Dengan demikian UUPT lebih menekankan CSR pada komitmen perusahaan dalam mewujudkan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian di atas menunjukan bahwa CSR pada UUPT bertujuan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan, namun CSR hanya dinilai sebatas komitmen bagi perseroan. Sedangkan CSR menurut pengertian UUPM lebih tegas dengan menyatakan CSR sebagai tanggung jawab yang melekat bagi perseroan. Adanya keberagaman pengertian CSR tersebut, maka seyogyanya CSR tidak didefinisikan secara ketat, melainkan dengan menyediakan framework yang sifatnya fleksibel dengan tidak merubah konsep awalnya sehingga dapat menyesuaikan dengan cepatnya perkembangan hukum bisnis. Terlepas dari berbagai ragam perbedaan pengertian CSR sebagaimana telah diuraikan di atas, CSR merupakan konsep yang mendorong perusahaan
46
untuk meningkatkan kepedulian sosial dan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya, yang paling minimal dengan bertanggung jawab terhadap dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat dari kegiatan usahannya terhadap kesehatan, lingkungan, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Oleh karena itu dengan melaksanakan CSR dapat mengurangi dan meminimalkan dampakdampak negatif tersebut.
2.3 Beberapa Pandangan Terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) Dewasa ini, ketika korporasi terutama di Indonesia mendengar konsep CSR, timbul banyak berbagai persepsi menyangkut hal tersebut. Ada yang memandang CSR identik dengan pemberdayaan lingkungan sosial saja, atau hanya berkecimpung di aktivitas lingkungan hidup tanpa mempedulikan situasi sosialnya atau masih banyak persepsi lainnya yang sifatnya tidak menyeluruh, setengah-setengah memahaminya, bahkan terlampau dangkal dalam mencerna CSR itu sendiri. Namun demikian, persepsi yang masih awam bisa diperbaiki dengan secara utuh memahami apa itu CSR. Berbagai pandangan berikut merupakan rangkuman yang sebaiknya dapat dipahami dan dihayati secara kritis oleh setiap pelaksana CSR di Indonesia. 1. Community Development sama dengan CSR. Kesalahan paling umum dijumpai adalah menyamakan Community Develoment (CD) atau pengembangan masyarakat dengan CSR. Pengembangan masyarakat sebetulnya adalah upaya sistematis untuk meningkatkan kekuatan kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung (disadvantaged
47
groups) agar menjadi lebih dekat kepada kemandirian. Jadi, CD sangatlah menyasar kelompok masyarakat yang spesifik yaitu mereka yang mengalami masalah.50 Perusahaan jelas memiliki kepentingan yang besar untuk melakukan CD, karena kelompok ini adalah yang paling rentan terhadap dampak negatif operasi, sekaligus paling jauh aksesnya dari dampak positifnya. Kalau tidak secara khusus perusahaan membuat kelompok ini menjadi sasaran, maka kepentingan akan semakin terjadi dan disharmoni hubungan pasti akan terjadi suatu saat. CD hanyalah bagian kecil dari CSR. CSR punya cakupan yang sangat luas, yaitu terhadap seluruh pemangku kepentingan. 2. CSR hanya menonjolkan aspek sosial semata. Banyak perusahaan juga pengamat yang menekankan CSR pada aspek sosial semata. Padahal, sebagian besar literatur mengenai CSR sekarang sudah bersepakat bahwa CSR mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Proses pelaporan bagaimana kinerja perusahaan dalam tiga aspek, selain dikenal sebagai triple bottom line reporting juga dikenal sebagai sustainability reporting. Seharusnya perusahaan dan pengamat perusahaan terjebak untuk menekankan aspek sosial saja pada CSR, kalau itu dilakukan, sesungguhnya hal itu merupakan pertanda ia mengulangi kesalahan yang sama dengan mereka yang membela ekonomi sebagai aspek terpenting.
50
Dwi Kartini, 2009, Corporate Social Responsibility, Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Malang, hlm. 37.
48
Padahal, penonjolan satu aspek saja adalah hal yang ditentang oleh ide dasar CSR dan pembangunan berkelanjutan.51 3. Organisasi CSR Cuma tempelan. Banyak perusahaan yang mula-mula mengadopsi CSR merasa punya kebutuhan untuk mebuat struktur baru, yang diberi nama-nama yang berhubungan dengan CSR. Pembuatan organisasi yang khusus sesungguhnya merupakan hal yang sangat menggembirakan, karena itu merupakan bukti komitmen perusahaan untuk menyediakan organisasi khusus, relative independent dengan sumber daya manusia yang bekerja secara fokus. Namun yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah benar bahwa CSR itu bisa dilaksanakan oleh bagian itu saja, sementara yang lain bisa berpangku tangan. Membuat organisasi yang bolt on atau tempelan, bukan yang built in atau integrative, banyak dilihat sebagai sumber kesalahan besar dari perusahaan yang mencoba mengadopsi CSR pada tahapan awal. Oleh karena itu, seluruh bagian dalam perusahaan sesungguhnya juga terlibat dalam manajemen CSR. Bagian HR harus memilih dan menjaga pekerja yang sadar CSR, bagian keuangan harus memahami bagaimana proporsi sumber daya untuk pencapaian berbagai aspek CSR, bagian keamanan harus paham bagaimana berhubungan dengan pemangku kepentingan dalam perspektif CSR, dan seluruh pekerja harus diupayakan menjadi wakil perusahaan berhubungan dengan pemangku kepentingan.Tentu saja ada hal-hal yang harus dilakukan para spesialis. Namun, CSR benar-benar
51
Ibid., hlm. 38.
49
tidak mungkin dilakukan oleh satu bagian saja dari perusahaan. Seluruh bagian harus melek CSR dan bertindak bersama terkoordinasi sesuai dengan komitmen CSR yang telah dinyatakan oleh manajemen puncaknya. 4. CSR dianggap hanya untuk perusahaan besar saja. Banyak keengganan perusahaan yang tak peduli untuk mengadopsi CSR karena menganggap CSR adalah untuk perusahaan berskala besar saja. Hal ini boleh jadi merupakan kesalahan besar bagi mereka yang membiarkan C di depan SR tetap sebagai singkatan dari corporate. Sebagaimana yang banyak diketahui, corporate juga corporation berarti perusahaan besar. Sementara istilah generic untuk entitas bisnis yang mencari keuntungan tanpa memperhatikan ukuran adalah company. Oleh karena itu, prihatin dengan ketidaktertarikan perusahaan skala sedang dan kecil pada CSR serta kerancuan
akibat
digunakannya
“social”,
Edward
Freeman
dan
Ramakhrisna Velamuri mengusulkan agar CSR diartikan sebagai company stakeholder responsibility.52 Dengan demikian, CSR berarti tanggung jawab perusahaan (apapun ukurannya) terhadap seluruh pemangku kepentingan mereka. Kalau perdebatan mengenai istilah ini hendak disingkirkan, apabila kembali pada ide dasar CSR, maka memang CSR itu berlaku untuk seluruh perusahaan. Ide dasar itu adalah bahwa perusahaan harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya dalam operasinya. Idealnya, dampak negatif operasi perusahaan harus berupaya ditekan sampai titik nol. Namun, karena kondisi ideal itu sangatlah sulit
52
Ibid., hlm. 39.
50
dicapai, maka yang harus dilakukan adalah minimalisasi dampak negatif. Dampak residual (dampak negatif yang masih tersisa setelah upaya minimalisasi dilakukan) harus dihitung secara seksama kemudian dikompensasi dengan sesuatu yang setara (tidak perlu sama jenisnya). Sementara, dampak positif operasi yang ini kerap lolos dari pembicaraan mengenai CSR bisa dimaksimumkan. Tidak mengherankan kalau CSR lebih popular di kalangan perusahaan besar dibandingkan mereka yang menengah apalagi kecil. Riga Adiwoso, intelektual dari Universitas Indonesia yang boleh jadi paling serius dalam mengamati perkembangan CSR di Indonesia, pernah menyatakan bahwa CSR harusnya memang sebanding dengan ukuran bisnis perusahaan, bukan dengan ukuran keuntungan.53 Logikanya juga logika dampak. Lagipula, kalau hanya dihubungkan
dengan
besarnya
keuntungan,
maka
apakah
ketika
perusahaan merugi pemangku kepentingannya harus dibiarkan begitu saja? Juga, bukanlah besarnya keuntungan bisa juga dikurangi oleh perusahaan dengan alasan untuk kepentingan investasi lanjutan? Logika besaran perusahaan dan besaran dampak memang harus dipertahankan. Mereka yang berukuran kecil dan berdampak kecil harus dibebani tanggung jawab yang kecil pula. Sementara tanggung jawab besar harus dibebankan kepada mereka yang berukuran dan berdampak besar. Semua perusahaan harus ber-CSR sesuai dengan ukuran dan dampaknya.
53
Ibid., hlm. 40.
51
5. CSR dipisahkan dari bisnis inti perusahaan. Banyak sekali perusahaan yang membuat berbagai program CSR dengan curahan sumber daya yang sangat besar, namun hingga sekarang belum banyak perusahaan yang membuat program-program yang berkaitan dengan bisnis intinya. Tidak mengherankan kalau kebanyakan program CSR kebanyakan dikotakkotakkan ke dalam bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, sarana fisik dan sebagainya, sementara dampak perusahaan itu sendiri tidaklah diurus secara memadai. Contoh paling mutakhir mungkin adalah CSR yang banyak dilakukan oleh perbankan. Mereka mencurahkan sumber daya finansialnya untuk membiayai bermacam aktivitas, seperti yang banyak diberitakan di koran dan majalah. Padahal, sebagai manajemen dampak, CSR sektor perbankan haruslah berkenaan dengan fungsi intermediasi yang mereka lakukan. Perbankan adalah lembaga yang mengumpulkan uang masyarakat sebagai tabungan, kemudian menyalurkannya ke berbagai proyek bisnis. Bisnis yang dibiayai oleh bank kemudian mengembalikan kredit yang diterimanya plus bunga (perbankan konvensional) atau bagi hasilnya (perbankan syariah). Dengan keuntungan yang diterima bank itu, nasabah yang menabung di bank juga mendapatkan keuntungan. Bagaimana kalau proyek yang dibiayai bank tersebut ternyata adalah proyek yang menghancurkan lingkungan dan atau berdampak buruk secara sosial. Apakah bank tidak bertanggung jawab untuk itu? Pemikiran yang
52
berkembang di negara-negara maju menyatakan bahwa, perbankan memiliki tanggung jawab terbesar untuk memastikan bahwa dana yang diinvestasikannya tersebut benar-benar membawa manfaat bersih untuk seluruh pemangku kepentingan proyek. CSR dapat saja dilakukan di luar bisnis intinya. Tetapi dampak negatif dari operasi perusahaan harus benarbenar telah minimum, dan dampak residunya telah dikompensasi secara layak.
Baru
kemudian
perusahaan
bisa
memikirkan
bagaimana
meningkatkan dampak positif mereka. Sedapat mungkin dampak positif yang mereka bisa sebarkan haruslah berhubungan dengan bisnis intinya juga, walau tidak harus demikian. Kalau perusahaan melakukan CSR di luar bisnis inti mereka, mengabaikan dampak negatif yang mereka buat, dan hanya sibuk dengan kegiatan sosial di luar bisnis intinya, maka tuduhan greenwash atau pengelabuan citra belaka dapat dialamatkan ke mereka. Mereka dianggap bukan melaksanakan CSR, melainkan sekadar menunggangi CSR.54 6. CSR bukan untuk rantai pemasok. Kalau sebuah perusahaan beroperasi dalam sebuah rantai produksi yang sangat panjang, apakah layak ia membatasi diri untuk melakukan CSR dalam lingkup perusahaannya saja? Pembatasan ini banyak sekali dilakukan oleh perusahaan. Kilahnya adalah bahwa mereka tidak berhak untuk mencampuri kinerja CSR perusahaan lain. Logika ini jelas tidak dapat diterima, karena itu berarti bahwa produknya tidaklah bisa dibuktikan berasal dari seluruh operasi yang berkinerja CSR baik. 54
Ibid., hlm. 41.
53
Mungkin contoh termudah dapat dilihat dalam industri furniture. Seandainya sebuah perusahaan yang membuat furniture telah melakukan minimisasi seluruh dampak negatifnya dan juga telah berbuat banyak hal lain untuk mengoptimalkan dampak positif operasinya saja, apakah produknya itu sudah bisa dianggap produk dengan kinerja sosial dan lingkungan yang tinggi? belum tentu, karena bagaimana kayu yang dipergunakannya itu diperoleh juga sangat menentukan apakah kinerja itu adalah kinerja yang solid atau hanya semu. Bayangkan apabila ternyata kayu yang dipergunakannya ternyata dipasok oleh perusahaan kehutanan yang melakukan pembalakan liar. Tentu tidak dapat dikatakan bahwa kinerja CSR-nya telah memadai. Perusahaan yang telah sadar CSR itu harus dengan sungguhsungguh membujuk dan mendampingi perusahaan lain dalam rantai produksinya untuk menegakkan standar yang sama. Banyak audit CSR yang mengikuti logika chain of custody dalam industri hasil kehutanan dikenal sebagai lacak balak untuk memastikan bahwa standar CSR sepanjang rantai pasokan memang konsisten. Oleh karena itu, perusahaanperusahaan yang sadar CSR harus mempersiapkan diri dan mitra bisnisnya. 7. CSR dianggap tidak berkaitan dengan pelanggan. Dalam perkembangan awal, seluruh perusahaan membatasi CSR-nya sampai di tangan salah satu pemangku kepentingan terpenting: konsumen. Belakangan, setelah sampai tangan
konsumen,
perusahaan
yang
bersungguh-sungguh
ingin
54
memberikan kepuasan kepada mereka menambahkan after sales services. Garansi produk adalah salah satu bentuk dari jasa itu.55 8. CSR menyebabkan penambahan biaya. Ketika perusahaan mulai mengadopsi CSR, tidak terelakkan adanya penambahan pengeluaran. Ini mungkin penyebab utama keengganan untuk mengadopsi CSR. Banyak pihak yang menyatakan tambahan pengeluaran itu sia-sia belaka, dan boleh jadi juga bahwa anggapan tersebut memiliki dukungan empiris. Penelitian-penelitian
mengenai
philanthropy
perusahaan
banyak
mendapatkan kenyataan bahwa pengeluaran perusahaan itu benar-benar tidak bisa dilacak keuntungannya. Namun demikian, hal itu sama sekali bukan kesalahan dari ide CSR. Itu adalah kesalahan penerapannya. Hal ini berarti bahwa CSR adalah sama dengan investasi lainnya. Ia memang membutuhkan
curahan
sumber
daya,
namun
curahan
tersebut
sesungguhnya akan kembali dalam bentuk keuntungan untuk perusahaan. Secara sederhana sebetulnya investasi untuk memperoleh kondisi yang harmonis dengan pemangku kepentingan apabila ada konsekuensinya cenderung ke arah menguntungkan. Bayangkan saja kalau sebuah perusahaan beroperasi dengan tidak memperdulikan masyarakat sekitar, pasti ia akan mendapatkan banyak masalah. Kita dengan mudah dapat mengitung berapa kerugian perhari yang harus ditanggung perusahaan kalau berhenti beroperasi. Untuk industri-industri tertentu, jumlah yang ditanggung karena penghentian operasi bahkan mencapai milyaran rupiah
55
Ibid., hlm. 42.
55
per hari. Padahal, kalau hubungan dengan pemangku kepentingan dikelola dengan baik, kemungkinan penghentian operasi menjadi sangat kecil. 9. CSR hanya bersifat kosmetik bagi citra perusahaan. Ketika inisiatif CSR digulirkan, banyak organisasi gerakan sosial yang langsung skeptis dengannya. Menurut mereka, CSR hanya akan menjadi cara baru untuk memoles citra perusahaan. Kalau citra ramah lingkungan yang diinginkan perusahaan padahal kinerja lingkungannya tidak setinggi pencitraan yang dilakukan hal itu disebut sebagai greenwash. Kecenderungan di Indonesia pasca banjir besar Tahun 2007 adalah banjir iklan ”CSR” di televisi dan koran. Perusahaan beramai-ramai mencitrakan dirinya sebagai perusahaan yang peduli. Padahal, bantuan kepada para korban banjir itu walaupun merupakan perbuatan yang mulia, tetapi belumlah tentu merupakan bagian dari CSR yang substansial (yaitu: apakah dalam praktik bisnis sehari-harinya mereka benar-benar telah mengelola dampak sosial dan lingkungannya secara optimum). Perusahaan-perusahaan yang mengiklankan kepeduliannya itu juga bisa dicurigai menghabiskan sumber daya yang lebih besar untuk pemolesan citra dibandingkan dengan sumber daya yang mereka gunakan untuk membantu korban, karena siapapun tahu membeli slot waktu televisi dan ruang di koran bukanlah yang murah. Citra yang ditampilkan haruslah didasarkan pada kinerja yang sesungguhnya. Ini berarti dalam CSR perusahaan terutama harus benar-benar menata dirinya, meningkatkan
56
kinerja sosial dan lingkungannya secara substansial, baru kemudian mengiklankan dirinya sebatas yang mereka telah capai. Kalau mau mengiklankan komitmen dan target, boleh juga, dengan keterangan yang sangat jelas bahwa hal tersebut barulah rencana ke depan. Yang harus diingat perusahaan adalah bahwa komitmen yang tidak ditepati akan dapat memukul balik. Semakin besar pemangku kepentingan yang mengetahui komitmen tersebut, semakin besar risiko yang harus ditanggung perusahaan bila kelak terbukti gagal dicapai.56 10. CSR sepenuhnya voluntary atau sukarela. Apakah konsep tanggung jawab itu adalah sebuah konsep yang benar-benar dilaksanakan dengan sukarela? Tampaknya menyatakan bahwa tanggung jawab itu sukarela adalah contradictio in terminis atau keduanya merupakan istilah yang bertentangan. Tanggung jawab itu adalah wajib dilaksanakan. Namun demikian, harus diakui bahwa di antara kubu pendirian bahwa CSR itu mandatori atau voluntari, kini lebih cenderung pada kemenangan kubu voluntari. Salah satu alasannya adalah bahwa perusahaan-perusahaan memang menginginkan kondisi yang demikian. Tetapi voluntari dalam pemahaman yang dipromosikan oleh perusahaan-perusanaan yang berkomitmen CSR tinggi dan para pakar yang sependapat bukanlah berarti perusahaan bisa semaunya saja memilih untuk menjalankan atau tidak menjalankan tanggung jawabnya atau selektif terhadap tanggung jawab itu. Voluntari adalah perusahaan menjalankan tanggung jawab yang tidak
56
Ibid., hlm. 44.
57
diatur oleh regulasi atau beyond regulation. Jadi, jelas pula bahwa apa yang sudah diatur oleh pemerintah haruslah dipatuhi dahulu sepenuhnya, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang belum diatur. Semakin banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu dianggap semakin tinggi. Pengertian voluntari yang demikian ditentang oleh mereka yang tidak percaya bahwa perusahaan memang akan melakukan hal-hal positif apabila tidak diregulasi. Sebetulnya pendirian ini dapat dengan mudah disangkal, ada banyak hal positif yang dilakukan perusahaan walau tidak diatur oleh pemerintah. Memang sebagian besar perusahaan apalagi yang beroperasi di Indonesia memang tidaklah pernah mau melakukan hal positif di luar apa yang sudah diatur regulasi. Bahkan, banyak penelitian yang membuktikan bahwa perusahaan memang punya kecenderungan untuk melanggar regulasi apabila konsekuensinya lebih ringan daripada keuntungan yang diperoleh bila peraturan tertentu dilanggar. Dengan pemahaman yang demikian, maka banyak pihak yang mendesak agar seluruh tanggung jawab perusahaan diatur dengan ketat bahkan keras dalam regulasi pemerintah.pihak-pihak ini juga mengusulkan penggantian istilah tanggung jawab (responsibility) menjadi tanggung gugat (accountability). Di luar dua pendirian itu, yang pertama dikenal dengan self regulation dan yang kedua disebut government regulation,
58
sebetulnya ada pendirian yang kurang popular, yaitu apa yang disebut sebagai civic regulation. Kalau kedua pendekatan menyerahkan pengaturan CSR pada perusahaan sendiri dan pemerintah, pendekatan ketiga ini mendukung pembuatan standar-standar CSR oleh organisasi masyarkat sipil. Untuk bisa melakukannya, organisasi masyarakat sipil harus cukup memiliki kapasitas untuk mengawal perusahaan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Namun, organisasi masyarakat sipil harus tidak adanya konflik kepentingan dengan perusahaan (yang hendak diatur) maupun pemerintah (yang akan mengawasi jalannya aturan). Pada kenyataannya, berbagai regulasi yang mengatur kinerja sosial dan lingkungan perusahaan adalah berasal dari perusahaan (atau kumpulan perusahaan) sendiri, pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan juga organisasi multilateral. Mendebatkan CSR itu wajib atau sukarela juga perlu penjelasan yang lebih detail tentang apa yang dimaksud dengan CSR dan dari sudut pandang mana.57 11. CSR dianggap hanya ditujukan kepada pihak eksternal saja. Banyak kejadian beberapa tahun belakangan ini, ketika perusahaan hendak mulai menerapkan CSR-nya banyak pekerjanya bertanya-tanya mengapa mereka merasa menjadi anak tiri. Memang, belakangan banyak sekali perusahaan tiba-tiba mencurahkan uang dalam jumlah yang besar, yang seakan-akan memberi sinyal bahwa kondisi perusahaan sedang sangat membaik.
57
Ibid., hlm. 45.
59
Sayangnya curahan sumber daya untuk pemangku kepentingan eksternal itu tidak dibarengi dengan curahan yang sama untuk pemangku kepentingan internalnya. Ada yang berargumentasi bahwa selama perusahaan belum dengan sadar mengadopsi CSR, para pekerja sudah mendapatkan banyak perhatian dari perusahaan. Dengan demikian, ketika CSR diadopsi wajar saja kalau kemudian pemangku kepentingan eksternallah yang didahulukan kepentingannya. Argumentasi tersebut ada benarnya juga, namun bukan tanpa kritik, realitas yang ada di Indonesia misalnya menunjukkan bahwa banyak sekali perusahaan asing maupun nasional yang sejak dahulu memiliki masalah dengan hak-hak normatif pekerja. Upah yang rendah, jam kerja yang panjang tanpa tambahan upah lembur, kondisi kerja yang tidak sehat, dan sebagainya kerap terdengar. Hal itu berarti bahwa hubungan perusahaan dengan pekerja sebagai pemangku kepentingan tidak dapat dianggap sudah beres.kalau berbagai standar CSR diperhatikan, sangatlah jelas bahwa CSR tidak pernah mengabaikan pemangku kepentingan internal. Seluruh standar CSR yang mencakup seluruh pemangku kepentingan, memasukkan pekerja di dalamnya. Butir-butir di atas sangat esensial guna membentuk pola pikir yang benar menyangkut keberadaan ide dasar CSR. Kesalahan dalam memahami dan menghayati ide dasar CSR akan menimbulkan distorsi atau kesalahan-kesalahan fundamental dalam pelaksanaan CSR. Apabila
60
kesalahan-kesalahan fundamental dibiarkan saja tanpa ada perbaikan dan pemahaman yang benar akan menyebabkan terjadinya pengerdilan dari cita-cita CSR yang sesungguhnya. Persepsi ini harus dikembalikan kepada konsep sebenarnya yang lebih utuh dan holistik.58
2.4 Corporate Social Responsibility (CSR) Merupakan Kewajiaban. Segala keputusan yang dibuat oleh korporasi langsung atau tidak langsung akan berdampak pada masyarakat. Pada waktu dahulu, keputusan bisnis hanya didasarkan pada analisis cost benefit semata. Sumbangsih korporasi cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya dan membayar pajak kepada negara.59Beth Stephens lebih lanjut menjelaskan, mencari keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan perusahaan, namun hanya sebagai bisnis utamanya. Selebihnya korporasi harus memperhatikan kepentingan sosial dan lingkungan sebagai bagian dari tujuan perusahaan.60 Perihal ini didasarkan pada dua alasan, yaitu: (1) dampak negatif dari operasional korporasi, dan (2) hubungan antara korporasi dengan masyarakat yang semakin komplek, sehingga diperlukannya intervensi negara dalam mengatur aktivitas korporasi. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, bahwa pada faktanya, ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh korporasi, khususnya perusahaan multi nasional ke berbagai negara-negara dunia ketiga tidak memberikan kesejahteraan. Perusahaan multi nasional justru 58
Ibid., hlm. 46. Yusuf Wibisono, 2007, op. cit., hlm. 4-5. 60 Mukti Fajar ND, 2009, op. cit., hlm. 99. 59
61
mencari
keuntungan
sebesar-besarnya
demi
kepentingan
pribadi,
memperhatikan hak-hak (ekonomi) masyarakat lokal.61 Kegiatan
tanpa
operasional
perusahaan banyak menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi dunia. Seperti pencemaran lingkungan, pelangaaran hak-hak asasi manusia dan eksploitasi terhadap tenaga kerja. Dengan demikian setiap perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor sosial dan lingkungan dalam setiap kebijakan kegiatan usahanya. Kedua, pencarian keuntungan yang diyakini para ekonom kapitalis akan menciptakan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan ternyata tidak terwujud.62 Secara teori proses ini hanya akan terjadi apabila negara (pemerintah) tidak mengintervensi sistem pasar. Semboyan dari sistem ekonomi ini adalah laissez faire (biar saja berjalan sendiri). Tugas pokok negara dilukiskan sebagai nightwacth state (negara jaga malam). Segala kegiatan ekonomi diatur oleh invisible hands yang akan menciptakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran secara kompetitif, sehingga konsumen akan mendapatkan produk berkualitas dengan harga murah untuk tercipta kesejahteraan dalam masyarakat.63 Intervensi negara justru akan menciptakan inefisiensi dan hambatan-hambatan. Pemerintah hanya diperlukan untuk menjaga kompetisi dalam pasar bebas berjalan secara fair, dengan mencegah monopoli serta melakukan privatisasi
61
Joseph Stiglitz, 2006, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi, PT.Mizan Pustaka, Bandung, hlm. 275-286. 62 Will Kymlicka, 2004, Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-Teori Keadilan, diterjemahkan oleh Agus Wahyudi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 127-138. 63 Ibid., hlm. 128-129.
62
terhadap perusahaan-perusahaan negara atau bidang-bidang usaha yang selama ini dikuasai negara.64 Tetapi berbeda dengan pendapat di atas Stiglitz, menyebutkan dalam studinya tentang peran negara bahwa setelah melihat dasar-dasar teoritisnya, terdapat berbagai bentuk alternatif intervensi yang bisa dilakukan negara, yakni ada empat alternatif bentuk intervensi negara dalam urusan ekonomi diantaranya: 1. Negara dapat memberi hak monopoli bagi perusahaan negara 2. Negara menciptakan kondisi yang bersaing antara perusahaan-perusahaan negara 3. Negara dapat membuat seperangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menciptakan kompetisi 4. Negara dapat mengatur monopoli swasta. 65 Namun
seiring
dengan
perkembangan
ekonomi
kapitalis
yang
meminimalisir peran negara, korporasi menjadi institusi yang dominan. Menurut Niamh Garvey dan Peter Newell pengaruh dan hubungan antara korporasi dengan masyarakat menjadi semakin meningkat. Dalam perhitungan kalkulatif misalnya, perusahaan yang mempekerjakan 2.500 orang dan jika setiap orang mempunyai anggota keluarga 4 orang, maka ada 10.000 orang yang bergantung secara ekonomi kepadanya. Selain itu masih ada masyarakat lain yang misalnya membuka usaha warung makan atau usaha angkutan yang secara tidak langsung terkait dengan jalannya korporasi tadi, dapat diasumsikan angkanya akan 64
Mukti Fajar ND, 2009, op. cit., hlm. 100. Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, Penerbit UII Press, Yogyakarta, hlm. 34. 65
63
mencapai 20.000 orang yang bergantung pada korporasi tersebut. Hal ini menjadikan korporasi sebagai sebuah institusi yang secara langsung bertanggung jawab secara sosial terhadap kehidupan dan masa depan masyarakat tersebut.66 Berdasarkan uraian tersebut, menuntut korporasi untuk tidak saja mencari keuntungan secara bebas, tetapi juga memperhatikan kepentingan stakeholder. Pemikiran mengenai hal tersebut pada awal mulanya diajukan oleh E. Merric Dodd. Berbeda dengan pendapat Adolf Berle, Dodd mengajukan konsep bahwa korporasi bekerja tidak hanya untuk kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat umum dan kesejahteraan bangsa, yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah stakeholder.67 Menurut R. Edward Freeman yang dimaksud
stakeholder
adalah
pihak-pihak
yang
dipengaruhi
sekaligus
mempengaruhi tujuan pencapaian keuntungan perusahaan.68 Konsep korporasi dari Dodd tersebut telah melahirkan stakeholder theory. Teori ini dibangun berdasarkan pandangan, apabila direksi korporasi hanya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya demi kepentingan pemegang saham, maka kemungkinan besar bisnis akan cenderung menyimpang. Perusahaan akan melakukan eksploitasi terhadap buruh dan menekan konsumen serta rekanan bisnis. Untuk itu tujuan mencari keuntungan dari korporasi harus diperluas juga kepada pemenuhan kepentingan stakeholder.69 Pendapat Milton Friedman, bahwa satu-satunya tangung jawab sosial korporasi adalah meningkatkan keuntungan 66
Ibid., hlm. 101. Ibid., hlm. 102. 68 R. Edward Freeman, 1998, Strategic Management: A Stakeholder Approach, dalam Fachry Ali dan Ihsan Ali Fauz, Kontrak Sosial Dunia Usaha dan Politik Nasional, Majalah Usahawan No. 12 TH XXVII, Desember 1998, hlm. 46. 69 Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 102. 67
64
bagi pemegang saham, mungkin benar secara kontek di era tahun 1960-an dan 1970-an.70 Tetapi dewasa ini segalanya telah berbeda. Kondisi dan nilai-nilai masyarakat telah berubah. Sebagian masyarakat dunia, ikut merasakan adanya ketimpangan sosial dan kemalangan yang harus diderita oleh sebagian saudaranya yang lain. Masyarakat sebagai konsumen akan mempromosikan dan memilih untuk membeli produk-produk korporasi yang menjalankan CSR, termasuk juga kepemilikan saham melalui bursa. Apabila korporasi tidak memperhatikan stakeholder seperti supplier, rekanan atau konsumen, maka merekapun akan memperlakukan hal yang sama terhadap korporasi, misalnya konsumen enggan membeli produknya, dan supplier tidak menyetor bahan baku yang berkualitas untuk proses produksi korporasi.71 Berdasarkan beberapa pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, banyak yang mengarahkan korporasi untuk melakukan CSR sebagai tindakan yang diatur oleh hukum. Friends of the Earth International (FoEi) adalah LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup berkampanye dengan keras bahwa sebaiknya CSR, sebagai hasil dari World Summit on Sustainable Development Commitments on Corporate Social Responsibility tersebut supaya efektif harus dirumuskan dalam suatu ketentuan hukum yang mengikat (legally binding) dalam bentuk corporate accountability.72
70
Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 103. R Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach dalam Fachry Ali dan Ihsan Ali Fauz, op. cit., hlm. 46. 72 R Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach dalam Fachry Ali dan Ihsan Ali Fauz, op. cit., hlm. 28. 71
65
Negara Indonesia secara tegas telah mewajibkan setiap investor untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 sebagaimana terncantum pada ketentuan Pasal 15 huruf b yang menyatakan bahwa setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Bagi perusahaan Perseroan Terbatas (PT) yang menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Veronika Besmer memberi penjelasan, setidaknya ada dua alasan mengapa CSR harus diatur dalam hukum negara, yaitu pertama, bahwa tidak adanya kekuatan memaksa dari hukum kebiasaan atau sukarela, tanpa diratifikasi dalam peraturan lokal sebuah negara. Kedua, bahwa prinsip sukarela yang tidak mengikat tidak akan memberikan efek apapun secara jelas dan terukur. 73Pendapat ini tidak jauh berbeda dari apa yang dikatakan oleh Pablo Nieto. Dia menjelaskan alasan perlunya CSR diatur oleh hukum negara. Pertama, bahwa negara mempunyai peran untuk mengatur korporasi dan kedua,
pengaturan hukum
diperlukan untuk memperjelas definisi tentang konsep CSR, ukuran pelaksanaan dan standarisasi dalam sistem audit.74 Walaupun dalam analisisnya, Pablo Nieto
73
Veronica Besmer, The Legal Character of Private Codes of Conduct: More Than Just A Pseudo-Formal Gloss on CSR, Hasting Business Law Journal 2, Winter, 2006, hlm. 286. 74 Pablo Nieto, Why Regulating: Corporate Social Responsibility is a Conceptual Error and Implies a Dead Wight for Competitiveness, The European Enterprise Journal, tanpa tahun, hlm. 25.
66
memberi catatan bahwa pengaturan tersebut berpotensi untuk menghambat proses pengembangan CSR itu sendiri.75 Keterlibatan negara dalam pengaturan CSR dapat dikaitkan dengan hak penguasaan negara seperti yang dikonsepsikan dalam Pasal 33 UUD 1945. negara menjadi penting bagi kegiatan ekonomi yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. Konsep hak penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 didasarkan pada : (a) pertimbangan demokrasi ekonomi; (b) untuk menghindari penumpukan produksi dan jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa, dan (c) untuk menghindari penindasan terhadap rakyat banyak oleh mereka yang secara ekonomi dan politik sangat kuat.76Melihat situasi kondisi dewasa ini, banyak hal buruk yang telah dilakukan oleh korporasi. Oleh karena itu Larry Cata Backer mengutip pendapat Farley, menegaskan bahwa CSR dapat diasumsikan lebih tepatnya untuk ditempatkan dalam ranah hukum, kalau perlu dijadikan hukum yang sakral (fetish rule of law), agar supaya korporasi lebih mentaati CSR.77 Thomas Mcinerney memberikan beberapa argumentasi bahwa CSR sebaiknya diatur oleh hukum. Pertama, norma hukum memberikan proteksi yang lebih jelas dan terukur daripada inisiatif sukarela. Kedua, walaupun isu CSR berdimensi internasional, tetapi korporasi secara praktis dikontrol oleh negara dimana korporasi itu beroperasi. Ketiga, program CSR yang berdasar sukarela seringkali mengabaikan prioritas pembangunan dan perlindungan bagi warga
75
Ibid. Abrar Saleng, 2004, op. cit., hlm. 34. 77 Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 112. 76
67
negara. Keempat, bahwa hukum dari suatu negara yang seharusnya berperan dalam mengarahkan pembangunan ekomoni.78 Anne T. Lawrence dan James Weber memberikan penjelasan yang lebih komprehensif tentang perlunya penerapan kewajiban hukum terhadap CSR. Mereka menyampaikan lima hal, yaitu: 1. Balances Corporate Power with Responsibility Dengan aturan hukum yang ketat (iron law of responsibility) akan meningkatkan komitmen korporasi pada tanggung jawab sosial. 2. Discourages Government Regulation Meskipun regulasi pemerintah akan mengurangi kebebasan korporasi dalam pengambilan keputusan bisnis, namun hal ini dianggap lebih baik. Sebab akan mengarahkan kebebasan bisnis untuk mempertemukan antara sistem pasar dengan kepentingan sosial. 3. Promotes Long Term Profit For Business Korporasi yang melakukan CSR akan mendapatkan keuntungan jangka panjang. 4. Improve Business Value and Reputation Korporasi yang melakukan CSR dapat meningkatkan reputasinya. 5. Corrects Social Problems Caused by Business Dengan
melakasanakan
kewajiban
CSR,
dapat
mencegah
atau
memulihkan kondisi buruk dampak negatif dari aktivitas kegiatan korporasi. 79
78
Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 113.
68
Perdebatan mengenai CSR sudah lama dan sudah cukup panjang dilakukan, tetapi pengertian CSR sampai saat ini belum disimpulkan secara definitive dan tunggal. Robert Charles Clark menjelaskan ada 5 filosofi sosial yang dapat digunakan untuk memahami perbedaan tersebut, yaitu: 1. dualism Pemikiran filosofis ini merupakan cara berpikir yang konvensional, yaitu bahwa tugas korporasi adalah mencari keuntungan. Setelah mendapat keuntungan, korporasi harus memperhatikan persoalan sosial. Artinya korporasi akan memberi sumbangan pada masyarakat ketika target keuntungan yang diinginkan telah tercapai. 2. monoism Pemikiran filosofis ini merupakan dasar cara berpikir yang modern. Yaitu bahwa
korporasi
dalam
mencari
keuntungan
sejak
awal
harus
menggunakan CSR sebagai dasar pertimbangannya. Tujuan mencari keuntungan harus sejalan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3. modest idealism Pandangan filosofis ini esensinya adalah bahwa korporasi harus mentaati peraturan yang berlaku. Dengan mentaati hukum, korporasi dapat menekan dampak negatif yang akan muncul, dan meminimalisir gangguan terhadap masyarakat.
79
Anne T. Lawrence dan James Weber, 2008, Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics, Irwin McGraw Hill, New York, hlm. 51-53.
69
4. high idealism Pemikiran filosofis ini menentukan bahwa tujuan utama korporasi adalah untuk mengakomodasi dan memuaskan kepentingan sosial. Pemegang saham harus sering mengorbankan kepentingannya demi pemenuhan kepentingan sosial. Hal ini akan sering bertentangan dengan anggaran dasar dan esensi hukum korporasi. 5. pragmatism Pemikiran filosofis ini secara nyata mengharapkan adanya hubungan kontraktual antara korporasi dengan pemerintah. Kontrak tersebut adalah untuk menjalankan bisnis yang bersifat layanan publik. Dengan model tersebut, korporasi akan mendapatkan keuntungan dari pemerintah, sekaligus
memproduksi
barang
atau
jasa
untuk
menjadi
solusi
permasalahan sosial. Misalnya memberikan bisnis untuk mengurus pendidikan, menyelenggarakan rumah sakit, membangun jalan raya dan gedung-gedung
pemerintahan,
membangun
daerah
urban
dan
sebagainya.80 Berdasarkan berbagai pandangan filosofi di atas, CSR seharusnya dilakukan oleh korporasi bersamaan dalam proses pencarian keuntungan (monoism). Artinya pelaksanaan CSR adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses mencari keuntungan. CSR harus ditunjukkan oleh korporasi dalam setiap keputusan bisnis dan strategi manajemen. Setiap keputusan
80
Robert Charles Clark, 1986, Corporate Law, Aspen Law Publisher, New York, hlm. 675-696.
70
bisnis, selain tidak melanggar hukum, harus pula berdasarkan etika bisnis untuk bertanggung jawab serta ikut memperbaiki dan menjaga kondisi sosial. Jika maksimalisasi keuntungan menjadi satu-satunya tujuan bisnis, maka kecenderungannya akan melakukan bisnis secara tidak etis. Bisnis akan dilakukan dengan cara penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Etika bisnis dalam kehidupan modern, kembali menjadi bahan kajian hangat ketika terjadi bencana collapses di Enron, World Com, Adhelphia, Tyco dan lainnya. Dunia bisnis baru tersadar bahwa selama ini masalah etika bisnis kurang mendapatkan perhatian.81 Sebagai reaksi atas bencana ekonomi tersebut, Badan Legislatif Amerika Serikat mengundangkan the arbanes-Oxley Act of 2002. Melalui undang-undang ini, Konggres menginginkan adanya kontrol yang efektif untuk mengawasi perusahaan publik, dengan lebih meningkatkan keterbukaan (disclousure) dan standar tata kelola perusahaan (corporate governance). Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Sonny Keraf menjelaskan bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut: 1. Prinsip otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. 2. Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan
81
Steven R. Barth, 2003, Corporate Ethics: The Business Code of Conduct for Ethical Employes, Aspatore Publisher, Boston, hlm. 7.
71
berhasil kalau tidak didasar kan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. 3. Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggungjawabkan. 4. Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. 5. Prinsip integritas moral terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap
menjaga
nama
baik
pimpinan/orang-orangnya
maupun
perusahaannya. 82 Menggunakan aspek etika sebagai pertimbangan bisnis akan menciptakan kondisi budaya bisnis yang baik. Adopting a corporate code of ethical business conduct will enable your company to create a cohesive of doing the right thing for the right reason. Dalam kaitanya dengan etika bisnis, korporasi yang merupakan moral agent, maka persoalan selanjutnya adalah, apakah CSR sebagai kewajiban moral korporasi yang berdasarkan sukarela (voluntary) dapat dijadikan sebagai kewajiban (mandatory). Moralitas sebagai dasar etika hukum bersumber dari ajaran teori hukum alam (natural law). Hukum alam ingin merelevansikan moral dengan hukum, sebagai apa yang seharusnya (ought to), mengatur manusia untuk
82
Sonny A.Keraf, 1988, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 74.
72
berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Heneste vivere, altrum non laedere, suum cuique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang di sekitar, mudah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).83 Penganut hukum alam menganggap bahwa hukum tidak semata-mata merupakan perintah tetapi juga seperangkat nilai-nilai tertentu seperti moral dan keadilan. Pandangan ini menjadi sangat berbeda dengan ajaran teori positivisme hukum. Para penganut teori positivisme hukum menolak pandangan dari teori hukum alam. Hukum, menurut mereka adalah serangkaian peraturan yang dibuat otoritas yang berwenang. Hukum ini menganut sanksi dan perintah yang seharusnya dituruti atau yang lebih dikenal dengan law is a command of sovergny dari ajaran John Austin. Para ahli di bidang positivisme hukum, seperti HLA Hart, Bentham dan Austin menekankan antara hukum yang berlaku (law as its) dan hukum yang sebaiknya (law is ought to be). Perbedaan mendasar antara hukum dan moral adalah: 1. Moral bersumber dari ajaran Tuhan (devine law) atau nilai-nilai universal sedangkan hukum berasal dari buatan manusia. 2. Dalam moral, penegakan dilakukan oleh manusia itu sendiri sedangkan, dalam hukum ada sanksi yang dipaksakan oleh penegakan hukum. 3. Dalam penerapannya, seseorang berbohong adalah melanggar ajaran moral, sedangkan menurut hukum berbohong itu baru disalahkan jika melanggar aturan hukum atau merugikan orang lain. 84
83
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 259. 84 Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 131.
73
Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menggunakan aspek moral dalam membuat keputusan bisnis, agar secara etika dapat diterapkan, yaitu: a) The utilitarian approach Pendekatan ini memberikan pilihan untuk memperbanyak manfaat (benefit) bagi sebanyak-banyaknya orang dan berusaha untuk memperkecil kerusakan atau dampak negatif yang timbul bagi pihak lain. b) The rights approach Pendekatan hak adalah sesuatu yang mendasar untuk menghormati hakhak pihak lain. Jika penghormatan hak tersebut dapat dipilih secara bebas maka perlu dilakukan secara kesepakatan di antara para pihak. Hak-hak tersebut adalah hak hukum yang didasarkan pada etika seperti hak atas kebenaran dan hak untuk tidak dirugikan. c) The fairness or justice approach Pendekatan ini dari sudut pandang kesamaan atas perlindungan (equal protection) serta tidak adanya diskriminasi. d) The common good approach Pendekatan common good ini dicontohkan secara umum bahwa setiap pihak akan mendapatkan kebaikan dan keuntungan, seperti kesehatan, lingkungan yang baik, keamanan umum dan kedamaian dunia. e) The virtue approach Pendekatan ini menghendaki setiap pihak berusaha keras untuk menjunjung kejujuran, kepedulian, kedermawanan dan kebaikan hati. 85
85
Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 135.
74
Berdasarkan berbagai pendekatan di atas, maka dapat disimak bahwa William H. Shaw lebih mengedepankan utilitarian approach sebagai argumen yang lebih tepat dalam mengkaji etika bisnis, khususnya terkait dengan bisnis internasional yang dibangun berdasarkan sistem kapitalisme. Namun demikian ada satu kelemahan dari pendekatan utilitarianisme, yaitu bahwa tidak mungkin mengukur kebaikan atau keuntungan dan kesalahan atau kerugian secara akurat. Oleh karena itu tujuan untuk meningkatkan kebahagiaan untuk sebanyak bayaknya masyarakat (greatest happiness for the greatest number) sebagaimana dikembangkan
pendekatan
utilitarianisme
adalah
satu
pekerjaan
yang
memerlukan estimasi yang tepat. Buku teks para ekonom memberikan contoh dari penerapan utility theory dalam setiap unit, dimana mereka mendapat manfaat. Setiap manfaat menghendaki nilai yang dapat dilihat dari angka-angka (anumerical value). Sebab, dari setiap penambahan nilai kenikmatan, ada nilai manfaat yang akan termarginalisasi. Robert W. McGee memberikan ilustrasi sebagai berikut: Jane sangat lapar. Dia pergi ke restoran fast food dan memesan hamburger dengan harga US$1. Pada saat Jane sangat lapar, manfaat hambueger dapat dikatakan 10 point. Tetapi pada saat biaa hanya 3 point. Selanjutnya Jane memesan hamburger kedua, nilai manfaatnya sudah berbeda dengan pada saat dia memesan yang pertama. Begitu juga apabila Jane memesan hamburger ketiga, maka manfaat yang didapat semakin menurun. Artinya setiap penambahan kenikmatan (pleasure) di satu tempat saja, maka ada nilai manfaat yang terkurangi. 86 Direksi adalah agen dari para pemegang saham. Sejalan dengan itu Friedman mengatakan sebagai berikut:”in his capacity as a corporate executive,
86
Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 137.
75
the manager is the agent of the individuals who own the corporation or establish the eleemosynary institution, and his primary responsibility is to them”.87 Pandangan ini, nampaknya terlalu sempit. Apabila dikaitkan dengan CSR, persoalan moralitas dalam bisnis seharusnya didefinisikan ulang, agar lebih jelas. Hukum perusahaan yang mengatur tentang kewajiban CSR harus dikonstruksikan ulang dengan norma dan cara pandang baru. Karena norma hukum kewajiban perusahaan untuk mejalankan CSR sekarang justru membatasi perkembangan praktek CSR. Padahal kenyataannya CSR telah diterima dan diterapkan oleh korporasi di berbagai belahan dunia dengan baik. Kepatuhan pelaku bisnis terhadap hukum adalah kepatuhan minimum, tetapi belum cukup. Aktivitas bisnis belum tentu bersifat etis apabila hanya mendasarkan pada ketaatan hukum saja. Menurut John R. Boartright akan lebih baik jika menggunakan motto:”if it’s morally wrong, it’s probably also illegal” (jika secara moral salah, kemungkinan besar secara hukum juga salah). Dengan kalimat lain dapat diartikan: ”lebih baik kita mengacu pada moral terlebih dahulu sebab moral adalah standar yang lebih baik dibandingkan hukum”.88 Dari berbagai pandangan dan argumentasi sebagaimana tersebut di atas, bahwa pelaksanaan CSR yang awalnya berdasarkan prinsip sukarela (voluntary) atas pertimbangan etika bisnis dapat dialihkan ke dalam prinsip kewajiban
87
Milton Friedman,”The Social Responsibility is to Increase its Profit”, The New York Times Magazine, 13th September 1970, http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/issues/friedman-socresp bussiness.html. diunduh 10 Maret 2013. 88 John R. Boartright, 1993, Ethics and The Conduct of Business, Prentice Hall, New Jersey, hlm. 16.
76
(mandatory). Kewajiban hukum seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai moral. Sebab antara hukum dan moral tidak dapat dilepaskan satu sama lain.
2.5 Keterbatasan Hukum Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan memiliki berbagai keterbatasan.
Keterbatasan
tersebut
sebagaimana
diuraikan
berikut
ini
diantaranya: 1) Mengenai norma yang menjadi dasar acuan pengaturan. 2) mengenai objek yang akan diatur. 3) persoalan teks yang memberikan batasan terminologi hukum. Hans Kelsen dengan stufenbau theory, menjelaskan bahwa hukum sebagai peraturan perundang-undangan dibentuk dengan mengacu pada norma yang lebih tinggi dan norma yang paling tinggi disebut dengan basic norm. Hukum sebagai sebuah sistem perundang-undangan mensyaratkan keberadaan aturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang telah ada.89 Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pengaturan hukum terhadap CSR sesuai dengan basic norm yang ada dalam sistem perundang-undangan di negara yang mengaturnya? Ini menjadi tidak sederhana karena setiap negara mempunyai sistem hukum dan perundang-undangan yang berbeda, begitu pula dengan basic norm yang terdapat dalam konstitusi setiap negara yang merupakan tujuan politis dari pembentuk
89
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Terjemahan oleh Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, hlm. 9.
77
negara yang digali dari nilai-nilai sosiologis masyarakatnya.90 Artinya dalam setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai dan tujuan politik yang berbeda. Dalam kaitanya dengan CSR, korporasi diharapkan memberi sumbangan sebagian kekayaannya untuk masyarakat sekitar, akan dinilai berbeda jika dilihat dari perlindungan hukum atas hak kepemilikan (property right). Konsep hak milik di negara liberal berbeda dengan konsep hak milik di negara komunis. Konsep hak milik di negara liberal adalah hak mutlak individualistik, dimana hukum harus memberikan perlindungan. Hak milik pribadi (private property right) harus dijamin sepenuhnya oleh hukum negara sebagai sesuatu yang sakral (the sacred rights of private property). Sedangkan di negara komunis mempunyai keyakinan bahwa masyarakat (individu) tidak perlu memiliki hak milik. Segala keperluan dan kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya mengenai hak kepemilikan atas alat-alat produksi dimiliki secara bersama dan dikuasai penuh oleh negara.91 Uraian di atas dapat dilihat bahwa terdapat persoalan normatif dan konstitutif terhadap penerapan kewajiban CSR di masing-masing negara. Pada negara liberal, kewajiban CSR bertentangan dengan perlindungan hak kepemilikan pribadi. Sedangkan di negara komunis, kewajiban CSR tidak diperlukan, karena semua milik bersama. Sedangkan Indonesia yang bukan negara komunis maupun liberal, masih menjadi perdebatan mengenai seberapa besar hak milik pribadi dapat diambil oleh undang-undang dengan alasan untuk kepentingan umum. 90
Wolfgang Fredman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum (Susunan II), terjemahan oleh Arifin Muhammad, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 59-62. 91 Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 136.
78
Mengenai objek yang akan diatur, CSR merupakan sebuah fenomena yang lahir dari prinsip sukarela, kemudian dikembangkan dan dilaksanakan oleh korporasi dalam berbagai bentuk, banyak pendapat yang mengatakan bahwa obyek CSR sulit diatur oleh hukum (beyond legal obligation). Bahkan Eric Engle menyarankan bahwa CSR lebih baik diatur dalam mekanisme pasar (market based remedies). Keterlibatan negara dengan memberikan peraturan disincentives for unethical action atau incentives to act ethically.92 Tetapi di luar perdebatan tersebut, Iredell Jenkins melihat dari fungsi hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami ranah apa saja yang masuk wilayah hukum dan mana yang tidak termasuk. Iredell Jenkins mengatakan bahwa wilayah hukum dapat dilihat dari dua rejim yaitu necessity (kebutuhan) dan possibility (kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan untuk mendukung pembangunan manusia (human development). Tanpa kondisi yang aman dan stabil pembangunan manusia tidak bisa dilakukan. Necessity juga dilakukan untuk merawat nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat untuk menghindari goncangan social (radical change). Sementara possibility berfungsi menciptakan kebebasan, kesempatan dan kemajuan yang diperlukan, untuk menciptakan kesempurnaan kebaikan (absolute good), seperti menghindari eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan ketidakpastian. Possibility hadir sebagai upaya menciptakan keamanan dan keadilan.93 Pendapat Iredell Jenkins dapat disimpulkan, bahwa penerapan kewajiban CSR, didasari
92
Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 137. Iredell Jenkins, 1980, Social Order and The Limit of Law : A Theoritical Essay, Princenton University Press, New Jersey, hlm. 44-47. 93
79
pada rezim necessity dan possibility. Artinya bahwa melaksanakan CSR perlu dilakukan
kewajiban untuk
ketika korporasi berpeluang melakukan
eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan ketidakpastian dalam masyarakat. Mengenai keterbatasan teks. Antony Allott memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Menurutnya hukum dapat bekerja secara efektif salah satunya dipengaruhi oleh (1) instrument legal term, dan (2) contextual interpretation.94 Dalam konteks CSR, istilah Social Responsibility, sebagai tanggung jawab social, dalam arti bukan tanggung jawab hukum (legal liability). Secara lebih mendalam John M. Conley dan Cynthia A. Williams mengatakan bahwa CSR diterjemahkan oleh masyarakat Amerika Serikat dan Eropa dengan pendekatan bahasa dan budaya. CSR lebih tepat dikategorikan dalam budaya korporasi yang bersifat sosial.95 Bila melihat dari perkembangan teori kewajiban hukum, kewajiban (obligation) menurut hukum Romawi berarti hubungan dari pihak-pihak yang mempunyai kecakapan untuk menuntut atau menagih dan utuk memenuhi tagihan. Pertanggungjawaban dalam arti yang sederhana adalah situasi yang menurut hukum seseorang menuntut atau menagih dan seseorang yang lain tunduk pada penagihan itu dan memenuhi taghan itu. Roscou Pound menjelaskan secara jelas bahwa ada tiga macam pertanggungjawaban yakni: 1. Pertanggungjawaban atas kerugian dengan sengaja 2. Pertanggungjawban atas krugian karena kealpaan dan tidak disengaja
94
Antony Allot,” The Effectiveness of Law”, Valaraiso University Law Review, Volume 15, Number 2 (winter 1981) hlm. 234. 95 Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 138.
80
3. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas kerugian yang dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja. 96 Untuk kepentingan analisis penerapan kewajiban hukum terhadap pelaksanaan CSR dari kategori ketiga di atas, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:97 1. Kewajiban atau pertanggungjawaban karena suatu hubungan hukum 2. Kewajiban yang dipikulkan oleh hukum, untuk mencegah kaya secara tidak adil 3. Kewajiban yang menyangkut di dalam suatu jabatan atau pekerjaan. Point 2 di atas dapat digunakan sebagai dalil perlunya penerapan kewajiban hukum bagi korporasi untuk melaksanakan CSR.
96
Roscoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Muhammad Radjab, Bhatara Karya Aksara, Jakarta, hlm. 80. 97 Ibid., hlm. 95.
81
BAB III PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Tanggung jawab sosial perusahaan atau sering disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) lahir pada tahun 1930-an di Amerika Serikat. Pada prinsipnya CSR merupakan kegiatan yang berawal dari kesadaran perusahaan dan bersifat sukarela. Cikal bakal CSR bermula dari kegiatan perusahaan yang sering kali bersifat spontanitas dan belum terkelola dengan baik. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan dunia usaha serta dengan adanya tuntutan masyarakat dan dunia usaha, maka CSR mulai berkembang. Perusahaan tidak lagi sekedar menjalankan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit (keuntungan) dalam menjaga kelangsungan usahanya, melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat (sosial) dan lingkungannnya.98 Secara
konseptual
CSR
adalah
pendekatan
dimana
perusahaan
mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan
para
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
berdasarkan
prinsip
kesukarelaan dan kemitraan. Dalam konsep yang luas, CSR mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Azasi Manusia, Perburuhan, perlindungan konsumen dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam pengertian yang sempit yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan berada.
98
Yusuf Wibisono, 2007, op. cit., hlm. 24.
82
Apabila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholder dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka.99 Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak tertentu dalam masyarakat. Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam sistem hukum di Indonesia secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
3.1 Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Landasan filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan dibidang ekonomi termasuk Undang-undang nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman Modal adalah pembukaan UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan demokrasi ekonomi dengan tujuan agar dapat mewujudkan kedaulatan di bidang ekonomi. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan 99
Sonny A. Keraf, 1998, op. cit., hlm. 122-127.
83
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Prinsip demokrasi ekonomi yang menjadi landasan filosofis UndangUndang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, mengandung arti bagaimana menjadikan bangsa Indonesia menjadi negara yang mampu mensejahterakan rakyatnya. Dengan demikian menjadikan penanaman modal menjadi bagian penyelenggaraan perekonomian nasional untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kepastian hukum dan kemampuan teknologi nasional, mendororng pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika melihat proses pembahasan Rancangan Undang-undang Penanaman Modal (selanjutnya ditulis RUUPM) dari pengajuan RUUPM oleh Presisen Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dengan nomor surat: R.30/Pres/3/2006 pada tanggal 21 Maret 2006, yang disampaikan kepada DPR RI untuk dibahas guna mendapatkan persetujuan. Pada kesempatan tersebut disampaikan juga penjelasan pemerintah mengenai RUUPM tersebut. Presiden menugaskan Menteri Perdagangan pada waktu itu yang dijabat oleh Mari Elka Pangestu, untuk bersama-sama DPRRI membahas RUUPM.
Penjelasan
pemerintah tersebut mengungkapkan bahwa tujuan utama RUUPM adalah untuk memberikan kepastian hukum, dan kejelasan mengenai kebijakan penanaman modal dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang paling utama adalah meningkatkan jumlah dan kwalitas investasi, sehingga investasi dapat menyumbang pada pertumbuhan, peningkatan lapangan kerja,
84
peningkatan ekspor dan penghasilan devisa, peningkatan kemampuan teknologi, peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dijelaskan pula pada saat itu kondisi investasi di negara Indonesia mengalami kelesuan sejak krisis moneter yang melanda negara Indonesia pada tahun 1999 yang menyebabkan kredit investasi anjlok, dan belum kembali ketingkat pra-krisis. Indonesia memerlukan penambahan modal untuk mengelola sumber daya alam yang optimal, untuk itu diharapkan kedatangan investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Untuk mengundang dan menggairahkan serta memperbaiki iklim investasi sehingga terwujudnya arus balik investasi yang berkelanjutan, pemerintah melakukan berbagai langkah, menciptakan lingkungan kebijakan penanaman modal yang kondusif bagi pertambahan pelaksana dan proses penyederhanaan perizinan serta revisi peraturan perpajakan, bea cukai, ketenaga kerjaan, usaha kecil, menengah dan koperasi.100 Untuk itu maka RUUPM ini hadir dalam rangka meningkatkan investasi. Sehingga banyak ketentuan dalam RUUPM ini lebih memberikan fasilitas, dan kemudahan kepada penanam modal, terutama investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Jika melihat proses lahirnya wacana CSR dalam UUPM, terjadi perdebatan yang sangat alot antara pemerintah dengan komisi VI DPR RI, baik ditingkat Pansus (Panitia Khusus) maupun di Panja (Panitia Kerja). Usulan CSR muncul pada saat pembahasan rancangan undang-undang penanaman modal
100
Keterangan Pemerintah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat R.I. Atas Penyampaian Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Maret 2006, Jakarta, hlm. 4-5.
85
(RUUPM) masa sidang IV tahun sidang 2005-2006, rapat ke-2 Kamis, tanggal 22 Juni 2006 yang dihadiri oleh Menteri Perdagangan dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada sidang tersebut Fraksi PDIP yang diwakili Aria Bima berpendapat bahwa RUUPM yang diajukan pemerintah sangat longgar dan cenderung mengabaikan dasar filosofis Pasal 33 ayat (4) UUD1945 yakni prinsip demokrasi ekonomi. Usul fraksi PDIP tersebut kemudian diterima, dengan demikian prinsip demokrasi ekonomi menjadi dasar dalam pembahasan pasal demi pasal dalam RUUPM, dan sejak saat itu CSR disepakati untuk dibahas. Kemudian pada sidang II tahun sidang 2006-2007, rapat pertama Selasa, 5 Desember 2006 membahas RUUPM Pasal 3 berkaitan dengan asas penanaman modal, pada saat itu isu CSR semakin mengemuka. PDIP melalui wakilnya Irmadi Lubis mengusulkan agar menambahkan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagai bagian dari CSR. Argumentasi yang dikemukakan berkaitan dengan banyaknya kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, masalah perburuhan, dan konflik vertikal dan horisontal. Melalui perdebatan yang alot, antara fraksi dengan pemerintah, akhirnya diputuskan lebih lanjut mengenai asas penanaman modal yang berkaitan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang relevan dengan prinsip CSR dibahas melalui Panja. Pada saat pembahasan mengenai kewajiban yang dibebankan kepada penanam modal, terjadi perdebatan yang cukup alot antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Hasto Krisyanto dari fraksi PDIP menyatakan bahwa RUUPM yang disodorkan pemerintah lebih banyak membahas hak-hak dan fasilitas apa saja yang diberikan kepada penanam modal, sehingga RUUPM seolah-olah menjadi
86
obat mujarab atas persoalan investasi di Indonesia. Persoalan sekarang adalah bagaimana dengan kewajiban penanam modal itu sendiri. Dari berbagai fakta dan persoalan yang telah disampaikan fraksi-fraksi, terakhir berkaitan dengan kasus pengalihan saham PT. Great River dan hampir pula terjadi pengalihan kepemilikan Lapindo, sedangkan mereka belum menyelesaikan berbagai kewajiban dan tanggung jawab lingkungan. Oleh karena itu dalam RUUPM perlu ditambahkan kewajiban penanam modal, termasuk mengenai CSR. Akhirnya usul tersebut disepakati untuk dibahas dalam Panja. Setelah melalui perdebatan yang sangat alot antara fraksi-fraksi DPRRI dengan pemerintah, akhirnya RUUPM dapat disahkan menjadi undang-undang penanaman modal (UUPM). Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan CSR, apabila dilihat dari substansinya, diantaranya: 1. Pasal 3 ayat (1) UUPM mengenai asas penanaman modal, menegaskan bahwa penanaman modal berasaskan: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan dengan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 2. Pasal 3 ayat (2) UUPM mengenai tujuan penyelenggaran penanaman modal dapat dilihat pada, yaitu: 1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; 2. menciptakan lapangan kerja; 3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; 4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; 5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi
87
nasional; 6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; 7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;dan 8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3. Pasal 10 ayat (1) UUPM menyatakan: “perusahaan penanam modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia”. 4. Pasal 10 ayat (3) UUPM menyatakan: “ perusahaan penanam modal wajib meningkatkan kopentensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Pasal 10 ayat (4) UUPM menegaskan: “perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 6. Pasal
15
UUPM
menegaskan
bahwa
setiap
penanaman
modal
berkewajiban: a) menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; c) membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d) menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal: dan e) mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. 7. Pasal 16 UUPM menegaskan bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab sebagai berikut: 1) menjamin tersedianya modal yang berasal dari
88
sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan; 2) menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktek monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; 4) menjaga kelestarian lingkungan hidup; 5) menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja;dan 6) mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Pasal 17 UUPM menegaskan bahwa: setiap penanam modal yang bergerak di bidang sumber daya alam yang tidak terbarukan diwajibkan untuk mengalokasikan sebagian dananya untuk pemulihan lokasi usahanya sehingga memenuhi standar lingkungan hidup yang pelaksanaanya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Pasal 34 UUPM menegaskan sebagai berikut: 1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: a) peringatan tertulis; b) pembatasan kegiatan usaha; c) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d) pencabutankegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
89
2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari beberapa ketentuan CSR yang diatur dalam UUPM sebagaimana telah tersebut di atas, menunjukan bahwa CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Penanam modal baik dalam maupun asing tidak dibenarkan hanya mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkait dan harus tunduk dan mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan
menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui pelaksanaan CSR. Dalam konteks penanaman modal, CSR harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis. Definisi penanaman modal dalam Pasal 1 angka 1 UUPM dinyatakan bahwa, ”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”. Kehadiran UUPM diharapkan, mampu memberikan angin segar kepada investor dan memberikan
90
iklim investasi yang menggairahkan. Kenyamanan dan ketertarikan investor asing terutama apabila terciptanya sebuah kepastian hukum dan jaminan adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap modal yang ditanamkan. Secara garis besar tujuan dari dikeluarkannya UUPM tentunya disamping memberikan kepastian hukum juga adanya transparansi dan tidak membeda-bedakan serta memberikan perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar negeri. Dengan adanya kepastian hukum dan jaminan kenyamanan serta keamanan terhadap investor, tentunya akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak terjadinya krisis moneter. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk menigkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim investasi dapat di atasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan faktor tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.
91
Suasana kebatinan yang diharapkan oleh pembentuk UUPM, didasarkan pada semangat ingin menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif yang salah satu aturannya mengatur tentang kewajiban untuk menjalankan CSR. Bagi pelaku usaha (pemodal baik dalam maupun asing) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan CSR baik dalam aspek lingkungan, sosial maupun budaya. Penerapan kewajiban CSR sebagaimana diatur UUPM, Pasal 15 huruf b menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.101 Adanya keinginan dari berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah kewajiban CSR harus dilakukan lantaran banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. Banya perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan sosial. Beberapa contoh kasus, seperti: lumpur Lapindo di Porong, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile
101
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-bisnis/84-tanggung- jawabsosial-perusahaan-corporate-social-responsibility-dan-iklim-penanaman modal. html. diunduh tanggal 4 April 2013.
92
yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran oleh Newmont di Teluk Buyat dan sebagainya. Pertimbangan lainnya adalah kewajiban CSR juga sudah diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan BUMN telah lama menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. Oleh karena itu, perusahaan yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada. Tren globalisasi menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian dari publik sendiri. Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru kinerja saham di bursa saham kurang bagus. CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis. CSR merupakan sarana untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik, khususnya dengan para stakeholder-nya. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan oleh pihak perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula pemerintah yang merupakan agen yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutnya memiliki otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR. Dengan demikian, keberadaan perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat,
93
sehingga dapat menjalankan misinya untuk meraih keuntungan yang maksimal, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya untuk kepentingan masyarakat. Pengaturan mengenai tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan. UUPM memberikan jaminan kepada seluruh investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan,
kemandirian,
dan
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. CSR dalam UUPM dapat terlaksana jika dibarengi dengan lembaga yang kuat dalam menegakkan aturan dan proses
yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.102 Sehubungan dengan perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam rangka penanaman modal, hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya diatur secara khusus dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 17 UUPM, dengan tujuan memberikan kepastian hukum, mempertegas kewajiban perusahaan dalam rangka 102
Mochtar Kusumaatmadja, 2009, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, hlm. 14.
94
penanam modal terhadap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang sehat, memberikan penghormatan atas tradisi budaya masyarakat dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengaturan tanggung jawab perusahaan dalam rangka penanaman modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundangundangan. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal yang akan dan sedang mengusahakan dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan, wajib mengalokasikan dana untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.103 Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim investasi dapat di atasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan faktor tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.
103
Sujud Margono, 2008, Hukum Investasi Asing Indonesia, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hlm. 31.
95
3.2 Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Bagi pelaku usaha nasional, tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) mungkin masih kurang popular. Namun, bagi pelaku usaha asing, CSR sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu. Kegiatan pelaksanaan CSR di Indonesia, baru dimulai beberapa tahun belakangan ini. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Prinsip-prinsip CSR sebenarnya sudah lama diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Tetapi amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44, 27% perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55, 75% perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan sosial (39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan).104 Survei ini juga mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan amat tergantung pada keinginan dari pihak manajemen perusahaan sendiri.
104
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggungjawab_sosial_perusahaan,diunduh tanggal10 April 2013.
96
Hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan.105 Disamping itu dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat. Kondisi tersebut makin populer tatkala DPR menyetujui klausul CSR masuk ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Pasal 74 UUPT yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 74 UUPT ini yang mewajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam ini menimbulkan kebingungan bagi dunia usaha, untuk melaksanakannya. Berbagai persoalan terkait dengan pengaturan Pasal 74 tersebut, berkaitan dengan, persoalan bagaimana dengan
105
Mukti Fajar ND, op. cit., hlm. 187.
97
perusahaan yang tidak bergerak dan atau tidak berkaitan dengan sumber daya alam, apakah tidak kena kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kemudian persoalan berikutnya adalah mengapa perseroan tertentu saja yakni yang menjalankan kegiatan usahannya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja yang diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau CSR oleh UUPT tersebut. Untuk mengetahui alasan yang melatarbelakangi
persoalan-persoalan
tersebut,
penulis
mencermati
dan
menganalisis pada proses pembahasan Rancangan Undang Undang Perseroan Terbatas (RUUPT) yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah. Pada awalnya RUUPT ini disampaikan melalui surat presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kepada pimpinan DPR tertanggal 12 Oktober 2005 dengan nomor R.82/Pres/10/2005 untuk dibahas guna mendapat persetujuan, presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM pada saat itu untuk mewakili pemerintah bersama sama DPR membahas RUUPT tersebut. Akhirnya RUUPT tersebut dapat disetujui oleh DPR menjadi UUPT setelah melalui pembahasan yang panjang dengan diadakan beberapa perubahan dan penyempurnaan, keputusan tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Juli 2007 yang ditandatangani oleh ketua DPR Agung Laksono. RUUPT yang disodorkan pemerintah kepada DPR untuk selanjutnya dibahas bersama, awalnya tidak terdapat ketentuan mengenai Tanggung jawab Sosial Perusahaan yang pada umumnya dikenal dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR). Atas inisiatif Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) CSR diusulkan dalam pembahasan RUUPT, hal ini sejalan dengan landasan filosofis
98
demokrasi ekonomi yaitu Pasal 33 ayat (4) UUD1945. Ketentuan mengenai CSR juga disampaikan pada saat pembahasan pada hari Rabu tanggal 15 Maret 2006, masa sidang ke III, rapat pansus yang diketuai oleh Akil Mochtar, yaitu pada saat dengar pendapat dan pandangan dari Henry Heynardhi, direktur Bussiness Watch Indonesia. Dia menyampaikan: Yang kami lihat dari RUU itu adalah bertujuan ingin mengatur tentang administrasi sebuah perusahaan yang dan lain sebagainya dan beberapa aspek tentang good governance, tetapi ada satu aspek yang menjadi concern utama kami dari BWI yaitu masalah tanggung jawab sosial perusahaan atau yang biasa kita kenal dengan corporate social responsibility (CSR).”106 Pentingnya CSR dimasukkan pada RUUPT ini karena mengingat konsideran RUU ini adalah untuk menjawab tantangan globalisasi, salah satu aspek terpenting dari tantangan globalisasi bisnis atau manajemen di era globalisasi adalah apa yang disebut corporate social responsibility. Setelah adanya usulan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) diungkapkan maka mulailah persoalan mengenai CSR di perdebatkan. Dari risalah rapat Panitia Khusus RUUPT pada masa sidang IV, Senin, 16 Juli 2007, terungkap bahwa fraksi yang ada sudah sepakat memasukkan CSR dalam pembahasan, permasalahannya hanya terletak pada penambahan kata-kata “ tanggung jawab lingkungan”. Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM tidak sepakat karena harus ada konsistensi dalam terminologi dalam undang-undang. UUPM menggunakan terminologi tanggung jawab sosial perusahaan saja, tidak dibedakan dengan tanggung jawab lingkungan, karena
106
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2008, Proses Pembahasan Rancangan Undang Undang Tentang Perseroan Terbatas, Buku 2, Jakarta, hlm. 1035.
99
tanggung jawab lingkungan sudah termasuk (include) tanggung jawab sosial. Namun akhirnya pemerintah mengalah karena seluruh fraksi yang ada tetap merujuk pada keputusan Panja tanggal 2 Desember 2006 yang menegaskan bahwa antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan berbeda, sehingga harus ada satu bab tertentu yang membahasnya. Dari risalah tersebut dapat diketahui bahwa yang menjadi dasar keputusan Panja tidak terlepas dari fakta kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, terutama yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam, terutama di sektor pertambangan. Pada pembahasan mengenai rumusan ketentuan CSR yang telah diajukan oleh Timus (Tim Perumus) dan Timsin (Tim Sinkronisasi), pada tahun sidang 2006-2007 masa sidang ke IV pada hari Senin, tanggal 16 Juli 2007 pemerintah diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM mengusulkan agar tidak semua perseroan terbatas dapat dikenakan kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, terutama pada perusahaan yang kecil, perusahaan sederhana yang hanya terdiri dari 2 atau 3 orang anggota keluarganya saja, yang merupakan kelompok kecil agar diberi kemudahan untuk tidak dikenakan kewajiban CSR ini, agar tidak menjadi beban mereka, karena perusahaan kecil ini sudah dikenakan beban berupa pajak, restribusi dan sebagainya. Kalau kewajiban untuk melaksanakan
CSR
ini
dibebankan
kepada
seluruh
perusahaan
akan
mengakibatkan tujuan perekonomian negara untuk memajukan perusahaan perusahaan kecil dengan memberikan kemudahan kemudahan menjadi terhambat. Pemerintah juga mengusulkan untuk perusahaan yang usahanya tidak berkaitan
100
dengan masalah lingkungan tidak wajib CSR. Selanjutnya Menteri Hukum dan Ham mengatakan: ....kita tidak bisa menutup mata ada perusahaan perusahaan keluarga yang barangkali jumlah keluarganya hanya 2 atau 3, antar mereka sendiri, usahanya tidak ada kaitannya dengan masalah lingkungan, mungkin jual beli tiket, travel atau perusahaan-perusahaan lain yang lebih kecil, apakah mereka juga dikenakan ketentuan-ketentuan seperti itu?. Karena itu, pemerintah menawarkan bagaimana kalau kita adopsi saja apa yang tercantum di dalam Undang-Undang Penanaman Modal, yaitu bahwa perseroan terbatas yang dikenakan kewajiban corporate social responsibility itu agar terbatas kepada perseroan terbatas penanaman modal dan yang kedua, bekerja di bidang yang berkaitan dengan lingkungan hidup.107 Usulan ketentuan kewajiban melaksanakan CSR yang dikenakan kepada perusahaan tertentu saja yakni yang berkaitan dengan lingkungan dan perusahaan penanaman modal saja, dengan mengadopsi ketentuan yang tercantum pada Undang-Undang Penanaman Modal mendapat dukungan dari fraksi Partai Golkar yang diwakili oleh Ade Komarudin. Sedangkan anggota dari fraksi PDIP melalui Pataniari Siahaan tidak setuju terhadap usulan Pemerintah tersebut, Dia beranggapan bahwa beban kewajiban melaksanakan CSR seharusnya tidak dibeda-bedakan antara perusahaan besar maupun kecil, karena perusahaan kecil juga dapat merusak lingkungan, sehingga rumusan yang telah disampaikan oleh Timsin dan Timus lebih layak untuk menjadi keputusan Pansus. Selanjutnya beliau mengatakan: “Kita sebenarnya lihat fakta sekarang ini, masalah kerusakan lingkungan tidak sekedar juga oleh perusahaan besar. Masalah kebersihan dan sebagainya yang itu merupakan bagian dari perusahaan kecil maupun besar.”108
107 108
Ibid., hlm. 963. Ibid., hlm. 968.
101
Dengan masih adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dengan pendapat fraksi-fraksi pada sidang tersebut, kemudian pemerintah memberikan penjelasan berangkat dari dasar filisofi amanat pasal 33 UUD1945, bahwa perekonomian disusun berdasarkan efisiensi dan berkeadilan, dimana pemerintah dapat melakukan intervensi untuk melindungi rakyat kecil. Kemudian pemerintah mengusulkan: ....kalau judulnya misalnya tanggung jawab sosial dan lingkungan. Lalu kemudian, ayat (1)nya Perseroan Penanaman Modal yang bidang usahanya berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam wajib melaksanankan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau boleh juga tanggung jawab sosial, tetapi diayatnya berbunyi perseroan penanaman modal yang bidang usahanya berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.109 Usulan pemerintah agar perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan sumber daya alam saja, yang diwajibkan melakasanakan CSR mendapat tentangan dari beberapa fraksi diantaranya pendapat dari fraksi PAN yang diwakili oleh M.Junaedi yang mencontohkan perseroan kecil seperti usaha pencucian mobil yang tidak melakukan usaha dan tidak berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi membuang limbah sembarangan yang dapat mencemari air, demikian juga restoran-restoran apakah tidak dikenai kewajiban CSR?. Dia mengatakan : ....misalkan kami contohkan usaha kecil saja dari suatu perseroan pencucian mobil. Dia bukan investasi, dia tidak secara langsung melakukan eksplorasi dan eksploitasi alam. Hanya cuci mobil, tetapi kalau limbahnya itu buatnya ngawur, juga akan menjamahi lingkungan. Kemudian pedagang-pedagang makanan. Mereka restoran-restoran yang sudah tergabung dalam suatu perseroan misalnya, tentunya juga punya tanggung jawab sosial maupun lingkungan khususnya lingkungan sekitar untuk tetap dia menjaga lingkungan hidup disekitarnya supaya tidak sembarangan.110
109 110
Ibid., hlm. 979. Ibid., hlm. 987.
102
Senada dengan pendapat fraksi PAN tersebut di atas, fraksi PD yang diwakili oleh Azam Azam Natawijana berpendapat bahwa rumusan kewajiban melaksanakan CSR bagi perseroan yang menjalankan usaha dan berkaitan dengan sumber daya alam saja, yang disodorkan pemerintah dapat mengabur makna Pasal 74. Dia mengatakan: ....dan kalau rumusan no.1 disampaikan, ini malah mengaburkan makna Pasal 74. Sebagai contoh, perusahan yang tidak terkait dengan sumber daya alam tetapi ternyata mereka mencemari alam. Kalau dengan pasal 1, artinya yang mencemari alam walaupun tidak terkait dengan sumber daya alam, mencemari alam. Artinya tidak kena dengan masalah tersebut. jadi sangat bias.111 Menanggapi berbagai perdebatan penolakan yang diajukan oleh beberapa fraksi-fraksi pada sidang pembahasan RUUPT tersebut. Pemerintah memberikan penjelasan tentang rumusan kewajiban menjalankan CSR kepada perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam saja adalah dalam rangka menjunjung tinggi prinsip negara hukum, yaitu prinsip berkeadilan, dimana tidak adil kalau membebankan kewajiban CSR terhadap warga diluar batas kemampuannya dan tidak adil menerapakan kewajiban lingkungan terhadap perusahaan yang tidak ada urusannya terhadap lingkungan. Dari rumusan pasal tentang kewajiban melakasanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diajukan oleh pemerintah masih mendapat perdebatan, diataranya usulan yang disampaikan oleh fraksi PKB yang diwakili oleh Amin Said Husni menyatakan rumusan pemerintah tersebut sepertinya hanya lingkungan. Lingkungan dalam pengertian pencemaran, perusakan lingkungan, padahal bukan hanya lingkungan tetapi termasuk tanggung jawab sosial, maka 111
Ibid., hlm. 991.
103
tanggung jawab sosial dan lingkungan bukan hanya bagi perusahaan yang berkaitan dengan pengelolan sumber daya alam. Lebih lanjut Dia mengatakan, : “Kalau dibatasi kepada bidang usahanya itu, itu yang lain menjadi
tidak
tercakup.” Setelah melalui mekanisme Panja dan lobby-lobby maka akhirnya rumusan Pasal 74 UUPT yang terdiri dari empat ayat disepakati sebagai berikut: a. Pasal 74 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pada penjelasannya yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. b. Pasal 74 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa, tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ketentuan ini menunjukkan bahwa CSR harus sudah dirancang sejak awal, tanpa memperhitungkan apakah perusahaan akan untung atau rugi. Hal ini berbeda dengan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-
104
05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan usaha kecil dan Program Bina Lingkungan dimana dana Program kemitraan dan Bina Lingkungan diambil 4% dari laba bersih setelah dipotong pajak. c. Pasal 74 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa, perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumusan pasal ini menjelaskan bahwa CSR telah terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang dinyatakan sebagai kewajiban dalam makna liability, sehingga pelanggaran atas kewajiban tersebut tunduk pada sanksi yang telah diatur pada ketentuan yang bersangkutan. d. Pasal 74 ayat (4) UUPT menegaskan bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3.3 Perbandingan Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Ketentuan kewajiban melaksanakan CSR, telah dengan tegas diatur pada Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Ketentuan Pasal 15 huruf
b
UUPM
menyebutkan:
“setiap
penanam
modal
berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” selanjutnya dalam penjelasan Pasal tersebut, yang dimaksud dengan CSR adalah:“Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada
105
setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.” Pengertian CSR dalam Pasal 1 angka 3 UUPT menyebutkan: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Selanjutnya kewajiban untuk melaksanakan CSR diatur dalam Pasal 74 UUPT sebagai berikut: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. (2) Kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan pada beberapa pasal ketentuan CSR pada kedua undang-undang tersebut, terdapat beberapa persamaan dan beberapa perbedaan pengaturan kewajiban melaksanakan CSR.
3.3.1 Persamaan Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Ketentuan kewajiban melaksanakan CSR pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
106
2007 Tentang Perseroan Terbatas, memiliki beberapa persamaan, diantaranya bahwa keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu mengarah pada CSR sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan. Regulasi CSR sebagaimana tersebut di atas, memberi kesan bahwa negara melepaskan tanggung jawabnya
atas
persoalan
sosial
dan
perlindungan
lingkungan
dengan
mengalihkannya kepada korporasi. Regulasi CSR membuka peluang korporasi meletakan biaya CSR kepada konsumen. Sedangkan tujuan penguasaan negara atas sumber daya alam adalah keadilan sosial dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Keterkaitan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan dalam Abrar Saleng, akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut: 1. Segala bentuk pemanfaatan bumi dan air serta hasil yang didapat dari kekayaan alam, harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; 2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat; 3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.112 Apabila ditarik dari pengertian pengaturan kewajiban CSR pada kedua undang-undang tersebut di atas, CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan pada stakeholders dalam arti luas dari sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam modal mengejar keuntungan, bukan berarti 112
hlm. 17.
Abrar Saleng, 2007, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta,
107
perusahaan ataupun penanam modal dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait. Kemudian kewajiban perusahaan untuk melaksanakan CSR sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15 huruf b UUPM yang menyatakan: “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat. Apabila tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UUPM). Ketentuan mengenai sanksi apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajiban CSR juga diatur pada Pasal 74 ayat (3) UUPT yang berbunyi: “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.” Dengan adanya pengaturan mengenai CSR tersebut, dapat dikatakan bahwa CSR telah ditetapkan sebagai suatu kewajiban hukum yang memiliki sanksi dan diberlakukan terbatas pada perseroan yang menjalankan usahanya di bidang sumber daya alam. Sedang pendanaan untuk kegiatan CSR dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Penetapan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral, tetapi diyakinkan
108
sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan. Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, dan atau eksklusif dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Menyikapi kondisi yang ada tersebut, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan conditio sine qua non bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama adalah social engineering. Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan umum.113 Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering). Dalam konteks tanggung jawab sosial (CSR) adalah kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkan.
113
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, hlm. 68.
109
Sebagai sebuah komitmen perusahaan, pelaksanaan CSR pada dasarnya adalah untuk memberikan kontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan. Terkait dengan pelaksanaan CSR, ada 4 kelompok prilaku perusahaan yakni : 1.
2.
3.
4.
Kelompok Hitam adalah perusahaan yang tidak melakukan praktek CSR sama sekali. Mereka adalah perusahaan yang menjalankan bisnis sematamata untuk kepentingan sendiri tanpa memeperhatikan aspek lingkungan sosial disekitarnya, termasuk kesehjateraan karyawannya. Kelompok Merah, yakni perusahaan yang mulai melaksanakan CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai kompenen biaya yang akan mengurangi keuntungan. Kelompok Biru, yakni kelompok perusahaan yang menilai praktek CSR akan membawa dampak positif terhadap usahanya karena merupakan investasi, bukan biaya. Kelompok Hijau, yakni perusahaan yang sudah menempatkan CSR pada srategi inti dan jantung bisnisnya, CSR tidak hanya dianggap sebagai keharusan, tetapi kebutuhan yang merupakan modal sosial.114 Apapun
bentuk
prilaku
perusahaan,
Pasal
15
UUPM
sudah
mengamanatkan kewajiban untuk menerapkan CSR. Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam rangka penanaman modal, berdasarkan amanat Pasal 15 UUPM, diwajibkan untuk menerapkan CSR agar tetap tercipta hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat di sekitar perusahaan. Dengan demikian dasar dari CSR tersebut sebenarnya adalah etika bisnis yang dituangkan dalam bentuk tertulis, kemudian melahirkan kebijakan yang berupa undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya. Dalam prakteknya untuk menerapkan CSR tersebut, perusahaan dianjurkan untuk membuat Corporate Code of Conduct yang erat
114
Suhandari M. Putri Schema, “CSR”, Kompas, 4 Agustus 2007
110
kaitannya dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang diatur dalam UUPT. Terkait hal tersebut dalam UUPT terdapat empat prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi pelaku bisnis yaitu Transparancy, Accountability, Responsibility, dan Fairness.115 Adapun contoh dari prinsip Transparancy, yakni adanya penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu. Sedangkan prinsip Accountability menyangkut kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Selanjutnya prinsip Responsibility atau tanggung jawab, disini bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah berupa kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Kemudian prinsip Fairnes, prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan prinsip GCG di atas, prinsip responsibility yang melahirkan gagasan CSR. Perusahaan tidak diharapkan pada tanggung jawab yang hanya berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangan saja, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines, selain aspek financial juga sosial lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan, tetapi juga harus memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup.116 Melalui penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya, seringkali menghasilkan dampak eksternal 115
Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, 2008, Good Corporate Governance, Total Media, Yogyakarta, hlm. 74. 116 Hendrik Budi Untung, 2009, Corporate Social Responsibility, Sinar Grrafika, Jakarta, hlm. 25.
111
yang harus ditanggung oleh stakeholdernya. Karena itu wajar bila perusahaan juga memperhatikan kepentingan dan nilai tambah bagi stakeholdernya.
3.3.2
Perbedaan Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam sistem
hukum di Indonesia secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Moda dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Terdapat beberapa perbedaan pengaturan kewajiban melaksanakan CSR pada kedua undang-undang tersebut yakni: (1) adanya perbedaan definisi dan istilah di antara kedua undang-undang tersebut menimbulkan contradicio in terminis, sehingga mengakibatkan kebingungan bagi pelaku usaha untuk melaksanakan CSR secara tepat. Dalam Pasal 15 huruf b UUPM menyebutkan: “setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Sementara dalam penjelasan Pasal tersebut, yang dimaksud dengan CSR adalah: “Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat”. Sedangkan pengertian CSR dalam Pasal 1 angka 3 UUPT menyebutkan: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,
112
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Hal ini akan menimbulkan persoalan mengenai ketidakkonsistenan istilah, “tanggung jawab sosial perusahaan” dalam Pasal 15 huruf b UUPM tidak memiliki makna yang sama dengan istilah “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” dalam Pasal 1 angka 3 UUPT. Berdasarkan dua pengertian di atas menunjukkan bahwa pengertian CSR dalam Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal hanya sebatas pada menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai dan budaya masyarakat setempat. Kalimat tersebut menekankan penciptaan hubungan yang serasi antara korporasi dengan masyarakat. Hubungan yang serasi ini memilik makna yang luas, serta tidak menjelaskan adanya kontribusi tertentu oleh korporasi bagi masyarakat. Penanam modal hanya dituntut untuk tidak menimbulkan keresahan dan menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Sedangkan CSR dalam Pasal 1 angka 3 UUPT menitikberatkan pada berperan serta dalam pembangunan ekonomi. Di dalam kalimat ini perseroan dituntut untuk meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat. Artinya, ada kewajiban bagi korporasi secara aktif untuk memberikan kontribusi, baik dalam bentuk bantuan maupun kemitraan. (2) adanya diskriminasi bagi perusahaan tertentu yang terkena kewajiban untuk melaksanakan CSR. Kewajiban untuk melaksanakan CSR bagi setiap penanam modal diatur dalam Pasal 15 huruf b UUPM yang menyatakan: “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan
113
adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat. Apabila tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UUPM). Kewajiban CSR menurut UUPM diberlakukan bagi setiap perusahaan penanaman modal baik perusahaan penanaman modal dalam negeri maupun perusahaan penanaman modal asing, baik dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) maupun dalam bentuk badan usaha lainnya, tidak dibeda-bedakan, semua wajib melaksanakan kewajiban CSR. Sedangkan Kewajiban untuk melaksanakan CSR yang diatur dalam Pasal 74 UUPT sebagai berikut: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. (2) Kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kalau ditelaah lebih lanjut terlihat bahwa ketentuan Pasal 74 UUPT tersebut, hanya menyebutkan perseroaan yang menjalankan usaha di bidang sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial, sedangkan perusahaan yang tidak bergerak di sektor sumber daya alam, tidak memiliki kewajiban CSR. Mas Achmad Daniri memberi komentar, bahwa substansi dalam
114
ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan dan kewajiban melaporkannya.117 Banyaknya peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan ruang lingkup dan isu-isu CSR. Sebagaimana di amanatkan dalam ketentuan Pasal 74 UU PT ayat 3 menyatakan: “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.” Peraturan perundang-undangan terkait ini tentu jumlahnya cukup banyak, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah. Pasal 1 ayat (3) UUPT mendefinisikan tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagai
komitmen
perseroan
untuk
berperan
serta
dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan baik bagi perusahaan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Selanjutnya Ketentuan Pasal 16 huruf d Undang-Undang Penanaman Modal menentukan bahwa “setiap penanam modal bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan hidup”. Ketentuan yang terdapat baik di dalam UUPM maupun UUPT yang tersebut di atas diketahui bahwa konsep mengenai CSR tampaknya belum ada keseragaman ataupun persamaan persepsi. UUPM lebih menekankan CSR sebagai
117
Mas Achmad Daniri, Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, hlm.1, http”//www.madani.ri.com/2008/01/17/standarisasi-tanggung-jawab-sosialperusahaan-bag-iii/ diunduh tanggal 6 Agustus 2013.
115
upaya perusahaan untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia beroperasi. Sedangkan UUPT justru mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung jawab perusahaan pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Menurut Ridwan Khairandy, adanya pengaturan CSR pada dua undang-undang tersebut menimbulkan beberapa kontroversi, baik yang berkaitan dengan konsep CSR itu sendiri maupun yang berkaitan dengan tanggung jawab yang diderivasi dari etika bisnis menjadi suatu norma hukum.118 Perbedaan pengaturan kewajiban melaksanakan CSR juga nampak dalam bidang usaha dari perusahaan. UUPM tidak memberikan batasan bidang usaha bagi penanam modal yang dikenai kewajiban melaksanakan CSR, sebagaimana ketentuan pada pasal 15 huruf b hanya menyebutkan: “setiap penanam modal berkewajiban...” Sedangkan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan ingkungan.” Menurut Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UUPT yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sementara itu yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
118
Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, op. cit., hlm. 13.
116
fungsi kemampuan sumber daya alam. Dengan demikian berarti perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam dan tidak berkaitan dengan sumber daya alam, maka pelaksanaan CSRnya tidak diwajibkan.
3.4 Analisis Tentang Pengaturan Kewajiban Melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Adanya beberapa perbedaan pengaturan kewajiban melaksanakan CSR bagi perusahaan menurut UUPT dan UUPM sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dicermati dengan mengkaji proses pembahasan RUUPM maupun RUUPT yang dilaksanakan bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah. Kewajiban melaksanakan CSR pada ketentuan Pasal 15 huruf b UUPM, yang mewajibkan melaksanakan CSR bagi setiap perusahaan penanaman modal, artinya ketentuan ini mewajibkan CSR baik bagi perusahaan penanaman modal dalam nergeri (PMDN) maupun perusahaan penanaman modal asing (PMA), UUPM sangat penting untuk segera di buat karena dilatarbelakangi oleh iklim investasi negara Republik Indonesia yang mengalami kelesuan sejak krisis yang belum sepenuhnya pulih. Banyak investor yang hengkang dari negara Republik Indonesia pada waktu itu, pindah ke negara lain, karena menganggap negara Republik Indonesia kurang kondusif. UUPM diharapkan mampu mengembalikan iklim investasi agar bergairah kembali dan menjadikan negara Republik Indonesia sebagai pilihan berinvestasi bagi investor asing. Oleh karena itulah maka RUUPM yang diajukan pemerintah (Presiden) untuk dibahas bersama DPRRI, banyak memberikan fasilitas-fasilitas, insentif, kemudahan-kemudahan,
117
kepada investor asing dintaranya : fasilitas pajak, bea masuk, pengurusan izin satu atap, perlakuan tidak membeda-bedakan dengan penanam modal dalam negeri (PMDN), adanya kepastian hukum dan perlindungan, informasi yang terbuka, hak pelayanan, tidak akan di nasionalisasi oleh negara, dan sebagainya. Namun dalam pembahasan RUUPM tersebut, anggota Fraksi PDIP yang diwakili Hasto Kristiyanto, mengusulkan agar penanam modal disamping diberikan hakhaknya seharusnya juga diatur kewajibannya di dalam RUUPM, selanjutnya menyatakan : Setelah kami mencoba mencermati secara keseluruhan terhadap naskah RUU yang disampaikan oleh Pemerintah, kami memiliki suatu bukti-bukti faktual bahwa dalam keseluruhan pembahasan lebih banyak berbicara tentang hakhak apa saja, fasilitas apa saja yang perlu kita berikan kepada penanaman modal sehingga back mind dari RUU itu adalah ingin menjadikan UndangUndang Penanaman Modal ini seolah-olah sebagai obat mujarab atas berbagai persoalan investasi di Indonesia. ....Karena itu kami mengusulkan suatu penambahan Bab untuk melakukan adanya suatu keseimbangan bahwa kita tidak hanya mempromosikan hak-hak penanaman modal misalnya berkaitan dengan hak repratiasi, hak atas tanah, kemudian juga equal treatment, tidakadanya suatu perlakuan yang tidak membedakan, non diskriminasi dan lain sebagainya. Melihat realitas penanaman modal dimana banyak sekali investor yang lari keluar negeri dengan meninggalkan tanggung jawab kepada kreditor dari perbankan dalam negeri sebagaimana terjadi dalam PT. Great River, kita melihat kasus Lapindo kemarin hampir saja terjadi suatu alih kepemilikan dengan suatu kewajiban lingkungan yang belum diselesaikan. Kita juga melihat suatu persoalan-persoalan lingkungan yang cukup besar. Dengan demikian, kami mengusulkan penambahan bab baru yang berjudul Fungsi, Kewajiban dan Tanggung Jawab Penanaman Modal.119 Sejak adanya usulan dari fraksi PDIP mengenai harus ada kewajiban disamping hak-hak yang diberikan kepada penanam modal, maka mulailah CSR dibahas, dan setelah melalui loby-loby maka disahkanlah UUPM dengan rumusan 119
Risalah Rapat Kerja Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, masa sidang II, hari selasa, 05 desember 2006, hlm. 16.
118
ketentuan CSR sebagaimana bunyi pasal 15 huruf b tersebut yang mewajibkan CSR bagi setiap penanaman modal. Menurut penulis UUPM mengatur ketentuan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN), maupun mengatur ketentuan mengenai penanaman modal asing (PMA). Pemerintah mengharapkan dengan lahirnya UUPM ini akan mampu menggairahkan investasi asing untuk lebih banyak lagi masuk ke Indonesia, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui masuknya arus modal asing. UUPM lebih menguutamakan pengaturan bagi penanaman modal asing (PMA), hal ini dapat dilihat dari banyaknya pasal-pasal yang memberikan fasilitas, hak-hak, kemudahan bagi investor asing sehingga tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga yang menjadi tujuan utama sebagaimana diungkap pada pejelasan pemerintah tentang RUUPM adalah
menarik modal asing melalui
penanaman modal asing digunakan untuk pembangunan dan mensejahterakan bangsa Indonesia. Perusahaan-perusahaan PMA, adalah perusahaan besar dan beberapa tergolong sebagai Multy National Corporation (MNC), yaitu perusahaan yang terdapat di beberapa negara, yang memerlukan banyak tenaga kerja, serta menggunakan lahan yang sangat luas tentu akan berdampak luas bagi masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan melakukan aktivitasnya. Untuk mengurangi dampak negatif perusahaan penanaman modal maka sangat tepat dan wajar pembentuk UUPM mewajibkan CSR bagi setiap perusahaan penanaman modal. Perusahaan-perusahaan yang tergolong perusahaan penanaman modal adalah perusahaan yang besar jika dibandingkan perusahaan yang diatur oleh UUPT, hal ini dapat dilihat dari aspek permodalan pada saat pendirian perusahaan. Sesuai
119
ketentuan Peraturan Kepala Badan Koordinasi penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2013 tentang Pedoman dan Tatacara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal, pada Pasal 22 ayat (3) disebutkan: Penanaman Modal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan harus memenuhi ketentuan : a. Total nilai investasi lebih besar dari Rp.10.000.000.000,00, (sepuluh milyar rupiah) atau nilai setara dengan US Dollar, diluar tanah dan bangunan. b. Nilai modal ditempatkan sama dengan modal disetor sekurangkurangnya sebesar Rp.2500.000.000,00(dua milyar lima ratus juta) atau setara dalam US Dollarnya. c. Penyertaan dalam modal perseroan untuk masing-masing pemegang saham sekurang-kurangnya Rp.10.000.000,00(sepuluh juta rupiah) atau setara dalam US Dollarnya dan presentase kepemilikan saham dihitung berdasarkan nilai nominal saham. Permodalan bagi perusahaan penanaman modal cukup besar yakni modal dasarnya minimal sepuluh milyar rupah jika dibandingkan dengan perseroan yang didirikan berdasarkan UUPT, yakni modal dasar pendirian perseroan terbatas (PT) paling sedikit Rp. 50.000.000, 00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUPT yang berbunyi, “Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Selanjutnya Pasal 32 ayat (2) menyatakan,”Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar dari pada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ketentuan permodalannya, maka perseroan terbatas (PT) yang diatur pada UUPT tidak hanya mengatur perusahaan besa, tetapi juga mengatur perusahaan yang dapat digolongkan menjadi perusahaan besar, menengah dan perusahaan kecil. Bagi perusahaan yang besar dan
120
berdampak negatif yang besar terhadap masyarakat dan lingkungan tentu kewajiban CSRnya juga besar. Sedangkan perusahaan kecil yang tidak berdampak dengan lingkungan, kewajiban CSRnya kecil dan menurut UUPT dikecualikan dari kewajiban melaksanakan CSR agar tidak membebani perusahaan kecil tersebut. Sedangkan bagi perusahaan penanaman modal karena dikatagorikan sebagai perusahaan besar, maka semuanya wajib CSR. Pasal 74 UUPT pada ayat (1) yang membatasi beban kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya kepada perseroan yang melaksanakan kegiatan di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dapat penulis simpulkan bahwa penekanan konsep corporate social responsibility (CSR) lebih banyak kepada tanggung jawab perusahaan terhadap pelestarian lingkungan. Pemikiran ini dilatar belakangi banyaknya persoalanpersoalan kerusakan lingkungan yang terjadi pada waktu sebelum pembahasan RUUPT ini dilakukan oleh perusahaan besar yang bergerak di bidang sumber daya alam khususnya pertambangan, seperti kasus lumpur lapindo di Sidoarjo atau lebih dikenal sebagai bencana Lumpur Lapindo, adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006 sampai sekarang belum bisa ditanggulangi, kasus pencemaran teluk buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya, kasus PT Freeport Indonesia yang di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Perusakan lingkungan yang terjadi banyak dilakukan oleh perusahaan perusahaan besar yang bergerak dibidang sumber daya alam, utamanya di bidang
121
pertambangan, sehingga kalangan DPR dan Pemerintah memandang sangat perlu mengatur kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perseroan yang menjalankan usahanya di bidang sumber daya alam dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa ketentuan ini adil, dimana yang diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dibebankan kepada perusahaan yang berdampak pada kelangsungan dan kelestarian lingkungan saja, kalau yang tidak berdampak tidak diwajibkan, seperti perusahaan tiketing, perusahaan kecil, perusahaan keluarga yang tidak berdampak terhadap lingkungan dan sumber daya alam tidak kena kewajiban CSR tersebut. Ketentuan ini diharapkan untuk tidak membebani perusahaan kecil, UMKM, perusahaan yang baru berdiri, sehingga mereka dapat tumbuh sehingga dapat memajukan perekonomian negara. Penulis berpendapat bahwa konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dipahami oleh para pembentuk UUPT pada waktu itu, hanya menitik beratkan pada aspek lingkungan saja. Sedangkan tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR menyangkut 3 aspek sebagaimana dinyatakan oleh Elklington dengan teori triple bottom line (3BL), yakni 3p terdiri dari pofit, people, planet untuk keberlanjutan perusahaan harus memperhatikan aspek ekonomi yakni mencari laba/ keuntungan (profit) bagi shareholder, aspek sosial atau people dimana perusahaan harus memberi dampak positif bagi stakeholder menyangkut karyawan, keluarga karyawan,
pemegang saham,
pemasok,
masyarakat
sekitar,
pemerintah,
konsumen. Dan terakhir adalah Planet, bahwa perusahaan harus memperhatikan aspek lingkungan (planet). Dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut,
122
seharusnya setiap perseroan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, dengan tidak membeda-bedakan antara perseroan besar maupun perseroan kecil, yang bergerak dibidang sumber daya alam ataupun tidak. Karena pencemaran dan perusakan lingkungan juga dapat dilakukan oleh perusahaan besar maupun kecil. Walaupun perusahaan tersebut tidak berdampak terhadap lingkungan, misalnya perusahaan tiketing, tentunya juga dapat dikenakan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan, yaitu harus dapat memberi dampak positif pada lingkungan sosial masyarakat setempat, atau setidaknya tidak merugikan masyarakat sekitar. Pengaturan kewajiban
melaksanakan
tanggung jawab
sosial
dan
lingkungan diwajibkan hanya kepada perusahaan tertentu terutama yang mejalankan uasahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja. Dengan alasan keadilan, sebagaimana diungkapkan oleh Menkumham pada pada sidang IV, Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas yang diadakan pada hari Senin, tanggal 16 Juli 2007, penulis tidak sependapat, karena berdasarkan rumusan keadilan dalam sila-sila Pancasila, seperti dalam sila kedua yang merumuskan” Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Kemudian pada sila kelima merumuskan,”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sila kemanusiaan yang adil dan beradab dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup di masyarakat. Keadilan hanya dapat diwujudkan pada masyarakat yang beradab atau sebaliknya dapat dikatakan bahwa hanya pada masyarakat yang beradablah keadilan dapat dihargai. Dengan demikian keadilan yang dimaksud adalah dalam
123
konteks keseimbangan dari nilai-nilai antinomi yang ada yang meliputi semua bidang, baik dalam bidang ideologi, hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Sila kelima dari Pancasila dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban yang hidup di masyarakat. Hak dan kewajiban selalu bergandengan dalam kehidupan masyarakat. Untuk mencapai keadilan maka hak dan kewajiban harus diberikan secara seimbang. Demikian pula berdasarkan teori keadilan distributif dari Aristoteles yang menyatakan bahwa perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hak dan kewajibannya. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu. Dengan teori keadilan ini bahwa setiap perseroan
harus mendapat perlakuan yang sama di bidang
hukum. Hak dan kewajiban dibidang hukum harus dikenakan kepada setiap perseroan, tanpa ada diskriminasi. Dengan demikian ketentuan kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya diberlakukan kepada setiap perseroan, berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas ini. Teori Kepastian Hukum digunakan sebagai pisau analisis untuk mengkaji rumusan ketentuan Pasal 74 UUPT tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian
124
aturan dapat berbentuk konstestasi norma, reduksi norma dan distorsi norma. Ketentuan Pasal 74 ayat (1) menyatakan: perseroan yang menjalankan kegiatan usahannya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kemudian penjelasan Pasal 74 ayat (1) menyebutkan: yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahannya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sementara itu yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahannya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahannya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Ketentuan Pasal 74 ayat (1) beserta penjelansannya tersebut di atas menurut penulis membingungkan, dan dapat menimbulkan keragu-raguan bagi dunia usaha untuk melaksanankan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena tidak dijelaskan kriteria perusahaan manakah yang berkaitan
dengan sumber daya alam? Kalau
dimaksudkan kepada perusahaan yang berdampak bagi sumber daya alam, misalnya hotel, restoran, perusahaan cuci mobil, berdampak bagi pencemaran dan penggunaan air bersih termasuk ketentuan ini, sedangkan perusahaan tiketing tidak berdampak bagi lingkungan tidak dikenakan ketentuan ini sebagaimana dijelaskan oleh Menkumham pada masa sidang IV, Rapat Kerja, pada hari Senin, 16 Juli 2007 mengatakan:”....kita tidak bisa menutup mata ada perusahaan perusahaan keluarga yang barangkali jumlah keluarganya hanya 2 atau 3, antar mereka sendiri, usahanya tidak ada kaitannya dengan masalah lingkungan,
125
mungkin jual beli tiket, travel atau perusahaan-perusahaan lain yang lebih kecil.”120 Menurut penulis tidak seluruhnya perseroan
pasti
memiliki
dampak
dapat dibenarkan, karena setiap
terhadap
lingkungan
tetapi
yang
membedakannya adalah besar kecilnya dampak yang ditimbulkan. Perusahaan tiketing juga berdampak terhadap sumber daya alam karena menggunakan air, membuang limbah sampah, menggunakan listrik dalam operasional kantornya. Dengan demikian perusahaan tiketing dapat dikenakan pada ketentuan tanggung jawab sosial lingkungan. Ketentuan Pasal 74 ayat (1) UUPT ini dapat dikatakan bersifat dikriminatif terhadap perseroan yang yang menjalankan kegiatan dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, apabila dikaitkan dengan ketentuan kewajiban melaksanankan tanggung jawab sosial pada UUPM yang mewajibkan setiap perusahaan penanaman modal wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), baik dalam bentuk PT, maupun tidak, menjalankan kegiatan dalam bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alamataupun tidak, wajib melasanakan CSR. Adanya inkonsistensi norma pengaturan pada kedua ketentuan pengaturan kewajiban CSR ini, menurut teori kepastian hukum dapat menimbulkan keraguraguan dan kebingungan dalam implementasinya. Sebaiknya ketentuan kewajiban melaksanakan CSR diatur jelas, tegas, dan konsisten sehingga dapat menciptakan kepastian hukum dan dapat diimplementasikan tanpa keraguraguan.
120
Sekretaris Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2008, Proses Pembahasan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, buku 2, Jakarta, hlm. 963.
126
Mencermati ketentuan tetang kewajiban CSR menurut Pasal 74 ayat (1) UUPT sebagaimana tersebut di atas, bahwa kewajiban CSR memang diutamakan terhadap perusahan yang berbasis sumber daya alam, sedangkan perusahaan yang tidak berbasis sumber daya alam tidak dikenakan ketentuan CSR tersebut. Namun jika mencermati lebih teliti ketentuan pada penjelasan pasal tersebut yang menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatannya usahanya berkaitan dengan sumber daya alam, adalah perseroan yang tidak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahannya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Namun adakah usaha yang tidak berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam?. Jika melihat aktivitas perkantoran sehai-hari, adakah yang tidak memanfaatkan air?, yang berarti mengurangi sediaan sumber air. Memanfaatkan listrik yang ikut mencemari udara dengan gas buang pembangkit tenaga listrik, adakah kantor yang tidak menggunakan kertas, yang berarti ikut menyumbang bagi kerusakan hutan dan penebangan hutan sebagai bahan baku kertas. Dari aktivitas keseharian tersebut, sudah jelas bahwa seluruh perusahaan sebetulnya kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Apabila dicermati lebih lanjut nampaknya tidak ada sektor yang benarbenar tak berhubungan dengan sumber daya alam. Perbankan ikut membiayai projek-projek yang bisa jadi merusak hutan kita yang semakin lama semakin berkurang.121 Perusahaan ansuransi juga dapat dikatakan melindungi perusahaanperusahaan yang mencemari lingkungan dengan menjamin kerugian ekonomi dari
121
Dwi Kartini, 2009, op. cit., hlm. 130.
127
perusahaan tersebut sehingga dapat terus mencemari lingkungan hidup sehingga perusahaan ansuransi juga seharusnya melaksanakan kewajiban CSR. Dengan demikian sebetulnya tidak ada perseroan yang benar-benar tidak berkaitan dengan sumber daya alam, sehingga dengan demikian berarti setiap perseroan diwajibkan melaksanakan CSR. Dewasa ini kondisi di Indonesia menghendaki adanya CSR sebagai suatu kewajiban hukum. Hal ini mengingat belum adanya kesadaran moral yang cukup dan bahkan sering kali terjadi sesuatu yang diatur saja masih dilanggar, apalagi kalau tidak diatur, misalnya terjadi perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, tidak membayar pajak. Kemudian kebanyakan perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Apabila situasi dan kondisi yang terjadi masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai CSR dapat diberi sanksi. Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai suatu konsep yang telah populer dan mendunia, belum memiliki difinisi dan pengertian yang tunggal untuk dapat dijadikan pedoman didalam penerapnnya. Dari perspektif hukum hal tersebut menjadi persoalan. Ketidakjelasan terminologi dan multipersepsi dari CSR menjadikan hukum sulit untuk menentukan mana korporasi yang telah melakukan CSR dengan benar dan mana yang tidak. Padahal tugas hukum adalah memberi justifikasi. Hal ini secara teknis menimbulkan banyak sekali kesulitan
128
dalam penegakan hukum terhadap CSR, apabila dilaksanakan dalam bentuk yang sangat beragam.122Dengan cepatnya perkembangan hukum bisnis, menjadikan penerapan CSR yang dilakukan oleh dunia usaha, semakin beragam dan komplek. Hukum memiliki keterbatas untuk mengatisipasi perkembangan pengaturan CSR bagi dunia usaha. Reflexive Law Theory yang ditawarkan David Hess berguna sebagai pendekatan untuk mencari jalan keluar bagi regulasi CSR. Korporasi diberi kewajiban untuk mengatur dirinya sendiri dalam memperhatikan persoalan sosial dan memberikan laporan kepada masyarakat (pasar), dan selanjutnya biarlah masyarakat (pasar) yang akan memberikan penilaian. Berdasarkan pada reflexive law theory, pemerintah dapat mewajibkan CSR kepada setiap korporasi. Karena CSR tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan bisnis dan reaksi pasar, maka aturan yang diterapkan adalah dengan mewajibkan setiap korporasi untuk membuat laporan kepada masyarakat (social reporting). CSR dapat diwajibkan secara hukum, tanpa diberikan sanksi hukum (lex imperfecta), tetapi biarkan pasar (masyarakat) yang memberikan reward and punishment, seperti boikot atau kampanye anti korporasi yang tidak menjalankan CSR.
122
Mukti Fajar ND, 2009, op. cit., hlm. 315.
129
BAB IV KEWAJIBAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DIUTAMAKAN BAGI PERUSAHAAN YANG BERGERAK DI BIDANG SUMBER DAYA ALAM
4.1 Jenis Kegiatan Usaha Perusahaan Yang Bergerak Di Bidang Sumber Daya Alam Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegitan pembangunan juga mengandung resiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Di kota-kota besar seperti Jakarta dapat kita jumpai air sungai yang mengalami pencemaran berat, air tanah yang semakin tidak memenihi standar, sementara air laut semakin merembes ke darat.123 Kondisi ini dapat menjadikan beban sosial karena akibat dari daya dukung dan daya tampung dan produktivitas lingkungan hidup menurun. Untuk itu pengelolaan lingkungan hidup harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya melalui prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan, sehingga dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial dan budaya. Secara konseptual sumber daya alam ialah suatu sumber daya yang terbentuk karena kekuatan alamiah, misalnya tanah, air dan perairan, biotis, udara dan ruang, mineral, landscape, panas bumi dan gas bumi, angin, arus
123
Munir Fuady, 1994, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 369.
130
laut.124Sedangkan pengertian sumber daya alam menurut pasal 1 angka 9 UndangUndang Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya alam (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Dalam aspek legal, sumber daya alam adalah public goods, yang harus terbuka aksesnya untuk sebanyak mungkin pelaku ekonomi dan masyarakat luas sebagai bentuk prinsip Demokrasi Ekonomi atau Ekonomi Kerakyatan125. Sumber daya alam dapat dibagi menjadi dua golongan, berdasarkan kemampuan untuk memperbaharui dirinya yaitu: 1) Sumber daya alam yang dapat diperbaharui, adalah sumber daya alam yang dapat diusahakan kembali keberadaannya oleh manusia. Artinya walaupun sumber daya alam tersebut dipergunakan atau dimanfaatkan oleh manusia, tetapi manusia dapat mengusahakan kembali sumber daya tersebut. 2) Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti : mineral, minyak bumi, gas bumi, dan lain sebagainya.
124
Moh.Soerjani, dkk, 2008, Lingkungan: Sumber daya alam dan Kependudukan dalam Pebangunan, UI-Press, Jakarta, hlm. 18. 125 Aji Purnawarman dan Dewi Astuty Mochtar, 2003, Implikasi Yuridis Pelaksanaan Undang-Undang Migas dalam Kaitannya dengan Kegiatan Usaha Kecil Migas, dalam Jurnal Hukum Ekonomi dan Bisnis, Vol.I.,No.1, Juli 2003, Program Studi magister Ilmu Hukum, Universitas Merdeka Malang, hlm. 2.
131
Sumber daya alam yang dapat diperbarui dapat dikelompokkan menjadi sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non-hayati. Sumber daya alam hayati berasal dari makluk hidup, sedangkan sumber daya alam non-hayati bukan berasal dari makluk hidup. Sumber daya alam hayati adalah sumber daya alam yang ada di permukaan bumi dan hidup, antara lain hewan dan tumbuhan. Ciri utama dari sumber daya alam hayati adalah tumbuh, bergerak, berkembang biak, bernafas, dan membutuhkan makanan. Tumbuhan termasuk salah satu dari sumber daya alam hayati, dan termasuk dalam kategori dapat diperbarui. Sumber daya alam hayati tumbuhan dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu hutan, lahan pertanian dan perkebunan. Sumber daya alam non-hayati adalah sumber daya alam yang ada di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi tetapi tidak hidup, antara lain tanah, udara dan air. Tanah adalah lapisan bumi bagian atas yang terbentuk dari pelapukan batuan dan bahan organik yang hancur oleh proses alamiah. Bahan organik merupakan bahan sisa makluk hidup yang telah mati. Tanah termasuk sumber daya alam yang dapat diperbarui, karena tanah terbentuk dari bahan-bahan sisa makluk hidup yang telah mati, seperti dahan, daun, ranting, kotoran, pohon, hewan juga manusia yang diurai oleh hewan-hewan kecil seperti rayap menjadi tanah. Air adalah suatu zat yang terdiri dari zat hidrogen dan oksigen (H2O). Kita semua mengetahui apa itu air, karena setiap hari kita tidak bisa melepaskan diri dari air, bahkan disarankan dalam satu hari minimal kita harus minum air sebanyak 1 liter. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting
132
bagi manusia dan makhluk hidup. Air adalah sumber kehidupan, tanpa air manusia dan makluk lainnya akan mati. Udara termasuk salah satu sumber daya alam yang dapat diperbarui. Caranya melalui kegiatan fotosintesis pada tumbuhan. Bilamana permukaan tanah banyak ditumbuhi tanaman, maka udara bersih dan sehat banyak diperoleh di daerah tersebut, demikian halnya sebaliknya. Hal ini dikarenakan tumbuhan menghasilkan udara bersih. Manusia memanfaatkan udara untuk berbagai kepentingan, antara lain sebagai jalur penerbangan pesawat terbang, saluran komunikasi melalui satelit atau antena, sumber tenaga gerak seperti dalam perahu layar nelayan atau kincir angin sebagai sumber tenaga listrik, untuk kegiatan olahraga dan rekreasi seperti terjun payung, gantole, terbang laying, main layinglayang, main pesawat-pesawatan dari kertas, dan sebagainya. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui adalah sumber daya alam yang jika dipakai terus menerus akan habis dan tidak dapat diusahakan kembali keberadaannya oleh manusia. Manusia tidak bisa membuat atau memperbanyak keberadaan sumber daya alam jenis ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Manusia hanya bisa melakukan daur ulang terhadap sumber daya alam tersebut. Contoh jenis sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui adalah berbagai macam barang tambang seperti minyak bumi, gas alam, emas, perak, dan batu bara dan lain sebagainya Selain pembagian berdasarkan kemampuan untuk memperbaharui diri, sumber daya alam juga dapat digolongkan berdasarkan potensi penggunaannya, yaitu:
133
1. Sumber daya alam penghasil energi; misalnya: air, matahari, arus laut, gas bumi, minyak bumi, batu bara, angin dan biotik/tumbuhan; 2. Sumber daya alam penghasil bahan baku; misalnya: mineral, gas bumi, biotis, perairan, tanah dan sebagainya; dan 3. Sumber daya alam lingkungan hidup; misalnya: udara dan ruang, perairan, landscape dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UUPT maka Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Terdapat dua hal yang harus dicermati, dari bunyi pasal tersebut yaitu: Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam; dan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Dari penjelasan Pasal 74 ayat (1) UUPT bahwa yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Dari penjelasan tersebut maka dapat dikatakan terdapat dua kriterea perusahaan yang menjalankan kegiatan usahannya di bidang sumber daya alam yakni: 1) Perseroan terbatas yang mengelola sumber daya alam; dan 2) Perseroan terbatas yang memanfaatkan sumber daya alam. Bentuk pengelolan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup dirumuskan dalam bentuk: a.perencanaan; b.pemanfaatan; c.pengendalian; d.pemeliharaan; e.pengawasan; dan f. penegakan hukum.
134
Merujuk pada ketentuan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada Pasal 1 ayat (7) menyebutkan bahwa pengelolan yang dimaksud adalah upaya
merencanakan,
melaksanakan,
memantau,
dan
mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi dan pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Sementara itu pengertian pemanfaatan dapat dilihat pada ketentuan UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya alam Hayati dan Ekosistemnya pada Pasal 36 ayat (1) menyebutkan
bahwa yang
dimaksud dengan pemanfaatan adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam bentuk; a. pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. penangkaran; c. perburuan; d. perdagangan; e. peragaan; f. pertukaran; g. budidaya; h. pemeliharaan untuk kesenangan pribadi. Mengingat beberapa ketentuan perundang-undangan tersebut di atas terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, maka dapat disimpulkan bahwa jenis perusahaan perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya dalam bidang sumber daya alam sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dapat dikatagorikan sebagai jenis perusahan yang bergerak di bidang sumber daya alam, sehingga diwajibkan melaksanakan kegiatan CSR menurut Pasal 74 ayat (1) UUPT. Beberapa jenis perusahaan yang menjalankan kegiatan usahannya dengan mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam secara langsung diantaranya yaitu; perusahaan minyak dan gas bumi, pertambangan, industri perkayuan, industri
kertas,
pertanian,
perkebunan,
peternakan,
serta industri
yang
menghasilkan limbah berupa senyawa kimia yang berbahaya, seperti farmasi dan tekstil. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam
135
sebagaimana tersebut di atas sering kali menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Perusahan-perusahaan yang diwajibkan untuk melaksanakan CSR berdasarkan Pasal 74 ayat (1) UUPT, seharusnya tidak hanya ditujukan kepada perusahaan berskala besar berbentuk PT saja. Tetapi perusahaan kecil, maupun menengah yang menjalankan kegiatan usahannya di bidang pemanfaatan dan pengelolan sumber daya alam juga dapat dikenakan kewajiban menjalankan CSR seperti contohnya perusahaan kecil penggalian pasir, penambangan batu kapur, dan berbagai bahan tambang lainnya. Bila kita cermati, aktivitas perusahaan perusahaan kecil, dan menengah yang melakukan penambangan batu kapur dikawasan padalarang kabupaten Bandung atau di wilayah Pada Beunghar kabupaten Sukabumi, tampaknya industri tersebut telah memberikan dampak pencemaran lingkungan yang besar akibat penyebaran debu kapur.126
4.2 Dampak Resiko Perusahaan Yang Bergerak Di Bidang Sumber Daya Alam Terhadap Masyarakat Dan Lingkungan. Setiap perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam yakni perusahaan yang mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan berkaitan dengan sumber daya alam dapat menimbulkan dampak operasional perusahaan. Menurut Andriof dan McIntosh dalam Solihin, pembangunan berkelanjutan dapat diraih bila perusahaan-perusahan melakukan pengelolaan dampak operasi
126
Salim Hs dan Budi Sutrisno, 2008, Hukum Investasi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 171.
136
perusahaan mereka pada 3 tataran dampak yakni ekonomi, sosial dan lingkungan127. Pelaksanaan
CSR
di
perusahaan-perusahaan
pada
pembangunan
berkelanjutan diwujudkan dalam laporan yang disebut dengan sustainability report. Kerangka sustainability report yang dipakai oleh beberapa perusahaan adalah mengacu pada kerangka yang dikembangkan oleh Global Reporting Initiative (GRI). Dampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang ditimbulkan operasi perusahaan menurut GRI adalah: a. Dampak Ekonomi Dampak
ekonomi
yang
ditimbulkan
operasi
perusahaan
akan
mempengaruhi pemangku kepentingan dan sistem ekonomi baik lokal, nasional maupun global. Dalam kaitan ini GRI mengelompokkan 2 jenis dampak ekonomi yakni langsung dan tidak tidak langsung. GRI mendefinisikan dampak ekonomi langsung sebagai perubahan pontensi produktif dari kegiatan ekonomi yang dapat mempengaruhi kesejahteraan komunitas atau para pemangku kepentingan dan prospek pembangunan jangka panjang. Sedangkan yang dimaksud dengan dampak ekonomi tidak langsung adalah konsekuensi tambahan yang muncul sebagai akibat pengaruh langsung transaksi keuangan dan aliran uang antara oerganisasi dan para pemangku kepentingannya. b. Dampak Sosial Terkai dengan damapk sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan, GRI membagi dampak soial ke dalam 4 katagori yakni hak asasi manusia, (human
127
Ismail Solihin, op. cit., hlm. 147.
137
rights), tenaga kerja (labor), masyarakat (society) serta tanggung jawab produk (productresponsibility). 1. Hak asasi manusia. Berbagai indikator untuk mengukur dampak operasi perusahaan terhadap hak asasi manusia antara lain: a) Prosentase dan jumlah investasi yang signifikan dimana didalamnya memuat klausul tentang hak asasi manusia b) Jumlah jam pelatihan yang diberikan kepada karyawan untuk memahami kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan hak asasi manusia. c) Jumlah insiden diskriminasi di tempat kerja serta tindakan yang dilakukan perusa haan untuk mengatasinya. d) Ada tidaknya kebebasan dalam bentuk serikat pekerja untuk melakukan tawar menawar secara kolektif dalam merumuskan kesepakatan kerja bersama. 2. Tenaga Kerja. Berbagai indikator yang digunakan untuk mengukur dampak operasi perusahaan terhadap tenaga kerja antara lain: a) Jumlah keseluruhan tenaga kerja yang dipekerjakan di perusahaan berdasarkan katagori pekerja, kontrak, dan wilayah dimana karyawan bekerja. b) Benefit yang ditawarkan perusahaan kepada karyawan penuh yang tidak diberikan kepada karyawan kontrak atau paruh waktu. c) Presentase karyawan yang dilindungi kesepakatan kerja bersama.
138
d) Tingkat cidera karena pekerjaan, penyakit akibat kerja, hari-hari yang hilang karena sakit, tingkat kemangkiran kerja serta jumlah kecelakaan yang terkait dengan pekerjaan berdasarkan wilayah kerja. 3. Masyarakat. Berbagai indikator yang digunakan mengukur dampak operasi perusahaan terhadap masyarakat antara lain: a) Sifat, cakupan dan efektivitas dari berbagai program dan praktek yang dapat mengukur, mengelola dampak dari operasi perusahaan terhadap masyarakat. b) Persentase dan jumlah unit bisnis yang memiliki resiko korupsi. c) Persentase jumlah karyawan yang dilatih dalam hal kebijakan dan prosedur menanggulangi kprupsi di dalam organisasi. d) Tindakan yang diambil perusahaan terhadap tindakan korupsi. e) Partisipasi dalam lobi dan perumusan kebijakan publik. f) Jumlah nilai uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan karena membayar denda atau sanksi non-moneter akibat ketidak patuhan perusahaan terhadap undang-undang dan peraturan tentang lingkungan hidup yang berlaku di suatu negara. 4. Product Responsibility.berbagai indikator yang digunakan untuk mengukur dampak operasi perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa terhadap para pemangku kepentingan dan lingkungan antara lain: a) Dampak kesehatan dan keselamatan dari pemakai produk dan jasa yang diperhitungkan perusahaan sejak produk tersebut masih berada dalam
139
tahap R&D sampai produk tersebut dibuang oleh konsumen setelah dikonsumsi. b) Jumlah kejadian yang berkaitan dengan tuntutan konsumen terhadap dampak kesehatan dan keselamatan atas konsumsi produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan, sebagai akibat ketidakpatuhan perusahaan terhadap kesehatan dan keselamatan yang berlaku. c) Jenis informasi yang dibutuhkan oleh konsumen dari suatu produk dan jasa sesuai dengan prosedur yang berlaku serta presentasi produk dan jasa perusahaan yang telah memuat informasi sesuai prosedur. d) Jumlah kejadian yang berkaitan dengan ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku dalam hal penyajian informasi produk dan jasa. e) Berbagai praktek yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepuasan konsumen, termasuk mengukur kepuasan konsumen. c. Dampak Lingkungan. Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas maupun kualitas tidak merata, sedangkan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Pembangunan juga mengandung resiko terjadinya kerusakan lingkungan yang mengakibatkan daya dukung, daya tampung dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu lingkungan hidup harus dikelola dengan baik berdasarkan asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberi manfaat ekonomi, sosial, budaya yang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, demokrasi
140
lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan, terhadap kearifan lokal, dan kearifan lingkungan. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian pelaksanaan pembangunan harus dijiwai dengan kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan lingkungan Hidup menyatakan bahwa, “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.” Setiap aktivitas suatu perusahaan baik langsung maupun tidak langsung, baik perusahaan bersekala kecil, menengah maupun besar pasti berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Apabila aktivitas perusahaan tersebut dilakukan dengan tidak mengindahkan aturan-aturan hukum yang terkait dengan pelestarian lingkungan, maka kegiatan yang dilakukan tersebut dapat berdampak negatif bagi lingkungan. Negara telah mewajibkan setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Amdal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan lingkungan Hidup (selanjutnya ditulis UUPPLH), adalah analisis mengenai dampak lingkungan, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
141
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Adapun yang dimaksud dengan dampak penting terhadap lingkungan menurut Pasal 22 ayat (2) UUPPLH adalah dampak suatu kegiatan berdasarkan kriteria : a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. Luas wilayah penyebaran dampak; c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang terkena dampak; e. Sifat kumulatif dampak; f. Berbalik datau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya usaha dan atau kegiatan yang diwajibkan dilengkapi amdal untuk memperoleh ijin usaha dan/atau kegiatan bagi perusahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UUPPLH terdiri atas: a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
142
d. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial budaya; e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan dan jasad renik; g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau i. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. Terkait mengenai dampak lingkungan, Global Reporting Initiative (GRI) menjabarkan dampak yang dapat ditimbulkan oleh operasi perusahaan terhadap kemampuan sumber daya alam atau lingkungan sebagai berikut:128 1) Aspek bahan baku (materials), yang mencakup jumlah bahan baku yang digunakan berdasarkan berat dan volumenya; 2) Aspek energi, yang mencakup konsumsi energi secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan sumber energi utama; 3) Aspek air, yang mencakup jumlah air yang ditarik menurut sumber airnya, dan sumber air secara signifikan terpengaruh oleh aktivitas penarikan air; 4) Aspek keanekaragaman hayati, yang mencakup lokasi dan ukuran lahan yang dimiliki, disewa atau dikelola perusahaan yang berdekatan dengan
128
Ibid., hlm. 155.
143
area yang kaya akan keanekaragaman hayati baik yang diproteksi maupun yang tidak diproteksi, dan dampak signifikan dari aktivitas perusahaan, produk dan jasa yang dihasilkan terhadap nilai keanekaragaman hayati; 5) Aspek emisi, effluents, dan limbah, yang mencakup jumlah emisi greenhouse gas yang dihasilkan, emisi gas yang dapat menipiskan lapisan ozon berdasarkan berat emisi gas (karbondioksida (CO2), gas metan (CH4), nitrous oxide (N2O), hydrofluorocarbons (HFC2), perflurocarbons (PFC5), sulfur hexafluoride (SF6), jumlah air yang dibuang didasarkan pada kualitas air dan aliran air, serta jumlah berat limbah berdasarkan tipe dan metode pembuangan limbah. 6) Aspek transportasi,
yang mencakup dampak signifikan terhadap
lingkungan sebagai akibat aktivitas transportasi produk dan bahan baku dari suatu lokasi ke lokasi lain yang dilakukan oleh perusahaan. Setiap perusahaan terutama perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam terutama pertambangan, yang melakukan kegiatan usahanya pasti menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dampak positif yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam, contohnya perusahaan pertambangan antara lain berupa bantuan dibidang sosial budaya, pendidikan dan perkebunan, masyarakat di sekitar areal pertambangan sebagian besar mendapat keuntungan dan pekerjaan tambahan. Selain dampak positif yang disebutkan di atas, ternyata pertambangan lebih banyak mempunyai dampak negatif baik bagi masyarakat sekitar maupun bagi lingkungan. Adanya konflik-konflik yang terjadi dikarenakan
144
oknum-oknum perusahaan yang berlaku curang atas lahan masyarakat, dengan melakukan pembebasan lahan tidak sesuai harga dan ukuran luasnya. Kebanyakan masyarakat menjual lahan yang dulunya adalah tempat pertanian mereka karena terpaksa mau tidak mau harus menjual. Penelitian yang dilakukan oleh lnce Raden, terhadap dampak perusahaan batubara terhadap sosial ekonomi dan lingkungan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. Selain memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat, disisi lain, kegiatan usaha pertambangan batubara
memberikan dampak negatif yakni kehadiran usaha pertambangan
meningkatkan konflik antara masyarakat, antara masyarakat dan perusahaan yang dipicu oleh masalah limbah, penerimaan tenaga kerja, masalah tumpang tindih lahan, menurunnya aktifitas keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan gotong royong terutama kerja bakti dan kegiatan-kegiatan keagamaan, dampak negatif terhadap lingkungan fisik, kimia dan biologi. Kerusakan-kerusakan tersebut diantaranya kerusakan bentang alam, penurunan kesuburan tanah, rusaknya flora dan fauna endemik, meningkatnya polusi udara dan debu, erosi dan sedimen yang memicu banjir, kebisingan, rusaknya jalanan umum yang digunakan untuk memuat alat-alat berat perusahaan, dan adanya limbah yang dapat masuk ke lahan-lahan pertanian dan sungai sehingga merusak biota perairan dan sumber air yang digunakan untuk air bersih, minum dan mencuci.129
129
http://km.ristek.go.id/index.php/ klasifikasi/detail/ di unduh tanggal 29 Oktober 2013.
145
Fakta menunjukkan banyaknya perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam, yang melakukan berbagai aktivitas usaha, tetapi tidak mengindahkan aspek sosio kultural dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Seperti konflik masyarakat papua dengan PT. Freport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi Arun, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat dan sebagainya. Untuk mengeliminasi dampak negatif dari aktivitas usaha perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam tersebut, maka sangat dibutuhkan aturan yang tegas, berupa kewajiban melaksanakan CSR.
4.3 Fungsi Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Menanggulangi Dampak Negatif Bagi Perusahaan Yang Bergerak Di Bidang Sumber Daya Alam Terhadap Masyarakat Dan Lingkungan Ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan lingkungan masyarakat sekitarnya sering menimbulkan konflik dan sengketa antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya. Masyarakat merasa perusahaan hanya memperhatikan kepentingan bisnis yakni dengan mencari keuntungan yang setinggi-tingginya tanpa memperdulikan kesulitan kehidupan sosial masyarakat seperti pencemaran dan kerusakan jalan akibat aktivitas perusahaan. Konflik antara perusahaan dengan masyarakat sangat mengancam kelangsungan kegiatan produksi perusahaan. Untuk menjaga kelangsungan perusahaan dan mendorong terciptanya hubungan baik dengan masyarakat pemerintah mengeluarkan kebijakan mewajibkan perusahaan melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau lebih dikenal dengan coperate social responsibility (CSR).
146
Ketentuan mengenai CSR diatur dalam Pasal 74 UUPT yang menyatakan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kewajiban melaksanakan
corporate social responsibility (CSR)
diutamakan kepada perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam karena sejalan dengan landasan filosofis demokrasi ekonomi yaitu Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang berdasarkan prinsip keberlanjutan (sustainability), dimana prinsip ini bermakna bahwa pengelolaan sumber daya alam ini tidak hanya untuk dinikmati oleh satu generasi atau generasi tertentu saja, tetapi pengelolaannya harus bisa diwariskan dan dinikmati oleh generasi akan datang. Serta berdasarkan prinsip berwawasan lingkungan, dimana prinsip ini bermakna bahwa dalam pembangunan perekonomian nasional aspek lingkungan harus menjadi perhatian setiap pelaku usaha, sehingga setiap aktivitas usaha dapat diminimalisir dampak negatifnya terhadap lingkungan. Tujuan CSR jelas agar perusahaan yang berproduksi memanfaatkan sumber daya alam memperhatikan dampak yang timbul terhadap kerusakan kelestarian
lingkungan.
Eksploitasi
memperhatikan lingkungan kelangsungan memprogramkan
kegiatan
dapat
merusak
ekonomi
pembangunan
terhadap
sumber ekosistem
masyarakat.
lingkungan
yang
daya
alam
tanpa
yang mengancam
Perusahaan
diminta
menyentuh
langsung
kepentingan masyarakat seperti membangun sarana kesehatan, sekolah dan bantuan beasiswa dan modal bagi UKM sehingga memperkecil kesenjangan sosial antara kehidupan karyawan dan penduduk asli. Kebijakan program CSR juga
147
diwajibkan bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 15 huruf b yang menegaskan setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan pasal 16 ayat d mengatakan setiap penanaman modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan. Artinya perusahaan penanaman modal berkewajiban memprogramkan
kegiatan
CSR
sehingga
dapat
meningkatkan
jaminan
kelangsungan aktivitas perusahaan karena adanya hubungan yang serasi dan saling ketergantungan antara pengusaha dan masyarakat. Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Diperlukan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah
kesalahan-kesalahan
signifikan
dalam
strategi
korporasi
dan
memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera. Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau peran strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam membentuk katup pengaman sosial (social security). Selain itu melalui
CSR
perusahaan
juga
dapat
membangun
reputasinya,
seperti
meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan. CSR berbeda dengan charity atau sumbangan sosial. CSR harus dijalankan di atas suatu program dengan memperhatikan kebutuhan dan keberlanjutan
148
program dalam jangka panjang. Sementara sumbangan sosial lebih bersifat sesaat dan berdampak sementara. Semangat CSR diharapkan dapat mampu membantu menciptakan keseimbangan antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Pada dasarnya tanggung jawab sosial perusahaan ini diharapkan dapat kembali menjadi budaya bagi bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia dalam kebersamaan mengatasi masalah sosial dan lingkungan. Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara berkelanjutan, pada dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi programprogram CSR akan menimbulkan efek yang sangat bermanfaat bagi perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan baku produksi yang diambil dari alam. Dengan melaksanakan CSR secara efektif akan dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan. Tanggung jawab perusahaan
149
terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui pelaksanaan programprogram CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara keseluruhan.
150
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan pada babbab terdahulu, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, terjadinya perbedaan pengaturan kewajiban melaksanakan CSR menurut Undang-Undang Penanaman Modal dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas, karena perusahaan penanaman modal yang diatur oleh Undang-Undang Penanaman Modal, pada umumnya adalah perusahaan besar, dengan modal dasar minimal 10 milyar rupiah bagi penanaman modal asing dan modal dasar minimal 500 juta rupiah bagi penanaman modal dalam negeri, yang aktivitas usahanya berdampak luas terhadap sosial masyarakat dan lingkungan hidup, sehingga seluruhnya wajib melaksanakan CSR. Sedangkan perusahaan yang diatur Undang-Undang Perseroan Terbatas, dengan modal dasar minimal 50 juta rupiah, tidak seluruhnya perusahaan besar, tetapi juga ada perusahaan kecil yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, sehingga tidak seluruhnya diwajibkan melaksanakan CSR. 2) Kewajiban melaksanakan CSR bagi perseroan yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, adalah untuk mewujudkan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan seperti diatur Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berlandaskan filosofi demokrasi ekonomi.
151
5.2 Saran-Saran Mendasarkan pada uraian pembahasan dan simpulan yang disampaikan, maka beberapa saran yang dapat diajukan untuk mendapatkan kajian lebih lanjut adalah sebagai berikut: 1. Kepada pemerintah dan DPR agar segera mengamandemen UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, agar mempunyai pengertian dan pengaturan yang sama mengenai kewajiban melaksanakan CSR, sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan kewajiban CSR tersebut. 2. Pemerintah sebagai regulator dapat mewajibkan pelaksanaan CSR kepada setiap perusahaan baik perusahaan besar maupun kecil, baik bergerak di bidang sumber daya alam maupun tidak dengan mewajibkan melaporkan kegiatan CSRnya kepada masyarakat. Dengan demikian pengawasan pelaksanaan CSR bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga dilakukan
oleh
penghargaan. .
masyarakat,
disertai
pemberian
sanksi
ataupun
152
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, jakarta. Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Aristoteles, 2004, Politik, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, Bentang Budaya, Yogyakarta. Barth, Steven R, 2003, Corporate Ethics: The Business Code of Conduct for Ethical Employes, Aspatore Publisher, Boston Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, 6th Edition, West Publishing Co, St. Paul Minn Boartright, John R, 1993, Ethics and The Conduct of Business, Prentice Hall, New Jersey Budimanta, Arif dan Bambang Rudito, 2008, Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development, Indonesian Center for Sustainable Development, Jakarta. Clark, Robert Charles, 1986, Corporate Law, Aspen Law Publisher, New York. Collin, PH, 1992, Law Dictionary, Universal Book Stall, New Delhi. Daniri, Mas Achmad, 2005, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya di Indonesia, Ray Indonesia, Jakarta. Darmodihardjo, Dardji dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Emirzon, Joni, 2007, Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance, Paradigma Baru Dalam Praktek Bisnis Indonesia, Genta Press, Yogyakarta. Erawati, Elly dan J.S. Badudu, 1996, Kamus Hukum Ekonomi, Inggris-Indonesia, Proyek Elips, Jakarta. Fajar, ND Mukti, 2009, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Mandatory vs Voluntary, Studi tentang Penerapan Ketentuan Corporate
153
Social Responsibility Pada Perusahaan Multi Nasional, Swasta Nasional dan Badan Usaha Milik Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Fredman, Wolfgang, 1990, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis atas TeoriTeori Hukum (Susunan II), terjemahan oleh Arifin Muhammad, Rajawali Press, Jakarta. Hardinsyah dan Muhammad Iqbal, 2006, Wacana Sinergi Konsep Corporate Social Responsibility dan Payment for Environmental Services Dalam Upaya Pelestarian Sumberdaya Air (Kasus Daerah Aliran Sungai Brantas), Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta. Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang. Jenkins, Iredell, 1980, Social Order and The Limit of Law : A Theoritical Essay Princenton University Press, New Jersey. Kartini, Dwi, 2009, Corporate Social Responsibility, Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Malang. Kelsen, Hans, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Terjemahan oleh Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung. Khairandy, Ridwan, 2009, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundangundangan dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta. Khairandy, Ridwan dan Camelia Malik, 2008, Good Corporate Governance, Total Media, Yogyakarta. Kotler, Phillip dan Nancy Lee, 2005, Corporate Sosial Responsibility. Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. John Wiley & Sons, Inc, New Jersey. Kusumaatmadja, Mochtar, 2009, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung. Kymlicka, Will, 2004, Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas TeoriTeori Keadilan, diterjemahkan oleh Agus Wahyudi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
154
Lawrence, Anne T dan James Weber, 2008, Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics, Irwin McGraw Hill, New York. Margono Sujud, 2008, Hukum Investasi Asing Indonesia, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta. Nurhadi, 2007, Mengembangkan Jaminan Sosial Mengentaskan Kemiskinan, Meida Wacana, Yogyakarta. Panuju, Redi, 1995, Etika Bisnis, Grasindo, Jakarta. Pound, Roscoe, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Muhammad Radjab, Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Puspensos, 2005, Investasi Sosial, LaTofi Enterprise, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta. Rudito, Bambang dan Melia Famiola, 2007, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Rekayasa Sains, Bandung . Risalah Rapat Kerja Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, masa sidang II, hari selasa, 05 desember 2006. Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan, Penerbit UII Press, Yogyakarta. Saidi, Zaim, 2003, Sumbangan Sosial Perusahaan, Profil dan Pola Distribusinya di Indonesia, Survei 226 Perusahaan di 10 kota, Piramedia, Jakarta. Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2008, Proses Pembahasan Rancangan Undang Undang tentang Perseroan Terbatas, Buku 2, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta. -------, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Solihin, Ismail, 2011, Corporate Social Responsibility: From Charity to Sustainability, Salemba Empat, Jakarta.
155
Stiglitz, Joseph, 2006, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi, PT Mizan Pustaka, Bandung. Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Masyarakat: Studi Kasus Empat Perusahaan, YAPPIKA, IDSS, ACCESS, Australia Indonesia Partnership, Jakarta. Sumaryono. E, 2002, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta. Sumbayak, Radiman F.S, 1985, Beberapa Pemikiran Kearah Pemantapan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, IND-HILL.Co, Jakarta. Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Untung, Hendrik Budi, 2009, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta. Utrecht E, 1960, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta. Wahyudi, Isa dan Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Prinsip, Pengaturan dan Implementasi, In-Trans Publishing, Malang. Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, Fascho Publishing, Gresik. Widjaja, Gunawan dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, Percetakan Penebar Swadaya, Jakarta. Widjaja, I.G. Rai, 2003, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Kesaint Blanc, Jakarta. World Commision on Environment and Development (WCED), 1987, Our Common Future, Oxford University Press, Oxford. B. Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Terjemahan R Subekti dan R Tjiptosudibio, 2009, cetakan ke xxxx, Pradnya Paramita, Jakarta Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD).
156
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber daya alam Hayati dan Ekosistemnya, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990, Nomor. 49 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 32 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377. Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 140 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tatacara Perizinan Dan Non Perizinan Penanaman Modal, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 584. C. Majalah/ Makalah Freeman R. Edward, Strategic Management: A Stakeholder Approach, dalam Fachry Ali dan Ihsan Ali Fauz, Kontrak Sosial Dunia Usaha dan Politik Nasional, Majalah Usahawan No. 12 TH XXVII, Desember 1998. Suhandari M. Putri Schema, “CSR”, Kompas, 4 Agustus 2007. Teguh, 2006, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, Makalah Pada Seminar Corporate Social Responsibility: Integrating Social Aspect into The Businnes, Yogyakarta. D. Desertasi dan Tesis Yogi Paramitha Dewi, Ni Putu, 2011, “Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Terhadap PT yang Bergerak Dalam Bidang Usaha Perhotelan (Studi Pada Hotel Berbentuk PT Di Bali)”, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
157
Kirana Rosita Candra, 2009, “Studi Perbandingan Pengaturan Tentang Coporate Social Responsibility di Beberapa Negara Dalam Upaya Perwujudan Prinsip Good Corporate Governance”, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. E. Artikel dan Jurnal Chatterjee, Charles, 1996, “The Corporate Social Responsibility of Banks”, International Company and Commercial Law Review. William, Cynthia A, 2002, “Corporate Social Responsibility in an Era of Economic Globalization”, 35 University of California Davis Law Review. Stange, Gary von, 1994, “Corporate Social Responsibility Through Constituency Statutes: Legend or Lie?”, 11 Hofstra Labour Law Journal. Hermann, Kristina K, 2004, “Corporate Social Responsibility and Sustainable Development: The European Union Initiative as a Robert Charles Clark, 1986, Corporate Law, Aspen Law Publisher, New York. Nieto, Pablo, Why Regulating: Corporate Social Responsibility is a Conceptual Error and Implies a Dead Wight for Competitiveness, The European Enterprise Journal, tanpa tahun. Prawirokusumo, Soeharto, 2003, “Perilaku Bisnis Modern-Tinjauan pada Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial”. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 4. Besmer, Veronica, 2006, The Legal Character of Private Codes of Conduct: More Than Just A Pseudo-Formal Gloss on CSR, Hasting Business Law Journal 2, Winter. Srefana dan Henry Schawallbenberg, 2006, “Religious Values and Corporate Decision Making: An Economic’s Perspective”. Fordham Journal of Corporate and Financial Law. Sjahdeini, Sutan Remy, 2007, “Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26, No. 3. F. Internet http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan. diunduh tanggal 10 April 2013. http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/ di unduh tanggal 29 Oktober 2013.
158
http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/issues/friedman- soc -resp bussiness.html. di unduh tanggal 10 Maret 2013. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt502d8a41c9e04/csr-tidak-lagi-wajibbroleh--miko-kamal--phd diunduh pada tanggal 12 Agustus 2013 http://www.hukumonline .com/detail.asp?id= 17212&cl=Berita di unduh tanggal 6 Mei 2013