9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.1 Salah satu nilai yang sangat berbeda antara bangsa kita dengan penjajah adalah moral dan/atau kesusilaan. Nilai moral atau kesusilaan mempunyai arti yang sangat penting, karena nilai moral atau kesusilaan ini secara implisit masuk dalam tujuan pembangunan nasional, sehingga menjadi sebuah keharusan bagi bangsa Indonesia untuk menghargai nilai moral tersebut.2 Pentingnya pembangunan mental atau moral masyarakat, di samping pembangunan fisik, merupakan pengejawentahan dari adanya pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang sekaligus menjadi asa bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Penegakan nilai-nilai moral tersebut menjadi semakin penting dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat dengan memenuhi perintah Tuhan, yang harus dipertanggungjawabkan juga kepada Tuhan.3 Keutamaan pembangunan moral bagi suatu bangsa sebenarnya sudah banyak diajarkan baik melalui pendidikan formal maupun melalui mimbar-mimbar agama. 1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Alinea
Pertama 2
W. Poespoprojo. 1998. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Grafika. hal 1. 3 Noor MS Bakry. 1994. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Liberty. hal 68
Universitas Sumatera Utara
10 Bahkan ia seakan-akan menjadi slogan yang wajib disertakan dalam setiap kebijakan pembangunan nasional untuk kurun waktu yang cukup lama. Persoalan yang terjadi pada masa sekarang ini adalah pembangunan di bidang moral telah tertinggal jauh dengan berbagai pembangunan yang bersifat fisik. Pada sisi lain, telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia, terutama yang disebabkan oleh globalisasi dan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan
andil
terhadap
meningkatnya
pembuatan,
penyebarluasan,
dan
penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur Bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan social masyarakat Indonesia. Berkembang luasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.4 Jadi sebenarnya disini adalah apabila kita hendak melakukan suatu penegakan hokum yang menghasilkan yang maksimal, maka harus ada tindakan yang saling berkesinambungan. Jangan satu sisi hanya berfokus, namun tapi sisi lain aspek yang mendukung tidak di dibahas tuntas. Peran serta masyarakat sangatlah diperlukan dalam rangka memberantas pornografi. Masyarakat harus memiliki rasa kebersamaan dalam memberantas tindakan anti porno, anti pelanggaran asusila. Tapi tentunya ada suatu batas yang dinamakan tidak boleh main hakim sendiri. Batasan yang dimaksud adalah sampai dengan bersama-sama untuk kemudian melaporkan kepada aparat penegakan hukum. Itu sudah satu hal yang sangat standar.
4
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Alinea
Kedua
Universitas Sumatera Utara
11 Salah satu sarana pemberantasan pornografi adalah dengan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pornografi melalui sosialisasi pornografi. Media memegang peranan penting sebagai sarana sosialisasi anti pornografi. Namun seperti yang terlihat, media justru merupakan perpanjangan tangan dari pornografi. Dengan demikian, media juga harus mulai memikirkan mekanisme check balance terhadap tayangan yang ada. Pornografi merupakan salah satu persoalan politik criminal yang dijalankan oleh pemerintah. Penghapusan terhadap pornografi tidak mungkin dilakukan. Upaya penanggulangan pornografi adalah mengurangi peredaran barang-barang pornografi. Banyak orang yang masih meragukan apakah pornografi bisa berdampak terhadap timbulnya kejahatan seksual. Memang pada dasarnya, tidak setiap orang yang melihat materi-materi pornografi serta merta langsung melakukan tindak kejahatan seksual. Proses pengaruh materimateri pada tiap orang, berbeda-beda. Ada yang kecil efeknya, tapi ada pula yang besar, hingga memicunya melakukan tindak kriminal seperti perkosaan, pencabulan, sodomi, atau pelecehan seksual.5 Demikian besarnya efek samping tersebut, yang berakibat bukan hanya menimbulkan pelanggaran norma-norma moral atau kesusilaan di dalam masyarakat, maka penegakannya dilakukan dengan sistem sanksi yang lebih berat dan tegas.6 Apabila hukum pidana akan digunakan sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan di bidang kesusilaan, tentunya ada kepentingan dan nilainilai kesusilaan tertentu di dalam masyarakat yang ingin dilindungi dan ditegakkan lewat hokum pidana. Dengan kata lain, digunakannya sarana hukum pidana (penal) untuk menanggulangi kejahatan yang berhubungan dengan pornografi adalah sangat 5
Azimah Soebagijo. 2008. Pornografi Dilarang Tapi Dicari. Jakarta: Gema Insani. hal 81 Barda Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penaggulangan dan Penegakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. hal. 30 6
Universitas Sumatera Utara
12 relevan dengan upaya untuk menegakkan nilai-nilai moral atau kesusilaan masyarakat kita yang berdasarkan ideologi Pancasila. Pada pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundangundangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada beberapa pasal yang berhubungan dengan pornografi, meskipun KUHP sendiri tidak secara tegas menyebutkan kualifikasi tindak pidananya sebagai tindak pidana pornografi. Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 281, 282, 283, 532 dan 533 KUHP yang masing-masing masuk dalam kategori ”kejahatan terhadap kesusilaan” dan ”pelanggaran kesusilaan”. Isi pasal-pasal tersebut sebagai berikut: Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ratus rupiah: ke-1 Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; ke-2 Barangsiapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada di situ bertentangan kehendaknya, melanggar kesusilaan. Pasal 282 (1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambar atau benda, yang telah diketahui isinya dan yang melanggar kesusilaan; atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyainya dalam persediaan; ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa didapat, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling tinggi tiga ribu rupiah. (2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa, dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikinnya, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyai dalam persediaan; ataupun barangsiapa secara terangterangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa didapat, diancam, jika ada alas an kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau dendan paling banyak tiga ratus rupiah. (3) Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama, sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah.
Universitas Sumatera Utara
13 Pasal 183 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya dapat diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa yang membacakan tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum cukup umur termaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya. (3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur termaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil. Pasal 532 Diancam dengan kurungan paling lama tiga hari atau denda paling banyak lima belas rupiah: ke-1 Barangsiapa di muka umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan; ke-2 Barangsiapa di muka umum mengadakan pidato yang melanggar kesusilaan ke-3 Barangsiapa di tempat yang terlihat dari jalan umum mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan. Pasal 533 Diancam dengan kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak dua ratus rupiah: ke-1 Barangsiapa di tempat untuk lalu lintas umum, dengan terangterangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit, atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambaran atau benda, yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda; ke-2 Barangsiapa di tempat untuk lalu lintas umum, dengan terangterangan mendengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda; ke3 Barangsiapa secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, maupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambaran yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda; ke-4 Barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambaran atau benda yang demikian, pada seorang yang belum cukup umur dan di bawah tujuh belas tahun; ke-5 Barangsiapa mendengarkan isi tulisan yang demikian, di muka seorang yang belum cukup umur dan di bawah tujuh belas tahun. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman: Pasal 40 Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) :
Universitas Sumatera Utara
14 a. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau b. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau c. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1). Pasal di atas tidak secara tegas melarang pornografi, tetapi dari rumusan pasalpasal tersebut dapat ditafsirkan adanya larangan mengenai pornografi karena pidana dapat dijatuhkan terhadap pelaku yang sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan film atau reklame film yang tidak disensor atau yang ditolak oleh lembaga sensor, dengan system pemidanaan yang alternatif kumulatif. Kemudian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur pornografi di dalam Pasal 18 ayat (2), yaitu: “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Namun pada tahun 2008 telah disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang mana pengaturan pornografi ini berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah 1. Menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran Agama 2. Memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan 3. Melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi. Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang Pornografi meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan
Universitas Sumatera Utara
15 (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan. Undang-Undang Pornografi menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Subjek hukum pidana meliputi orang (manusia alamiah) dan korporasi (persyarikatan) baik yang berstatus badan hukum maupun bukan badan hukum.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka peneliti dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan peraturan yang berkaitan dengan pornografi sebelum keluarnya uu no.44 tahun 2008? 2. Bagaimana perbuatan yang termasuk tindak pidana pornografi menurut uu no.44 tahun 2008 tentang pornografi? 3. Bagaimana aspek hukum pidana video porno di dalam uu no.44 tahun 2008?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perkembangan peraturan yang berkaitan dengan pornografi sebelum keluarnya uu no.44 tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
16 2. Untuk mengetahui perbuatan yang termasuk tindak pidana pornografi menurut uu no.44 tahun 2008 tentang pornografi. 3. Untuk mengetahui aspek hukum pidana video porno di dalam uu no.44 tahun 2008. Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan dapat memberikan manfaat baik manfaat objektif maupun manfaat subjektif sebagai berikut: 1. Manfaat Objektif Manfaat objektif dari penelitian ini adalah dengan diketahuinya bentuk-bentuk penanggulangan bahaya pornografi. 2. Manfaat Subjektif Manfaat subjektif dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai hukum pidana, serta untuk memenuhi syarat guna mencapai derajat sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
D. Keaslian Penelitian Adapun judul tulisan ini adalah aspek hukum pidana video mesum dikaitkan dengan pornografi dan upaya penanganannya. Judul kripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa fakultas hukum USU. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan Sesorang dapat dipidana apabila perbuatan terdakwa (pelaku) harus memenuhi semua unsur tindak pidana. Apabila pelaku memenuhi unsur tersebut, maka dapat dikatakan ia melakukan tindak pidana. Setelah dinyatakan memenuhi unsur tindak pidana, maka dipertimbangkan pula ada tidaknya alasan pemaaf dan pembenar,
Universitas Sumatera Utara
17 termasuk cakap hukum maka dikatakan terdakwa memenuhi unsur kesalahan sehingga terdakwa dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi sebelum penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana. Kondisi sebagaimana disebutkan di atas tak lepas dari norma hukum positif, teori hukum pidana dan pemidanaan serta doktrin yang menjadi sumber dari hukum pidana. Mendasarkan pada hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan atau paradigma baru dalam hukum pidana. Orientasinya tidak hanya pada pelaku saja, akan tetapi juga korban secara seimbang. Dalam kepustakaan viktimologi pandangan tersebut oleh Schafer disebut Criminal-victim relationship.7 Dengan mengacu pada teori tersebut di atas, maka perhatian atas masalah hukum pidana cenderung akan berubah menjadi perbuatan, kesalahan (orang), korban dan pidana. Melalui paradigma demikian, tampaknya hukum pidana menjadi lebih tepat dan memenuhi rasa keadilan. Konsep pemikiran inilah yang dikaji dan dikembangkan dalam penelitian tentang kedudukan korban yang muaranya adalah direkomendasikannya suatu model kedudukan korban secara adil dalam Sistem Peradilan Pidana yang memenuhi rasa keadilan sebagai hakikat dibentuknya suatu norma.
1. Pengertian Tindak Pidana Sebelum membicarakan masalah jenis – jenis pidana yang dikenal orang di dalam hukum pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri.
7
Wisnusubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999,hal. 3
Universitas Sumatera Utara
18 Djoko menyatakan bahwa pemberian pidana dalam arti umum itu merupakan bidang dari pembentuk Undang – undang karena azas legalitas, yang berasal dari zaman Aufklarung yang berbunyai : nullum crimen, nulla poena, sine preavialege (poenalli).8 Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan Undang – undang terlebih dahulu. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Andi Hamzah, yang membedakan antara hukuman dengan pidana. “ Pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.9 Menurut Van HAMEL, arti pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah: “Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata – mata karena seorang tersebut telah melanggar hukum yang harus ditegakkan oleh negara.10 Menurut Profesor SIMON, pidana atau straf itu adalah: suatu penderitaan yang oleh Undang – undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”. ALGRA-JANSSEN telah merumuskan pidana atau straf sebagai : “Alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari 8
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 22 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985, hlm. 1 10 P. A. F Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Amico, Bandung, 1984, hlm. 93 9
Universitas Sumatera Utara
19 penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana”.11 Roeslan Saleh yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa pidana adalah: “reaksi atas delik dan berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.”12 Dari tiga buah rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis belanda itu, secara harafiah telah menerjemahkan perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.13 Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain bahwa: “ Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini 11
Romli Atmasasmita. Strategi Pembinaan Hukum, Alumni FH-UI. Jakarta. 1992,. Hlm 69 Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasa – dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1996, hlm. 57 13 Ibid 12
Universitas Sumatera Utara
20 berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeeling”.14 Ted Honderich yang dikutip oleh M. Sholehuddin berpendapat tentang pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur berikut: a. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. b. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan hasil keputusan pelaku – pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. c. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subyek yang terbukti sengaja melanggar hukum atau peraturan.15 Ada satu asas yang berlaku di dalam hukum pidana yaitu yang disebut asas legalitas. Hal ini berakibat tidak dapat dijatuhkan pidana suatu perbuatan yang tidak termasuk ke dalam rumusan delik. Untuk mencatumkan suatu perbuatan ke dalam rumusan delik, ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu sifat melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian perbuatan pidana menurut D. Schaffmeister dapat diartikan “Perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela”.16
14
Ibid M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 71 16 D. Schaffmeister, etc (ed) J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P & K, Liberty Yogyakarta, 1995, hlm. 27 15
Universitas Sumatera Utara
21 Perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan seseorang dijatuhi pidana. Pidana disini merupakan penghukuman atas tindakannya. Van Hammel yang dikutip Lamintang menyebutkan bahwa: “Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata – mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang telah ditegakkan oleh negara”.17 Adanya pidana bagi pelaku kejahatan pada umumnya diharapkan menimbulkan efek penjeraan bagi si pelaku. Ada 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana dan pemidanaan”, masing-masing merupakan “sub-sistem” dan sekaligus “pilar-pilar” dari keseluruhan bangunan sistem pemidanaan. Berikut diuraikan secara singkat mengenai ketiga sub-sistem tersebut dalam Konsep KUHP Nasional 2004.18 Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh Undangundang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehingga tidak terjadi eigenricthing seperti yang sering terjadi sekarang. Perbuatan eignricthing sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan. Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan 17
P. A. F Lamintang, Op. Cit, hlm. 91 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985. hlm 84 18
Universitas Sumatera Utara
22 pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.19 Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu Pasal. Salah satu unsur dalam suatu Pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu Pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang implisit dan eksplisit dalam suatu Pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dalam dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan. 1) Dasar Patut Dipidananya Perbuatan a) Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. Seperti halnya dengan KUHP (WvS), Konsep tetap bertolak dari asas legalitas formal (ber-sumber pada Undang-Undang). Namun Konsep juga memberi tempat kepada “hukum yang hidup/hukum tidak tertulis” sebagai sumber hukum (asas legalitas materiel). b) Dalam Konsep sebelumnya s/d konsep KUHP Nasional 2002 belum ada
penegasan
mengenai
pedoman/kriteria/rambu-rambu
untuk
19
Sudarto, R. Ali, Kedudukan Badan Hukum, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, PT Alumni, Bandung, 2000, hlm 62
Universitas Sumatera Utara
23 menentukan sumber hukum materiel mana yang dapat dijadikan sebagai
sumber
hukum
(sumber
legalitas).
Namun
dalam
perkembangan Konsep terakhir Konsep KUHP Nasional 2004 yang sudah diserahkan kepada Menkumham pada tgl. 4 Januari 2005, sudah dirumuskan
pedoman/kriteria/rambu-rambunya,
yaitu
“sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/ atau prinsip-prinsip hukum umum
yang
diakui
oleh
masyarakat
bangsa-bangsa”.
Jadi,
pedoman/kriterianya bertolak dari nilai-nilai na-sional maupun internasional. Sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila), artinya sesuai dengan nilai/paradigma moral religius, nilai/ paradigma kemanusiaan (humanis), nilai/paradigma kebangsaan, nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan/hikmah kebijaksanaan), dan nilai/paradigma keadilan sosial. Patut dicatat, bahwa rambu-rambu yang berbunyi “sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”, mengacu/bersumber dari istilah “the general principles of law recognized by the community of nations” yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 2 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights). c) Sejalan dengan keseimbangan asas legalitas formal dan materiel itu, Konsep juga menegaskan keseimbangan unsur melawan hukum formal dan materiel dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana.20 Penegasan ini diformulasikan dalam Pasal 11 Konsep 2004 yang lengkapnya berbunyi :
20
Masruchin Ruba, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP Malang, 1996. hlm
89
Universitas Sumatera Utara
24 (1) “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. (2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. (3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. (4) Adanya formulasi ketentuan umum tentang pengertian tindak pidana dan penegasan unsur sifat melawan hukum materiel di atas, patut di-catat sebagai suatu perkembangan baru karena ketentuan umum se-perti itu tidak ada dalam KUHP. 2) Bentuk-bentuk Tindak Pidana (“Forms of Criminal Offence”) a) Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanaan dalam KUHP (WvS) tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk “percobaan”, “permufakatan jahat”, “penyertaan”, “perbarengan” (concursus), dan “pengulangan” (recidive). Hanya saja di dalam KUHP, “permufakatan jahat” dan “recidive” tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam Aturan Khusus. b) Dalam Konsep, semua bentuk-bentuk tindak pidana atau tahapan terjadinya/dilakukannya tindak pidana itu, dimasukkan dalam Ketentuan Umum Buku I. Bahkan dalam perkembangan terakhir (Konsep KUHP Nasional 2004) ditambah dengan ketentuan tentang “persiapan”
Universitas Sumatera Utara
25 (preparation) yang selama ini tidak diatur dalam KUHP dan juga belum ada dalam Konsep-konsep sebelumnya. c) Aturan umum “permufakatan jahat” dan “persiapan” dalam Buku I Konsep, agak berbeda dengan “percobaan”.21 Perbedaannya adalah: 1. Penentuan dapat dipidananya “percobaan” dan lamanya pidana ditetapkan secara umum dalam Buku I, kecuali ditentukan lain oleh UU; pidana pokoknya (maksimum/ minimum) dikurangi sepertiga. 2. Penentuan dapat dipidananya “permufakatan jahat” dan “persiapan” ditentukan secara khusus/tegas dalam UU (dalam perumus-an tindak pidana ybs.). Aturan umum hanya menentukan pengertian/batasan kapan dikatakan ada “permufakatan jahat” atau “persiapan”, dan lamanya pidana pokok (yaitu dikurangi dua pertiga).22 Dalam Bab Pertanggung Jawaban Pidana (Kesalahan), Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 35 (1) “asas tiada pidana tanpa kesalahan” (“Geen straf zonder schuld”; “Keine Strafe ohne Schuld”; “No punishment without Guilt”; asas “Mens rea” atau “asas Culpabilitas”) yang di dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh kare-nanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik. Konsep tidak memandang kedua asas/syarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberi kemungkinan dalam hal-hal
21 22
M. Sholehuddin, Op.Cit. hlm 70 Martiman Prodjohamodjojo, Op.Cit. hlm 86
Universitas Sumatera Utara
26 tertentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maaf/pengampunan oleh hakim” (“rechterlijk pardon” atau “judicial pardon”).23 a. Masalah Pemidanaan 1) Tujuan dan Pedoman Pemidanaan : Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskan-nya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa : -
sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan (“purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;
-
“tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari ke-seluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu
sub-sistem
“tindak
pidana”,
“pertang-gungjawaban
pidana
(kesalahan)”, dan “pidana”; -
perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;
-
dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
23
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm75
Universitas Sumatera Utara
27 b. Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dilatarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sbb. : a.
ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat (umum) dan kepentingan individu;
b.
ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”;
c.
ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/ “offender” (individualisasi pidana) dan “victim” (korban);
d.
ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punish-ment dengan tindakan/treatment/measures);
e.
Ide
mengefektifkan
“non
custodial
measures
(alternatives
to
(“elasticity/flexibility
of
imprisonment)”. f.
Ide
elastisitas/fleksibilitas
pemidanaan
sentencing”); g.
Ide
modifikasi/perubahan/penyesuaian
sanction”;
the
pidana
alteration/annulment/revocation
(“modification of
of
sanction”;
“redetermining of punishment”); h.
Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
i.
Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);
j.
Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hukum;24 Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan-
ketentuan yang tidak ada dalam KUHP yang berlaku saat ini, yaitu antara lain:
24
Andi Hamzah, Op.Cit. hlm 81
Universitas Sumatera Utara
28 1.
adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability” (Pasal 35);
2.
adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal responsibility”); Pasal 46.
3.
adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);
4.
adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;
5.
adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);
6.
dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69);
7.
adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pemenuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64);
8.
adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pedoman pemidanaannya atau penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137);
9.
dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);
10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2); 11. dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pida-na tunggal (Pasal 56-57);
Universitas Sumatera Utara
29 12. dimungkinkannya
hakim menjatuhkan pidana secara
kumulatif wa-
laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif (Pasal 58); 13. dimungkinkannya hakim memberi
maaf/pengampunan (“rechterlijk
pardon”) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdakwa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2). Adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/ memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”); Pasal 54). Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hukum. Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di tegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sehingga sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum maka Negara berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya tindak pidana atau kejahatan di masyarakat. Pencapaian tujuan itu tentulah harus dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa termasuk dalam konsep pemidanaan dan pelaksanaanya. Dalam pemidanaan itu sendiri prosesnya dari laporan dari masyarakat kepada polisi, lalu polisi menyelidiki dan menyidik, setelah itu kasus dilimpahkan kepada kejaksaan. Kejaksaan akan memeriksa kasus, apakah bukti-buktinya sudah lengkap atau belum, jika sudah maka jaksa akan melakukan penuntutan dan perkara akan diperiksa dan diputus di pengadilan. Dari serangkaian proses tersebut, pemeriksaan di
Universitas Sumatera Utara
30 setiap tahapnya memerlukan saksi sebagai alat bukti yang sah dan untuk mengetahui kebenaran materiel yang sesungguhnya dari terjadinya tindak pidana.25 Adanya
keterangan
dari
saksi
dan/atau
korban
yang
mendengar,
melihat/mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana merupakan salah satu alat bukti yang sah yang mana dapat membantu hakim untuk benarbenar menyakinkan kesalahan terdakwa hampir semua proses peradilan pidana menggunakan keterangan saksi. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan alat bukti ”keterangan saksi” yang merupakan alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Berkaitan dengan peranan saksi ini, seorang praktisi hokum (hakim), Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi dark number mengingat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. 2. Pengertian Pornografi Pornografi adalah26 : 1. Suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacuran atau prostitusi, 25
Muladi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta,2002,hal.201 26 Andi Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Bina Mulia, Jakarta, 1997, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
31 2. Suatu ungkapan dalam bentuk tulisan tentang kehidupan erotik dengan hanya untuk menimbulkan rangsangan seks kepada pembacanya atau yang melihatnya. Pornografi memang sering dipersepsikan dengan cara yang beragam. Interpretasi pornografi diberi batasan yang berbeda-beda. Orang bebas mengartikan pornografi dengan cara yang tidak sama. Ada pihak yang memandang pornografi sebagai seks (berupa tampilan gambar,aksi maupun teks), namun ada juga pihak yang memandang pornografi sebagai seni/art (berupa cara berbusana, gerakan, mimik, gaya, cara bicara, atau teks yang menyertai suatu tampilan).27 Namun jika dilihat dari asal katanya, sesungguhnya Pornografi berasal dari kata Yunani yaitu “porne” yang berarti pelacur dan “grape” yang berarti tulisan atau gambar. Jadi pengertian pornografi sebenarnya lebih menunjuk pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang menggambarkan pelacur.28 Batasan pornografi dirumuskan secara berbeda oleh Tukan yang membatasi pornografi sebagai penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan dengan maksud merangsang nafsu birahi.29 Sedangkan pornografi merupakan propaganda patriarchal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan laki-laki.30 Pornografi adalah sebuah industri yang menjual perempuan, pornografi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menyebarkan kekerasan terhadap
27
Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi, [Jakarta; Dewan Pers 1987], hal.
10-11 28
Ade Armando, Mengupas Batas Pornografi. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1 29 Neng Djubaidah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, [Jakarta; Prenada Media, 2003, hal. 137 30 Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, [Bandung; Mujahid, 2002], hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
32 perempuan, pornografi mendehumanisasi seluruh perempuan dan pornografi menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk menyebarkan pelecehan seksual.31 Dari batasan-batasan tersebut di atas tampak bahwa pengertian pornografi telah mengalami pengembangan. Dari yang semula hanya mencakup karya tulis atau gambar, seiring dengan perkembangan teknologi media massa, ruang lingkup pornografi mengalami perluasan yang mencakup jenis media lain seperti televisi, radio, film, billboard, iklan dan sebagainya. Demikian pula yang menjadi objek tidak lagi hanya pelacur -dalam pengertian orang/manusia- atau kejalangan tetapi secara perlahan pornografi mencakup semua materi yang melalui berbagai media dianggap melacurkan nilai atau seolah-olah berfungsi bak seperti pelacur. Dengan demikian maka pornografi sampai pada batasan sebagai “materi” yang disajikan di media tertentu yang dapat dan atau ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi seks.32 Pengertian ‘pornografi’ secara umum telah dipahami oleh setiap individu. Dengan pola pikir individu yang berbeda, kata ‘pornografi’, terlepas dari konotasi positif dan negatifnya, memiliki sejumlah arti yang hampir sama dalam keragaman komunitas masyarakat kita. Pornografi sering dikonotasikan dengan pertunjukan seks, cabul, bagian tubuh terlarang yang dipertontonkan (khususnya perempuan), dan segala bentuk aksi yang membuat pendengar atau indidu yang menyaksikan terangsang layaknya manusia normal. 33 Secara terminologi, pornografi merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris yang berasal dari kata dalam Bahasa Yunani ‘porne’ dan ‘graphos’ yang berarti
31
Gunawan, FX. R., 1993, Filsafat Pornografi, Bentang, Yogyakarta, hal. 15 Ibid, hal. 23 33 Tjipta Lesmana, Pornografi Dalam Media Massa Cet.I, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 1995, hal.109 32
Universitas Sumatera Utara
33 gambaran atau tulisan mengenai wanita jalang. Atau dalam arti lain adalah tulisan tentang wanita susila. Berikut ini beberapa definisi mengenai pornografi34:
Menurut definisi RUU Pornografi, "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi.
Oxford English Dictionary : Pornografi adalah pernyataan atau saran mengenai hal-hal yang mesum atau kurang sopan di dalam sastra atau seni. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pornografi merupakan satu
penyajian, baik dari visualisasi gambar, lukisan, foto, film, sampai diskripsi dalam tulisan, yang kesemua itu terdapat unsur seks, cabul maupun tingkah laku yang bisa membangkitkan nafsu birahi seseorang, sehingga (dengan dasar itu) dapat dikategorikan telah melecehkan hakekat dan martabat wanita, melanggar moral, ajaran agama, adat istiadat dan tradisi Memuat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 1 angka 1: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
34
Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya,
hal. 37
Universitas Sumatera Utara
34 melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga Negara.
3. Dampak Pornografi Pornografi merupakan salah satu bentuk eksploitasi seks dan karenanya mempunyai korelasi dengan kekerasan terhadap perempuan karena pornografi berdampak pada kekerasan domestik dan trafficking, pornografi sendiri merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menempat perempuan sebagai
Universitas Sumatera Utara
35 korban, namun pada saat yang bersamaan pornografi memposisikan perempuan sebagai pelaku (kriminalisasi) walau sebenarnya perempuan adalah sebagai korban (reviktimisasi).35 Lebih jauh lagi –secara khusus- pornografi juga dianggap sebagai salah bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan di media massa karena: (a) media dengan sengaja menggunakan objek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka, dengan demikian penggunaan pornomedia dilakukan secara terencana untuk mengabaikan, menistakan dan mencampakkan harkat manusia, khususnya perempuan, (b) objek pornomedia (umumnya tubuh perempuan) dijadikan sumber kapital yang dapat mendatangkan uang, sementara perempuan sendiri menjadi subjek yang disalahkan, (c) media massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan perusakan terhadap nilainilai pendidikan dan agama serta tidak bertanggungjawab terhadap efek negatif yang terjadi di masyarakat, (d) selama ini berbagai pendapat yang menyudutkan perempuan sebagai subyek yang bertanggungjawab atas pornomedia tidak pernah mendapat pembelaan dari media massa dengan alasan pemberitaan dari media harus berimbang, (e) media massa secara politik menempatkan perempuan sebagai bagian dari kekuasaan mereka secara umum.36 Dari ulasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan pornografi di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari jumlah akses terhadap situs porno yang dicatat melalui Googletrends yang menempatkan Indonesia pada urutan nomer dua di dunia. Hal ini tentu meresahkan bangsa. Sebab kemudahan akses terhadap pornografi ini pada akhirnya akan melahirkan perilaku-
35
Jeff Olson, 1999, Lepas Dari Jerat Pornografi (Seri Pemulihan Diri), Yogyakarta: Yayasan Gloria, hal. 28 36 Kemal Dermawan, Mohammed, Strategi Pencegahan Kejahatan Pornografi, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, hal 17
Universitas Sumatera Utara
36 perilaku menyimpang yang berujung pada dekadensi moral dan tindakan asusila. Berikut ini adalah beberapa dampak yang diakibatkan dari pornografi37: a. Resiko kultural (pergeseran nilai-nilai). Pornografi dapat mengubah pola hidup masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap pantas berdasarkan norma kesopanan maupun agama. Kemudahan akses terhadap pornografi dapat mempengaruhi pandangan umum atau masyarakat akan nilai-nilai kehidupan. Saat ini sudah bisa terlihat jelas akibat industri pornografi, banyak nilai-nilai budaya pada masyarakat tidak dihiraukan lagi, seperti hidupnya dunia malam yang identik dengan tempat-tempat pelacuran dan meningkatnya pelaku pornografi. b. Meningkatkanya kriminalitas. Melalui tayangan yang bersifat pornografi, seseorang dapat mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan apa yang dipamerkan dalam tayangan pornografi tersebut. Kesalahan penyaluran perilaku seksual ini dapat berujung pada tindak kriminalitas, seperti pemerkosaan, pencabulan, maupun tindak kekerasan, baik itu terhadap perempuan bahkan anak-anak di bawah umur. c. Resiko terhadap psikologis. Dari segi psikologis, seringnya mengkonsumsi tayangan yang bersifat pornografi dapat mengakibatkan kecanduan. Ada empat tahapan perkembangan kecanduan seksual pada konsumer pornografi : (1) Adiksi atau ketagihan, (2) Eskalasi, yaitu peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang semakin menyimpang, (3) Desentisisasi, yaitu semakin menipisnya sensitifitas, dan (4) Acting Out, yaitu ketika pecandu pornografi mulai melakukan tindak seksual. Pada tahap inilah tindakan asusila dan kriminalitas seksual dapat terjadi. 37
Op.Cit, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
37 Selain itu, pornografi dapat mengganggu perkembangan seksual anak-anak dan remaja atau kaum muda. Hal ini dapat mengakibatkan kecenderungan untuk berhubungan seksual sebagai aktivitas fisik semata bukan sebagai sesuatu hal yang sakral dalam ikatan pernikahan yang sah secara hukum dan agama. d. Resiko kesehatan. Berikut ini beberapa resiko kesehatan yang diakibatkan oleh Penyakit Menular Seks (PMS) akibat pornografi adalah Infeksi alat kelamin, komplikasi, penyakit alat kelamin dalam kronis, kanker kelamin, menular bayi dalam kandungan, dan HIV/ AIDS. Kecanduan pornografi juga dapat merusak fungsi dan struktur otak.
F. Metode Penelitian
Dalam penguraian dan penulisan skripsi ini, penlis mengumpulkan data yang diperlukan dengan menggunakan metode sebagai berikut : Penelitian Kepustakaan (Library Research) Dalam hal ini berusaha mengumpulkan data-data melalui sarana kepustakaan, yakni dengan cara mempelajari dan menganalisa secara sistematik buku-buku, peraturan-peraturan dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa subsub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut : BAB I
:
Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat
Universitas Sumatera Utara
38 Penulisan,
Keaslian
Penulisan,
Tinjauan
Kepustakaan,
Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II
:
Perkembangan Peraturan Yang Berkaitan Dengan Pornografi Sebelum Keluarnya Uu No.44 Tahun 2008. Dalam bab ini berisi tentang Pornografi kaitannya dengan UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, Pornografi Kaitannya dengan UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pornografi Kaitannya dengan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, Pornografi Kaitannya dengan UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
BAB III
:
Perbuatan Yang Termasuk Tindak Pidana Pornografi Menurut Uu No.44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Dalam bab ini berisi tentang Latar Belakang Lahirnya UU No.44 Tahun 2008, Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk kedalam lingkup tindak pidana pornografi, Sanksi Pidana menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
BAB IV
:
Aspek Hukum Pidana Video Porno Di Dalam Uu No.44 Tahun 2008. Dalam bab ini berisi tentang Penyebaran Video porno sebagai salah satu bentuk tindak pidana tindak pidana pornografi, Upaya Penegakan Hukum terhadap Video Porno Menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Beberapa contoh kasus.
BAB V
:
Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.
Universitas Sumatera Utara