BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Begitu pula dalam proses peradilan pidana, antara tersangka atau terdakwa dengan pelapor atau saksi korban dari suatu tindak pidana diharapkan mempunyai kedudukan yang sama dalam proses hukum dalam rangka mencari keadilan. Saksi korban dari suatu tindak pidanaakan memberikan kesaksian untuk mengungkap tindak pidana disamping dukungan dari alat bukti lain. Untuk memberantas suatu kejahatan harus ada kesaksian, dan untuk mendapatkan kesaksian yang benar diperlukan saksi dan/ atau saksi korban yang berani bersaksi secara jujur dalam mengungkap kebenaran tentang apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri. Pada banyak kasus tidak gampang untuk membuat seseorang bersedia menjadi saksi, apalagi pada kasus yang menyangkut kesusilaan seperti pemerkosaan.Hal tersebut dikarenakan adanya perasaan malu, takut dikriminalisasi, rasa takut disakiti, takut dibunuh dan sederet rasa takut lainnya. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan
1
2
hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan melaporkannya kepada pihak berwajib (penegak hukum) guna mendapatkan rasa keadilan, terlebih bagi korban dari suatu tindak pidana. Terjadinya berbagai tindak pidana dalam masyarakat merupakan suatu indikasi pula bahwa korban demi korban dari kejahatan itu juga terus berjatuhan dengan berbagai bentuk kerugian yang tidak terelakkan.Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri secara langsung. Jenis kerugian yang diderita korban bukan saja dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk penyembuhan luka fisik serta kemungkinan hilangnya pendapatan ataupun keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga kerugian yang bersifat nonfisik yang susah bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu menghantui, adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bisa timbul. Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tetapi justru tidak memperoleh perlindungan sebagaimana yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana sesuai yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak di pedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga terhadap korban kejahatan.
3
Dalam setiap penanganan perkara pidana, aparat penegak hukum (polisi, jaksa) sering kali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaanya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun materiil) dan kepentingan tertuduh atau tersangka sekalipun ia bersalah, tetapi ia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar, terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).1 Dalam
penyelesaian
perkara
pidana,
seringkali
hukum
terlalu
mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sementara hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut: ”Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban”2 Dalam penyelesaian perkara pidana, apabila dikaji dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif, pelaku kejahatan lebih mendapat perhatian seperti rehabilitasi, treatment of offenders, readapsi sosial, pemasyarakatan, dan lainlain.3Sedangkan korban kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai,
1
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2006, UrgensiPerlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II), hal. 24. 2
Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, Hal. 33. 3
C. Maya Indah S., 2014, Perlindungan Korban: Suatu persektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hal. 97.
4
baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun imateriil, sebagaimana Geis berpendapat :”Too much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims.” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.4 Korban tidak diberi kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan maupun dipersidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu kejahatan.5 Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, sering kali korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.6 Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai saksi dipersidangan, ia dikenakan sanksi. Jika disimak pasal demi pasal yang tertera pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), hanya mengatur tentang hak-hak tersangka, dan sangat tidak seimbang dengan hak-hak korban dari suatu tindak pidana, atau tidak diatur secara jelas apa yang menjadi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Pada KUHAP disana hanya mengatur tentang hak-hak tersangka sejak dalam proses
4
Chaerudin Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, hal. 47. 5
Ibid, hal. 49.
6
Ibid, hal. 51.
5
penyidikanhingga sampai dilakukan pemeriksaan ditingkat pengadilan. Ditingkat penyidikan, hak tersangka adalah untuk mendapatkan pendampingan dari penasehat hukum hingga hak tersangka untuk menuntut aparat penegak hukum(penyidik) melalui lembaga praperadilan ketika terjadi kesalahan atau ketidaksahan dalam hal adanya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, sedangkan hak tersangka ditingkat pengadilan adalah berhak mendapatkan pendampingan penasehat hukum, apalagi ancaman pidana bagi tersangka diatas 5 (lima) tahun menjadi kewajiban bagi negara untuk menyediakan Penasehat Hukum bagi tersangka secara cuma-cuma apabila tersangkanya tidak mampu membayar penasehat hukum. Selama ini keadilan dalam hukum pidana sudah dianggap ditegakkan apabila pelaku tindak pidana sudah dijatuhi sanksi pidana melalui putusan hakim di Pengadilan. Dengan kata lain, kerugian atau penderitaan korban dari suatu tindak pidana dianggap sudah diimpaskan, dibayar atau dipulihkan oleh pelaku tindak pidana apabila pelaku tindak pidana telah menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan.Sanksi pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan” kesalahan pelaku kepada negara daripada wujud pertanggungjawaban pelaku atas perbuatan jahatnya kepada korban. Mengenai kepentingan korban, apakah dengan di pidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya. Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Korban kejahatan adalah merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan atau kerugian akibat dari suatu tindak pidana, sedangkan pelaku adalah pihak yang
6
mendapatkan atau berusaha mendapatkan keuntungan dari kejahatannya, sebagai pihak yang mengalami penderitaan, korban justru sering dilupakan oleh aparat penegak hukum, khususnya polisi, jaksa dan hakim. Fokus perhatian dan energi aparat penegak hukum hampir selalu terkonsentrasi pada pelaku. Meskipun demikian apabila hal ini dianggap suatu kesalahan, maka kesalahan tersebut tidak seluruhnya dapat ditimpakan kepada aparat penegak hukum karena aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana menerapkan aturan hukum pidana yang selama ini menjadi acuan yang dipegang yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selebihnya hak korban dari suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya ada dalam hal untuk menuntut adanya penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan melalui lembaga praperadilan. Hukum pidana yang dibangun atas dasar fiksi hukum, negara mengambil alih peranan penuntutan yang menjadi hak korban dengan alasan untuk meminimalkan potensi pembalasan yang bersifat personal dan untuk pemidanaan yang tepat atas dasar pertimbangan rasional demi korban dan masyarakat secara keseluruhan.7Hak dari korban tindak pidana hanya diwakili oleh negara, pada tingkat pemeriksaan hak korban telah diwakili oleh penyidik (Polri), pada tingkat penuntutan hak korban diwakili oleh penuntut umum (Jaksa) dan pada tingkat persidangan hak korban telah diwakili oleh pengadilan (Hakim).Seperti halnya 7
G. Widiartana, 2014, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal 139.
7
peran jaksa penuntut umum untuk melakukan upaya hukum apabila putusan yang dijatuhi
oleh
hakim
terhadap
terdakwa
dirasa
tidak
memenuhi
rasa
keadilan.Kadangkala peranan negara untuk memperjuangkan hak korban dari suatu
tindak
pidana
dirasa
kurang
memuaskan,
karena
kemungkinan-
kemungkinan adanya ketidakseriusan dari aparat negara dalam hal ini jaksa penuntut umum untuk memperjuangkan hak korban tindak pidana baik melalui upaya hukum banding, upaya hukum kasasi maupun upaya hukum peninjauan kembali.Substansi maupun prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini dijalankan hampir tidak membawa manfaat apapun bagi pemulihan penderitaan korban. Menurut G. Widiartana, ada 2 (dua) alasan penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana tidak membawa manfaat bagi pemulihan penderitaan korban yaitu : Pertama, yaitu orientasi dalam pemidanaan lebih terfokus pada pelaku (offender oriented) sehingga penderitaan atau kerugian korban diabaikan; kedua, prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini dijalankan tidak memungkinkan bagi korban untuk turut serta secara aktif menentukan cara bagaimana konflik itu diselesaikan. Bahkan sikap dan tindakan aparat penegak hukum yang menjalankan prosedur penyelesaian perkara pidana seringkali justru menimbulkan penderitaan lain pada korban (secondary victimization).8 Berpegang pada alasan yang dikemukakan oleh G. Widiartana, kiranya pemerintah perlu membuat suatu kebijakan dibidang penegakan hukum pidana untuk memberikan solusi mendapatkan keadilan bagi korban suatu tindak pidana. Menurut Muladi, penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap: 8
Ibid, Hal. 135.
8
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif. 2. Tahap aplikasi yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif. 3. Tahap ekskusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan ekskutif atau administratif.9 Kebijakan dibidang penegakan hukum pidana dalam rangka memperoleh keadilan bagi korban tindak pidana hendaknya dimulai dari tahap formulasi atau tahap legislatif yang nantinya dapat dijadikan payung hukum bagi penegak hukum melaksanakan tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi atau tahap yudikatifmulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Tidak dapat dipungkiri, kedepannya nanti konflik atau pertikaian dalam kehidupan masyarakat akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat, baik yang terkait antara dua individu maupun lebih. Situasi ini akan semakin mempersulit dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Oleh karena itu, perlu dicari upaya-upaya lain dalam prosedur peradilan pidana yang sudah ada, agar masyarakat tidak hanya tergantung pada prosedur yang ada saat ini, namun tetap mendapatkan keadilan dan penyelesaian masalah terutama untuk korban sebagai pihak yang paling dirugikan atau menderita. Saat ini proses peradilan pidana merupakan konsep yang tidak memberikan perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan korban tindak pidana maupun pelaku tindak pidana. Robert Reif mengemukakan asumsi bahwa: 9
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 13.
9
“The problem of crime, always gets reduced to “what can be done about criminal”. No body asks, “what can be done about victims?” everyone assume the best way to help the victim is to catch the criminal as though the offender is the only souce of the victim trouble”. (suatu masalah dalam hukum pidana, selalu mereduksi “apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat” tidak seorangpun bertanya “apa yang dapat dilakukan terhadap korban”. Setiap orang berasumsi cara yang paling baik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku adalah sumber penderitaan korban).10 Konteks diatas, menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan penting eksistensinya.Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya hukuman kepada pelaku. Oleh karena itu, maka sistem peradilan pidana hendaknya menyesuaikan, menserasikan kualitas dan kuantitas penderitaan serta kerugian yang diderita korban, sehingga perlu diterapkan konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Konsep pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutahir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana.Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui
Basic
Principles yang telah digariskannya menilai bahwa, pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional.
10
Parman Soeparman, 2007, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, hal. 69.
10
Menurut Dr. Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.11 Dengan demikian, menurut penulis terkait dengan keadilan yang bisa diperoleh korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional dalam proses penegakan hukum di Indonesia belum diatur secara jelas dalam undangundang tersendiri sehingga disini ditemukan adanya kekosongan hukum dalam rangka mencari keadilan bagi korban suatu tindak pidana. Hak-hak korban dari suatu tindak pidana yang ada saat ini tersebar dalam berbagai undang-undang seperti ada pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seharusnya hak-hak korban dari suatu tindak pidana sudah mendapat perhatian yang sama dengan hak-hak tersangka, seperti hak untuk mendapatkan bantuan hukum baik diminta maupun tidak oleh korban. Hal ini penting mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita akibat kejahatan, sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat mengakibatkan pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan. 11
Eva Achjani Zulfa, 2009, “Definisi Keadilan Restoratif”, Restorative Center, URL: http://evacentre.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html, diakses tanggal 20 Februari 2016.
11
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengangkat tentang hak-hak korban dari suatu tindak pidana khususnya tindak pidana yang bersifat konvensional dalam judul penelitian tentang “KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA”
1.2
Rumusan Masalah Perumusan masalah ini penting dilakukan untuk dapat memfokuskan
permasalahan tersebut sehingga sasaran dan tujuan diharapkan dapat tercapai. Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik isu hukum atau permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana peran negara dalam proses peradilan pidana untuk memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional?
2.
Bagaimana wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana yang bersifat konvensional dalam proses peradilan pidana?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Setiap penulisan karya ilmiah perlu ditegaskan mengenai ruang lingkup
masalah tentang materi yang diuraikan sehingga jelas batasannya.Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Pada permasalahanpertama akan dibahas mengenai peran negara dalam hal ini Polisi selaku penyidik, Jaksa selaku jaksa penuntut umum, dan Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara atau kasus di
12
pengadilan dalam memenuhi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud disini adalah tindak pidana yang bersifat konvensional (tindak
pidana
yang
tercantum
dalam
KUHP),
bukan
tindak
pidana
khusus.Sedangkan dalam permasalahan kedua dibatasi dalam hal seperti apa wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana dalam proses peradilan pidana.
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan ini adalah: 1.
Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.
2.
Untuk melatih mahasiswa dalam usaha mengungkapkan pemikiran secara ilmiah melalui tulisan.
3.
Untuk dapat mengetahui batasan serta wujud keadilan restoratif bagi korban dari suatu tindak pidana dalam proses peradilan pidana.
1.4.2
Tujuan Khusus Tujuan Khusus dari penulisan ini adalah: 1.
Untuk mengetahui peran negara dalam proses peradilan pidana dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana.
2.
Untuk mengetahui wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana dalam proses peradilan pidana.
13
1.5
Manfaat Penelitian
a.
Manfaat Teoritis Seluruh hasil penelitian ini dibuat untuk memperolehgelar sarjana srata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Udayanadan dapat dijadikan sebagai bahan laporan bagi lembaga Fakultas HukumUniversitas Udayana serta dapat digunakan sebagai bahan refrensi pada perpustakaan.
b.
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan skripsi untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana di tahun-tahun berikutnya dan memberikan pengalaman belajar dan bekerja bagi mahasiswa sehingga mahasiswa mengetahui cara pembuatan skripsi dalam masalah hukum.
1.6
Landasan Teoritis Pemikiran-pemikiran revolusioner menghendaki perhatian terhadap korban
dalam suatu tindak pidana lebih proporsional, tidak saja mengenai peranannya dalam suatu tindak pidana tetapi juga tentang akibat tindak pidana tersebut bagi korban.12Pemikiran-pemikiran revolusioner akhirnya memunculkan adanya ilmu baru yang mempelajari tentang korban yang disebut dengan Viktimologi. Terpinggirkannya kepentingan korban dari suatu tindak pidana dalam penyelesaian perkara pidana melalui jalur hukum pidana (penal) tersebut tidak 12
Ibid, hal 142.
14
terlepas dari dominasi paradigma retributif dalam pembentukan dan penerapan hukum pidana. Dalam paradigma retributif, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan melanggar aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh negara untuk menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan kehidupan masyarakat.13 Konsep utama dari teori keadilan retributif adalah ganjaran atau hukuman balasan setimpal yang menunjukan prinsip bahwa pidana harus dijatuhkan kepada orang yang menurut rasa keadilan layak dipidana sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya, bukan tentang apa yang dianggap perlu untuk tujuan pencegahan atau rehabilitasi. Sedangkan paradigma restoratif memandang kejahatan bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban (viktimisasi).14Persepsi
tentang
kejahatan
menurut
paradigma
restoratif,
mengandung konsekuensi harus dipertimbangkan juga aspek korban dalam penanggulangan kejahatan, sehingga sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban. Muladi, memberikan argumentasi untuk mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan berdasarkan argumen kontrak sosial (social contract argument) dan argumen solidaritas sosial (social solidarity argument). “Yang pertama menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan 13
Ibid, hal 136.
14
Ibid, hal 138.
15
yang bersifat pribadi.Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut.Argumen yang kedua menyatakan bahwa, negara harus menjaga warganegaranya dalam memenuhi kebutuhannya apabila warganegaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara.Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak”.15 Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana, Muladi secara mendasar memperkenalkan dua model, yakni Model Hak-hak Prosedural (the procedural rights model) dan Model Pelayanan (the services model). “Pada model yang pertama penekanan diberikan pada dimungkinkannya si korban untuk memainkan peranan aktif didalam proses kriminal atau didalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingkatan sidang pengadilan dimana kepentingannya terkait didalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata”.16 “Selanjutnya pada model pelayanan (service model), penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasisebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain”.17 Mirian Liebman menyebutkan lima hal yang merupakan pendekatan dalam keadilan restoratif, yaitu:
15
Muladi, Op. Cit., hal 66.
16
Ibid, hal 67.
17
Ibid.
16
a. Prioritas utama merupakan dukungan dari korban dan pemulihan keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sistem peradilan pidana
secara
umum
merupakan
rangkaian
tindakan
seperti
mengidentifikasi pelaku, menangkap pelaku, menahan pelaku, mengadili dan lalu menghukum mereka. Padahal setelah Mirian melakukan riset kecil terhadap orang yang pernah menjadi korban dari suatu tindak pidana dan apa yang mereka inginkan, apa yang telah diambil oleh para pelaku tindak pidana dikembalikan kepada korban. Hal ini menandakan bahwa hukuman yang dijatuhi kepada pelaku tindak pidana tidak serta merta memulihkan perasaan para korban karena pada dasarnya yang diinginkan para korban dari penegak hukum adalah mendapat informasi dan pengertian apa yang sebenarnya terjadi, mendapat jawaban dari pertanyaan pertanyaan para korban dan mendapat barangnya kembali daripada penjatuhan hukuman kepada pelaku. b. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Pelaku tindak pidana telah mendapatkan sanksi atas apa yang telah diperbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang menjadi tanggungjawab atas perbuatannya. Sering terdengar bahwa para pelaku merasa telah selesai dengan hukuman yang telah dijalaninya, padahal dalam kenyataan dampak perbuatannya telah mengakibatkan kerugian materiil terhadap masyarakat atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya.Hal yang patut ditanamkan dalam
17
konsep keadilan restoratif adalah “Ya, saya telah melanggar hukum dan saya bertanggung jawab atas kerugian akibat perbuatan saya”.Itulah pandangan awal dari keadilan restoratif. c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu kesepahaman. Sejatinya, korban tindak pidana selalu dikelilingi oleh pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan perbuatan ini?apa tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? apakah pelaku akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitu pula dengan pelaku tindak pidana yang dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan ini. d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat dilakukan untuk bertanggung jawab atas kejahatan adalah dengan memulihkan kerugian yang di derita korban. e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas ada dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya adalah salah dan sangat merugikan orang lain sehingga ia akan mempertimbangkan untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi.18 Terkait dengan permasalahan yang diajukan diatas, maka landasan teoritis yang digunakan untuk menjawab permasalahan diatas adalah dengan melihat kejahatan dari paradigma restoratif.Paradigma restoratif memandang kejahatan bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban 18
Miriam Liebman, 2007, Restorative justice: How It Works, Jessica Kingsley Publishers, London, hal. 27 .
18
(viktimisasi).Sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban. Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana, lebih ditekankan pada Model Pelayanan (the services model) yang diperkenalkan oleh Muladi. Pada Model Pelayanan (service model), penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman aturan tersendiri dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain.
1.7
Metode Penelitian
a.
Jenis Penelitian Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif.Penelitian
hukum normatif bertujuan melakukan penelitian hukum dengan menelaah suatu perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
19
Penelitian hukum normatif mencoba menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif.19Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif sering juga disebut penelitian hukum dogmatik atau penelitian hukum teoritis (dogmatic or theoretical law research), yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu; aspek teori, aspek sejarah, aspek filosofi, aspek perbandingan, struktur, dan komposisi.20 Dari perspektif tujuannya, penelitian hukum normatif dibagi menjadi tujuh jenis, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
b.
Penelitian inventarisasi hukum positif Penelitian hukum klinis Penelitian asas-asas hukum Penelitian hukum yang mengkaji sistematika perundang-undangan Penelitian yang menelaah sinkronisasi suatu perundangundangan Penelitian perbandingan hukum Penelitian sejarah hukum.21
Jenis Pendekatan Berdasarkan buku pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana,
penelitian normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, antara lain: a.
Pendekatan Kasus (the case approach);
b
Pendekatan Perundang-undangan (the statute approach);
c.
Pendekatan Fakta (the fact approach);
19
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Hukum Normatif, Bayu Medik Publishing, Malang, hal. 57. 20
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bahakti, Bandung, hal. 101. 21
Amiruddin, H. Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 123.
20
d.
Pendekatan Analisa Konsep Hukum (analitycal &conseptual approach);
e.
Pendekatan Frasa (words & phrase approach);
f.
Pendekatan Sejarah (historical approach);
g.
Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
Adapun pendekatan terhadap permasalahan
dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) yang dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.22 Disamping itu juga dalam membahas permasalahan ini digunakan pendekatan analisa konsep hukum (analitycal conceptualapproach).Pendekatan analisa konsep hukumdilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada.23Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.Dalam menggunakan pendekatan analisa konsep hukum, peneliti perlu merujukprinsip-prinsip hukum.Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum.Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga ditemukan didalam undang-undang.Disamping dalam perundang-undangan, konsep hukum dapat juga ditemukan didalam putusan-putusan pengadilan.24
22
Ibid.
23
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal 137. 24
Ibid, hal. 139.
21
c.
Sumber Bahan Hukum Penulisan ini menggunakan penelitian normatif, sehingga bahan hukum
yang digunakan adalah sebagai berikut: 1.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat authoritative, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.25
2.
Bahan hukum sekunder terdiri dari; buku-buku teks (literature), kamus hukum, jurnal hukum, karya tulis dalam bentuk artikel yang berkaitan dengan hukum, serta bahan jurnal non hukum, seperti buku-buku ilmu politik, filsafat, dan jurnal non hukum lainnya sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian ini, serta internet.26
d.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/ Data Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan penelitian ini adalah
mencatat melalui sistem kartu terhadap data kepustakaan, yaitu berupa undangundang, artikel-artikel, putusan hakim, dan buku-buku referensi yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.
e.
Teknik Analisis Sebagaimana sifat penelitian hukum normatif karena yang dianalisis
bukanlah data tetapi bahan hukum yang diperoleh lewat penelusuran dengan 25
Ibid, hal. 144.
26
Ibid, hal. 141.
22
metode sebagaimana tersebut di atas, maka analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan: 1.
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
2.
Teknik evaluasi adalah penelitian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
3.
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
4.
Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.