BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pengaturan terhadap sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B. Dalam ketentuan tersebut juga mengatur bagaimana prinsip kewenangan yang dimiliki antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal yang menarik terdapat dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1), yang mengandung prinsip “negara mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa”. Ketentuan ini mendukung adanya daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa, baik daerah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, ataupun tingkat desa. Menurut Jimly Asshiddiqie, ketentuan dalam pasal tersebut telah mengubah bentuk negara Indonesia dari format negara kesatuan yang “kaku” ke arah format negara kesatuan yang lebih “dinamis”. Kedinamisan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat dalam dinamika hubungan antara pusat dan daerah, yang dimungkinkan untuk dikembangkannya kebijakan otonomi yang bersifat pluralis, dalam arti bahwa untuk setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda.1 Konsep adanya penerapan otonomi yang berbeda-beda dalam suatu daerah di Indonesia semacam itu yang kemudian dikenal sebagai konsep desentralisasi 1
Jimly Asshidiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 275.
1
2
asimetris (asymetrical decentralization). Konsekuensi terhadap pengejawantahan isi dari Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah diberlakukannya konsep desentralisasi asimetris dalam hubungan pemerintah pusat (central government) dengan pemerintah daerah (local government) di Indonesia. Perwujudan desentralisasi asimetris (asymetrical decentralization) dapat dilihat dengan adanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki pengaturan terkait pemerintahan daerah yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Setidaknya terdapat 4 (empat) daerah di tingkat provinsi yang memiliki kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Salah satu daerah otonomi khusus yang dimaksud adalah Provinsi Aceh. Pada tanggal 15 Agustus 2005 diselenggarakan penjanjian Helsinki yang kemudian melahirkan MoU Helsinki yang merupakan suatu nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Berangkat dari nota kesepahaman tersebut, tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2006 dibentuklah Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.2 Undang-undang tersebut dapat dikatakan babak baru dalam pengaturan kekhususan yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh. Undang-undang tersebut terdiri dari 40 Bab dan 273 Pasal yang mengatur berbagai aspek dalam Pemerintahan Aceh. Mulai dari pembagian daerah di Aceh, proses pemilihan kepala daerah, pengakuan adanya partai lokal Aceh, adanya Qonun Aceh sebagai peraturan daerah Pemerintahan Aceh, aspek keuangan dalam Pemerintahan Aceh dan lain sebagainya yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh.
2
Ni’Matul Huda, 2014, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI, Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah khusus dan Otonomi Khusus, Nusa Media, Bandung, hlm. 252.
3
Dapat dikatakan bahwasanya dalam konteks resolusi konflik yang ada di Aceh, Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berhasil mengatasinya dengan berbagai kekhususan yang diberikan bagi Pemerintahan Aceh. Persoalan justru muncul terhadap beberapa ketentuan yang ada di dalam undang-undang tersebut, khususnya ketentuan yang terkait dengan sumber pendapatan Pemerintahan Aceh dalam mengelola daerahnya. Pengaturan sumber pendapatan bagi Pemerintahan Aceh terdapat dalam ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh: Pasal 179 (1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. (2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; c. Dana Otonomi Khusus; dan d. lain-lain pendapatan yang sah. Pasal 183 (1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. (2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Sesuai ketentuan pasal tersebut, salah satu sumber pendapatan daerah bagi Pemerintahan Aceh pada Pasal 179 ayat (2) huruf c yaitu Dana Otonomi Khusus. Pasal 183 ayat (1) menjelaskan terkait dengan sektor pemanfaatannya, dan ayat
4
(2) menjelaskan jangka waktu pemberian dana otonomi khusus bagi Pemerintah Aceh. Pasal 183 ayat (2) tersebut menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh mendapatkan alokasi dana otonomi khusus selama kurun waktu 20 tahun, dimulai tahun 2008 dan berakhir tahun 2028. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga memuat ketentuan terkait alokasi dana otonomi khusus yang terdapat pada Pasal 285 ayat (2) dan Pasal 288 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Konsekuensi terhadap ketentuan tersebut pemerintah pusat berkewajiban mengalokasikan dana otonomi khusus dalam APBN setiap tahunnya yang diberikan kepada Pemerintahan Aceh sebagai salah satu sumber pendapatan daerahnya. Pengalokasian dana otonomi khusus bagi Pemerintah Aceh memberikan kesenjangan terhadap sumber pendapatan daerah-daeran lain yang notabene bukan merupakan daerah otonomi khusus. Ketentuan dalam pasal tersebut yang mengharuskan pemberian alokasi sejumlah dana yang digunakan sebagai salah satu sumber pendapatan Pemerintah Aceh menimbulkan kecemburuan bagi daerah-daerah lain yang terkadang justru lebih membutuhkan dana tersebut. Besaran dana otonomi khusus yang diterima Provinsi Aceh pada tahun 2015, sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2015, pada Pasal 11 ayat (1) huruf b dijelaskan bahwa:
5
Alokasi
Dana
Otonomi
Khusus
Provinsi
Aceh
sebesar
Rp.
7.057.756.971.000,00 (tujuh triliun lima puluh tujuh miliar tujuh ratus lima puluh enam juta sembilan ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).
Dana tersebut menjadi tambahan dana transfer dari pusat bagi pemerintah daerah Aceh selain dana transfer berupa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana otonomi khusus yang diterima Aceh tersebut juga telah ditentukan penggunaannya. Setidaknya kurun waktu 20 tahun kedepan Pemerintah Aceh setiap tahunnya akan mendapatkan dana otonomi khusus yang dialokasikan dari APBN. Daerah-daerah lain yang bukan merupakan daerah otonomi khusus tidak akan mendapatkan dana tambahan tersebut.Padahal dana otonomi khusus tersebut merupakan alokasi dana yang diambil dari Dana Alokasi Umum secara nasional. Dalam hal ini yang lebih menjadi persoalan lagi terjadi terhadap pemerataan kesejahteraan, melihat dasar ketentuan dalam pemberian dana otonomi khusus tersebut bagi Pemerintah Aceh akan selalu diberikan dan tidak tergantung pada tingkat penyerapan anggaran di tahun sebelumnya ataupun jenis program pemerintah Aceh yang akan dilakukan. Pemerintah Aceh tetap akan mendapatkan dana otonomi khusus tersebut walaupun pada tahun sebelumnya penyerapannya sangatlah rendah. Selain itu juga, ketika pemerintah Aceh sudah tidak terlalu membutuhkan dana tersebut, pemeritah pusat dengan dasar ketentuan tersebut, melalui APBN akan tetap menganggarkan dana otonomi khusus bagi Pemerintah Aceh. Daerah-daerah lain masih banyak yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tergolong kecil dan lebih membutuhkan dana tambahan
6
bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakatnya. Ketentuan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, seakan menutup mata terhadap persoalan tersebut. Tujuan Indonesia sebagai negara kesejahteraan yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alenia IV salah satunya menyebutkan,melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika dihubungkan dengan bunyi Sila ke-5 Pancasila, sehingga jelas arahan umum itu menjadi,memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia3 memiliki implikasi bahwasanya Negara Republik Indonesia memiliki tanggungjawab untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia yang tersebar di seluruh daerah-daerah di Indonesia, jadi bukan hanya kesejahteraan dan keadilan bagi individu, golongan atau sekelompok tertentu saja. Dalam konteks ini, tidak terkecuali pada penyelenggaraan sistem Pemerintahan Daerah, lebih khusus terhadap pengaturan daerah yang bersifat khusus/istimewa di Indonesia. Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang merupakan dasar konstitusionalitas pengakuan terhadap daerah yang bersifat khusus/istimewa di Indonesia, dalam penerapannya juga harus memiliki semangat dalam mewujudkan tujuan kehidupan berbangsa 3
Made Gde Subha Karma Resen, 2015, “Pengaturan Badan Usaha Milik Daerah Berdasarkan Good Governance dan Good Corporate Governance”, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 127.
7
dan bernegara yang salah satunya yaitu mewujudkan tujuan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia dalam hal ini juga dapat dipahami dalam hal pemberian anggaran dana bagi setiap daerah secara adil dan merata sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, sehingga
setiap
daerah
dapat
mewujudkan
kesejahteraan
bagi
setiap
masyarakatnya. W. Riawan Tjandra menyebutkan bahwa salah satu tujuan pokok negara kesejahteraan yaitu menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata.4 Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie5 menegaskan dalam bukunya, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat disebut sebagai Konstitusi Keadilan Sosial (Social Justice Constitution), sehingga semua norma yang tercermin dalam pelbagai kebijakan dan peraturan perundangundangan dan semua tindakan pemerintahan yang tercermin dalam program pembangunan disertai anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah masing-masing, hendaklah diorientasikan untuk meningkatkan kualitas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Argumentasi tersebut dapatlah dipahami bahwa tidaklah dibenarkan apabila terdapat peraturan perundang-undangan atau ketentuan di dalamnya, ataupun kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi pada peningkatan kualitas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, atau hanya berorientasi pada kesejahteraan sebagian atau golongan tertentu saja. Keadaan tersebut menjadikan penulis tertarik untuk menulis bagaimana ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang 4
W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 6. 5 Jimly Asshidiqqie, 2015, Gagasan Konstitusi Sosial, Penerbit: LP3ES, Jakarta, hlm. 88-89.
8
Pemerintahan Aceh dan juga melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar pengalokasian dana otonomi khusus bagi Pemerintah Aceh, apabila dikaitkan dengan perwujudan tujuan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Judul yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah “PENERAPAN PRINSIP NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) DALAM PEMBERIAN DANA OTONOMI KHUSUS BAGI PEMERINTAH ACEH”. B. Rumusan Masalah 1. Apakah ketentuan pemberian dana otonomi khusus bagi Pemerintah Aceh sudah sesuai dengan penerapan prinsip negara kesejahteraan (welfare state)? 2. Bagaimanakah implikasi penerapan prinsip negara kesejahteraan (welfare state) terhadap ketentuan pemberian dana otonomi khusus bagi Pemerintah Aceh? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif Tujuan obyektif dari penelitian yang dilakukan adalah untuk: a. Mengetahui dan menganalisis kesesuaian ketentuan pemberian dana otonomi khusus bagi Pemerintah Aceh dalam penerapan prinsip negara kesejahteraan (welfare state).
9
b. Mengetahui dan menganalisis implikasi yang muncul pada penerapan prinsip negara kesejahteraan (welfare state) terhadap ketentuan pemberian Dana Otonomi Khusus bagi Pemerintah Aceh. 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang berhubungan dengan objek yang diteliti guna menyusun tesis sebagai syarat dalam memperoleh gelar Magister Hukum pada Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya yang berkaitan dengan hukum ketatanegaraan 2. Manfaat Praktis Memberikan gambaran yang jelas terkait dengan ketentuan yang mengatur pemberian Dana Otonomi Khusus bagi Pemerintah Aceh dan diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman kepada pihak-pihak terkait yang berkepentingan terhadap ketentuan yang mengatur pemberian Dana Otonomi Khusus bagi Pemerintah Aceh
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan penulis terkait dengan penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Dana Otonomi Khusus bagi
10
Pemerintah Aceh, ditemukan beberapa judul penelitian. Diantara penelitian tersebut yaitu penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Hijrah Saputra,6 dalam Skripsinya yang berjudul “Pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh”. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Aceh pada tahun 2009-2012. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Aceh. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode regresi linear panel data dengan menggunakan Fixed Effect Model. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa Dana Otsus mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia, dimana peningkatan Dana Otsus beriringan dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa peningkatan Dana Otsus berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia di 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Taufieq,7 dalam Tesisnya yang berjudul “Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus di Kabupaten/Kota Terhadap PDRB: Kasus Provinsi Aceh”. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, apakah benar Dana Perimbangan (DAU, DAK, DBH) yang ditansfer dari pusat ke kabupaten/kota dan penggunaannya diatur oleh
6
Muhammad Hijrah Saputra, 2014, “Pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh”, Skripsi, Fakultas Ekonomi: Universitas Syah Kuala, Aceh. 7 Muhammad Taufieq, 2013, “Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus di Kabupaten/Kota Terhadap PDRB: Kasus Provinsi Aceh”, Tesis, Fakultas Ekonomi: Unversitas Indonesia, Jakarta.
11
kabupaten/kota itu sendiri memiliki pengaruh yang kecil terhadap perekonomian (PDRB) di kabupaten/kota Provinsi Aceh, dan apakah benar dana Otonomi Khusus (OTSUS) dan Tambahan Dana Bagi Hasil (TDBH) yang ditansfer dari pusat ke provinsi dan alokasi serta penggunaannya di kabupaten/kota ditentukan oleh provinsi memiliki pengaruh yang kecil terhadap perekonomian (PDRB) di kabupaten/kota Provinsi Aceh. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengestimasi besarnya pengaruh dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat melalui provinsi (dana otonomi khusus dan tambahan dana bagi hasil) yang penggunaan dananya untuk kabupaten/kota terhadap PDRB dan dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat langsung ke kabupaten/kota terhadap PDRB. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan data panel terhadap 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat melalui provinsi (OTSUS dan TDBH) yang penggunaan dananyatersebut dilakukan untuk kabupaten/kota masih belum efektif. Penelitian yang dilakukan oleh Musliadi8, dalam Tesisnya yang berjudul “Analisis Pengaruh Dana Otonomi Khusus, Pendapatan Daerah, dan Belanja Modal Terhadap Kemiskinan Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2008-2012”. Rumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya, apakah dana otonomi khusus berpengaruh terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi
Aceh,
apakah
pendapatan
asli
daerah
berpengaruh
terhadap
kemiskinanpada kabupaten/kota di Provinsi Aceh, dan apakah belanja modal 8
Musliadi, 2013, “Analisis Pengaruh Dana Otonomi Khusus, Pendapatan Daerah, dan Belanja Modal Terhadap Kemiskinan Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2008-2012”, Tesis, Fakultas Ekonomika dan Bisnis: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
berpengaruh terhadap kemiskinan padakabupaten/kota di Provinsi Aceh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dana otonomi khusus, Pendapatan asli daerah, dan belanja modal terhadap perubahan kemiskinan. Dalam penelitian ini digunakan metode regresi fixed effect model dengan generalized least squares. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa dana otonomi khusus, pendapatan asli daerah, dan belanja modal berpengaruh negatif secara signifikan terhadap perubahan kemiskinan di kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Penelitian yang dilakukan oleh Ira Zuhria P,
9
dalam Tesisnya yang
berjudul “Analisis Dana Otonomi Khusus, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Terhadap Tingkat Kesejahteraan”. Rumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya, apakah dana otonomi khusus berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, apakah pendapatan asli daerah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, dan apakah belanja modal berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas penyaluran Dana
Otonomi
Khusus
(DOK),
apakahtelah
mewujudkan
tujuan
dari
penyelenggaraan wilayah otonomi khusus. Selain itu juga kaitannya dengan pemanfaatan dana otonomi khusus, pendapatan asli daerah dan belanja modal apakah sudah dapat meningkatkan kesejahteraan. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan sampel nonprobabilitas bertujuan khusus. Dalam penelitian ini dihasilkan bahwasanya penyaluran dana otonomi khusus yang diberikan kepada daerah otonomi khusus (Aceh, Papua dan Papua Barat) 9
Ira Zuhria P, 2015, “Analisis Dana Otonomi Khusus, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Terhadap Tingkat Kesejahteraan”, Tesis, Fakultas Ekonomika dan Bisnis: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
belum secara efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sehingga perlu
dilakukan
perbaikan
dalam
hal
regulasi
ataupun
implementasi
penggunaannya. Penelitian yang secara spesifik meneliti pemberian Dana Otonomi Khusus bagi Pemerintah Aceh berkaitan dengan upaya mewujudkan prinsip Negara Kesejahteraan (welfare state) di Indonesia, belum pernah dilakukan. Dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis akan diteliti yang terkait dengan perwujudan prinsip Negara Kesejahteraan (welfare state) dalam pemberian Dana Otonomi Khusus bagi Pemerintah Aceh. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah terkait dengan apakah pemberian Dana Otonomi Khusus bagi Pemerintah Aceh sejalan dengan perwujudan prinsip Negara Kesejahteraan (welfare state) di Indonesia.