1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang
dasar
negara
Republik
Indonesia
tahun
1945
mengamanatkan diselenggarakan otonomi seluas-luasnya dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Pembangunan daerah melalui otonomi daerah di Indonesia diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan dan perimbangan keuangan. Dalam perimbangan keuangan, pengaturan pembagian dana dari pusat ke daerah harus diatur sedemikian rupa, sesuai kondisi daerah tersebut, sehingga diharapkan kesenjangan pendanaan antar pemerintah daerah bisa dikurangi. Pendanaan penyelenggaraan pemerintah daerah diatur agar terlaksana secara efektif dan efisien. Penyelenggaraan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari APBD (Fokus Media, 2004:296-297). Dalam undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebutkan bahwa : Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi/kapasitas, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
2
Adanya kewenangan yang dimiliki daerah dalam era otonomi daerah, memberikan konsekuensi adanya tuntutan peningkatan kemandirian daerah. Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan
masyarakat).
Untuk
itu,
pemerintah
daerah
harus
lebih
berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, dengan melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik (Lin dan Liu, 2000 dalam Priyo Hari Adi, 2008 ). Jika peningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud, maka kinerja/kemampuan keuangan daerah juga dapat meningkat. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Kemandirian daerah salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Priyo Hari Adi, 2008 ). Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat dengan cara desentralisasi, perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan. Pendanaan pemerintah daerah oleh pemerintah pusat, dilakukan dengan cara transfer bantuan menggunakan dana yang tercantum dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), yang tersedia dalam berbagai bentuk dana bantuan yang diberikan dengan persentase tertentu yang diatur dalam undang-undang (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2004).
3
Pemberian transfer pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi pendorong peningkatan upaya peningkatan PAD. Daerah menjadi lebih leluasa melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam rangka peningkatan PAD, baik melalui pajak maupun retribusi daerah dikarenakan adanya dukungan pembiayaan yang memadai (Priyo Hari Adi, 2008 ). Dalam APKASI (2001) disebutkan bahwa, langkah awal pelaksanaan otonomi daerah ini menghadapi berbagai permasalahan yang sangat kompleks. Mulai dari kewenangan daerah, dana perimbangan keuangan, disintegrasi nasional, masalah kepegawaian, kerawanan pengelolaan SDA, dan sebagainya. Selain itu, menurut Machfud Sidik (2007:5), permasalahan muncul dari dibentuknya daerah-daerah otonomi baru yang berdampak pada peningkatan permintaan pendanaan pada anggaran tahunan pemerintah pusat. Hal senada diutarakan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, sebagai berikut : Daerah otonom seharusnya memiliki kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangan sendiri, selama ini daerah selalu bergantung pada bantuan dari pusat, padahal jika hal ini terjadi secara terus menerus akan menimbulkan beban kepada keuangan anggaran negara, serta memberikan dampak penurunan anggaran terhadap seluruh pemerintah daerah lain, karena akan menurunkan penyebaran Dana Alokasi Umum (DAU) secara proporsional bagi daerah lain (Iqbal Fadil, 2007). Dalam Kompas (2000) disebutkan bahwa, selama ini peranan/kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat lebih mendominasi pos pendapatan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD), seperti yang terlihat pada tabel 1.1.
4
Tabel 1.1 Estimasi Pendapatan Daerah Tahun 2006 (dalam miliaran rupiah)
Keterangan PAD DBH DAU
Provinsi 29.980 20.660 14.570
Kabupaten/Kota 12.880 38.900 131.090
Total 42.860 59.563,7 145.664,2
Sumber : Machfud Sidik (2007:395)
Dari Tabel 1.1 daerah provinsi lebih banyak menerima transfer dari pusat dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), daripada alokasi DAU. Sebaliknya, daerah kabupaten/kota mendapat alokasi DAU yang besarnya jauh melebihi DAU untuk provinsi. Daerah sangat bergantung pada transfer dari pemerintah pusat untuk mendanai pemerintahannya, terbukti dari total DAU yang dialokasikan, besarnya jauh melebihi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari tabel 1.1 juga terlihat bahwa PAD lebih berkontribusi pada daerah provinsi daripada kabupaten/kota. PAD yang kecil bila dibandingkan pendapatan di luar PAD, menunjukkan pengelolaan keuangan daerah yang belum optimal (Hadi Purnama, 2005). Sumber pendanaan daerah yang berasal dari transfer pemerintah pusat, diberikan sesuai kapasitas fiskal daerah tersebut. Menurut Lesta Karolina Sebayang (2006), dana tersebut diberikan kepada daerah agar pembangunan daerah melalui penyediaan pelayanan publiknya menjadi lebih baik. Menurut Priyo Hari Adi (2008), pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan persoalan baru Salah satu penyebabnya adalah, perbedaan kapasitas fiskal antar daerah (adanya disparitas fiskal horizontal).
5
Kapasitas fiskal daerah adalah, “sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil”. “Daerah dengan kapasitas fiskal tinggi tetapi kebutuhan fiskalnya kecil, akan memperoleh transfer dana dari pusat dalam bentuk DAU dengan jumlah relatif kecil…” (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2004). Pengertian DAU menurut undang-undang nomor 33 tahun 2004 adalah : Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2004). DAU merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dan disisi lain juga sebagai sumber pembiayaan daerah. Hal ini berarti pemberian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi justru akan mendapat jumlah DAU yang lebih kecil, sehingga diharapkan dapat mengurangi disparitas fiskal antar daerah (Priyo Hari Adi, 2008). Provinsi Jawa Barat terdiri dari daerah kabupaten dan kota. Pemekaran daerah yang terjadi di provinsi ini semakin menambah jumlah kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat. Selain itu, pemekaran wilayah akan menambah secara drastis jumlah total dana DAU karena beban fungsi dasar yang harus disediakan (Adrian T.P. Panggabean et.al., 1999). Salah satu Kota di Provinsi Jawa Barat adalah Bandung. Penerimaan pajak parkir dan retribusi parkir dari tempat-tempat wisata dan belanja di kota ini telah terkomputerisasi. Tujuannya agar setoran dari penerimaan daerah tersebut, sampai ke kas daerah dan menambah PAD Kota Bandung (Pikiran Rakyat, 2007).
6
Daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat adalah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan yang sering disebut sebagai “Ciayumajakuning” atau wilayah 3 Jabar, telah memberikan banyak kontribusi PAD pada provinsi. Tapi dari sisi pembangunan infrastruktur selalu dideskriditkan. Sehingga seperti pada kabupaten/kota lainnya di Indonesia, pembangunan Kabupaten/Kota di Jawa Barat masih belum merata (Andrian Fauzi, 2008). Pembangunan di Jawa Barat lebih difokuskan di Kota Bandung. Selain sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung juga telah menjadi daya tarik kunjungan wisatawan untuk berwisata dan belanja. Terutama dengan seiring berkembangnya industri kreatif yang tumbuh subur di kota ini. Masalah yang berhubungan dengan optimalisasi potensi daerah menurut Machfud Sidik (2002), terletak pada pola sistem bagi hasil yang digunakan. Pola sistem bagi hasil yang digunakan saat ini, berpotensi mempertajam ketimpangan horizontal yang dialami antara daerah penghasil dan bukan penghasil. Hal ini disebabkan karena hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari sektor pajak, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja. Menurut Nanga (Priyo Hari Adi, 2008), pemberian transfer dalam jangka pendek berfungsi untuk mengatasi ketidaksiapan fiskal daerah dalam berbagai pembiayaan daerah. Pemberian transfer didasarkan pada kapasitas fiskal daerah, semakin tinggi kapasitas fiskal daerah, maka transfer yang diterima menjadi
7
semakin rendah. Kebijakan ini disatu sisi bisa mengatasi ketidakseimbangan fiskal horizontal, namun disisi lain justru bisa menyebabkan kemalasan fiskal daerah. Daerah tidak terpacu untuk meningkatkan potensi lokalnya dengan meningkatkan PAD, dikarenakan hal ini bisa berimbas pada penurunan penerimaan DAU. Transfer pemerintah pusat seharusnya menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya. Kebijakan pemberian transfer diindikasikan tidak mendorong daerah untuk
meningkatkan
kapasitas
fiskal,
tetapi
justru
sebaliknya.
Daerah
menunjukkan ketergantungan yang lebih tinggi terhadap pemerintah pusat. Kemandirian daerah yang menjadi tujuan otonomi daerah justru semakin jauh dari harapan. Pemerintah pusat perlu memformulasi kebijakan pemberian DAU yang benar-benar dapat menjadi insentif bagi peningkatan kapasitas fiskal daerah namun disini lain tetap bisa mengatasi persoalan konvergensi fiskal horizontal (Priyo Hari Adi, 2008). Nagathan dan Sigvagnanam (Priyo Hari Adi, 2008), memberikan fakta empirik bahwa pemberian transfer yang terencana justru memberikan pengaruh negatif terhadap upaya pengumpulan pajak di tingkat lokal (daerah). Fenomena kemalasan fiskal semacam ini bisa jadi disebabkan adanya kebijakan yang kurang menguntungkan, yaitu adanya pengurangan transfer pemerintah pusat apabila daerah mengalami peningkatan kapasitas fiskal.
8
Transfer dana dari pusat dalam bentuk DAU telah melahirkan banyak persoalan, dimulai dari formulasi penghitungannya yang tidak disetujui banyak pihak, sampai transparansi penggunaannya. Saat ini sebesar 99,9% DAU dipakai untuk mencukupi penggajian aparatur di daerah, dengan kondisi demikian, maka alokasi untuk pelayanan publik akan terabaikan (Sinoeng N. Rachmadi, 1996). Padahal menurut Lesta Karolina Sebayang (2006), idealnya diharapkan konsep desentralisasi berupa perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, mampu memperbaiki dan meningkatkan pembangunan daerah melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih baik. Sedangkan menurut Siti Atikoh (2008), DAU masih belum bisa mengatasi masalah fiscal imbalances antar daerah di Indonesia. Dalam hubungannya antara komponen-komponen kapasitas fiskal dan DAU, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Machfud Sidik (2007:404) pada seluruh provinsi yang ada di Indonesia, telah menghasilkan informasi berupa, setiap 1% kenaikan PAD, maka DAU akan menurun sebesar 0,14%. Setiap 1% kenaikan DBH pajak, akan menurunkan DAU sebesar 0,34%, dan setiap 1% kenaikan DBH SDA, akan menurunkan DAU sebesar 0,03%. Dengan demikian, hubungan antara komponen-komponen kapasitas fiskal (PAD dan DBH), terhadap DAU adalah negatif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Dana Bagi Hasil pajak merupakan komponen kapasitas fiskal yang menurunkan DAU dengan persentase terbesar, untuk setiap 1% kenaikannya. Menurut Robby Alexander Sirait (2009), disparitas antar daerah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketidakmerataan dalam hal penguasaan
9
Sumber Daya Alam atau sumber penerimaan antara daerah satu dan daerah lainnya. Kapasitas fiskal mempengaruhi DAU yang dialokasikan pemerintah pusat ke daerah, karena merupakan bagian dari formula penghitungan DAU. Undang-undang nomor 33 tahun 2004 menyiratkan bahwa, kapasitas fiskal berpengaruh terhadap DAU yang akan diterima oleh setiap daerah. Akan tetapi, seberapa besar pengaruh tersebut pada kabupaten/kota di Jawa Barat masih belum diketahui. Meskipun variabel-variabel kapasitas fiskal dan DAU cukup jelas, namun muncul berbagai persoalan dalam implementasinya, misalnya adanya keluhan sebagian daerah bahwa alokasi DAU yang diterimanya terlalu kecil. Mengenai hal ini, Raksaka Mahi (2003) berpendapat bahwa, hendaknya daerah menyadari bahwa DAU bukanlah satu-satunya dana yang krusial dalam pelaksanaan otonomi daerah. Masih banyak sumber-sumber penerimaan daerah lainnya yang harus diperhitungkan dalam membiayai urusan di daerah. Sehingga, pemahaman formula suatu keseimbangan keuangan daerah, sangat diperlukan. Menurut Samhadi (2005) seperti yang dikutip Priyo Hari Adi (2008), ‘sejak diberlakukannya otonomi daerah pemerintah berupaya melakukan perbaikan terhadap formulasi DAU dengan tujuan untuk lebih memenuhi rasa keadilan, pemerataan serta merangsang kapasitas dan potensi PAD’. Meskipun DAU diberikan untuk melindungi ketidakadilan dan diberikan sesuai kapasitas fiskal masing-masing daerah, pada kenyataannya yang terjadi sekarang adalah, ketidakpuasan beberapa provinsi atas DAU yang mereka terima.
10
Dalam pelaksanaan pengalokasian DAU banyak daerah yang merasa tidak puas karena menerima DAU relatif kecil (Soejono, 2008). Ada banyak faktor yang mempengaruhi besaran DAU yang diterima oleh daerah, salah satunya adalah kapasitas fiskal. Provinsi Riau tidak puas dengan formula DAU yang sudah ada. Alasannya karena kapasitas fiskal tinggi yang dimilikinya berimbas pada DAU yang diterimanya relatif kecil (Dumai Pos online, 2009). Menurut Priyo Hari Adi (2008), ketika kapasitas fiskal daerah menjadi semakin tinggi maka DAU yang diterima akan menjadi semakin kecil. Hal inilah yang kemungkinan dihindari, daerah lebih memilih tidak mengalami peningkatan fiskal daripada mendapat potongan DAU dalam jumlah yang besar. Selama ini sistem alokasi di Indonesia lebih menekankan pada upaya mengkompensasi perbedaan dalam kebutuhan (needs equalization) dan bukan pada upaya mengkompensasi perbedaan dalam potensi ekonomi (revenue capacity /fiscal capacity). Sehingga akibatnya efek dana bantuan selalu cenderung bersifat lemah. Berbeda dengan negara lain seperti Kanada misalnya, yang memiliki bantuan program untuk pemerataan (Canadian equalization program). Bantuan ini seperti DAU, ditujukan untuk mendukung dicapainya suatu tingkat pelayanan publik tertentu, sesuai dengan kemampuan perpajakan daerah. Dengan demikian, model alokasi dana ini menekankan pada pentingnya kapasitas fiskal suatu daerah sebagai penentu besarnya alokasi (Adrian T.P. Panggabean et.al., 1999).
11
Berdasarkan uraian tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah penulis utarakan sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana gambaran umum kapasitas fiskal pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 2) Bagaimana gambaran umum Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 3) Seberapa besar pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
12
1.3.1
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini secara umum, untuk memperoleh gambaran
yang jelas dan aktual tentang ”Pengaruh Kapasitas Fiskal terhadap Dana Alokasi Umum Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Barat” Adapun tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui gambaran umum kapasitas fiskal pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat 2) Untuk
mengetahui
gambaran
umum
Dana
Alokasi
Umum
pada
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 3) Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
1.3.2
Manfaat Penelitian Berdasarkan
masalah-masalah
yang
telah
dirumuskan,
manfaat
penelitian ini adalah : 1) Manfaat Teoritis Diharapkan dapat menguji keberlakuan teori-teori Akuntansi Keuangan, khususnya mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan wawasan perbendaharaan keilmuan Akuntansi Sektor Publik, tepatnya mengenai pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Selain
13
itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya 2) Manfaat Praktis Adapun kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam penentuan formula alokasi DAU.