1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Seni merupakan salah satu karya cipta manusia yang memiliki berbagai
macam bentuk, yang sudah diciptakan sejak zaman purbakala. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “seni” adalah keahlian membuat karya yang bermutu.1 Menurut Sudarsono seni merupakan segala macam keindahan yang diciptakan oleh manusia, dan seni tersebut telah menyatu dalam kehidupan seharihari setiap manusia, baik bagi dirinya sendiri maupun dalam bermasyarakat. Menurut Sumarjo seni merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar, maupun dilihat dan didengar. Dengan kata lain, seni adalah isi jiwa seniman (pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan gagasannya.2 Jika melihat pengertian di atas, seni dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diciptakan manusia sebagai hasil dari isi jiwanya (perasaan, intuisi, pikiran dan gagasan), yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar maupun dilihat dan didengar, dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari setiap manusia. Seni yang berwujud atau yang dapat dilihat selain penciptanya baik secara kasat mata maupun tidak disebut dengan karya seni. Karya seni yang dianggap paling awal adalah cap-cap telapak tangan di dinding goa yang biasanya berwarna 1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), p. 1037. 2 Dikutip dari makalah H Aprilia Noor “Permainan Kesenian Musik Tradisional”, p.7, diunduh dari google dengan alamat : eprints.uny.ac.id/8148/3/ BAB 207208241025.pdf (diunduh pada tanggal 1 Novermber 2014).
1
2
merah, hitam, atau putih.3 Kemudian seiring dengan zaman dan kekompleksitasan hidup manusia maka seni pun ikut berkembang. Segala hal yang berkaitan dengan seni disebut dengan kesenian. Kesenian memiliki arti yang lebih luas bila dibandingkan dengan seni. Menurut KBBI “kesenian” berarti perihal seni. Perihal seni yang dimaksud di sini adalah unsur di luar seni itu sendiri, misalnya sejarah perkembangannya. Seperti contoh perkembangan kesenian Gandrung yang dijelaskan dari masa ke masa. Kesenian ini sangat terpengaruh oleh keadaan sosial, budaya, ekonomi dimana karya seni itu diciptakan.4 Hal ini dikarenakan kesenian diciptakan oleh jiwa manusia yang terbagi dalam perasaan, pikiran ataupun intuisi, yang mana proses pengolahan ini sangat terpengaruh oleh alam kejiwaan manusia itu sendiri. Alam kejiwaan manusia sangat terpengaruh oleh keadaan dimana manusia atau pencipta seni itu berada. Oleh sebab itu keadaan-keadaan tadi menjadi faktorfaktor atau setidaknya memiliki andil yang cukup besar dalam penciptaan kesenian. Misalnya keadaan sosial dan ekonomi yang dirasa penuh ketimpangan seperti keadaan anak-anak jalanan atau pengamen-pengamen akan menciptakan seni yang sifatnya lebih kritis, penolakan, dan protes terhadap keadaan sosial. Kesenian ini terbagi dalam beberapa bentuk sesuai dengan bentuk-bentuk dalam seni, yaitu seni pertunjukan, seni rupa dan seni sastra. Sebagai bagian dari kesenian, seni pertunjukan juga memiliki sifat yang sama, yaitu mudah terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya. Dalam seni 3
Sumaryono, et al., Tari Tontonan, (Jakarta : Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2006), pp. 6-7. 4 Ini sesuai dengan pernyataan Umar Kayam yang menyatakan bahwa kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, kesenian menjadi ungkapan kreativitas dari kebudayaan dan masyarakat itu sendiri. (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), p. 38.
3
pertunjukan terdapat interaksi-interaksi yang lebih dari model seni yang lain, seperti misalnya seni rupa ataupun seni sastra. Interaksi ini dalam bentuk interaksi antara pelaku seni dengan penonton maupun antara penonton dengan penonton, yang mana hal ini memungkinkan terjadi hubungan yang lebih dari sekedar mempertunjukkan tarian ataupun menikmati pertunjukan tari. Seperti contoh selama pertunjukan seni terdapat hubungan atau interaksi antar penonton, yang mana penonton tersebut terdiri dari banyak golongan, baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, etnis bahkan agama, sehingga dalam proses pertunjukan interaksi yang terjadi juga bisa mengenai aspek-aspek tersebut. Oleh sebab itu, seni pertunjukan dianggap juga sebagai media ungkap rasa, nilai, dan suasana batin, sehingga yang merasa terwadahi ungkapannya tidak hanya seorang penari atau pelaku seni melainkan juga semua pihak yang berpartisipasi.5 Salah satu contoh seni pertunjukan adalah seni tari, baik tari tradisional maupun tari modern. Dalam sejarah kesenian di Indonesia kesenian banyak mengalami perubahan, yang diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintahan. Ketika masa pemerintahan Soekarno banyak kesenian yang dipertunjukan di luar negeri. Hal ini karena pada waktu itu Indonesia baru merdeka sehingga ada upaya untuk memperkenalkan budaya Indonesia di luar negeri. Salah satu contoh program tersebut adalah pengiriman penari-penari dari sanggar tari yang ada di Yogyakarta oleh Kantor Djawatan Kebudayaan Urusan Kesenian ke Republik Rakyat Cina
5
I Wayan Dibia, et al., Tari Komunal, (Jakarta : Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2006), p. 239.
4
(RRC) pada tahun 1954.6 Rombongan ini tampil di Beijing dalam rangka perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Upaya memperkenalkan kesenian ini mengakibatkan munculnya kesenian-kesenian kreasi baru yang sifatnya lebih kepada hiburan. Selain itu ada juga kesenian-kesenian rakyat yang sifatnya untuk religi digubah menjadi lebih “profan” atau hiburan. Pada masa itu muncul namanama seperti Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardana yang mendirikan Pusat Latihan
Tari
Bagong
Kussudiardja
dan
Contemporary
Dance
School
Wisnoewardhana (CDSW) di tahun 1958. Selain itu ada juga nama Rd. Tjetje Soemantri dan Tb. Oemay Martakusuma yang sama-sama ahli dalam bidang kesenian Sunda, yang akhirnya menciptakan Tari Kukupu.7 Selain pertunjukan yang diadakan di luar negeri, presiden Soekarno juga sering mengadakan pertunjukan di Istana Negara dan Istana Merdeka. Pergelaran ini menjadi ajang berkumpulnya seniman-seniman dari daerah-daerah di Indonesia. Pada saat itu di Indonesia memang banyak bermunculan lembaga atau organisasi yang berkaitan dengan kebudayaan, seperti Badan Kesenian Indonesia (BKI), Badan Kesenian Jawa Barat (BKDB), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Lembaga Kebudayaan Syariat Muslim Indonesia (Laksmi), Lembaga Kesenian Indonesia (Leksi), Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (Lekrindo), Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Majelis Seniman Budayawan Islam (Masbi).
6
Jenifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2011), p. 222. 7 Ibid., p. 442.
5
Organisasi atau lembaga-lembaga ini membawa kepentingannya sendiri yang tidak jarang tergabung dalam organisasi politik saat itu, misalnya Lesbumi yang dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), Lekra yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), ataupun LKN yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Organisasi inilah yang sering mengundang para seniman untuk menggelar pertunjukan, yang tentunya untuk keperluan kelompoknya. Kesenian terkena dampak ketika terjadi peristiwa tahun 1965 yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S). Pada waktu itu banyak kesenian yang mulai mati, karena jarang dipertunjukkan. Hal ini sebagai sebab dari usaha pemerintah yang berkuasa pada saat itu di Indonesia untuk memberantas golongan Partai Komunis Indonesia (PKI) terkait peristiwa G 30 S. Keadaan politik pada waktu itu memang menempatkan PKI pada posisi yang tertindas atau dianggap sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan dan ditertibkan atau musuh pemerintahan. Hal ini dikarenakan saat itu PKI dianggap sebagai pelaku atau “dalang” dari peristiwa tersebut. Salah satu yang menjadi target adalah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Pada saat itu Lekra dianggap sebagai bagian dari PKI.8 Padahal kebanyakan kesenian rakyat banyak yang tergabung dalam Lekra. Keadaan inilah yang membuat kesenian mulai “mati”, karena memang segala sesuatu yang berhubungan dengan PKI juga ikut ditertibkan.9 Seperti contoh kesenian angklung 8
Julius Pour, Gerakan 30 September : Pelaku, Pahlawan dan Petualang, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), p. 11. 9 Hal ini diakhiri dengan pelarangan terhadap PKI dan Lekra yang didasarkan pada TAP MPRS.25/1966 pada tanggal 12 Maret 1966. Lihat Jenifer Lindsay dan Maya H.T. Liem “Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965”, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2011), p. 536.
6
di Banyuwangi, yang pelakunya banyak ditahan sehingga pelaku-pelaku seni lain tidak berani menggelar pertunjukan.10 Bahkan salah satu karya grup angklung pada saat itu dilarang untuk dimainkan, yaitu lagu “Genjer-Genjer”.11 Ada juga kesenian Ludruk di Jawa Timur yang terhenti secara mendadak karena peristiwa ini.12 Program pengiriman penari keluar negeri juga sempat terganggu, misalnya karena hubungan dengan Cina (RRC). Pada saat itu terjadi pemutusan poros Jakarta – Beijing, yang dilanjutkan dengan pemberhentian operasi Cina di Indonesia.13 Pada saat itu juga terjadi penarikan duta besar Cina di Indonesia, duta besar Indonesia untuk Beijing pun diperintahkan pulang, meskipun pada akhirnya diberikan suaka oleh Cina bagi mereka yuang tidak ingin pulang ke Indonesia. Setelah peristiwa itu seni pertunjukan juga masih mengalami perubahan. Pada masa pemerintahan Soeharto kesenian kerap digunakan sebagai alat untuk legitimasi politik pemerintahan. Kesenian sering menjadi bagian dari kampanye pemerintahan untuk memperoleh suara dukungan dari rakyat. Misalnya dalam suatu kampanye kesenian Gandrung sering menjadi bagian hiburan dari acara. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Helene Bouvier (2002) tentang kesenian Ludruk sebagai media politik yaitu Ludruk kerap digunakan untuk 10
Selain tidak berani menggelar pertunjukan, kebanyakan dari mereka bahkan sampai tidak berani mengaku “bisa berkesenian”. Hal ini untuk menghindari tudingantudingan dari masyarakat sekitar yang bisa membahayakan mereka. Wawancara dengan Abdullah Fauzi (Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bagian Kebudayaan dan Penggiat Kesenian Banyuwangi) pada 13 November 2014 di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi. 11 Wawancara dengan Prama (Ketua Dewan Kesenian Blambangan). Pada 18 November 2014 di kantor Dewan Kesenian Blambangan, Jalan Diponegoro, KepatihanBanyuwangi. 12 Helene Bouvier, Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura, (Bogor : Percetakan Grafika Mardi Yuana, 2002), p. 134. 13 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2007), p. 569.
7
menyampaikan berbagai slogan politik dan sekaligus dijadikan sebagai juru bicara Partai yang memerintah, yang dalam hal ini adalah Partai Golkar.14 Selain itu kesenian juga dijadikan sebagai bagian industri pariwisata yang mana pada waktu itu memang menjadi program pemerintah untuk meningkatkan devisa Negara. Perubahan ini pun berlanjut terus menerus pada masa-masa selanjutnya yang mana disebabkan oleh keadaan-keadaan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, seperto krisis moneter dan kebebasan pada masa reformasi pada tahun 1998. Perkembangan kesenian ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah Jawa Barat ataupun Jawa Tengah (terutama daerah Surakarta dan Yogyakarta).15 Di daerah-daerah di luar itu juga mengalami perkembangan atau perubahan yang dikarenakan keempat faktor tadi. Seperti daerah di Jawa Timur, yaitu daerah Kabupaten Banyuwangi. Di Kabupaten Banyuwangi terdapat dua kesenian tradisional yang sangat populer, yakni kesenian Seblang dan kesenian Gandrung disamping kesenian Angklung. Dalam perjalanannya kesenian Seblang tidak terlalu banyak mengalami perubahan, hal ini dikarenakan fungsi dan sifatnya sangat religi. Kesenian Seblang hanya dimainkan satu kali dalam satu tahun, yakni dua hari setelah hari raya Idul Fitri, dan ini hanya dimainkan di dua desa, yaitu desa Olesari dan Bakungan. Beda halnya dengan kesenian Gandrung. Kesenian Gandrung mengalami cukup banyak perubahan sesuai dengan keadaan yang 14
Helene Bouvier, op.cit., p. 421. Kebanyakan perubahan ini memang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, karena selain sangat dekat dengan pusat pemerintahan, keduanya memiliki warisan budaya yang lebih kaya dari daerah-daerah lainnya. Hal ini bisa dilihat ketika kita berbicara tentang budaya atau kesenian Jawa maka yang menjadi rujukan adalah daerah Surakarta dan Yogyakarta, selain itu kekayaan budaya yang mampu mengimbangi budaya Jawa di pulau Jawa adalah budaya Sunda, dan itu terdapat di daerah-daerah Jawa Barat. 15
8
terjadi pada masanya. Hal ini dikarenakan fungsi kesenian Gandrung lebih untuk hiburan.16 Akan tetapi dalam beberapa kesempatan kesenian Gandrung juga berfungsi untuk ritual, seperti untuk mengiringi ritual Petik Laut.17 Beberapa kalangan menganggap bahwa kesenian Gandrung pada awalnya memang untuk hiburan. Akan tetapi ada juga yang beranggapan bahwa kesenian Gandrung diciptakan untuk kepentingan ritual, hal ini karena kesenian Gandrung merupakan bagian dari tari tradisional. Anggapan yang kedua ini sesuai dengan pendapat Soedarsono yang mengatakan bahwa salah satu fungsi dari tari tradisional adalah untuk mendatangkan hujan, menyucikan desa, mengeluarkan penyakit, mengalahkan musuh, berburu binatang, kelahiran, kematian, perkawinan dan sebagainya.18 Anggapan pertama didasarkan pada sejarah perlawanan orang Blambangan dalam Perang Puputan Bayu yakni perang antara orang Blambangan dengan Belanda yang dibantu Mataram dan orang-orang Ambon.19 Akan tetapi
16
Dariharto, Kesenian Gandrung Banyuwangi, (Banyuwangi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, 2009), p. 7. 17 Petik laut adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Banyuwangi (Muncar) untuk memohon anugrah dari Tuhan agar hasil laut melimpah dan dijauhkan dari malapetaka selama melaut. Ritual ini dilaksanakan pada awal bulan Muharam (bulan Islam) atau bulan Suro (bulan Jawa). Dalam ritualnya penduduk akan melarung sesaji dengan perahu ke laut, dan sebelumnya sudah diadakan pengajian dan khataman AlQuran. Tomi Latu Farisa “Ritual Petik Laut Dalam Arus Perubahan Sosial Di Desa Kedungrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur”. Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta : Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Yogyakarta), pp. 1-2. 18 Dikutip dari makalah Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam Masyarakat Jawa dan Bali. p. 11, diunduh dari google dengan alamat : www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf (diunduh tanggal 15 November 2014). 19 Dalam perang ini pasukan Blambangan mendapatkan kemenangan, akan tetapi karena takut serangan balasan dari Belanda maka sisa-sisa pasukan itu segera melarikan diri ke hutan-hutan atau daerah-daerah pedalaman. Kesenian Gandrung ini diciptakan oleh pasukan Blambangan tersebut guna menghibur sisa-sisa pasukan sekaligus untuk menumbuhkan semangat perjuangan. Selain itu juga kesenian Gandrung juga digunakan untuk mengumpulkan sisa-sisa pasukan yang sudah tercerai berai di hutan-hutan. Puputan sendiri berarti perang habis-habisan, sampai titik darah penghabisan.
9
kedua pendapat ini menjadi satu paham ketika masa-masa berkuasanya Belanda, yaitu untuk keperluan hiburan dan perjuangan. Kesenian Gandrung dalam penampilannya memiliki lima tahapan yakni Topengan (tari yang dilakukan sebelum pagelaran), Jejer Gandrung (tari pembuka), Ngrepen atau Repenan (penari Gandrung turun dari panggung atau keluar panggung dan menuju ke penonton untuk menyanyikan lagu atau gendhing sesuai permintaan), Paju atau Maju Gandrung (penari Gandrung menari dengan penonton) dan terakhir Seblang-Seblangan (tari penutup yang diiringi dengan pantun-pantun oleh Gedhog atau pemimpin pertunjukan). Pertunjukan kesenian Gandrung awalnya dimulai dari pukul 21.00 sampai 04.00 atau sebelum subuh akan tetapi kemudian berubah menjadi siang hari atau sore hari, perubahan ini dilakukan sesuai permintaan dari pengundang. Kesenian Gandrung awalnya juga ditarikan oleh laki-laki, baru kemudian pada tahun 1895 kesenian Gandrung dimainkan oleh perempuan, dan perempuan pertama yang menjadi penari Gandrung adalah Semi.20 Perubahan ini diakibatkan oleh adanya penari Gandrung yang memiliki kebiasaan buruk (menyukai sesama jenis), dan adanya penolakan dari kaum agamawan terhadap pemeranan perempuan oleh lakilaki. Sebagai bagian dari kesenian, kesenian Gandrung juga memiliki sifat yang sama dengan kesenian yaitu tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Masyarakat pendukung kesenian ini akan menciptakan, memelihara, menularkan
Ujang Herman, “Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten Banyuwangi (1895 – 1974)”, Skripsi tidak diterbitkan. (Denpasar : Fakultas Sastra, 1995), pp. 35-36. 20
10
serta mengembangkan kesenian tersebut.21 Selain itu kesenian Gandrung yang merupakan tari komunal (tari yang diciptakan oleh masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat) selalu akan berhubungan dengan masyarakat. Hal inilah yang membuat fungsi, peran dan keadaan kesenian Gandrung terus mengalami perubahan pada masa-masa selanjutnya. Peran dan fungsi kesenian Gandrung berubah ketika memasuki masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Kesenian Gandrung berfungsi sebagai media hiburan dan sekaligus menjadi bagian dari program pemerintah untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional. Belum ada bukti mengenai peranan kesenian Gandrung dalam dunia politik saat itu, mengingat pada masa itu untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia mengadakan pemilu yang diikuti oleh banyak Partai, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu juga belum ditemukan bukti mengenai peranan kesenian Gandrung dalam upaya pemerintah untuk menguatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Padahal waktu itu pemerintah memang tengah berupaya untuk menguatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Dalam dunia seni saat itu muncul moto yang terkenal, yang sering didengungkan oleh pemerintah, yaitu “Seni untuk seni No, Seni untuk revolusi Yes!!”.22 Dari moto ini bisa digambarkan bahwa usaha pemerintah untuk menguatkan rasa nasionalisme kebangsaan ini masuk dalam berbagai macam bidang selain bidang politik.
21
Umar Kayam. Seni, Tradisi, Masyarakat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), p.
22
Sumaryono, op.cit., p. 18.
38.
11
Sama seperti kesenian di Indonesia secara umum, kesenian Gandrung juga terkena dampak dari adanya peristiwa G 30 S. Kesenian Gandrung bersama kesenian-kesenian di Banyuwangi mengalami kevakuman. Hal ini disebabkan oleh keadaan politik dan sosial di masyarakat pada saat itu tidak kondusif, yang akhirnya membuat mereka tidak bisa menggelar pertunjukan.23 Keadaan ini juga ada kaitannya dengan bergabungnya kesenian-kesenian itu dalam Lekra. Selain tidak bisa menggelar pertunjukan para seniman pada waktu itu juga tidak berani mengaku kalau dirinya seniman atau setidaknya bisa berkesenian. Hal ini dikarenakan itu sangat berbahaya untuk mereka, mengingat saat itu banyak seniman yang langsung ditangkap atau ditahan tanpa ada proses peradilan.24 Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang membuat kesenian Gandrung mengalami kevakuman meskipun tidak mati. Barulah ditahun 1973-an kesenian Gandrung dan kesenian-kesenian lainnya di Banyuwangi mulai tampil kembali.25 Pelakunya pun masih tetap pelaku-pelaku lama, yaitu pelaku sebelum terjadinya peristiwa G 30 S. Keadaan ini terus berlanjut, kesenian Gandrung semakin memiliki peranan dalam dunia hiburan dan pariwisata Banyuwangi. Pemerintah pun juga ikut ambil bagian dalam upaya melestarikan kesenian Gandrung. Hal ini bisa dilihat dari dibentuknya Dewan Kesenian Blambangan (DKB) oleh pemerintah Banyuwangi pada tahun 1970.
23
Keadaan tidak kondusif ini diakibatkan oleh peristiwa penangkapan senimanseniman yang dianggap bagian dari Lekra. 24 Wawancara dengan Abdullah Fauzi pada 13 November 2014 di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi. 25 Wawancara dengan Prama pada 18 November 2014 di Kantor Dewan Kesenian Blambangan, Jalan Diponegoro, Kepatihan-Banyuwangi.
12
Selain itu juga pada tahun 1974 untuk pertama kalinya diadakan festival Kesenian Gandrung. Festival ini diadakan oleh Pemerintah Daerah Banyuwangi untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian Gandrung. Peran kesenian Gandrung sebagai hiburan ini tidak hanya terhenti dalam pariwisata. Kesenian Gandrung juga menjadi bagian dalam urusan politik di Banyuwangi. Kesenian Gandrung sering digunakan dalam kampanye partai-partai politik, terutama Partai Golkar. Bahkan pada waktu itu selendang yang digunakan oleh penari Gandrung berubah warnanya menjadi kuning, yang mana awalnya adalah berwarna merah.26 Warna kuning adalah warna identik dari Partai Golkar. Keadaan ini sempat terhenti karena krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Kesenian Gandrung juga sempat jatuh dengan sedikitnya penampilan, karena memang tidak banyak yang mengundang. Ini dikarenakan untuk mengundang satu rombongan kesenian Gandrung juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.27 Padahal saat itu untuk keperluan seharihari sangatlah sulit. Memasuki masa reformasi keadaan berangsur-angsur membaik seiring dengan keadaan ekonomi yang semakin membaik. Kesenian Gandrung kembali sering ditampilkan, sering dijadikan sebagai tari sambutan pada acara-acara penyambutan. Bahkan tanggal 31 Desember 2002 kesenian Gandrung dijadikan sebagai ikon pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Hal ini berdasarkan pada Surat Keputusan Bupati Banyuwangi tanggal 31 Desember 2002 26
Wawancara dengan Abdullah Fauzi pada 13 November 2014 di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi. 27 Pada tahun 1960-1970 biaya untuk mengundang satu rombongan Gandrung sekitar Rp. 10.000 – 30.000. Pada saat itu beras 1 Kg masih seharga Rp. 40 – 50. Ujang Herman, “Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten Banyuwangi (1895 – 1974)”, Skripsi tidak diterbitkan. (Denpasar : Fakultas Sastra, 1995), pp. 35-36.
13
Nomor 173 tahun 2002.28 Setelah adanya surat keputusan ini pemerintah melanjutkan dengan pelatihan-pelatihan Gandrung tiap tahunnya. Peserta-peserta dari pelatihan ini yang nantinya menjadi penari Gandrung, meskipun tidak semuanya. Sekolah-sekolah banyak mengajarkan kesenian Gandrung melalui kegiatan ekstrakurikuler, dan ketika acara di sekolah para siswa yang mengikuti kegiatan ini sering ditampilkan dalam acara sambutan. Keadaan ini membantu kesenian Gandrung semakin berkembang. Akan tetapi selama terjadi perkembangan itu, kesenian Gandrung sempat terpengaruh dengan adanya protes-protes dari kaum agamawan yang dalam hal ini adalah golongan Islam. Kaum agamawan menolak kesenian Gandrung karena menganggap penampilannya terlalu seronok atau tidak sopan.29 Terutama mengenai tarian dan pakaian penarinya. Pakaiannya yang sangat ketat sehingga membentuk lekuk tubuh penarinya dianggap memamerkan keindahan tubuh wanita, dan hal ini dilarang oleh agama menurut mereka. Selain itu tarian Gandrung juga dianggap terlalu erotis. Hal ini membuat para pelaku kesenian Gandrung harus berkompromi dan sedikit merubah penampilannya, seperti waktu pertunjukan yang dibuat lebih singkat, dan juga pakaiannya dibuat lebih tertutup terutama pada bagian pundak sampai lengan. Mereka biasanya menggunakan deker, sejenis kain tipis yang warnanya mirip dengan kulit tubuh. Hal ini juga pernah terjadi pada kesenian Madura, yaitu pada tari Retep yang berubah karena
28
Dariharto, op.cit., p. 36. Pada tahun 2000-an terjadi protes yang dilakukan oleh kaum agamawan terhadap pemerintah. Kebanyakan mereka adalah dari pondok pesantren, seperti dari daerah Genteng dan Cluring. Wawancara dengan Prama tanggal 18 November 2014 di Kantor Dewan Kesenian Blambangan, Jl. Diponegoro, Kepatihan-Banyuwangi. 29
14
tuntutan keadaan sosial yang didasarkan pada aspek agama dan ekonomi atau hiburan.30 Ini bukan pertama kalinya kesenian Gandrung mendapat kritik dari kaum agamawan, sebelumnya kesenian Gandrung juga pernah mendapat kritik yang akhirnya ikut menjadi faktor dalam penggantian penari Gandrung laki-laki menjadi perempuan.31 Kaum agamawan pada saat itu mengkritik pemeranan penari Gandrung laki-laki yang didandani seperti perempuan. Bagi mereka itu tidak pantas, dan dilarang dalam agama. Keadaan inilah yang kemudian menghentikan regenerasi penari Gandrung laki-laki. Akan tetapi hal ini justru membuat kesenian Gandrung memiliki peran yang lebih besar. Mulai muncul peranan perempuan dalam tarian Gandrung. Perempuan memiliki peranan penting dalam pertunjukan, seperti tarian-tarian lainnya, penari selalu memiliki peran sentral dalam pagelaran tari. Peran baru ini mendobrak batasan-batasan yang ada dalam masyarakat saat itu yang menganggap peran perempuan terbatas pada tugas-tugas domestik yaitu sekitar sumur, dapur dan kasur.32 Pada masa itu dan masa-masa selanjutnya perempuan memiliki posisi penting dari upaya penyelamatan dan pelestarian budaya masyarakat Banyuwangi dan juga menjadi penyelamat bagi ekonomi keluarganya, meskipun dengan resiko-resiko yang harus diterimanya. Dapat dikatakan perempuan dalam kesenian Gandrung sudah menjadi bagian dan benih dari upaya emansipasi wanita yang terjadi di masa-masa selanjutnya khususnya di daerah Banyuwangi. Hal ini 30
Helene Bouvier, op.cit., p. 193. Sri Suci Dewi Wulandari, Sejarah dan Budaya Banyuwangi : Sejumlah Tulisan dan Catatan, (Banyuwangi : Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2011), p. 51. 32 Ibid., pp. 51-52. 31
15
menegaskan kembali bahwa peran kesenian Gandrung sangatlah luas dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi. Selain keadaan ini, dunia kesenian Gandrung juga sempat tegang dengan adanya protes yang dilakukan oleh para penari lama kepada pemerintah dan DKB, mereka menganggap pemerintah dan DKB telah membuat kesenian Gandrung kehilangan pakem aslinya. Hal ini didasarkan pada kebijakan pemerintah yang lebih cenderung menampilkan kesenian Gandrung modern atau kesenian Gandrung kreasi baru, yang mana dalam pertunjukannya lebih singkat dan simple bila dibandingkan dengan kesenian Gandrung yang lama. Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang membuat kesenian Gandrung menarik untuk dikaji. Bagaimana kesenian Gandrung terus berubah karena keadaan disekitarnya, ataupun bagaimana kesenian Gandrung dapat memberikan dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. Dampak ini juga terjadi dalam lingkup personal atau pribadi pelaku kesenian Gandrung yang mana salah satunya disebabkan oleh keikutsertaan perempuan dalam kesenian Gandrung, seperti misalnya penari Gandrung dianggap sebagai pekerja murahan yang berhubungan dengan dunia malam atau maksiat, karena biasanya penari Gandrung kerap mendapat perlakuan negatif oleh para penonton.33 Padahal di sisi lain kesenian Gandrung adalah kebanggan masyarakat Banyuwangi dan penyelamat budaya Osing diantara maraknya budaya-budaya dari luar Banyuwangi.34 Anggapan ini tidak terlepas dari adanya kritik dari kaum agamawan dan juga karena dalam pertunjukannya selalu dekat dengan kegiatan meminum minuman keras dan 33
Ibid., p. 48. Osing atau Using adalah etnis asli Banyuwangi. Mereka dianggap sebagai orang asli Banyuwangi sebelum masuknya para pendatang yang dibawa oleh Belanda setelah Perang Puputan Bayu tahun 1771. 34
16
mabuk-mabukan. Selain itu kesenian Gandrung juga dianggap sebagai representasi budaya Osing.35 Kesenian Gandrung dianggap sebagai identitas dari budaya Osing dan juga penyelamat dari budaya Osing. Selain itu penari Gandrung juga menjadi penyelamat perekonomian keluarganya. Sesuai dengan yang disebutkan oleh Dariharto (2009) dalam bukunya Kesenian Gandrung Banyuwangi bahwa kesenian Gandrung dapat dilihat dari berbagai macam aspek, seperti aspek perjuangan, aspek sosial budaya, aspek seni dan budaya, aspek ekonomi, dan aspek etnis dan religius.36 Hal ini menjadi bukti tentang besarnya peran kesenian Gandrung dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi. Batasan tahun yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 1950 sampai dengan 2013. Tahun 1950 digunakan sebagai tahun awal untuk penelitian ini karena dianggap pada tahun ini untuk pertama kalinya Indonesia berada pada kondisi yang kondusif atau tenang setelah kemerdekaan yang hanya dirasa sebentar karena adanya agresi militer Belanda tahun 1946 – 1949. Selain itu juga penjelasan kesenian Gandrung pada tahun ini bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk tahun 1965, mengingat peristiwa G 30 S yang terjadi di tahun itu memberikan dampak yang sangat besar terhadap perjalanan kesenian Gandrung, sedangkan tahun 2013 dipilih sebagai batasan akhir tahun penelitian karena ditahun tersebut perkembangan dalam kesenian Gandrung sangat besar bersamaan dengan perkembangan pariwisata di Banyuwangi yang sudah dimulai dari tahun 2010-an, selain itu tahun 2013 dianggap pencarian data atau sumberDikutip dari jurnal Novie Anoegrajekti (2011) “Gandrung Banyuwangi : Kontestasi dan Representasi Identitas Using”, p. 32, diunduh dari google dengan alamat : http://jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/view/1007/836 (diunduh tanggal 7 November 2014). 36 Dariharto, op.cit., pp. 10-14. 35
17
sumbernya lebih mudah. Aktivitas kesenian Gandrung pun sudah dapat terdokumentasikan secara menyeluruh, mengingat tahun penelitian ini adalah tahun 2015. 1.2
Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah awal dan pagelaran dari kesenian Gandrung di Banyuwangi? 2. Seberapa jauh hubungan kesenian Gandrung terhadap keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat Banyuwangi pada tahun 1950 sampai 2013? 3. Makna apa yang ditimbulkan dari hubungan kesenian Gandrung dengan keadaan sosial, budaya, ekonomi dan politik di Banyuwangi?
1.3
Tujuan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai yaitu : 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang kehidupan kesenian Gandrung pada tahun 1950 sampai 2013, serta dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa tentang kesenian Gandrung. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Untuk memahami sejarah dari kesenian Gandrung di Kabupaten Banyuwangi
18
2.
Untuk menjelaskan dampak dari keadaan yang terjadi pada tahun 1950 sampai 2013 terhadap perjalanan kesenian Gandrung.
3.
Untuk membahas peranan yang diberikan kesenian Gandrung terhadap lingkungan disekitarnya.
4.
Untuk
menambah
wawasan
peneliti
khususnya
dalam
melakukan penelitian lebih lanjut. 1.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1.4.1
Manfaat Teoritis a. Dapat mengetahui bagaimana kehidupan kesenian Gandrung pada tahun 1950 sampai 2013. b. Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai referensi bagi pengembangan penelitian yang terkait dengan seni tari tradisional di Kota Banyuwangi pada umunya dan kesenian Gandrung pada khususnya.
1.4.2 Manfaat Praktis a. Bagi peneliti 1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam halhal yang berkaitan dengan kesenian Gandrung di Kota Banyuwangi.
19
2. Mendapat pengalaman tentang cara melaksanakan suatu penelitian, sehingga nantinya dapat melaksanakan penelitian lebih baik. b. Bagi masyarakat umum 1. Dapat
memberikan
dokumentasi
atau
rekaman
tertulis
mengenai kesenian Gandrung dan juga kehidupannya pada tahun 1950-2013. 2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum bahwa kesenian Gandrung memiliki sejarah yang cukup panjang dengan berbagai perubahan pada setiap masanya. 1.5
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka adalah suatu bentu pengkajian pustaka-pustaka terdahulu yang dianggap yang relevan dengan penelitian ini dan dipakai sebagai bahan perbandingan bagi penelitian. Adapun pustaka yang dipergunakan sebagai acuan dan bahan dalam penelitian ini sebagai berikut : Ujang Herman (1995) Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten Banyuwangi (1895 – 1974). Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasannya adalah perubahan dari penari Gandrung, tata rias, busana, tembang-tembang dalam Gandrung serta dampak-dampak yang terjadi dari kesenian Gandrung. Dampak dalam hal ini adalah dampak kesenian Gandrung dalam bidang sosial budaya, sosial ekonomi dan pertumbuhan pariwisata. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa penari Gandrung pada
20
awalnya adalah laki-laki, penari laki-laki yang sangat terkenal saat itu adalah Marsan, bahkan pada saat itu Marsan berhasil menguasai atau meonopoli pementasan kesenian Gandrung.37 Barulah pada tahun 1895 Gandrung mulai ditarikan oleh perempuan, perempuan pertama yang menarikan Gandrung adalah Semi. Semenjak Semi inilah pertunjukan Gandrung semakin berkembang. Di tahun 1988 Gandrung menjadi wakil Jawa Timur dalam acara kesenian daerah tingkat nasional. Perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam penari Gandrung, melainkan juga dalam bentuk tembang-tembangnya (lagu-lagunya), instrument serta dalam atraksinya. Contohnya adalah penambahan tembang-tembang diluar tembang Osing pada waktu Gandrung ditarikan oleh perempuan, yaitu seperti tembang berbahasa Melayu, Jawa dan Bali.38 Perubahan dalam hal instrumennya terlihat dari penambahan biola sebagai alat musik pengiring. Penambahan pemberian sampur oleh penari Gandrung kepada para undangan merupakan salah satu perubahan dalam hal atraksi Gandrung yang dimulai pada tahun 1972. Dampak yang dijelaskan dalam skripsi ini terbagi dalam tiga kelompok, yaitu dampak dalam bidang sosial budaya, sosial ekonomi, dan pertumbuhan pariwisata. Contohnya adalah Gandrung menjadi sumber inspirasi bagi kesenian-kesenian daerah lainnya.39 Selain itu tembangtembang dalam Gandrung menjadi inspirasi kesenian Angklung. Dalam
37
Ibid., pp. 33-35. Ibid., pp. 47-48. 39 Ibid., p. 66. 38
21
bidang sosial ekonomi Gandrung menjadi sumber penghasilan dari para pelakunya. Dalam sekali pertunjukan biasanya mereka mendapat upah yang nantinya dibagi dengan seluruh anggota rombongan. Dalam bidang pariwisata Gandrung menjadi bagian dari pengembangan pariwisata yang digagas oleh pemerintah Banyuwangi, meskipun hal ini berdampak pada perubahan dalam pertunjukan Gandrung yang menjadi lebih singkat.40 Skripsi ini dapat menjadi bahan pustaka dalam penelitian. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kesamaan, yakni sama-sama membahas kesenian Gandrung dengan tinjauan sejarah, serta melihat dampak-dampak yang ditimbulkannya. Akan tetapi terdapat perbedaan dari skripsi ini dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu pertama dalam hal skup temporalnya (penelitian ini menggunakan skup temporal antara tahun 1950 sampai 2013 sedangkan skripsi ini menggunakan skup temporal 1895 sampai 1974). Kedua dalam kajiannya, dalam skripsi ini yang menjadi pembahasan hanyalah perubahan dari kesenian Gandrung itu sendiri seperti dari tembang, syair dan instrumennya dengan sedikit menjelaskan alasan mengenai perubahan tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan adalah hubungan antara kesenian Gandrung dengan keadaankeadaan yang ada disekitarnya, seperti keadaan sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang mana didalamnya terdapat dampat-dampak yang ditimbulkan dari hubungan ini. Perbedaan yang paling terlihat adalah penelitian ini membahas mengenai hubungan Gandrung dengan keadaan
40
Ibid., pp. 78-79.
22
politik yang terbagi dalam kurun waktu tersebut, sedangkan skripsi ini tidak membahas mengenai hal ini. Dariharto (2009) Kesenian Gandrung Banyuwangi. Dalam buku ini dibahas mengenai sejarah awal atau asal usul kesenian Gandrung, dilanjutkan dengan peranan Gandrung dalam masyarakat Banyuwangi, Gandrung dilihat dari beberapa aspek, serta bentuk pagelaran kesenian Gandrung. Dalam bukunya Dariharto menyebutkan bahwa kesenian Gandrung sudah ada sejak tahun 1880an, akan tetapi ia menyebutkan bahwa pada zaman Kerajaan Blambangan sudah ada pertunjukan tari di keraton
yang
mirip
dengan
kesenian
Gandrung.
Sehingga
ada
kemungkinan bahwa kesenian Gandrung sudah ada sejak zaman kerajaan.41 Mengenai peranan kesenian Gandrung, Dariharto membaginya dalam empat bagian, yaitu pada masa kerajaan, masa perjuangan, masa kemerdekaan, dan masa sekarang (reformasi sampai tahun 2009). Dalam setiap masanya peranan kesenian Gandrung berbeda-beda. Seperti pada masa perjuangan Gandrung berfungsi membantu para pejuang melalui perbekalan, membangkitkan semangat para pejuang dengan syair-syair dari gendingnya, serta menjadi cara untuk memantau kekuatan dan kegiatan musuh. Pada masa kemerdekaan kesenian Gandrung berfungsi sebagai pemberi petuah-petuah karena syair-syairnya mengandung petuah-
41
Dariharto, op.cit., p. 5.
23
petuah untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh semangat, kesabaran, kejujuran dan menjaga kerukunan.42 Pada masa sekarang kesenian Gandrung menjadi poros kesenian di Banyuwangi dengan cara menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi jenisjenis kesenian tradisional lain di Banyuwangi. Kesenian Gandrung yang dilihat dari beberapa aspek, dibagi menjadi 5 aspek, yakni aspek nilai perjuangan, aspek sosial masyarakat, aspek seni dan budaya, aspek ekonomi, dan aspek etnis dan religius. Aspek perjuangan dilihat dari peranan kesenian Gandrung yang terus menjadi bagian dari perjuangan masyarakat, baik dari masa penjajahan sampai masa sekarang. Aspek sosial masyarakat dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi media berkumpulnya masyarakat yang terdiri dari berbagai macam golongan sehingga terjadi banyak interaksi di dalamnya. Aspek seni dan budaya dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi sumber inspirasi bagi kesenian-kesenian lain di Banyuwangi, serta memperkaya khasanah budaya tradisional Banyuwangi. Aspek ekonomi dilihat dari bagaimana kesenian Gandrung memberikan dampak ekonomi, baik kepada pelaku tarinya maupun kelompok-kelompok yang menjadi bagian dari pertunjukan Gandrung. Seperti misalnya, kesenian Gandrung dapat menjadi lapangan pekerjaan bagi
para
pelakunya
ataupun
banyak
kelompok-kelompok
yang
diuntungkan dalam pertunjukan seni, seperti para pedagang makanan dan
42
Ibid., p. 35.
24
minuman di sekitar pertunjukan Gandrung, sedangkan aspek etnis dan religius dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi pelestari bahasa Osing yang mana terlihat dalam syair-syair gendingnya yang menggunakan bahasa Osing.43 Dalam pagelarannya Dariharto menjelaskan bahwa kesenian Gandrung terbagi dalam lima bagian, yakni Topengan, Jejer Gandrung, Ngrepen atau Repenan, Paju atau Maju Gandrung dan Seblang-Seblangan. Topengan adalah pertunjukan pra Gandrung, Jejer Gandrung adalah tarian pembuka yang berfungsi sebagai pertanda bahwa kegiatan pagelaran kesenian Gandrung sudah dimulai. Ngrepen atau Repenan adalah fase dimana penari Gandrung turun dari panggung atau menghampiri para tamu dan menyanyikan lagu-lagu permintaan para tamu tersebut. Paju atau Maju Gandrung adalah fase dimana penari Gandrung menari bersama dengan penonton. Seblang-Seblangan adalah fase penutup yang berisi tarian-tarian yang mirip tari Seblang dan diiringi oleh pantunpantun oleh pemimpin pertunjukan. Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional dalam Masyarakat Jawa dan Bali. Dalam penelitian ini ada beberapa hal penting yang dikaji, yaitu seperti mengenai masih relevan kah tarian tradisional, apakah tarian tradisional masih dihargai oleh masyarakat Jawa dan Bali, perubahan tarian yang diakibatkan oleh modernisasi, sikap masyarakat terhadap tarian tradisional dan juga pengaruh kehadiran turisme terhadap tarian
43
Ibid., pp. 13-15.
25
tradisional. Dalam penelitiannya Rebecca mengatakan bahwa tarian tradisional Bali dan Jawa banyak mengalami perubahan sebagai akibat modernisasi. Ada pengaruh modernisasi baik dan buruk yang dihadapi tarian tradisional.44 Bahkan dalam pembahasannya Rebecca menganggap bahwa turisme adalah salah satu dampak yang paling besar pada tarian tradisional. Penelitian ini bisa dijadikan bahan pustaka atau rujukan sekaligus perbandingan untuk penelitian yang peneliti teliti. Kesenian Gandrung juga merupakan tarian tradisional, dan apabila dilihat dari segi geografisnya kedua tarian ini adalah bagian dari tarian tradisional Jawa, meskipun kemungkinan kata Jawa dalam penelitian Rebecca mengacu pada suku Jawa. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh peneliti juga mengenai kehidupan tari. Jadi penelitian yang dilakukan Rebecca masih relevan dengan penelitian ini. Akan tetapi perbedaannya penelitian ini mengambil tempat hanya di Kabupaten Banyuwangi dan dengan skup waktunya yakni dari tahun 1950-2013. Dengan skup waktu tersebut penelitian ini lebih mengacu pada jejak perkembangan dan kehidupan kesenian pada masa itu. 1.6
Metodologi Metodologi
yang
digunakan
adalah
metodologi
sejarah
kebudayaan. Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah 44
Dikutip dari makalah Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam Masyarakat Jawa dan Bali, p. 44, diunduh dari google dengan alamat : www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf. (diunduh tanggal 15 November 2014).
26
menyebutkan bahwa sejarah kebudayaan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan materialistis. Pendekatan ini menggambarkan produk-produk estetisk dan intelektual yang ada dalam masyarakat hanyalah ekspresi dari kegiatan-kegiatan sosial masyarakat. Jadi dengan menggunakan pendekatan ini kebudayaan dapat dibatasi sebagai sebuah dimensi simbolik dan ekspresi dari kehidupan sosial di masyarakat. Menurut Burckhardt dalam bukunya Kuntowijoyo (Metodologi Sejarah) menyebutkan bahwa setiap detil yang kecil dan tunggal yang didapatkan dalam penelitian sejarah kebudayaan sebenarnya adalah simbol dari keseluruhan dan satuan yang lebih besar.45 Oleh karena itu Burckhardt menggambarkan kebudayaan sebagai sebuah kenyataan campuran. Tugas sejarawanlah yang mengkoordinasikan atau mengumpulkan elemenelemen itu ke dalam suatu gambaran umum. Cara yang dapat dipakai dalam membuat gambaran umum ini ialah dengan memparalelisasikan fakta-fakta. Paralelisasi ini dapat didapat melalui proses membandingkan dan melawankan, mencari persamaan dan perbedaan, sehingga fakta-fakta itu dapat ditemukan kaitannya. Penulisan yang seperti ini akan menghasilkan
tulisan
sejarah
yang
menyuguhkan
pemandangan
menyeluruh atau penggambaran yang konkret dari sebuah objek. Metodologi ini dianggap cocok dengan tema yang dipakai dalam penelitian ini. Metodologi ini dapat memberikan gambaran yang konkret mengenai 45
p. 137.
kehidupan
kesenian
Gandrung
di
Banyuwangi
dalam
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003),
27
hubungannya dengan keadaan disekitarnya serta dampak-dampak apa yang ditimbulkan sebagai akibatnya.
1.7
Kerangka Teoritis Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.7.1 Teori Sejarah Dalam tulisannya “Lima Masalah Pokok Dalam Teori Sejarah”, Sidemen (1991) menyatakan bahwa terdapat lima masalah atau pembahasan dalam teori sejarah, yaitu masalah pemahaman dalam sejarah, penjelasan tentang masa lampau, objektifitas dalam sejarah, kausalitas dalam sejarah dan kelima adalah determinasi dalam sejarah.46 Dalam penelitian ini permasalahan yang digunakan adalah pemahaman dalam penjelasan sejarah (eksplanasi sejarah). Golongan positivis melalui Popper menjelaskan mengenai penjelasan sejarah dengan menawarkan konsep deduksi yaitu penjelasan dari umum ke khusus, sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa dalam menjelaskan sejarah hanya dibutuhkan tiga hal, yaitu mengumpulkan sebanyak-banyaknya bukti kejadian sejarah, menempatkan kejadiankejadian itu dalam keterkaitannya yang intrinsik, dan menempatkan hubungan kait mengkait itu pada konteks sejarahnya. Apa yang dimaksud di sini adalah untuk melakukan eksplanasi (penjelasan)
Ida Bagus Sidemen “Lima Masalah Pokok Dalam Teori Sejarah”, dalam Majalah Widya Pustaka. No 2. (Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana,1991), p. 30. 46
28
sejarah dapat dilakukan dengan memberikan sejumlah penjelasan besar tentang perubahan yang lengkap dan akurat. Dalam penjelasan sejarah ini sejarawan harus menerangkan mengapa sesuatu itu terjadi, yang dapat dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang baru. Hal ini dikarenakan tugas sejarah adalah melihat sebab atau alasan dari suatu kejadian. Teori sejarah dapat digunakan untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan dalam penelitian Gandrung ini. Teori ini akan bermanfaat untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang konkrit atau lengkap bersama dengan alasan atau sebab dibalik fenomena-fenomena kesenian Gandrung. 1.7.2 Teori Dekonstruksi Teori Dekonstruksi ini diciptakan dan dipoulerkan oleh Jacques Derrida.
Teori ini masuk dalam teori-teori post-modernisme.
Dekonstruksi dapat diartikan sebagai upaya penelusuran terhadap objek yang ditimbulkan oleh jaringan tanda.47 Dalam kerjanya dekonstruksi
berusaha
memilah-milah
suatu
pemikiran
atau
kenyataan yang telah tersusun rapi sampai ke dasar-dasarnya, sehingga dekonstruksi bisa dianggap sebagai kaca pembesar dalam melihat suatu objek. Selain itu dekonstruksi menolak kebenaran tunggal atau kenyataan yang dirasa benar dengan cara mencari
Makalah Izzam Izzul Islamy dengan Judul “Madzhab Tafsir Perspektif Post-Strukturalisme”, p. 103, diunduh dengan alamat : eprints.walisongo. ac.id/271/4/074211004_Bab3.pdf (diunduh pada tanggal 28 Januari 2015). 47
29
makna-makna atau kenyataan lain. Sebenarnya Derrida menolak untuk mendefinisikan dekonstruksi, karena baginya deinisi akan berarti
pembatasan, sedangkan dekonstruksi berusaha
untuk
menerobos batasan, sehingga dekonstruksi tidak dapat didefinisikan dengan jelas. Dekonstruksi dapat dianggap sebagai sebuah sikap atau metode kritis
yang majemuk,
yang mana berusaha untuk
membongkar kemapanan dan kebakuan, serta berusaha untuk memberi ruang atas timbulnya makna-makna baru. Jadi tugas dekonstruksi adalah mengungkapkan makna-makna baru yang belum terungkap. Dapat diartikan bahwa dekonstruksi menolak makna tunggal, dan memberikan peluang munculnya makna baru. Teori Derrida ini kerap digunakan dalam pemahaman teks, yakni dengan cara menyelami kedalaman dibalik penampakan teks dan memahami sesuatu yang akan di-kata-kan dan yang tidak ter-kata-kan. Teori dekonstruksi juga menjelaskan fenomena-fenomena budaya. Sebagai bagian dari teori post-modernisme dekonstruksi memiliki karakteristik yakni tidak suka pada makna tunggal sebuah fenomena budaya.48 Menurutnya makna dalam fenomena budaya dapat terdapat dalam apa saja, bisa dalam hal-hal kecil, kurang diperhatikan kemungkinan justru memiliki makna yang besar. 48
Dikutip dari Blog Teaching of History dengan alamat : teachingofhistory.blogspot.com/2012/05/teori-dekonstruksi-derrida.html (diunduh pada tanggal 28 Januari 2015).
30
Dekonstruksi melihat sebuah fenomena budaya dengan unsur sejarahnya dan latar belakang di balik fenomena itu. Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam penelitian Gandrung dengan cara memberikan penjelasan atau pemaknaan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi.
1.8
Kerangka Konsep Adapun konsep yang digunakan pada penelitian ini yakni sebagai berikut. 1.8.1 Sejarah Seni Pertunjukan Menurut Sumardjo seni merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar, maupun dilihat dan didengar.49 Dengan kata lain, seni adalah isi jiwa seniman (pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan gagasannya. Seni dapat dibagi menjadi dua, yaitu seni rupa dan seni pertunjukan. Menurut Murgiyanto (1996), Seni pertunjukan berarti “tontonan yang bernilai seni,” yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton.50 Pada dasarnya, sebuah seni pertunjukan memiliki fungsi yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Beberapa fungsi dari
Dikutip dari makalah H Aprilia Noor “Permainan Kesenian Musik Tradisional”, p. 7, diunduh dari google dengan alamat : eprints.uny.ac.id/8148/3/ BAB 207208241025.pdf (diunduh tanggal 1 November 2014). 50 Dikutip dari makalah Eka Meigalia “Pergeseran Fungsi Seni Pertunjukan”, p.1, diunduh dari google dengan alamat : repository.unand.ac.id/4118/1/ Pertunjukan_dan_fungsinya.rtf (diunduh tanggal 30 Oktober 2014). 49
31
pertunjukan tersebut antara lain fungsi religius, fungsi sosial, fungsi pendidikan, fungsi estetik, dan fungsi ekonomi. Fungsi-fungsi yang terdapat dalam sebuah pertunjukan terkadang tidak hanya satu, tapi bisa lebih. Hal itu tergantung dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Seni pertunjukan berbeda dengan seni rupa. Secara konseptual seni pertunjukan dalam pertunjukannya memerlukan ruang dan juga waktu pertunjukan, sedangkan seni rupa hanya memerlukan ruang saja. Contoh dari seni pertunjukan adalah seni tari, seni tarik suara (menyanyi), dan seni drama. Dalam pengkajian ini yang digunakan adalah seni tari. Terdapat beberapa konsep mengenai tari, yaitu seperti Suryoningrat “Tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu”.51 Selain itu ada juga konsep tari menurut Sudarsono , yaitu tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah. Menurut Sumaryono (2006) dalam bukunya Tari Tontonan menyebutkan bahwa tari adalah jenis seni yang terkait langsung dengan gerak tubuh manusia.52 Tubuh menjadi alat utama dan gerak tubuh menjadi media dasar dalam pengungkapan ekspresi.
51
Dikutip dari makalah Makalah Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam Masyarakat Jawa dan Bali. p. 10, diunduh dari google dengan alamat : www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf (diunduh tanggal 15 November 2014). 52 Sumaryono, op.cit., p. 2.
32
Dalam bukunya ia juga menjelaskan bahwa ada lima aspek yang dapat menjadi acuan dalam menilai tari, yaitu aspek gerak tubuh, irama, tenaga, perasaan dan makna. Oleh karena itu tari terikat oleh elemen ruang (ruang yang dibutuhkan dalam menari), waktu (gerakan tari adalah gerakan yang berirama, yang diatur waktunya,
dan
irama
ini
pada
dasarnya
adalah
suatu
pengorganisasian atau penyusunan waktu), energi (pengaturan energi seperti besar-kecilnya atau keras-lemahnya energi yang digunakan sehingga menghasilkan dinamika gerak yang sesuai dengan maksud dan irama), dan terakhir adalah rasa dan makna gerak (penjiwaan yang ada dalam menari, penjiwaan ini digambarkan sebagai daya yang kuat yang membuat gerakan itu “hidup”). Selain itu dalam buku ini juga dijelaskan bahwa tidak semua gerakan itu disebut gerak tari, akan tetapi gerakan yang dimaksudkan untuk menari adalah yang disebut gerak tari.53 Dalam pembahasan sejarah, seni pertunjukan memiliki tempat tersendiri. Seni pertunjukan dapat dijadikan sebagai bahan kajian sejarah. Sejarah seni pertunjukan tidak hanya membahas mengenai bentuk dari seni pertunjukan itu saja, seperti komposisi dalam seni ataupun pemaknaan dari seni tersebut. Sejarah seni pertunjukan membahas mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dalam seni tersebut, baik itu perubahan bentuk maupun perubahan
53
Ibid., p. 12.
33
makna dan fungsinya. Sejarah seni pertunjukan juga dapat membahas seni dalam konteks sosialnya, dapat juga dari konteks ekonominya. Jadi sejarah tidak hanya melihat seni pertunjukan sebagai seni saja melainkan juga melihatnya dalam konteks sosial, seperti bagaimana seni pertunjukan berdampak dalam lingkup sosial masyarakat, atau bagaimana seni pertunjukan diposisikan dalam lingkup sosial (masyarakat). Penelitian ini merupakan bagian dari kajian sejarah seni pertunjukan. 1.8.2 Tari Komunal Menurut I Wayan Dibia (2006) dalam bukunya Tari Komunal mengartikan tari komunal sebagai suatu peristiwa pertunjukan tari yang melibatkan masyarakat yang besar.54 Terdapat prinsip yang mendasari pelaksanaan tari komunal, yakni semangat kebersamaan, rasa persaudaraan dan solidaritas terhadap kepentingan bersama. Adapun beberapa ciri yang menandakan bahwa ini adalah tari komunal, yakni diadakan untuk kepentingan komunitas (yang menjadi landasan ciri ini adalah tujuan tari komunal, yakni untuk memenuhi kebutuhan komunitas, baik dalam tatanan yang bersifat spiritual, sosial, maupun kultural).55 Kedua adalah melibatkan sistem sosial yang telah ada. Dalam pelaksanaannya
tari
komunal
selalu
melibatkan
komponen-
komponen sosial yang telah ada, seperti tetua adat, tokoh agama, 54 55
I Wayan Dibia, op.cit., p. 1. Ibid., p. 54.
34
perangkat Desa, dan seniman. Keterlibatan komponen masyarakat ini sudah diatur sedemikian rupa sebagai kebiasaan yang sudah disepakati bersama. Ketiga adalah pengabdian sosial dan lingkungan. Partisipasi masyarakat dalam pertunjukan tari komunal dianggap sebagai sebuah sumbangan atau pengabdian terhadap komunitas sosial dan lingkungannya. Keempat adalah ditarikan oleh satu atau banyak orang. Tari komunal dapat ditarikan oleh orang banyak dan dapat juga ditarikan oleh satu orang sebagai penari tunggal. Kelima adalah dilaksanakan secara spontan atau terencana. Tari komunal ini bisa diselenggarakan dengan struktur yang jelas (tarian formal) dan menari yang tidak memiliki bentuk yang baku (tarian informal). Terakhir keenam menampilkan rasa solidaritas dan keakraban. Suasana yang terlihat dalam tari komunal adalah suasana kebersamaan dan keakraban, cenderung homogen dan adanya ekspresi solidaritas sosial yang kental.56 Dalam tari komunal terdapat partisipasi dari para penonton yang memiliki perbedaan latar belakang, budaya, etnis dan status sosial. Sehingga terjadi interaksi yang mencirikan suatu kebersamaan. Tari komunal ini bisa berfungsi sebagai ritual atau upacara, budaya, dan hiburan. Jadi dapat diartikan bahwa tari komunal sebagai sebuah kesenian yang dimiliki orang banyak atau
56
Ibid., p. 63.
35
masyarakat, yang di dalamnya terdapat aktivitas yang melibatkan instrumen atau struktur sosial kemasyarakatan, baik atas dasar kepentingan bersama dalam komunitas maupun kepentingan individual. Kesenian Gandrung yang terdapat di daerah Banyuwangi juga menjadi bagian dari tari Komunal, karena memiliki prinsipprinsip dan keenam ciri tersebut. 1.8.3 Tari Kreasi Baru Tari kreasi baru dapat diartikan sebagai sebuah tarian baru yang tetap bernuansa tradisi kedaerahan dan didasarkan atas kebutuhankebutuhan baru.57 Istilah tari kreasi baru ini mulai terkenal pada tahun 1960an yang menjadi pertanda munculnya tari-tari baru yang masih tetap bersumber pada tari-tari tradisi. Hal yang paling mendasar dalam tari kreasi baru adalah konsep penyajiannya. Konsep penyajian tarian ini didasarkan pada ide dan gagasan dari pengatur pertunjukan atau koreografernya. Tari kreasi baru dapat terbagi dalam dua jenis, yaitu tari-tarian kreasi baru yang menonjolkan elemen-elemen seni tradisi lokal, dan yang kedua tari kreasi baru yang dihasilkan melalui percampuran dengan unsurunsur seni daerah lain. 1.8.4 Kesenian Gandrung Kesenian Gandrung adalah tari asli masyarakat Banyuwangi. Dalam pagelaran kesenian Gandrung terbagi menjadi lima fase yakni
57
Suamryono, op.cit., p. 127.
36
topengan, jejer Gandrung, ngrepen atau repenan, paju atau maju Gandrung,
dan
Seblang-Seblangan.
Kesenian
Gandrung
dipertunjukan pada malam hari mulai pukul 21.00 sampai pukul 04.00 pagi.58 Akan tetapi semenjak tahun 1980an kesenian Gandrung lebih banyak dipertunjukan dengan penyajian baru yang biasanya hanya berdurasi 60 menit atau 90 menit. Kesenian Gandrung memiliki unsur-unsur yang mencirikannya sebagai kesenian Gandrung, yang dapat dilihat dari segi busana, musik pengiring dan gending-gendingnya (lagu-lagu). Busana Gandrung terdiri dari Omprog, Basahan yang terdiri dari Kemben, Kelat bahu, Ilat-ilat, Pending, Gelang dan Cincin, Sembong, Oncer, Sempur, Kain panjang, kipas, dan kaos kaki warna putih. Peralatan yang menjadi musik pengiringnya seperti Biola atau Baolah, kethuk, Gong, dan Kluncing (besi yang berbentuk segitiga). Gendinggending yang dinyanyikan sangat banyak jumlahnya, seperti Podo Nonton, Ayun-ayun, Dang Cap go mek, Kembang Piring, Sekar Jenang, dan Gebyar-gebyur.
1.9
Metode Penelitian dan Sumber Metode penelitian dan sumber ini terdiri dari empat tahapan, yakni heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi atau penulisan. Tahap pencarian data (heuristik) terdiri dalam beberapa teknik, yakni sebagai berikut. 58
Dariharto, op.cit., p. 16.
37
1.9.1
Studi Pustaka Studi pustaka adalah langkah pencarian data yang relevan melalui buku-buku, artikel, penelitian sebelumnya atau pustaka-pustaka yang lain yang sesuai dengan masalah penelitian. Studi ini dilakukan di perpustakaan, arsip daerah ataupun dari artikel di media masa.
1.9.2
Observasi Observasi ini dilakukan dengan terjun langsung dilapangan atau di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melihat keadaan lapangan dan objek penelitian dan mencari info. Hal ini tentu saja bermanfaat untuk langkah selanjutnya. Teknik ini digunakan untuk mecari gambaran umum tentang tema yang digunakan.
1.9.3 Wawancara Wawancara ini berupa percakapan langsung dengan para informan yang telah ditunjuk guna mencari data yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Hal ini sangat mendukung dalam pencarian data, mengingat tema yang dipakai oleh peneliti sangat sedikit sumber yang tertulis. Sehingga untuk mencari data dapat menggunakan wawancara. Selain itu dengan wawancara data yang diperoleh akan lebih spesifik atau terperinci. Dalam wawancara penulis menggunakan key informan. Key informan dalam penelitian ini adalah Bapak Abdullah Fauzi. Key Informan ini merupakan penggiat kesenian Banyuwangi, selain itu juga
38
termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi. Dari sinilah nantinya peneliti akan mencari informan-informan yang lain sesuai arahan atau masukan dari key informan, seperti para pelaku kesenian Gandrung, Budayawan dan juga tokoh-tokoh masyarakat yang berkaitan. 1.9.4
Dokumentasi Dokumentasi ini dilakukan dengan cara pegambilan gambargambar sesuai dengan objek penelitian dan juga keadaan pada saat penelitian. Langkah ini bermanfaat karena bisa menjadi sumber dari keadaan daripada objek penelitian, baik itu keadaan saat ini maupun gambar-gambar dulu yang diambil kembali untuk dijadikan sumber. Teknik ini akan menguatkan atau mendukung penjelasan-penjelasan
yang
dijelaskan
oleh
sumber-sumber
sebelumnya. Setelah melewati tahapan ini dilanjutkan dengan tahapan kritik. Kritik sumber ini digunakan untuk membuktikan keotentikan atau keasliannya sumber yang didapatkan serta menguji atau mengkarifikasi apakah sumber yang didapatkan sesuai dengan tema yang diteliti. Kritik ini akan berguna untuk membuat tulisan sejarah yang kredibel atau bisa dipertanggungjawabkan. Setelah itu tahapan selanjutnya adalah interpretasi atau penafsiran. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan kembali data-data yang ditemukan dilapangan. Interpretasi ini berguna untuk mengetahui isi
39
ataupun makna-makna yang tersirat dari sumber yang ditemukan, serta berguna untuk menghubungkan fakta-fakta yang sudah ditemukan dilapangan. Seperti misalnya SK Bupati Banyuwangi tahun 31 Desember 2002 Nomor 173 Tahun 2002 tentang penetapan Gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi dapat pula diartikan atau memiliki makna bahwa pada tahun 2002 sudah ada upaya atau campur tangan dari pemerintah dalam pelestarian tari Gandrung. Penetapan ini yang kemudian dibarengi dengan pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah dan menjadi salah satu indikator berkembangnya tari Gandrung. Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Banyuwangi. Tidak secara keseluruhan, tetapi di beberapa tempat yang dirasa sesuai dengan tema, yakni seperti di Desa Olesari, Cungking, Bakungan dan di Desa Kemiren. Alasan pemilihan tempat ini karena di desa-desa tersebut Tari Gandrung diciptakan. Serta pada desa-desa tersebut kesenian ini masih bertahan dan sering dipertunjukkan. 1.10
Sistematika Penulisan Penulisan dari hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, yakni sebagai berikut. Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi sejarah yang digunakan, kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan sumber, lokasi penelitian dan sistematika penulisan.
40
Bab II. Berisi gambaran umum daerah Banyuwangi. Gambaran umum ini dilihat dari segi geografis dan demografis Banyuwangi. Geografis ini berisi tentang keadaan alam, batas-batas daerah dan iklim di Banyuwangi. Demografi berisi tentang keadaan masyarakat Banyuwangi yang dapat terbagi
dari
jumlah
penduduknya,
etnisnya,
budayanya,
mata
pencahariannya, kondisi sosial ekonominya, kepercayaannya serta kekhususannya. Bab III berisi tentang sejarah awal dari kesenian Gandrung Banyuwangi serta penjelasan secara detail dari pagelaran kesenian Gandrung. Bab IV berisi tentang kehidupan kesenian Gandrung dalam hubungannya dengan keadaan disekitarnya pada tahun 1950 sampai 2013, serta dampakdampak yang ditimbulkannya. Bab V Simpulan, berisi tentang simpulan yang dapat diambil dari penjelasan kehidupan kesenian Gandrung di Banyuwangi yang dijelaskan dalam Bab I sampai bab IV.