1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Seni kakebyaran merupakan salah satu rumpun seni pertunjukan yang populer di masyarakat. Berawal dari munculnya gong kebyar, seni kakebyaran pada saat ini berkembang dan memiliki cakupan wilayah artistik yang sangat luas. Apabila sebelumnya seni kakebyaran dipahami terbatas sebagai salah satu bentuk kesenian yang dihasilkan dengan seperangkat gamelan gong kebyar, saat ini pemahaman seni kakebyaran sudah meluas melingkupi berbagai bentuk seni yang lain seperti seni tari sehingga munculah istilah tari kakebyaran yaitu tari-tarian yang diiringi dengan gamelan gong kebyar atau tari-tarian yang diiringi dengan pola-pola musikal yang ngebyar. Demikian luasnya eksistensi estetika kakebyaran berkembang dalam seni pertunjukan Bali, sehingga hasil seni ini mampu memengaruhi wilayah ensambel gamelan lainnya. Saat ini pola-pola kakebyaran dan komposisi kakebyaran secara utuh juga dimainkan dengan mempergunakan beberapa jenis gamelan seperti gamelan gong gede, smar pagulingan, palegongan, angklung, gender wayang dan yang lainnya. Seiring dengan semakin tersebarnya gamelan gong kebyar, seni kakebyaran juga menyebar mengikuti alur penyebaran gamelan tersebut. Saat ini seni kakebyaran sudah menyebar melampaui wilayah dan batas-batas Pulau Bali dan dimainkan tidak saja oleh orang Bali. Di beberapa wilayah Indonesia dan bahkan di beberapa negara di dunia, seni kakebyaran merupakan salah satu kesenian yang
2
cukup populer dan sering dipentaskan sebagai sajian seni pertunjukan. Pelakunya tidak saja para seniman Bali namun juga disajikan oleh seniman-seniman yang nota bene adalah bukan orang Bali. Dalam dua kali Festival Seni Sakral Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Dirjen Bimas Hindu, terdapat beberapa kontingen perwakilan masyarakat Hindu dari beberapa provinsi menyajikan materi yang dilombakan menggunakan gamelan gong kebyar sebagai pengiringnya. Pada saat dilaksanakan di Solo tahun 2010, terdapat 10 kontingen yang mewakili provinsi Lampung, Sumsel, DIY, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Banten, Bali, dan NTB. Sedangkan pada perhelatan ke II dengan tajuk Festival Seni Budaya Keagamaan Hindu Tingkat Nasional II dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 25-28 September 2012 diikuti oleh perwakilan dari 16 provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa seni kakebyaran sudah menyebar di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam wilayah yang lebih luas, terbentuknya Gamelan Sekar Jaya, di Amerika; group Sekar Jepun di Jepang, grup Gamelan Gita Asmara di Canada, ini membuktikan seni kakebyaran sudah menyebar hingga ke beberapa negara. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi persebaran budaya (culture diffusion). Seni kakebyaran mengalami penyebaran yang sangat luas dan mampu menembus batas-batas wilayah budaya di beberapa wilayah Nusantara dan di
3
berbagai belahan dunia. Bukti-bukti terjadinya penyebaran tersebut dapat dicermati dari persamaan unsur-unsur budaya khususnya seni kakebyaran yang terdapat di Bali dengan yang ada di luar Bali. G. Gerland (dalam Poerwanto, 2000:98-99), mencermati adanya persamaan unsur kebudayaan di berbagai tempat dipandang sebagai akibat terjadinya persebaran kebudayaan (culture diffusion). Tersebarnya budaya Bali di berbagai wilayah di Indonesia secara umum disebabkan oleh adanya program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka program pemerataan penduduk dan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan di sektor pertanian. Kepergian orang-orang Bali ke daerah transmigrasi tidak hanya membawa keahlian mereka sebagai petani, namun aspekaspek budaya lain seperti sistem sosial kemasyarakatan, tradisi ritual keagamaan, kesenian dan berbagai unsur budaya yang sudah mengakar dan melekat dalam hidupnya ikut terbawa dalam program tersebut. Terbawanya unsur-unsur kebudayaan Bali ketika masyarakat Bali keluar Bali adalah sebuah sikap kesetiaan budaya yang telah diwarisi dari masa lampau, serta untuk mempertahankan identitasnya sebagai orang Bali. Kesetiaan kepada kebudayaan berarti kesetiaan kepada cara hidup termasuk nilai-nilai, ideal-ideal, sistem makna dan signifikansi, serta kepekaan moral dan spiritual (Ujan, 2009:120). Jauh sebelum terjadinya difusi kebudayaan Bali melalui program transmigrasi ke berbagai wilayah di Indonesia, telah terjadi difusi kebudayaan Bali melalui proses invasi perluasan wilayah kekuasaan dan penyebaran ajaran agama Hindu di wilayah Pulau Lombok. Agung (1991) membagi kedatangan orang-orang Bali di wilayah Pulau Lombok dalam tiga gelombang. Gelombang pertama terjadi
4
pada abad ke-12 pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu, gelombang kedua terjadi pada abad ke-15, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, dan gelombang ketiga pada abad ke-17 pada masa penaklukan Lombok di bawah kekuasaan kerajaan Karangasem. Suyadnya (2002) menambahkan gelombang terakhir kedatangan orang-orang Bali ke Lombok terjadi setelah zaman kemerdekaan. Ditemukannya tongtong perunggu di daerah Pujungan, Tabanan Bali yang bertuliskan huruf kwadrat yang berbunyi: sasak dana prihan, srih javanira, diperkirakan sebagai bukti kemenangan atas negeri Sasak. Tongtong itu ditulis setelah Anak Wungsu berkuasa kira-kira abad ke 12 (Wacana, dkk. 1977/1978:8). Di samping tujuan invasi, perluasan wilayah kekuasaan juga membawa misi keagamaan sebagaimana yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha pada abad ke15 masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebagaimana diuraikan oleh Lalu Wacana, setelah kegagalan Gelgel menaklukkan Selaparang pada tahun 1520, pada tahun 1530 dilakukan upaya damai dengan mengirim Dang Hyang Nirartha ke Lombok yang akhirnya memasukkan faham baru berupa sinkretisme Hindu-Islam (Wacana, 1977/1978:42). Kedatangan orang-orang Bali ke Lombok dalam beberapa gelombang tersebut banyak di antaranya yang akhirnya menetap di Lombok, hidup dengan tradisi, budaya dan agama sebagaimana yang sebelumnya dilakukan di Bali. Keberadaan komunitas Bali ini mengakibatkan terjadinya komunikasi antara masyarakat Bali dengan masyarakat Lombok. Saling memengaruhi dalam bidang budaya tidak dapat dihindari di antara kedua etnis tersebut dan akhirnya Bali dengan
5
tradisi dan budaya yang lebih kuat memberikan pengaruh yang lebih dominan. Menguatnya pengaruh budaya Bali terjadi pada zaman kekuasaan pemerintahan Kerajaan Karangasem di Lombok tahun 1661-1894. Posisi Kerajaan Karangasem sebagai penguasa menjadikan posisi kebudayaan Karangasem (Bali) menjadi sangat kuat dan dominan sehingga menghegemoni kebudayaan khususnya seni pertunjukan masyarakat setempat. Sebagaimana dikatakan Bannet (1986), hegemoni yang dimaksud adalah tentang bagaimana kelompok kelas yang berkuasa mampu mensubordinasi kelompok sosial supaya menyetujui berjalannya hubungan yang ada dan ia melakukannya dengan menawarkan sebuah harga kepada kelompok subordinan dalam status quo. Dengan begitu apa yang disetujui sebenarnya adalah sebuah versi negosiasi dari ideologi dan budaya kelas yang berkuasa (dalam Tester, 2003:29). Penguasaan Kerajaan Karangasem Bali atas Lombok pada masa lalu, saat ini sering dimunculkan dan dijadikan isu-isu yang memicu kebencian orang-orang Sasak yang menyebabkan terjadinya perlawanan sehingga menimbulkan konflik horizontal antara Sasak dengan Bali. Munculnya berbagai ungkapan yang lebih banyak bernada mendiskreditkan orang Bali, seperti bangsa penjajah, penguasa yang merendahkan derajat orang-orang Sasak memicu kebencian di kalangan masyarakat Sasak terhadap komunitas Bali. Apalagi ungkapan tersebut dikaitkan dengan simbol-simbol kepercayaan. Hal ini menjadikan komunitas Bali semakin tersudut sebagai kelompok minoritas. Kontestasi antara kedua etnis ini di ruang publik senantiasa memarginalkan etnis Bali, sehingga sangat berdampak terhadap eksistensi tradisi dan budaya Bali. Sebagaimana diungkap oleh Suprapto,
6
pengalaman sejarah interaksi Bali-Lombok masa lalu memberikan gambaran betapa kebijakan yang diskriminatif pihak kerajaan telah merangsang sejumlah perlawanan dan memengaruhi hubungan antarkomunitas Hindu dan Muslim (Suprapto, 2013:75). Pada sisi yang lain, penerapan politik identitas dalam rangka pemurnian jati diri dan identitas budaya Sasak yang dilakukan kalangan elit penguasa, kelompok agamawan dan budayawan, menimbulkan reinterpretasi terhadap nilai-nilai budaya dengan memakai sudut pandang agama. Slogan yang diwacanakan oleh berbagai kalangan di atas yang mengatakan ”Islam itu Sasak dan Sasak itu Islam” menyebabkan terjadi pemangkasan unsur-unsur budaya lain karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Sasak. Keinginan kalangan kaum elit tradisional dan kalangan birokrat ditujukan untuk meminimalisasi atau menghilangkan identitas budaya lain dalam rangka membangun identitas yang asli. Sebagaimana diungkap oleh Suprapto, sebagian besar pejabat sengaja mengusulkan pembangunan ruko dengan desain modernminimalis untuk mengurangi dominasi warna atau nuansa Bali di Mataram. Jadi, ada motif teologis di balik pembangunan ruko-ruko di Kota Mataram. Ada grand design tata kota yang hendak mengganti warna Bali-Hindu dengan kultur Islam (Suprapto, 2013:91). Demikian kuatnya doktrin Islam dalam kehidupan masyarakat di Lombok mengakibatkan terjadi kemunduran dalam kehidupan seni budaya Bali. Sebagaimana diungkap oleh Wacana (1977/1978), seni gamelan dan seni tari di Lombok berangsur-angsur mulai berkurang bersamaan dengan pesatnya
7
perkembangan agama dan meningkatnya kesadaran beriman bagi golongan beragama Islam. Bermain gamelan dan menari dianggap sebagai kegiatan sia-sia yang membuat orang lalai mengerjakan ibadah dan merusak agama (Wacana, 1977/1978:203). Beberapa catatan para peneliti terdahulu mengungkapkan terjadinya kemunduran dalam kehidupan kesenian di NTB. Beberapa jenis kesenian tradisional, seperti gendang beleq, barong tengkoq, tawaq-tawaq, klentangan, gandrung, telek, dan kesenian lainnya mulai berkurang jumlahnya di masyarakat. Seperti yang diungkap oleh Sven Coderroth (1979), tahun 1967-1970 merupakan tahun-tahun badai, tatkala Tuan Guru melancarkan propagandanya secara intensif. Pada tahun 1967 sebuah dekrit pemerintah mamaksa kaum wetu telu ini untuk memilih salah satu agama yang diakui pemerintah. Afiliasi mereka ke dalam agama Islam dituntut untuk melaksanakan nilai-nilai keagamaan sesuai dengan yang diamanatkan oleh agama. Demikian pula tulisan Safrun Idrus (1976) ketika masyarakat setempat masih meyakini wetu telu, kesenian tersebut tumbuh sangat subur dan peminatnya banyak, tetapi setelah mereka melepaskan paham tersebut dan mengenal syariat Islam, kesenian tersebut mengalami kemunduran dan kehilangan peminat dan dewasa ini beberapa di antaranya hampir punah. Hal ini disebabkan oleh adanya fatwa-fatwa sementara tokoh-tokoh agama/Tuan Guru yang mengatakan bahwa kesenian seperti itu dilarang dalam Islam (Yaningsih, 1991/1992:31-32). Sebagaimana diketahui Pulau Lombok populer dengan istilah ”Pulau Seribu Masjid” di mana 80% masyarakatnya merupakan penganut agama Islam yang sangat taat dan fanatik dalam kehidupan beragama. Demikian kuatnya posisi agama
8
dalam kehidupan masyarakat Sasak, sehingga Islam sebagai agama merupakan sumber nilai, aturan moral atau hukum dan sistem budaya. Islam dijadikan ideologi dan falsafah hidup, sehingga segala tindakan dan pola pikir masyarakat harus bersesuaian dan berdasarkan ajaran Islam. Kata ”Sasak” dan ”Lombok” serta gabungan dari kedua kata tersebut dimaknai sebagai satu-satunya jalan lurus yang identik dengan ajaran tauhid dalam Islam sehingga masyarakat Sasak kemudian melihat dirinya sebagai masyarakat Islam sejati dari awal keberadaannya di Gumi Sasak. Maka dari itu kemudian sering terdengar kata-kata ”dengan Sasak nu dengan Islam” yang bermakna orang Sasak itu orang Islam”. Ungkapan ini meneguhkan identitas primordial dan kultural masyarakat (Lestari dalam Zuhdi, Dkk, 2011:157162). Ideologi dan falsafah tersebut menjadi dasar pertimbangan para penguasa dalam
mengeluarkan
berbagai
kebijakan
khususnya
kebijakan
budaya.
Ditetapkannya jargon Kota Mataram ”Maju, Religius dan Berbudaya” menegaskan orientasi pembangunan kota sebisa mungkin didekatkan pada nilai-nilai agama mayoritas (Islam) dan ”mengurangi” simbol agama lain. Konkritnya sedang terjadi penguatan semangat keislaman di Mataram yang menggantikan warisan Bali-Hindu (Suprapto,
2013:97). Penjelasan
Suprapto menunjukkan
terjadi gerakan
indigenousisasi, yaitu gerakan kembali ke identitas lokal untuk menjaga keaslian kelestarian budaya, sistem-sistem sosial dan kultur lokal dari serangan budaya kapitalis global, membersihkannya dari pengaruh yang serba asing (Abdilah, 2002:110). Adanya berbagai kebijakan dan gerakan tersebut secara tidak langsung berimbas terhadap eksistensi budaya etnik dari kelompok minoritas termasuk di
9
antaranya terhadap eksistensi kesenian Bali. Sebagai salah satu bentuk budaya masyarakat minoritas kesenian Bali berada dalam posisi yang mengambang, tidak jelas siapa yang bertanggungjawab atas keberadaan dan keberlanjutannya di kemudian hari. Posisi kebudayaan yang mengambang menimbulkan keengganan para pelaku, seniman dan masyarakat sehingga mengancam keberlanjutan dan kelestarian kesenian tersebut. Para seniman Bali di Kota Mataram merasa kebingungan dan mengalami kendala dalam upaya pelestarian dan pengembangan kesenian yang mereka tekuni karena tidak adanya pengayom yang dapat memberikan jaminan terhadap upaya-upaya tersebut di kemudian hari. Kesenian merupakan salah satu bagian penting dari aktivitas budaya masyarakat Bali. Di samping berfungsi sebagai hiburan masyarakat juga merupakan komponen yang sangat penting dalam aktivitas ritual keagamaan. Sebagaimana halnya di Bali, bagi masyarakat di Kota Mataram, kesenian merupakan sarana pendukung dan senantiasa ada dalam berbagai kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu orang-orang Bali di Kota Mataram berupaya mereproduksi tradisi kesenian yang mereka warisi dengan membangun tradisi tersebut sebagaimana yang terdapat di Bali. Di antara berbagai jenis kesenian yang direproduksi, seni kakebyaran merupakan salah satu yang populer di kalangan masyarakat di Kota Mataram dan di Lombok pada umumnya. Fleksibelitas yang dimiliki seni kakebyaran menyebabkan kesenian ini dapat dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas terutama dalam ritual keagamaan dan dilakoni bukan saja oleh orang-orang Bali namun juga di kalangan masyarakat Sasak. Hal ini menunjukkan adanya nilai kesemestaan seni bahwa seni kakebyaran
10
menjadi simbol kerukunan dan kebersamaan antara orang-orang Bali dan orangorang Sasak di Lombok. Seiring dengan perkembangan yang terjadi sebagai akibat dari persoalan sentimen budaya, etnisitas dan upaya-upaya revitalisasi serta pemurnian identitas Sasak, seni kakebyaran sebagai salah satu kesenian yang menjadi simbol kerukunan antaretnis Bali dan Sasak mulai terancam keberadaannya karena mulai jarang dipergunakan dalam aktivitas budaya dan dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat mayoritas. Seni kakebyaran semakin terbatas pemanfaatannya dan lebih banyak disajikan dalam aktivitas keagamaan umat Hindu di Kota Mataram. Reproduksi seni kakebyaran adalah sebagai upaya untuk memperkuat identitas budaya yang terancam eksistensinya oleh adanya perubahan strategi budaya pemerintah setempat. Penelitian ini sangat penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengetahui keberadaan, keberlanjutan, seni pertunjukan khususnya seni kakebyaran dalam rangka pemerataan pengembangannya, dan sebagai salah satu identitas seni budaya Bali, bisa diterima dan menempati posisi yang sejajar dengan budaya lokal.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana bentuk reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat? 2. Mengapa terjadi reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat?
11
3. Apa dampak dan makna reproduksi seni kakebyaran terhadap kehidupan seni dan budaya masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Sebagai sebuah aktivitas ilmiah, penelitan ini secara umum bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang holistik tentang reproduksi seni kakebyaran dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tanggara Barat. Terjadinya berbagai fenomena yang sangat menarik dari perspektif kajian budaya perlu diungkap ketika seni kakebyaran yang merupakan ikon dan identitas budaya masyarakat Bali direpresentasikan di wilayah yang baru di luar daerah asalnya.
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian memiliki tujuan khusus berikut ini: 1) Untuk mengetahui bentuk reproduksi seni kakebyaran dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. 2) Untuk memahami penyebab terjadinya reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. 3) Untuk menginterpretasi dampak dan makna
reproduksi seni
kakebyaran terhadap kehidupan seni dan budaya masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. 1.4 Manfaat Penelitian
12
1.4.1 Manfaat Teoritis 1) Sebagai sebuah studi tentang budaya, penelitian ini diharapkan bermanfaat
bagi
bidang
keilmuan
khususnya
penyetaraan
pengembangan di bidang seni pertunjukan dalam konteks kajian budaya. 2) Sebagaimana dikatakan Abdullah (2007:42), pemahaman tentang reproduksi kultural yang menyangkut bagaimana kebudayaan asal direpresentasikan dalam lingkungan baru masih sangat terbatas. Untuk itu penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang reproduksi seni kakebyaran sebagai salah satu ikon dan identitas budaya masyarakat Bali ketika direpresentasikan di wilayah yang baru, khususnya di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. 3) Untuk dapat dipergunakan sebagai referensi alternatif dalam penelitian lebih lanjut tentang reproduksi budaya khususnya dalam seni pertunjukan.
1.4.2 Manfaat Praktis Dengan dilaksanakannya penelitian ini, manfaat praktis yang diharapkan adalah sebagai berikut. 1) Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai suatu sumbangan pemikiran dan sebagai acuan di dalam menentukan berbagai kebijakan dalam pemerataan dan penyetaraan perkembangan seni pertunjukan khususnya seni kakebyaran di Kota Mataram.
13
2) Sebagai suatu bentuk solusi dalam memecahkan permasalahan kesenjangan yang terjadi dalam pekembangan seni kakebyaran di Kota Mataram, sehingga nantinya terjadi pemerataan pengembangan kesenian tersebut baik secara kuantitas dan utamanya kualitas. 3) Untuk meningkatkan kesadaran para penentu kebijakan dan kepedulian semua pihak akan pentingnya peran kesenian dalam kehidupan masyarakat secara lebih luas, mempererat jalinan komunikasi antarbudaya, penguatan identitas, jati diri dan pembangunan karakter bangsa sehingga diharapkan tidak terjadi marjinalisasi budaya dalam kondisi masyarakat dengan budaya yang heterogen dan multikultur. 4) Keberadaan seni kakebyaran sebagai salah satu seni pertunjukan dengan segala keunikan dan keindahannya merupakan modal budaya yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik serta pembangunan daerah pada umumnya.