BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Seni pertunjukan Janger Banyuwangi adalah salah satu teater rakyat1 di Indonesia yang mampu bertahan hingga saat ini. Dapat dikatakan bahwa kesenian ini merupakan suatu bangunan komunikasi sosio-kultural yang di dalamnya termanifestasikan pandangan dunia (world view) masyarakat pendukungnya. Tanpa perjuangan keras para seniman Janger beserta dukungan khalayak penggemarnya, kesenian ini tentu sudah mengalami keruntuhan sebagaimana dialami berbagai kesenian sejenis di tanah air. Janger Banyuwangi, dengan demikian, adalah sebuah strategi komunikasi yang sengaja dikonstruksi, dipergunakan, dan dipertahankan oleh masyarakat Banyuwangi yang multietnis untuk melanjutkan dinamika kultural mereka. 1
Brandon, dalam Theatre in Southeast Asia. Cambridge, MA: Harvard University Press. 1967, hlm. 107-114, membedakan teater di Indonesia menjadi empat kelompok, yakni (1) teater rakyat, (2) teater istana, (3) teater populer, dan (4) teater Barat. Teater rakyat dikaitkan dengan kehidupan desa, kepercayaan dan ritual animistik; pertunjukan biasanya digelar pada saat senggang serta untuk tujuan tertentu, jarang dipentaskan di gedung pertunjukan, dan dengan bentuk pertunjukan serta tingkat artistik sederhana. Para pemainnya amatir, berdasarkan hobi. Biaya pertunjukan diperoleh dari masyarakat atau pihak tertentu, sehingga penonton tidak perlu membayar. Sedangkan teater istana, sebagaimana namanya, berkembang di bawah patronase istana yang merefleksikan pengaruh kebudayaan luar—India, Cina, atau negara-negara lain yang dianggap lebih maju daripada negara setempat. Para pemainnya adalah abdi dalem yang hidup di istana dan dibiayai oleh raja. Pelaksanaan pertunjukan di sekitar istana, biasanya dikaitkan dengan hari besar keagamaan, penonton terdiri atas para tamu yang diundang raja dan tanpa dikenakan bayaran. Tradisi teater yang ketiga, yakni teater populer, muncul dari masyarakat kalangan menengah yang mengenal aksara. Pertunjukan mereka berupa usaha komersial, menopang diri dengan menjual karcis pada penonton. Pada umumnya pertunjukan diselenggarakan setiap malam sepanjang tahun, di dalam gedung pertunjukan permanen ataupun temporer, dengan cerita dari berbagai sumber asal dapat memuaskan penonton. Teater populer ini berada di ujung ‗Tradisi Besar‘ teater istana dan ‗Tradisi Kecil‘ teater rakyat, sering luput dari pengamatan para ahli. Sementara itu tradisi teater yang keempat, teater Barat, merupakan produk masyarakat elit berpendidikan tinggi, dengan bentuk pertunjukan mengikuti model teater Barat. Para pemainnya biasanya para mahasiswa atau sarjana, beberapa di antara mereka pernah belajar di Amerika atau Eropa dan berorientasi Barat.
1
Pada masa sekarang tampak bahwa keadaan seni pertunjukan di berbagai daerah di Indonesia mengalami kemunduran yang signifikan, setidaknya secara kuantitas, karena harus menghadapi banyak tantangan. Mudahnya akses masyarakat terhadap media-media hiburan baru yang relatif murah dan lebih menarik benar-benar mengguncang bahkan merontokkan keberadaan sebagian besar seni pertunjukan tradisional di tanah air. Wayang Orang, Ketoprak, Topeng Dalang, Praburoro, Kentrung, Jemblung, dan Ludruk, misalnya, merupakan seni pertunjukan rakyat Jawa yang nyaris mengalami kepunahan total karena tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan jaman. Semakin melemahnya daya tahan masyarakat di berbagai daerah dalam mempertahankan nilai-nilai kebudayaannya merupakan konsekuensi dari persaingan yang tidak berimbang antara budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya global. Pada tahun 1961, BAKOKSI (Badan Kontak Ketoprak Seluruh Indonesia, yakni sebuah lembaga kesenian di bawah PKI) mengklaim memiliki anggota lebih dari 800 perkumpulan ketoprak di seluruh Indonesia. Pada tahun 1960-an di seantero Pulau Jawa terdapat tidak kurang dari 30 rombongan Wayang Orang yang tampil rutin setiap malam di hadapan publik (Brandon, 1967). Ketika hari libur nasional tiba, di kota Surabaya saja terdapat beberapa ratus pertunjukan Ludruk yang digelar secara simultan, sedangkan pada hari-hari biasa, setiap malam terdapat lima kelompok Ludruk profesional yang pentas di lima gedung pertunjukan komersial di mana masing-masing pertunjukan ditonton ratusan orang (Peacock, 2005:345). Pada tahun 1920-an, terdapat sekitar empat ratus hingga lima ratus kelompok ketoprak di seputar Surakarta dan Yogyakarta (Brandon, 2
1967), dan jumlah ini terus berkembang sehingga pada awal tahun 1990-an jumlah kelompok ketoprak di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur diperkirakan mencapai lebih dari 1000 kelompok. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2010, jumlah tersebut menurun drastis, bahkan di Jawa Timur bisa dikatakan tidak ada satu pun kelompok ketoprak yang dapat bertahan dalam keadaan normal sepertti dulu. Kelompok yang pada era 1980-an dan 1990-an merupakan kelompok ketoprak paling besar dan prestisius, yakni Siswo Budoyo, sudah sejak beberapa tahun silam gulung tikar. Grup Ketoprak Siswo Budoyo didirikan oleh Ki Siswondho Hardjo Suwito, yang biasa dipanggil Pak Sis, di Tulungagung pada tanggal 18 Juni 1958. Pak Sis meninggal dunia pada tanggal 17 Februari 1997. Setelah sang pendiri tiada, grup Ketoprak ini berangsur-angsur surut dan akhirnya bubar.2 Kondisi yang menimpa berbagai seni pertunjukan rakyat Jawa semacam ini juga sebagai akibat terjadinya persaingan antara seni pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan modern dalam memperebutkan pasar, karena pada saat ini seni pertunjukan tidak lagi berhubungan dengan ritual atau estetika semata, melainkan sudah berkaitan erat dengan nilai komersial. Berbagai perubahan yang terjadi di mana-mana di tanah air, yang mengindikasikan penguatan maupun melemahnya aktivitas berbagai kesenian tradisional, harus dilihat secara bijaksana karena tidak ada penyebab tunggal atas berlangsungnya perubahan-perubahan tersebut. Menurut Budianta, konteks perubahan tersebut adalah kebijakan politik,
2
Mengenai Ketoprak Siswo Budoyo lihat Susanto, Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial: Siasat Politik (Kethoprak) Massa rakyat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga Studi Realino. 2000.
3
dinamika masyarakat, dan media (2005:xix). Tingkat pendidikan masyarakat dan kondisi perekonomian yang semakin membaik harus mendapat perhatian khusus sebagai aspek penyebab perubahan selera masyarakat terhadap seni tradisional. Di antara sekian banyak produk budaya di tanah air yang dalam beberapa dekade terakhir mengalami kemunduran, seni pertunjukan Janger Banyuwangi terbukti masih mampu bertahan dan bahkan berkembang dengan baik dalam hal estetika, ekonomi, dan pelestarian. Kesenian rakyat ini berkembang sejalan dengan pergeseran selera masyarakat setempat, dari bentuk pementasan yang pada mulanya sederhana hingga mencapai bentuk yang lebih kompleks seperti saat ini. Dapat dikatakan bahwa pertunjukan Janger berada dalam konteks kompleksitas serta dinamika kebudayaan di Banyuwangi, dan karenanya mengemban berbagai fungsi budaya masyarakat Banyuwangi.3 Pengertian budaya, atau kebudayaan, dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Tylor (1958:1) yang mengidentifikasi budaya sebagai ―keseluruhan kompleksitas termasuk pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kemampuan serta kebiasaan lain yang dimiliki oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.‖ Selama beberapa dasawarsa, kesenian Janger menjadi salah satu seni pertunjukan rakyat yang berhasil meraih popularitas di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Kesenian ini juga mampu mengundang banyak penonton dan penikmat karena penampilannya sebagai teater rakyat yang tidak hanya menjadi sarana 3
Arsana dan Bandem dalam penelitiannya yang berjudul ―Gamelan Janger: Hibrida Musik Banyuwangi dan Bali Sebuah Akulturasi Budaya,‖ Humanika, 18 (1), Januari 2005, menyebutkan fungsi primer seni Janger dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi adalah sebagai sarana presentasi estetis (art of presentation) dan hiburan dalam perhelatan perkawinan, acara khitanan, perayaan hari-hari besar kenegaraan, acara gelar budaya, dan lain-lain. Sedangkan fungsi sekunder kesenian ini adalah sebagai sarana pengikat solidaritas, media propaganda program-program pemerintah, dan media komunikasi massa dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.
4
hiburan (tontonan) semata, namun sekaligus dimaksudkan untuk menampilkan keteladanan (tuntunan) yang dapat dijadikan refleksi tatanan kehidupan seharihari. Dapat dikatakan bahwa kesenian ini merupakan respons kreatif masyarakat Banyuwangi atas masuknya berbagai gelombang pengaruh kesenian dari daerah lain, dalam hal ini dari Jawa dan Bali, yang berlangsung selama berabad-abad. Dengan demikian Janger bukan semata-mata sebuah bentuk kesenian yang diambil utuh begitu saja dari daerah lain, melainkan sudah melalui kreasi ulang, atau upaya penciptaan kembali, sehingga hasilnya berbeda dari kesenian-kesenian terdahulu yang memengaruhinya. Melalui cerita-cerita yang dimainkan, Janger menyuguhkan nilai-nilai luhur yang layak direnungkan, misalnya nilai budi pekerti, etika bermasyarakat atau bahkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air. Seni teater, khususnya teater rakyat, telah memiliki sejarah panjang selama berabad-abad. Salah satu prasasti di Jawa yang mengungkapkan adanya seni pertunjukan (teater) adalah prasasti Jaha yang bertahun 840 Masehi, dikeluarkan atas nama Maharaja Sri Lokapala sebagai bukti pembebasan daerah Kuti. Dalam prasasti itu disebutkan beberapa bentuk kesenian, termasuk teater. Di antaranya yang disebut adalah pahawuhawu (para petugas yang mengurusi hiburan atau tempat pertunjukan), dagang (orang yang bertugas mengurus lelucon), atapukan (petugas yang mengurus wayang atau pertunjukan topeng), aringgit (petugas yang mengurusi wayang kulit), abanwal (badut atau pelawak), haluwarak (pengurus gamelan), weningle (penabuh), dan pawidu, yang mungkin berarti ―drama tari‖ (Bandem dan Murgiyanto, 1996:22). Namun posisi berbagai teater rakyat saat ini semakin terpinggirkan karena kurang mampu bersaing dengan aneka produk 5
budaya dari luar yang membanjiri seluruh pelosok negeri melalui media massa, khususnya televisi.4 Aneka produk kesenian dari luar tersebut pada akhirnya lebih populer daripada teater rakyat maupun kesenian-kesenian tradisional lain karena mendapat dukungan penuh dari media massa. Tampak bahwa teater rakyat tidak memiliki daya tahan yang memadai dalam menghadapi dinamika perkembangan jaman. Secara internal, para seniman tradisional kurang mampu mengembangkan diri sehingga secara estetis pertunjukan mereka kurang mampu bersaing dengan seni pertunjukan modern, dan proses pewarisan pelaku kesenian rakyat tersebut belum menemukan metode yang dapat diterapkan secara komprehensif. Namun, sementara beberapa jenis teater tradisional di berbagai tempat di Indonesia jatuh berguguran, seni Janger tetap tegak berdiri. Hingga saat ini seni Janger Banyuwangi masih mampu meramaikan khasanah seni budaya tradisional dan bersaing dengan aneka jenis hiburan modern, bahkan dapat dikatakan bahwa seni pertunjukan Janger mengalami penguatan. Istilah hiburan modern di sini merujuk pada jenis-jenis kesenian pop yang tidak memiliki basis kesejarahan kuat di kalangan masyarakat pendukung atau penikmat kesenian tersebut. Penguatan pada seni Janger bisa terjadi karena tampaknya masyarakat Banyuwangi masih menganggap penting keberadaan kesenian ini, selain karena kemampuan para seniman Janger dalam menerapkan beberapa strategi untuk bertahan. Salah satu strategi yang mereka terapkan adalah menjadikan para aktris Janger sebagai
4
Meskipun stasiun televisi nasional (TVRI) telah berdiri sejak tahun 1962, namun siarannya hanya mampu menjangkau sebagian kecil masyarakat kaya di perkotaan hingga akhir dekade 1960-an. Barulah pada pertengahan dekade 1970-an, ketika kondisi ekonomi masyarakat semakin membaik, jumlah pemilik pesawat televisi meningkat. Booming televisi di Indonesia baru terjadi pada awal 1990-an akibat kemunculan sejumlah stasiun televisi swasta.
6
eksotikon,5 yakni keharusan bagi setiap aktris untuk tidak saja mampu memerankan dengan baik tokoh tertentu yang sudah digariskan, misalnya sebagai selir, puteri raja/adipati, atau abdi dalem, tetapi juga harus mampu menjadi daya tarik ekstra bagi pementasan. Hal semacam ini sesungguhnya telah ada dan dikenal di kalangan dunia seni pertunjukan sejak dulu namun belum dimanfaatkan sebagai sebuah strategi untuk memikat masyarakat. Dalam konteks ini terjadilah negosiasi yang tak terhindarkan antara nilai-nilai dan estetika lama dengan nilainilai dan estetika baru. Oleh karena itu apa yang terjadi di sini adalah mencairnya batas-batas estetik seni pertunjukan. Sesungguhnya mencairnya batas-batas estetik seni pertunjukan tidak hanya dialami oleh genre-genre seni pertunjukan ―pinggiran‖ dan muda usia semisal seni Janger. Wayang Kulit, suatu genre seni pertunjukan Jawa yang telah begitu mapan dan teruji waktu selama ratusan tahun, tidak mampu menghindar dari pengaruh eksternal. Kayam (2001:119-182) menggambarkan dengan menarik bagaimana batas-batas formal wayang kulit Jawa telah mencair. Meskipun pro dan kontra terjadi di kalangan masyarakat pendukung kesenian ini, kenyataan telah menunjukkan bahwa interaksi dengan kesenian-kesenian lain dan persentuhannya dengan televisi telah membawa dampak serius bagi perkembangan wayang kulit. Menurut Kayam, fenomena tersebut berkaitan erat dengan apa yang terjadi dalam
5
Istilah peneliti sendiri, merupakan bentukan dari kata eksotika (exotic) + ikon (icon), yang merujuk pada seseorang yang dijadikan sebagai ikon eksotisme. Dalam hal seni Janger, seorang aktris diharapkan bisa menari dan menyanyikan lagu-lagu dangdut serta daerah (khususnya lagulagu daerah Banyuwangi dan Jawa) yang sedang populer, selanjutnya mengajak para penonton untuk nyawer. Pada adegan pisowanan, misalnya, sang raja/adipati mengajak semua yang hadir untuk bersenang-senang dengan cara mempersilahkan para puteri kerajaan/kadipaten untuk menyanyi dan menari. Dalam adegan pisowanan di istana Minak Jinggo, yang menerima tugas menyanyi dan menari adalah Wahito dan Puyengan. Keduanya adalah istri Minak Jinggo sendiri.
7
masyarakat, yakni semakin melemahnya ikatan masyarakat penonton pada lokalitas dan gagasan mengenai identitas lokal serta tenggelamnya mereka dalam proses massalisasi yang dilakukan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik. Dalam catatan Kayam, gejala mencairnya batas-batas estetik seni pertunjukan serta melemahnya ikatan masyarakat penonton pada lokalitas mulai merebak pada pertengahan kedua tahun 1980-an. ―Goyahnya kedudukan kesenian tradisional masa kini‖ adalah satu tema yang muncul berulangkali dalam buku Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi, dan Profesi (Yampolski, ed., 2006). Buku ini mencatat berbagai pendapat para seniman dan pemerhati kebudayaan di tanah air, di mana sebagian besar dari mereka mengeluhkan menurunnya jumlah penonton serta peminat seni tradisional. Ninuk KledenProbonegoro (1998:104) juga mengkhawatirkan keadaan tradisi lisan yang semula hidup subur (khususnya) di pedesaan, mulai kurang diminati oleh generasi muda yang sudah mengenal aksara. Terutama di kota-kota besar, mereka lebih gemar membaca daripada duduk sepanjang malam mendengarkan cerita. Dongengdongeng rakyat yang semula hanya dapat didengar melalui tuturan, kini telah banyak diterbitkan sebagai buku yang dapat diperoleh dengan mudah di toko-toko buku, atau di berbagai perpustakaan anak-anak. Apa yang berlangsung di sini adalah suatu peralihan, dari gemar mendengar tuturan menjadi lebih tertarik pada bacaan. Namun ternyata kekhawatiran Ninuk Kleden-Probonegoro dan para seniman-budayawan tersebut tidak sepenuhnya terjadi di Banyuwangi pada saat penelitian ini dilakukan. Paling tidak, masyarakat, termasuk sebagian besar 8
generasi muda, tetap menggemari seni Janger dan mau manyaksikan pertunjukan kesenian ini semalam-suntuk. Musik daerah Banyuwangi, Kendang Kempul, popularitasnya di kalangan remaja dan orang-orang dewasa bahkan mengalahkan musik dangdut, pop nasional maupun musik Barat. Seni pertunjukan Janger saat ini sudah menjadi komoditas yang berdaya jual cukup tinggi, serta menjadi lahan subur untuk mencari penghidupan bagi para pendukungnya. Beberapa orang berduit, yang semula tidak benar-benar punya sangkut-paut dengan seni Janger, secara tak terduga memutuskan untuk menjadi juragan6 Janger. Meskipun membutuhkan modal relatif besar untuk mendirikan sebuah grup Janger, lengkap dengan peralatannya—sekitar Rp 500 juta hingga Rp 600 juta—namun secara ekonomis pertunjukan Janger masih menjadi lahan bisnis yang menjanjikan bagi para juragan Janger serta menjadi komoditas hiburan yang mampu menghidupi banyak pihak, termasuk orang-orang yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan pelaksanaan pementasan kesenian ini, misalnya para pedagang kaki lima keliling, pengusaha syuting/rekaman video, pengusaha penggandaan dan distributor VCD, dan sebagainya. Fenomena kemampuan seni Janger dalam mempertahankan eksistensinya tersebut ternyata belum mendapat perhatian yang memadai dari Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten. Nyaris tidak ada ―sentuhan‖ pemerintah terhadap kesenian ini. Sementara itu minat para pemerhati senibudaya terhadap Janger juga relatif minim, sehingga sampai saat ini belum ada
6
Juragan adalah pemilik suatu grup Janger. Terdapat dua jenis kelompok Janger dilihat dari model kepemilikan dan pengelolaannya, yakni Janger Bos dan Janger Organisasi. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada Bab III.
9
peneliti yang mengkajinya secara mendalam dan lebih komprehensif. Pada titik inilah tampak pentingnya penelitian terhadap seni Janger ini. Sebagai bagian dari tradisi lisan masyarakat Banyuwangi, cerita-cerita dan berbagai unsur lainnya dalam pertunjukan Janger tentunya merepresentasikan dan memanifestasikan budaya masyarakat tersebut. Bentuk perilaku suatu kolektif cenderung terimplementasi dalam koleksi cerita rakyat yang dimilikinya, yang tidak jarang dijadikan pedoman bagi perilaku masyarakat. Merujuk pada pemikiran Duranti (1997:23-50), cerita-cerita dan berbagai unsur dalam pertunjukan Janger dapat dianggap sebagai suatu sistem pengetahuan. Di samping itu, beberapa orang pemikir seperti Malinowski (1962), Eliade (2002), dan Finnegan (1992) memahami cerita rakyat sebagai cerita sakral yang memiliki kaitan erat dengan ritus-ritus tertentu dalam masyarakat, berisi pengetahuan tentang kosmos, bersifat simbolis dan metaforik, berobjek realitas mutlak, dan memiliki fungsi serta makna bagi kehidupan masyarakat pemiliknya. Jika diasumsikan bahwa telah terjadi perubahan dalam masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan budaya media, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa konvensi kelisanan dalam pertunjukan Janger pun mengalami perkembangan, perubahan, serta pergeseran sesuai dengan apa yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi, atau bahkan masyarakat yang lebih luas. Agaknya perkembangan, perubahan, dan pergeseran semacam itu adalah dalam kerangka strategi bertahan, yakni agar kesenian tersebut dapat terus dinikmati masyarakat serta ditransmisikan kepada generasi berikutnya.
10
Dalam kebudayaan berbagai masyarakat, bahasa selalu menjadi faktor determinan, khususnya dalam proses transmisi berbagai nilai untuk menjaga keberlangsungan nilai-nilai tradisi tersebut. Bagi masyarakat tradisional, bahasa lisanlah faktor determinan itu. Namun upaya pengkajian terhadap kelisanan seni Janger, sebagai folklor setengah lisan (partly verbal folklore), tidak bisa dilepaskan dari aspek-aspek nonverbal yang ada di dalamnya. Kajian terhadap pertunjukan Janger tersebut, baik mengenai aspek-aspek kelisanan, keberaksaraan maupun teatral, dapat dilakukan secara holistik apabila menempatkan kesenian tersebut dalam konteks budaya Banyuwangi. Oleh karena itu, agar dapat diperoleh pemahaman yang mendekati holistik, analisis kelisanan terhadap seni Janger tidak cukup hanya difokuskan pada lakon dan pertunjukannya (lore-nya) saja, tetapi juga pada masyarakat pemilik kesenian (folk-nya); atau kajian terhadap teks dan konteksnya. Hal ini penting untuk ditekankan karena: (1) Suatu teks tidak pernah hadir dalam ruang kosong dan terbebas dari berbagai kepentingan. Dengan demikian makna yang tersimpan di dalam suatu tradisi atau kebudayaan suatu masyarakat tidak akan dapat dipahami dengan baik tanpa mempelajari atmosfir atau ekologi kebudayaan tempat tradisi tersebut hidup; (2) Suatu teks tidak hanya dimaknai sebagai sesuatu yang telah ditulis, melainkan juga yang dipikir, dilisankan, dan dipraktikkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Karena itu pemahaman yang menyeluruh dan berimbang terhadap teks dan konteksnya semacam ini menjadi penting. Judul utama disertasi ini, Kelir Mancawarna, mencerminkan asumsi dasar penelitian ini mengenai kekayaan kelisanan seni Janger. Frasa ―kelir 11
mancawarna‖ secara leksikal berarti layar yang berwarna-warni. Pada pertunjukan Janger, warna-warni layar dapat dilihat di sepanjang pertunjukan karena bacground semua adegan dalam pertunjukan adalah berupa layar bergambar. Identik dengan warna-warni pada layar tersebut adalah warna-warni pada aspek kelisanan seni Janger, di mana bahasa Jawa sebagai bahasa utama pertunjukan didampingi oleh bahasa-bahasa lain yang digunakan oleh masyarakat Banyuwangi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Serangkaian asumsi dasar lainnya atas pelaksanaan kajian terhadap seni Janger ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Masyarakat di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali masyarakat Banyuwangi yang dikenal gigih dalam mempertahankan kebudayaannya, terus bergerak mengikuti perkembangan jaman. Perubahan dan pergeseran sebagai akibat dari negosiasi nilai-nilai lama dan baru menjadi konsep kunci. 2. Seni Janger, sebagai produk budaya masyarakat Banyuwangi, menghadapi
tantangan
atas
terjadinya
dinamika
perubahan
masyarakat
pendukungnya. Teknologi informasi dan media telah berkembang pesat sehingga memengaruhi kondisi kelisanan masyarakat. Jika dahulu Janger hidup dalam masyarakat dengan tingkat kelisanan tinggi (untuk tidak mengatakan masyarakat dengan kelisanan murni), kini Janger berada pada suatu era yang oleh Walter J. Ong (1982) disebut sebagai era secondary orality. Keberadaan kesenian ini bukan sekadar artifak, melainkan juga fakta mental (mentifact), fakta sosial (sociofact), dan merupakan fakta nirsadar kolektif (collective unconsciousness) budaya
12
masyarakat Banyuwangi. Karena itu untuk dapat bertahan diperlukan strategi dan konvensi-konvensi kelisanan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. 3. Seni Janger merupakan teater rakyat khas produk masyarakat Banyuwangi yang terus bergerak menuju masyarakat multikultur. Kesenian ini tidak hanya dimainkan oleh para pendukung lama yang berusia relatif tua, tapi juga oleh para pendukung baru dengan usia yang lebih muda, berpendidikan lebih tinggi, serta mengikuti perkembangan teknologi media dan hiburan. Selain itu, para pemain Janger tidak hanya terdiri atas seniman-seniman idealis, tetapi juga orang-orang yang menganggap kesenian sebagai wahana penghidupan, seperti layaknya bidang-bidang kehidupan lain. Karenanya dimungkinkan terjadi negosiasi pemikiran di antara para pemegang nilai-nilai tradisi yang biasanya berpegang pada pakem, nilai-nilai dan estetika lama, dengan para pemegang nilainilai dan estetika baru yang telah termultimediakan, berpendidikan formal lebih tinggi, dan cenderung lebih berkiblat pada pasar. 4. Seiring dengan munculnya berbagai sarana pendidikan, hiburan dan media informasi baru di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi, dimungkinkan bahwa masyarakat tidak lagi menganggap kehadiran seni Janger di hadapan mereka sekedar sebagai ―wahana penyampai pesan,‖ tetapi telah dikonstruksi sebagai ―pesan itu sendiri,‖ sesuai dengan ungkapan Marshall McLuhan the medium is the message.7
7
James Brandon sudah sejak semula menengarai bahwa posisi pertunjukan di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, adalah sebagai the medium is the message. Pada seni pertunjukan di Asia Tenggara, isi disampaikan lewat kode-kode dari musik, tari, dan elemen-elemen produksi visual, dan juga lewat kode-kode bahasa, pola-pola pembicaraan, dan struktur dramatik. Para penonton dengan teliti menyadari pola-pola artistik atau kode-kode ini. Penonton mereaksi pada pola-pola artistik, bukan pada isi. Mereka menikmati keindahan dari bentuk dengan benar-benar terpisah dari
13
Jumlah penelitian akademis, dan juga liputan media, terhadap seni Janger hingga saat ini tergolong minim dan kurang memadai jika dibandingkan dengan penelitian akademis dan liputan media terhadap sejumlah seni pertunjukan lainnya yang terkenal di Banyuwangi, misalnya seni tari Gandrung. Berbagai aspek seni tari Gandrung telah ditelaah para peneliti baik dari dalam maupun luar negeri, dan beberapa di antaranya terkesan mengulang-ulang. Selain itu, para peneliti seni pertunjukan Jawa, baik dari dalam maupun luar negeri, dalam berbagai penelitian menyebut dengan fasih Wayang Orang, Wayang Topeng, Wayang Kulit, Ludruk, Ketoprak, dan beberapa jenis teater rakyat Jawa lainnya, namun mereka tidak pernah menyinggung seni Janger Banyuwangi, seolah-olah kesenian ini memang tidak pernah ada di jagad seni pertunjukan Indonesia. Lihat, misalnya, sejumlah penelitian penting yang telah dilakukan James Brandon (1974), Claire Holt (2000), Umar Kayam (2001), Helene Bouvier (2002), Bernard Arps (Ed.) (1993) dan James L Peacock (2005). Dengan kata lain, seni Janger Banyuwangi belum diberi tempat yang memadai dalam narasi besar seni pertunjukan Indonesia. Oleh karena itulah pengkajian terhadap kesenian ini cukup relevan untuk dilaksanakan, mengingat bahwa pada era di mana media hiburan sudah berkembang sedemikian pesat dan bervariasi, dengan penyebaran melalui berbagai media massa yang juga ‗apa itu artinya‘. Pemain dan penonton akrab dengan kode-kode yang sama yang layak bagi terjadinya sebuah komunikasi. Selengkapnya lihat Brandon, Theatre, 2003:415-6. Brandon (1967:397-8) juga menjelaskan bahwa seni pertunjukan pada masyarakat Barat sudah lama berhenti menjadi media komunikasi massa. Dengan hanya beberapa perkecualian, para penonton seni pertunjukan dewasa ini di negara-negara Barat merupakan minoritas terpelajar dan urban dari penduduk; seni pertunjukan adalah bagi golongan elite. Akan tetapi di Asia Tenggara dari masa silam yang jauh yang kita ketahui, seni pertunjukan telah berfungsi sebagai sebuah media utama untuk berkomunikasi dengan massa rakyat yang luas. Dewasa ini walaupun media massa mekanis dan elektronis yang modern telah memasuki gambaran kenyataan, fungsi dari seni pertunjukan hanya berubah sedikit. Seni pertunjukan menjangkau penonton massa; ia tetap merupakan satu bagian dari kebudayaan massa. Seni pertunjukan harus dipandang sebagai satu dari ‗media massa‘ di Asia Tenggara bersama-sama dengan percetakan, radio, televisi, dan bioskop.
14
bervariasi, sebagian masyarakat Banyuwangi tetap berminat untuk menghadirkan dan menyaksikan kesenian Janger. Untuk menghadirkan pertunjukan Janger pada suatu acara hajatan diperlukan biaya relatif mahal, dan untuk menyaksikan pertunjukan Janger—meskipun gratis untuk semua penonton—diperlukan perjuangan yang tidak ringan karena pertunjukan tersebut berlangsung di malam hari, dimulai sejak pukul sembilan dan berakhir menjelang dini hari. Lokasi pertunjukan tidak di gedung pertunjukan di pusat kota, atau di tempat-tempat yang mudah dijangkau dengan menggunakan angkutan umum, melainkan di mana saja sesuai dengan tempat tinggal si empunya hajat. Ada kemungkinan bahwa masyarakat menghadirkan atau menyaksikan seni Janger bukan hanya sekedar ingin mengetahui cerita yang ditampilkan, karena secara umum mereka sudah mengetahui isi atau pola ceritanya, namun lebih dari itu mereka ingin mengalami, menangkap, memahami, atau mempertahankan sesuatu yang dihadirkan melalui pertunjukan tradisional tersebut, sesuatu yang tanpa disengaja telah dianggap menjadi bagian dari kehidupan sosio-kultural mereka. Sesuatu itulah yang harus diungkap melalui penelitian ini.8
8
Peneliti mulai mengenal seni Janger pada tahun 1982, pada saat baru memasuki semester awal kuliah S1 di Fakultas Sastra Universitas Jember. Pada saat itu peneliti dan kawan-kawan, sebagai mahasiswa baru, sedang menyiapkan sebuah pementasan yang harus dipergelarkan. Peneliti menyodorkan seni kentrung yang sering peneliti tonton ketika masih kanak-kanak di Kediri sebagai bentuk dasar pertunjukan, dipadu dengan beberapa unsur kesenian lain, terutama seni Janger Banyuwangi. Hal ini terjadi karena beberapa mahasiswa berasal dari Banyuwangi dan mereka mengenal seni Janger dengan cukup baik. Sejak saat itu peneliti sering menonton pertunjukan Janger, baik di Banyuwangi maupun di Jember. Peneliti juga membeli beberapa buah cassette yang berisi rekaman pertunjukan Janger yang banyak beredar di Banyuwangi dan di Jember. Pada masa itu video player belum memasyarakat, sehingga yang beredar di pasaran hanya rekaman audionya saja.
15
1.2 Rumusan Masalah Seni Janger Banyuwangi disangga oleh masyarakat tradisional yang dalam kehidupan sehari-hari masih cukup kental dengan tradisi lisan, yang terbiasa menggunakan ingatan sebagai media penting penyimpan nilai-nilai tradisi yang mereka miliki. Pada masa lalu, ketika teknologi informasi belum berkembang pesat dan arus informasi masih relatif stabil, masyarakat dapat mengandalkan ingatan mereka sebagai media utama penyimpan. Mereka memiliki pola-pola tertentu, yang terstruktur dan terlembagakan, untuk mengingat—mengorganisir, menyimpan dan mengunduh pengetahuan—sehingga kebudayaan dan nilai-nilai tradisi dapat ditransmisikan dengan baik. Kini, di dalam ekologi budaya baru, ketika teknologi informasi dan media massa—terutama televisi—telah ikut mewarnai totalitas kehidupan masyarakat, dan informasi tidak lagi berupa stock information melainkan fluid information, mereka diterpa banjir informasi dan menghadapi persoalan serius dengan ―mengingat.‖ Karenanya, sehubungan dengan transmisi kebudayaan yang harus terus berlanjut, muncul pertanyaan: Bagaimana strategi kelisanan seni pertunjukan Janger saat ini? Derivasi pertanyaan di atas adalah: 1. Strategi kelisanan yang bagaimana yang dipilih dalam pertunjukan Janger? 2. Mengapa strategi kelisanan tersebut yang dipilih?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian terhadap seni Janger ini diharapkan dapat memenuhi dua tujuan pokok, yaitu: 16
1. Mengungkap strategi kelisanan dalam proses penciptaan dan transmisi kelisanan yang dilakukan para pemain Janger dalam pertunjukan Janger pada masa kini, sehingga dapat diketahui konvensi dan kondisi kelisanan kesenian tersebut. 2. Mengungkap
bagaimana
strategi
kelisanan
diterapkan
dalam
pertunjukan Janger.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat secara teoritis maupun praktis, tidak hanya bagi peneliti secara pribadi namun juga bagi pihakpihak lain yang berkepentingan dengan masalah yang diteliti. Adapun manfaat teoritis yang diharapkan dapat dicapai adalah: 1. Aspek kelisanan pada pertunjukan Janger dikaji dengan menggunakan teori kelisanan dan teori media, sehingga dengan demikian penelitian ini turut mengembangkan penerapan teori kelisanan dan teori media dalam lingkup kajian tradisi lisan. 2. Pengetahuan mengenai strategi kelisanan seni pertunjukan Janger dalam kerangka transmisi kebudayaan akan memudahkan kita dalam mengetahui secara lebih jelas suatu proses penciptaan komposisi lisan dan variasi-variasinya. 3. Secara teoritis, temuan-temuan mengenai strategi keliasanan dalam pertunjukan Janger dapat digunakan untuk menunjang teori-teori kajian tradisi lisan, khususnya tradisi lisan Banyuwangi. Kajian ini juga dapat memberi gambaran bagaimana memahami suatu kolektif kebudayaan melalui cerita dan 17
seni pertunjukan yang dimilikinya. Secara metodologis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti berikutnya yang ingin meneliti tradisi lisan Banyuwangi yang begitu banyak jenis maupun jumlahnya dan hingga kini belum diteliti secara komprehensif. Temuan penelitian ini setidaknya dapat memberikan suatu gambaran yang mengarah pada holistik-emik suatu hubungan seni pertunjukan dan khalayak pendukungnya. Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan adalah: 1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah (pusat, provinsi, maupun kabupaten) dalam merancang dan mengambil kebijakan sehubungan dengan upaya pemertahanan dan pengembangan seni-budaya rakyat, kebijakan ekologi, dan pengajaran muatan lokal. Pembangunan di Banyuwangi selama ini masih terkesan kurang berpihak pada seni-budaya, dan kearifan lokal tidak dijadikan sebagai pijakan pembangunan, sehingga konflik vertikal maupun horisontal rentan terjadi. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan kajian terhadap aspek-aspek kelisanan seni pertunjukan rakyat lain oleh berbagai kalangan terkait, seperti akademisi, peneliti antropologi, peneliti kesastraan, dan pemerhati seni budaya pada umumnya. 3. Hasil
penelitian
ini
juga
dapat
dimanfaatkan
sebagai
bahan
dokumentasi hasil penelitian dan bahan inventarisasi catatan kesenian lokal Banyuwangi. 4. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi ilham berbagai pihak terkait untuk lebih memperhatikan dan memberi ruang yang lebih luas terhadap 18
keberadaan seni Janger Banyuwangi dan produk-produk teater rakyat lainnya, sehingga kesenian ini maupun yang lainnya dapat bertahan hidup lebih lama dalam masyarakat.
1.5 Tinjauan Pustaka Untuk memberi latar kepustakaan terhadap kajian ini, perlu disebutkan sejumlah penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli terhadap tradisi lisan berbasis seni pertunjukan di Jawa Timur. Selanjutnya juga diuraikan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai Janger dan tulisan-tulisan yang menaruh perhatian langsung terhadap kesenian ini. Tidak kalah penting dari itu, perlu diuraikan juga beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevansi metodologis terhadap kajian ini. Penelitian terhadap tradisi lisan berbasis seni pertunjukan di Jawa Timur antara lain pernah dilakukan James L. Peacock (1968) dan Carl J. Hefner (1994) yang meneliti Ludruk, serta Suripan Sadi Hutomo (1987) yang meneliti seni Kentrung. Ketiga peneliti ini menitikberatkan penelitiannya pada fungsi kesenian bagi masyarakat pendukungnya. Peacock, misalnya, menganggap Ludruk sebagai pertunjukan proletar yang mampu menjadi pendorong, agen atau mediator perubahan massa rakyat Jawa Timur, khususnya di kota Surabaya. Komunitas Ludruk yang pada mulanya berada dalam lingkungan kampung yang homogen dan komunal mulai beranjak menuju ekstra-kampung yang heterogen dan rasional-spesifik. Pada saat modernitas mulai merasuki masyarakat urban ketika itu, Ludruk dan komunitasnya menggeliat menjadi modern sekaligus agen yang 19
mengantarkan modernisasi masyarakat. Penelitian Peacock ini didukung data yang berlimpah karena dilaksanakan tepat pada era keemasan Ludruk di Surabaya. Namun patut disayangkan karena penelitian ini tidak membahas aspek-aspek Ludruk secara terperinci, kecuali membandingkan tema dan plot beberapa jenis cerita Ludruk. Konsentrasi Peacock sepenuhnya tercurah pada pemaknaan segala sesuatu yang ada pada pertunjukan Ludruk, sementara aspek-aspek Ludruk yang dia maknai itu justru agak terabaikan. Seorang peneliti Ludruk lainnya, Hefner (1994), melihat Ludruk sebagai sebuah dinamika yang mampu membangkitkan anggapan-anggapan mendasar yang terdapat dalam pandangan para pendukungnya, dan menurutnya kesenian ini mampu membangun forum sosial-politik dengan memberikan komentar atas isuisu sosial, kekuasaan, otoritas, dan identitas lokal. Penelitian Hefner ini dilaksanakan ketika era keemasan Ludruk telah lama lewat, namun demikian Hefner mampu mengumpulkan data yang cukup memadai. Berbeda dengan Peacock yang lebih banyak mengamati teks Ludruk, Hefner lebih banyak melihat kaitan Ludruk dengan konteksnya. Sementara itu Hutomo, yang meneliti Kentrung, mengungkap fungsi pendidikan yang diusung dalam cerita Kentrung pada umumnya, serta cerita Sarahwulan pada khususnya, bagi para pemirsa kesenian tersebut. Dalam penelitian ini Hutomo berhasil menguraikan jalinan makna antarunsur dalam teks Kentrung secara lugas dan mudah dipahami. Namun Hutomo, sebaimana halnya Peacock dan Hefner, lebih berkonsentrasi pada fungsi dan pemaknaan, sehingga aspek kelisanan pada kesenian-kesenian yang berbasis tradisi lisan tersebut nyaris tidak mereka sentuh. Padahal Ludruk, terlebih 20
Kentrung,
adalah
kesenian
rakyat
yang
dalam
pertunjukannya
lebih
mengandalkan aspek kelisanan dibanding aspek-aspek lainnya. Kajian terhadap kesenian rakyat Banyuwangi pernah dilakukan oleh Bernard Arps (1992) dan Novi Anugrayekti (2007) dengan penekanan yang tidak jauh berbeda dengan ketiga penelitian tersebut di atas, yakni fungsi kesenian. Dalam penelitiannya tersebut Arps mengkaji dua tembang dalam tradisi Jawa, yakni di Yogyakarta dan Banyuwangi. Pemilihan Arps atas dua wilayah tersebut berdasarkan anggapannya mengenai perbedaan yang mencolok di antara keduanya, yakni tembang tradisi Jawa-Yogyakarta lebih bernuansa budaya istana, sedangkan tembang tradisi Jawa-Banyuwangi bernuansa budaya Islam masyarakat setempat. Arps menganalisa Serat Yusup, sebuah kisah yang disusun berdasarkan salah satu surat dalam Al Qur‘an. Oleh masyarakat Banyuwangi, karya ini tidak dianggap sebagai karya sastra biasa karena kandungan isinya dijadikan sebagai acuan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Yusuf adalah salah seorang nabi, dan bagi masyarakat Jawa menyanyikan karya ini—yang telah disusun dalam bentuk tembang—merupakan bagian dari aktivitas beribadah. Dalam penelitian ini Arps menerapkan suatu pendekatan yang berpusat pada bahasa, menganggap tembang sebagai bentuk bahasa, sementara komposisi, pembacaan, dan interpretasi syair tembang dianggap sebagai jenis-jenis penggunaan bahasa. Hal ini memungkinkannya untuk lebih fokus pada bentuk-bentuk syair tanpa mengabaikan aspek sastra dan aspek musik. Arps mengetengahkan pendapatnya bahwa tembang diwujudkan dan dipersepsikan dalam proses temporal, menempatkan diri dalam konteks, dan melibatkan para pelakunya dalam berbagai 21
peran yang berbeda-beda. Selain itu, menurut Arps, tembang memiliki prinsip formal yang menjadi struktur baku bagi pengucapan syair. Berdasar hal tersebut, Arps berupaya menguraikan bagaimana metris dalam syair terhubungkan satu dengan yang lain berdasarkan struktur teks yang mereka lantunkan. Dengan pembahasan tersebut Arps bermaksud memeroleh pengertian yang mendalam mengenai fungsi tembang dalam penggunaan bahasa, yang meliputi proses penciptaan, penyuaraan, penafsiran, dan bagaimana hal itu dipikirkan. Untuk mencapai tujuannya, Arps menggunakan pendekatan interdisiplin dari empat bidang yang meliputi bidang budaya (tembang dikaji sebagai budaya asli Jawa), filologis, etnomusikologi (tembang dikaji sebagai sebuah bentuk musik vokal dengan perhatian utama pada teks yang dilagukan), dan etnografi (tembang dideskripsikan secara etnografis dengan perhatian utama pada kenyataan bahwa teks digunakan dalam suatu latar budaya). Penelitian Arps ini menyentuh kelisanan, meskipun terkesan kurang mendalam. Hal itu tampaknya disebabkan oleh cakupan penelitiannya yang begitu luas serta tujuan penelitiannya untuk membandingkan, bukan mengungkap bagaimana strategi kelisanan sebuah kesenian dipilih dan diterapkan. Sementara itu peneliti lainnya, Anugrayekti, mengkaji seni Gandrung yang dianggapnya telah menjadi objek perebutan antara pasar, tradisi dan agama. Melalui penelitian ini Anugrayekti, dengan memanfaatkan teori hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, berhasil menunjukkan fakta bahwa seni Gandrung, setelah melewati berbagai negosiasi dan resistensi, pada akhirnya memilih menempatkan dirinya pada panggung yang sesuai dengan kehendak 22
pasar. Jawaban atas negosiasi dengan agama menghasilkan langkah-langkah akomodatif, misalnya dengan menampilkan lagu-lagu yang bersifat Islami, seperti Santri Mulih atau Shalatun wa Taslimun untuk mengakomodasi keinginan kaum agamis (Islam). Fakta lain yang dapat diperoleh dari perjalanan kesenian Gandrung adalah keberaniannya menolak sejumlah aturan yang disodorkan oleh pihak birokrasi (Pemerintah Daerah Banyuwangi) melalui Dewan Kesenian Blambangan, yang berpendapat bahwa dalam melakukan konservasi tradisi harus memperlihatkan kesinambungan sejarah dan memberi penegasan identitas Using yang asli, yang bukan Jawa. Orisinalitas seni Gandrung dianggap penting, sehingga kesenian ini harus terbebas dari berbagai pengaruh kesenian lain, termasuk kesenian Jawa. Gandrung harus dipertunjukkan sebagaimana yang mereka bayangkan di masa lalu, yakni mengikuti pembabakan (Jejer, Paju, Seblang-seblang), membawakan lagu-lagu daerah yang bermuatan historis, dan sebagainya. Pada akhirnya para seniman Gandrung memilih berkembang sesuai dengan tuntutan pasar, seirama dengan pertumbuhan budaya pop dan kekuatan politik. Penelitian Anugrayekti ini tampak menonjolkan fungsi kesenian sebagai alat identitas budaya, bukan sebagai media ekspresi masyarakat, sehingga aspek estetis Gandrung kurang mendapat ruang. Studi mengenai kesenian Banyuwangi lainnya, dalam hal ini seni Janger Banyuwangi, belum banyak dilakukan orang. Sejauh ini baru terdapat tiga penelitian dengan fokus yang bervariasi terhadap kesenian ini, yakni yang dilakukan Peni Puspito (1998), Hirwan Kuardhani (2000), dan I Nyoman Cau Arsana (2004). Penelitian Puspito (1998), dengan judul ―Damarwulan Seni 23
Pertunjukan Rakyat di Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur di Akhir Abad ke20,‖ mengkaji bentuk sajian seni Janger (koreografi), dan menyatakan bahwa kesenian ini dapat digolongkan pada genre drama tari dan memiliki bentuk sangat unik. Dikatakan unik karena menurut Puspito berbagai gaya seni pertunjukan (Jawa dan Bali) mampu berkolaborasi secara utuh dalam kesenian tersebut. Gaya yang paling menojol dalam pertunjukan ini diperoleh dari etnik Bali, karena tata gerak, musik, serta busananya cenderung berorientasi pada etnik Bali; sedangkan unsur-unsur pertunjukan yang diserap dari etnik Jawa adalah unsur bahasa, tembang, dan gaya pemanggungan. Sementara itu penelitian Kuardhani (2000), dengan judul ―Teater Rakyat Janger Banyuwangi: Ungkapan Keberadaan Masyarakat Pendukungnya,‖ mempelajari makna seni pertunjukan Janger Banyuwangi dan kehadirannya di dalam komunitasnya. Dalam risetnya ini Kuardhani memperlihatkan bahwa Janger dipengaruhi unsur-unsur dari luar daerah, yakni dari Jawa Tengah yang tampak pada dialog, nyanyian, dan tata busana; pengaruh Bali tampak pada gaya tari, tata busana dan tata rias; sementara itu unsur Banyuwangi tampak pada adegan yang disebut pisowanan di mana ratu dimohon untuk menari dan menyanyi. Menurut Kuardhani, seni Janger dianggap sebagai kesenian yang mampu menciptakan solidaritas antara penduduk asli dan pendatang dari berbagai wilayah, dan dianggap sebagai ungkapan kebersamaan masyarakat Banyuwangi tanpa mengingat lagi dari mana asal-usul mereka. Penelitian Arsana (2004), dengan judul ―Gamelan Janger: Hibrida Musik Banyuwangi dan Bali Sebuah Akulturasi Budaya,‖ menjelaskan bahwa gamelan 24
Janger merupakan produk akulturasi budaya antara Banyuwangi dan Bali. Gamelan Janger mendapat pengaruh dari gong kebyar Bali yang pada paruh awal abad ke-20 berkembang pesat hingga mencapai Banyuwangi. Pengaruh tersebut dibawa oleh warga Bali yang bermigrasi ke Banyuwangi. Sifat terbuka masyarakat Banyuwangi memungkinkan masuknya pengaruh tersebut, yang kemudian dipadukan dengan khasanah kesenian setempat. Hasil hibrida musik Banyuwangi dan Bali inilah yang kemudian menghasilkan idiom musik khas yang disebut dengan gamelan Janger yang digunakan sebagai pengiring drama tari Damarwulan. Menurut Arsana, dalam Janger terdapat unsur budaya Jawa, Bali, dan Banyuwangi. Unsur budaya Bali terlihat pada bentuk-bentuk gerak, busana dan instrumen musik pengiring beserta teknik tabuhnya. Pengaruh Jawa tampak pada bahasa, tembang, dan busana. Unsur Banyuwangi tampak pada cerita yang disajikan, bahasa Using khususnya dalam adegan dagelan, gerak-gerak tari, lagulagu daerah, dan instrumentasi musik. Ketiga penelitian tersebut tampak masih terbatas pada pengkajian seni Janger sebagai sebuah seni pertunjukan, tidak ada yang menyentuh konvensi dan strategi kelisanannya. Pada ketiga penelitian Janger ini, konteks studi pengkajian seni pertunjukan menjadi payung yang tampak terlalu luas, sehingga detil-detil dari unsur-unsur yang dikaji kurang mendapat perhatian, terutama aspek kelisanan yang menjadi salah satu bagian penting dalam setiap pertunjukan Janger. Penelitian tradisi lisan dengan memanfaatkan teori formula selama ini telah dilakukan oleh banyak orang. Pada dasawarsa 1970-an teori formula yang digagas oleh Parry-Lord mencapai puncak perkembangannya. Foley (1985:4) 25
mencatat lebih dari 1800 buku dan artikel dari berbagai negara telah ditulis dengan menggunakan kerangka teori tersebut. Di Indonesia, teori formula juga telah dimanfaatkan oleh beberapa peneliti untuk mengkaji tradisi lisan, misalnya Nigel Philips (1981) yang mengkaji tradisi lisan Sijobang di Sumatera Barat, Nani Tuloli (1990) meneliti Tanggomo di Gorontalo, dan Pudentia MPSS (2000) meneliti Mak Yong di Riau. Penelitian Philip merujuk pada hasil kajian Lord (1960) tentang prinsip-prinsip kelisanan yang mendasari kaidah komposisi formulaik dan membuktikan bahwa teks cerita yang disampaikan oleh tukang kaba tidak bersifat baku dan mengalami berbagai perubahan. Sementara itu Tuloli menggunakan teori formula Parry-Lord dan mencoba memperluasnya dengan memanfaatkan hasil penelitian Niles dan Sweeney serta pendekatan sosiologi sastra untuk mengupas nilai dan fungsi Tanggomo. Teori formula digunakan oleh Pudentia untuk membandingkan sistem formulaik episode awal empat cerita Mak Yong dan menyimpulkan bahwa cerita-cerita Mak Yong bersifat lentur dan utuh. Penelitian Agussalim memanfaatkan teori formula Lord terutama untuk memahami proses penciptaan lirik-lirik yang digunakan oleh pelaku pertunjukan dalam upaya berinteraksi dengan khalayaknya. Para peneliti tersebut di atas, karena beberapa pertimbangan, tidak sepenuhnya menerapkan konsep dasar teori formula Parry-Lord. Mereka melakukan penyesuaian seperlunya. Hutomo (1987:109), misalnya, menganggap teori formula Lord tidak dapat diterapkan seutuhnya terhadap teks Kentrung sehingga dalam aplikasinya ia menyebut konsep tersebut dengan istilah ―semacam formula.‖ Sweeney (1987:68) juga menyatakan hal yang sama, bahwa tidak 26
semua penemuan Lord yang berlaku di Yugoslavia dapat diterapkan sepenuhnya di dalam komposisi tradisi Melayu. Sedangkan Tuloli (1990:337-338) mengungkapkan bahwa secara umum teori formula Lord dapat diterapkan pada Tanggomo, tetapi secara khusus terdapat perbedaan karena dalam Tanggomo tidak ditemukan sistem formulaik yang didukung oleh matra yang tetap pada suku kata tertentu. Seluruh peneliti yang memanfaatkan teori formula di atas hanya menyoroti kelisanan kesenian-kesenian yang mereka teliti secara umum saja, belum ada yang mencoba menyentuh strategi kelisanan. Penelitian dengan perspektif kajian media terhadap fenomena kelisanan, khususnya yang terjadi dalam seni pertunjukan rakyat, sejauh ini belum pernah dilakukan oleh peneliti mana pun. Selama ini pemikiran McLuhan sudah biasa digunakan para peneliti untuk mengkaji media massa, atau media audio-visual beserta produk-produk yang dihasilkannya. Hal ini bisa dimaklumi karena McLuhan memang tidak secara sistematis memasukkan wacana lisan ke dalam ranah media. Padahal apa yang diamati oleh McLuhan sesungguhnya tidak jauh dari apa yang menjadi perhatian Parry dan Lord, yakni persoalan kelisanan. Menurut McLuhan (1962:3), Parry dan Lord mempelajari organisme puitis ketika fungsi pendengaran dilindas oleh keberaksaraan. Secara eksplisit McLuhan (1962:1) menyinggung masalah kelisanan dan menyatakan bahwa pemikirannya dalam banyak hal bersifat melengkapi The Singer of Tales karya Albert Lord. Menurutnya, Lord dan Parry, melalui kajiannya terhadap puisi Homer, telah sampai pada pertimbangan bagaimana puisi lisan dan tertulis secara alami mengikuti pola dan fungsi yang beragam. 27
Salah satu peneliti dari beberapa peneliti yang berasal dari berbagai disiplin ilmu, yang telah mencoba memanfaatkan teori media, khususnya teori McLuhan the medium is the message, adalah Deanne Bogdan (2008) yang telah mengkaji pertunjukan musik (musical performance). Dalam kajiannya tersebut Bogdan memandang pertunjukan musik sebagai embodied experience serta meaningful communication, dan penelitian tersebut secara langsung berhubungan dengan isu-isu tentang nilai literasi informasi dan pendidikan media (bahwa media tidak bersifat netral). Dia mengajukan pertanyaan klasik: Apakah mendengar ulang musik yang sama akan mengurangi atau menambah penikmatan? Bogdan mengusung ide-ide McLuhan yang berhubungan dengan musik sebagai media dan pesan, bertujuan menguji bagaimana media yang berbeda dan informasi baru memengaruhi kesenangan yang diperoleh dari pengalaman pertunjukan musik (the quality of their enjoyment of the musical experience). Pada eksperimen tersebut, penonton disuguhi karya Chopin ‗Mazurka‘, op. 63, no. 3. Pertama, Bogdan menyuguhkannya secara langsung (live performance) dengan memainkan piano, kemudian disusul dengan suguhan oleh karya sejenis yang dimainkan pianispianis lain melalui media perekam dan media video. Dia mengganti-ganti antara mendengar (hearing) dan mendengar ulang (rehearing) dalam kuliahnya. Bogdan kemudian menyatakan bahwa ―kuliah pertunjukan‖ tersebut berimplikasi pada filosofi musik dan literasi musik. Pergantian yang cepat dalam penggunaan tiga media tersebut menghasilkan persepsi makna yang berbeda-beda terhadap karya musik yang disuguhkan. Media berubah, makna pun berubah.
28
Dengan maksud mengembangkan konstruk modalitas media, Bogdan mengusung eksperimennya bersama-sama dengan dialog tentang pertunjukan musik yang berlangsung antara McLuhan dan sang pianis, Glenn Gould, mengenai dampak media yang berbeda terhadap pemahaman, penafsiran, dan pengalaman atas makna atau pesan yang diperoleh penonton dari pertunjukan musik. Lebih jauh Bogdan berpendapat bahwa modalitas adalah salah satu gagasan yang menjanjikan untuk kesadaran kritis tinggi terhadap cara-cara media mengkontekstualisasikan komunikasi. Contoh pertunjukan musik langsung (live performance) yang dibawanya ke dalam diskusi sangat berguna, terutama untuk memahami fenomena pendengaran sekilas seperti musik. Berdasarkan hal tersebut Bogdan mengusulkan sebuah model kesadaran kritis yang melibatkan semacam fokus ganda (dual focus) yang berganti-ganti antara terlibat (engagement) dan berjarak (detachment). ―Kesadaran terlibat‖ mampu memberi rasa tergoda dan senang terhadap media, berada dalam dimensi estetis karya, sementara ―kesadaran berjarak‖ mampu menyisipkan interval di antara kepuasan-kepuasan terhadap media sehingga terdapat kemungkinan kesadaran kritis atas berbagai efek yang ditimbulkan media. Murray (2008) dalam penelitiannya yang berjudul ―Psychoanalysis, Symbolization, and McLuhan: Reading Conrad‘s Heart of Darkness‖ juga melakukan analisis media, dalam hal ini makna yang terdapat dalam sastra dan film. Dia membandingkan dan mengontraskan ujaran dalam novel Joseph Conrad yang berjudul Heart of Darkness dengan ujaran dalam film Francis Ford Coppola Apocalypse Now, dan kemudian menerapkan temuannya pada ujaran psikoanalisa 29
dan agama. Bogdan dan Murray memperlihatkan bahwa ketika informasi dimediasi ulang (remediated), maknanya tidak hanya diterjemahkan atau dipindahkan, melainkan terjadi metamorfosis. Makna ditransformasikan. Dalam hal kajian kelisanan, penelitian ini akan memanfaatkan pemikiranpemikiran para pakar tradisi lisan, antara lain Milman Parry, Albert Bates Lord, Walter J. Ong, Ruth Finnegan, dan Eric Havelock. Penjelasan mengenai apa yang sekarang oleh para peneliti disebut sebagai teori kelisanan pada mulanya berawal dari kajian formula terhadap komposisi epik Homerus dalam pertunjukan guslar (pelipur lara) yang dilakukan oleh Milman Parry, yang diikuti dengan penelitian lapangan pada puisi lisan rakyat Slavia Selatan di tahun 1930-an. Setelah Parry meninggal, Albert Lord meneruskan serta mengembangkan hasil kerja tersebut dan hasilnya dapat dibaca dalam tulisannya yang berpengaruh cukup luas, The Singer of The Tales (1960). Ide dasar konsep formula yang dicetuskan Parry tersebut dikembangkan Lord dan digunakannya untuk mengkaji puisi lisan Yugoslavia, dalam rangka menjelaskan kelisanan Iliad dan Odyssey karya Homer. Kedua karya ini diciptakan pada era Yunani sekitar 3000 tahun lalu, atau sekitar tahun 1000 SM, pada saat masyarakat Yunani belum mengenal aksara, terdiri atas sekitar 27.000 baris. Karya itu ―dihafalkan‖ dan ditransmisikan turun-temurun secara lisan. Dalam buku tersebut Lord membicarakan lima hal pokok, yakni (1) formula, yang berhubungan erat dengan frasa, (2) tema, (3) hubungan antara menciptakan, menyanyikan, dan mempertunjukkan, (4) pola cerita, dan (5) genre. Dari penelitian Lord ini terungkap bagaimana lagu yang panjangnya ribuan baris bisa disampaikan oleh seorang pendendang cerita tanpa perlu menyiapkan teks 30
terlebih dulu: komposisi dan pertunjukan (performance) bukan merupakan tahapan terpisah tetapi aspek-aspek dari tindakan yang sama. Perhatian Lord lebih banyak tertuju pada teknik penciptaan larik (pada karya komposisi lisan setelah karya tersebut dituliskan) yang secara ketat harus berkesesuaian antara diksi dan pola metrum, sehingga dalam penelitian ini perlu disertakan pemikiran Eric Havelock yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Preface to Plato (1963). Dalam karyanya tersebut Havelock mengkaji epik Yunani kuno dan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas. Dia menyatakan bahwa penciptaan epik Yunani kuno tersebut didasari oleh sistem pemikiran yang berbeda dengan sistem beraksara. Havelock menggunakan kata ―orality‖ (dengan tanda petik) untuk membedakan sistem lisan tersebut dari sistem tulisan. Penggunaan konsep ―orality‖ oleh Havelock ini merupakan langkah teoritis yang mencerahkan bagi dunia kajian kelisanan karena sebelumnya kelisanan selalu dinilai dari perspektif keberaksaraan. Masyarakat dalam sistem kelisanan cenderung dinilai sebagai terbelakang karena belum hadirnya aksara dalam sistem komunikasi mereka. Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan pemikiran Finnegan dan Ong. Finnegan, dalam bukunya yang berjudul Oral Traditions and The Verbal Arts: A guide to research practices (1992), memberi berbagai wawasan berharga mengenai bagaimana cara melakukan pengkajian terhadap tradisi lisan. Meski buku ini tergolong tipis, namun cakupan pemikirannya cukup luas dan komprehensif. Sementara itu Tiga buah karya Ong yang paling berpengaruh ialah The Presence of the Word (1967), Rhetoric, Romance, and Technology (1971), 31
dan Interfaces of the Word (1977). Berbagai pemikiran yang tertuang dalam karya-karya tersebut disimpulkan dalam sebuah bukunya yang terkenal, yakni Orality and Literacy: The Technologizing of the Word (1982). Dalam bukunya ini, Ong menekankan pentingnya sifat lisan bahasa. Menurutnya, walaupun manusia berkomunikasi dengan berbagai cara, dengan menggunakan seluruh panca inderanya seperti peraba, perasa, penciuman, dan khususnya penglihatan dan pendengaran, namun terdapat banyak cara berkomunikasi dengan menggunakan media bukan lisan (nonverbal), misalnya gerak tubuh (gesture). Komunikasi lisan (dengan suara) menempati posisi paling utama dalam cara manusia berhubungan satu sama lain. Untuk memperlihatkan keunggulan sifat lisan semua bahasa, Ong (1982:7) menjelaskan bahwa dari sekitar 3000 bahasa yang ada di dunia, hanya 78 bahasa saja yang menghasilkan tulisan sastra. Pemikiran Ong tersebut bisa digunakan sebagai pegangan terutama dalam hal memahami kelisanan sebagai suatu sistem di luar keberaksaraan. Namun demikian, kita perlu berhati-hati dalam menerapkan hasil
pemikiran mereka karena baik
Ong maupun
Lord
berkecenderungan untuk menggeneralisasi konsep kelisanan, seolah-olah semua persoalan kelisanan itu seragam di sembarang tempat dan sembarang waktu. Ada kemungkinan generalisasi tersebut mereka lakukan berdasarkan data-data yang diperolehnya melalui bacaan luas, bukan berdasarkan kajian lapangan secara langsung terhadap tradisi lisan masyarakat tertentu. Karena itu pikiran-pikiran para ahli, seperti Ong dan Lord, meskipun sangat membantu dan berguna tidak harus diterapkan begitu saja tanpa melihat keadaan objek kajian kita beserta konteks yang melingkupinya. 32
Penelitian ini juga akan memanfaatkan pemikiran Marshall McLuhan, khususnya yang tertuang dalam Understanding Media (1964). Salah satu artikel dalam buku tersebut, yang bertajuk ―The Medium is the Message,‖ menjadi pernyataan penting bagi pandangan McLuhan terhadap peran media massa. Buku McLuhan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962). Melalui buku ini McLuhan mengutarakan gagasannya mengenai determinisme teknologi/media, dengan dasar-dasar konsepsi sebagai berikut. Menurutnya, media sebagai perpanjangan diri manusia (the extension of man) memiliki konsekuensi psikis dan sosial melalui desain atau pola sebagaimana kemampuannya memperkuat atau mempercepat proses yang ada. Perubahan ini dianggap penting, terlepas dari konten atau isi yang dihasilkan. Seluruh media, menurut McLuhan, bekerja mengambil alih diri kita sepenuhnya. Mereka begitu meresap dalam konsekuensi pribadi, politik, ekonomi, estetika, psikologis, moral, etika, dan sosial sehingga tidak tersisa satu bagian pun dari diri kita yang tidak tersentuh, tidak terpengaruh, tidak berubah. Penekanan teori McLuhan ini adalah bahwa perubahan pada cara berkomunikasi akan berdampak pada cara berpikir, berperilaku, dan pergerakan kehidupan manusia. Penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi merupakan faktor signifikan pengubah kebudayaan manusia.
1.6 Kerangka Teori Penelitian ini mengasumsikan Janger sebagai karya sastra lisan yang hidup dalam lingkungan masyarakat tradisional yang telah termultimediakan, karena itu 33
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kelisanan di dalam relasinya dengan media-media lain. Penggunaan teori kelisanan tersebut akan bermanfaat untuk mengetahui derajat kelisanan pada seni Janger saat ini, sedangkan penggunaan teori media dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menempatkan kelisanan pada kerangka berfikir yang lebih besar, yakni kelisanan sebagai bagian dari media. Penelitian ini juga memanfaatkan teori antropologi, didasari oleh pertimbangan bahwa penelitian ini tidak hanya terfokus pada teksnya saja, tetapi juga konteksnya, sebagaimana model penelitian folklor modern yang cenderung memanfaatkan ilmu interdisipliner (Danandjaja, 1984:6-7). Seni pertunjukan adalah bagian dari folklore, dan folklor adalah sebagian kebudayaan (lore) suatu kolektif (folk) yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun dalam berbagai versi yang berlainan, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1984:2). Brunvand membagi folklor menjadi tiga jenis, dan menurutnya ketiganya perlu mendapat perhatian peneliti budaya, yaitu: (1) verbal folklore (folklor lisan/mentifact), (2) partly verbal folklore (folklor setengah lisan/sociofact), dan (3) nonverbal folklore (folklor bukan lisan/nonmentifact). Foklor lisan meliputi bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, prosa rakyat, dan nyanyian rakyat; folklor sebagian lisan (partly verbal folklore) meliputi kepercayaan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adatistiadat, upacara, dan pesta rakyat; sedangkan folklor bukan lisan (nonverbal folklore) meliputi arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian/perhiasan 34
adat, masakan/minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional (Danandjaja, 1984:21-22). Merujuk pada pendapat Brunvand tersebut, seni Janger Banyuwangi dapat dikategorikan sebagai folklor jenis kedua, yakni partly verbal folklore (folklor setengah lisan). Studi mengenai bagaimana sebuah bentuk teater rakyat 9 yang berpondasi kelisanan bertahan di tengah pesatnya perkembangan keberaksaraan, teknologi informasi, dan media massa, akan menjadi utuh dan lengkap jika disertai kajian mengenai ekologi budaya tempat teater rakyat itu hidup serta telaah mengenai perkembangan keberaksaraan, teknologi informasi, dan media massa yang sedikitbanyak memengaruhi arah pertumbuhan teater rakyat tersebut. Oleh karena itu studi terhadap tradisi (lisan) sebagai bagian dari budaya membutuhkan serangkaian pendekatan yang relevan dengan berbagai permasalahan yang telah dirumuskan. Finnegan (1992) juga memberi gambaran bahwa studi tentang tradisi lisan pada dasarnya bersifat multidisiplin dan terbuka untuk didekati dari berbagai disiplin (sosiologi, antropologi, cultural studies, dan sebagainya). Pada masa kini, nyaris mustahil untuk menemukan suatu masyarakat niraksara di Indonesia, termasuk di Banyuwangi. Aspek-aspek kelisanan dan keberaksaraan telah jalin-menjalin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sehingga sulit untuk memisahkan keduanya secara tegas. Namun agar diperoleh pemahaman yang mendalam mengenai kelisanan, maka dalam penelitian ini 9
Teater dan drama memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Rayner, drama adalah karya yang dikemas dalam bentuk action, sedangkan teater bertugas mewujudkan karya tersebut menjadi nyata—tampak dan aktual (1994:7). Dari pendapat Rayner ini dapat dipahami bahwa drama mengacu pada aspek literer, sedangkan teater berkaitan dengan proses pemilihan teks literer tersebut sekaligus dengan penafsiran dan pementasannya ke hadapan publik. Dengan demikian jelaslah bahwa teater merujuk pada ―pertunjukan di hadapan publik.‖
35
pembedaan konsep kelisanan dan keberaksaraan harus dilakukan, khususnya sebagai alat analisis. Kelisanan, dalam konteks ini, biasa dipahami sebagai ekspresi verbal pikiran manusia secara lisan (Havelock, 1963; Goody, 1977; Ong, 1982; Finnegan, 1992). Istilah kelisanan merupakan terjemahan langsung dari orality—yang berhulu pada kata sifat oral, atau lisan. Menurut Finnegan, pengertian oral mencakup segala sesuatu yang diucapkan atau dituturkan (1992:5). Kata ―lisan‖ ini biasanya digunakan dalam dua pengertian yang berbeda. Pertama, ―lisan‖ sebagai oposisi biner ―tertulis,‖ dan kedua, ―lisan‖ sebagai oposisi biner ―beraksara.‖ Menurut Ong (1982:6), masyarakat lisan murni atau primer sudah pasti tidak memiliki aksara atau tulisan, tetapi penyampaian secara lisan belum tentu berasal dari masyarakat niraksara. Adapun istilah kelisanan atau orality pada mulanya diperkenalkan oleh Havelock (1963), yang menggunakan kata tersebut untuk membedakan sistem lisan dari sistem tulisan. Dengan demikian jelas bahwa unsur utama orality adalah ucapan verbal, suara. Menurut Ong, suara tidak mempunyai fokus dan tidak punya jejak, suara adalah peristiwa; suara akan lenyap begitu selesai diucapkan. Tidak ada cara untuk membekukan suara. Kita bisa menghentikan gambar bergerak dan memeroleh satu frame gambar pada layar. Tapi bila kita menghentikan suara, kita tidak akan memeroleh apa pun— hanya kesunyian (1982:31-32). Pengertian orality atau kelisanan tersebut di atas menunjukkan perannya sebagai media, sebagai saluran penting untuk bertukar informasi. Karena itu dapat dipahami mengapa pengkajian kelisanan dalam banyak hal berkaitan erat dengan 36
kajian tradisi lisan (oral tradition). Lord (1995:1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Sementara itu Finnegan (1977:80) mendefinisikan tradisi lisan sebagai “the transmission of cultural items from one member to another, or others. Those items are heard, stored in memory, and, when appropriate, recalled at the moment of subsequent transmission” (transmisi produk budaya dari satu anggota masyarakat ke anggota yang lain. Produk-produk budaya tersebut didengar, disimpan dalam memori, dan, bila perlu, dihadirkan dalam ingatan pada saat transmisi berikutnya). Tradisi lisan, menurut Finnegan, biasa dipahami sebagai tradisi yang (1) bersifat verbal, (2) bukan tertulis, (3) didukung masyarakat—biasanya berkonotasi pada masyarakat yang tidak terpelajar dan bukan elit, (4) mendasar dan bernilai, biasanya ditransmisikan dari generasi ke generasi (1992:7). Tradisi lisan mencakup beberapa genre, yakni cerita mistis, puisi, teka-teki, cerita rakyat, dongeng peri, fabel, legenda, mantra, norma-norma dan jenis-jenis lain seni verbal (Finnegan, 1992:5-17; 142-157). Tradisi lisan juga meliputi sistem kognitif kebudayaan, seperti sejarah, hukum, dan pengobatan yang disampaikan dari mulut ke mulut (Pudentia, 2000:35-36). Sedyawati (1996:6) merinci berbagai fakta budaya yang dapat digali dari tradisi lisan, di antaranya adalah (1) sistem genealogi, (2) kosmologi dan kosmogoni, (3) sejarah, (4) filsafat, etika, moral, (5) sistem pengetahuan, (6) kaidah kebahasaan dan kesastraan. Adapun modus penyampaian tradisi lisan adalah melalui kata-kata atau gabungan antara kata-kata dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata.
37
Dengan menggunakan teori kelisanan yang dikembangkannya, Milman Parry dan Albert Lord dapat mengungkap bagaimana lagu yang panjangnya ribuan baris bisa disampaikan oleh seorang pendendang cerita tanpa perlu menyiapkan teks terlebih dulu: komposisi dan pertunjukan (performance) bukan merupakan tahapan terpisah tetapi aspek-aspek dari tindakan yang sama. Cerita yang didendangkan guslar bukan hanya disampaikan secara lisan, melainkan komposisinya juga lisan serta merupakan penciptaan dalam pertunjukan (oral composition in performance). Pendendang cerita itu memanfaatkan bentuk yang disebut sebagai formula. Adapun pengertian formula, menurut Lord (1976:4) adalah ―a group of words which is regularly employed under the same metrical conditions to express a given essential idea‖ (kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan suatu ide pokok). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa suatu formula dapat berupa kata-kata, frasa, klausa, atau larik dan muncul berkali-kali dalam cerita. Di samping itu terdapat ekspresi formulaik yang dapat dimanfaatkan, yaitu kelompok-kelompok kata berdasarkan kerangka atau pola formula (Lord, 1976:4). Menurut Ong (1982:35), penggunaan ekspresi formulaik dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga menjadi salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat, serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan. Satu hal penting lain yang dikemukakan Lord adalah tidak adanya penghafalan oleh penutur tradisi lisan yang dikajinya itu. Kata-kata dan barisbaris dalam komposisi cerita lisan disusun atau diciptakan oleh pencerita dengan 38
menggunakan pola formula. Penutur tradisi lisan memiliki kebebasan untuk memilih dan menempatkan formula pada komposisi cerita pada saat pertunjukan sedang berlangsung. Teknik formula itu dikembangkannya untuk melayani dirinya sebagai seorang ahli atau seniman (Lord, 1976:54). Pencerita mencoba mengingat frasa-frasa yang didengarnya dari pencerita lain dan yang telah berkalikali digunakan dalam menuturkan suatu cerita. Mereka menggunakan ingatan (remembering) seperti kita menggunakan ungkapan-ungkapan secara tanpa sadar dalam percakapan biasa, dan bukan menggunakan hafalan (memorization) (Lord, 1976). Dua cara yang ditempuh oleh pencerita dalam menghasilkan perulangan adalah mengingat dan menciptakannya kembali melalui analogi perulangan katakata, frasa, klausa, dan larik yang sudah ada. Kata-kata di sini berarti ujaran, sebagaimana yang dikatakan Lord (1976:25) “word means an utterance.” Dengan menyusun baris berdasarkan pola formula, terjadilah proses penggantian, kombinasi, pembentukan model, dan penambahan kata atau ungkapan baru pada formula sesuai dengan kebutuhan. Lebih lanjut Lord (1976:34) menyatakan bahwa setiap penyair tradisional membawakan ceritanya dengan menciptakan kembali secara spontan dan menggunakan sejumlah unsur bahasa (kata, kata majemuk, frasa) yang telah tersedia dan siap digunakan. Persediaan formula semacam itu disebut stock-in-trade. Dengan demikian para pencerita dalam bercerita tidak pernah sepenuhnya terikat pada teks terdahulu yang pernah didengarnya. Bagian yang tetap adalah inti cerita, sedangkan selebihnya tidak pernah tetap (Lord, 1976:99).
39
Dalam teori formula, menurut Lord (1976:5), konsep kelisanan tidak hanya dimaknai sebagai presentasi lisan, tetapi juga komposisi lisan selama berlangsungnya pertunjukan. Upaya untuk mempelajari, menyusun, dan menampilkan suatu karya secara lisan merupakan bentuk rangkaian kelisanan yang dimaknai sebagai kelisanan dalam arti teknis (harafiah). Hal yang juga terjadi pada bentuk improvisasi. Karena itu, dalam teori formula, prinsip kelisanan berorientasi pada proses pembelajaran tertentu, yakni komposisi dan transmisi lisan yang muncul hampir bersamaan sehingga tampak sebagai sisi-sisi yang berbeda dari proses yang sama. Karena itu perlu dipahami bahwa peristiwa komposisi adalah peristiwa pertunjukan. Tidak ada tumpang-tindih di antara peristiwa komposisi dan peristiwa pertunjukan karena kedua aspek tersebut berlangsung dalam waktu yang sama (Lord, 1976:13-25). Penemuan ―teknik khusus‖ tersebut (Lord, 1976:17) mampu menjelaskan suatu pola penyebarluasan teks lisan sebagai proses ketimbang produk jadi. Dengan demikian teori formula Parry-Lord ini dapat dianggap sebagai teori umum tentang komposisi dalam sastra lisan, dalam kaitannya dengan ―mengingat,‖ tidak hanya untuk puisi lisan Homerus dan Yugoslavia tetapi juga untuk puisi lisan pada umumnya, dan bahkan dimungkinkan untuk prosa lisan. Lord (1976:21-26) menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam hal komposisi terdapat tiga tahap dalam prosesnya, yaitu peletakan fondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan penyerapan, penerapan atau aplikasi, dan pelantunan di hadapan pendengar. Ketiga proses komposisi tersebut selalu dilanjutkan dengan proses mengakumulasi, mengkombinasikan, dan memodelkan 40
kembali formula-formula yang telah ada. Selanjutnya
Lord (1976:13-14)
menjabarkan bahwa (1) pelantunan puisi lisan dalam masyarakat Yugoslavia bersifat spontan, dilantunkan langsung di tempat pertunjukan tanpa catatan; (2) pelantunan hanya berbekal plot dan tema yang telah dipersiapkan dari rumah; (3) pelantunan didominasi oleh repetisi dan paralelisme; (4) lantunan diperkaya dengan stock epithet, yaitu frasa siap pakai yang telah tersedia; (5) lantunan terbentuk atas formula, yaitu kata atau frasa yang dipakai sebagai pengisi ruang kosong pada bait-bait berikutnya yang memiliki kesejajaran semantik tertentu; (6) terdapat kesatuan singer-composer-performer dalam pelantunan; dan (7) tidak ada istilah original dan variant untuk lantunan karena setiap lantunan adalah asli (selalu diproduksi kembali). Menurut Finnegan (1992:117-121), komposisi dimaksudkan sebagai cara atau proses penciptaan sastra lisan atau cara satra lisan disusun dan dihidupkan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu atau kolektif, dengan pertunjukan (performance), dengan memorisasi, atau dengan teks-baku (fixed text) dan teks-bebas (free text). Mengenai performance, Finnegan (1992:91-94) menjelaskannya sebagai suatu tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi dengan muatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki mode tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan pada objek luar, dan dibangun berdasarkan lingkungan kontekstualnya. Selanjutnya, menurut Finnegan (1992:94-105), performance melibatkan unsur performer (orang yang melakukan 41
pertunjukan), pemirsa atau penikmat dan partisipan (orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan), dan media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material). Sementara itu, selaras dengan pendapat Finnegan, Bauman (1992:41-47) mendefinisikan pertunjukan sebagai suatu tindakan komunikasi sekaligus peristiwa komunikatif. Sebagai tindakan komunikasi, pertunjukan memiliki cara-cara penyajian yang khas, yaitu dengan menggunakan tanda-tanda tertentu yang dapat ditafsirkan oleh pemirsa sehingga pada akhirnya dapat dipahami. Tindakan komunikasi tersebut diperagakan, dikenalkan dan dibangun dari lingkaran kontekstualnya. Penonton diberi kesempatan untuk memahami dan mencermati keahlian serta prestasi para penyaji. Seperti dalam setiap tindakan komunikasi, semua pertunjukan diadakan, dimainkan, dan diberi muatan makna dalam konteks situasional yang ditentukan masyarakat. Pertunjukan budaya mempunyai konteks yang menonjol dalam suatu masyarakat dan berciri: direncanakan, dijadwalkan, serta terikat pada waktu dan ruang,. Peristiwa pertunjukan adalah kejadian yang dinilai tinggi dan dapat dinikmati. Sedangkan mengenai transmisi, Finnegan (1992:114-115) menjelaskannya sebagai penyebaran atau penurunan sastra lisan. Menurutnya, konsep transmisi tidak dapat dilepaskan dari konsep memori; dari memori berkembang menjadi transmisi. Model awal memori sering bersifat pasif sehingga memori seseorang dalam kondisi masyarakat tribal dan alami, keadaan ini lebih baik daripada masyarakat keberaksaraan. Model berikutnya cenderung bersifat aktif, yakni berkembang dari gagasan mengenai penyimpanan memori dari secara kata per kata menjadi rekonstruksi dan reorganisasi atas pengetahuan. Karena itu memori 42
tidak dimaknai sebagai hafalan semata, melainkan juga sebagai aktivitas kreatif dan terorganisasi yang dilakukan oleh pemakai. Dengan demikian, model yang kedua ini mengubah minat perhatian dari isi memori kepada proses memori, dari memori pasif ke memori aktif. Demikian juga dengan transmisi yang dapat bersifat pasif dan aktif. Transmisi pasif hanya menyebarkan unsur kebudayaannya secara statis dan tidak berubah, yang dalam memori disebut sebagai penyimpanan secara kata per kata, sedangkan transmisi aktif cenderung merekonstruksi dan mereorganisasi pengetahuan sebelumnya dengan cara mengaitkannya dengan kreasi atau melakukan pembaruan kembali secara aktif. Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, konsep komposisi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai proses pemerolehan, penguasaan, hingga penciptaan kembali cerita melalui rangkaian dialog oleh para aktor Janger yang biasanya ditunjang dengan akting; konsep performance dimaksudkan sebagai pelaksanaan berbagai konsep dan kaida kelisanan dalam pertunjukan Janger; konsep transmisi dimaksudkan sebagai penyampaian cerita kepada khalayak, baik khalayak pewaris aktif maupun pasif kesenian Janger. Dalam konteks ini, performer adalah para aktor Janger, audiens dan partisipan adalah orang-orang yang menjadi penonton pertunjukan, sedangkan media yang digunakan adalah berbagai unsur yang menjadi satu kesatuan dalam pertunjukan. Dalam penelitian ini, pemahaman secara komprehensif mengenai konsep kelisanan sebagaimana telah dijelaskan di atas sangat diperlukan dalam rangka memahami konsep strategi kelisanan. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Badan Bahasa (2008), strategi disamaartikan dengkan ―cetak biru, 43
desain, muslihat, program, rencana, siasat, skema; garis haluan, kebijakan, khitah, pendekatan, politik, prosedur.‖ Sedangkan definisi strategi dalam Kamus Bahasa Indonesia (Badan Bahasa, 2008) adalah rencana yg cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Sementara itu Hornby (1995) dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English menguraikan strategi sebagai ―the art of planning operations in war, esp the movements of armies and navies into favourable positions for fighting; skill in managing any affair‖ (seni perencanaan operasi-operasi dalam perang, utamanya pergerakan pasukan menuju berbagai posisi yang dikehendaki untuk bertempur; keahlian dalam mengatur urusan apa saja). Dengan kata lain, strategi adalah cara-cara tertentu yang dianggap cocok untuk diterapkan dalam mengerjakan sesuatu agar memberi hasil sebagaimana diharapkan. Adapun pengertian strategi kelisanan dalam penelitian ini secara ringkas dirumuskan sebagai ―cara-cara yang dipilih dan dijalankan untuk mengaktualisasikan gagasan dalam bentuk wicara.‖ Dengan demikian dapat dikatakan bahwa strategi kelisanan adalah strategi memilih media pengungkapan gagasan, penyampaian pesan, secara lisan. Strategi kelisanan ini penting untuk diperhatikan karena seni Janger, yang tergolong partly verbal folklore, dalam pementasannya juga berkaitan erat dengan aspek-aspek lain—yakni keberaksaraan dan teatral. Secara teknis, pertunjukan Janger didukung oleh aspek-aspek teknis yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yakni aspek kelisanan, aspek keberaksaraan, dan aspek teatral. Aspek kelisanan mencakup berbagai ekspresi verbal yang disampaikan secara lisan, aspek keberaksaraan meliputi penggunaan tulisan, dan aspek teatral mencakup berbagai ekspresi nonverbal. 44
Penerapan teori kelisanan dalam konsepsi tradisional seperti yang diusulkan oleh Parry dan Lord memiliki cakupan terbatas, yakni hanya berlaku untuk genre puisi yang dipandang secara ketat dari perspektif sastra formal. Selain itu, teori ini hanya berorientasi pada struktur permukaan teks. Jack Goody, Eric Havelock, Walter Ong, Ruth Finnegan dan beberapa pemikir kelisanan lain telah mencoba memperluas jangkauan teori ini sehingga pada akhirnya tidak hanya berkutat pada proses komposisi, tetapi juga proses pemikiran dan wacana lisan pada umumnya. Hasilnya, pembicaraan intensif lebih ditekankan pada kelisanan di satu sisi dan keberaksaraan di sisi lain, serta strategi masyarakat lisan untuk menyimpan, mengorganisir, dan mengunduh pengetahuan, serta mentransmisikan kebudayaan mereka dari generasi ke generasi. Persoalan-persoalan tersebut, yakni menyimpan, mengorganisir, dan mengunduh pengetahuan, serta mentransmisikan kebudayaan adalah persoalan yang dibahas dalam teori informasi dan media. Teori media yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikembangkan Marshall McLuham (1962, 1964), the medium is the message. Dalam perspektif McLuhan, kini bukan lagi ―isi‖ suatu media yang dianggap penting, melainkan media itu sendiri yang lebih penting. Pandangan McLuhan ini menyatakan bahwa secara simbolis ―bentuk‖ menjadi hal yang paling signifikan, bukan isinya. Pemikiran McLuhan tersebut terbukti telah menggugah kesadaran banyak orang mengenai substansi media dan segala efek yang menyertainya. McLuhan adalah orang pertama yang menyusun teori media secara sistematis; sebelumnya tidak ada teoritisi yang menganggap media sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar alat penyampai pesan. Derrida (2005:42), misalnya, 45
menganggap media hanya sebagai perangkat netral yang tidak memiliki kekuatan bagi teori budaya.10 Mengenai media dan pesan, Murray (2008:68) menganggap bahwa keduanya adalah metafora, dan makna metafora selalu berupa metafora lain. Bagi McLuhan sendiri, pesan dari media atau teknologi apa saja adalah perubahan skala atau kecepatan atau pola yang diperkenalkan pada persoalan-persoalan manusia (1964:8). Dengan demikian perwujudan pesan adalah totalitas kesadaran atas makna yang ditandakan, diisyaratkan, atau ditransmisikan dengan cara menggabungkan semua informasi yang dikemas dalam suatu media sehingga menjadi sebuah komunikasi yang utuh. McLuhan menekankan bahwa isi media apa pun selalu berupa media yang lain (1964:8). Strate menambahkan bahwa ketika salah satu media menjadi isi media lain, maka ia menjadi kode, bentuk simbolik, atau gaya estetis yang digunakan untuk menciptakan pesan tertentu (2008:132). Penjelasan McLuhan mengenai hal itu adalah bahwa isi media baru merupakan format media yang ada sebelumnya. Isi film adalah fotografi dan fonograf, struktur naratif dan dialognya sama dengan novel dan drama. Isi televisi pada dasarnya adalah film, dan isi Internet adalah gabungan dari televisi, teks, dan fotografi. Hal ini menjelaskan bawa penekanan teori McLuhan adalah bahwa perubahan pada cara berkomunikasi akan berdampak pada cara berpikir, berperilaku, dan pergerakan kehidupan manusia. Penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi merupakan faktor pengubah kebudayaan manusia. 10
Selanjutnya diskusi menarik mengenai teoritisasi media dapat dilihat pada artikel Mark Poster (2010) yang berjudul ―McLuhan and the Cultural Theory of Media,‖ serta artikel Twyla Gibson (2008b) yang berjudul ―Double Vision: Mcluhan‘s Contributions to Media as an Interdisciplinary Approach to Communication, Culture, and Technology.‖
46
Menurut Gibson (2008a:1), dalam memformulasikan the medium is the message McLuhan tidak hanya menyumbangkan sebuah frasa terhadap bahasa, dia telah ―menemukan‖ sebuah disiplin, yakni media studies. Sebagaimana dijelaskan Mitchell (2008:8), media dapat dipahami sebagai salah satu dari dua klasifikasi: (1) media adalah sistem untuk mentransmisikan pesan melalui media yang berfungsi sebagai kendaraan pengangkut kepada penerima, atau (2) media adalah ruang di mana bentuk bisa berkembang, seperti cawan petri. Dari dua pengertian tersebut tampaklah perbedaan antara pandangan lama masyarakat terhadap media dan pandangan baru McLuhan yang tidak lagi menempatkan media sebagai sarana pengangkut pesan. McLuhan sendiri menjelaskan bahwa kajian media yang dikembangkannya adalah dengan menggunakan metafora transformasi, yakni kajian tentang bagaimana masyarakat ditransformasikan oleh perangkat-perangkat yang mereka ciptakan sendiri. The medium is the message mengedepankan tesis utama kajian media sebagai mode komunikasi. Artinya, media selalu mengomunikasikan makna. Dalam bahasa Gibson (2008a:2), the medium is the message merupakan frasa kiasan yang digunakan untuk merangkum premis mendasar studi media: bahwa medialah yang mengomunikasikan pesan. Contoh mengenai hal ini dapat ditemukan pada ranah psikoanalisa yang menganggap media verbal sebagai pesan yang ingin disampaikan. Carveth (2008:53) mengatakan bahwa siapa yang tidak mau menerima pesannya harus menolak medianya, dan siapa yang menolak medianya tidak akan menerima pesan yang disampaikan.
47
Mengenai apa itu media, Strate (2008:131) menekankan bahwa suatu media biasanya memiliki suatu basis fisik. Mitchell (2008:18) menyatakan bahwa media tidak harus selalu berupa objek. Sedangkan Carveth (2008:50) beranggapan bahwa media dapat berupa hubungan manusia. Sementara itu Danesi (2008:119) mendefinisikan media sebagai hal yang memiliki sarana fisik melalui mana komunikasi diaktualisasikan. Pada hakekatnya, menurut Mitchell, media tidak terletak di antara pengirim dan penerima, melainkan mencakup dan mewadahi keduanya (2008:4). Dalam pemahaman Gibson, gagasan utama dalam the medium is the message adalah bahwa media itu sendiri mengomunikasikan pesan suatu karya dan membimbing interpretasinya. Karena itu sudah semestinya bila studi media berkonsentrasi pada media itu sendiri sebagai suatu jenis bahasa dengan konvensi-konvensinya untuk menghasilkan makna (2008b:144). Sehubungan dengan seni Janger sebagai media yang dikaji, dalam penelitian ini media didefinisikan sebagai ―suatu sistem terstruktur yang berisi subsistem-subsistem yang saling berkaitan untuk bersama-sama mengaktualisasikan pesan/makna.‖ Sedangkan pesan di rumuskan sebagai ―suatu gagasan beserta segala konsekuensi yang ditimbulkannya yang disampaikan kepada pihak tertentu dengan tujuan tertentu pula.‖
1.7 Metode Penelitian Berdasarkan pendekatan dan teori yang telah dijelaskan di atas, dapat dibuat jawaban sementara bahwa pada era secondary orality ini pertunjukan Janger diperkirakan telah melakukan berbagai penyesuaian strategi kelisanan agar 48
transmisi nilai-nilai tradisi yang dilakukannya dapat tetap berlangsung dan diterima masyarakat; dan sebagai konsekuensinya, kedudukan aspek kelisanan dalam pertunjukan Janger ada kemungkinan tidak lagi berada pada kondisi dan posisi superior dibanding aspek-aspek lainnya dalam pertunjukan. Topik kajian di atas berkaitan dengan tiga variabel utama yang harus dijelaskan, yakni (1) variabel subjek seni pertunjukan yang di dalamnya tercakup sejarah perkembangan, manajemen organisasi, para seniman dan khalayak pendukung pementasan, serta sistem pewarisan; (2) variabel kelisanan dalam pertunjukan yang meliputi perolehan, penyusunan, dan presentasi; dan (3) variabel konteks pertunjukan, yaitu konteks waktu yang menyangkut suatu periode tertentu—atau ―saat ini,‖ konteks tempat, yaitu lokasi di mana pertunjukan Janger diselenggarakan, dan konteks hajat penyelenggaraan pementasan, seperti khitanan, pernikahan, atau acara-acara lainnya. Penyebutan nama ―Janger Banyuwangi‖ dalam penelitian ini mengimplikasikan bahwa secara teoritis dan metodologis Banyuwangi ditempatkan sebagai unit analisis etnografis. Selanjutnya, agar dapat menjawab permasalahan secara akurat, mencapai tujuan penelitian secara tepat, serta membuktikan kebenaran hipotesis tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian lapangan (field research) yang memadai, yakni suatu penelitian yang kajiannya didasarkan atas berbagai data yang diperoleh dengan cara eksplorasi di lapangan. Penelitian kelisanan di Banyuwangi ini tidak hanya memberi tantangan teoritis, tetapi sekaligus tantangan metodologis. Oleh karenanya penelitian ini memerlukan eksplorasi lapangan dengan memanfaatkan pendekatan yang biasa 49
digunakan dalam bidang kajian folklor, antropologi, dan sosiologi. Pendekatan ilmu sastra konvensional bisa dianggap tidak cukup memadai karena adanya aspek-aspek dan dimensi kelisanan yang kurang sesuai jika hanya dijelaskan dengan menggunakan analisis tekstual.11 Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan formula kelisanan, teori media, dan etnografi. Pendekatan tekstual digunakan untuk mengkaji konvensi dan variasi kelisanan dalam pertunjukan Janger karena, sebagai produk sastra lisan, cerita-cerita dalam pertunjukan memiliki unsur-unsur yang membangun struktur yang utuh. Dengan kata lain, kajian terhadap konvensi kelisanan dalam pertunjukan Janger terfokus pada teks (aspek lore-nya). Sementara itu, pendekatan media akan menempatkan teks tersebut sebagai inskripsi sosial atas tindakan manusia. Adapun pendekatan etnografi digunakan untuk menggali data tentang berbagai aspek sosial budaya masyarakat Banyuwangi (aspek folk-nya) yang menjadi konteks seni pertunjukan Janger. Menurut Ben-Amos (1992:111), metode etnografi memiliki tiga unsur utama, yakni pencerita, pertunjukan, dan konteks. Meskipun pendapat Ben-Amos tersebut didasarkan pada tradisi naratif, namun dapat diterapkan pada pertunjukan Janger. Pencerita sama dengan pemain Janger, pertunjukan adalah proses transmisi nilai-nilai, sedangkan konteks merujuk pada situasi pertunjukan serta kebudayaan yang melatarbelakanginya.
11
Menurut Ben-Amos, pendekatan yang digunakan dalam penelitian sastra lisan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yakni (1) pendekatan historis-geografis, (2) pendekatan morfologis (Vladimir Propp), dan (3) pendekatan etnografis. Sementara itu, Alan Dundes mengembangkan pendekatan morfologis Propp menjadi pendekatan struktural. Dalam versi yang berbeda, Maranda juga mengembangkan pendekatan struktural dalam menganalisis sastra lisan. Lihat, Sutarto, 1997:21-24.
50
Penelitian terhadap tradisi lisan suatu masyarakat berguna untuk mengetahui tatanan sosial masyarakat tersebut serta kemampuannya dalam mengaktualisasikan pikiran-pikiran tentang kehidupan yang mereka jalani. Finnegan (1973:3) menyatakan bahwa sastra lisan adalah salah satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat dan isinya mungkin mengenai berbagai peristiwa yang ada pada masyarakat pemilik tradisi tersebut. Bagi Finnegan (1978:7), pembicaraan mengenai tradisi lisan dianggap kurang memadai jika hanya membicarakan karya sastranya saja tanpa menghubungkannya dengan pencerita, penceritaan, serta pendengar atau khalayaknya. Dalam mengapresiasi karya sastra, menurut Finnegan, analisis tidak seharusnya hanya didasarkan pada interpretasi kata-kata, nada, serta struktur pada cerita, namun harus menyentuh pencerita, variasi-variasi yang timbul pada saat proses penceritaan akibat pengaruh khalayak, reaksi khalayak, dukungan ilustrasi musik, dan konteks sosial tempat cerita tersebut dihelat. Creswell (1998:58) mendefinisikan etnografi sebagai deskripsi dan interpretasi budaya atau kelompok sosial. Dengan menggunakan metode ini berarti seorang peneliti harus melakukan pengamatan pada kelompok tertentu dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan pandangan hidup kelompok tersebut. Selain itu, pendekatan etnografis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model pendekatan emik (Pelto dan Pelto, 1978:54-66), yakni pendekatan yang
memandang
fenomena
sosial-budaya
(pertunjukan
Janger
beserta
konteksnya) dari sudut pandang masyarakat (folk) yang menjadi objek penelitian, yakni masyarakat Banyuwangi. Dengan kata lain, pendekatan etnografis yang 51
digunakan dalam penelitian ini bersifat holistik-integratif, yakni model pendekatan yang bertujuan untuk memeroleh data-data atas dasar native’s point of view (Spradley, 1997:35-76). Menurut Spradley, etnografi harus menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik. Inti metode etnografi adalah reflektivitasnya; semua penelitian sosial akan didasarkan pada kemampuan manusia dalam melakukan observasi partisipan dan kemampuannya merefleksikan observasi tersebut (1997:5). ―Kita bertindak dalam dunia sosial dan juga mampu merefleksikan diri serta tindakan kita sebagai objek di dunia itu‖ (Atkinson dan Hammersley,
1995:21).
Pada
akhirnya,
sebagaimana
dikatakan
Machin
(2002:165), cara terbaik untuk memahami etnografi bukan dengan cara mempelajari serangkaian prosedur metodologis, karena setiap kasus bersifat unik. Etnografi harus dimaknai sebagai metodologi yang dilandasi improvisasi. Mencoba membaca, menginterpretasi, dan memahami seni pertunjukan Janger dalam keberadaannya seperti sekarang dapat berarti dua hal, sebagaimana yang dicontohkan Umar Kayam ketika meneliti wayang kulit Jawa. Pertama, membaca, menonton, dan memahami sejarah wayang itu sendiri, mencoba menangkap jejak sejarah yang terekam di dalamnya, mencoba mengerti bagaimana kiat dan strategi yang digunakannya untuk tetap bertahan hidup dalam berbagai bentuk pergolakan dan perubahan yang terjadi di sepanjang hidupnya: seperti menatap bekas-bekas luka dan bahagianya di masa lalu, daya juangnya di masa kini, dan harapanharapannya di masa depan. Kedua, hal itu dapat pula berarti membaca, menonton, dan memahami sejarah manusia Jawa itu sendiri dalam rentangan panjang sejarahnya, dengan berbagai kiat dan strategi survivalnya (Kayam, 2001:4-5). 52
Dalam rangka memahami kelisanan Janger sebagai bagian integral dari proses pertunjukan, penelitian ini akan merujuk pada pendapat Pavis (1992), bahwa analisis pertunjukan memiliki dua fungsi utama: pelaporan dan rekonstruksi. Analisis pelaporan dilakukan selama pertunjukan berlangsung, dan karenanya peneliti harus mencatat kesan-kesan dan emosi yang dimunculkan oleh pertunjukan, kapan dan bagaimana emosi tersebut muncul dan bagaimana ia memengaruhi makna dan pengindraan. Sementara itu analisis rekonstruksi cenderung melestarikan dan menyimpan dokumen serta menjaga monumen bersejarah (dalam beberapa hal mirip dengan rekonstruksi sejarah produksi masa lalu). Pelaksanaannya selalu pos festum, yakni analisis dilakukan dengan cara mengumpulkan petunjuk-petunjuk, bergantung pada dokumen pertunjukan serta pernyataan seniman yang ditulis selama persiapan pertunjukan dan seluruh rekaman mekanis dari semua sudut dan dalam segala bentuk kemungkinan. Selain hal-hal tersebut di atas, penelitian ini merujuk pada apa yang telah dilakukan McLuhan (1962, 1964) dalam mengkaji media, serta konsep utama yang dicetuskannya dalam memandang media, yakni the medium is the message. Dengan demikian penelitian ini menempatkan seni pertunjukan Janger sebagai media, bahwa bentuk tidak kalah penting daripada isi, kemudian menjadikannya sebagai komponen utama dalam kajian interdisipliner. Menurut Gibson (2008b:146), dalam kajian interdisipliner semacam ini, masalah, pertanyaan, atau tema menentukan pendekatan yang digunakan dan mengarahkan upaya untuk menemukan sintesis seluruh subjek atau bidang kajian. Selain itu, penelitian ini juga menempatkan pertunjukan Janger sebagai komunikasi yang bermakna 53
(meaningful communication), dalam rangka mengungkap relasi antara seni Janger dengan masyarakat. Untuk dapat memahami media sebagai komunikasi, menurut Gibson (2008b:163), kita harus melihat bagaimana media membentuk pesan, mengamati konvensi serta makna sosial-budaya yang melekat dalam bentuk, pesan-pesan yang disampaikan oleh isi, dan di atas semua itu, komunikasi yang muncul melalui interaksi antara bentuk dan isi. Oleh karena itu dengan beranggapan bahwa isi sebuah media adalah media lainnya maka meneliti sebuah media—dalam hal ini fenomena kelisanan—haruslah secara terintegrasi antara kelisanan dengan media-media lain yang menunjang terbentuknya wacana kelisanan; mengkaji kelisanan dengan cara mengabaikan media komplementernya tidak akan membawa hasil maksimal. Dengan memanfaatkan teori media, sastra (lisan), dan antropologi, maka kajian terhadap seni Janger ini diharapkan mampu menjawab permasalahan penelitian, yakni terwujudnya pemahaman terhadap kelisanan dalam pertunjukan Janger secara holistik dan integral. Itulah sebabnya penelitian ini akan menerapkan model etnografi yang mengandalkan thick description yang lebih menekankan cara kerja induksi sebagaimana dianjurkan oleh Clifford Geertz (1973), sehingga teori-teori yang digunakan akan diposisikan sebagai alat bantu pemahaman. Spradley menyatakan bahwa etnografi-baru memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan (1997:xix). Intisari etnografi-baru Spradley ini adalah upaya seksama memperhatikan makna tindakan masyarakat atau sekelompok orang yang kita 54
coba pahami melalui kebudayaan mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer menyimpulkan kebudayaan manusia berdasarkan tiga sumber: (1) dari yang dikatakan orang, (2) dari cara orang bertindak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Selanjutnya, mengenai konsep yang menjadi fondasi bagi metode penelitian etnografi ini, Spradley menekankan pentingnya: (1) Bahasa, baik dalam melakukan proses penelitian maupun saat menuliskan hasilnya–dalam bentuk verbal. Mempelajari bahasa setempat dianggap penting, namun Spradley menawarkan sebuah cara, yakni dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan etnografis. Bagi Spradley, wawancara etnografik dianggap lebih mampu menjelajah susunan pemikiran masyarakat yang sedang diamati; (2) Informan, karena etnografer bekerja sama dengan informan untuk menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan. Informan merupakan sumber informasi; secara harafiah, mereka menjadi guru bagi etnografer (Spradley, 1997:35). Secara operasional, hal-hal tersebut di atas akan mengarahkan penelitian ini pada upaya penyingkapan mengenai apa dan bagaimana strategi kelisanan dalam pertunjukan Janger, dengan meletakkan pertunjukan Janger pada perspektif the medium is the message. Cara kerja lintas disiplin semacam ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu yang menghasilkan karya-karya penting dalam kajian tradisi lisan, seperti Albert Lord (1976), seorang ahli Yunani Kuno dan Walter J. Ong (1967, 1982) seorang filolog. Selain itu, penelitian ini memerlukan kerja lapangan di beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi yang menjadi basis keberadaan seni Janger. Hal ini penting dilakukan untuk mendapatkan informasi dan pengalaman langsung dari masyarakat, khususnya 55
para seniman Janger, yang masih maupun pernah terlibat dalam seni Janger serta mengetahui sejarah dan perkembangan kesenian tersebut.
1.7.1 Fokus dan Objek Penelitian Fokus penelitian ini tertuju pada aspek kelisanan dalam konteks pertunjukan seni Janger yang hingga saat ini berkembang dengan baik di Banyuwangi. Penelitian ini didasari anggapan bahwa perkembangan seni Janger secara signifikan dipengaruhi oleh beberapa aspek di luar kesenian ini secara taken for granted, sehingga dalam penelitian ini tidak perlu dibahas lagi apakah kelisanan seni Janger mendapat pengaruh dari luar. Sedangkan pertanyaan mengenai apa saja pengaruh aspek-aspek eksternal tersebut bagi perkembangan seni Janger membutuhkan penelitian tersendiri secara mendalam. Meletakkan teks dalam konteksnya, dengan didasari pemikiran bahwa teks tidak pernah hadir dalam ruang kosong, terlepas dari berbagai kepentingan atau dari aneka negosiasi, membawa konsekuensi bahwa nilai-nilai kearifan lokal tidak dapat dipahami tanpa menyimak ekologi kebudayaan yang ikut mewarnainya. Tentang perlunya mempersatukan teks dan konteks dalam sebuah kajian, Lord (1986:468) menjelaskan bahwa performance is significant, and context is important. Without a sympathetic knowledge of context the text may well be misunderstood and misinterpreted. There is no doubt that text and context are inseparable. (Pertunjukan itu sendiri penting, namun konteks juga tidak kalah penting. Tanpa pengetahuan yang memadai mengenai konteks, teks dapat disalahpahami dan disalahtafsirkan. Itulah sebabnya teks dan konteks tidak dapat 56
dipisahkan). Teks di sini tidak hanya dimaknai sebagai sesuatu yang diucapkan (dilisankan) oleh masyarakat pemiliknya tetapi juga sesuatu yang dihayati dan dijalankan. Di Banyuwangi, seni Janger memenuhi kriteria tersebut, yakni sebuah kesenian yang diucapkan, dihayati dan dijalankan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang telah diuraikan sebelumnya, melalui penelitian ini diharapkan diperoleh deskripsi yang holistik tentang kelisanan seni Janger masa kini dalam konteks budaya Banyuwangi. Menurut Peacock (2001:145), ketika mengamati sesuatu seorang peneliti harus menebarkan pandangannya secara luas, bahkan berusaha mencapai latar belakang dan latar depan sesuatu yang diamatinya tersebut. Artinya, pengamatan harus bersifat holistik agar dapat dicapai pemahaman yang memadai. Oleh karena itu pengamatan dalam penelitian ini akan ditujukan pada proses pertunjukan Janger serta latar belakang atau segala suatu yang berada di balik pertunjukan tersebut dan memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan, sehingga penelitian ini dapat memeroleh informasi yang lebih terinci mengenai peristiwa kelisanan yang terjadi pada pertunjukan Janger serta berbagai hal yang membentuk
dan
memengaruhinya.
Dengan
demikian, kajian ini
dapat
digolongkan ke dalam kajian folklor modern, yakni kajian yang tidak hanya terfokus pada folk-nya, tetapi juga pada lore-nya. Sebagaimana disebutkan Danandjaja, secara garis besar kajian tentang foklor dapat dipilah menjadi tiga klasifikasi, yakni kajian yang bersifat humanistis, antropologis, dan modern. Kajian folklor yang bersifat humanistis terfokus pada objek lore-nya, sedangkan kajian folklor yang bersifat antropologis terfokus pada objek folk-nya. Sementara 57
itu, kajian folklor yang bersifat modern terfokus pada folk dan lor-nya (1984:6-7, 1998:57-58). Namun demikian, meski pemahaman mengenai konteks kesenian yang dikaji sangat diperlukan untuk membantu memahami kesenian tersebut, pelaksanaan penelitian ini tidak akan melangkah terlalu jauh agar terhindar dari ekstrapolasi yang justru dapat memudarkan fokus penelitian. Adapun yang dimaksud holistik di sini tentu ada batasannya, tidak mencakup hubungan kesenian ini dengan kesenian-kesenian lain, misalnya senirupa dan seni tari, meskipun bidang seni rupa dan seni tari sangat penting bagi pertunjukan Janger. Untuk menjawab seluruh pertanyaan penelitian, akan dilakukan pengkajian terhadap kelisanan teks lakon yang dipentaskan yang mencakup bentuk teks, aspek kebahasaan dan kesastraan teks, juga formula dalam penciptaan teks beserta variasi-variasinya. Selain itu, untuk mengetahui secara mendalam objek penelitian, unsur-unsur dan struktur pertunjukan akan dibahas secara keseluruhan. Dalam hal ini, pertunjukan Janger Banyuwangi dianggap sebagai produk budaya yang mampu merepresentasikan berbagai pikiran, perilaku, dan harapan-harapan masyarakat Banyuwangi dalam bentuk tradisi lisan. Itulah sebabnya meskipun hanya meneliti salah satu aspek tradisi lisan, aspek-aspek lain yang ikut berperan dalam pengungkapan aspek tersebut perlu diperhatikan. Karena itu pula dalam penelitian ini perlu disertakan gambaran umum pertunjukan Janger, proses pencapaian keahlian para aktor, serta masyarakat Banyuwangi sebagai konteks di mana pertunjukan seni Janger digelar. Janger sejak awal ditransmisikan secara lisan. Karenanya, meskipun menggunakan teori formula, penelitian ini tidak ditujukan untuk membuktikan 58
kelisanannya, namun untuk memahami bagaimana proses penciptaan kelisanan tersebut dilakukan para seniman Janger dan pada akhirnya dapat diterima masyarakat. Untuk memahami proses penciptaan kelisanan pada pertunjukan Janger, penelitian ini merujuk pada teori formula Parry dan Lord. Rujukanrujukan lain yang digunakan adalah gagasan kelisanan yang dikemukakan oleh Walter Ong, Ruth Finnegan, Jack Goody, dan lain-lain. Dari pembahasan ini diharapkan dapat diketahui bagaimana aspek-aspek, variasi, konvensi, serta strategi kelisanan dalam pertunjukan Janger. Objek utama analisis dalam penelitian ini adalah empat buah pertunjukan Janger yang digelar pada tahun 2013 oleh empat buah grup Janger yang berbeda—grup Karisma Dewata dari desa Tambakrejo, kecamatan Muncar; grup Sastra Dewa dari desa Sumberwangi, kecamatan Srono; grup Madyo Utomo dari desa Banje, kecamatan Rogojampi; dan grup Dharma Kencana dari desa Glondong, kecamatan Rogojampi, dengan lakon sebagai berikut. Tabel 1.1: Daftar grup Janger yang menjadi objek utama penelitian Waktu 23 Juni 2013 29 Juni 2013 12 Juli 2013 21 Juli 2013
Nama Grup Karisma Dewata Sastra Dewa Madyo Utomo Dharma Kencana
Lakon Madune Tawon Klanceng Putih Damarwulan Senapati Majapahit Prabu Tawangalun Minak Jinggo Winisudha
Pergelaran pertama berlangsung di rumah keluarga Ibu Hj. Ngatijem di desa Tugurejo, kecamatan Genteng, dalam rangka pernikahan putrinya. Pergelaran kedua berlangsung di rumah keluarga Bpk. Mochamad Saat di desa Karangsari, kecamatan Sempu, dalam rangka khitanan putra bungsunya. Pergelaran ketiga berlangsung di rumah keluarga Bpk. Rustam Efendi di desa Karangtengah,
59
kecamatan Genteng, dalam rangka pernikahan putrinya. Pergelaran keempat berlangsung di rumah keluarga Bpk. Suyanto dalam rangka khitanan putranya. Pemilihan keempat pertunjukan oleh empat grup Janger tersebut menjadi objek utama kajian dengan pertimbangan: (1) Keempat grup tersebut berada pada kelompok papan atas sehingga dalam hal kualitas dapat dipertanggungjawabkan. (2) Keempat grup ini dapat dianggap mewakili etnisitas masyarakat Banyuwangi yang menjadi pendukung utama kesenian Janger, yakni etnis12 Jawa dan Using. Mayoritas anggota grup Janger Karisma Dewata dan Sastra Dewa berlatar belakang etnis Jawa, sedangkan anggota grup janger Madyo Utomo dan Dharma Kencana mayoritas beretnis Using. Pemilihan grup Janger berdasarkan perbedaan etnisitas ini penting karena dengan demikian variasi kelisanan pada pertunjukan mereka bisa saling melengkapi data penelitian. (3) Keempat pementasan tersebut diselenggarakan di lokasi di mana grup Janger biasa menggelar pertunjukan, yakni di tengah-tengah masyarakat pendukung utamanya. Dengan demikian keempat peristiwa pertunjukan tersebut dapat disebut sebagai pergelaran kesenian tradisional dengan konteks dan situasi tradisional pula. Merujuk pada pengertian yang dijelaskan oleh Boyer (1990:1), suatu fenomena dapat disebut tradisional jika memenuhi tiga kriteria, yakni (1) merupakan interaksi sosial, (2) berulang, dan (3) secara psikologis dianggap penting.
12
Pengertian etnis dapat disejajarkan dengan istilah suku bangsa (Koentjaraningrat, 1993:6-13), namun demikian istilah etnis tetap menjadi konsep yang rumit yang berkaitan dengan ras dan bangsa dan hingga sekarang masih sering menimbulkan perdebatan. Pengertian etnis menyiratkan sarana klasifikasi masyarakat dan hubungan-hubungan kelompok. Istilah kelompok etnis umumnya disejajarkan dengan istilah ras (Eriksen, 1993:3-6).
60
Keempat pertunjukan di atas diletakkan sebagai sumber data primer penelitian yang harus ditangani secara khusus. Penanganan secara khusus tersebut berupa pemilihan secara seksama dialog para tokoh cerita serta adegan-adegan yang sesuai dengan kebutuhan analisis sebagai titik-tolak untuk melihat strategi kelisanan pertunjukan Janger. Namun demikian, meski perhatian difokuskan pada empat pertunjukan di atas, tidak berarti bahwa pertunjukan-pertunjukan lain dianggap tidak penting dalam penelitian ini. Pembatasan perlu dilakukan karena keterbatasan ruang dan waktu pelaksanaan penelitian. Sejumlah pertunjukan lainnya, baik yang diselenggarakan di lingkungan masyarakat pendukung Janger, maupun di luar lingkungan (biasa disebut sebagai pertunjukan dalam situasi khusus) dipilih sebagai objek pendukung kajian, khususnya untuk melengkapi data yang tidak tersedia di lapangan. Ketujuh pertunjukan tersebut adalah: (1) Kebo Mancuet, (2) Minak Jinggo Winisudha, dan (3) Minak Jinggo Rabi Loro, dimainkan oleh grup Janger Dharma Kencana dari desa Glondong kecamatan Rogojampi, (4) Damarwulan Ngarit (Damar Mbalelo), dimainkan oleh grup Janger Purwo Kencono, dari desa Purwoasri kecamatan Tegaldlimo, dan (5) Senapati Majapahit, (6) Sabdopalon Dadi Ratu, dan (7) Damarwulan Winisudo, dimainkan oleh grup Janger Sastra Dewa dari desa Sumberwangi kecamatan Srono. Ketujuh pertunjukan tersebut dipilih karena secara keseluruhan semuanya berisi rangkaian cerita Damarwulan-Minak Jinggo, yakni cerita utama yang selama ini dimainkan oleh kelompok-kelompok Janger Banyuwangi. Dengan demikian ketujuh lakon
61
tersebut memiliki kesinambungan cerita, meski dimainkan oleh tiga kelompok Janger yang berbeda. Keempat pertunjukan yang dijadikan objek utama penelitian di atas direkam dengan kamera video dan ditranskripsi dengan menggunakan model transkripsi yang oleh Schieffelin (2005) disebut sebagai transkripsi etnografis. Pertama-tama, pertunjukan harus dilihat melalui perspektif etnografi, yakni menempatkan pertunjukan sebagai peristiwa sosial. Dalam perspektif ini, sebuah pertunjukan hanya dapat berlangsung karena berkorelasi dengan para penonton dan sekaligus berdampak terhadap mereka. Oleh karena itu, dalam mentranskripsi sebuah pertunjukan si peneliti harus mampu menangkap nilai-nilai performatif pertunjukan tersebut, bukan sekedar menuliskan unsur-unsur verbal dan musiknya saja. Hal penting dalam suatu pertunjukan yang harus diperhatikan adalah mode of process pertunjukan tersebut: bagaimana pelaksanaannya serta bagaimana pengaruhnya terhadap pemirsa (Schieffelin, 2005:81). Sebaliknya, apa saja yang memberi pengaruh dan menjadi konteks bagi aktivitas performatif harus dianggap sebagai bagian dari pertunjukan (Schieffelin, 2005:82). Lebih lanjut Schieffelin menjelaskan bahwa mentranskripsi sebuah pertunjukan secara langsung, yakni pada saat pertunjukan tersebut tengah berjalan, merupakan upaya yang mustahil dilakukan karena segala sesuatu dalam pertunjukan tersebut berlangsung secara cepat dan simultan. Oleh karena itu pertunjukan harus direkam terlebih dahulu agar dapat dilihat berulang-ulang, atau dihentikan sementara, sehingga dapat dilakukan transkripsi secara cermat. Dengan demikian yang ditranskripsi bukanlah pertunjukan yang sesungguhnya, melainkan 62
hasil rekaman suatu pertunjukan (2005:82-83), digabungkan dengan catatan yang dibuat selama pertunjukan berlangsung. Selanjutnya, transkripsi pertunjukan Janger dalam penelitian ini dibuat dengan mempertimbangkan ketentuan Ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), tatacara penulisan bahasa Jawa, serta memasukkan keterangan akting seperlunya terutama akting yang menyertai dialog. Dalam meneliti rekaman audiovisual, Collier dan Collier (dalam Leavy, 2000) menyarankan beberapa langkah yang dapat membantu, yakni: (a) mengamati dengan cara slow motion adalah proses kunci dalam analisis, (b) mengamati dengan cara high speed juga dapat membantu melihat pola-pola yang berbeda, (c) logging dengan menggunakan video footage counters dapat membantu memperoleh presisi, (d) dalam hal analisis terstruktur, penghitungan dan pengukuran kelompok sekuen dapat membantu dalam hal kredibilitas, (e) mengamati hubungan antara suara (sound) dan gambar (image) dapat mengarahkan pada pandangan baru mengenai rekaman visual, karena dapat dicatat pacing dan peaks komunikasi serta perilaku nonverbal, dan (f) pengamatan survei dapat menjadikan rekaman lebih tertata. Mengenai apa saja yang tercakup dalam strategi kelisanan kesenian Janger, dalam penelitian ini akan dijelaskan setidaknya melalui lima hal, yakni: 1. Media Bahasa. Pada setiap pertunjukan Janger, sebagian besar dialog/monolog disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa, sebagian lainnya menggunakan bahasa Using, dan bahkan bahasa Indonesia. Perlu dikaji dalam situasi bagaimana penggunaan bahasa-bahasa tersebut serta efek apa yang diperoleh. Hal ini penting mengingat pertunjukan Janger tidak hanya disaksikan 63
oleh sekelompok orang dengan latar belakang etnis tunggal, tetapi, setidaknya, para penonton yang berasal dari tiga etnis dominan: Using, Jawa, dan Madura. 2. Diksi. Perlu dikaji bagaimana diksi bekerja dalam pertunjukan Janger— baik estetis maupun teknis. Dengan memperhatikan diksi akan dapat diketahui bagaimana suatu kesenian memperlakukan bahasa—mengingat bahasa merupakan alat utama dalam seni pertunjukan berbasis tradisi lisan. Dalam pertunjukan Janger terdapat tiga macam diksi berdasarkan pilihan kata yang digunakan: diksi standar, diksi arkais, dan diksi serapan. 3. Alih Kode dan Campur Kode. Walaupun masyarakat Banyuwangi secara umum dikenal egaliter, namun bahasa utama yang digunakan dalam pertunjukan Janger adalah bahasa Jawa—yang secara struktural dan kultural tidak egaliter. Itulah sebabnya perlu disimak bagaimana tatakrama dalam berbahasa, kapan bahasa Jawa ngoko, krama madya, krama inggil, diterapkan. Selain itu, perlu dibahas pula kapan, oleh siapa, dan kepada siapa bahasa Using (dengan dua ragam wicara, disebut cara Using dan cara besiki) digunakan.13 4. Intonasi dan Pelantunan. Berkaitan dengan dialog/monolog yang disusun dan disampaikan oleh para aktor, perlu diketahui kapan diwujudkan dalam bentuk wicara biasa dan kapan dalam bentuk tembang/lagu. Intonasi juga harus diperhatikan, karena gaya penyampaian yang diwujudkan dalam bentuk intonasi adalah salah satu pembeda suatu genre seni pertunjukan. Pada 13
Contoh bahasa Jawa: Kowe mangana dhisik (ngoko); Mangga sampeyan nedha rumiyin (krama madya); Sumangga panjenengan dhahar rumiyin (krama inggil). Contoh bahasa Using: Siro madyango sulung (kamu makanlah dulu, ragam cara Using); Riko madyango sulung (anda makanlah dulu, ragam cara besiki). Pada contoh bahasa Using ini, kata siro ditujukan pada orang yang telah dikenal dengan baik atau dianggap sederajat, sedangkan kata riko ditujukan pada orang yang lebih tua, orang yang belum dikenal dengan baik, atau orang yang dihormati.
64
pertunjukan Janger di masa lalu, dialog/monolog dalam bentuk tembang mendapat porsi cukup besar. Kini, dengan berbagai alasan, ada kecenderungan pada para aktor muda untuk mengurangi porsi tersebut, bahkan menghilangkannya. Oleh karena itu patut ditelusuri efek apa yang diperoleh dari perubahan tersebut, serta kemungkinan penemuan gaya atau teknik-teknik tertentu sebagai alternatif pengganti, dalam kaitannya dengan estetika pertunjukan. 5. Improvisasi dan Hafalan. Perlu disimak apakah materi yang disampaikan telah
dipersiapkan
terlebih dahulu—misalnya
dengan cara
menghafalkan dialog/monolog, ataukah bersifat improvisatoris di atas panggung. Kedua cara tersebut perlu dikaji karena membawa implikasi yang berbeda, baik secara estetis (bagi pertunjukan) maupun teknis (bagi para aktor). Dalam komposisi sekaligus performance, perlu diketahui alat bantu pengingat apa saja yang digunakan sehingga suatu dialog/monolog dapat diutarakan dengan cepat dan
akurat.
Sehubungan
penyusunan/penciptaan
dengan
hal
(composition)
itu,
ekspresi
perlu lisan
dilacak
apakah
dilakukan
dengan
memanfaatkan formula atau ekspresi formulaik tertentu. Kedudukan komposisi atau penciptaan ini sangat penting dalam tradisi lisan, khususnya dalam seni pertunjukan seperti Janger. Sebagaimana dikatakan Lord (1987), tradisi tidak hanya berisi pemikiran, formula, dan tema, tetapi juga mencakup seni penciptaan (art of composition). Seni penciptaan ini memegang peran penting dalam transmisi kebudayaan.
1.7.2 Lokasi Penelitian 65
Mengenai jangkauan wilayah penelitian, pelaksanaan penelitian ini mengikuti saran Levi-Strauss, yakni agar sebuah penelitian memiliki legitimasi, maka pelaksanaannya harus dibatasi pada suatu daerah kecil saja, dengan perbatasannya yang jelas (1963:11). Sehubungan dengan hal tersebut, lokasi penelitian ini secara garis besar hanya dibatasi pada wilayah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, khususnya di kecamatan-kecamatan yang menjadi basis kelompok-kelompok seni Janger, yakni kecamatan Songgon, Srono, Rogojampi, dan Muncar. Namun, pembatasan lokasi ini bersifat luwes karena penentuan kecamatan tidak berdampak secara signifikan terhadap pemilihan kelompok Janger yang diteliti serta korelasinya terhadap konteks sosial-budaya masyarakat, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk mengakses sumber-sumber informasi dari kecamatan-kecamatan lainnya sebagai bahan pelengkap atau pembanding. Bahkan sebagai bahan informasi dan pelengkap data—bukan sebagai bagian dari data yang dianalisis, keberadaan seni Janger di beberapa daerah di sekitar Banyuwangi juga perlu digali, khususnya di Kabupaten Jember, Bondowoso, dan Lumajang. Dua buah pertunjukan khusus yang diselenggarakan di Surabaya dan Malang juga diamati sebagai pelengkap data.
1.7.3 Metode Pengumpulan Data Pelaksanaan penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan perolehan data yang dikumpulkan melalui wawancara etnografis, pengamatan terlibat (participant observation), dan dokumentasi. Pada tahap pengumpulan data ini yang perlu diperhatikan adalah: (1) Ketelitian dalam mendiskripsikan data 66
secara apa adanya, sebelum dilakukan kategorisasi; (2) Melakukan kategorisasi secara ketat sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan; (3) Melakukan analisa kritis melalui konseptualisasi dengan bantuan teori yang sudah dipilih; (4) Dalam menyajikan hasil wawancara secara mendalam perlu dipisahkan antara emik (pendapat informan) dengan etik (pendapat peneliti); (5) Terdapat dua pilihan penyajian data: Pertama, etnografi klasik yaitu peneliti secara terperinci, mendetil dan mendalam menggambarkan seluruh peristiwa tanpa interpretasi. Kedua, etnografi modern di mana laporan penelitian sudah merupakan hasil imajinasi dengan bantuan teori yang telah disediakan (Miles dan Huberman, 1994). Pada pelaksanaan wawancara etnografis, teknik yang digunakan adalah alur penelitian maju bertahap sebagaimana yang dicontohkan James P. Spradley (1997), dengan menempuh langkah-langkah: (1) menetapkan informan, (2) melakukan wawancara etnografis, (3) membuat catatan etnografis, (4) mengajukan pertayaan deskriptif, (5) melakukan analisis wawancara etnografis, (6) membuat analisis domain, (7) mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap lanjut setelah mengidentifikasi domain, (8) membuat analisis taksonomik, (9) mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol diyakini dapat ditemukan dengan menemukan bagaimana sebuah simbol berbeda dari simbol-simbol yang lain, (10) membuat analisis komponen, (11) menemukan tema-tema budaya, dan (12) menulis sebuah etnografi. Selain memanfaatkan data yang diperoleh dari pementasan berbagai kelompok seni Janger, penelitian ini juga dilengkapi berbagai informasi yang diperoleh dari wawancara dengan beberapa informan yang terdiri atas 67
seniman/pelaku seni Janger, pemerhati seni-budaya, serta pihak-pihak lain yang berkompeten. Menurut Spradley (1997), banyak data yang dapat diperoleh melalui wawancara, terutama wawancara etnografis. Spradley menjelaskan bahwa wawancara etnografis merupakan serangkaian percakapan persahabatan yang ke dalamnya peneliti secara perlahan memasukkan beberapa unsur baru untuk membantu informan memberi jawaban sebagai seorang informan. Berbagai pertanyaan yang diajukan bisa dalam bentuk pertanyaan deskriptif, pertanyaan struktural, atau pertanyaan kontras sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Sementara itu tiga unsur etnografis yang paling penting adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan, dan pertanyaan yang bersifat etnografis. Wawancara tersebut akan dilakukan dalam berbagai kesempatan yang memungkinkan, direkam dengan voice recorder, selanjutnya hasil wawancara ditranskripsikan dan dipilah atau diklasifikasi atas dasar tingkat kelayakan data. Bahkan wawancara juga dilakukan melalui media sosial di Internet, khususnya melalui Facebook. Berbagai sumber tertulis juga dimanfaatkan dalam penelitian ini. Tulisan-tulisan yang dipilih berupa tulisan yang berkaitan dengan topik penelitian yang pernah dimuat dalam majalah, koran dan jurnal, serta tulisan-tulisan lain yang tidak diterbitkan, misalnya makalah seminar dan tesis/disertasi. Namun karena penelitian ini bukan penelitian sejarah, maka proses analisisnya tidak akan bergantung pada data tertulis secara berlebihan. Singkatnya, penelitian ini mengandalkan tiga sumber data yakni pengamatan, kepustakaan dan hasil wawancara lapangan. Dalam hal kajian lapangan peneliti dimudahkan oleh beberapa hal, terutama masalah bahasa dan adat-istiadat. Hampir semua masyarakat 68
Banyuwangi, terlebih yang terlibat dalam kesenian Janger, mampu berkomunikasi dalam bahasa Jawa dengan baik. Mereka juga mampu berbahasa Indonesia. Dengan demikian peneliti tidak menemukan kendala berarti dalam berkomunikasi dengan para informan. Perkenalan peneliti yang cukup mendalam dengan masyarakat Banyuwangi sejak jauh-jauh hari sebelum penelitian ini dilaksanakan juga membantu untuk lebih cepat masuk ke dalam alam kebudayaan mereka. Peneliti juga diuntungkan oleh kenyataan bahwa peneliti bukan orang Banyuwangi, sehingga terdapat cukup jarak antara peneliti dan subjek yang di kaji yang membantu objektivitas dalam proses penelitian.
1.7.4 Teknik Analisis Data Tahap analisis data dalam penelitian ini adalah tahap lanjutan yang berupa proses pengorganisasian dan mengurutan data ke dalam kategori dan satuan uraian dasar. Hasil penelitian lapangan akan digabungkan dengan penelitian kepustakaan sebagai sumber data sekunder. Data yang sudah terkumpul melalui observasi di lapangan, wawancara, dan studi kepustakaan tersebut akan dideskripsikan dan ditelaah secara menyeluruh sesuai dengan asumsi dasar yang telah disebutkan di muka, kemudian diseleksi berdasarkan relevansinya dengan persoalan-persoalan yang dibahas. Langkah selanjutnya adalah mereduksi data dengan cara membuat abstraksi, dilanjutkan dengan membuat kategorisasi dan klasifikasi serta menghubungkan antara satu data atau fakta dengan data atau fakta lainnya. Karena itu, sejalan dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dan menyangkut telaah teks beserta konteksnya, urutan telaah yang dilakukan adalah 69
sebagai berikut: (1) mengkaji pola-pola formulaik pada dialog, (2) mengkaji unsur-unsur pendukung aspek kelisanan dalam pertunjukan, dilanjutkan dengan (3) mencari kemungkinan adanya relasi konvensi kelisanan dalam pertunjukan dengan berbagai hal dari luar pertunjukan. Pengkajian ini bertujuan untuk memeroleh pemahaman mengenai strategi kelisanan yang diterapkan dalam pertunjukan yang selanjutnya dirangkaikan dalam satu kesatuan yang serasi dan logis, sehingga menghasilkan suatu etnografi yang memadai. Analisis data dilakukan secara holistik, yakni suatu permasalahan tidak hanya dirinci secara terpisah atau terbatas pada unsur-unsurnya yang lebih kecil, tetapi juga mengaitkannya dengan persoalan-persoalan lain sehingga dapat diperoleh hasil analisis yang integral. Meskipun subyektivitas peneliti tidak mungkin dapat ditiadakan sepenuhnya, interpretasi yang dilakukan akan tetap mengacu pada kaidah-kaidah keilmuan, yakni berupaya mencari kebenaran dalam konteks struktur sosial-budaya masyarakat Banyuwangi.
1.8 Sistematika Disertasi Secara garis besar, penulisan disertasi ini disusun sebagai berikut. Bab pertama berisi latar belakang permasalahan dan bagaimana permasalahan tersebut akan dipahami. Bab pertama ini mencakup beberapa subbab, yakni latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. Bab kedua membicarakan masyarakat dan seni pertunjukan di Kabupaten Banyuwangi, dengan subbab: lokasi geografis, bumi semenanjung: riwayat panjang berliku, demografi dan 70
sosial-ekonomi masyarakat, keadaan kebudayaan, aneka kesenian, dan media alternatif konsumsi kesenian daerah. Bab ketiga membicarakan perkembangan dan kondisi kegiatan seni Janger, dengan subbab: perkembangan seni Janger, semalam-suntuk menonton janger, konteks pertunjukan, ritual dalam pertunjukan Janger, organisasi Janger, khalayak penonton, upaya pewarisan dan pelestarian, serta Janger dan (re)konstruksi identitas kultural. Bab empat membicarakan bentuk seni Janger Banyuwangi, dengan subbab: lakon dan naskah, pelaku pertunjukan, postur tubuh, gerak, dan suara, struktur pertunjukan, musik pengiring, serta tata artistik. Bab lima membahas pencapaian keaktoran: jalan panjang para wayang, dengan subbab: magang: lakukan seperti yang kami lakukan, penggubahan, serta formula: senjata utama para aktor. Pembicaraan mengenai strategi kelisanan dalam Janger dibahas dalam bab enam, dengan subbab: media bahasa dalam pertunjukan Janger, diksi, alih kode dan campur kode, intonasi dan pelantunan, serta improvisasi dan hafalan. Bab kelima membahas ciri-ciri ekspresi lisan dalam pertunjukan Janger, dengan subbab: multilingual, kelancaran lebih penting daripada gramatika, agregatif daripada analitis, berlebihan atau ―panjang-lebar‖, konservatif atau tradisional, bernada agonistik, bergantung situasi daripada abstrak, serta estetis lebih penting daripada komunikatif. Bab terakhir, yakni bab kedelapan, adalah kesimpulan.
71