BAB I PENDAHULUAN
I.1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pertanahan di Sumatera Utara khususnya di daerah perkebunan mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sumatera Utara yang sebelumnya disebut sebagai Sumatera Timur memang daerah perkebunan yang menjadi rebutan kalangan investor asing terutama investor swasta Belanda dengan kekuatan Belanda sebagai penjajah di Indonesia. Sengketa dan perbedaan kepentingan pertanahan antara petani dan masyarakat dengan perkebunan sangat rumit dan unik. Hal tersebut tidak terlepas dari situasi di Sumatera Utara yang secara kultur didukung dengan heteroginitas suku dan tarik menarik kepentingan akibat kebutuhan ekonomi, baik investor asing maupun tuntutan masyarakat. Pembuat UU Pokok Agraria menempatkan posisi penguasaan tanah dengan konsep tersendiri yang berbeda dengan konsep yang diimpor Belanda di Indonesia. Konsep hak menguasai negara adalah pencerminan dari hak ulayat dalam skala nasional. Namun dalam praktek, perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Konflik pertanahan telah berlangsung sejak zaman kolonial hingga saat ini. Khususnya dalam areal perkebunan yang berasal dari konsensi yang diberikan sultan kepada perusahaan perkebunan (onderdeming) diatas tanah ulayat. Hak konsensi berubah menjadi hak erfphact dan kemudian berubah menjadi Hak Guna Usaha. Peristiwa hukum ini telah menghilangkan kedudukan hak ulayat masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal. Konflik pertanahan yang berlanjut menjadi
1
Universitas Sumatera Utara
sengketa pertanahan antara rakyat dengan pemerintahan dan pihak onderneming yang sekarang menjadi pihak PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II, khususnya antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat. Sengketa ini dalam praktek sulit diselesaikan, bahkan belum diselesaikan muncul lagi sengketa baru. 1 Tema dalam penelitian ini adalah menganalisa konflik sengketa tanah yang terjadi antara Badan perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) dengan PTPN II. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) adalah organsasi petani orang Melayu yang berdiri tahun 1953. didirikan tahun 1953, tetapi akar BPRPI sudah ada sejak masa kolonial Belanda menguasai Sumatera Timur. Setelah diberlakukannya Undang–undang Agraria 1870 pengusaha swasta asing kolonial mulai mengalir ke Sumatera Timur untuk menanamkan modalnya dalam industri perkebunan, ketika pengusaha swasta asing kolonial berlomba memasuki Sumatera Timur mendirikan Industri Tembakau, orang Melayu yang sebelumnya mengusahakan tanah pertanian mengalami perubahan dalam bercocok tanam. Sebelum kedatangan pengusaha swasta asing kolonial, orang Melayu dari satu tempat ke tempat lain membuka hutan dan menanam padi dengan sistem ladang berpindah. Akan tetapi sesudah industri perkebunan tembakau mulai beroperasi, cara bercocok tanam ladang berpindah orang Melayu ikut berubah. Orang Melayu tidak lagi membuka hutan, tetapi menggunakan tanah jaluran sebagai lahan perladangan. 2 Perubahan tersebut tidak mengganggu kegiatan bercocok tanam orang Melayu, sebab kegiatan pertanian orang Melayu diakui dan dicantumkan kedalam akta konsensi. Diakui dan dicantumkannya hak atas tanah tersebut kedalam akta konsensi menunjukkan
1
Alwi, Afrizan, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan : Studi Kasus di Sumatera Utara. Medan, CV. Cahaya
Ilmu, 2006 hal. 78 – 79 2
Budi Agustino. Kebijakan Perburuhan di Sumatera Timur. Medan, Yayasan Akatiga, 1995. hal. 35
2
Universitas Sumatera Utara
orang Melayu tetap dapat mengolah tanah, walaupun tanah ditanami tembakau. Jika tembakau sudah dipanen orang Melayu dapat mengerjakan bekas tanah tembakau itu. Selama tembakau belum dipetik orang melayu menunggu tembakau sampai dipanen. Mereka yang menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu. Sedang tanah bekas kebun tembakau yang diolah Rakyat Penunggu disebut tanah jaluran. 3 Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya pemerintah Belanda di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah jaluran, Rakyat Penunggu sebagai orang asli Sumatera Timur, tidak pernah mendapat kesulitan dalam mengolah tanah. Karena tanah jaluran hanya diberikan kepada orang asli Sumatera Timur. Diluar orang asli, para pendatang misalnya, tidak mendapat tanah jaluran. Karena memperoleh hak istimewa itu, Rakyat Penunggu sering disebut anak emas pemerintahan Belanda. Setelah kekuasaan Belanda runtuh kemudian digantikan Jepang, peluang Rakyat Penunggu untuk mendapatkan tanah jaluran mulai terganggu. Ini dapat terjadi karena politik Jepang berbeda dengan politik Belanda. Untuk mendukung kepentingan politiknya Jepang mendorong para pendatang mengerjakan tanah–tanah perkebunan. Masuknya para pendatang itu menyebabkan menciutnya peluang orang Melayu mendapat tanah jaluran. Di samping itu, mengalirnya para pendatang memicu konflik pertanahan antara orang Melayu dan pendatang. Situasi politik Jepang kurang menguntungkan Rakyat Penunggu (orang Melayu) ini menyebabkan masyarakat Melayu tergeser dalam struktur masyarakat baru 4. Kesulitan menuntut distribusi tanah jaluran dirasakan makin mengecil setelah kemerdekaan. Lahirnya republik muda selain membawa tantangan dan harapan juga 3
Ibid hal. 40 - 41 Mahadi. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975, Perkembangan Kekuasaan Belanda di Sumatera Timur, Bandung, Alumni, 1978 hal. 45. 4
3
Universitas Sumatera Utara
mengundang persoalan baru. Bagi rakyat penunggu persoalan baru yang nampak ketika menyongsong republik muda adalah makin besarnya jumlah pendatang, dari etnik yang berbeda yang mendatangi tanah–tanah perkebunan. Kedatangan para pendatang ini membuat orang Melayu makin sukar mendapatkan hak adatnya memperoleh tanah jaluran 5. Dengan lain kata, hak adat orang Melayu yang semula terus didapat, setelah kemerdekaan mulai menghadapi masalah. Memasuki tahun 1950–an ketegangan politik di Sumatera Timur terasa meningkat terutama sesudah permunculan partai politik beserta ormas–ormasnya. Persoalan sengketa tanah di Sumatera Timur juga tambah memanas. Ormas–ormas yang kebetulan konstituennya lebih banyak menggugat masalah pertanahan, termasuk tanah jaluran, menyebabkan sengketa tanah makin menajam. Permunculan ormas–ormas petani cenderung menyudutkan kedudukan Rakyat Penunggu, dan menolak kalau tanah jaluran hanya diberikan pada Rakyat Penunggu. Ormas–ormas petani menuding Rakyat Penunggu sebagai antek Kapitalisme dan Feodalisme. Serangan ormas petani dan tidak putus–putusnya kecaman dari orang–orang Petani, menyadarkan Rakyat Penunggu untuk membentuk organisasi petani guna memperjuangkan aspirasinya. Pada tahun 1953 berdirilah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) yang memperjuangkan hak–hak adat orang Melayu. Namun akibat suasana politik yang tak menguntungkan BPRPI diserang kaum kiri. Serangan itu begitu kuatnya hingga BPRPI tak berdaya lagi memperjuangkan tujuannya. 6 Sesudah organisasi kiri ditidas lahirlah Orde Baru. BPRPI mendukung Orde Baru. Tetapi tak lama kemudian, Gubernur Sumatera Utara, Marah Halim Harahap,
5
Ibid
6
Edi Suhartono, BPRPI VS PTPN II. Bandung, Wahana Informasi Masyarakat, 1997. hal. 3 - 4
4
Universitas Sumatera Utara
mengeluarkan Surat Keputusan penghapusan tanah jaluran. Surat Keputusan Gubernur SUMUT itu ditolak BPRPI sembari melakukan protes, BPRPI melancarkan protes dengan melakukan aksi turun ke tanah – tanah jaluran yang sebagian besar masuk wilayah PT.Perkebunan Nusantara II. Akibatnya, pada tahun 1970 meledak sengketa agraria antara BPRPI dan PTPN II. Aksi perlawanan BPRPI terjadi lagi tahun 1980 dan lima belas tahun kemudian (1995) aksi kembali berlangsung. Aksi perlawanan yang terjadi tahun 1995 berskala luas dan melibatkan massa BPRPI yang besar. Keinginan mempertahankan tanah adat di satu pihak, dan adanya kehendak menggusur hak adat di pihak lain menimbulkan sengketa petanahan antara BPRPI dan PTPN II. Permasalahan sengketa tersebut yang menuntun arah penelitian ini.
I.1.2. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Melawan PT.Perkebunan Nusantara II (PTPNII) Ketika sistem politik lama tumbang digantikan Orde Baru BPRPI mendukung kekuatan Orde Baru. Sikap politik BPRPI mendukung Orde Baru diperlihatkan dengan menyatunya organisasi petani orang Melayu ini kedalam Kesatuan Aksi Tani Indonesia (KATI). Berdirinya Orde Baru bagi BPRPI dipandang sebagai sebuah orde politik yang akan mendatangkan keamanan, ketertiban, dan kepastian. Sebab di masa kekuatan politik lama mendominasi wacana politik bangsa BPRPI tidak berdaya bertarung melawan partai komunis. Lebih dari itu bagi BPRPI kelahiran Orde Baru membersihkan harapan terselesaikannya hak adat orang Melayu yang tak kunjung selesai. Tanpa ragu BPRPI mendukung Orde baru. Namun sesudah beberapa tahun Orde Baru menjalankan roda
5
Universitas Sumatera Utara
pemerintahannya kepastian penyelesaian masalah hak adat tampak makin jauh 7. Makin menjauhnya terselesaikan masalah hak adat ini memang sudah diduga, sebab dari awal Orde Baru tidak meletakkan persoalan pertanahan sebagai prioritas utamanya. Landasan utama Orde Baru adalah pertumbuhan ekonomi, karenanya dapat dimengerti sewaktu BPRPI meminta pemulihan hak adatnya tidak memperoleh sambutan. 8 Tidak bersambutnya permintaan BPRPI kelihatan jelas dari sikap Guernur SUMUT, Marah Halim, yang terang–terangan memihak perkebunan dengan cara ingin menghapuskan keberadaan hak adat Orang Melayu. Penghapusan hak adat tampak dari sikap politik pemerintah daerah Sumatera Utara (Gubernur Marah Halim) lewat penerbitan Surat Keterangan (SK) Gubernur Sumatera Utara, tertanggal 16 Juli 1968 No. 370 / III / GSU 19689. Bunyi surat keputusan GUBSU tersebut antara lain : 1.
Penggarapan tanah jaluran dalam areal perusahaan negara perkebunan IX (PTPN II) di daerah kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Langkat, baik oleh rakyat petani maupun rakyat petani bersama karyawan PNP, ABRI, Pegawai Negeri ditiadakan.
2.
Mewajibkan PNP IX (PTPN II) untuk mengolah dan menanami tanah kosong bekas tanaman tembakau yang sedianya diperuntukkan buat tanah jaluran didalam PNP itu dengan tanaman padi dengan ketentuan : a. Teknik dan cara pengolahan dan tanamannya dilakukan PNP IX (PTPN II) dengan memakai peralatan dan tenaga karyawannya sendiri.
7 8
Ibid hal. 83 Burhan Aziddin, Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX, Medan, Fakultas Hukum
USU, 1981. hal. 54 9
Edi Suhartono. BPRPI VS PTPN II. Bandung, Wahana Informasi Masyarakat, 1997. hal. 85
6
Universitas Sumatera Utara
b. Hasil padi yang diperoleh dari penanaman itu diperhitungkan dengan jatah beras buat PNP IX (PTPN II) dan tidak diperkenankan diperjualbelikan kepada atau oleh pihak lain. c. Apabila terdapat kelebihan setelah dikurangi jumlah jatah beras PNP IX (PTPN II) buat setahun, maka kelebihan itu akan diatur penggunaannya oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. d. Segala sesuatu akan diubah dan diperbaiki sebagaimana mestinya, apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini. Selain Surat Keterangan (SK) Gubsu, dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD – GR) Tingkat I ada enam anggotanya pada 22 Mei 1968 mengajukan usul supaya membagi tanah jaluran kepada rakyat 10 yaitu: e. Kaum tani 40 % f. Karyawan perkebunan 35 % g. Unsur ABRI 15 %, dan h. Pegawai Negeri 10 % Dan ada lagi surat Komandan Korem 023 / Dataran Tinggi bernomor K – 5208 / 1968 tanggal 22 Juni 1968 11 yang menerangkan : a. Supaya penggarapan tanah jaluran ditiadakan b. Supaya PNP IX (PTPN II) diwajibkan menanami tanah – tanah bekas penanaman tembakau dengan bahan makanan, hingga produksi beras
10 11
Ibid hal. 86 Ibid
7
Universitas Sumatera Utara
tidak
menjadi
berkurang,
karena
diharapkan
pula
teknik
pengolahannya lebih sempurna dan penguasaannya lebih terjamin, dan c. Supaya hasil padi diperhitungkan dengan jatah beras untuk PNP IX (PTPN II) Adanya SK Gubsu dan Komandan Korem 023/Dataran Tinggi sangat menyentakkan BPRPI. BPRPI tidak pernah membayangkan pemerintah daerah bermaksud menghapus hak adat orang Melayu dengan cara melarang anggotanya menggarap tanah jaluran di tanah–tanah perkebunan PNP IX (PTPNII). Kemudian melancarkan protes keras atas keputusan pemerintah tersebut. Namun situasi politik waktu itu kurang menguntungkan BPRPI untuk melakukan aksi turun ke tanah perkebunan, karena masa–masa itu merupakan masa pembersihan dan konsolidasi Orde Baru. Mengingat pembersihan sisa–sisa komunis masih terus berlangsung, BPRPI bertindak hati–hati dalam protesnya. Apabila memakai cara kekerasan dalam menentang kebijakan pemerintah, bisa–bisa organisasi ini dituduh disusupi komunis. 12
Sampai saat ini belum ada pernyataan resmi yang menyatakan tidak mengakui atau menghapuskan tanah adat BPRPI. Oleh karena itu, BPRPI merasa sah kalau ia memperjuangkan pengembalian tanah adatnya. Tuntutan BPRPI memulihkan tanah adatnya sudah berlangsung lama, namun dalam tuntutan pengembalian tanah adatnya yang diambil modal besar BPRPI tidak pernah menggunakan cara kekerasan. Aksi turun ke tanah jaluran yang berada di beberapa daerah PTPN II sebagai bentuk perlawanan BPRPI tidak pernah menghalalkan kekerasan. Aksi turun ke tanah jaluran atau meminjam bahasa Afnawie Nuh, ke tanah leluhurnya tahun 1970, 1980, dan 1995 dilancarkan secara 10
Ibid 89
8
Universitas Sumatera Utara
damai. Dari ketiga aksi ini yang relatif besar dan sukses menguasai tanah adat mereka adalah aksi 1995.
Sukses aksi 1995 sepenuhnya digerakkan massa BPRPI. Selama tiga belas bulan massa BPRPI menguasai tanah–tanah PTPN II. PTPN II menuduh massa BPRPI sebagai penggarap liar, jelas bagi BPRPI tuduhan itu salah dan lebih salah lagi kalau dituduh subversive. Tindakan PTPN II terhadap BPRPI tidak berhenti sebatas melemparkan tuduhan,
tetapi
juga
dengan
tindakan
kekerasan,
bahkan
dengan
upaya
membumihanguskan lahan warga BPRPI yang termasuk dalam wilayah perkebunan PTPN II. Terror yang bertubi–tubi dan pembumihangusan itu menyebabkan kekuatan BPRPI tercabik–cabik sehingga tak berdaya melawan PTPN II.
Untuk sementara waktu BPRPI memang tersungkur dan berkeping – keping namun masa mendatang BPRPI pasti akan membenahi organisasinya dan akan bangkit kembali mengumandangkan hak adatnya. Sepanjang masalah hak adatnya tidak pernah diselesaikan, selama itu pula BPRPI tidak pernah berhenti berjuang dan terus melakukan aksi turun ke tanah–tanah perkebunan.
9
Universitas Sumatera Utara
I.2. Rumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan dan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan, atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pernyataan lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan identifikasi masalah. 13 Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka peneliti merumuskan masalah adalah bagaimana gerakan perjuangan BPRPI dalam sengketa pertanahan yang terjadi dengan PTPN II.
I.3. Batasan Masalah Dalam penelitian ini penulis akan membuat batasan masalah agar hasil yang diperoleh tidak akan menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai. Penulis hanya membahas masalah menganalisa bagaimana gerakan BPRPI dan pengungkapan sengketa pertanahan yang terjadi antara BPRPI dengan PTPN II.
Dari garis kerangka waktu, kajian di dalam penelitian ini dibagi ke dalam periode antara 1950-1995.
13
Usman Husaini, Metode Penelitian Sosial, Bandung, Bandung Bumi Aksara, 1986. hal. 43.
10
Universitas Sumatera Utara
I.5. Tujuan Penelitian Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk mengungkap sengketa pertanahan antara
BPRPI dengan PTPN II. Oleh sebab itu interaksi politik diantara pembuat
kebijakan dalam hal ini berkaitan antara pemerintah dan rakyat penunggu sebagai objek penelitian.
I.6. Signifikasi Penelitian Dalam penelitian ini tiga jenis manfaat penelitian yaitu :
1.
Manfaat bagi penulis dapat menambah wawasan yang berarti dalam memahami kajian ilmu politik yang dalam hal ini implementasi kebijakan pemerintah melihat ketimpangan yang terjadi didalam penguasaan tanah. Selain itu juga mengembangkan kemampuan berpikir yang sistematis dan sebagai media bagi penulis untuk menghasilkan suatu karya ilmiah.
2.
Manfaat praktis,yaitu sebagai masukan bagi penulis dalam usaha mengetahui produk kegiatan politik khususnya politik agraria.
3.
Manfaat akademis,yakni untuk memperkaya pengetahuan penelitian mahasiswa ilmu politik dalam kajian konflik agraria bagi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, Universitas Sumatera Utara (USU) khususnya departemen Ilmu politik.
11
Universitas Sumatera Utara
I.7. Kerangka Teori I.7.1. Korelasi Antara Negara dan Konflik Agraria Tanah, dalam sistem sosial, ekonomi, politik dianggap sebagai faktor produksi utama. Yang membedakan dari masing-masing unsur tersebut adalah fungsi, mekanisme pengaturan dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri. Pemilikan maupun penguasaan tanah merupakan faktor penting dalam setiap masyarakat, apapun model sistem sosialekonomi-politik yang dianut didalamnya. Pentingnya penguasaan tanah bagi masyarakat dengan sendirinya akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar. Hal ini menimbulkan konflik yang terjadi antara pihak-pihak terkait. Dapat dipahami fakta sempitnya skala usaha petani adalah realitas terjadinya proses ketimpangan struktur penguasaan tanah. Ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang bisa diakses petani untuk berproduksi. Kemampuan berproduksi menjadi indikator dari sikap petani yang lebih mengutamakan kebutuhan konsumsinya sendiri agar terpenuhi dahulu daripada mencari keuntungan dan surplus yang dapat dihasilkan dari keterbatasan faktor produksi yang dimilikinya. Negara merupakan salah satu faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya. Teori Marxis menyatakan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya. Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah atau yang tanahnya dirampas oleh kapitalis Negara. Negara
12
Universitas Sumatera Utara
ditempatkan sebagai instrument kapitalis 14. Teori Marxis memberikan perhatian kepada konflik antar dua kelas 15 yaitu, pertama konflik antar kelas pemilik atau pengontrol tanah dengan kelas yang tidak memiliki tanah. Keterlibatan negara dalam konflik Agraria dilihat sebagai konsekuensi dari perkembangan ekonomi kapitalis di suatu masyarakat dimana negara berprilaku sebagai instrument kapitalis. Negara dapat menimbulkan konflik antara negara dengan masyarakat sipil, pertama adalah karena konsekuensi dari peraturan yang dibuat oleh negara untuk membela kepentingannya. Negara membuat aturan–aturan dan memaksakan aturan– aturan tersebut untuk diterima oleh masyarakat sipil dan diberbagai tempat menyingkirkan hukum adat. Penerapan aturan – aturan negara ini ada yang merugikan kepentingan–kepentingan masyarakat sipil tersebut yang mengakibatkan mereka melawan negara untuk membela hak nya. Kedua, konflik antara masyarakat sipil dengan negara akibat cara yang dilakukan oleh aparatur negara dalam mengimplementasikan kebijakan – kebijakannya, program – programnya atau peranan – peranannya.
I.7.1.1. Gerakan Sosial dan Teori Hegemoni
Gerakan Sosial di Negara Dunia Ketiga, baik perjuangan untuk tujuan peningkatan kondisi hidup maupun terkait pemerataan distribusi sumber daya ekonomi. Khusus untuk gerakan sosial yang ada di Negara Dunia Ketiga, seringkali berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh Negara, melalui apa yang disebut sebagai Pembangunan (Development). Pembangunan seringkali dianggap oleh 14
Mandel Ernest, Tesis – Tesis Pokok Marxisme, Yogyakarta, Resist Book, Agustus 2006 hal. 11
15
Ibid, Negara : Instrumen Dominasi Kelas, Hal. 12 - 13
13
Universitas Sumatera Utara
masyarakat sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai kesengsaraan masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dan hal tersebut merupakan perlawanan dan kritik terhadap skenario Modernisasi, yang mengasumsikan dan merancang untuk membawa kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu Negara Dunia Ketiga. Menurut pendapat Bonner, dalam konteks Dunia Ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah “Pembangunan” 16. Studi tersebut bermaksud untuk mencari alternatif terhadap gagasan “Pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini telah menjadi suatu “Agama Sekuler Baru” bagi seluruh masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dalam aplikasinya, pembangunan sering dianggap sebagai satu-satunya tujuan bagi pihak pemerintah di negara tersebut. Pembangunan banyak diterima oleh kalangan birokrat, akademisi maupun aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat tanpa mempertanyakan landasan ideologi dan diskursusnya. Beberapa pertanyaan yang perlu menjadi bahan kajian terhadap ide pembangunan bukanlan semata-mata mengenai soal metodologi, pendekatan dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri, tetapi secara teoritis justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai gagasan kontroversial, yaitu perlu dipertanyakan adalah apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah bagi berjutajuta masyarakat di Negara Dunia Ketiga atau semata-mata hanya sebagai alat menyembunyikan permasalahan atau penyakit yang sebenarnya lebih mendasar? Banyak pakar ilmu sosial secara kritis telah meneliti dampak pembangunan dan menganggap bahwa justru ide pembangunan telah menciptakan kesengsaraan dari pada memecahkan masalah-masalah
yang
dihadapi
oleh
masyarakat
di
Negara
Dunia
Ketiga.
Studi tentang gerakan sosial dapat dibagi menjadi dua pendekatan yang saling 16
Robert Mirsel, Teori Pergerakan Sosial, Yogyakarta, Resist Book, Januari 2005, hal. 58-60
14
Universitas Sumatera Utara
bertentangan 17. Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh sebab itu, gerakan sosial dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat. Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, dan dikenal dengan “Teori Konflik”. Teori konflik pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu : 1) Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya, 2) Kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, dan 3) Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahanlan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.Teori konflik berakar dari paham Marxisme tradisional yang menyatakan bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran 18. Dalam Marxisme tradisional perjuangan
17 18
Ibid hal. 62 Ibid hal. 74
15
Universitas Sumatera Utara
kelas ditempatkan pada titik sentral dan faktor esensial dalam menentukan suatu perubahan sosial. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas proletar (kelas yang dieksploitasi) dan kelas kapitalis (kelas yang mengeksploitasi). Oleh karena itu, dalam perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial, yaitu dasar dan superstruktur 19. Unsur dasar adalah faktor ekonomi, dianggap sebagai landasan yang secara esensial menentukan dalam perubahan sosial. Sedangkan superstruktur, adalah faktor pendidikan, budaya, dan ideologi yang berada di tempat kedua, karena faktor tersebut ditentukan oleh kondisi perekonomian. Dengan demikian, menurut pendekatan ini, perubahan sosial terkaji dikarenakan adanya perjuangan kelas, yaitu kelas yang dieksploitasi (buruh) berjuang melawan kelas yang mengeksploitasi (kelas kapitalis). Dengan kata lain, aspek esensial perubahan sosial adalah revolusi kelas buruh, dengan determinisme ekonomi sebagai landasan gerakan sosial. Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Society). Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideologi dan intektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik 20. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu
agregasi
atau
percampuran
kepentingan,
dimana
kepentingan
19
Mandel Ernest, Tesis – Tesis Pokok Marxisme, Yogyakarta, Resist Book, Agustus 2006 hal. 25
20
http://ssantoso.blogspot.com/2007/07/gerakan-sosial-dan-perubahan-sosial.html
16
sempit
Universitas Sumatera Utara
ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah. Menurut pernyataan Gramsci “semua orang adalah intelektual, maka seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat”. Definisi intelektual tersebut adalah orang-orang yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok sosial utama. Intelektual memainkan peran dalam menyebarkan ideologi hegemonik kelas dominan yang dibentuk melalui informasi dan lembaga formal (misalnya sekolah dan perguruan tinggi). Selanjutnya Gramsci berpendapat bahwa perjuangan kelas harus dilakukan dengan dua strategi utama, yaitu pertama, apa yang disebut dengan “perang manuver”, yaitu perjuangan mencapai perubahan jangka pendek dalam mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis; kedua, “perang posisi” yang ditandai sebagai perjuangan cultural dan ideologis jangka panjang. Bagi Gramsci, tugas utama pendidikan adalah meyakinkan kelas buruh bahwa “yang dalam kepentingannya bukan tunduk kepada disiplin tetap dari kultur, tetapi mengembangkan konsepsi dunia dan sistem hubungan manusia, ekonomi, dan spiritual yang kompleks yang membentuk kehidupan sosial global” 21. Dengan demikian, peran kependidikan organisasi gerakan sosial, pendidik, dan pemimpin adalah mencakup pencapaian tujuan jangka pendek (bersifat praktis) dan tujuan jangka panjang (bersifat ideologi) untuk menghasilkan transformasi sosial. Upaya untuk memunculkan kesadaran dan pendidikan kritis (termasuk yang dilakukan oleh organisasi gerakan sosial) merupakan bagian terpenting dalam seluruh proses perubahan 21
http://ssantoso.blogspot.com/2007/07/gerakan-sosial-dan-teori-hegemoni.html
17
Universitas Sumatera Utara
sosial atau transformasi sosial. Marxisme tradisional tersebut banyak mendapatkan kritik dari generasi Marxisme baru, khususnya terhadap pendekatannya yang bersifat mekanistik. Generasi Marxisme baru (dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci: 1891–1937) menyatakan bahwa peran manusia sebagai agen, termasuk ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam mentransformasikan krisis ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak bahwa perekonomian adalah sesuatu yang esensial dan faktor penentu bagi perubahan sosial, serta menolak gagasan determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai faktor penting di antara banyak faktor lainnya yang saling tergantung secara dialektis. Mereka mengajukan argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada tahun 1970an dan 1980an sama sekali tidak menekankan ke arah gerakan perjuangan kelas, seperti yang didefinisikan oleh penganut Marxisme tradisional. Gerakan spiritual, gerakan fenimisme, gerakan hak azasi manusia dan hak-hak sipil, gerakan anti perang dan anti nuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan gerakan pecinta lingkungan, serta gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan gerakan yang tidak berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas dari kelas buruh. Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan kedua ini, yaitu dengan teorinya tentang perubahan sosial yang nonreduksionis dan teorinya mengenai hegemoni. Implikasi teori hegemoni adalah bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolusioner atau bukan lagi titik vokal dan sebagai unsur utama dalam gerakan perubahan sosial. Disamping itu Gramsci juga mengemukakan teorinya tentang kemungkinan menciptakan aliansi antara unsur kelas buruh dan kelompok lainnya, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian proses revolusioner.
18
Universitas Sumatera Utara
I.7.1.2. Konflik Tanah
Terkait dengan sengketa tanah, teori Marx masih relevan dalam proses sejarah sengketa tanah di Indonesia. Secara kronologis, tanah mulai menjadi kendali dalam kekuasaan ketika dipegang oleh kalangan adat (tuan tanah) yang dikemudian dikenal dengan feodalisme. Feodalisme dalam perangkat yang sama diteruskan dalam kendali kolonialisme yang kadangkala keduanya bekerja sama dan kadangkala berkonflik. Periode kemerdekaan, tanah masuk dalam kendali negara. Periode pasar bebas, tanah berada di bawah kendali negara dan pasar (kapitalisme). Apabila dibuat periodisasi, sejarah kendali tanah dapat dijelaskan dalam periode kendali tuan tanah, periode kendali kolonial, periode kendali negara dan periode kendali negara dan pasar 22. Dalam hal ini, dasar kepemilikan tanah lebih didasarkan atas struktur kekuasaan.
Sebuah disertasi yang ditulis oleh Mustain menjelaskan tentang sejarah sengketa tanah di Indonesia secara spesifik. Menurut Mustain, konflik berlangsung sejak beroperasinya
perkebunan
zaman
kolonial
Belanda,
Jepang,
agresi
Belanda,
kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru serta era Reformasi. Konteks konflik di sini menurut penulis Disertasi disebabkan oleh problematika dualisme hukum (legal gaps) yang dalam prosesnya menyebabkan cultural conflict. Ia menemukan konflik antara rakyat petani dan PTPN XII yang didukung negara bersumber dari persoalan konsep tentang hak kepemilikan atau penguasaan tanah dengan justifikasi yang didasarkan pada
22
Mandel Ernest, Tesis – Tesis Pokok Marxisme, Yogyakarta, Resist Book, Agustus 2006 hal. 15
19
Universitas Sumatera Utara
dasar logika hukumnya sendiri. Hukum negara yang positivistik, Legal formal, prosedural berhadapan dengan hukum rakyat yang lokal dan nonformal. 23
Dilihat dari konflik kelas yang dicetuskan Marx, konflik tanah di Indonesia dapat dijelaskan terjadi antara masyarakat versus negara, masyarakat versus negara dan perusahaan, dan masyarakat versus militer. Teori konflik yang dicetuskan Ralf Dahrendof dapat menjelaskan sengketa tanah dari aspek penggunaan otoritas yang bersifat dikotomis antara otoritas negara berhadapan dengan sub-ordinat masyarakat, otoritas perusahaan berhadapan dengan sub-ordinat masyarakat, kemudian otoritas militer dengan subordinat masyarakat. Apabila dijelaskan secara keseluruhan, ada proses struktur konflik yang begitu kuat di mana negara berada dalam otoritas yang paling kuat, kemudian otoritas tersebut terbagi kepada perusahaan, militer, pemimpin elit lokal, sub-ordinatnya adalah masyarakat yang pada posisi terakhir berada dalam super sub-ordinat 24. Semua struktur sub-ordinat dan super sub-ordinat diharuskan tunduk secara tegas kepada negara. Gambaran seperti ini membentuk piramida ketundukan secara kaku. Menurut Dahrendof25, karena setiap asosiasi pada dasarnya berusaha mempertahankan pada posisi dominan. Maka terjadilah kolusi dalam usaha memperkuat masing-masing otoritas, dan pembagian otoritas yang bersifat saling melindungi. Dengan demikian, teori kolusif inilah yang sebenarnya relevan dengan konflik tanah di Indonesia selama ini.
Di Indonesia, menurut undang–undang, negara berkuasa penuh berkenaan dengan pengalokasian tanah. Pasal 18 UUPA / 1960 menyatakan: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak – 23
http://iptek.web.id/2010/02/17/tanah-dalam-konflik/
24
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/opini/artikel.php?aid=25556.
25
Ibid
20
Universitas Sumatera Utara
hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti rugi kerugian yang layak dan menuruti cara–cara yang diatur oleh undang–undang“ 26. Badan yang hanya boleh mencabut hak–hak atas tanah tersebut adalah negara. Hal ini juga mengandung arti, negara menjadi aktor yang bukan saja mengatur orang, melainkan juga mengatur tanah di Indonesia. Dia bukan mengatur tanah miliknya sendiri, melainkan juga mengatur tanah yang dimiliki oleh rakyatnya. Inilah yang disebut sebagai negara menjadi penguasa tertinggi atas tanah di Indonesia. Sebagai wujud dari peran pengatur tanah seperti yang diamanatkan UUPA 1960 itu, negara di Indonesia menempatkan dirinya sebagai agen pembebasan tanah, sebagai agen untuk merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan tanah. Pemerintah setempat menjadi panitia yang mengorganisasikan penyerahan tanah dari komunitas setempat kepada bisnis atau kepada negara itu sendiri. Kemudian Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan, untuk pembangunan umum 27 menegaskan lagi bahwa panitia pembebasan tanah yang dibentuk pemerintahlah yang mengorganisasi pembebasan tanah milik rakyat untuk kepentingan umum. Panitia tersebut dibentuk ditingkat propinsi dan ditingkat kabupaten kota. Anggota panitia pembebasan tanah tersebut terdiri dari pejabat –pejabat pemerintah setempat yang diketuai oleh kepala daerah. Artinya, komunitas setempat tidak langsung bernegosiasi dengan investor atau dengan sebuah instansi pemerintah yang membutuhkan tanah mereka, melainkan melalui tim pembebasan tanh yang dibentuk oleh pemerintah setempat.
26 27
Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, Hak – Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2008 hal. 84. Ibid Hal. 60.
21
Universitas Sumatera Utara
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia pemerintahlah yang mengalokasikan tanah untuk diberikan kepada investor sebagai akibatnya, makin luas tanah yang telah diserahkan negara kepada pebisnis dan sebagai konsekuensinya tentunya aktor yang paling bertanggung jawab atas akibat–akibat negatif dari semua itu adalah negara itu sendiri. Terkait dengan mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Pasca lahirnya UUPA, Persoalan land reform adalah persoalan nasional yang bertujuan merombak struktur agraria di Indonesia yang bersifat feodalisme. Land reform merupakan persoalan yang sangat kompleks menyangkut segi-segi sosial, ekonomi dan politik kehidupan dan penghidupan petani. Pelaksanaanya pun banyak berhadapan dengan berbagai persoalan seperti persoalan adat, sisa-sisa kekuasaan feodal, persoalan waris dan persoalan lainnya 28. Isu Landreform tahun 1960–an seharusnya dapat mengambil kembali tanah masyarakat adat Melayu. Isu Landreform pada saat itu justru dimanfaatkan dengan baik oleh kekuatan komunis melalui Barisan Tani Indonesia (BTI). BTI memanfaatkan momen lahirnya UUPA tahun 1960 guna membagikan tanah kepada para petani pendukungnya atau kepada petani agar menjadi pengikutnya. Begitu juga ditahun–tahun selanjutnya, beberapa peluang akhirnya menjadi bumerang bagi BPRPI untuk pendudukan kembali tanah mereka, dengan pelaku yang berbeda tentunya. Sejauh ini sudah beberapa kali BPRPI mencoba melakukan pendudukan kembali tanah masyarakat adat Melayu. Setelah tahun 1981, BPRPI bangkit namun kenyataannya adalah kekalahan tragis bagi BPRPI dalam perjuangannya mempertahankan tanah mereka yang seharusnya menjadi hak mereka. Berbagai peranan yang terdapat didalamnya termasuk birokrat yang menjadi peran penting didalam membuat kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini 28
Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, Hak – Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2008. hal. 33
22
Universitas Sumatera Utara
tetapi hasil yang diperoleh bahwa tetap saja perjuangan rakyat yang seharusnya menjadi hak milik mereka dirampas oleh kebijakan pemerintah dan perjuangan yang mereka lakukan sia–sia.
I.7.2. Perbedaan Persepsi Tentang Hak Penguasaan Tanah di Sumatera Timur Teori penguasaan dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan, dalam praktek diperlakukan teori penguasaan tanah berdasarkan teori Eropa, adat, dan hukum nasional. Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa negara adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” atau Negara adalah Saya, Teori ini mencerminkan kekuasaan besar atas tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara. Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda memberlakukan ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk kepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintahan kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara 29. Atas dasar teori ini maka pemerintahan kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada perusahaan onderdeming dengan skala besar. Dengan
29
Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan : Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur. Medan,USU Press, 2005 hal. 98
23
Universitas Sumatera Utara
diberlakukannya teori domein verklaring oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia dapat diasumsikan bahwa kebijakan itu didasari atas alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah, maka dengan sendirinya hak domein itu juga diambil oleh Belanda karena Belanda memegang kekuatan di Indonesia. Anggapan pemerintah Belanda yang demikian itu, pada dasarnya adalah sangat keliru. Karena tidak semua raja-raja di Indonesia mempunyai hak domein atas tanah, khususnya di Sumatera Timur raja-raja tidak menguasai semua tanah di wilayah kerajaannya. Tetapi di wilayah persekutuan hukum adat yang berada di bawah kekuasaan kesultanan tanah adalah merupakan milik komunal. Anggota persekutuan dari hukum adat itu dapat membuka tanah dan memungut hasil hutan dengan seizin kepala persekutuan atau pengetua adat, hak ini merupakan hak ulayat dalam masyarakat adat itu. Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domein verklaring ini adalah sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di atas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada orang asing dengan hak sewa (erfacht). Dalam hal ini, perlu dijelaskan apa yang disebut dengan persewaan tanah (tenure), penyewa (tenant) dan pemilik tanah yang menyewakan (landowner) khususnya yang muncul dalam sejarah persewaan dan penguasaan tanah di Sumatera Timur. Pertama-tama kita akan membahas masalah persewaan tanah (tenure) Dalam hal ini, A.W.B Simpson menjelaskan bahwa persewaan tanah ini berasal dari pemilik tanah. Pemilik tanah yang diakui menurut hukum adat Eropa adalah raja. Raja akan membagi-bagikan tanah tersebut kepada para bangsawan dalam bentuk suatu
24
Universitas Sumatera Utara
struktur hirarkis, dengan tujuan dua hal menyerahkan sebagian hasilnya sebagai upeti kepadanya, dan memeliharanya para bangsawan beserta keluarganya dengan sisa hasil itu sebagai imbalan atas kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya. Tentu saja bangsawan tidak menggarap sendiri tanah itu, namun membagi-bagikan tanah itu kepada kelompok di bawahnya sebagai kelompok penggarap tanah 30. Para penggarap tanah ini juga mengalami kewajiban yang sama sebagai suatu bentuk perabdian feodal, dan mereka juga dianggap sebagai penyewa tanah itu. Konsep persewaan dan penguasaan tanah tersebut di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa sumber dari kepemilikan tanah terletak pada pusat kekuasaan, dalam hal ini raja. Dengan demikian raja menjadi satu-satunya pemilik tanah (vorstdomein). Namun pada penggarapan dan pengolahan tanah-tanah itu, tentu saja raja tidak akan melakukannya sendiri. Dengan melihat kutipan diatas, Mosca menyebutkan bahwa raja dalam hal ini tidak menggarap sendiri namun membagi-bagi tanah itu kepada para pejabat dan bangsawan kecil bawahannya untuk digarap dan disetorkan sebagian hasilnya kepadanya. Dengan demikian tanah ini merupakan semacam pinjaman (leen) dalam pandangan rajaraja Eropa feodalis. Raja menjadi penentu dari pemilikannya dan tidak akan bisa dilepaskan haknya tanpa merombak seluruh sistem feodal yang menjadi kekuasaannya 31. Dalam hal ini bisa kita lihat penjelasan Ter Haar tentang pemilikan tanah adat sebagai berikut : “Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu yang menaruh tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilamana ia tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut
30 31
Ibid hal. 100 http://iptek.web.id/2010/02/17/tanah-dalam-konflik/
25
Universitas Sumatera Utara
musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya supaya memilih : mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan pemilikn hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang sesama anggota yang menginginkannya dan mendesak dia memilih satu antara kedua pilihan itu.”32 Bertolak dari pandangan Ter Haar ini bisa diketahui, bahwa seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau merubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dari tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi mengerjakannya maka tanah itu bisa diambil oleh orang lain yang akan menggarapnya. Konsep Ter Haar tersebut bisa diperjelas lagi dengan apa yang dikatakan sebagai hak ulayat. Soerojo Wignjodipoero mengatakan berikut ini : a. mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan sebagainya. b. memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang komunal. c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar. d. membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus. e. mengusahakan untuk diurus kolam ikan diatasnya. 33 Dengan mengungkapkan sejumlah hasil yang bisa dipetik ini, Soerojo menyebutkan bahwa hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui. Sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau
32 33
Ibid Syafruddin Kalo. op cit, hal. 102
26
Universitas Sumatera Utara
melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama-sama anggota komunal tersebut. Semua tanah, hutan jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untuk menguasai tanah diluar perbatasan desa, penduduk desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan izin kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan Van Volenhoven, Logeman dan Ter Haar tanah tersebut tidak dibawah kekuasaan negara. Sistem hukum yang melandasi pemilikan tanah komunal dalam ulayat ini adalah pandangan tentang kehidupan sosial masyarakat tradisional sendiri. Menurut Unger, hubungan yang berlaku antar-individu dilandasi dengan ikatan kekerabatan kolektif. Keanggotaan mereka ditetapkan oleh ikatan kekerabatan nyata, namun tentang kepemilikan tanah hal ini diatur terlepas dari kelompok keluarga. Sebagai akibat dari ketatnya ikatan komunal yang berlaku dalam masyarakat ini, perbedaan antara anggota masyarakat dan orang luar sangat jelas. Orang luar yang masuk kedalam lingkaran komunal ini dianggap asing dan tidak boleh merampas hak atas penguasaan tanah oleh para anggota komunal 34. Hal ini dapat disesuaikan dengan pandangan masyarakat Sumatera Timur yang mengakui pemilikan tanah sebagai milik komunal atau, dalam pandangan lain, milik raja. Sebagai akibat para pengusaha perkebunan asing (onderneming) dianggap oleh mereka telah merampas hak yang telah ada sejak turun-temurun atau hak yang diberikan oleh 34
Ibid hal. 103
27
Universitas Sumatera Utara
Sultan kepada mereka. Dengan menanami dan menyewa tanah-tanah yang ada tanpa sepengetahuan atau tanpa berunding terlebih dahulu dengan penduduk, maka terjadi ketegangan sosial dengan penduduk, maka terjadi ketegangan sosial dengan tuduhan sebagai perampasan hak milik. Sebagai ungkapan lahir dari gejolak psikis sosial yang disertai dengan tekanan beban ekonomi, maka terjadi konflik disini. Hak penguasaan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia tertuang dalam UUPA Nomor : 5 Tahun 1960 pasal 2 35yang berbunyi : I. Atas dasar ketentuan dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat. II. Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. III. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
35
Setiawan, Bonnie. Prinsip-Prinsip Reforma Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Kondisi dan Permasalahan di Sektor Agraria. Yogyakarta, Lapera Pustaka Umum, Agustus 2001. hal. 255-256.
28
Universitas Sumatera Utara
IV. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menuntut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Hak menguasai negara yang dimaksudkan dalam pasal 2 UUPA tersebut diatas adalah meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun tidak. Kekuasaan tanah terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seseorang yang mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan pada suatu badan usaha. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada. Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” diatas adalah merupakan aspek publik. Bertolak dari ketentuan dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut bisa diketahui bahwa yang menguasai semua tanah adalah Negara. Namun meskipun demikian Negara tidak sewenang-wenang dalam pemilikannya, melainkan mengusahakan dan mengolahnya demi kepentingan umum seluruh warga negara. Negara menjadi pengganti raja dalam masa pemerintahan feodal, dan negara bisa menjadi suatu lembaga hukum
29
Universitas Sumatera Utara
yang berwenang untuk melepaskan tanah dalam bentuk peralihan hak (jual-beli, hibah, warisan). Substansi norma hukum dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut, merupakan upaya pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Demikian juga sistem hukum agraria merupakan suatu perintah, tentang apa yang harus dan jangan dilakukan, dan menjunjung perintah-perintah itu dengan paksa. Artinya, keberadaan hukum agraria tersebut tidak akan menjamin keterbukaan, sehingga tidak tercapai keadilan yang substansif. Pada akhirnya fungsi hukum agraria itu tidak dapat digunakan sebagai alat penyelesaian sengketa pertanahan. I.7.2.1. Sengketa Pertanahan Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa (conssesie). Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha perkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara. Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap, mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat dengan
30
Universitas Sumatera Utara
hak ulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat kontrak sewa dengan menerima konsensi dari sultan yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah. Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilisator dan penjaga hukum serta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. kepentingan utama yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda yaitu menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggap peluang untuk memperluas pengaruh politiknya di tanah melayu yang dianggap mengandung potensi luas bagi sumber produksi, sehingga akan menanbah pemasukan bagi devisa negara. Keterlibatan Pemerintah Belanda dalam aktivitas yang dilakukan oleh para pengusaha perkebunan swasta memaksa kalangan petinggi Belanda baik di Den Haag maupun Batavia untuk memikirkan suatu hukum khusus yang mengatur persoalan agraria dan diberlakukan di seluruh hindia belanda. Setelah melalui perdebatan dan penelitian yang panjang, maka pada tahun 1870 dikeluarkannya UU Agraria atau Agrarische Wet 1870. Dengan bertumpu pada dasar hukum ini, pemerintah Belanda mempermudah penerapan kebijakan dalam kaitannya dengan hak penguasaan atas tanah penduduk pribumi (domein). Hukum dasar ini tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh pemerintah jajahan Belanda sampai akhir masa kekuasaannya, dan masih digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan tanpa mengalami banyak perubahan masa awal kemerdekaan tanpa mengalami banyak perubahan yang berarti. Sebagai akibatnya, berbagai bentuk sengketa tanah yang muncul di Sumatera Utara menunjukkan pola yang hampir sama meskipun dengan pelaku peran (occupant role) yang berbeda.
31
Universitas Sumatera Utara
Bila di masa kolonial, sengketa muncul diantara pengusaha onderneming dengan rakyat saja, maka pada masa kekuasaan Repbulik Indonesia di awal kemerdekaannya persoalan diperparah lagi dengan munculnya partai-partai politik ini memanfaatkan konflik sengketa tanah di Sumatera Utara tersebut untuk mendapatkan dukungan dan pengaruh dari rakyat serta menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasional mereka. Pemerintah Indonesia segera memberikan perhatian serius pada persoalan sengketa tanah yang selalu kembali muncul ini. Dengan mengadakan penelitian lewat sebuah tim khusus dibentuk untuk itu, pemerintah mulai menyusun bentuk perundangan baru yang diharapkan bisa menggantikan Agrarische Wet lama produk hukum kolonial. Dengan perundangan baru ini, negara mengambil alih semua hak penguasaan atas tanah dan menegaskan berbagai macam bentuk kepemilikan tanah secara jelas melalui diterbitkannya sertifikat oleh lembaga hukum yang berwewenang. UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertahanan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasai oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum” 36. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik sudah yang dihakiki oleh seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak
36
Ibid hal. 289
32
Universitas Sumatera Utara
itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara. Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilisator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat. Disamping itu penggusuran masyarakat diatas tanah sengketa baik oleh pemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugi. (tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada rakyat dinilai tidak layak). Bahkan proses ini banyak yang menjadikan rakyat miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat. Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan tuntutan penanaman pangan mereka. Konflik
terjadi
sejak
dari
konsesi
perkebunan
yang
diberikan
oleh
kesultanan/swapraja dan pemerintah kolonial pada perusahaan perkebunan. Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat. Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masa kesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi menjadi hak erfacht. Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan, di perkebunan yang berakhir masa berlakunya
33
Universitas Sumatera Utara
dimodifikasi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Dalam tiga periode tersebut sengketa pertahanan masih berlangsungnya diantara pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat penggarap. Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan perkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai penguasaan atas tanah; antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat
itu sendiri
mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa. Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-perantara yang mejadi kaki tangan perusahaan perkebunan sejak zaman kolonial. Dalam praktek, penyelesaian masalah pertanahan itu ada yang diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan pada petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanah membebaskan areal perkebunan yang telah dikuasai penggarap dengan mengeluarkannya dari Hak Guna Usaha atau terhadap Hak Guna Usaha yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudian lahan tersebut dibagi-bagi oleh panitia kepada masyarakat bahkan sengketa tanah antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saat ini. Khusus di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan yang paling besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian derasnya, dimanamana, diwilayah Sumatera Utara, terutama di sektor perkebunan, lahan perkebunan menjadi ajang dan tumpuan penjarahan dan pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani.
34
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu juga, pengusaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alasan hak sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian, pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan potensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap dan cukup tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka mengganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun 37. Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat. Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan peraturan lain. Sebagai contoh kita ajukan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 29 Tahun 1956 tentang
37
Syafruddin Kalo. op cit, hal. 110-111
35
Universitas Sumatera Utara
peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 76 Tahun 1957 tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 1954 dan UU Nomor 28 Tahun 1956, UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya, dan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang terletak di atasnya, dll. Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masing-masing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampir pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia. Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksi ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti kepemilikan. Di samping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan politik dan kekuasaan 38. Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan diatas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu: di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakai tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu 38
Ibid hal. 111
36
Universitas Sumatera Utara
jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah.
I.7.2.2. Kajian Yuridis Terhadap UUPA Menurut Lawrence Friedman, bahwa substansi dari sistem hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang, tetapi lebih menarik dari ketiga elemen itu adalah mengenai budaya hukum yang berarti pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa UUPA tidak memperhatikan pandangan, kebiasaan maupun perilaku masyarakat mengenai pemikiran, nilai-nilai dan pengharapan yang merupakan budaya hukum dalam masyarakat. Seharusnya UUPA dapat berfungsi sebagai pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Bahkan fungsi hukum merupakan fungsi redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa social (sosial engineering function) yang mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana, dan ditentukan dari atas yaitu pemerintah, dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.39 Donald Black mengartikan bahwa hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah. Black mengartikan kontrol sosial ini sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba
39
Maria S. W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi Dan Implementasi, Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2001 hal. 35.
37
Universitas Sumatera Utara
mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk 40. Sedangkan Lawrence Friedmann mengatakan, bahwa kontrol sosial adalah jaringan aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu. Misalnya aturan umum mengenai hukum perbuatan melanggar hukum 41. Pemerintah mengeluarkan undang-undang dan membuat aturan mengenai Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. Dan peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan. Untuk menertibkan penggarap di areal perkebunan atau menentukan batas-batas tertentu yang merupakan hak perkebunan. Tetapi apabila rekayasa sosial itu terlalu dipaksakan maka akan terkesan sistem hukum itu terus menerus memperbaharui dan memeperbaiki. Sering sekali alokasi hukum berjalan sangat berlawanan, selain merubah sesuatu, alokasi hukum bertindak sedemikian rupa menjaga atau berupaya menjaga status quo agar tetap utuh. Jika para penggarap tanah di areal dihukum, pada saat yang sama berarti melindungi pihak perkebunan dengan demikian pemerintah memelihara struktur ekonomi dan sosial masyarakat. Ini memberi kesan bahwa hukum cenderung mendukung hak dan kepentingan pihak perkebunan, melawan hak dan kepentingan masyarakat penggarap petani miskin yang lemah. Sistem hukum lebih dari struktur dan aturan, meskipun demikian aturan khusus diikuti setidak-tidaknya pada masanya. Perilaku merupakan unsur pokok sistem hukum, tentang apa sesungguhnya dijalankan orang. Jika tidak dijalankan aturan itu hanya tulisan belaka dan struktur seperti kota mati. Tidak ada cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum. Istilah perilaku hukum disini adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, pemerintah, atau undang-undang yang dikeluarkan 40
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/opini/artikel.php?aid=25556
41
Ibid
38
Universitas Sumatera Utara
oleh pejabat dengan wewenang hukum. Dalam hal ini jika seseorang berperilaku secara khusus atau untuk merubah perilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya dari sistem hukum. Dengan demikian, jelas ada undang-undang yang sebagian besar dipatuhi dan ada yang tidak dipatuhi. Mengapa orang patuh pada aturan tertentu dan tidak patuh pada aturan lainnya. Menurut Lawrence M. Friedman perilaku hukum lebih dari soal patuh atau tidak patuh, tetapi perilaku perilaku hukum lebih pada soal menggunakan atau tidak menggunakan daripada soal mematuhi dan tidak mematuhi. Ini bukan berarti bahwa patuh dan tidak patuh itu tidak penting. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dalam hal ini jika dikaitkan dengan ketidakpatuhan masyarakat terhadap undang-undang yang menyangkut kebijakan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, maka hukum akan benar-benar kehilangan tujuan. Ketidakefektifan undang-undang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atas kuasanya, menimbulkan perbuatan okupasi illegal terhadap di areal tanah perkebunan. Menurut Friedman, bahwa ilegalitas cenderung mempengaruhi waktu, sikap, dan kuantitas ketidak patuhan, jadi undang-undang mempunyai efek riil pada perilaku termasuk perilaku pelanggar. Faktor yang mempengaruhi perilaku hukum adalah komunikasi hukum dan pengetahuan hukum. Aneh bila seseorang mematuhi aturan, menggunakan aturan atau menghindari aturan tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Oleh karena itu dikomunikasikan dan seseorang harus mengetahui tentang isi aturan itu. Dalam hal ini disetiap peraturan perlu dikomunikasikan dan disosialisasikan pada masyarakat 42.
42
Syafruddin Kalo. op cit, hal. 114-115
39
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan itu, dapat analisa bahwa berbagai peraturan perundangundangan yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konflik dan sengketa, serta melarang pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak, dan adanya polisi serta hakim yang berusaha menegakkannya adalah merupakan contoh kontrol sosial dari pemerintah untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera Utara. Dalam larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, masyarakat penunggu dan petani penggarap dilarang untuk menggarap di areal perkebunan. Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap di areal perkebunan. Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap tanah di areal perkebunan, berdasarkan ketentuan hukum adat mereka, yang memberikan kewenangan bagi mereka untuk memungut hasil hutan dan bercocok tanam di daerah persekutuan hukum, yang dikenal dengan hak ulayat. Peristiwa ini menimbulkan interaksi tertentu di antara berbagai unsur sistem hukum yang ada. Unsur-unsur sistem hukum itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Friedmann, adalah meliputi struktur, substansi, dan budaya hukum. Yang berarti sistem hukum itu tidak hanya meliputi undang-undang yang diciptakan oleh Badan Legislatif, dan penegakkannya dilakukan Eksekutif, tetapi juga meliputi substansi atau norma hukum itu sendiri, dan meliputi sikap serta perilakunya. Berdasarkan pendapat Lawrence Friedmann tersebut, maka konteksnya dengan konflik dan sengketa pertanahan di areal perkebunan, dengan peristiwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat penunggu dan petani penggarap, menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagai sistem hukum, tidak hanya undang-undang, peraturan, dan
40
Universitas Sumatera Utara
lembaga-lembaga yang termasuk dalam struktur hukum, tetapi yang terpenting adalah mengenai perilaku dan budaya hukum dari masyarakat. Apakah itu perilaku pengusahapengusaha perkebunan, dan masyarakat itu sendiri terhadap hukum dan sistem hukum yang ada. Struktur dan sistem hukum adalah meliputi Pengadilan, Yurisdiksinya dan Badan Legislatif serta Eksekutif, yang berlaku pada masa penjajahan kolonial Belanda adalah sesuai dengan perilaku dan alam pikiran hukum Barat. Dalam kenyataannya sama sekali mengeyampingkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa ketika itu dilakukan penegak hukum, pada dasarnya dilakukan berdasarkan substansi hukum Barat, yang berorientasi pada kepentingan kolonial. Sehingga filosofi hukum adat yang berlaku dihancurkan, yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Keadaan ini terus berlanjut sampai Indonesia merdeka, bahkan UUPA secara filosofis juga telah dihancurkan oleh para penegak hukum di masa kemerdekaan, karena mereka pada dasarnya menempatkan diri sebagai lawan dari masyarakat, bukan sebagai fasilitator atas aspirasi rakyat, tetapi cenderung bertindak sebagai mediator atau sebagai partisipan dalam penyelesaian konflik dan sengketa dalam masyarakat, maka terjadilah konflik yang berkepanjangan yang sukar dicari penyelesaiannya. Analisa secara substansi hukum, maka sejak zaman kolonial, bahkan sampai kea lam kemerdekaan, norma-norma hukum dan pola perilakunya masyarakat dalam sistem hukum., dan produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, adalah tidak terlepas dari pengaruh hukum kolonial dan segala modifikasinya. Kenyataannya para penegak hukum hanya menerapkan substansi norma-norma hukum yang ada dalam undang-undang saja. dan undang-undang itu pun bersumber dari hukum
41
Universitas Sumatera Utara
Barat yang kolonialis. Kenyataan ini jelas mengenyampingkan hukum yang hidup yang ada di dalam masyarakat, yaitu hukum adat. Begitu juga budaya hukum yang ada di dalam masyarakat turut dikesampingkan, yaitu tentang sikap mereka terhadap hukum, sistem hukum yang berlaku, kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapan masyarakat, khususnya petani dan rakyat penunggu. Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalah merupakan hak ulayat mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup, serta mempunyai kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka patuh dan taat walaupun normanya tidak tertulis. Sebaliknya budaya hukum yang berlaku bagi para penegak hukum, mereka hanya meyakini norma-norma positif yang berasal dari hukum Barat. Interaksi dalam sistem hukum mengarah kepada konflik yang terus menerus tanpa dapat diselesaikan secara tuntas. Dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah, serta larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baik secara yuridis maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat, bahkan konflik tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalam penyelesaian konflik sengketa atas tanah ini sangat rumit. Dalam hal ini peneliti menggunakan teori Kelsen tentang hubungan antara aturan hukum dan peran. Ada lima alasan yang menyebabkan kesulitan dalam penyelesaian konflik : 1. Hukum mencakup aturan universal saja dan sistem hukum masih agak kabur dari pengertian masyarakat sendiri.
42
Universitas Sumatera Utara
2. Model ini hanya bermaksud mengungkapkan hukum yang diberikan oleh pembuat UU kepada pemegang peran atas pelanggaran yang terkena sanksi. 3. UU yang disahkan berlaku sejak saat pengundangannya baik melalui amandemen formal maupun kepentingan karena kepentingan birokrasi. 4. UU tidak dibuat oleh seorang penyusun UU namun berasal dari proses pembuatan hukum yang melibatkan banyak peran dalam hubungan yang kompleks. 5. Langkah-langkah untuk mencapai musyawarah bisa langsung ditujukan pada pemegang peran dengan merubah batasan dan sumber daya lingkungan atau persepsi pemegang peran tersebut, sehingga sanksi menjadi terlalu terbatas. 43 Melihat kendala-kendala dalam penyelesaian konflik diatas, William Chambliss dan Robert B. Seidman mengajukan suatu perspektif bagi penerapan hukum dalam mengatasi masalah. Menurut Seidman peran kekuatan sosial bukan hanya berpengaruh pada rakyat sebagai pemegang peran yang tunduk kepada hukum, namun juga terhadap lembaga pembuat dan pelaksana hukum tersebut. Dengan demikian hasil akhir dari proses pelaksanaan hukum atas masyarakat bukan hanya ditentukan oleh hukum, namun perlu juga dipertimbangan kekuatan sosial dan pribadi yang muncul di sana 44. Dengan melihat uraian tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada tiga jalur utama bagi penyelesaian konflik sengketa yang dilandasi budaya hukum : musyawarah, penerapan sanksi dan proses pengadilan. Pengertian musyawarah harus dipisahkan dengan pengertian dari mufakat. Musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama, dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama, dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan
43 44
Syafruddin Kalo. op cit, hal. 117 Ibid hal. 117
43
Universitas Sumatera Utara
kehendak bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan masing-masing sejauh mungkin.Seperti misalnya sengketa antara adat versus perkebunan, yang saling memperebutkan hak atas tanah dalam lokasi yang sama. Masing-masing mempertahankan haknya berdasarkan landasan hukum masing-masing. Bagi masyarakat adat mempertahankan haknya berdasarkan hukum adat, sedangkan pengusaha perkebunan mempertahankan haknya berdasarkan UUPA. Atau antara masyarakat penggarap versus perkebunan dan pengusaha perkebunan berusaha untuk mengusir para penggarap di areal perkebunan. Semua ini adalah sengketa tuntutan yang tidak selaras terhadap sesuatu yang tidak ternilai. Berdasarkan teori tersebut diatas, penyelesaian persoalan dalam sengketa masyarakat versus perkebunan dalam hal ini khususnya Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) dengan PT. Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara, pemerintah dalam melakukan penyelesaian sengketa pertanahan khususnya areal PT. Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara, tidak semata-mata harus bersandar pada aturan tertulis saja. Tetapi harus lebih komprehensip menyangkut sistem hukum, perilaku hukum yang berlaku dalam masyarakat.
44
Universitas Sumatera Utara
I.8. Metode Penelitian I.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Adapun tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah dengan membuat, menggambarkan, meringkaskan dari berbagai kondisi dengan berbagai variabel yang timbul pada objek penelitian ini.
1.8.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kantor BPRPI yang beralamat di Jalan, STM Ujung Suka Eka No.45 A, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan–Sumatera Utara, Kode Pos : 20146, Telepon : 06191692757, Email :
[email protected], Webblog : bprpi.wordpress.com.
I.8.3. Teknik Pengumpulan Data
1. Metode Wawancara
Peneliti membuat daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada pengurus BPRPI yaitu ketua dan sekjen, serta beberapa anggota pengurus BPRPI di kantor BPRPI tempat peneliti menggali sumber – sumber data. Pertanyaan berisi tentang proses sampai mana konflik ini terjadi, dan bagaimana mekanisme dalam mengatasi konflik yang terjadi tersebut.
45
Universitas Sumatera Utara
2. Metode Kepustakaan
Untuk memperoleh data maupun informasi, keterangan-keterangan ataupun fakta-fakta yang diperlukan. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data penelitian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan, serta bahan-bahan yang lain yang berhubungan dengan penelitian.
3. Metode Studi Sejarah
Peneliti menggunakan metode ini guna untuk mengetahui bagaimana sejarah proses konflik yang diteliti pada objek penelitian yang dilakukan. Yakni sejauhmana dan bagaimana proses konflik yang terjadi antara BPRPI dengan PTPN II tersebut terhadap hasil yang diperoleh dalam proses konflik tersebut.
I.8.4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan deskriptif yaitu suatu analisa yang berusaha untuk memberikan gambaran yang sangat terperinci dengan berdasarkan kenyataan yang dijumpai pada lapangan. Kemudian data yang ada dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel dan uraian. Jadi penulis hanya menganalisa berdasarkan data yang diperoleh.
46
Universitas Sumatera Utara
I.9. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan
Pada bab ini memuat latar belakang penelitian, permasalahan, batasan masalah, asumsi, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II : Deskripsi Umum Objek Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan proses yang melatar belakangi konflik BPRPI dengan PTPN II .
Bab III : Pembahasan Dan Penyajian Data
Bab ini menguaikan hasil dari analisis penelitian yang berhubungan dengan faktor – fakor yang melatar-belakangi konflik BPRPI dengan PTPN II serta bagaimana hasil kebijakan yang diambil
Bab IV : Kesimpulan
47
Universitas Sumatera Utara