18
Opini
Menuju Sumatera Utara yang Multikultural Oslan Purba1)
K
egagalan pemerintah dalam mengatasi konflik yang terjadi selama ini sangat berkaitan erat dengan paradigma lama yang dahulu dikembangkan oleh rezim Orde Baru. Politik pecah belah, represivitas dan hegemoni yang dilakukan oleh Orde Baru untuk menopang kekuasaannya mengakibatkan kerusakan “luar biasa” yang sampai hari ini (pasca jatuhnya rezim Orde Baru) masih dapat dirasakan, misalnya saja; di bidang lingkungan. Dengan banyaknya hutan yang gundul sehingga mengakibatkan banjir dan terjadinya pencemaran lingkungan seperti yang terjadi di Buyat, pembantaian yang luar biasa kepada masyarakat sipil (terutama tahun 1965 – 1968) yang menimbulkan “dendam politik” dan juga politisasi agama yang menyebabkan pertikaian antaragama seperti di Ambon, Poso, dan Palu serta dikembangkannya “stigma” pada kelompok atau etnis tertentu yang ada di dalam masyarakat sehingga terjadi konflik antaretnis seperti yang terjadi di Sampit, Aceh, Papua, Poso, Palu dan lain-lain. Hampir di semua daerah yang memiliki tingkat perbedaan atau pluralitas tinggi menjadi rentan terhadap konflik. Stereotip dianggap sebagai kenyataan padahal nilai budaya yang ada dalam masyarakat dibangun dari generasi ke generasi. Indonesia juga memiliki pengalaman buruk berkaitan dengan penyeragaman nilai. Pada masa rezim Orde Baru di seluruh pelosok Indonesia struktur tingkat desa diseragamkan yang mengakibatkan banyaknya nilai budaya yang hilang. Di Maluku misalnya, struktur negeri hilang. Padahal di dalam negeri terdapat nilai pela atau persahabatan. 1 Berakhirnya rezim Soeharto pada pertengahan tahun 1998, pada mulanya dianggap dan diharapkan banyak orang menjadi awalan terjadinya proses demokrasi
1
1)
Junus Malatoa; “Pembangunan Budaya Butuh Pendekatan Multikulturalisme”, Kompas, Selasa, 6 Desember 2004; hal. 9
yang substansial di Indonesia. Selama 32 tahun berkuasa, pemerintahan otoriter Soeharto amatlah membatasi kebebasan masyarakat untuk bergerak, bertindak, bahkan berkata-kata. Pemerintahan Orde Baru Soeharto demikian keras bertindak sebagai tirani, setiap upaya penegakan demokrasi setiap saat potensial dianggap sebagai tindakan subversif atau pembangkangan terhadap kekuasaan negara. Karenanya, setelah era Orde Baru berakhir, orang berharap banyak pada Reformasi; harapan akan terwujudnya watak demokrasi substansial ketika terdapat pemenuhan dan penegakan hak-hak asasi rakyat yang diharapkan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Namun, setelah empat tahun Reformasi berlangsung ternyata tidak membawa perubahan yang substansial bagi demokratisasi di Indonesia. Yang terjadi justru kebalikannya. Indonesia seperti mengalami krisis pada upaya demokratisasi. Hal ini paling tidak dapat ditandai dengan tiga indikator. Pertama, di bidang politik, terjadi kekacauan lalu lintas kekuasaan politik; perseteruan antara kepala pemerintahan eksekutif dengan DPR (pemegang kekuasaan legislatif) serta ambisi militer untuk tetap memegang porsi besar dalam kekuasaan politik dianggap berperan besar atas terjadinya peristiwa itu. Kedua, di bidang ekonomi, ketergantungan yang amat besar pada utang luar negeri IMF memaksa negara untuk mengabaikan aspirasi rakyat dalam pembuatan pelbagai kebijakan nasional demi mengikuti kehendak IMF. Misalnya pembentukan UU Ketenagalistrikan 2002 dan UU Ketenagakerjaan 2003 yang dimaknai sebagai bentuk penyerahan kekuasaan negara pada kekuasaan modal asing atas hajat hidup rakyat. Walau ditentang keras oleh berbagai kalangan, toh kedua UU tersebut tetap saja disahkan. Di sisi lain, melemahnya kekuasaan di bidang ekonomi menyebabkan negara tidak mampu “mengontrol” lalu lintas ekonomi yang makin
Penulis adalah asisten dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara pada Departemen Antropologi, mata kuliah Studi Kebijakan dan Pembangunan
19
Opini hari makin diserahkan pada kekuatan pasar modal asing. Akibatnya, harga berbagai barang kebutuhan pokok terus melambung tinggi sementara daya beli masyarakat kian hari makin merosot saja. Ketiga, buruknya komitmen pemerintah atas penegakan hukum. Pemerintah dianggap tak dapat (atau tak mau?) bertindak tegas mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu maupun pelaku korupsi. Kondisi proses demokratisasi sedemikian mengecewakan, apalagi jika juga ditilik lemahnya komitmen penguasa akan penegakan demokrasi. Tidaklah heran jika orang kemudian berpendapat bahwa sebenarnya demokrasi adalah jawaban yang salah untuk diterapkan pada situasi kini di Indonesia. 2 Cita-cita Reformasi untuk membangun Indonesia Baru pasca-jatuhnya rezim Orde Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru itu. Inti dari citacita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil Reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Sejarah masyarakat adalah suatu proses pertumbuhan kesadaran akan dunia sekitar, yang terarah dan tidak dapat berbalik lagi dan proses daya cipta budaya yang tidak dapat diramalkan dapat melencengkan proses itu (Hans-Dieter
Evers; 1988: 25 – 31). Selama ini, perbedaan agama, etnis, aliran dan lain-lain telah dieksploitasi, dimanipulasi, dan atau disalahgunakan oleh para elite politik, pemuka masyarakat, dan kelompokkelompok tertentu untuk mendapatkan uang dan akses kekuasaan. “Mereka” tega memanipulasi sentimen kultural dan agama untuk tujuan jangka pendek dengan mengorbankan hak-hak orang lain (rakyat). Beberapa catatan yang dibuat oleh para Indonesianis menyebutkan tentang ketimpangan kebijakan (struktural) berperan dalam membentuk perilaku masyarakat di samping kultur masyarakat lokal. Kedua hal di atas saling mempengaruhi dalam membentuk kebudayaan masyarakat di Indonesia. Proses pertumbuhan kesadaran yang dipaksa oleh negara untuk kepentingan ekonomi politiknya sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat keseluruhan, memunculkan kemiskinan secara struktural dan kultural. Hal ini jika dikaitkan dengan strategi pembangunan pada masa lalu yang senantiasa mengorbankan rakyat kecil, penggunaan kekuasaan yang berlebihan dan watak birokrat yang korup, akibatnya banyak kebijakan yang diproduksi oleh negara yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan dan kesejahteraan rakyat sehingga potensi konflik dapat saja meluas. Menurut Siti Zuhro, setidaknya ada sepuluh daerah rawan konflik terutama jika dikaitkan dengan pilkada yang akan datang yaitu; Provinsi NAD, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Irian Jaya Barat. 3 Potensi konflik ini harus dicermati karena berbeda antara satu dengan yang lain, seperti yang terjadi pada tanggal 12 Desember 2004 yang lalu di Palu di mana 2 gereja dibom dan ditembaki. 4 Potensi konflik ini merupakan manifestasi dari konsep yang keliru tentang masyarakat majemuk dan bhineka tunggal ika yang dikembangkan oleh negara pada masa lalu bahkan hingga saat ini kepada masyarakat melalui
2 Wibowo, Demokrasi untuk Indonesia? Harian Kompas, 8 Oktober 2003
3
Buletin Kerabat
4
Kompas, Senin, 6 Desember 2004; hal. 7 Kompas, Senin, 13 Desember 2004; hal. 1
Menuju Sumatera Utara yang Multikultural Volume I Nomor 2 Juli 2006
20
Opini berbagai media, seperti sekolah, agama, media massa, dan lain-lain. Keberagaman dalam dua konsep di atas dibangun dengan memunculkan satu konsepsi baru yaitu solidaritas. Pada tingkat akar rumput, solidaritas ini diartikan bahwa ada kelompok lain di antara kelompok mereka sehingga harus ada rasa toleransi antara satu dengan yang lainnya. Pandangan ini telah berisikan stereotip dan minoritas belum lagi dengan kentalnya etnosentrisme. Sementara negara cenderung memunculkan stigma sehingga perbedaan, stereotip, dan minoritas ini terus tertanam dalam masyarakat. Akibatnya, kesadaran yang muncul bukanlah persatuan akan tetapi kecurigaan antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan suatu pandangan yang mendorong agar di tengah keberagaman itu terdapat hubungan yang sederajat sehingga cita-cita reformasi untuk mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dapat terwujud. Pandangan yang menempatkan keberagaman dalam posisi yang sederajat tersebut harus menjadi sebuah keyakinan bersama seluruh bangsa Indonesia, inilah yang dimaksudkan dengan “multikulturalisme”. 5 Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). 6 Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai 5 Parsudi Suparlan, dalam Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural, Simposium Internasional Bali ke-3 Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali 16 – 21 Juli 2002. 6 Dalam Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Makalah Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002
Buletin Kerabat
kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). 7 Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah". Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep asing. Kiranya perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropa Barat, maka sampai Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat, berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950-an. Puncaknya adalah pada tahun 1960-an dengan 7
Ibid.
Menuju Sumatera Utara yang Multikultural Volume I Nomor 2 Juli 2006
21
Opini dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang Kulit hitam dan berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan hak-hak sipil, dan dilanjutkannya perjuangan hak-hak sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan kulit putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999). Di tahun 1970-an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan kulit putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang kulit hitam, orang Indian atau pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan suku bangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang diedit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970-an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan suku bangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa “We are all multiculturalists now”, dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970-an. Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologiideologi lainnya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep
Buletin Kerabat
yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsepkonsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002). Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu teroperasional melalui pranata-pranata sosial. Sebagai respons politik terhadap situasi di mana negara sering kali mereproduksi kekerasan dengan melakukan politisasi agama, membangkitkan etnosentrisme dalam rangka mempertahankan kekuasaannya, maka gagasan multikulturalisme ini harus digiring ke dalam wilayah kebijakan sehingga multikulturalisme terimplementasi dalam berbagai produk kebijakan. Sebagai sebuah ide atau ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam
Menuju Sumatera Utara yang Multikultural Volume I Nomor 2 Juli 2006
22
Opini masyarakat yang bersangkutan. Kajiankajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antarmanusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia. Persoalannya adalah sejauh mana kesiapan masyarakat terutama aparat penyelenggara negara dalam memahami konsep dan gagasan tentang multikulturalisme ini sehingga tulisan tentang multikulturalisme ini menjadi penting peran dan maknanya. Berkaitan dengan kesiapan dan pemahaman ini juga ditujukan ke dalam
institusi pendidikan terutama para antropolog agar mampu menumbuhkan dan mengembangkan gagasan tentang multikulturalisme sehingga menjadi pergerakan yang berskala nasional. Dalam jangka pendek, diharapkan dapat membantu rakyat di akar rumput (grass root) untuk mengembangkan strategi taktis memperkuat demokrasi menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) 2005 mendatang dan dalam jangka panjang. Tulisan ini dapat memperdalam dan memperkuat proses demokrasi di Indonesia dalam upaya mengadakan demokrasi substansial, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional.
Kerabat/Angga
Buletin Kerabat
Menuju Sumatera Utara yang Multikultural Volume I Nomor 2 Juli 2006