BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan pembangunan Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya berarti meliputi semua aspek kehidupan penduduk, baik yang bersifat material maupun spiritual. Manusia yang dalam hal ini merupakan bagian dari pembangunan memiliki kedudukan tersendiri yang perlu di upayakan penanganannya agar dapat memberi manfaat bagi perkembangan pembangunan yang sedang maupun yang akan berlangsung. Dari kedudukan manusia dalam proses pembangunan, memberi pengertian bagi kita bahwa faktor penduduk adalah sangat penting. Seperti kita ketahui bersama bahwa keberhasilan suatu pembangunan antara lain diukur melalui kemampuan menyediakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan kegagalan pembangunan juga diukur melalui sejauh mana dapat
mengatasi
pengangguran.
Mengutamakan
pertumbuhan
ekonomi
dan
menomorduakan kesempatan kerja memang sering terjadi di banyak negara dunia ketiga (Juoro, dalam Prisma 1983:33). Persoalan ketenaga kerjaan merupakan persoalan yang sangat menghantui negara-negara dunia ketiga pada saat sekarang ini termasuk Indonesia. Rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998 membuat ketersediaan lapangan kerja menjadi sangat sedikit. Pada sisi lain jumlah angkatan kerja baru pada tiap tahunnya semakin meningkat jumlahnya. Oleh karena itu tingginya angka pengangguran semakin meningkat setiap tahunnya. Lapangan pekerjaan merupakan suatu masalah yang cukup pelik bagi banyak pihak, baik bagi pemerintah sendiri yang dianggap sebagai pihak berkewajiban untuk menyediakan maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang membutuhkannya. Program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata belum mampu untuk bisa menyediakan berbagai kebutuhan akan lapangan kerja bagi masyarakat. Ketidak tnampuan ini disebabkan oleh berbagai hal seperti pertumbuhan penduduk yang cukup
Universitas Sumatera Utara
pesat, sehingga lapangan kerja yang diciptakan tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, rendahnya tingkat investasi baik lokal maupun pihak-pihak luar lainnya. Seperti telah di jelaskan di atas, Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, saat ini sedang menghadapi masalah yang krusial terutama dibidang ketenaga kerjaan. Data dari Biro Pusat Stastik melaporkan bahwa pada tahun 2004 penduduk Indonesia mencapai lebih 220 juta jiwa. Dari jumlah itu Indonesia digolongkan sebagai negara nomor empat paling banyak penduduknya di dunia ini. Jumlah penduduk yang besar ini disatu sisi merupakan modal besar bagi pembangunan nasional, namun di sisi lain merupakan masalah serius dalam penyediaan lapangan kerja dan segera mendapat pembangunan. Ketidak seimbangan antara besarnya jumlah angkatan kerja dengan sektor ketenaga kerjaan atau peluangpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, menimbulkan masalah yang rumit pada saat ini. Ketimpangan itu jelas kita lihat antara peningkatan angkatan kerja disatu pihak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja itu sendiri. Sejalan dengan uraian di atas dapat kita lihat bahwa masih banyak tenaga kerja yang menganggur terutama di perkotaan. Hal ini disebabkan betapa sulitnya saat saat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, terutama disektor formal yang sampai saat ini masih merupakan jenis pekerjaan yang ideal dan diminati banyak orang. Mereka yang gagal memasuki pekerjaan disektor formal karena berbagai alasan akan memasuki pekerjaan disektor lain, dalam hat ini sektor informal. Bagi banyak orang merupakan pilihan terakhir, tetapi bukan tidak banyak yang memilih jadi pengangguran ataupun setengah pengangguran. Keadaan ini memang sangat membingungkan berbagai pihak, teruma pihak pemerintah sebagai penyusun kebijakan-kebijakan ekonomi yang mencakup tentang kesempatan kerja. Tenaga-tenaga kerja yang tidak mampu masuk dalam pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan pemikiran pada akhirnya banyak yang berusaha disektor informal, termasuk didalamnya adalah pemulung. Sesuai dengan pernyataan di atas,
Universitas Sumatera Utara
ternyata bidang pekerjaan ini cukup mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap penanggulangan masalah kependudukan yang berkaitan dengan sektor ketenaga kerjaan. Saat ini perkembangan kota telah melaju pesat sebagai akibat pertambahan penduduk kota secara alami, ditambah lagi dengan terjadinya urbanisasi.Urbanisasi itu sendiri seperti kita ketahui umumnya dilakukan mereka yang berada pada usia produktif, hingga kemudian melahirkan masalah melimpahnya tenaga kerja tersebut, sedangkan lapangan kerja di sektor formal dan industri belum lagi dapat menampungnya. Persoalan ini pada akhirnya akan bermuara pada persoalan kemiskinan. Meskipun sebenarnya alternatif untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka di perkotaan dibanding dengan di pedesaan, namun kemiskinan di perkotaan itu tetap saja ada atau laten (Suparlan,1984). Kehidupan kota yang kompleks dengan penekanan terhadap penting dan tingginya nilai pekerjaan yang menggunakan pemikiran dan keahlain serta adanya suatu spesialisasi-spesialisasi kerja dalam pekerjaan, telah menyebabkan adanya berbagai industri jasa (dari yang sederhana sampai yang kompleks dan modern). Memulung sebagai salah satu pilihan pekerjaan di sektor informal, dalam hal ini memberikan jalan keluar dari keruwetan para pencari kerja, karena ia tidak menuntut keahlian yang begitu khusus. Modal utama sebenarnya adalah tenaga, kesabaran dan mental (motivasi), ditambah fasilitasnya. Mereka tentunya masih memiliki nilai-nilai budaya tertentu yang dalam melakukan aktivitas pekerjaan atau memberikan arah dan pendorong dalam setiap tata kehidupannya (Koentjaraningrat,l986). Walaupun mereka telah terpisah jauh secara fisik dengan pusat budaya-nya, namun di daerah rantau mereka berusaha untuk menyesuaikan diri. Sebuah falsafah hidup yang berbunyi "dimana tanah dipijak, di situ langit dijunjungan" selalu mengiringi misi budaya dan setiap tindak-tanduk mereka di daerah rantau untuk menjaga mereka agar bisa tetap survive. Selain dari kenyataan di atas dapat pula kita jumpai bahwa pada umumnya pemulung ini (suku Batak) memang memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tamat SD atau tidak tamat) dan bahkan ini tentunya akan turut menentukan atau
Universitas Sumatera Utara
berpengaruh terhadap cara-cara berpikir mereka, yang ada giliranya akan berakibat pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Kondisi kehidupan mereka yang selama ini senantiasa akrab dengan berbagai bentuk kekurangan, dalam hal ini tampak dari hasil pendapatan yang mereka peroleh sebagai pemulung yang mana hanya cukup untuk mengganjal perut dari hari-ke hari. Dengan kata lain hanya pas - pasan saja. Bahkan kenyataan yang tampak bahwa dari kebanyakan keluarga pemulung asal suku Batak, mereka tetap saja marginal dan cenderung miskin. Masalah mereka sebenarnya berkaitan dengan permasalahan relasi sosioal budaya sebagai implikasi dari konstruksi citra negatif yang dialamatkan pada kehidupan semacam ini oleh masyarakat dan pemerintah. Parsudi Suparlan (1984:179) melihat bahwa kaum marginal tidak memiliki tempat tinggal tetap, mempunyai pekerjaan tak layak, seperti pemulung, pedagang asongan, pengemis, dan lainnya. Moeliono dan Anggal menjelaskan, bahwa mereka bekerja disektor informal, hidup secara subsisten dari ke hari-hari, dan menjadi massa mengambang secara sosial dan politik. Mereka terabaikan dan tak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal: pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik, dan lain-lain. Selanjutnya keseluruhan kondisi tersebut diatas menimbulkan cenderung miskin, yang pada akhirnya menimbulkan beberapa pertanyaan : (1) Apa yang menjadi latar belakang mereka terjun kebidang pekerjaan tersebut : ( 2 ) Apa yang menjadi permasalahan mereka dan faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi pengaruh terhadap kondisi kehidupan sosial ekonomi mereka.
1.2. Perumusan Masalah Sebagai pemulung penghasilan yang diperoleh dipengaruhi berbagai faktor, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar ( eksternal ). Mengenai jam kerja mereka biasanya dimulai pagi hari sekitar pukul 6.00 wib, dan berakhir pada sore harinya. Dari sekian panjang jam kerja mereka bisa dikatakan hanya sebagian kecil jam kerja saja yang tergolong produktif. Adanya tingkat pendidikan yang rendah bahkan tidak sama sekali tentunya menentukan atau berpengaruh terhadap cara berpikir mereka yang pada gilirannya
Universitas Sumatera Utara
akan berakibat terhadap situasi kehidupan sosial ekonomi mereka. Penerapan strategi dalam bekerja, pengaturan penghasilan, pembina di dalam keluarga hingga orientasi hidup setidaknya bertitik tolak dari sana. Dengan kondisi yang demikian kelihatannya mustahil bagi para pemulung untuk pindah ( pekerjaan ) ke sektor formal. Dari keadaan-keadaan seperti diatas kiranya dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan. Adapun penelitian ini nantinya difokuskan pada kehidupan sosial ekonomi pemulung. Dengan demikian tentunya menyoroti hal-hal yang berhubungan dengan masalah produksi, konsumsi maupun distribusi hasil pendapatan. Adapun perumusan masalah yang lengkap adalah sebagai berikut : 1. Apa latar belakang mereka memilih sektor informal, dalam hal ini sebagai pemulung. Apakah ada sebab lain yang membuat mereka tetap menekuni pekerjaan tersebut ? 2. Masalah - masalah apa sebenarnya yang mereka hadapi sehingga dapat berada dalam kehidupan yang marginal itu ? 3. Faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap pendapatan mereka yang pada akhirnya juga memberikan warna pada corak kehidupan mereka ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan penelitian Bertitik tolak dari permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dan menyelidiki segi-segi kehidupan sosial dan ekonomi keluarga para pemulung. Merujuk pada Melly G. Tan ( 1977 ) maka keadaan sosial ekonomi itu mencakup 3 ( tiga ) aspek yaitu : pekerjaan, pendidikan dan penghasilan. Dari itu akan terlihat bagaimana cara mereka menjalani kehidupan dengan
memanfaatkan
potensi-potensi
yang
dimiliki,
cara
mengalokasikan
penghasilan sehingga dapat terus survive. Untuk lebih jelasnya maka latar belakang sosial ekonomi itu akan diperhatikan secara "life history". Kajian Antropologi yang bersifat holistik ini akan menjadikan penelitan ini dapat pula meliputi antar hubungan sosial sesama pemulung. Dimana juga akan terlihat hubungan antara seama mereka, baik cara mereka dalam bekerja.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian hubungan antara pemulung dengan elemen-elemen (orang--orang) yang terdapat pada sistem sosial di lokasi kerja (mangkalnya), seperti halnya hubungan para petugas dengan orang-orang yang berada di sekitar lokasi mangkalnya.
1.3.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah terutama dalam penerapan teoriteori atau konsep ilmu antropologi yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan. 5elain itu mernberitahukan tentang usaha sektor informal ini kepada masyarakat luas agar dapat mengetahuinya. Khususnya bagi penentu kebijakan yang berhubungan dengan masalah ini, di mana diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan, perbandingan ataupun acuan. Selanjutnya untuk penulis pribadi sebagai bahan untuk menulis skripsi guna menyelesaikan pendidikan dari FISIP USU Medan.
1.3.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, dengan alasan kawasan ini mempakan tempat pembuangan akhir sampah yang berasal dari penduduk kota Medan.
1.4. Tinjauan Pustaka Sudah menjadi ciri umum dan merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi di kebanyakan negara berkembang saat ini, bahwa begitu jelas terdapat adanya ketimpangan yang mencolok dalam hal tersedianya jumlah sektor produksi terhadap kemampuan untuk menyerap tenaga kerja itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan kurang terjadi pemerataan dalam hal memperoleh kesempatan dan peluang pekerjaan. Masalah - masalah tingkat pendidikan yang rendah, ketrampilan dan kurang tersedianya modal yang relatif cukup, semakin kompleksnya permasalahan yang ada di kota-kota khususnya di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Konsekuensi logis yang dirasa paling cocok sebagai jalan keluarnya adalah menyeimbangkan potensi yang ada dengan sektor - sektor peluang kerja yang tersedia. Alternatif yang paling cocok adalah berkecimpung di sektor informal, dimana secara umum di sektor ini tidak bagitu banyak menuntut persyaratan kerja yang lebih khusus dan lebih memberi peluang. Secara langsung maupun tidak langsung dalam hal ini jelas sektor informal mampu menanggulangi masalah kependudukan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesempatan bekerja, terutama di daerah perkotaan. Tindak lanjut dari fenomena ini dapat kita lihat dari kenyataan bahwa begitu banyak pilihan yang terlibat ke dalam sektor ini seperti misalnya : Tukang Becak, Pedangang Kaki Lima, Pembantu Rumah Tangga, Penjual makanan dan minuman ringan di penggir jalan dan lain-lain. Banyaknya ragam kegiatan di sektor informal ini lama kelamaan semakin menarik perhatian untuk diketahui bagaimana keberadaan mereka lebih jauh lagi dalam menekuni bidang pekerjaanya. Pembahasan mengenai kenyataan bahwa sektor informal telah menjadi wadah yang tepat dan ampuh dalam meyerap sejumlah besar tenaga kerja terutama di perkotaan, haruslah tentunya didasarkan pada pengetahuan siapa dan apa alasan yang mendorong mereka untuk memasuki sektor informal ini ( Ramli, 1992 : 14 ). Pandangan beberapa ahli lebih lanjut, dipakai penulis dalam membahas apa sebenarnya sektor informal ini. Kajian mengenai sektor informal pertama sekali dikemukakan oleh seorang Antropologi Inggris bernama Keith Hart pada 1973. Konsep Keit Hart selanjutnya dijadikan acuan dalam menyoroti masalah - masalah kesempatan kerja terutama terhadap keluarga-keluarga kurang mampu di daerah perkotaan yang selanjutnya disebutnya sebagai kaum pekerja perkotaan ( urban labour force ). Secara jelas dalam, konsep Hart dinyatakan adanya perbedaan antara sektor formal dan informal , diantaranya dilihat dari keteraturan waktu kerja, curahan waktu kerja, status hukumnya, serta hubungannya dengan sektor kerja yang lain. Khusus terhadap sektor informal, Hart mengemukakan ciri khusus di mana secara umum ditandai dengan adanya pendidikan yang rendah, modal usaha yang relatif kecil, upah yang rendah dan kegiatan usaha yang berskala kecil. Hal lain yang menarik perhatian dalam mengkaji
Universitas Sumatera Utara
pembahasan di sektor informal ini adalah terdapatnya perbedaan khusus dalam sektor itu sendiri antara lain yaitu sektor informal sah dan sektor informal tidak sah. Yang termasuk dalam sektor informal sah adalah : a. Kegiatan-Kegiatan primer dan sekunder seperti : pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuatan sepatu, penjahit, pengusaha BIR dan Alkohol. b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar, seperti : perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa menyewa. c. Distribusi kecil-kecilan, seperti : pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, usaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkutan barang agen atas komisi dan penyalur. d. Jasa jasa yang lain seperti : pemusik (ngamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, j uru potret, pekerj a reperasi kendaraan maupun reperasi lainnya dan juga pemulung. Selanjutnya yang termasuk dalam sektor informal tidak sah adalah : a. Jasa kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya, seperti : penadah barang curian, lintah darat (tukang kredit) dan pegadaian (dengan tingkat bunga yang tidak sah), perdagangan obat bius, pelacuran, mucikari, penyeludupan, suap - menyuap, pelbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan dan sebagainya. b. Transaksi pencurian kecil ( misalnya : pencopetan), pencurian besar (misalnya : pembongkaran), pemalsuan uang dan penipuan , perjudian dan lain-lain ( Hart dalam Chirs Manning dan Tadjuddin N. Effendy, 1985:78-80).
Pendapat Hart tentang sektor informal sebagai kegiatan yang berskala kecil, didukung oleh Sethuraman yang menganggap kehadiran sektor informal terutama disebabkan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang. Mereka yang bergerak di sektor informal tidak membutuhkan jalur birokrasi formal dalam proses mobilitas vertikal (Sethuraman dalam Chris Manning
Universitas Sumatera Utara
dan Tadjuddin N. Effendy, 1985 :91). Selanjutnya Sethuraman berpendapat bahwa sektor informal terdiri dari unit-unit berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan usaha ini sangat dihadapkan pada berbagai kendala seperti faktor modal (Sethuraman dalam Titik Handayani, 1993 :285). Sri Edi Swasono (1986) berpendapat bahwa adanya sektor informal bukun karena sekedar kurangnya lapangan kerja, apalagi menampung lapangan kerja yang terbuang dari sektor formal, tetapi sektor informal tersebut adalah sebagai pilar bagi keseluruhan sistem ekonomi. Kenyataan bahwa sektor formal dapat hidup karena adanya pembayaran upah buruh secara murah. Selanjutnya upah yang rendah ini diterima parah buruh, karena sektor informal dapat menyediakan kehidupan murah bagi buruh yang berupah rendah ini. Kenyataan ini menujukkan bahwa sektor informal telah mensubsidi sektor formal, dan merupakan sektor yang efisien karena mampu menyediakan kehidupan murah. Menurut Kartini Syahrir, sektor informal berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Bahwa terdapat hubungan saling membutuhkan diantara sektor formal dan sektor informal dengan ciri padat karya. Ragam pekerjaan di sektor informal terjadi sebagai respon pembangunan itu sendiri, yang memberikan tempat bagi bertambahnya sektor jasa sedemikian rupa sehingga memungkinkan sektor informal berperan penting di dalamnya ( Kartini Syahrir, 1985 :102). Mazumdar menganalisa sektor informal ini dari sudut dikotomi sektor informal dan sektor formal. Ia mengatakan bahwa sektor formal adalah sektor yang lebih mendapat proteksi, sedangkan sektor informal tidak mendapat proteksi. Dikotomi seperti ini mampu menjalankan kondisi struktural dari pasar tenaga kerja tersebut, khusunya dalam kaitan kebebasan dan rintangan dari mobilitas buruh (dalam Rachbini dan Hamid, 1994: 3 ). Sektor informal, tumbuh dan berkembangnya di berbagai kota merupakan gambaran sosial ekonomi dari pola kehidupan masyarakat. Rangkaian pengamatan terhadap sektor informal dapat mengembangkan berbagai persepsi baru tentang
Universitas Sumatera Utara
masalah ketenagakerjaan, karena sektor ini dikenal sebagai katup pengaman dalam menanggulangi masalah pengangguran. Faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan tingkat pendapat pedagang sektor informal adalah besarnya jumlah modal usaha, curahan jam kerja, dan tingkat pendidikan pedagang sektor informal itu sendiri (Edi Purnomo dan S.R.Gunawan, 1993 :154-155). Berbagai pendapat mengenai sektor informal dan formal menurut para ahli adalah sebagai berikut. Boeke mengidentikkannya dengan sektor ekonomi kapitalis prakapitalis (Titik Handayani 1993:214). Sedangkan Geertz (1973) menyebutnya sebagai "ekonomi Firma/ bazaar (Firms/Bazaar economi), istilah dari Weeks adalah sektor modern tradisional (Titik Handayani, 1993), serta "Inti masa apung" dari Evers (1982). Sedangkan LL.O pada tahun 1972 (Titik Handayani, 1993;215) lebih menekankan ciri-ciri yang membedakan sektor formal dan informal dengan mengajukan tujuh ciri utama sektor informal yaitu : 1.
Mudah dimasuki siapa saja.
2.
Menggunakan sumber daya manusia
3.
Usaha umumnya dimiliki keluarga
4.
Beroperasi dalam skala kecil.
5.
Bersifat padat karya menggunakan teknologi yang telah disesuaikan dengan kondisi setempat.
6.
Tidak menuntut ketrampilan yang berasal dari jalur pendidikan formal
7.
Pasar yang dihadapi tidak diatur oleh pemerintah dan sangat kompetitif.
Hidayat mendefenisi sektor informal sebagai "unprocted sector " (Hidayat. 1978:445). Selanjutnya Hidayat menambahkan dua butir defenisi sektor informal yaitu: 1. Sektor informal adalah sektor yang belum dapat menggunakan bantuan meskipun pemerintah telah menyediakannya.
Universitas Sumatera Utara
2. Sektor informal adalah sektor yang telah menerima bantuan tetapi belum sanggup membuat sektor ini berdikari ( Hidayat, 1990). Selanjutnya Belen berpendapat bahwa pekerja di sektor informal pada dasarnya adalah orang-orang yang memiliki jiwa wiraswasta, yaitu ulet, berani mengambil resiko, tidak begitu tergantung pada orang lain, serta percaya diri sendiri. Selanjutnya Belen mengatakan bahwa sektor informal merupakan arena penanaman dan pembinaan jiwa wiraswasta pada generasi mendatang (Belen, 1985:5). Keberadaan manusia dimuka bumi ini selalu dihadapkan situasi dan kondisi terus berubah. Masalah pemenuhan kebutuhan hidup tetap menjadi persoalan utama, dan oleh sebab itu seseorang dengan alasan apapun harus bekerja demi untuk diri sendiri maupun keluarganya. Dalam bekerja pun, manusia kembali dihadapkan pada pilihan yang sesuai dengan keadaan dan potensi yang ada pada dirinya. Sulitnya memasuki lapangan pekerjaan di sektor formal yang memang masih diminati dan dianggap ideal, memaksa orang untuk mencari peluang-peluang pekerjaan di sektor informal yang memang masih diminati dan dianggap ideal, memaksa orang untuk mencari peluang-peluang pekerjaan disektor lain demi mempertahankan hidup. Munculnya pekerjaan disektor informal yang memang memberikan peluang kerja yang lebih luas memang dapat dijadikan jalan keluar bagi permasalahan dibidang ketenaga kerjaan, sekaligus bidang kependudukan yang berkaitan dengan hal tersebut. Setiap manusia merupakan anggota dari salah satu bangsa yang selalu berusaha untuk dapat hidup sesuai dengan nilai - nilai terkandung dalam khasanah budayanya (Pelly, 1985:8). Demikian juga dengan masyarakat Batak yang bekerja sebagai pemulung yang menjadi pokus dalam penelitian ini. Ketika kampung halaman tidak memberikan harapan lagi untuk penghidupan mereka mencari alternatif lain untuk dapat bertahan hidup. Seperti telah di jelaskan di atas bahwa pemulung adalah orang yang mencari naflcah, dengan jalan mencari dan memungut barang-barang bekas, dikumpulkan dan dijual kepada pengusaha yang akan
Universitas Sumatera Utara
mengolahnya kembali menjadi barang komoditi. Moelino dan Anggal, menjelaskan mengenai pemulung ini, bahwa mereka sebagai pekerja sektor informal, datang secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran. Selain mereka sebagai pekerja sektor informal, mereka sering disebut juga sebagai kelompok marginal; baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Mereka terdiri atas kelompok yang tersisih dari berbagai kegiatan dan pelayanan formal yang disediakan oleh kota-kota bagi warganya yang beridentitas jelas. Kenyataan adalah mereka tidak serta-merta dapat menikmati berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang tersedia di kota-kota besar dikarenakan posisi dan status mereka sebagai kelompok marginal yang tidak berdaya. Kelompok masyarakat yang satu ini umumnya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan-papan rombeng namun memiliki kegiatan. Di sini ada yang harus mengumpulkan barang bekas. Bertimbun berbagai macam barang yang sudah tidak terpakai lagi, logam dari segala jenis, plastik, pecahan kaca (beling), alumunium, potongan-potongan kayu, dan aneka macam kertas. Oleh kelompok mereka, tempat pengumpulan barang sering dikenal dengan istilah lapak. Bagi kelompok pemulung, selain mereka hidup di dunia perdagangan atau usaha barang bekas sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian, juga untuk bertahan hidup. Bahkan oleh Parsudi Suparlan, pemulung atau pengumpulan barang bekas tersebut merupakan salah satu mata pencaharian atau pekerjaan orang-orang gelandangan. Berbeda halnya dengan Moeliono dan Anggal, mereka pemulung itu bagian dari kaum subsisten kota. Mereka hidup dari hari ke hari dengan penghasilan yang cukup untuk konsumsi per hari. Menurut Jatiman, seperti dikutip Moeliono dan Anggal, menyebutkan bahwa subsistensi adalah ekonomi yang mencukupi kebutahan sendiri mereka itu hidupnya dari hari ke hari. Oleh karena mereka merasa terabaikan dan tertekan, dan ada peluang untuk melampiaskan , maka muncullah ledakan -ledakan psikologis, emosional, dan sosial dalam berbagai bentuk, seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, pelacur, tawuran, atau agresivitas massa. Semua itu, sampai saat ini merupakan
Universitas Sumatera Utara
ekspresi dari kekecewaan dan keterbatasan kemampuan kelompokan marginal dalam penderitaan dan kesmiskinannya. Hal senada menurut Rodger seperti yang dikutip oleh Septiarti, mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini hanya mampu terlihat dan mernperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain karena tergolong unskilled labor. Akibat perolehan penghasilan mereka menjadi minimal dan tidak tetap serta sama sekali tidak ada jaminan sosial.Selain itu, dibidang sosial kelompok ini ada pada strata "terendah" dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah,atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas umum.
1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif yang berusaha untuk menggambarkan bagaimana kehidupan para pemulung. Adapun penggambaran kehidupan dilakukan dengan cara life history yang berusaha menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dalam konteks antropologi.
1.5.2. Informan Informan dalam penelitian ini berbagai atas tiga macam yaitu informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Informan pangkal adalah informan pertama-tama peneliti jumpai di lapangan (Moleong, 1994). Dari Informan pangkal ini lah peneliti berharap mendapat petunjuk tentang siapa-siapa dari pemulung yang bisa dijadikan dengan sebagai informan pokok untuk diwawancarai secara mendalam. Informan kedua adalah informan kunci (key informan). Dari informan kunci inilah peneliti mengharapkan data utama penelitian ini. Informal kunci ini terdiri dari lima keluarga pemulung yang diteliti pengalamannya selama menjadi pemulung dalam kehidupan kesehariannya.
Universitas Sumatera Utara
Informan ketiga adalah informan biasa. Informan biasa ini adalah sesama rekan pemulung yang dianggap mengetahui tentang kehidupan para keluarga pemulung. Dari informan biasa ini diharapkan didapatkan data-data yang dapat dijadikan pembanding dari data yang didapat dari informan utama, sehingga penelitian ini menjadi valid.
1.6. Teknik Pengumpulan Data 1.6.1. Wawancara Wawancara dilakukan dengan cara berkomunikasi langsung dengan para informan. Wawancara dilakukan dengan cara terbuka agar para informan dapat menjawab pertanyaan dan bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan segala informasi yang dimilikinya. Wawancara dilakukan ketika mereka dirumah, atau ketika mereka mempunyai waktu senggang sehabis memulung. Dengan cara ini diharapkan suasana menjadi lebih tenang dan peneliti dapat menggali informasi riwayat kehidupan informan selama menjalani profesi sebagai pumulung. Pertanyaan -pertanyaan dikembangkan dalam hubungan yang mengarah pada sifat dari hati ke hati yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan dalam model-model pendekatan yang pernah di lakukan oleh Oscar Lewis (dalam suparlan,1984), yaitu : 1. Pendekatan otobiografi yang luas dan intensif, tetapi lebih terbatas dari segi luas atau kedalamnya. 2. Pendekatan yang mempelajari masalah atau kejadian di luar dari yang biasa yang terjadi dalam kehidupan mereka. 3. Pendekatan yang bertujuan mendeskripsikan secara detail kehidupan keluarga dalam sehari-hari.
Dalam melakukan wawancara peneliti akan mempergunkan pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara dipergunakan hanya sebagai arahan bagi penulis dalam melakukan wawancara, bukan sebagai patokan. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, maka penelitian akan dihentikan apabila data telah berulang (Moleong, 1994).
Universitas Sumatera Utara
1.6.2. Observasi Untuk mencari kevalidan data observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif. Artinya dalam melakukan observasi ini peneliti ikut langsung beraktifitas dengan responden. Peneliti mengikuti para informan ketika mereka sedang melaksanakan aktifitas di lapangan.
1.7. Teknik Analisa Data Setelah informasi dan data terkumpul, maka data disusun secara sistematis sesuai kepentingan: 1. Mengadakan pengeditan terhadap informasi dan data sehingga menghasilkan uraian terperinci, sistematis dan mudah dimengerti oleh mereka yang membaca dan mempelajarinya. 2. Mengadakan penganalisaan dari setiap bagian yang disusun dengan metode kualitatif untuk tujuan memahami isi yang terkandung dalam setiap informasi dan data yang diberikan oleh informan.
Universitas Sumatera Utara