1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu instrument yang digunakan negara untuk menjalankan fungsinya adalah pajak. Pajak dipungut dengan tujuan untuk membiayai pengadaan public goods.namun bisa juga pajak dipungut untuk mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah, antara lain fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas. Pemanfaatan
pajak untuk menjalankan fungsi negara (pemerintah) hendaknya
berpegang pada prinsip – prinsp good governance, yaitu penegakan hukum, transparasi, akuntabilitas, efisiensi, profesionalisme dan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas Haula Rosdiana dan Edi Slamet Iriyanto ( 2012:26 ) Dari kutipan diatas dapat diungkapkan bahwa Pajak bersifat dinamik dan mengikuti perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi negara serta masyarakatnya, dimana tuntutan terhadap meningkatnya penerimaan, perbaikan dan perubahan mendasar dalam segala aspek perpajakan merupakan alasan untuk dilakukannya reformasi perpajakan dari waktu ke waktu, diantaranya berupa penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakan, agar basis pajak dapat semakin diperluas, sehingga potensi penerimaan pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal dengan menjunjung asas keadilan sosial dan memberikan pelayanan prima kepada Wajib Pajak.
2
Salah satu yang menjadi perhatian Dirjen Pajak ( DJP ) adalah Penerimaan Pajak PPh non migas, dimana pada tahun 2013 belum mencapai target APBN, Hal ini tercermin dari realisasi penerimaan pajak periode Januari 2013 s.d Desember 2013 yang masih dibawah rencana penerimaan. Penerimaan pajak PPh non migas yang dapat direalisasikan oleh Dirjen Pajak untuk tahun 2013 Rp 413,897 triliun atau sekitar 89,11 % dari penerimaan pajak PPh non migas yang ditargetkan pemerintah dalam APBN-P 2013. Di sisi lain, penerimaan pajak PPh non migas dalam APBN-P 2013 ditargetkan sebesar Rp 464,481 triliun dari target pendapatan negara tahun 2013 sebesar Rp 1.502,0 triliun. Tabel 1.1 : Evaluasi Penerimaan Pajak Tahun 2013 No
Jenis Pajak PPh Non Migas
Realisasi 2012
APBN-P 2013
Trgt (%)
Realisasi s.d. 31 Desember 2012 2013 Pert (%)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
PPh Ps 21 PPh Ps 22 PPh Ps 22 impor PPh Ps 23 PPh Ps 25/29 OP PPh Ps 25/29 Badan PPh Ps 26 PPh Final PPh Non Migas Lainnya
79,559.16 5,495.81 31,609.47 20.290.36 3,763.25 152,624.89 27,458.53 60,369.81 32.70
101,915.00 6,600.93 42,704.00 24,530.00 6,443.34 180,116.52 32,779.51 69,349.09 42.56
28.10 20.11 35.10 20.90 71.22 18.01 19.38 14.87 30.16
79,559.16 5,495.81 31,609.47 20.290.36 3,763.25 152,624.89 27,458.53 60,369.81 32.70
89,897.55 6,766.39 36,329.63 22,140.83 4,378.79 151,906.61 31,082.96 71,357.41 37.79
12.99 23.12 14.93 9.12 16.36 (0.47) 13.20 18.20 15.59
Total Pajak PPh Non Migas
381,203.98
464,481.88
21.85
381,203.98
413,897.97
8.58
(8) = ( 7-6 )/(6)
Penc 2012 (%)
Penc 2013 (%)
(9)
(10)=(7/4)
89.20 69.41 82.78 71.23 67.01 79.85 92.16 109.0 4 76.16 85.52
88.21 102.51 85.07 90.26 67.96 84.34 94.82 102.90 88.81 89.11
Sumber : Laporan Rincian Penerimaan Perpajakan DJPb ( miliar rupiah )
Berbagai upaya telah dilaksanakan Dirjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak khususnya dengan meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak, salah satunya dengan memperbaiki sistem administrasi
3
perpajakan khususnya untuk pajak penghasilan non migas, karena adanya tuntutan belum maksimalnya penerimaan negara dari sektor pajak penghasilan non migas mendorong
Dirjen
Pajak
terus
melakukan
reformasi
perpajakan
berupa
penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan sehingga potensi penerimaan pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal dengan menunjang asas keadilan sosial serta memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak. Dirjen Pajak melakukan modernisasi sistem administrasi perpajakan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan kualitas pelayanan perpajakan sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara. Modernisasi perpajakan meliputi reformasi kebijakan terdiri dari amandemen undang – undang, antara lain UU No. 36 tahun 2008 mengenai pajak penghasilan, PER-32/PJ/2009 tentang bentuk,isi dan tata cara pengisian SPT PPh pasal 21/26 dan PER-14/PJ/2013 yang merupakan perubahan peraturan dari PER-32/PJ/2009, gebrakan modernisasi oleh DJP dengan diterbitkan PER-14/PJ/2013 merupakan perubahan PER-32/PJ/2009 yang membahas mengenai perubahan SPT masa PPh Pasal 21/26 serta bentuk bukti pemotongan PPh Pasal 21/26, Peraturan Direktorat Jendral Pajak ini diterbitkan sebagai langkah awal pemahaman e-SPT yang direncanakan akan berlangsung mulai tahun 2014 hingga tahun 2017. Pada tahun 2014 ini, Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan diwajibkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dalam bentuk e-SPT, pelaporan pajak yang meliputi SPT manual dinilai masih memiliki kelemahan khususnya bagi wajib
4
pajak yang melakukan transaksi cukup besar harus melampirkan dokumen ( hardcopy ) dalam jumlah cukup besar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP), sementara proses perekaman data memakan waktu cukup lama sehingga pelaporan SPT menjadi tertunda dan terlambat serta menyebabkan denda. Selain itu dapat terjadi kesalahan (human error) dalam proses ulang perekaman data secara manual oleh fiskus. Ada beberapa perubahan yang terjadi terkait dengan dikeluarkannya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 diantaranya bila pada saat penyampaian SPT masa PPh pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT adalah pilihan, namun per 1 Januari 2014 hal tersebut tidak belaku lagi sesuai dengan pasal 3 ayat 2 dan 3 PER14/PJ/2013 disebutkan bahwa wajib pajak badan wajib menggunakan e-SPT apabila wajib pajak badan yang melakukan pemotongan PPh pasal 21/26 lebih dari 20 orang dalam masa pajak. Formulir SPT masa PPh pasal 21/26 sesuai dengan PER 14/PJ/2013 banyak mengalami perubahan dibanding dengan formulir SPT masa PPh pasal 21/26 sesuai dengan PER-32/PJ/2009. Latar belakang diluncurkannya PER14/PJ/2013 ini lebih dikarenakan kesulitan dalam pengawasan pelaporan SPT masa PPh pasal 21/26 per bulan (Januari s.d November), karena beberapa perusahaan tidak melampirkan rincian daftar subjek pajak untuk pelaporan disetiap masa pajak. Dengan demikian PER-14/PJ/2013 ini mewajibkan perincian daftar pemotongan PPh Pasal 21/26 untuk setiap masa pajak. Selain itu, DJP seringkali mengalami kesulitan dalam matching data bukti potong sebab penomoran bukti potong tidak terstruktur. Solusi yang disediakan adalah dengan melakukan standarisasi penomoran bukti potong. Isu lainnya yang sempat muncul ialah lambatnya penyediaan data SPT di
5
database dikarenakan proses perekaman SPT yang relatif lambat dan cakupan penggunaan e-SPT masa PPh pasal 21/26 yang masih sedikit. Hal tersebut mengakibatkan ketertiban pengarsipan file dalam sistem dan pengawasan SPT masa PPh pasal 21/26 menjadi tidak maksimal. Dengan demikian PER-14/PJ/2013 menawarkan solusi dengan memperluas cakupan pengguna e-SPT masa PPh Pasal 21 sebagaimana diwajibkan untuk pemotong dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas. Hal terakhir yang melatarbelakangi diluncurkannya PER-14/PJ/2013 ini adalah bahwa formulir SPT Masa PPh pasal 21/26 sebagaimana dimaksud dalam PER-32/PJ/2009 belum selaras dengan PMK-262/PMK.03/2010 dan PMK16/PMK.03/2010 sebab kedua PMK tersebut diterbitkan setelah PER-32/PJ/2009 muncul. Oleh karena itu dalam PER-14/PJ/2013 dilakukan penyesuaian formulir dengan menambahkan informasi ‘PPh atas penghasilan teratur yang terpisah dengan gaji’ dalam bukti potong. Diharapkan dengan dikeluarkannya peraturan tersebut dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak untuk tertib dalam hal memungut, membayar dan melaporkan PPh 21/26 atas penghasilan yang diperoleh karyawan yang bekerja di instansi pemerintahan atau swasta baik sebagai pegawai yang sifatnya permanen, pegawai kontrak atau penerima penghasilan yang berkesinambungan. Beberapa penelitian mengenai SPT telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas penerapan SPT tersebut dan pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak. Menurut hasil penelitian Lingga (2012), diperoleh kesimpulan bahwa penerapan e-SPT PPN berpengaruh terhadap efisiensi pengisian SPT menurut persepsi wajib pajak, besarnya pengaruh dari penerapan e
6
SPT PPN terhadap efisiensi pengisian SPT adalah sebesar 16,6%, sisanya 83,4% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Menurut hasil penelitian Zulfikar (2013) diperoleh kesimpulan mengenai persepsi responden terhadap penerapan Surat Pemberitahuan Elektronik menunjukan bahwa 40% responden memberikan jawaban Sangat Setuju ( SS ) dan 51 % menyatakan Setuju ( S ). Menurut hasil penelitian Nur Hidayat yang diperoleh kesimpulan wajib pajak menyadari aplikasi e-SPT dapat membantu Wajib Pajak dalam pengisian laporan perpajakan. Tetapi masih banyak wajib pajak yang kurang memahami bagaimana cara pengoperasian aplikasi e-SPT dalam membuat laporan perpajakan Berdasarkan beberapa penelitian tersebut telah mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemahaman aplikasi SPT khususnya eSPT masa PPh pasal 21/26 masa, untuk mengetahui pengaruh pemahaman aplikasi SPT dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPh masa pasal 21/26 sesuai PER/14/PJ/2013 terhadap kepatuhan formal wajib pajak badan menurut persepsi wajib pajak badan serta untuk mengetahui apakah motivasi wajib pajak badan untuk mematuhi peraturan perpajakan khususnya Per 14/PJ/2013. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada wajib pajak badan yang dimana menurut PER 14/PJ/2013, bahwa wajib pajak badan yang mempunyai jumlah karyawan lebih dari 20 orang harus menggunakan e-SPT sebagai media pelaporan SPT masa PPh pasal 21/26yang mulai diberlakukan 1 Januari 2014. pemahaman aplikasi e-SPT PPh 21/26 diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak badan, pelaporan SPT yang akurat dan transparan, mengurangi kesalahan dalam pemasukan ( input ) data dan
7
mempercepat pembentukan database tentang informasi karyawan sehingga dapat dijadikan bahan refrensi ( optimalisasi pemanfaatan data pajak ). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “PENGARUH PEMAHAMAN APLIKASI SPT (e-SPT ) PPh PASAL 21/26, TERHADAP KEPATUHAN FORMAL WAJIB PAJAK BADAN DENGAN MOTIVASI
DAN
PENGETAHUAN
PAJAK
SEBAGAI
VARIABEL
MODERATING”
B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahan dalam tesis ini : 1) Apakah pemahaman aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26 Masa berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak ? 2) Apakah pemahaman aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26 Masa berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak dengan variabel motivasi sebagai variabel moderating? 3) Apakah pemahaman aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26 Masa berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak dengan pengetahuan pajak sebagai variabel moderating?
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1) Tujuan Penelitian Ada beberapa tujuan dari penulisan tesis yaitu
8
1) Untuk membuktikan secara empiris manfaat,kegunaan dan sosialisasi pemahaman aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26 Masa berpengaruh terhadap motivasi dan pengetahuan pajak untuk berperilaku patuh 2) Untuk menguji secara empiris pengaruh manfaat, kegunaan dan sosialisasi pemahaman aplikasi e-SPT PPh Pasal 21/26 Masa secara langsung terhadap perilaku patuh 2) Kontribusi Penelitian Sedangkan kontribusi penelitian ini adalah : 1) Kontribusi Teori Memberikan bukti secara empiris implementasi Teori Perilaku dalam menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan 2) Kontribusi Praktik Memberikan informasi tentang pendekatan psikologis kepada Wajib Pajak khususnya Tax Profesional yang bertugas melaksanakan kewajiban perpajakan perusahaan agar menjadi patuh sehingga perusahaan dapat terhindar dari denda pajak yang dapat merugikan secara biya, waktu dan juga tenaga,: 3) Kontribusi Kebijakan Sebagai informasi yang bermanfaat bagi masyarakat secara umum untuk mendorong kepercayaan masyarakat dalam kewajiban membuat perencanaan pajak dalam melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai wajib pajak di Indonesia. Bagi Negara sebagai upaya
9
peningkatan sosialisasi Undang-Undang baru, ketetapan, keputusan dan membuat kebijakan perpajakan di Indonesia.