BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa, yang salah satu fungsinya adalah sebagai alat komunikasi (Pateda, 1987: 4), selalu berhubungan dengan bentuk, makna, dan fungsi. Apabila suatu alat komunikasi itu hanya berupa bentuk saja, tanpa makna dan maksud atau fungsi yang jelas, maka komunikasi tersebut jelas akan sia-sia karena inti dari komunikasi adalah menyampaikan maksud (Poedjosoedarmo, 2001: 171). Apabila suatu alat komunikasi itu hanya berupa makna saja, maka makna itu tidak akan tersampaikan tanpa adanya bentuk yang nyata untuk menyampaikan makna tersebut. Sementara komunikasi yang sudah dikemas dalam bentuk dan makna yang utuh tetapi tidak disertai dengan fungsi yang jelas maka akan menjadikan komunikasi itu kabur dan tidak jelas arahnya. Seperti itulah kiranya kesatuan bahasa terkait dengan salah satu fungsinya sebagai alat komunikasi. Analisis terhadap bahasa sebagai alat komunikasi juga melibatkan ketiga aspek tadi, yaitu analisis terhadap bentuk, makna, dan fungsi. Bahasa sendiri terdiri dari berbagai tataran dan oleh karenanya bisa dianalisis dari berbagai tataran kajian kebahasaan pula mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana. Dari beberapa tataran tersebut, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar dalam hierarki kebahasaan. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana, 1984: 208). Salah satu hal yang penting diperhatikan dalam menganalisis wacana terkait dengan bentuk, makna dan fungsi
1
2
bahasa adalah bahwa analisis ini juga merupakan analisis terhadap suatu konteks. Hal ini berarti bahwa dalam suatu analisis wacana, bukan hanya bentuknya saja yang perlu diperhatikan tetapi juga konteks yang melingkupinya mengapa dan untuk apa wacana yang bersangkutan muncul. Pendekatan sosiopragmatik dalam analisis wacana bisa digunakan untuk mengetahui konteks yang melingkupi suatu wacana. Sosiopragmatik merupakan titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik yang berarti bahwa prinsip pragmatik beroperasi secara berbeda pada masyarakat bahasa dan kondisi sosial yang berbeda (Leech, 1983: 10-11, Rahardi, 2009: 14). Suatu wacana tentu saja memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda antara wacana satu dengan wacana yang lainnya. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh konteks yang melingkupi wacana tersebut. Melalui pendekatan ini, konteks yang terkait dengan aspek atau komponen-komponen yang melatarbelakangi suatu wacana bisa diketahui. Salah satu wacana yang ada dan berkembang di masyarakat adalah wacana siaran berita. Merupakan salah satu tanda kemajuan jaman di mana informasi bisa disampaikan dan didapat dengan mudah, salah satunya dengan adanya siaran berita di berbagai media baik itu media cetak ataupun elektronik, baik itu lokal, nasional, ataupun internasional. Hampir setiap hari kita bisa memperbaharui informasi atau berita yang kita butuhkan dengan cepat karena adanya koran, radio, televisi, internet, dan sebagainya. Salah satu media penyampaian berita yang menarik adalah media televisi. Dalam media tersebut, wacana berita disampaikan secara lisan dengan disertai gambar, tulisan, dan juga illustrasi lain yang menarik.
3
Hampir semua media penyiaran televisi di Indonesia memiliki program berita, baik itu yang disiarkan dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, ataupun dalam bahasa Inggris. Sebagian besar media penyiaran di Indonesia menyiarkan berita dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional dan bahasa persatuan Indonesia. Beberapa yang menampilkan wacana berita dalam bahasa daerah kebanyakan adalah stasiun televisi lokal, sementara yang menyiarkan wacana berita dalam bahasa Inggris hanya beberapa media penyiaran saja yang mencakup media lokal dan nasional. Wacana berita yang disampaikan dalam bahasa daerah tentu hanya dimengerti oleh golongan tertentu saja yang mengerti bahasa tersebut. Misalnya saja siaran berita yang disampaikan dalam bahasa Jawa akan lebih dimengerti oleh pendengar atau penonton yang paham dengan bahasa Jawa. Hal yang sama juga terjadi pada wacana berita yang disampaikan dalam bahasa Inggris yang hanya dimengerti oleh beberapa orang yang paham dengan bahasa Inggris. Salah satu program berita berbahasa Inggris adalah Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV setiap hari Sabtu pukul 09.00 WIB. Metro TV merupakan salah satu stasiun televisi swasta besar di Indonesia. Berbeda dengan stasiun penyiaran yang lainnya yang sebagian besar menyajikan tayangan yang menghibur seperti sinetron, musik, gossip, dan sebagainya, tayangan yang ditampilkan di Metro TV sebagian besar adalah siaran berita ataupun tayangan yang sifatnya lebih informatif. Indonesia Now adalah salah satu program berita unggulan yang dimiliki oleh Metro TV yang disiarkan dalam bahasa Inggris.
4
Siaran berita berbahasa Inggris tersebut tentunya hanya dimengerti oleh pendengar tertentu saja yang paham dengan bahasa Inggris. Pendengar yang tidak paham betul dengan bahasa Inggris tidak akan berlama-lama berada di depan televisi dan mendengarkan siaran berita tersebut karena pendengar berasumsi bahwa dia tidak akan mendapat informasi apapun dari sana karena ketidaktahuannya terhadap bahasa Inggris. Hal ini tentu saja berarti bahwa wacana siaran berita berbahasa Inggris tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat disamping tujuan dari stasiun televisi yang salah satunya adalah untuk mendapatkan rating jumlah penonton yang tinggi. Dalam kaitannya dengan hal ini, wacana siaran berita Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV jelas memiliki fungsi atau tujuan tertentu mengapa dihadirkan di tengah masyarakat Indonesia di mana bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang tidak banyak diketahui dan dipakai oleh sebagian besar masyarakatnya. Terlepas
dari
bahasa
yang
digunakan,
jika
dilihat
dari
media
penyampaiannya Indonesia Now merupakan wacana lisan yang berbeda dari wacana berita yang ada di koran atau majalah yang disampaikan dalam bentuk tulisan. Sintaksis bahasa lisan secara khas jauh kurang terstruktur jika dibanding dengan bahasa tulis. Bahasa lisan berisi banyak kalimat yang tidak lengkap, sering hanya berupa rangkaian frase; bahasa lisan secara khas tidak banyak berisi subordinasi. Selain itu, bahasa lisan banyak menggunakan “fillers” atau pengisi jeda, seperti ehmm, well, I mean, dan sebagainya (Brown dan Yule, 1996: 15-17). Akan tetapi, dalam wacana siaran berita Indonesia Now yang merupakan wacana
5
lisan, tidak ditemui ciri-ciri tersebut seperti yang terdapat pada kutipan Indonesia Now edisi 01 Desember 2012 berikut ini:
Presenter 1: Selamat berjumpa lagi. Welcome to “Indonesia Now” from Jakarta. I am Tascha Liudmilla. ‘Selamat datang di acara Indonesia Now dari Jakarta. Saya Tascha Liudmilla.’ Presenter 2: Hello, I am Dalton Tanonaka and this is your weekly window into the country’s top stories and people. ‘Halo, saya Dalton Tanonaka dan acara ini adalah jendela mingguan Anda untuk melihat orang-orang dan cerita teratas negeri ini.’ Presenter 2: Indonesian parliament members went to Cairo this week to assess the cease-fire between Israel and Hamas. They met with Egyptian representatives Tuesday who told them of hopes that the ceasefire would hold. Egypt also said it opens its borders for medical and logistic support to keep the peace. …………………………………………………………………………. ‘Anggota parlemen Indonesia minggu ini berangkat ke Kairo untuk menilai kesepakatan damai antara Israel dan Hamas. Mereka bertemu dengan perwakilan Mesir pada hari Selasa yang menyampaikan kepada mereka harapan bahwa kesepakatan damai akan berlanjut. Mesir juga menyampaikan bahwa pihaknya akan membuka perbatasan untuk bantuan medis dan juga logistik untuk menjaga perdamaian.’
Berdasarkan pada salah satu cuplikan wacana Indonesia Now tersebut di atas, dapat dilihat bahwa pengisi jeda yang menurut Brown dan Yule (1996: 1517) banyak ditemukan dalam bahasa lisan, justru tidak ditemukan pada bagian wacana siaran berita di atas meskipun wacana tersebut juga merupakan wacana yang disampaikan secara lisan. Bahasa lisan yang digunakan dalam wacana siaran berita berbeda dengan bahasa lisan yang biasanya di mana wacana berita lebih banyak menggunakan kalimat lengkap. Selain itu, ragam yang digunakan dalam kutipan wacana siaran berita tersebut di atas adalah ragam formal, bukan ragam santai atau informal seperti yang misalnya ditemui pada wacana lisan sehari-hari.
6
Akan tetapi hal itu tidak serta merta menjadikan wacana berita Indonesia Now tanpa pengisi jeda dan tanpa ragam informal. Pengisi jeda ditemukan di beberapa bagian lain pada wacana berita tersebut, misalnya saja pada tayangan cuplikan interview atau wawancara yang dilakukan pembawa berita dengan narasumber. Selain itu, pada bagian penutup wacana siaran berita Indonesia Now juga ditemukan adanya fillers, di mana kali ini fillers digunakan antara kedua pembawa berita yang saling bercakap dengan pilihan ragam bahasa yang lebih santai. Ragam ini bisa dilihat seperti pada kutipan siaran berita edisi 01 Desember 2012 berikut ini:
Presenter 1: Well, now you’re on the new challenges dear and all of us wish you very-very well. ‘Well, sekarang kamu punya tantangan baru sayang dan kami semua berharap baik untukmu.’ Presenter 2: That’s so sweet. ‘Manis sekali.’ Presenter 1: Yak. Well you know, if you look in the dictionary; you look in the word “sweet,” they have your picture next to it. ‘Ya. Well, kamu tahu apabila kamu melihat kata “sweet” di kamus, maka akan ada gambarmu di sebelah kata itu.’ Presenter 2: Thank you, Dalton. ‘Terima kasih, Dalton.’ …………………………………………………………………………. Presenter 2: And that is “Indonesia Now” for this week. Thank you for watching. I am Tascha Liudmilla. ‘Dan demikian tadi siaran Indonesia Now untuk minggu ini. Terima kasih sudah menyaksikan tayangan ini. Saya Tascha Liudmilla.’ Presenter 1: For the last time. ‘Untuk yang terakhir kalinya.’ Terima kasih. I am Dalton Tanonaka. Please join us again next week. ‘Terima kasih. Saya Dalton Tanonaka. Bergabunglah kembali bersama kami minggu depan.’
Pada kutipan wacana siaran berita Indonesia Now di atas, jelas sekali terlihat bahwa sebelum sampai pada bagian penutup wacana berita tersebut, ragam yang digunakan oleh kedua presenter atau pembawa berita dalam berinteraksi satu sama lain adalah ragam informal yang memang berbeda dengan ragam yang
7
mereka gunakan ketika menyampaikan informasi atau berita-berita penting kepada penonton. Hal ini juga menjadikan wacana Indonesia Now menarik karena pemilihan ragam formal dan informal tersebut bukan berarti tanpa alasan dalam artian bahwa selalu ada hal yang melatarbelakangi pemilihan ragam suatu bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Meskipun terdapat percakapan antara kedua pembawa berita, wacana lisan siaran berita Indonesia Now tidak melibatkan penonton ke dalam peristiwa tutur yang terjadi antara kedua pembawa berita. Dalam wacana seperti itu, pembawa beritalah yang secara aktif mengkomunikasikan pesan dan penonton hanya secara pasif menerima informasi yang disampaikan tanpa ikut terlibat ke dalam peristiwa tutur tersebut. Karakteristik bahasa lisan dalam wacana Indonesia Now yang berbeda dengan bahasa lisan pada percakapan sehari-hari, pemilihan ragam bahasa, serta bentuk interaksi antara pembawa berita dan penonton tentu saja merupakan ciri wacana Indonesia Now yang berbeda dari wacana yang lainnya. Karakter tersebut pastinya tidak hadir begitu saja tanpa adanya faktor yang mempengaruhinya. Dalam setiap peristiwa tutur, selalu ada aspek atau komponen tutur yang mempengaruhi bentuk atau karakter bahasa yang digunakan di dalamnya. Hal yang sama juga terjadi dalam wacana Indonesia Now di mana karakteristik bahasa dalam wacana tersebut dipengaruhi oleh komponen-komponen tutur tertentu yang menjadikannya berbeda dengan wacana yang lain. Selain beberapa karakter tersebut, Indonesia Now juga memiliki karakter lain yang dicirikan melalui fungsi dan struktur wacananya. Tuturan yang disampaikan oleh pembawa berita pada wacana Indonesia Now tentu saja bukan
8
merupakan tuturan kosong tanpa makna dan fungsi yang jelas. Tuturan-tuturan yang disampaikan oleh pembawa berita pasti memiliki fungsi tersendiri untuk apa tuturan tersebut disampaikan. Selain itu, wacana Indonesia Now juga memiliki komponen-komponen yang disusun membentuk suatu alur atau struktur tertentu dari wacana ini. Salah satu contohnya adalah wacana Indonesia Now memiliki komponen pengantar berita yang disampaikan pada bagian paling awal penayangan wacana tersebut. Komponen dan alur tersebut tidak ditemui pada, misalnya, wacana percakapan lisan sehari-hari atau pada wacana konsultasi antara dokter dengan pasien yang pastinya memiliki komponen dan struktur yang lain. Berdasarkan pada beberapa hal yang tampak dari pengamatan sekilas tersebut, bisa dikatakan bahwa memang Indonesia Now sebagai sebuah wacana memiliki karakter yang khas yang berbeda dari wacana yang lainnya. Beberapa hal tersebut membuat wacana Indonesia Now menarik untuk dikaji lebih lanjut lagi melalui pendekatan sosiopragmatik yang bisa mengungkap konteks tertentu yang menjadikan wacana Indonesia Now berbeda dengan wacana yang lain.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang disampaikan pada bagian latar belakang penelitian
di atas, terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk diteliti. Permasalahan tersebut diantaranya adalah:
1.
Bagaimana struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now di Metro TV?
9
2.
Apa saja komponen tutur dalam wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now di Metro TV?
3.
Apa fungsi wacana dilihat dari tindak tutur yang ada dalam siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now di Metro TV?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mendeskripsikan struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now di Metro TV.
2.
Mendeskripsikan komponen-komponen tutur wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now di Metro TV.
3.
Mendeskripsikan fungsi wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now di Metro TV berdasarkan tindak tutur yang dimanfaatkan di dalamnya.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik itu secara praktis
ataupun secara teoretis.
1.4.1 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan mengenai struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris, komponen tutur yang membangunnya, dan fungsi dari wacana tersebut.
10
1.4.2 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini mengungkap bahwa ada pola-pola tertentu yang harus diikuti dalam membuat atau menyusun sebuah wacana berita, salah satunya adalah pola dalam wacana siaran berita Indonesia Now. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan referensi bagi penelitian mengenai analisis wacana yang merupakan salah satu bidang kajian yang memang banyak diminati oleh para peneliti bahasa. Selain itu, analisis wacana siaran berita berbahasa Inggris ini diharapkan untuk selanjutnya bisa menjadi titik pangkal bagi analisis lain yang serupa di bidang analisis wacana siaran berita baik itu untuk dikembangkan menjadi analisis wacana kritis, retorika, stilistika penyampaian berita, ataupun dalam bidang kajian terkait lainnya.
1.5
Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai wacana memang tampaknya banyak menarik perhatian
peneliti untuk mengkajinya secara lebih mendalam mengenai bagaimana struktur dan komponen tertentu bisa membangun sebuah wacana yang utuh. Jorgensen dan Phillips (2007: 2) menyatakan bahwa analisis wacana bukanlah sekedar satu pendekatan tunggal, melainkan serangkaian pendekatan multidisipliner yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi banyak domain sosial yang berbeda yang berada dalam jenis-jenis kajian yang berbeda. Karena merupakan pendekatan yang multidisipliner juga lah yang menjadikan suatu wacana dapat dianalisis dari beberapa segi kebahasaan. Beberapa penelitian yang sudah ada mencoba
11
menganalisis wacana dari beberapa bidang kajian seperti sosiolinguistik, pragmatik, atau sosiopragmatik. Salah satu penelitian pada wacana adalah yang dilakukan oleh Mawadati (2002) yang menggunakan pendekatan sosiolinguistik, dalam hal ini penelitian yang dilakukan adalah mengenai “Wacana Penyuluhan Keluarga Berencana sebagai Salah Satu Bentuk Register” yang datanya diambil dari data lisan berupa penyuluhan program Keluarga Berencana di dua wilayah di Yogyakarta. Dalam penelitiannya tersebut, Mawadati berusaha untuk mengungkapkan struktur wacana penyuluhan Keluarga Berencana, komponen tuturnya dan bentuk-bentuk khas register penyuluhan Keluarga Berencana. Penelitian serupa tentang analisis wacana juga dilakukan oleh Santoso (2006) yang mengangkat wacana iklan komersial berbahasa Indonesia di televisi. Dalam penelitiannya tersebut, Santoso memaparkan tiga bagian iklan di televisi, yaitu butir utama, tubuh iklan, dan penutup iklan yang masing-masing memiliki fungsi berbeda dalam membangun sebuah wacana iklan komersial di televisi. Selain itu, Santoso juga memerikan aspek verbal dan non-verbal dari wacana iklan komersial tersebut. Selain kedua penelitian di atas, masih ada juga beberapa penelitian tentang analisis wacana seperti yang dilakukan oleh Hidayat (2008) dan Sultan (2009). Keduanya
sama-sama
mengangkat
analisis
wacana
melalui
pendekatan
sosiopragmatik yang menghubungkan wacana dengan tindak tutur dan penyimpangan maksim yang ada di dalamnya. Perbedaan dari kedua penelitian tersebut terletak pada objeknya di mana Hidayat mengambil objek yang berupa
12
wacana iklan perdukunan dalam bentuk tulis di media cetak, sedangkan Sultan mengambil objek wacana iklan operator seluler di media elektronik. Meskipun penelitian kali ini juga merupakan analisis wacana, namun penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya. Yang membedakan penelitian ini dari penelitian yang sebelumnya adalah objek penelitian ini sendiri. Apabila penelitian sebelumnya mengangkat analisis wacana dalam penyuluhan keluarga berencana dan juga analisis wacana iklan baik itu dalam bentuk lisan ataupun tertulis, penelitian kali ini mengangkat wacana Indonesia Now yang merupakan wacana siaran berita berbahasa Inggris mingguan yang ditayangkan oleh stasiun televisi Metro TV. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiopragmatik untuk mengetahui konteks yang melatarbelakangi wacana siaran berita Indonesia Now.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Wacana Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak yang artinya adalah “berkata,” “berucap” (Douglas, 1976: 226 dalam Mulyana, 2005: 3). Oleh para linguis Indonesia dan di negara-negara berbahasa Melayu lainnya, istilah wacana dikenalkan dan digunakan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahasa Inggris discourse (Oetomo, 1993: 3). Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin discursus yang artinya “lari ke sana kemari,” “lari bolak balik.” Kata ini diturunkan dari dis (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Jadi discursus bearti lari ke arah yang berbeda yang kemudian ditransfer maknanya
13
menjadi ‘terlibat dalam sesuatu atau memberi informasi tentang sesuatu (Vass, 1992 dalam Titscher dkk. 2000: 42). Webster (1983: 522) dalam Mulyana (2005: 4) memperluas makna discourse sebagai berikut: (1) komunikasi kata-kata, (2) ekspres gagasan-gagasan, (3) risalah tulisan, disertasi formal, kuliah, ceramah, khutbah. Dalam ilmu bahasa, wacana digunakan untuk mendeskripsikan struktur yang lebih tinggi dari kalimat (Mills, 2004: 116). Kridalaksana (1984: 208) dan Chaer (1995: 267) menambahkan bahwa wacana berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hierarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap. Tarigan (1993: 27) menambahkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertingggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Moeliono selanjutnya (1988: 334) mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Pengertian tersebut serupa dengan apa yang disampaikan oleh Dardjowidjojo (1993: 34) bahwa wacana merupakan rentatan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat itu. Dalam kaitannya dengan kesatuan makna dalam sebuah wacana, Mulyana (2005: 6) menambahkan bahwa suatu rentetan kalimat bisa disebut sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya.
14
Unsur pembeda antara bentuk wacana dan bukan wacana adalah pada ada tidaknya kesatuan makna yang dimilikinya (Mulyana, 2005: 5). Tiap kajian wacana akan selalu mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada di bawahnya, seperti fonem, morfem, frasa, klausa, atau kalimat (Mulyana, 2005: 6). Selain itu, analisis wacana tentunya adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Maka analisis itu tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang terikat pada tujuan atau fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk tersebut dalam urusan-urusan manusia. Kalau ada ahli linguistik yang memusatkan perhatian pada penentuan sifat-sifat formal suatu bahasa, penganalisis wacana berkewajiban menyelidiki untuk apa bahasa tersebut dipakai (Brown dan Yule, 1996: 1). Wijana (2006: 62) menegaskan bahwa analisis wacana tidak dapat dilakukan semata-mata hanya mengandalkan pendekatan formal dan mengabaikan faktor-faktor yang bersifat situasional. Lebih lanjut dinyatakan bahwa amanat sebuah wacana dalam linguistik sangat bergantung pada konteksnya, baik konteks yang bersifat lingual maupun konteks nonlingual. Wacana sering kali disamakan penggunaannya dengan teks di mana wacana diasosiasikan dengan wacana lisan dan teks sebagai wacana tertulis. Akan tetapi pada dasarnya wacana dan teks mengacu pada dua hal yang berbeda. Wacana merupakan payung analisis terhadap teks baik itu teks lisan ataupun teks tertulis yang lebih tinggi daripada kalimat (Georgakopoulou dan Goutsos, 1997: 3-4). Analisis wacana merupakan perpaduan antara teks dan konteks, atau oleh Renkema (2004: 1) didefinisikan sebagai analisis yang menghubungkan antara bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal.
15
Aspek kontekstual dalam suatu wacana lebih bergantung pada faktor sosiokultural, seperti misalnya sensibilitas atas tingkat kesopanan cara bertutur, atau familiaritas sebuah istilah pada lawan bicara (van Dijk, 1988: 25). Wacana dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook dalam Eriyanto (2001: 8-9), analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Sementara itu, aspek tekstual dari suatu wacana mencakup struktur sistem kebahasaan khusus yang dapat berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lain, atau satu wacana dengan wacana yang lain. Van Dijk melihat suatu teks terdiri dari tiga struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Tingkatan pertama adalah struktur makro yang merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Tingkatan kedua adalah superstruktur, yaitu struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Dengan menggunakan struktur skematik ini dapat diidentifikasi mengenai awal dan akhir dari sebuah wacana, atau headline (judul utama) pada sebuah berita, pembukaan pada percakapan, atau suatu kesimpulan dari suatu argumen. Hal tersebut merupakan satu ide formal, bagaimana isi sebuah berita akan selalu memiliki sebuah awalan yang berfungsi mengawali dan meringkas laporan serta apapun yang dinyatakan
16
pada akhir suatu percakapan atau artikel atau laporan akan berfungis sebagai kategori penutup (van Dijk, 1997: 13). Tingkatan yang ketiga yaitu struktur mikro yang merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Terkait dengan superstruktur, analisis wacana juga memperhatikan keutuhan struktur yang menjadikan suatu wacana tertentu utuh. Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai suatu kesatuan maknawi (semantik) ketimbang sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi struktur wacana bila di dalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya (Mulyana, 2005: 25). Suatu wacana tertentu tersusun dari bagian-bagian yang membangunnya menjadi sebuah wacana yang utuh dan suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu sendiri dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana yang dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya (Mulyana, 2005: 25). Penganalisis wacana akan mencoba mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa yang terdapat dalam datanya, yang berhubungan dengan lingkungan-lingkungan tempat terdapatnya. Dalam arti ini, analisis wacana adalah suatu cara menyelidiki bahasa di mana penganalisis wacana mencoba menemukan keteraturan-keteraturan dalam datanya dan mendeskripsikannya (Brown dan Yule, 1996: 22-23).
17
1.6.2 Komponen Tutur Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, analisis terhadap pemakaian bahasa dalam suatu wacana memerlukan adanya kemampuan menginterpretasikan dan memahami konteks terjadinya wacana. Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab atau alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tutur itu (Mulyana, 2005: 21). Menurut Moeliono (1988: 336) dan Samsuri (1987: 4), konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran. Dalam kajian sosiolinguistik, Dell Hymes (1972) merumuskan faktor-faktor penentu peristiwa tutur melalui akronim SPEAKING yang diantaranya adalah:
a.
S (Setting dan Scene), yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yaitu meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan.
b. P (Participants), yaitu peserta dalam suatu peristiwa tutur, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal-
18
hal yang berkaitan dengan partisipan seperti usia, pendidikan, latar sosial, dan sebagainya juga menjadi perhatian. c.
E (Ends), yaitu hasil atau tangggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur, dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri.
d. A (Acts of Sequence), mengacu pada pesan/amanat, terdiri dari bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content). Dalam Nadar (2009: 7-8). acts of sequence menunjuk pada saluran tutur yang dapat merupakan lisan maupun tertulis . e.
K (Key), meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan percakapan, semangat percakapan antara lain misal serius, santai, akrab.
f.
I (Instrumentalities), yaitu sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa percakapan tersebut disampaikan, misalnya dengan cara lisan, tertulis, surat, radio, dan sebagainya.
g.
N (Norms) atau norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan, misalnya apa yang boleh dibicarakan, apa yang tidak dan bagaimana cara membicarakannya, misalnya saja untuk hal yang halus, kasar, terbuka, jorok, dan sebagainya.
h. G (Genre) mengacu pada jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya wacana telepon, wacana koran, wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.
Poedjosoedarmo (1985: 80) mengembangkan pendapat Hymes dengan menyebutnya sebagai komponen tutur yang meliputi pribadi si penutur atau orang pertama (O1), anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan
19
orang yang diajak berbicara (O2), kehadiran orang ketiga (O3), maksud atau kehendak si penutur, warna emosi si penutur, nada suara pembicara, pokok pembicaraan, urutan bicara, bentuk wacana, adegan tutur, lingkungan tutur, norma kebiasaan lain. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Hymes dan Poedjosoedarmo mengenai komponen tutur, Holmes (2001: 8) juga menyatakan sejumlah faktor sosial yang relevan dengan pemakaian bahasa yang menentukan bentuk tuturan yang dihasilkan. Holmes mengelompokkannya menjadi 4 faktor, yaitu (1) the participants (partisipan), yaitu siapa yang berbicara dan siapa yang diajak bicara; (2) the setting/social context of interaction (setting atau konteks sosial interaksi), yaitu di mana penutur dan petutur saling berkomunikasi; (3) the topic (topic), yaitu apa yang dibicarakan oleh penutur dan petutur; dan (4) the functions (fungsi), yaitu fungsi dari komunikasi, mengapa penutur dan petutur berkomunikasi. Selain itu, Holmes (2001: 9-10) juga mendeskripsikan 4 dimensi sosial
yang
bermanfaat
untuk
menganalisis
faktor-faktor
sosial
dalam
berkomunikasi, yaitu skala jarak sosial yang berkaitan dengan peserta tutur, skala status yang berhubungan dengan hubungan antar peserta tutur, skala formalitas yang berkaitan dengan setting dan tipe informasi, dan dua skala fungsional yang berhubungan dengan maksud dan topik dalam suatu interaksi.
1.6.3 Fungsi Bahasa Bahasa oleh Brown dan Yule (1983: 1) dideskripsikan memiliki dua fungsi, yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Fungsi transaksional
20
merupakan fungsi di mana yang dipentingkan dalam komunikasi itu adalah isi dari apa yang dikomunikasikan. Dengan kata lain, fungsi transaksional merupakan fungsi bahasa sebagai penyalur informasi. Sementara itu, fungsi interaksional merupakan fungsi bahasa untuk mengekspresikan hubungan sosial dan sikap personal. Fungsi interaksional digunakan untuk menunjukkan solidaritas dan menjaga kedekatan sosial (Cutting, 2008: 21). Selain dua fungsi tersebut, Holmes (2001: 259) juga menyatakan beberapa fungsi lain terkait dengan suatu tuturan. Fungsi-fungsi tersebut diantaranya adalah: a.
Fungsi Ekspresif Pada fungsi ekspresif, bahasa digunakan untuk menyatakan perasaan penutur. Fungsi ini biasanya bersifat individual dari dalam diri penutur seperti misalnya tuturan yang digunakan untuk menyatakan perasaan senang, sedih, menyesal, dan sebagainya.
b. Fungsi Direktif Bahasa yang memiliki fungsi direktif digunakan untuk membuat lawan tutur melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkan oleh penuturnya. Fungsi direktif ini secara langsung dinyatakan melalui modus kalimat yang berupa kalimat imperatif seperti misalnya “Keluar dari ruanganku sekarang” di mana penutur memberikan perintah kepada lawan tuturnya secara langsung untuk meninggalkan ruangan penutur. Fungsi direktif ini bisa juga disampaikan melalui tuturan tak langsung seperti dalam “Bisakah kamu ambilkan bukuku di rak itu?” di mana meskipun merupakan modus kalimat tanya, tuturan
21
tersebut tidak benar-benar digunakan penutur untuk mendengar jawaban “iya” atau “tidak” dari lawan tutur, namun penutur meminta lawan tutur untuk melakukan sesuatu seperti yang disebutkan dalam tuturannya. c.
Fungsi Referensial Fungsi referensial sama halnya seperti fungsi transaksional di mana bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi. Yang diutamakan dalam fungsi ini adalah isi pesan yang ada dalam tuturan yang misalnya digunakan untuk mendeskripsikan, menjelaskan, melaporkan, dan sebagainya.
d. Fungsi Metalinguistik Bahasa dalam fungsi metalinguistik digunakan untuk memberikan komentar atau menjelaskan bahasa itu sendiri. Fungsi ini biasanya direpresentasikan dengan penjabaran istilah-istilah tertentu dalam suatu bahasa, misalnya “Sporadis” merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang jarang atau tidak terjadi secara terus menerus. e.
Fungsi Puitis Fungsi puitis mengutamakan keindahan dari bahasa yang digunakan. Fungsi ini banyak digunakan pada bahasa puisi atau syair yang memang selain banyak
menggunakan
perumpamaan
atau
kiasan,
bahasanya
juga
dipertimbangkan benar-benar sehingga bisa menampilkan sisi indah dari apa yang disampaikan. f.
Fungsi Fatis Fungsi fatis digunakan untuk mengungkapkan solidaritas dan empati kepada orang lain. Apabila dihubungkan dengan fungsi interaksional dan
22
transaksional yang sebelumnya sudah disebutkan, fungsi fatis ini termasuk ke dalam fungsi interaksional di mana bahasa digunakan untuk mengekspresikan hubungan sosial dan sikap personal.
1.6.4 Tindak Tutur Austin (1962: 6) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang menuturkan sesuatu, orang tersebut tidak semata-mata memberikan pernyataan saja, akan tetapi lebih kepada melakukan suatu tindakan dari apa yang disebutkan dalam tuturannya. Hal ini oleh Austin disebut sebagai tindak tutur yang merupakan tindakan yang dilakukan melalui tuturan. Teori tindak tutur menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan melalui tuturan bisa dianalisis melalui tiga level yang berbeda, yaitu tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Cutting, 2008: 13).
a. Tindak Lokusi Tindak lokusi adalah tindak tutur yang digunakan untuk menyatakan sesuatu (Wijana, 2009: 20; Cutting, 2008: 14; Austin, 1962: 95). Tindak tutur ini disebut juga sebagai “the act of saying something” ‘tindakan mengatakan sesuatu’. Misalnya saja terdapat tuturan “Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengku Buwana X.” Kalimat tersebut semata-mata hanya ditujukan oleh penutur untuk memberikan informasi kepada lawan tutur mengenai siapa gubernur DIY dan tidak untuk mempengaruhi lawan tutur untuk melakukan suatu tindakan. Tindak lokusi diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk
23
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya (Wijana, 2009: 21). Konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dianggap sebagai suatu satuan yang terdiri dari dua unsur, yaitu subjek dan predikat. Tindak lokusi juga merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena pengidentifikasiannya dapat dilakukan tanpa harus mempertimbangkan konteks yang melingkupi tuturan dalam suatu situasi tutur tertentu (Wijana dan Rohmadi, 2009: 22).
b. Tindak Ilokusi Selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, sebuah tuturan dapat juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur yang digunakan untuk melakukan sesuatu disebut sebagai tindak ilokusi (Austin, 1962: 99). Dengan kata lain, tindak ilokusi merupakan hal yang dilakukan dalam mengucapkan suatu tuturan. Tindak ilokusi berkaitan dengan fungsi dari kata-kata yang diujarkan dan tujuan tertentu yang ada dalam pikiran penutur (Cutting, 2008: 14). Dalam mengujarkan “Sekarang sudah jam 6.50,” seorang penutur yang misalnya adalah seorang ayah, yang mengujarkan tuturan tersebut kepada lawan tutur, misalnya adalah anak lelakinya yang sedang sarapan sebelum berangkat sekolah, penutur tentu tidak semata-mata memberi tahu lawan tuturnya mengenai informasi tentang waktu pada saat tuturan itu diujarkan. Akan tetapi, penutur memiliki maksud dan tujuan tertentu dalam mengujarkan tuturan tersebut, dalam hal ini penutur meminta lawan tuturnya untuk segera menyelesaikan sarapannya
24
dan bergegas berangkat ke sekolah agar lawan tutur tidak terlambat masuk kelas karena jarak rumah dari sekolah yang lumayan jauh. Maksud dan tujuan penutur yang sebenarnya adalah meminta lawan tuturnya agar melakukan sesuatu hal itulah yang disebut sebagai tindak ilokusi atau “the act of doing something” ‘tindakan melakukan sesuatu.’ Searle mengelompokkan fungsi umum yang dimiliki oleh tindak tutur ilokusi menjadi lima bagian (Nadar, 2009: 15-16; Cutting, 2008: 14-15; Leech, 1983: 205), yaitu: a) Declaration ‘deklarasi’: merupakan tuturan yang bisa mengubah dunia atau dimaksudkan untuk menciptakan status atau sebuah keadaan baru, seperti “I hereby pronounce you man and wife” yang diucapkan oleh seorang penutur yang memang memiliki wewenang untuk mengucapkan tuturan tersebut akan serta merta mengubah dua orang lelaki dan perempuan menjadi pasangan suami istri. Selain itu, tindak tutur deklarasi ini bisa berupa tuturan seperti memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf. b) Representative ‘representatif’: merupakan tuturan yang dipercaya oleh penutur sebagai sesuatu yang benar. Dengan kata lain, tindak tutur ini mengikat penutur pada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Tindak tutur representatif ini dapat berupa tuturan yang berfungsi untuk menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan (Levinson: 1991: 240).
25
c) Commissive ‘komisif’: merupakan tuturan yang membuat penutur melakukan sesuatu di kemudian hari, atau tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturannya seperti berjanji, bersumpah, atau mengancam. d) Directive ‘direktif’: tuturan yang membuat pendengar atau lawan tutur melakukan sesuatu, misalnya saja “requesting,” commanding,” dan “inviting.” Tindak tutur direktif ini antara lain adalah menyuruh, memohon, menuntut, dan mengundang. e) Expressive ‘ekspresif’: tuturan yang menyatakan apa yang penutur rasakan seperti meminta maaf, menyesal, memuji, berterimakasih, dan mengeluh.
c.
Tindak Perlokusi Selain tindak tutur ilokusi yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, suatu
tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarkannya (Austin, 1962: 101). Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi atau the act of affecting someone (Wijana, 2009: 23). Tindak perlokusi mengharapkan adanya efek pada pendengar terhadap tuturan yang disampaikan dan reaksi pendengar setelah mendengar tuturan tersebut (Cutting, 2008: 14). Tuturan “Sekarang sudah jam 6.50” pada contoh sebelumnya selain memiliki tindak ilokusi juga mengandung efek perlokusi yang diharapkan oleh penutur. Jam masuk sekolah biasanya adalah jam 7.00 dan apabila jarak rumah dengan sekolah lumayan jauh, waktu 10 menit merupakan waktu yang terbatas
26
dan ditakutkan bahwa si anak akan terlambat berangkat ke sekolah. Dalam menyampaikan tuturan tersebut, sang ayah sebagai penutur mengharapkan bahwa efek dari tuturan tersebut terhadap anaknya sebagai lawan tutur adalah bahwa lawan tutur menjadi terburu-buru sehingga segera menyelesaikan sarapannya dan segera berangkat sekolah.
d. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung Tindak tutur juga bisa dibedakan berdasarkan strukturnya (Yule, 1996: 54). Struktur yang dimaksud dalam hal ini adalah berdasarkan pada tiga modus utama kalimat, yaitu kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah. Untuk mengetahui apakah suatu tindak tutur merupakan suatu tindak tutur langsung ataupun tidak langsung bisa dilihat berdasarkan pada hubungan antara modus kalimatnya dan fungsi komunikatifnya di mana kalimat berita berfungsi untuk memberitakan, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, atau memohon (Nadar, 2009: 18; Yule, 1996: 54). Apabila terdapat hubungan langsung antara modus kalimat dengan fungsinya, maka tindak tutur yang terjadi adalah tindak tutur langsung. Sedangkan apabila terdapat hubungan yang tidak langsung antara modus kalimat dan fungsinya, maka tindak tuturnya adalah tindak tutur tidak langsung (Yule, 1996: 54-55). Tuturan “Kumpulkan laporannya sekarang di meja saya” yang dituturkan oleh seorang bos atau atasan kantor kepada bawahannya merupakan salah satu contoh tindak tutur langsung. Modus kalimat perintah dalam tuturan tersebut digunakan oleh sang bos untuk menyuruh bawahannya agar mengumpulkan
27
laporan pada saat tuturan berlangsung di meja penutur yang bersangkutan. Karena terdapat hubungan langsung antara modus kalimat dengan fungsi komunikatifnya, yaitu kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan perintah, maka tuturan tersebut di atas merupakan tindak tutur langsung. Tuturan “Panas sekali di dalam sini” yang disampaikan oleh seorang dosen yang merasa sangat gerah pada saat mengajar jam siang di suatu ruang kelas merupakan bentuk tindak tutur tidak langsung. Modus kalimat berita pada tuturan tersebut tidak digunakan semata-mata untuk menyatakan keadaan ruang kelas yang sangat panas. Dengan menyampaikan tuturan tersebut, dosen sebenarnya menginginkan mahasiswa agar membuka jendela atau menyalakan AC sehingga ruangan tersebut menjadi lebih dingin. Karena terdapat hubungan yang tidak langsung antara modus kalimat dengan fungsi komunikatifnya di mana kalimat berita digunakan untuk memberikan perintah, maka tuturan tersebut merupakan tindak tutur tidak langsung. Karena tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya, maka maksud dari tindak tutur tidak langsung dapat beragam dan tergantung pada konteksnya (Nadar, 2009: 19).
e.
Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal Di samping tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, sejumlah
tindak tutur mempunyai makna yang sesuai dan tidak sesuai dengan kata-kata yang menyusunnya. Tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya disebut sebagai tindak tutur literal, sedangkan tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan makna kata yang menyusunnya disebut
28
sebagai tindak tutur tidak literal (Wijana dan Rohmadi, 2011: 30). Tindak tutur literal dan tidak literal bisa berinteraksi dengan tindak tutur langsung dan tak langsung menjadi tindak tutur langsung literal, tidak langsung literal, langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Tuturan “Baunya harum” yang disampaikan oleh seorang pengunjung gerai parfum merupakan bentuk tindak tutur langsung literal. Hal ini terjadi karena makna tuturan yang disampaikan oleh pengunjung gerai tersebut sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya di mana pengunjung tersebut menyatakan bahwa bau parfum yang dicobanya memang harum. Tindak tutur tersebut juga merupakan tindak tutur langsung karena modus kalimat dari tuturan tersebut yang merupakan kalimat berita yang sesuai dengan fungsinya untuk menyatakan sesuatu. Contoh tuturan sebelumnya, yaitu “Panas sekali di dalam sini” merupakan bentuk tindak tutur tak langsung literal. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur tidak langsung karena modus kalimat berita pada tuturan tersebut digunakan untuk memberikan perintah. Selain itu, tuturan tersebut juga merupakan tindak tutur literal karena melalui tuturan tersebut, penutur memang benar-benar ingin menyampaikan bahwa dirinya merasakan panas berada di dalam ruangan yang disebutkan dalam tuturannya. Tuturan “Nonton TV terus aja, dik” yang disampaikan oleh seorang kakak kepada adiknya yang besok akan melangsungkan ujian semester di sekolah merupakan contoh tindak tutur langsung tak literal. Modus kalimat perintah dalam tuturan tersebut memang digunakan untuk memberikan perintah sehingga tuturan
29
tersebut merupakan tindak tutur langsung. Akan tetapi, tuturan tersebut tentu saja tidak benar-benar dimaksudkan untuk memerintahkan sang adik untuk terus menonton televisi. Tuturan tersebut justru memiliki makna lain di mana sang kakak tidak suka melihat adiknya terus menerus menonton televisi karena seharusnya sang adik belajar untuk persiapan ujian esok harinya. Makna tuturan yang tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya menjadikan tuturan yang kedua tersebut sebagai tindak tutur tidak literal. Tindak tutur tidak langsung tidak literal terdapat pada tuturan “Kamarmu rapi sekali” yang dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya yang baru saja bangun tidur dengan keadaan kamar yang luar biasa berantakan. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur tak literal karena tentu saja dengan melihat kondisi kamar yang berantakan, tidak mungkin sang ibu benar-benar ingin menyatakan bahwa kamar anaknya dalam keadaan rapi. Tuturan tersebut juga merupakan tindak tutur tak langsung karena melalui kalimat berita tersebut, ibu tersebut tidak hanya menyindir anaknya bahwa kamarnya berantakan akan tetapi juga memberikan perintah kepada anak tersebut untuk segera membersihkan dan membereskan kamarnya. Makna tuturan yang diujarkan selalu berkaitan dengan konteks karena dalam konteks yang berbeda maka makna tuturan yang disampaikan juga akan berbeda.
30
1.7. Metode Penelitian 1.7.1 Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan kajian sosiopragmatik pada wacana siaran berita Indonesia Now yang ditayangkan di stasiun televisi Metro TV. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif yang menekankan pada proses dan makna yang tidak melibatkan penghitungan dalam hal kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994: 4). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Strauss dan Orbin (2007: 4) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang memproduksi temuan tidak berdasarkan pada penghitungan. Selain itu, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memproduksi atau menghasilkan data deskriptif yang terdiri dari kata-kata lisan dan tertulis serta kebiasaan (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2001: 3). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Populasi data dalam penelitian ini adalah siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV. Dari siaran berita tersebut, tidak semua akan dijadikan data sebagai bahan untuk analisis dalam penelitian ini, dalam artian bahwa dari populasi tersebut, diambil beberapa data yang bisa mewakili populasi data secara keseluruhan yang disebut sebagai sampel data. Sampel data dikumpulkan dari beberapa episode siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now yang ditayangkan di stasiun televisi Metro TV pada Desember 2012. Data dalam bentuk rekaman video siaran berita diunduh dari
31
www.metrotvnews.com/indonesianow yang merupakan webpage dari Metro TV yang menyediakan layanan video streaming dimana semua program acara dan berita Metro TV bisa disaksikan kapan pun dan di manapun. Penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak di mana menurut Mahsun (2005: 92), metode penyediaan data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa, dan dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti menyimak penggunaan bahasa dalam rekaman video wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV. Terkait dengan teknik lanjutan yang dilakukan untuk menjaring data, peneliti menggunakan teknik bebas libat cakap. Dalam teknik ini, peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan di luar dirinya (Jati Kesuma, 2007: 44). Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik lanjutan yang berupa teknik catat di mana peneliti melakukan pencatatan dari apa yang dituturkan oleh pembaca berita dalam video rekaman siaran berita ke dalam bentuk transkrip.
1.7.2 Analisis Data Data yang terkumpul dari proses penyimakan dan pencatatan selanjutnya akan diatur untuk memudahkan analisis data. Yang pertama kali dilakukan adalah mengklasifikasikan data menjadi beberapa kelompok atau bagian berdasarkan kemiripan dari karakteristik tuturan itu sendiri, misalnya saja dari letak dan juga
32
tema atau topik tuturan, apakah merupakan pembuka, isi, penutup atau merupakan bagian yang lain dari wacana siaran berita Indonesia Now. Pengklasifikasian data yang seperti itu digunakan untuk kepentingan analisis data untuk menjawab rumusan masalah yang pertama, yaitu memerikan struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now. Analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua dilakukan melalui pemilahan dan pendeskripsian komponen-komponen tutur dari wacana berita seperti partisipan, setting, topik, dan beberapa aspek komponen tutur yang lain dalam wacana tersebut. Dalam menganalisis komponen tutur wacana Indonesia Now, penulis menggunakan teori faktor penentu peristiwa tutur yang dirumuskan oleh Hymes melalui akronim SPEAKING-nya. Untuk rumusan masalah ketiga, tuturan dari penyiar berita dipilah kemudian dikelompokkan sesuai dengan tindak tutur yang sama untuk mengetahui fungsi dari wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now. Untuk menganalisis maksud dari tindak tutur, penulis berusaha untuk memahami dan menafsirkan maksud dari apa yang disampaikan oleh penutur dengan dasar teori Searle mengenai tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi, serta pendapat Nadar dan Wijana mengenai tindak tutur langsung dan tidak langsung serta literal dan tidak literal. Maksud penutur dalam tindak tutur ilokusinya kemudian dihubungkan juga dengan fungsi bahasa yang disampaikan oleh Holmes.
33
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data Menurut Mahsun (2005: 123) hasil analisis bisa disajikan melalui dua cara, yaitu metode formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang. Sementara metode informal adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis. Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode informal dengan menggunakan deskripsi kata-kata biasa dan bukan dengan simbol-simbol tertentu.
1.8
Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I mengenai pendahuluan menyajikan
latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II dalam penelitian ini memaparkan struktur dari wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now yang menjadikan wacana tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh. Bab III menyajikan komponen tutur atau beberapa aspek yang menandai terjadinya peristiwa tutur dalam wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now. Bab IV memaparkan fungsi wacana siaran berita Indonesia Now yang dilihat berdasarkan tindak tutur yang dimanfaatkan oleh kedua pembaca berita wacana tersebut. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang di dapat dari hasil analisis data serta saran yang terkait dengan penelitian ini dan juga penelitian lain mengenai analisis wacana.