BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi bagi manusia. Adanya bahasa sebagai alat komunikasi tersebut merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain di muka bumi ini. Fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi tersebut juga memungkinkan manusia untuk
menyampaikan, ide, pikiran, dan gagasannya kepada individu lainnya. Dalam proses komunikasi, manusia dituntut untuk menyampaikan ide, pikiran, atau gagasannya ke dalam bahasa yang jelas agar lawan tutur yang mendengarkannya dapat memahami apa yang ingin ia sampaikan. Dalam hal ini, makna sebuah tuturan harus dapat sama-sama dipahami oleh penutur dan lawan tutur agar proses komunikasi tersebut berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Sehubungan dengan hal ini, pada awalnya linguistik sebagai ilmu bahasa memiliki cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makna disusun dan diungkapkan dalam bahasa, yaitu semantik (Wijana, 2010:4). Namun demikian, semantik yang mengkaji makna secara internal dan bebas konteks, tidak cukup menjelaskan berbagai tuturan manusia ketika melakukan komunikasi. Makna sebagai kajian semantik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa, akan tetapi sulit diingkari pentingnya konteks pemakaian bahasa karena makna selalu berubah-ubah menyesuaikan dengan konteks pemakaiannya. Maka hadirlah
1
2
pragmatik sebagai tahap terakhir dari perkembangan linguistik yang berangsurangsur, mulai dari disiplin ilmu yang menangani data fisik tuturan menjadi disiplin ilmu yang sangat luas bersangkutan dengan bentuk, makna, dan konteks (Wijana dan Rohmadi, 2009:7). Kehadiran pragmatik yang lebih memfokuskan analisisnya terhadap peristiwa tutur dengan berbagai latar belakangnya (Leech, 2011:8), akan melengkapi kajian semantik dalam memahami makna tuturan yang dituturkan pada saat berkomunikasi. Dalam pengungkapan pikirannya lewat bahasa, seseorang tidak sematamata menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur gramatikal saja, tetapi orang tersebut juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturantuturan tersebut. Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan tersebut, dalam studi pragmatik biasa disebut sebagai tindak tutur (Yule, 2006:82). Tindak tutur selalu dihubungkan dengan fungsi tutur, maksud tutur, modus tutur, serta interaksi antara penutur dan mitra tutur. Fungsi tutur terkait dengan masalah orientasi tujuan tindak pertuturan dari sudut penutur maupun mitra tutur, serta interaksi antara penutur dan mitra tutur. Maksud tutur terkait dengan persoalan tujuan. Adapun modus adalah berbagai strategi penyampaian tuturan terkait dengan tujuan dan maksud tutur yang ingin disampaikan. Salah satu tindak tutur dalam studi pragmatik adalah tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang diungkapkan oleh penuturnya agar lawan tutur melakukan sesuatu (Wijana, 2010:97). Tindak tutur ini memiliki berbagai keragaman pemakaian. Keberagaman pemakaian tindak tutur direktif tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor linguistik maupun nonlinguistik. Hal tersebut dikarenakan pola
3
pemakaian bentuk direktif sendiri sudah beragam, yaitu berupa perintah, pernyataan, atau pertanyaan. Selain itu, tindak tutur direktif juga memiliki fungsi pemakaian yang beragam, yaitu memerintah, melarang, memohon, memberi saran, dan lain-lain. Dalam hal ini, studi pragmatik penting dilakukan terhadap bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan bahasa yang telah banyak digunakan masyarakat Indonesia dan dipelajari dari tingkat menengah sampai perguruan tinggi. Oleh karenanya, dalam penelitian ini akan dikaji tindak tutur direktif bahasa Arab yang datanya diambil dari film ‘Umar, yaitu film berbahasa Arab yang menceritakan tentang Umar bin Khattab yang merupakan khalifah Islam kedua. Film ‘Umar telah ditayangkan di Indonesia pada tahun 2012 di MNCTV. Film yang berupa serial sebanyak tiga puluh episode ini, menceritakan tentang Umar bin Khattab, tokoh penting dalam sejarah umat Islam yang kisah kehidupannya dapat dijadikan teladan. Film ini menginspirasi dan telah banyak ditonton oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, bahasa Arab yang digunakan dalam film ini adalah bahasa Arab resmi atau fuṣḥah yang telah dijadikan bahasa standar di berbagai Negara Arab dan dalam film ini juga banyak terdapat tindak tutur direktif sehingga cocok dijadikan sebagai data penelitian untuk mendapatkan gambaran mengenai tindak tutur direktif bahasa Arab. Adapun pengambilan data yang diambil dari sebuah film berbahasa Arab sendiri dilatarbelakangi oleh penulis yang tidak tinggal di kawasan yang menggunakan bahasa Arab sehingga tidak dimungkinkan untuk meneliti tuturan direktif langsung dari penutur aslinya. Selain itu, data yang berupa tindak tutur
4
direktif yang diamati dalam film ‘Umar tersebut merupakan sebuah peristiwa tutur yang nyata dengan penggunaan bahasa yang sesuai dengan bahasa masyarakat Arab sehari-hari walaupun tuturan-tuturan dalam film tersebut hasil merupakan skenario sutradaranya. Tuturan direktif dalam film ‘Umar dalam pengungkapannya memiliki berbagai bentuk. Untuk lebih jelasnya, dapat diamati contoh tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar berikut: (1)
ْﺗَ َﻌﺎلْ اِﺟْ ﻠِﺲْ َو َﺣ ﱢﺪثْ َﻣﺎ ھ َﺬا ِد ْﯾﻦُ اﻟﱠ ِﺬي ﺗَ ْﺬ ُﻛﺮ Ta’al ijlis wa haddiṡ mā hażā Kemari duduklah dan katakanlah apa ini
dīnu -lażī tazkur agama yang engkau sebut
‘Marilah! Duduk dan ceritakan mengenai agama yang kau sebutkan itu.’ (Episode 2/06:30/Abu Thalib) Konteks:tuturan Abu Thalib kepada anaknya. Ketika itu, Abu Thalib dan anaknya sedang membicarakan mengenai Agama Islam. أُ ِر ْﯾ ُﺪ ُﻣ َﺤ ﱠﻤﺪًا ﻓَﺄ َﻛﻠﱢﻤُﮫ
(2) Urīdu muḥammadan fa ukallimuh. Aku ingin Muhammad maka aku berbicara dengannya.
Aku ingin menemui Muhammad untuk berbicara dengannya. (Episode 14/32:35/Urwah bin Mas’ud) Konteks: tuturan Urwah bin Mas’ud kepada Umar bin Khattab. Tuturan tersebut merupakan jawaban Urwah bin Mas’ud terhadap pertanyaan Umar yang menanyakan maksud kedatangannya dari Mekah ke Madinah. (3)
ﻣَﻦْ أذِنَ ﻟَﻚِ؟
Man ażina laki? Siapa mengizinkan untukmu Siapa yang mengizinkanmu? (Episode 13/20:12/Wahsyi) Konteks: tuturan Wahsyi kepada Raihanah. Ketika itu Raihanah datang ke tempat Wahsyi dan ketika Raihanah melihat perhihasan milik Wahsyi
5
pada sebuah wadah kemudian ia memakainya. Dalam hal ini, Wahsyi marah melihat perhiasan miliknya dipakai oleh Raihanah. Tuturan pada contoh (1) adalah tindak tutur direktif yang dituturkan oleh Abu Thalib kepada anaknya yang bernama Ali. Tuturan tersebut ditujukan kepada Ali yang memintanya untuk duduk dan menceritakan tentang agama yang diajarkan oleh keponakan Abu Thalib, yaitu Muhammad. Tindak tutur direktif tersebut dituturkan dengan gaya langsung dengan modus imperatif yang ditandai dengan penggunaan verba ijlis wa haddiṡ ‘duduk dan ceritakan’ sebagai perintah langsung dan lugas. Hal ini sesuai dengan faktor penuturnya, yaitu Abu Thalib sebagai seorang Ayah kepada Ali sebagai anaknya. Adapun tuturan pada contoh (2) adalah tindak tutur direktif yang dituturkan oleh Urwah bin Mas’ud kepada Umar bin Khattab sebagai jawaban dari pertanyaan Umar yang menanyakan maksud kedatangan Urwah bin Mas’ud dari Mekah ke Madinah. Tuturan direktif tersebut berbentuk modus deklaratif yang berfungsi untuk meminta. Modus deklaratif tersebut ditandai dengan adanya verba urīdu ‘Aku ingin’ yang merupakan bentuk verba present dan bukan merupakan verba imperatif. tuturan tersebut merupakan bentuk pernyataan yang berfungsi untuk meminta agar Umar bin Khattab dapat mempertemukan Urwah bin Mas’ud dengan Muhammad. Kemudian contoh (3) merupakan tindak tutur direktif yang dituturkan oleh Wahsyi kepada Raihanah yang akan memakai perhiasan yang dimiliki Wahsyi. Tuturan tersebut bermaksud melarang Raihanah agar tidak memakai perhiasan tersebut. Modus kalimat yang digunakan berbentuk interogatif yang ditandai dengan kata tanya “man” ‘siapa’.
6
Selain memiliki bentuk yang bervariasi, tindak tutur direktif Bahasa Arab dalam film ‘Umar juga memiliki fungsi yang berbeda-beda. Hal ini bisa dilihat dari contoh berikut: .ﺻﺎ ِﺣﺒَ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎﻟﺴﱡﻮْ ِء ﻓِﻲ ﻏَﺎﺋِﺒَﺘِﮫ َ ﻻﺗَ ْﺬ ُﻛ ُﺮ
(4)
Lā tażkuru ṣāḥibakum bi s-sū`i fī gā`ibatih Jangan menyebut sahabat kalian dengan kejelekan di dalam tidak hadirnya Janganlah kalian membicarakan hal yang buruk terhadap sahabat kalian ketika ia tidak di sini. (Episode 14/24:30/ Khalid bin Walid) Konteks: tuturan Khalid bin Walid kepada Ikrimah bin Abu Hakam. Ketika itu Ikrimah bin Abu Hakam menjelek-jelekkan sahabatnya yaitu Amr bin Ash karena yang memilih meninggalkan Mekah ketika kaum Kuraisy sedang memerangi kaum muslim. .اَﻟﻠّﮭُ ﱠﻢ َﻻ ﺗُ ْﻜﺜِﺮْ ﻟِﻲْ ِﻣﻦَ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﯿَﺎ َو َﻻ ﺗُ ْﻖ ﻟِﻲْ ِﻣ ْﻨﮭَﺎ ﻓَﺄَ ْﻧ َﺴﻰ
(5)
Allahummā lā tukṡir lī mina d-dunyā wa lā tuq Wahai Allah jangan diberikan banyak bagiku dari dunia dan jangan diberi sedikit lī minhā fa ansā. bagiku darinya maka aku lupa Ya Allah berikan aku harta di dunia tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak sehingga aku tidak melupakan tanggung jawabku. (Episode 1/04:41/Umar bin Khattab) Konteks: tuturan Umar bin Khattab yang ditujukan kepada Allah SWT ketika melaksanakan ibadah haji.
Pada contoh (4), tuturan tersebut dituturkan oleh Khalid bin Walid kepada Ikrimah. Tuturan tersebut bermaksud menasihati Ikrimah agar tidak membicarakan hal yang buruk tentang sahabatnya, yaitu Amr bin Ash. Adapun contoh (5), dituturkan oleh Umar bin Khattab ketika melaksanakan ibadah haji. Ketika itu Umar meminta kepada Allah agar dicukupkan hartanya, tidak terlalu banyak atau
7
tidak terlalu sedikit. Bentuk tuturan ini termasuk tuturan direktif yang bertujuan untuk mengharapkan sesuatu. Selain memiliki fungsi-fungsi tertentu, tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar dipengaruhi oleh konteks yang berupa faktor-faktor yang termasuk ke dalam komponen tutur.
Dari beberapa penjelasan di atas penulis beranggapan bahwa tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar menarik untuk dijadikan sebagai sebuah penelitian.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini difokuskan untuk membahas beberapa masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana jenis-jenis tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi jenis tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar? 3. Bagaimana fungsi tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar. 2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi jenis tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar.
8
3. Mendeskripsikan fungsi
tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film
‘Umar.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian dalam bidang pragmatik, terutama pragmatik yang objek kajiannya adalah bahasa Arab. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah kajian mengenai tindak tutur direktif bahasa Arab sehingga didapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai jenis-jenis tindak tutur Bahasa Arab, faktor-faktor yang mempengaruhi jenis tindak tutur direktifnya, dan fungsi tindak tutur direktif bahasa Arab tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman mengenai tuturan-tuturan berbahasa Arab, khususnya tindak tutur direktifnya dalam perspektif linguistik.
1.5 Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelusuran pustaka, penelitian mengenai tindak tutur direktif telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian mengenai tindak tutur direktif tersebut dilakukan oleh Jalal (2006), Solikhan (2006), Purnawan (2009), Sumarsih (2012), Aini (2012), dan Lailiyah (2013). Jalal (2006) dalam tesisnya yang berjudul Tindak Tutur Direktif Bahasa Jawa Dialek Surabaya dalam Cerita Ludruk Kartolo Cs. menyatakan bahwa tuturan direktif bahasa Jawa dialek Surabaya terdiri dari dua kategori pemakaian
9
yaitu tuturan direktif langsung dan tuturan direktif tidak langsung. Tuturan direktif langsung antara lain: (1) modus imperatif, (2) tuturan performatif eksplisit, (3) tuturan minta persetujuan, (4) tuturan dengan pernyataan keharusan, dan (5) tuturan dengan Ancaman. Tuturan direktif tidak langsung antara lain: (1) tuturan pernyataan keinginan, (2) tuturan pernyataan saran, (3) tuturan bertanya, (4) tuturan sindiran, (5) tuturan deklaratif, (6) tuturan nglulu. Selain itu, pemakaian berbagai ragam tuturan direktif bahasa Jawa dialek Surabaya, terkait dengan berbagai konteks situasi tutur serta setting pragmatik yang berbeda pula. Solikhan (2006) dalam tesisnya yang berjudul Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Jawa menyatakan bahwa tindak tutur direktif yang berbentuk kalimat interogatif, yaitu: perintah/suruhan, ajakan, anjuran/saran, permintaan, permintaan izin, larangan, sindiran, dan tantingan. Imperatif berupa: perintah/suruhan, ajakan, anjuran/saran/nasihat, permintaan, permintaan izin, permintaan maaf, larangan, bujukan, tantangan, ancaman, persilaan, kepasrahan/kepercayaan, peringatan, harapan, weling, pembiaran, nglulu. Ekslamatif: perintah/suruhan, permintaan, larangan, sindiran, sambat, umpatan/cercaan, dan nyokurke. Berdasarkan modusnya, yaitu: langsung, tidak langsung, literal, tidak literal, langsung literal, langsung tidak literal, tidak langsung literal, tidak langsung tidak literal. Dipengaruhi oleh beberapa faktor: peserta tutur, maksud dan tujuan tutur, situasi tutur. Purnawan (2009) dalam tesisnya yang berjudul Tindak Tutur Direktif dalam Al-Qur’an Kajian Pragmatik Terhadap Ayat-ayat Hukum menyatakan bahwa tuturan direktif dalam ayat-ayat hukum menggunakan modus tuturan direktif
10
langsung dan modus tuturan direktif tidak langsung. Selain itu, masing-masing tuturan melibatkan aspek tutur dan maksud tutur yang berbeda-beda dan kedua hal tersebut mempengaruhi fungsi pemakaian tuturan direktif. Kurnia (2010) dalam tesisnya yang berjudul Tindak Tutur Direktif dalam Rumah Kos di Yogyakarta menyatakan bahwa pada tulisan dan pengumuman dalam rumah Kos di Yogyakarta bahwa jenis tindak tutur direktif yang digunakan adalah tipe memerintah dengan kategori memerintah, meminta, mengajak, menasihati, mengkritik, dan tipe melarang dengan kategori melarang dan mencegah. Berdasarkan tingkat kelangsungan dan ketidaklangsungannya ditemukan tindak tutur direktif tidak langsung paling banyak. Adapun Sumarsih (2012) dalam tesisnya yang berjudul Tuturan Direktif Remaja dalam Media: Studi Kasus pada Surat Pembaca Majalah Hai dan Kawanku menyatakan bahwa tuturan direktif remaja dapat diwujudkan ke dalam tiga modus tuturan, yaitu modus imperatif, modus interogatif, dan modus deklaratif. Kemudian dalam menggunakan tuturan direktif tersebut, remaja menggunakan dua strategi kesantunan, yaitu kesantunan positif dan kesantunan negatif. Selain itu, tindak tutur direktif dalam remaja dalam media pada penelitian tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Penelitian mengenai tindak tutur direktif juga dilakukan oleh Aini (2012) dalam tesisnya yang berjudul Tindak Tutur Direktif Bahasa Inggris dalam Transkrip Dialog Film Nanny McPhee. Dalam hasil penelitiannya, Aini menyatakan bahwa tindak tutur direktif dalam transkrip dialog film Nanny McPhee
11
memiliki bentuk berupa tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, sedangkan berdasarkan keliteralannya dan kelangsungannya dibagi kepada tiga jenis, yaitu tindak tutur literal langsung, literal tidak langsung, dan tidak literal tidak langsung. Kemudian disebutkan pula bahwa makna yang terkandung dalam tindak tutur direktif pada dasarnya meminta seseorang untuk melakukan sesuatu, akan tetapi berdasarkan bentuk, verba, dan konteks terdapat juga makna turunan lainnya. Selain itu, kemunculan tindak tutur direktif dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu latar belakang peserta tutur, warna emosi, situasi tutur, maksud dan tujuan, serta norma. Adapun penelitian mengenai tindak tutur direktif dilakukan juga oleh Lailiyah (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Tindak Tutur Direktif dalam Rubrik Reader’s Forum di The Jakarta Post. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa berdasarkan jenisnya, tindak tutur direktif terbagi menjadi tindak tutur langsung dengan modus kalimat imperatif, tindak tutur tidak langsung dengan modus kalimat deklaratif dan interogatif, dan tindak tutur literal. Kemudian berdasarkan makna atau maksudnya, tindak tutur direktif memiliki delapan maksud, yakni (1) maksud memerintah/menyuruh, (2) maksud melarang, (3) maksud meminta, (4) maksud menyarankan/menganjurkan, (5) maksud mengajak, (6) maksud memperingatkan, (7) maksud mengharapkan, dan (8) maksud membiarkan. Adapun strategi kesopanan yang digunakan dalam mengungkapkan tuturan direktif dalam rubric Reader’s Forum di The Jakarta Post menerapkan dua strategi, yaitu strategi kesopanan positif dan strategi kesopanan negatif.
12
Penelitian tindak tutur direktif pada tulisan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari objek penelitian yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu pada penelitian ini diambil tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar. Dari segi bahasa, tentunya penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang meneliti tuturan direktif bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Jawa. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Purnawan (2009) yang juga berbahas Arab, menurut penulis merupakan sebuah penelitian yang berbeda. Walaupun sama-sama berbahasa Arab, kasus yang dikaji merupakan sesuatu yang berbeda. Tuturan direktif bahasa Arab dalam Al-Qur’an dengan gaya bahasanya dan lebih banyak unsur sastranya, berbeda dengan tuturan yang terdapat dalam film ‘Umar yang merupakan tuturan biasa yang menunjukkan kebiasaan masyarakat Arab dalam kegiatan berbicara sehari-harinya. Perbedaan dalam objek penelitian tersebut akan memunculkan perbedaan pada hasil penelitian yang nantinya akan diungkapkan.
1.6 Landasan Teori Terdapat beberapa definisi yang diutarakan oleh para ahli mengenai istilah pragmatik. Levinson (1983:21) menyatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi pemahaman bahasa. Menurut Yule (2006: 3), pragmatik merupakan studi yang mempelajari tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar. Sebagai akibatnya studi pragmatik lebih berhubungan mengenai maksud dari tuturan-tuturan yang disampaikan oleh seseorang daripada makna
13
leksikal kata atau frase dari tuturan-tuturan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Wijana (1996:1) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang linguistik atau ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Adapun Mey (1993:42) menyatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya. Berkenaan dengan hal tersebut, pragmatik dapat dibedakan dengan cabang linguistik yang lain yang juga mempelajari tentang makna, yaitu semantik. Semantik merupakan cabang linguistik yang mempelajari makna secara internal yang bebas konteks, yang terpisah dari situasi, penutur, dan lawan tuturnya, sedangkan pragmatik mengkaji makna yang terikat dengan konteks (Wijana, 1996:2). Sementara itu, Parker (1986:36) menyatakan bahwa speaker reference ‘acuan penutur’ masuk dalam kajian pragmatik, sedangkan linguistic reference ‘referensi linguistik’ masuk dalam kajian semantik. Selain itu, makna yang dikaji oleh semantik bersifat diadis, yaitu makna tersebut dapat dirumuskan dengan kalimat apa makna x itu?, sedangkan makna yang dikaji oleh pragmatik bersifat triadis, yaitu makna tersebut dapat dirumuskan dengan kalimat apakah yang kau maksud dengan berkata x itu?. Berbeda dengan semantik yang mengkaji makna yang bebas konteks, keberadaan konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Konteks ini menurut Leech (1983:13) didefinisikan sebagai sebagai berikut: “Background knowledge assumed to be shared by s and h and which contributes to h’s interpretation of what means by a given uterance. ‘Latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan
14
tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu.”
Dengan kata lain, konteks adalah hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan. Adapun konteks menurut Mey (1993:38) adalah situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami. Selain itu, konteks juga dipahami untuk menggambarkan identitas peserta tutur, parameter waktu dan tempat dari peristiwa tutur, pengetahuan dan tujuan peserta tutur (Levinson, 1983:5). Selain konteks, aspek tutur lainnya yang harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik sebagaimana dikemukakan oleh Leech (2011:19-21) adalah sebagai berikut: 1) Penutur dan lawan/mitra tutur. Konsep penutur dan lawan tutur itu juga mencakup penulis dan pembaca dalam media tulisan. Aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dsb. 2) Konteks tuturan. Konteks dalam linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Di dalam
15
pragmatik itu, konteks pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. 3) Tujuan tuturan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan penutur dilatarbelakangi oleh tujuan dan maksud tertentu. Dalam hubungan pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan. 4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dsb. Pragmatik berhubungan dengan tindakan verba yang terjadi pada situasi tutur. 5) Tuturan sebagai produk verbal. Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Selain itu, Hymes (dalam Wardhaugh, 2002:349-350; Wijana, 2012: 9) membuat akronim SPEAKING yaitu Setting (tempat), participant (peserta tutur), ends (tujuan), act of sequence (urutan tuturan), keys (cara), instrumenties (media), norms (norma), dan genres (kategori tuturan). 1) S adalah Setting (tempat) adalah tempat dan waktu terjadinya pertuturan, termasuk di dalamnya kondisi psikologis dan kultural yang menyangkut pertuturan tersebut.
16
2) P adalah Participant menyangkut peserta tutur, penutur, dan lawan tutur merupakan pihak yang terlibat dalam peristiwa tutur. Selain itu, penulis dan pembaca juga dapat dikatakan peserta tutur. 3) E adalah Ends menunjuk pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu situasi tutur. 4) A adalah Acts of sequence adalah urutan tutur yang mengacu pada bentuk dan isi aktual dari apa yang dibicarakan saluran tutur yang dapat merupakan lisan maupun tulisan. 5) K adalah Key menunjukkan cara ataupun jiwa dari pertuturan yang dilangsungkan. Hal ini meliputi perasaan hati atau kondisi psikologis seseorang saat bertutur. 6) I adalah instrumentalities menunjukkan penggunaan kaidah berbahasa dalam pertuturan. 7) N adalah Norms adalah norma atau aturan yang dapat merupakan dalam berinteraksi. 8) G adalah Genre merupakan kategori tuturan yang dapat merupakan puisi, surat, artikel, dan lain sebagainya. Sedangkan komponen tutur juga dikemukakan dengan jelas oleh Poedjosoedarmo (dalam Nadar, 2009:8-10) dengan menggunakan memoteknik O,O,E, MAU BICARA, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) O1 adalah orang ke-1 yang meliputi pribadi penutur. Latar belakang penutur meliputi: jenis kelamin, asal daerah, golongan masyarakat, umur, profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaan.
17
2) O2 merupakan orang ke-2 (lawan tutur orang ke-1). Faktor kedua yang menentukan bentuk tutur yang keluar dari mulut seseorang penutur ialah orang kedua atau lawan berbicara penutur itu. Hal yang perlu diperhatikan adalah anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial orang kedua (O2) dan seberapa akrab hubungan antara keduanya. Keintiman relasi O1 dan O2 menentukan corak bahasa yang dituturkan. 3) E adalah emosi O1 (warna emosi), yaitu suasana emosi O1 pada waktu yang bersangkutan hendak bertutur. Warna emosi O1 akan sangat mempengaruhi bentuk tuturannya. 4) M adalah Maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 juga menentukan bentuk tuturan. 5) A adalah adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar peristiwa tutur. Suatu tuturan akan berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi apabila seseorang tertentu kebetulan hadir pada suatu adegan tutur. 6) U adalah urutan tutur. O1 yang memulai percakapan akan lebih bebas menentukan bentuk tuturannya dari pada lawan tuturnya. 7) B adalah bab yang dibicarakan atau pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan akan mempengaruhi suasana pembicaraan. Jika seseorang sedang membicarakan masalah-masalah ilmiah akan menggunakan bahasa yang lebih formal.
18
8) I adalah instrumen atau sarana penutur. Sarana penutur ini meliputi bagaimana percakapan itu terjadi apakah melalui surat, telegram, email, atau telepon. Hal ini juga akan mempengaruhi bentuk tuturan yang muncul dalam percakapan. 9) C adalah cita rasa tutur. Cita rasa tutur ini meliputi kapan akan digunakan ragam bahasa santai, formal, dan ragam bahasa indah. 10) A adalah adegan tutur yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat dan waktu peristiwa tutur 11) R merupakan register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Bentuk wacana pidato akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang lazim, yaitu diawali dengan sapaan, salam introduksi, kemudian isi dan penutup. 12) A adalah aturan atau norma kebahasaan. Ada sejumlah norma yang harus dipatuhi, misalnya kejelasan dalam berbicara. Adapun aturan dalam percakapan seperti anjuran untuk tidak menanyakan tentang gaji, umur, status, dan yang lainnya yang bersifat pribadi sehingga hal ini dapat menentukan bentuk tuturan yang muncul. Salah satu pembahasan dalam studi pragmatik adalah tindak tutur. Tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin pada tahun 1962 dalam perkuliahannya. Kemudian bahan perkuliahannya tersebut dibukukan menjadi buku dengan judul ‘How to do things with words’. Austin membedakan dua jenis tuturan, yaitu tuturan konstatif dan tuturan performatif. Tuturan konstatif merupakan tuturan yang menyatakan sesuatu dan kebenarannya dapat diuji dengan menggunakan
19
pengetahuan atau berdasarkan kenyataan atau fakta yang ada. Tuturan ini digunakan untuk mengatakan sesuatu yang mengandung nilai benar dan salah (Wijana,
1996:24).
Adapun
tuturan
performatif
adalah
tuturan
yang
pengutaraannya digunakan untuk mengatakan sesuatu. Dalam tuturan performatif tidak mengandung nilai benar atau salah, namun dinyatakan tepat atau tidak tepat. Dalam tuturan performatif, seseorang tidak hanya berkata, namun juga melakukan kegiatan. Searle
mengembangkan
pemikiran
Austin
bahwa
setiap
tuturan
mengandung tindakan. Kemudian Searle (dalam Wijana, 1996:17; Supriyadi, 20011:89) menyatakan bahwa secara pragmatik setidaknya ada tiga jenis tindakan yang mungkin diwujudkan oleh seorang penutur dalam berbahasa, yaitu tindakan untuk mengatakan (locutionary act), tindakan untuk melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan yang mempengaruhi lawan bicara (perlocutionary act). Secara berturut-turut ketiga jenis tindakan itu disebut sebagai the act of saying something, the act of doing something, dan the act of affecting someone. Berdasarkan teori tindak tutur, tindakan ilokusioner merupakan sentral kajian tindak tutur. Searle (1979:12-16; Gunarwan, 1994:85-86) mengelompokkan jenis tindak tutur ilokusioner ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu: refresentatif/asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Penjelasan kelima tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tindak tutur refresentatif adalah tindak tutur yang menunjukkan komitmen penutur terhadap kebenaran proposisi yang diucapkannya. Tindak tutur ini juga disebut asertif. Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur
20
refresentatif/asertif adalah menyatakan,
menyimpulkan, bersumpah,
membuat hipotesis, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, memberi kesaksian, dan sebagainya. 2) Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang menunjukkan upaya penutur mempengaruhi lawan bicara untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur yang termasuk dalam tuturan direktif adalah memaksa, memerintah, meminta, mengundang, menantang, dan sebagainya. 3) Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang menunjukkan sikap psikologis. Tindak tutur ini dilakukan oleh penutur dengan maksud agar penuturnya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam ujaran. Tuturan jenis ini meliputi mengucapkan terima kasih, memuji, menyambut, mengucapkan selamat, mengkritik, mengeluh, dan sebagainya. 4) Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan apa yang disebutkan dalam tuturannya. Tindak tutur komisif meliputi berjanji, mengancam, bersumpah, menakut-nakuti, mengusahakan dan sebagainya. 5) Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan tujuan untuk menciptakan suatu hal (status, keadaan dan sebagainya) yang baru. Tindak tutur deklaratif ini meliputi menyatakan perang, memecat, menikahkan, mengesahkan, mengampuni, membatalkan dan sebagainya. Adapun Yule (2006:92-95) mengelompokkan tindak tutur ilokusioner ke dalam lima jenis, yaitu deklarasi, refresentatif, ekspresif, komisif, dan direktif.
21
1) Deklarasi adalah tindak tutur yang menghasilkan perubahan dalam waktu yang singkat hanya melalui tuturan. 2) Refresentatif adalah tindak tutur yang menyatakan keyakinan penutur benar atau tidak, seperti pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. 3) Ekspresif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. 4) Komisif adalah tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. 5) Direktif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan agar lawan tutur melakukan sesuatu yang dituturkan oleh penutur. Sehubungan dengan hal ini, tindak tutur yang dikaji dalam penelitian ini hanya tindak tutur direktif. Dalam hal ini, tindak tutur direktif memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam. Pembagian tindak tutur direktif berdasarkan maksud dan fungsi pada penelitian ini, berlandaskan pada pembagian tindak tutur direktif menurut Searle (1979:14), Levinson (1983:240), Yule (2006:93), Wijana (2010:97), Rahardi (2005:36). Adapun yang termasuk ke dalam tuturan direktif adalah memerintah (commanding), memesan (ordering), meminta (requesting), menasihati (advising), berdoa (praying), mengundang (inviting), mengizinkan (permit),
membela
(pleading),
memohon
(begging),
merekomendasi
(recommending), Selain itu, Wijana (1996:30-32) menyatakan bahwa tindak tutur dapat berbentuk langsung maupun tidak langsung, dan literal maupun tidak literal. Tindak
22
tutur langsung ditandai dengan modus kalimat yang sesuai, misalnya kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu, kalimat deklaratif berfungsi untuk memberitahukan, dan kalimat imperatif berfungsi untuk menyuruh atau melarang. Sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya, misalnya kalimat tanya digunakan untuk menyuruh, kalimat deklaratif digunakan untuk menawarkan, dan sebagainya. Adapun tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Dalam hal ini, perlu diketahui mengenai pembagian jenis kalimat sebagai landasan dalam penentuan mengenai jenis-jenis tindak tutur yang telah disebutkan di atas. Menurut Wijana (2011:95) kalimat adalah satuan lingual yang diakhiri oleh lagu akhir selesai, baik lagu akhir selesai turun (kalimat berita dan kalimat perintah) maupun lagu akhir naik (kalimat tanya). Adapun penggolongan kalimat berdasarkan situasi didapatkan tiga jenis kalimat, yakni kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Kelimat deklaratif adalah kalimat yang secara formal memiliki ciri diakhiri dengan lagu akhir selesai turun dan secara konvensional digunakan untuk mengungkapkan pemberitaan agar lawan bicaranya menangkap isi pemberitaan tersebut. Kemudian kalimat interogatif adalah kalimat yang secara formal dicirikan dengan lagu akhir selesai naik, dan secara konvensional dituturkan untuk menanyakan sesuatu untuk memperoleh jawaban dari lawan tuturnya. Adapun kalimat imperatif adalah kalimat yang berciri
23
formal diakhiri dengan lagu akhir selesai turun, dan secara konvensional diungkapkan untuk menyuruh seseorang melakukan sesuatu (Wijana, 2011:96-99).
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data pada penelitian ini adalah tuturan-tuturan bahasa Arab dalam film ‘Umar. Adapun objek penelitiannya adalah tuturan-tuturan yang mengandung tindak tutur direktif pada film ‘Umar tersebut. Ada tiga tahap yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis, dan tahap penyajian hasil analisis. Pada tahap penyediaan data, film ‘Umar sebagai sumber data didapatkan dengan cara mengunduhnya di situs www.youtube.com. Setelah itu, tuturan-tuturan yang terdapat dalam film tersebut disimak. Kemudian pengumpulan data yang berupa tuturan yang mengandung tindak tutur direktif dilakukan dengan memperhatikan tuturan-tuturan yang terdapat pada film ‘Umar berdasarkan konteks pada saat tuturan tersebut dituturkan. Setelah itu, tuturan-tuturan tersebut dicatat dengan cara ditranskripsikan dengan menggunakan tulisan Arab kemudian tulisan Arab tersebut ditransliterasikan kepada tulisan Latin berdasarkan pedoman transliterasi yang dikeluarkan oleh Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Setelah itu, data-data tersebut diklasifikasikan berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Data-data yang telah dicatat tersebut akan disajikan sebagaimana contoh data berikut.
24
(6)
اَ ْﻛﺜِﺮُوْ ا ِذ ْﻛ َﺮ ﷲِ و َﺣ ْﻤﺪَه Akṡirū dikrallāhi wa Perbanyaklah dzikir kepada Allah dan ḥamdah wa dkhulu pujian kepada-Nya dan masuklah kalian mutawāḍi’īn lillāh! rendah hati kepada Allah Perbanyaklah mengingat dan memuji Allah dan masuklah dengan merendahkan diri dihadapan-Nya! (Episode 28/18:58/Sa’ad bin Abu Waqash) Konteks:tuturan Sa’ad bin Abu Waqash kepada para prajuritnya ketika akan memasuki istana di Persia. Data yang akan ditampilkan ini adalah data yang berupa tuturan direktif
dengan tulisan Arab pada kolom sebelah kanan, kemudian baris di bawahnya terdapat transliterasi Arab-Latin yang digabungkan dengan terjemahan kataperkata. Setelah itu di bawahnya terdapat terjemahan kontekstual. Adapun tulisan yang terdapat dalam tanda kurung () berisi keterangan tentang episode ke berapa dari film ‘Umar tersebut, waktu tuturan tersebut dituturkan, dan keterangan mengenai siapa penuturnya. Kemudian di bawahnya dikemukakan mengenai konteks tuturan direktifnya. Adapun kolom sebelah kiri merupakan nomor data yang berupa angka. Tahap berikutnya adalah tahap analisis data. Dalam analisis data ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kontekstual, yakni cara-cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhitungkan, dan mengaitkan identitas konteks-konteks yang ada (Rahardi, 2005:16). Dalam hal ini, penafsiran tuturan selalu diawali dengan penyajian konteks. Konteks tuturan pada film ‘Umar tersebut adalah semua aspek di luar bahasa yang melatar belakangi tindak tutur direktif yang dituturkan pada film ‘Umar tersebut. Adapun penyajian
25
analisis data menggunakan metode informal (Sudaryanto, 1993: 145). Dengan metode ini, hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif dengan kata-kata biasa tanpa lambang-lambang. 1.8 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, bab I berisi pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar. Bab III mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi jenis tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar. Bab IV mendeskripsikan fungsi tindak tutur direktif bahasa Arab dalam film ‘Umar, dan Bab V berisi kesimpulan dan saran.