BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Demokrasi merupakan suatu proses dalam pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu negara yang menjalankan sistem politik demokrasi tersebut dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Demokrasi melambangkan bentuk penghormatan yang setinggi-tingginya bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Demokrasi juga berlandaskan pada nilai kebebasan manusia, seperti halnya dalam mengungkapkan pendapat. Salah satu bentuk demokrasi dalam mengungkapkan pendapat tersebut di Indonesia adalah pelaksanaan Pemilihan Umum. Pemilihan Umum atau yang sering disebut banyak orang Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih secara langsung
wakil
dan
pemimpinnya
untuk
menjalankan
pemerintahan.
Penyelenggaraan Pemilu merupakan agenda penting yang di tunggu-tunggu oleh rakyat diseluruh penjuru tanah air, karena salah satunya dapat mempengaruhi kesejahteraan rakyat. Reformasi tahun 1998 merupakan suatu peristiwa terpenting untuk melakukan perubahan tatanan kehidupan kebangsaan, dengan membuka kebebasan bagi setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Bangsa Indonesia telah bertekad dan berkomitmen bahwa masa reformasi adalah untuk melakukan demokrasi, yakni proses demokratisasi sistem politik Indonesia sehingga rakyat dapat bebas
1
bersuara, kedaulatan rakyat dapat kembali ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif. Wujud tercapainya tekad pendemokratisan sistem politik Indonesia pada masa reformasi adalah terselenggaranya Pemilu yang pertama pada tahun 1999, yaitu Pemilihan Umum anggota legislatif. Penyelenggaraan Pemilihan Umum pada tahun 1999 adalah mengacu pada Undang-undang Nomer 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Hasil Pemilu tahun 1999 menurut data KPU, telah memperoleh 462 kursi dari 21 partai. Jumlah kursi tersebut merupakan hasil pemilihan umum yang sepenuhnya belum dipilih oleh rakyat. Hal ini dikarenakan terdapat anggota DPR yang diangkat dari anggota TNI/POLRI, sehingga total kesuluruhan anggota DPR adalah 500 anggota (Budiardjo, 2008: 343). Pelaksanaan Pemilu berlangsung setiap 5 tahun sekali. Setelah Pemilu legislatif tahun 1999, Pemilu terselenggara kembali pada tahun 2004. Pada tahun 2004, Pemilu yang pertama dilakukan adalah Pemilu anggota legislatif DPR, DPRD, dan DPD. Pemilihan DPD merupakan pemilihan untuk lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus yang dimulai tahun 2004. Kemudian disusul dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR). Dasar hukum yang digunakan adalah UndangUndang Republik Indonesia Nomer 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2
Pada prinsipnya penyelenggaraan Pemilihan Umum anggota legislatif pada tahun 1999 dan tahun 2004 merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis. Hanya saja Pemilu pada tahun 2004 merupakan langkah yang lebih demokratis dari Pemilu 1999. Hal tersebut ditunjukkan oleh data KPU bahwa seluruh anggota DPR dipilih melalui Pemilu dan tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat dari anggota TNI/POLRI. Perolehan kursi DPR dari hasil pemilu 2004 tersebut, berjumlah 550 kursi dengan rincian tujuh partai politik yang mendapat kursi terbanyak yaitu Golkar (128 kursi), PDIP (109 kursi), PPP (58 kursi), Partai Demokrat (57 kursi), PAN (52 kursi) dan PKB (52 kursi) (Budiardjo, 2008: 343). Adapun hal lain yang membuat sedikit perbedaan antara pemilu anggota legislatif (DPR dan DPRD) tahun 1999 dan 2004, yaitu sistem pemilihan umum. Pada tahun 2004 adalah menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Artinya yaitu pemilih atau rakyat dapat memilih partai sekaligus nama calon anggota legislatif (DPR dan DPRD) yang dipublikasikan di saat pemilihan berlangsung. Sementara Pemilu tahun 1999 menggunakan sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar tertutup, yaitu pemilih atau rakyat hanya memilih gambar partai (bukan wakilnya), daftar calon legislatif tidak dipublikasikan di saat pemilihan (Amal, 2006: 36). Pelaksanaan Pemilu dengan menggunakan sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka tersebut juga seperti halnya dilakukan pada pemilu 2009 dan 2014. Dasar hukum yang melandasinya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
3
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perjalanan proses pemilu dari periode ke periode menuju demokratis tentunya telah memberikan kesempatan yang besar bagi rakyat untuk mengeluarkan pendapatnya dengan menentukan siapa calon legislatif yang akan duduk di parlemen. Adanya sistem Pemilihan Umum terbaru dengan memberikan daftar nama caleg yang ada juga akan memberikan dampak positif (keuntungan) bagi rakyat. Masing-masing orang dapat selektif memilih langsung sosok atau figur yang diusung dalam masing-masing partai yang menurutnya paling baik. Dipemilihan Umum sebelumnya pemilih tidak mengetahui pasti sosok atau figur siapa yang akan menjadi wakil rakyat, karena hanya dapat memilih partai tanpa mengetahui pasti siapa yang dipilihnya saat pemilihan umum berlangsung. Terselenggaranya Pemilu legislatif (DPR dan DPRD) dengan sistem pemilu daftar terbuka, disamping berpengaruh besar pada teliti dan kritisnya rakyat dalam memilih caleg, juga akan berpengaruh pada semangat persaingan yang tinggi bagi caleg. Tidak hanya antar partai tetapi juga antar caleg dalam satu partai. Para caleg akan berlomba-lomba agar dipilih rakyat sehingga mendapatkan kursi diparlemen dengan menggunakan berbagai strategi. Strategi yang biasanya digunakan para caleg dalam elektoral atau pemilihan adalah dengan menggunakan modal politik, modal ekonomi, dan modal sosial. Penjelasan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh (Marijan, 2006: 85) bahwa calon yang sukses biasanya berangkat
4
dari akumulasi sejumlah modal, yaitu yang berkaitan dengan modal politik, modal ekonomi dan modal sosial. Hal ini berarti strategi dengan menggunakan modal politik, modal ekonomi, dan modal sosial dapat mempengaruhi seorang caleg sukses terpilih dengan memperoleh banyak dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, apabila semakin besar akumulasi modal yang dimiliki oleh seorang caleg maka semakin besar pula dukungan suara yang diperoleh. Strategi dengan menggunakan modal politik berarti upaya mendapatkan dukungan politik, baik dari rakyat maupun dari kekuatan-kekuatan politik (partai) yang dipandang sebagai representasi dari rakyat. Modal politik ini sangat penting karena Pemilu legilatif (DPR dan DPRD) dalam proses pencalonannya termasuk dilaksanakan dengan mekanisme “party system”, artinya harus melalui pintu partai politik (Marijan, 2006: 85). Partai Politik bisa berfungsi sebagai mesin politik dalam menggalang dukungan karena kepengurusan partai, khususnya partai-partai besar, biasa menjangkau tingkatan paling bawah (Marijan, 2006: 100). Sementara terkait strategi dengan menggunakan modal ekonomi, modal ini merupakan modal yang juga berperan penting, karena para caleg untuk berusaha mendekati pemilih dengan membangun jejaring melalui media iklan, baliho, spanduk, poster juga memerlukan biaya. Namun, biaya tersebut kalah besarnya dengan biaya yang berkaitan dengan transaksi untuk memperoleh dukungan. Hal ini dikarenakan juga terdapat berbagai macam karakter dari pemilih, salah satunya adalah pemilih yang mempertimbangkan perolehan-perolehan material berupa
5
uang, sembako, barang dan lain-lain dari para caleg dan kemudian menukarnya dengan suara pilihannya (Marijan, 2010: 277). Selain menggunakan modal politik dan modal ekonomi, strategi yang sering digunakan oleh para caleg untuk menggalang dukungan masyarakat adalah dengan menggunakan modal sosial. Strategi ini tidak kalah besar dengan strategi yang menggunakan modal ekonomi dalam proses memperoleh dukungan dari rakyat. Hal ini dikarenakan strategi dengan menggunakan modal sosial dapat dijadikan alat tukar untuk memperoleh suara dari rakyat dengan karakter pemilih yang mengutamakan hubungan sosial. Penjelasan tersebut telah dijelaskan oleh Bourdieu dalam buku John Field (2010: 23) bahwa modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat: modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik. Berdasarkan hasil penelitian PuSDeHAM Surabaya telah menunjukkan bahwa pengaruh uang (modal ekonomi) dalam Pilkada tidak terlalu besar, ada pada kisaran 10-20%. Artinya, betapapun dahsyatnya strategi dalam money politic tidak berpengaruh signifikan terhadap pilihan para pemilih. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan apabila dalam pemilu legislatif strategi modal ekonomi juga tidak terlalu berpengaruh besar pada pilihan para pemilih (Marijan, 2006: 94). Menurut (Marijan, 2006: 96) bahwa calon yang akan berpeluang terpilih apabila ditopang oleh trah geneologis, yakni memiliki ikatan darah yang kuat dengan tokoh-tokoh masyarakat, alim ulama atau putra daerah.
6
Sesuai penjelasan di atas, terpilihnya anggota legislatif (DPR dan DPRD) baik pusat maupun daerah mempunyai peluang besar untuk menang dengan menggunakan strategi modal sosial dan juga yang ditopang trah geneologis. Salah satu Pemilihan Umum anggota legislatif yang menggunakan strategi modal sosial dan telah ditopang trah geneologis adalah Pemilihan anggota DPRD yang ada di Kabupaten Bojonegoro, yaitu lebih tepatnya pada Daerah Pemilihan 3. Pemilihan anggota legislatif (DPRD) yang ada pada Dapil 3 ini salah satu calegnya bernama Elvita Tri Ardiyanti. Elvita merupakan peserta Pemilu dari partai Golongan Karya dengan nomor urut calon 2 (dua). Pada Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Bojonegoro Daerah Pemilihan 3 Tahun 2014, strategi modal sosial yang notabene memiliki peluang lebih besar di Pemilukada ternyata digunakan oleh Elvita tidak memperoleh kursi di DPRD Kabupaten Bojonegoro atau dapat dikatakan kalah. Hal ini dikarenakan partai Golongan Karya di Dapil 3 hanya mendapatkan 1 kursi, dan caleg yang bernama M. Nasuka mendapatkan suara lebih banyak dari Elvita. Caleg laki-laki tersebut adalah calon legislatif dari partai Golkar dengan nomor urut 3 yang berasal dari Kecamatan Malo yang bukan termasuk kawasan Daerah Pemilihan 3, tetapi termasuk kawasan Daerah Dapil 5 atau dapat dikatakan bukan putra daerah. Kekalahan Elvita tersebut dapat dilihat dari rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Dapil 3 Tahun 2014 dari KPU Bojonegoro, bahwa Elvita memperoleh 3250 total suara, sedangkan Nasuka memperoleh total 3601 total suara.
7
Pemilihan Umum legislatif (DPR dan DPRD) merupakan seperti halnya pertarungan, dimana ada pemenang dan ada yang harus menerima kekalahan. Kemenangan ataupun kekalahan dalam elektoral adalah sangat bergantung pada strategi yang digunakan oleh masing-masing caleg. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana strategi Elvita dalam elektoral, sehingga penelitian ini diberi judul: “Kekalahan Calon Legislatif dan Strategi Modal Sosial (Studi pada Strategi Elvita dalam Elektoral di Dapil 03 Bojonegoro) ”. B. Rumusan Masalah Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi yang dilakukan Elvita dalam proses elektoral? C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana strategi modal sosial digunakan oleh caleg dalam elektoral. 2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi gagalnya caleg dalam membangun dan memanfaatkan modal sosial.
8