BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumber daya alam tersebut merupakan anugerah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada Bangsa
Indonesia.
Bangsa
Indonesia
mempunyai
kewajiban
untuk
memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam tersebut secara optimal demi tercapainya cita-cita bangsa. Cita-cita Bangsa Indonesia tercantum dalam alenia 4 (empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Upaya
mewujudkan
cita-cita
bangsa,
dapat
dilakukan
melalui
pembangunan nasional. Salah satunya dengan pembangunan ekonomi. Melalui pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat secara adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diwujudkan. Pelaksanaan pembangunan ekonomi itu bukan semata-mata merupakan tanggung jawab pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab
1
2
masyarakat. Oleh karena itu pemerintah dan masyarakat harus bersinergi untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia tersebut. Meningkatnya kegiatan pembangunan ekonomi, berarti akan meningkat pula kegiatan pendanaan. Hal tersebut dikarenakan kegiatan ekonomi pada umumnya membutuhkan dana yang relatif besar. Selain itu dana merupakan faktor yang sangat penting dalam menyelenggarakan kegiatan ekonomi di samping faktor modal dasar yang lain, seperti tenaga kerja dan sumber alam. Pada kenyataannya pemenuhan kebutuhan akan dana modal tidaklah mudah, karena membutuhkan prosedur dan jaminan yang rumit. Salah satu cara yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi di dalam menyediakan dana untuk menunjang usahanya dilakukan dengan menggunakan fasilitas perkreditan1. Bank sebagai penyedia dana memberikan fasilitas kredit untuk kegiatan ekonomi. Bank menyalurkan pemberian kredit kepada debitur (nasabah) dengan memperhatikan beberapa faktor sebagai penilaian kelayakannya. Salah satu faktor yaitu berupa penilaian tentang adanya jaminan. Bagi pemberi kredit (kreditur), jaminan merupakan hal yang sangat penting demi keamanan pengembalian dana yang telah diberikan kepada debitur serta kepastian hukumnya. Tanah merupakan salah satu alternatif yang biasa digunakan untuk dijadikan jaminan/agunan oleh debitur dalam perjanjian kredit. Tanah yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit akan dibebani Hak Tanggungan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
1
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, hlm. 2.
3
Agaria (UUPA) menetapkan beberapa hak atas tanah dapat digunakan sebagai jaminan utang dengan pembebanan Hak Tanggungan. Beberapa hak atas tanah tersebut adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan. Pasal 25 UUPA menyatakan : “Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan”. Pasal 33 UUPA juga menyebutkan : “Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebankan Hak Tanggungan”. Sedangkan dalam Pasal 39 UUPA menyebutkan bahwa : “Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebankan Hak Tanggungan”. Ketentuan mengenai Hak Tanggungan diatur secara tersendiri dengan Undang-Undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 51 UUPA yaitu : “Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undangundang”. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 51 UUPA, maka pada tanggal 9 April 1996 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). UUHT merupakan suatu jawaban dari adanya unifikasi dalam lembaga jaminan yang ada di Indonesia karena Undang-Undang ini telah disesuaikan dengan perkembangan keadaan dan mengatur berbagai hal baru yang berkenaan dengan lembaga Hak Tanggungan yang mana cakupannya meliputi: 1. Obyek Hak Tanggungan,
4
2. Pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, 3. Tata cara pemberian, pendaftaran, peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan, 4. Eksekusi Hak Tanggungan, 5. Pencoretan Hak Tanggungan, 6. Sanksi administrasi. Sejak berlakunya UUHT, peraturan mengenai credietverband (yang diatur dalam Staatblad 1908-542 jo Staatblad 1909-586 dan Staatblad 1909-584 dengan segala perubahannya) dan mengenai hypotheek yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai pembebanan hak atas tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Berlakunya UUHT menyebabkan timbulnya unifikasi hukum jaminan/tanggungan hak atas tanah yang berlaku di seluruh wilayah Negara Indonesia, sehingga segala sesuatu mengenai penjaminan hak atas tanah menggunakan dasar hukum yang sama yaitu UUHT. Pemberian jaminan dengan Hak Tanggungan diberikan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang didahului dan/atau dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) merupakan bagian yang terpisahkan dari perjanjian kredit. Perjanjian kredit berkedudukan sebagai perjanjian pokoknya, artinya merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya. Perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan bukan merupakan hak jaminan yang lahir karena Undang-Undang melainkan lahir karena harus diperjanjikan
5
terlebih dahulu antar bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur. Oleh karena itu secara yuridis pengikataan jaminan Hak Tanggungan lebih bersifat khusus jika dibandingkan dengan jaminan yang lahir berdasarkan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 13 UUHT ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga, yaitu sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 13 UUHT 2. Bagi pemberi Hak Tanggungan yang telah melunasi kewajibannya kepada pemegang Hak Tanggungan, maka dilakukan pencoretan atas obyek Hak Tanggungan yang dibebankan. Pasal 22 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa : “Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada bukutanah hak atas tanah dan sertipikatnya”. Sesuai dengan UUHT maka Hak Tanggungan yang dibebankan tidak dapat dibagi-bagi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) UUHT. Maksudnya bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh terhadap obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian dari padanya. 2
ST. Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi oleh Perbankan (suatu kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), edisi kedua, Alumni, Bandung, hlm. 43-44.
6
Telah dilunasinya sebagian utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dibayar sebagaimana yang diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHT 3. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) UUHT, maka dengan sendirinya Roya Partial tidak bisa dilakukan terhadap Hak Tanggungan. Adanya keadaan ini dengan sendirinya akan membuat kesulitan bagi pihak debitur, karena mereka baru bisa memiliki hak mereka setelah semua utangnya yang dijamin dengan Hak Tanggungan telah selesai dibayarkan atau dilunasi. Jika belum dilunasi semuanya maka jaminan atau obyek Hak Tanggungan belum bisa menjadi milik debitur. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUHT, maka dapat diketahui bahwa sifat yang tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT, mendapat pengecualian yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 2 ayat (2) UUHT. Pengecualian tersebut adalah bahwa sifat yang tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi apabila para pihak menginginkan hal yang demikian yaitu dengan memperjanjikannya dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Namun penyimpangan itu hanya dapat dilakukan sepanjang : 1. Hak Tanggungan itu dibebankan kepada beberapa hak atas tanah 2. Pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi4. 3 4
Ibid, hlm. 21-22. Ibid, hlm. 22.
7
Pendapat yang sama tentang kemungkinan pelaksanaan Roya Partial dalam Hak Tanggungan juga
diungkapkan oleh Boedi Harsono yang
menyatakan : Untuk kepentingan pemberi Hak Tanggungan (debitur) dapat diperjanjikan dan disebutkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan bahwa pelunasan utang yang dijaminkan dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing satuan yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan tersebut. Bagian yang bersangkutan akan terbebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya dan Hak Tanggungan tersebut selanjutnya hanya membebani sisa obyeknya untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasinya, pengecualian ini disebut Roya Partial5. Ketentuan lain yang mengatur mengenai Roya Partial yaitu Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dalam Pasal 124 yang menyatakan bahwa: (1) Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian obyek Hak Tanggungan dapat dilakukan berdasarkan pelunasan sebagian utang yang dijamin, dengan ketentuan bahwa : a. obyek Hak Tanggungan terdiri dari beberapa hak, dan b. kemungkinan hapusnya sebagian Hak Tanggungan karena pelunasan sebagian utang tersebut diperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. (2) Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian obyek Hak Tanggungan juga dapat dilakukan walaupun tidak memenuhi ketentuan ayat (1) berdasarkan pelepasan Hak Tanggungan atas sebagian obyek Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan yang dituangkan dalam akta otentik atau surat pernyataan di bawah tangan dengan mencantumkan secara jelas bagian dari obyek Hak Tanggungan yang dibebaskan dari beban Hak Tanggungan. Dengan dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan yang bersangkutan lahir dan krediturnya menjadi kreditur pemegang Hak Tanggungan dengan mendahulukan kreditur-kreditur lainnya. Tanggal kelahiran Hak Tanggungan ialah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dn 5
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 413.
8
jika hari ketujuh itu jatuh tempo pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari berikutnya, hal ini sebagai pemenuhan asas publisitas yang pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk pendaftaran di Kantor Pertanahan6. Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut, bahwa Hak Tanggungan dapat hapus sebagian (dapat dilaksanakan Roya Partial) terhadap obyek Hak Tanggungan. Hal itu disebabkan karena adanya pelunasan sebagian utang dari pemberi Hak Tanggungan, meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya secara jelas bagian dari obyek Hak Tanggungan yang dibebaskan dari beban Hak Tanggungan tersebut, baik dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan. Tentunya hal ini bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUHT yang mengisyaratkan bahwa pelunasan utang sebagian (Roya Partial) dapat dilakukan apabila telah dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Adanya 2 (dua) aturan hukum yang saling bertentangan mengenai pelaksanaan Roya Partial ini, dapat menimbulkan permasalahan hukum. Hal demikian yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian di Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta.
6
J. Satrio, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya, Bandung, hlm. 143.
9
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dalam pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta, maka dapat ditemukan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan Roya Partial yang tidak dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)? 2. Bagaimana kebijakan yang diambil Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta untuk melaksanakan Roya Partial terkait adanya peraturan perundangan yang saling bertentangan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan Roya Partial yang tidak dinyatakan secara tegas dalam APHT. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan yang diambil oleh Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta dalam melaksanakan Roya Partial terkait adanya peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil
penelusuran kepustakaan, peneliti menemukan
penelitian dengan topik kajian yang hampir sama mengenai Roya Partial terhadap Hak Tanggungan. Penelitian Tesis yang ditulis oleh Lidiwanto, program studi S-2 Magister Kenotariatan UGM. Judul tesisnya yaitu “Pengaruh Penerapan Roya Partial Terhadap Hak Tanggungan Pada Pengembang Yang Menerima Kredit Konstruksi”.
10
Intisari penulisan tersebut, dilakukan dengan tujuan : 1. Untuk mengetahui pembebanan hak tanggungan atas tanah milik pengembang yang menerima kredit konstruksi 2. Untuk mengetahui pelaksanaan Roya Partial terhadap tanah pengembang yang dibebani hak tanggungan bila unit bangunan telah dibayar lunas oleh pembeli, dan 3. Untuk mengetahui pengaruh penerapan Roya Partial terhadap Hak Tanggungan pada pengembang yang menerima kredit konstruksi. Hasil penelitiannya adalah bahwa dalam proses pembelian rumah, pembeli/konsumen dapat melakukan pembayaran cara tunai/cash atau Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari bank, kepada konsumen yang membeli rumah secara tunai, dengan sertipikat yang sedang dalam jaminan kredit konstruksi, tentunya harus mendapat perlindungan hak yang memadai. Untuk itu pihak pengembang harus melakukan pemecahan sertipikat induk menjadi sertipikat per unit rumah ke atas nama pembeli. Dalam hal sertipikat terbebani hak tanggungan, maka pemecahan sertipikat per unit atas nama pembeli, harus melaui roya partial. Secara teoritik roya partial merupakan pengesampingan dari asas hak tanggungan yang mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 UUHT) dan sekaligus merupakan bentuk penerobosan dari sifat tertutup hukum benda, yang prinsipnya tidak memperbolehkan suatu perbuatan hukum diluar dari ketentuan yang telah diatur dalam perundangundangan. Penyimpangan ini dilakukan dalam rangka mengakomodasi perkembangan
kebutuhan
dunia
bisnis
dan
perkreditan.
Untuk
11
mengoptimalkan proses roya partial, maka penataan sistem pelayanan yang efektif, cepat, terpadu dan adanya dukungan pengawasan serta sanksi yang tegas dan konsisten mutlak diperlukan. Berbeda dengan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini meneliti mengenai bagaimana pelaksanaan Roya Partial terhadap Hak Tanggungan yang tidak dinyatakan secara tegas dalam APHT. Selain itu juga meneliti mengenai kebijakan Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta dalam melaksanakan Roya Partial terkait dengan adanya peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pertanahan dan hukum jaminan yang berhubungan dengan pengaaturan-pengaturan
mengenai
Roya
Partial
dengan
segala
permasalahannya. 2. Secara Praktis a. Merupakan masukan bagi pembuat undang-undang/pemerintah, karena akan mengetahui secara jelas mengenai kekurangan dan kelemahan
terhadap
ketentuan-ketentuan
yang
mengatur
mengenai Roya Partial. b. Memberikan pengertian dan pemahaman yang lebih mendasar terhadap pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan Akta
12
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam hubungannya dengan pelaksanaan Roya Partial, terutama Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kreditur maupun debitur atau pemberi jaminan dan petugas yang terkait dengan tugasnya untuk melaksanakan Roya Hak Tanggungan.