BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan bahwa : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat”. Secara historis, penormaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 seperti itu berawal pada saat R.Soepomo melontarkan idenya di depan BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Pada akhir pidatonya tentang negara integralistik, beliau antara lain menyatakan bahwa : 1 Sekarang tentang perhubungan antara negara dan perekonomian. Dalam negara yang berdasar integralistik, yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara” (staats socialisme). Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan tetapi pada hakekatnya negara yang akan menentukan di mana dan di masa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan kepada suatu badan hukum privat atau kepada seseorang, itu semua tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan rakyat seluruhnya. Dalam negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan sekarang, perusahaan-perusahaan sebagai lalulintas, electriciteit, perusahaan alas rimba harus diurus oleh negara sendiri. Begitupun tentang hal tanah, pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani.
1
Soepomo, R., 1963, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Gita Karya Kebon Sirih, Jakarta. Hal. 3.
1
Lebih lanjut implementasinya diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara 1960 Nomor 104) yang selanjutnya disebut UUPA. Mengingat UUPA hanya mengatur hal-hal pokok di bidang agraria, maka berbagai bentuk peraturan pelaksanaannya tersebar dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden dan Peraturan yang diterbitkan oleh pimpinan instansi teknis di bidang pertanahan. Kewenangan Pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan khususnya di bidang lalu lintas hukum dan pemanfaatan tanah, didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan tanah dan juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah. Dengan ketentuan tersebut Pemerintah telah diberi kewenangan untuk membuat
peraturan
(bestemming)
dalam
lapangan hukum
tanah, serta
menyelenggarakan aturan tersebut (execution) yang menyangkut subjek, objek dan hubungan hukum antara subjek dan objek tersebut sepanjang mengenai bidang pertanahan.2 Sejalan dengan itu Maria S.W. Sumardjono menyebutkan bahwa kewenangan negara untuk mengatur dalam lapangan hukum tanah dibatasi
2
Moh. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, Hal. 1
oleh UUD 1945 karena hal-hal yang diatur tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia3. Pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah diatur pada Pasal 4 UUPA. Ketentuan tersebut mengatur adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara (pemerintah) kepada dan dipunyai oleh subjek hak yaitu orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum dengan kewenangan untuk mempergunakan tanah tersebut sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas yang ditentukan oleh peraturan perundangan. Sebagai perbandingan, dalam istilah yang digunakan oleh Department of Land Affairs (DLA) dari Republik Afrika Selatan (RAS) yang dijumpai dalam White Paper on South African and Policy, maka terhadap tanah-tanah yang sudah dipunyai perorangan maupun kelompok oleh negara hanya bersifat nominal.4 Dalam hal ini hak-hak atas tanah yang diberikan kepada subjek hukum yaitu orang atau badan hukum yang dipersamakan dengan orang adalah hak-hak atas tanah yang bersifat keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang menyebutkan : Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah : a. hak milik, b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, 3
Maria S.W. Sumardjono,1998, “Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hal 6. (Selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono I) 4 Maria SW. Sumardjono, 2010, Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat, Bagian Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal.19. (Selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono II)
d. e. f. g. h.
hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Apabila subjek haknya badan hukum publik maka hak dan kewenangan
serta penguasaannya harus hak atas tanah yang sifatnya publik juga, seperti Negara dengan Hak Menguasai negara, atau bila badan hukum negara dapat juga diberikan dengan Hak Pakai Khusus atau Hak Pengelolaan. Oleh karena itu tidaklah pada tempatnya memberikan Hak Pengelolaan kepada orang-seorang, karena demikianlah ketentuannya, maka negara mengatur kepemilikan dan penggunaan atas sumber daya agraria, sehingga dikenal Hukum Agraria yang materinya menyangkut bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, disamping Hukum Tanah (khusus menyangkut tanah saja). Pengaturan dalam hal hubungan-hubungan hukum terutama dalam pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah jelas merupakan wewenang negara yang dilaksanakan oleh pemerintah (untuk saat ini pengemban wewenang tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional) dengan prosedur yang ditentukan dalam peraturan perundangan. Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut BPN) melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia sesuai dengan amanat dari Pasal 19 ayat (1) UUPA. Ruang lingkup pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (2) UUPA meliputi pengukuran, pemetaaan, dan pembukuan tanah. Pendaftaran tanah
bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Terselenggaranya pendaftaran tanah memungkinkan bagi para pemegang hak untuk membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Pendaftaran tanah di Indonesia pada awalnya diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Namun seiring dengan berjalannya waktu peraturan ini dianggap belum maksimal dan masih memiliki beberapa kekurangan. Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan di dalam peraturan ini maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Adapun tujuan pendaftaran tanah adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA yakni untuk memberikan kepastian hukum bagi si pemilik atau yang menguasai tanah, terkait dengan kepastian objek, subjek dan hak atas tanahnya. Kepastian hukum atas pendaftaran tanah tersebut dibuktikan dengan diterbitkannya sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah: ”Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk penerbitan surat tanda bukti hak (sertipikat) bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Adapun yang menjadi tujuan pendaftaran tanah adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Selanjutnya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk menyediakan informasi kepada pihakpihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan jika terjadi perubahan data fisik dan data yuridis yang disebabkan karena perbuatan hukum, ataupun peristiwa hukum tertentu mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang telah terdaftar. Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, pemerintah menyelenggarakan berbagai fungsi diluar penyelenggaraan pemerintah. Fungsi tersebut menuntut pemerintah terlibat dalam pergaulan kemasyarakatan sebagai pihak atau subyek hukum yang tidak berbeda dengan subyek hukum perorangan atau badan hukum keperdataan pada umumnya. Hubungan (hukum) kesederajatan ini, merupakan hubungan keperdataan antara satuan pemerintahan dengan orang atau badan hukum keperdataan, yang timbul dari berbagai tindakan keperdataan seperti : membuat perjanjian, mendidirikan badan keperdataan.5 Sejalan dengan tujuan pendaftaran tanah tersebut, maka diperlukan adanya peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Menurut Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, peralihan dan pembebanan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang 5
Bagir Manan, 1997, “Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Dapat Dilakukan Oleh Pemerintah Daerah”, Makalah, pada Lokakarya dan Rapat Kerja Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga, DEPDAGRI, Jakarta, 24 Maret 1997, Hal. 2.
ditunjuk menteri yang dalam hal ini Pemerintah membentuk jabatan baru, yang diberi kewenangan khusus untuk membuat akta dibidang pertanahan. Mengenai siapa pejabat umum yang berwenang membuat akta, termasuk akta tentang tanah, hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Kewenangan Notaris untuk membuat akta-akta, termasuk akta dibidang pertanahan, kemudian direduksi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3756 (selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998). Dalam Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa : PPAT bertugas pokok melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Pasal 2 ayat (2) yang berhubungan dengan jenis-jenis perbuatan hukum dalam pendaftaran tanah menentukan bahwa : Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Jual Beli; b. Tukar Menukar; c. Hibah; d. Pemasukan ke dalam Perusahaan; e. Pembagian Hak Bersama; f. Pemberian Hak Tanggungan; g. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik; h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Secara lebih terperinci mengenai jenis dan bentuk akta-akta tanah disebutkan dalam Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkabadan No. 3 Tahun 1997), yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h.
Akta Jual Beli; Akta Tukar Menukar; Akta Hibah; Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan; Akta Pembagian Hak Bersama; Akta Pemberian Hak Tanggungan Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Keseluruhan jenis-jenis akta yang disebutkan di atas, maka (a) Akta Jual
Beli, (b) Akta Tukar Menukar, (c) Akta Hibah, (d) Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan, (e) Akta Pembagian Hak Bersama termasuk jenis akta peralihan hak atas tanah dan (f) Akta Pemberian Hak Tanggungan, (g) Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik, (h) Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik termasuk jenis akta pembebanan hak atas tanah. Demikian juga dengan Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dibuat oleh PPAT pada dasarnya dimaksudkan sebagai akta pembebanan hak atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan hutang. Mengenai bentuk-bentuk akta-akta tanah telah ditentukan secara seragam berupa formulir akta-akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah disediakan oleh pemerintah (BPN). Pembuatan akta-akta tanah untuk 8 (delapan) jenis transaksi mengenai tanah tersebut harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai bentuk yang telah ditentukan oleh BPN. Ini berarti PPAT dilarang membuat akta transaksi tanah dengan bentuk tersendiri yang menyimpang dari formulir yang disediakan oleh BPN. Apabila PPAT membuat akta tanah tanpa menggunakan formulir yang sudah disediakan, maka terhadap peralihan hak,
pemindahan hak atau pembebanan hak atas tanah tersebut tidak dapat didaftarkan ke kantor BPN atau Kantor Pertanahan. Secara yuridis akta-akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah yang dibuat dihadapan PPAT dengan tidak menggunakan formulir resmi tetap sah dan perjanjian atau transaksi tersebut juga sah asal memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hanya saja transaksi tanah tersebut tidak dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat, karena hal tersebut dilarang oleh Perkabadan Nomor 3 Tahun 1997 (Pasal 96 ayat (2) dan (3)). Ketentuan ini menimbulkan ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan PPAT sebagai pejabat umum dengan keberadaan dan ketersediaan blanko akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah yang akan dibuat dihadapan PPAT. Kondisi tersebut menjadi semakin nyata setelah BPN mengeluarkan Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tentang Blanko Akta PPAT, tertanggal 13 Juli 2003, yang menyatakan bahwa : “….apabila di daerah saudara terdapat kelangkaan blanko akta PPAT tertentu agar saudara segera menerbitkan fotocopy akta yang disahkan sebagaimana surat kami tersebut di atas. Pada halaman pertama akta sebelah kiri atas ditulis Disahkan Penggunaannya dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas setiap halaman”. Berdasarkan ketentuan dalam surat tersebut memberikan kewenangan kepada Kantor Wilayah BPN dalam menghadapi keadaan mendesak seperti dalam menghadapi kelangkaan dan kekurangan blangko akta PPAT, untuk membuat fotocopy blangko akta PPAT sebagai ganti blanko akta PPAT yang dicetak, dengan syarat pada halaman pertama setiap fotocopy blanko akta itu, pada sebelah
kiri atas ditulis “disahkan penggunaannya” dan ditandatangani Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi atau pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap halaman. Sejalan dengan hal tersebut terbitnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dapat menjadi solusi untuk mengatasi kelangkaan blanko tersebut. Secara substantif Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 mengatur bahwa penyiapan dan pembuatan akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah dilakukan oleh masingmasing PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Dikaji dari konsep wewenang Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 telah terjadi pengalihan kewenangan tentang penyiapan dan pembuatan blanko akta PPAT dari semula disiapkan oleh Kantor Badan Pertanahan didelegasikan kepada PPAT yang bersangkutan. Pengalihan kewenangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kembali kelangkaan blanko akta yang pernah terjadi, efisiensi anggaran karena pengadaan blanko akta PPAT yang disiapkan oleh BPN selama ini menggunakan sumber biaya dari APBN, serta sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Berlakunya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 telah mendapat tanggapan positif dari para PPAT
namun demikian pendelegasian pengisian dan pembuatan akta PPAT masih tetap merujuk pada rambu-rambu sebagai pedoman tata cara pengisian sebagaimana diatur di dalam lampiran perkabadan dimaksud. Ini berarti pendelegasian wewenang dari Badan Pertanahan Nasional kepada Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) masih bersifat terbatas. Secara substantif Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Desember 2012 khususnya pada Pasal II ayat (1) huruf b menyebutkan sebagai berikut : “Blanko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang masih tersedia di Kantor Badan Pertanahan Nasional atau masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara, Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus, apabila Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak menggunakan lagi, wajib dikembalikan ke kantor pertanahan setempat paling lambat 31 Maret 2013”. Penegasan pemberlakuan Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tersebut dituangkan dalam bentuk Surat Sekretaris Utama BPN RI Nomor 859/7.1-100/III/2013 tentang Penyampaian Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 yang ditandatangani oleh Sekretaris Utama BPN dan ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan di seluruh Indonesia pada tanggal 6 Maret 2013 yang menyebutkan pada butir 3 bahwa : “Blanko akta PPAT yang masih tersedia masih dapat digunakan oleh PPAT sampai dengan tanggal 31 Maret 2013, sehingga per tanggal 1 April 2013 akta PPAT yang dapat diterima pada kantor pertanahan adalah akta PPAT yang sesuai dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012”. Setelah beberapa lama berlangsung pemberlakuan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 telah menimbulkan persoalan baru khususnya bagi para PPAT pada daerah tertentu atau
para Camat yang karena jabatannya ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Persoalan tersebut yakni kesiapan menggunakan teknologi komputer yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan cara sebelumnya yang serba manual dan pembuatan akta PPAT tidak lebih dari kegiatan pengisian form pada formulir blanko yang telah disediakan oleh BPN. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya Revisi Surat Pengantar Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 tertanggal 25 Juli 2013, yang mana di dalam Revisi tersebut pada point ke-6 menyebutkan bahwa : Atas permintaan beberapa Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan mengingat kondisi wilayah dan ketersediaan sarana dan prasarana yang terbatas, maka sepanjang Blanko Akta PPAT masih tersedia, maka Blanko Akta yang disediakan oleh BPN tersebut masih dapat dipergunakan. Perkembangan penggunaan kembali blanko akta PPAT berdasar Surat Edaran Sestama dipertegas kembali berdasarkan hasil laporan tindak lanjut Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan Surat Sekretaris Utama No.1490/5.30-100/IV/2014, tanggal 16 April 2014 mengenai validasi data stok Blanko Akta PPAT yang menyebutkan bahwa ada banyak Blanko Akta PPAT di unit-unit kerja di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Kondisi tersebut semakin memperkuat keinginan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk memberlakukan dan wajib menggunakan Blanko Akta PPAT yang lama hingga persediaannya habis. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya kembali Surat Edaran Sestama No.465/5.31-100/I/2015, tanggal 29 Januari 2015 perihal Pemanfaatan Blanko Akta PPAT.
Isu hukum dari Surat Sestama adalah kekuatan hukum sebuah Surat Edaran Nomor 465/5-31-100-/I/2015 tertanggal 29 Januari 2015 yang ditandatangani Sestama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI terhadap Perkaban Nomor 8 tahun 2012. Bagi para PPAT pertanyaannya adalah haruskah melaksanakan penggunaan blanko akta PPAT yang sesuai surat edaran Sestama, atau harus tetap melaksanakan Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 ? Dikaji dari sudut pandang hierarkhi perundang-undangan sangat jelas menentukan bahwa surat edaran itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012. Kondisi ini memunculkan keraguan dikalangan PPAT atas penggunaan kembali blanko akta PPAT berdasarkan surat Sestama terkait dengan dampak hukum dikemudian hari atas penggunaan blanko akta PPAT yang sudah dibatalkan oleh Perkaban Nomor 8 Tahun 2012, Ketentuan sebagaimana telah diuraikan di atas, telah terjadi dualisme tentang penyiapan dan pembuatan blanko akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah, di mana pada satu sisi masih diperkenankannya menggunakan blanko yang dicetak dan dikeluarkan oleh BPN seperti sebelum berlakunya Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 dan pada sisi lain penyiapan dan pembuatan blanko PPAT dibuat sendiri oleh PPAT yang bersangkutan. Adanya perbedaan pengaturan tentang pembuatan akta PPAT menunjukkan bahwa telah terjadi sikap yang tidak konsisten diantara para pengampu kebijakan pada Kantor badan Pertanahan. Revisi Surat Pengantar Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun
2012 tertanggal 25 Juli 2013 jo Surat Edaran Nomor 465/5-31-100-/I/2015 tertanggal 29 Januari 2015 tersebut, justru kembali mementahkan harapan berlakunya Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012. Meminjam istilah Herowati Poesoko dalam salah satu tulisannya yang berjudul : Dinamika Hukum Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, kondisi yang demikian disebut dengan istilah in-konsistensi.6 Adanya inkonsistensi tersebut harus segera diatasi agar mencerminkan kepastian, khususnya bagi para pihak yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan/atau pembebanan hak atas tanah, serta bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kondisi ini telah menimbulkan inkonsistensi norma antara ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 dengan yang diatur di dalam Revisi Surat Sekretaris Utama jo Surat Edaran Sekretaris Utama Nomor 465/5-31-100-/I/2015 BPN RI tertanggal 29 Januari 2015. Sejalan dengan hal tersebut M. Isnaeni berpendapat kalau dalam diri aturan perundang-undangan itu tidak dialiri arus konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit sekali untuk mengharapkan lahirnya kepastian hukum dari rahim aturan seperti itu.7 Inkonsistensi norma yang diatur di dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 dengan yang diatur di dalam Revisi Surat Sekretaris Utama jo Surat Edaran Sekretaris Utama BPN RI Nomor 465/5-31100-/I/2015 tertanggal 29 Januari 2015 membawa dampak terhadap penggunaan blanko tersebut oleh PPAT. Setidaknya ada dua dampak terhadap penggunaan
6
Herowati Poesoko, 2013, Dinamika Hukum Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Hal. 16. 7 M. Isnaeni, 1996,” Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Dalam Kerangka Tata Hukum Indonesia”, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi V Agustus 1996, Hal. 28.
blanko tersebut yaitu : (1) tentang keabsahan penggunaan blanko yang sudah tidak dipergunakan lagi namun dengan Revisi Surat Sekretaris Utama jo Surat Edaran Sekretaris Utama Nomor 465/5-31-100-/I/2015 BPN RI tertanggal 29 Januari 2015 BPN RI mengatur tentang pemberlakuan kembali blanko tersebut dan (2) akibat hukum dari penggunaan blanko tersebut terhadap kewenangan PPAT dan terhadap Akta PPAT yang telah dibuatnya. Konsistensi dan harmonisasi norma dibidang penyiapan dan pembuatan blanko akta PPAT menjadi penting untuk dikaji dikarenakan, hukum ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap perbuatan hukum para subyek hukum maupun obyek hukum yang dilakukan dihadapan PPAT. Konsistensi dan harmonisasi menelaah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang berlaku bagi satu bidang yang sama berkesesuaian.8 Jika dicermati dari sisi bentuk akta PPAT yang menjadi kewenangan PPAT tidak ada perubahan antara ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 dengan ketentuan yang diatur di dalam Revisi Surat Sekretaris Utama jo Surat Edaran Sekretaris Utama BPN RI Nomor 465/5-31100-/I/2015 BPN RI tertanggal 29 Januari 2015. Namun demikian kedua ketentuan itu juga mengandung perbedaan yang dapat diklasifikasi menjadi sebagai berikut : (1) Perbedaan dari sisi penyiapan blanko yakni semula merupakan kewenangan Kantor Pertanahan didelegasikan menjadi kewenangan PPAT,
8
Ryan Kurniawan, 2013, “Harmonisasi Hukum Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Pada Perusahaan Pailit Ditinjau Dari Perspektif Pancasila Sila Ke Lima”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol 28, No. 01 Pebruari 2013.
(2) Perbedaan dari sisi petunjuk pengisian blanko akta PPAT yang disiapkan dan dibuat oleh PPAT dengan blanko akta PPAT yang disiapkan Kantor Pertanahan. Ada beberapa perbedaan spesifik blanko akta PPAT yang disiapkan oleh PPAT dengan yang dibuat oleh Kantor Pertanahan antara lain : a. Petunjuk pengisian dan pembuatan blanko akta PPAT yang disiapkan dan dibuat oleh PPAT sangat rinci petunjuknya mulai dari aspek pencantuman identitas PPAT, tempat kedudukan PPAT yang bersangkutan pada kop akta pada cover Akta serta di masing masing jenis Akta
PPAT.
Pencantuman nama dan tempat kedudukan PPAT mesti juga dilakukan pada setiap halaman bawah akta pada margin kiri, sedangkan margin kanan pada halaman bawah akta PPAT berisi ketentuan halaman dan jumlah halaman akta PPAT, serta di paraf pada setiap halamannya oleh penghadap / para penghadap, saksi-saksi dan PPAT yang bersangkutan. b. Petunjuk tentang renvoi akta PPAT yang menentukan bahwa akta PPAT sebisa mungkin tidak dilakukan renvoi. Namun jika mesti dilakukan renvoi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni : b.1 perbaikan/penggantian terhadap kata/frasa/kalimat yang salah, dengan menunjuk bagian yang direnvoi dan diberi paraf oleh penandatangan akta (penghadap, saksi akta dan PPAT). Caranya dengan pencoretan atau pencoretan dengan gantian terhadap kata/frasa/kalimat yang salah;
b.2. penambahan kata/frasa/kalimat pada ruang kosong lembaran akta (pada sisi kiri akta) dengan menunjuk bagian yang direnvoi dan pengesahannya dengan diberi paraf oleh penandatangan akta (penghadap, saksi akta dan PPAT) atau pada lembar kertas tersendiri yang ditambahkan pada akta dengan menunjuk bagian yang direnvoi, dengan syarat harus mencantumkan nomor akta pada setiap halaman yang ditambahkan dan diberi paraf oleh penandatangan akta (penghadap, saksi akta dan PPAT) c. Petunjuk tentang pengaturan ukuran, jenis, dan ketebalan kertas, serta huruf yang digunakan dalam akta PPAT
juga mendapat pengaturan.
Adapun bentuk yang digunakan yakni huruf Bokman Old Style sedangkan ukurannya tidak ditetapkan. Sementara itu pencantuman Kop PPAT selain digunakan pada cover Akta juga digunakan pada masing masing jenis Akta PPAT yang bersangkutan dengan ukuran 28, warna hitam. d. Petunjuk pada Perkaban No. 8 Tahun 2012 hanya mengatur 1 (satu) rangkap Lembar kedua Akta PPAT yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan setempat untuk keperluan pendaftaran, namun ketentuan tersebut tidak mengikat terhadap akta tukar menukar, akta pembagian hak bersama dan akta pemasukan ke dalam perusahaan jika objeknya lebih dari satu dan salah satu atau lebih objeknya terletak diluar daerah kerja PPAT. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006.
Penyiapan pembuatan akta PPAT mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun mesti dilakukan oleh PPAT dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli. Apabila sertipikat yang dilakukan pengecekan sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan, maka Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk membubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat : “Telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan” namun sebaliknya jika sertipikat ternyata tidak sesuai dengan daftardaftar yang ada di Kantor Pertanahan, maka diambil tindakan dengan menyebutkan pada sampul dan semua halaman sertipikat tersebut dibubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat : "Sertipikat ini tidak diterbitkan oleh Kantor Pertanahan". Selanjutnya sertipikat yang sudah diperiksakan kesesuaiannya dengan dafar-daftar di Kantor Pertanahan tersebut dikembalikan kepada PPAT yang bersangkutan. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan
dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku. Akta PPAT dibuat sebanyak 2 (dua) lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinan. Berdasarkan pada hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penyiapan dan pembuatan blanko akta PPAT perlu dikaji dan ditulis dalam bentuk tesis dengan judul : “Penyiapan dan Pembuatan Akta Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Tanah Terkait Dengan Kewenangan PPAT Setelah Berlakunya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012”. Orisinalitas penelitian adalah bagian penting dalam penelitian hukum dan tentunya penelitian-penelitian dalam ilmu lainnya. Penelitian hukum untuk kepentingan akademis (terutama untuk kepentingan skripsi, tesis dan disertasi) disyaratkan harus bersifat original. Orisinalitas penelitian diwujudkan melalui pernyataan penulis yang menyatakan bahwa tesis benar-benar dibuat sendiri dan tidak melakukan plagiat serta kesediaan menerima sanksi apabila dikemudian hari terbukti melakukan plagiat.
Masalah orisinalitas menjadi sangat penting seperti dikatakan Ruus VerSteeg “In order to be copyrightable, a work must be „original‟”.9 Di Amerika Serikat, The Copyright Act of 1976, secara tegas menyatakan bahwa orisinalitas adalah syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hak cipta. The Copyright Act States menyatakan “copyright protection subsites… in original work of authorship…102 (a). Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Feist Publication,Inc.v. Rular Tel. Serv. Co menyatakan “The sine qua non of copyright is originaly”.10 Menurut Terry Hutchinson, orisinalitas mengandung berbagai pengertian sebagai berikut : a. Saying something nobody has said before ( mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan oleh orang lain sebelumnya); b. Carrying out empirical work that hasn‟t dome before (melaksanakan pekerjaan empiris yang belum pernah dikerjakan sebelumnya); c. Making synthesis that hasn‟t been made before (membuat sintesa yang belum pernah dibuat sebelumnya); d. Using already know materials but with new interprestation (menggunakan bahan-bahan yang telah diketahui tetapi dengan interprestasi baru) e. Trying out something in this country that has previously only been done in other countries (mencoba sesuatu yang baru dalam negeri yang sebelumnya hanya pernah dilakukan di luar negeri); 9
Ruus VerSteeg, 1993, “Rethingking Originaly, William and mary Law Review, Volume 34, Issue 3”, Article 8, Vol.34:801, hlm. 802. 10 Ibid.
f. Taking in particular technique and applaying it in new area (mengambil sesuatu teknik tertentu dan menerapkannya pada wilayah yang baru); g. Bringing new evidence to bear on an old issue (mengajukan bukti baru untuk menunjang isu yang lama); h. Being
cross-disciplinary
and
using
different
methodologies
(menjadikan lintas disipliner dan menggunakan metode yang berbeda); i. Taking someone else‟s ideas and reinterpreting them in away no one else has (mengambil ide/gagasan orang lain dan menafsirkan kembali dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain); j. Looking at areas that people in your discipline haven‟t looked before (melihat pada wilayah orang yang berada dalam satu disiplin dengan kamu yang belum pernah dilihat sebelumnya); k. Adding to knowledge in away that hasn‟t previously been done before (menambah
pengetahuan
dan
yang
belum
pernah
dilakukan
sebelumnya); l. Looking at exsiting knowledge and teting it out (melihat pengetahuan yang telah ada dan kemudian mencobanya); m. Playing with word. Putting things together in ways that other havent‟t bothered to do (menempatkan sesuatu secara bersama-sama dengan cara yang belum pernah dilakukan secara bersama-sama).11
11
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, Hal.128.
Orisinalitas bertujuan untuk mencegah tindakan plagiat. Orang yang melakukan tindakan plagiat disebut plagiator. Dalam pendidikan terjadinya tindakan plagiat dapat berimplikasi “trust in academic integrity breaks down”.12 Robert D. Bill menyatakan “educator despite plagiarism”.13 Plagiat di dunia pendidikan harus dicegah dan bila terjadi harus segera ditanggulangi. Untuk mencegah tindakan plagiat di dalam penulisan tesis ini, maka penulis melakukan penelusuran kepustakaan terkait Eksistensi Blanko Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu : Tesis dari Ni Luh Putu Swandewi, NIM 1192461020, alumni Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, Tahun 2014 dengan judul “ Penggunaan Blanko Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan Diterbitkannya Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni bagaimanakah kedudukan hukum blanko akta PPAT berdasarkan Perkabadan Nomor 3 Tahun 1997 yang telah digunakan oleh PPAT sebagai alat bukti pendaftaran peralihan hak atas tanah pada Kantor Pertanahan setelah tanggal 31 Maret 2013 berdasarkan Perkabadan Nomor 8 Tahun 2012? serta apakah upaya yang dilakukan oleh PPAT dalam hal blanko akta PPAT berdasarkan Perkabadan Nomor 3 Tahun 1997 tidak diterima oleh Kantor Pertanahan sebagai alat peralihan hak atas tanah setelah diterbitkannya Perkabadan Nomor 8 Tahun 2012?
12
Deborah R. Gerhardt, “Plagiarism in Cyberspace:Learning the Rules of Recycling Content With A View Toward Nuturing Academic Trust in An electronic World”, Richmond Journal of Law & Tecnology, Volume XII, Issue 3, Hal. 2. 13 Robert D. Bills, 1990, “Plagiarism in Law School: Close Resemblance of The Worst Kind, Santa Clara Law Review, Volume 31, Number 1”, Article 4, Hal. 103.
Selanjutnya Tesis dari Reza Febriantina, NIM B4B 008 220, alumni Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2012 dengan judul “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Otentik”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut adalah bagaimanakah kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta otentik ? serta bagaimanakah kedudukan hukum dan arti penting blanko akta tanah bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Umum ? Menyimak hasil penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang diuraikan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Penyiapan Dan Pembuatan Akta Peralihan Dan Pembebanan Hak Atas Tanah Terkait Dengan Kewenangan PPAT Setelah Berlakunya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
8 Tahun 2012 belum ada yang
membahasnya. Oleh karena itu tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah orisinalitas atau keasliannya. 1.2.
Rumusan Masalah Dengan telah terjadi konflik norma, maka judul proposal tesis ini penting
untuk dikaji dengan mengetengahkan 2 (dua) isu hukum yakni : 1. Bagaimanakah keabsahan Surat Sekretaris Utama BPN RI Nomor 3044/7.1-100/VII/2013 tentang Revisi Surat Pengantar Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 tertanggal 25 Juli 2013 jo Surat Edaran Sekretaris Utama BPN RI Nomor 465/5-31-100-/I/2015 terhadap Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 ?
2. Apakah akibat hukum penggunaan blanko Akta PPAT berdasarkan Surat Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia? 1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan yang
bersifat umum dan khusus, yaitu ; a.
Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk pengembangan ilmu hukum
terkait paradigma Science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian atas kebenaran, khususnya terkait dengan materi Penyiapan dan Pembuatan Akta Peralihan Dan Pembebanan Hak Atas Tanah Terkait Dengan Kewenangan PPAT Setelah Berlakunya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012. b.
Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini sesuai
permasalahan yang dibahas adalah : 1). Untuk mendeskripsikan dan menganalisa
secara mendalam
tentang
keberadaan Revisi Surat Pengantar Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 tertanggal 25 Juli 2013 terhadap Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012. 2). Untuk mendeskripsikan dan menganalisa
secara mendalam
tentang
penyelesaian atas berlakunya 2 (dua) ketentuan tentang penyiapaan dan pembuatan blanko akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah tersebut dalam pembuatan Akta PPAT.
1.4.
Manfaat Penelitian
a.
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini yaitu
untuk pengembangan ilmu hukum khususnya hukum kenotariatan. Di samping itu, juga untuk memberikan bahan informasi yang berguna kepada masyarakat mengenai Penyiapan Dan Pembuatan Akta Peralihan Dan Pembebanan Hak Atas Tanah Terkait Dengan Kewenangan PPAT Setelah Berlakunya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012. b.
Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian
tesis ini yaitu sebagai berikut : 1) Manfaat bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi bagi kalangan PPAT dan juga pegawai kantor BPN. Informasi yang dimaksudkan adalah untuk tidak terjadi sengketa dalam menangani PPAT yang masih menggunakan blanko akta sesuai dengan Surat Sekretaris Utama BPN RI Nomor 3044/7.1-100/VII/2013 tentang Revisi Surat Pengantar Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 tertanggal 25 Juli 2013 jo Surat Edaran Sekretaris Utama Nomor 465/5-31-100-/I/2015 BPN RI tertanggal 29 Januari 2015 2) Manfaat bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan referensi bagi rekan mahasiswa mengenai penggunaan blanko akta. Selain itu masyarakat
mengetahui pengaturan hukum PPAT dalam membuat akta tanah setelah ditetapkannya Perkabadan Nomor 8 Tahun 2012. 3) Manfaat bagi Penulis Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan tambahan pengetahuan dalam memahami pelaksanaan Keputusan Kepala BPN. Manfaat lain bagi penulis yaitu untuk mengetahui penggunaan dari blanko akta PPAT berdasarkan Perkabadan Nomor 8 Tahun 2012. 1.5. a.
Landasan Teoritis Teori Kewenangan Secara teoritik dari hasil penelusuran kepustakaan berbahasa Indonesia
yakni kepustakaan ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan acapkali disamakan dengan kewenangan, dan demikian sebaliknya kekuasaan dipertukarkan dengan istilah kewenangan. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Lazimnya kekuasaan berbentuk hubungan dua pihak yakni pada satu ada pihak yang memerintah dan di pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).14 Dengan diskripsi tersebut, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum, oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”.15 Sementara itu kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu
14
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal. 35-36. 15 Suwoto Mulyosudarmo, 1990, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga Surabaya, Hal. 30.
sistem hukum yang dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.16 Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, berpendapat bahwa terdapat perbedaan istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.17 Pada sisi lain Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. 18 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegdheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang 16
A. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, Hal. 52. 17 Philipus M. Hadjon, 1998, Makalah, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid”), Pro Justitia Tahun XVI Nomor I Januari 1998, Universitas Airlangga, Surabaya, Hal. 1(Selanjutnya disebut Philiphus M. Hadjon I) 18 Ateng Syafrudin, 2000, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab”, Jurnal Pro Justisia, Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, Hal. 22. (Selanjutnya disebut Ateng Syafrudin I)
serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu. Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum dalam hubungannya dengan hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat. Indroharto, mengemukakan tiga macam kewenangan yang meliputi : Atribusi, delegasi; dan mandat.19 Selanjutnya F.A,M. Stroink dan J.G. Steenbeek, seperti dikutip oleh Ridwan HR, mengemukakan bahwa dua cara organ pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu: atribusi; dan delegasi. 20 Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoieh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Kedua cara organ pemerintah dalam memperoleh kewenangan itu, dijadikan dasar atau teori untuk menganalisis kewenangan dari aparatur negara di dalam menjalankan kewenangannya.
19
Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 104. (Selanjutnya disebut Ridwan H.R. I) 20 Ibid, Hal. 105.
Selanjutnya Philipus M. Hadjon dalam salah satu tulisannya berpendapat bahwa cara memperoleh wewenang ada dua cara, yaitu: atribusi; dan delegasi dan kadang-kadang juga mandat.21 Lebih jauh dijelaskan bahwa atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Dengan kata lain tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan (utamanya UUD 1945). Dengan kata lain, atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu, tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (Pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain: delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan
21
Philipus M. Hadjon I, Op. Cit, Hal. 90.
adanya delegasi; kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu: pengaruh; dasar hukum; dan konformitas hukum.22 Teori
Kewenangan
dalam
penelitian tesis
ini
digunakan untuk
memecahkan permasalahan pertama mengenai keabsahan penggunaan blanko Akta PPAT berdasarkan Surat Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. b.
Asas Penarikan Kembali Suatu Keputusan (Contrarius Actus) Konsep Penarikan kembali keputusan pemerintah dalam tesis ini
mempunyai makna pencabutan dan juga perubahan suatu keputusan pemerintah. Menurut Indroharto dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Beberapa pasal dari Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara” menyebutkan terdapat perbedaan antara pencabutan dengan perubahan terletak pada sejak kapan penarikan itu berlaku. Selanjutnya disebutkan bahwa pencabutan, dapat terjadi
22
Philipus M. Hadjon I, Op. Cit, Hal. 92.
berlaku surut, artinya beschikking itu diambil kembali oleh instansi yang mengeluarkannya, dapat pula berlaku untuk waktu yang akan datang, sedangkan untuk suatu perubahan akibat yang ditimbulkan hanya untuk masa datang. 23 Prosedur penarikan kembali keputusan pemerintah terkait dengan salah satu unsur keabsahan suatu tindak pemerintahan, disamping wewenang dan substansi. Menurut I Gusti Ngurah Wairocana dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Problematik Yuridis Klausula Pengaman (Veiligheidsclausule) Dalam Keputusan Tata Usaha Negara”, menyebutkan bahwa tidak ada suatu tata cara yang berlaku umum untuk pembuatan suatu keputusan, demikian juga tidak terdapat suatu ketentuan umum yang mengatur masalah prosedur penarikan suatu keputusan tata usaha negara, karena penarikan suatu keputusan tata usaha negara ternyata ditentukan oleh 7 (tujuh) faktor yaitu : (1) Jenis Keputusan, (2) Sifat Keputusan, (3) Sifat akibat yang ditimbulkan oleh keputusan, (4) Ketentuan yang menjadi dasar keputusan tersebut, (5) Wewenang untuk membuat keputusan (terikat atau bebas), (6) Sifat dari obyek keputusan (izin), dan (7) Kekuatan hukum (Rechtskracht) keputusan.24 Prosedur penarikan kembali keputusan pemerintahan secara teoritik dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu gebonden beschikking dan asas contrarius actus.25 Gebonden beschikking sebagai pelaksanaan wewenang yang terikat,
23
Indroharto, 1989, Beberapa Pasal dari Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam buku Pejabat Sebagai Calon tergugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara, Kumpulan Tulisan, Buku Kesatu, CV Sri Rahayu, Hal. 128. (Selanjutnya disebut dengan Indrohato I). 24 I Gusti Ngurah Wairocana, 1999, “Problematika Yuridis Klausule Pengaman (Veiligheidsclausule) Dalam Keputusan Tata Usaha Negara”,Tesis Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Hal. 131. 25 Ibid.
dipergunakan sebagai prosedur penarikan untuk keputusan pemerintahan yang terikat. Adapun cara penarikannya secara prosedural merujuk pada praturan dasar dari keputusan itu. Terkait dengan hal tersebut dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan lampiran huruf C tentang “Pencabutan” menentukan sebagai berikut : Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat. Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. Sementara itu asas contrarius actus dipergunakan sebagai prosedur penarikan keputusan yang bebas (vry beschikking). Dalam hukum administrasi, asas contrarius actus adalah asas yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Asas ini berlaku meskipun dalam keputusan tata usaha negara tersebut tidak ada klausula pengaman yang lazim : Apabila dikemudian hari ternyata ada kekeliruan atau kehilafan maka keputusan ini akan ditinjau kembali.26 Penarikan kembali keputusan pemerintahan didasarkan pada alasanalasan yang secara umum terdiri dari : (a) adanya penyimpangan perizinan, (b) adanya perubahan kebijaksanaan dari organ yang membuat keputusan tersebut, (c) keadaan yang nyata-nyata berubah, (d) penarikan sebagai sanksi, (e) keputusan
26
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Cetakan Keempat, Hal. 25.
aslinya keliru atau salah, dan (f) terjadinya pelanggaran terhadap syarat yang ditentukan dalam undang-undang atau di dalam keputusan itu.27 Asas Penarikan Kembali Suatu Keputusan (Contrarius Actus) dalam penelitian tesis ini digunakan untuk memecahkan permasalahan pertama mengenai keabsahan penggunaan blanko Akta PPAT berdasarkan Surat Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. c.
Teori Pertanggungjawaban Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah
kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.28 Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.29 Menurut Abdulkadir Muhammad dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Hukum Perusahaan Indonesia”, menyebutkan bahwa teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :30 a.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault principle);
27
I Gusti, Ngurah Wairocana, Op. Cit. Hal. 148 Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 10 29 Soekidjo Notoatmojo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 28
15. 30
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 503. (Selanjutnya disebur Abdulkadir Muhammad I)
b.
Prinsip
tanggung
jawab
berdasarkan
atas
praduga
(rebuttable
presumption of liability principle); c.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle atau absolute liability principle atau no-fault liability principle). Selanjutnya M.A. Moegni Djojodirdjo, menyebutkan dengan istilah
tanggung gugat (aansprakelijkheid) mempunyai arti yang sama dengan pertanggungan jawab atau pertanggungan gugat, 31 sedangkan L.E.H. Rutten sebagaimana dikutip oleh M.A. Moegni Djojodirdjo membedakan pengertian pertanggungan
jawab
(verantwoordelijkheid)
dan
tanggung
gugat
(aansprakelijkheid). Tanggung gugat (aansprakelijkheid) merupakan kewajiban hukum rechtsplicht untuk memberi ganti kerugian, akan tetapi pertanggung jawab (verantwoordelijkheid) adalah merupakan syarat untuk tanggung gugat yang harus sudah ada sebelumnya. 32 Orang harus bertanggung jawab menurut undangundang, bilamana dan segera ia menurut hukum harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa untuk menetapkan seseorang bersalah yang menyebabkan timbulnya ganti rugi, disyaratkan bilamana perbuatan melawan hukum dari pelaku dapat dipertanggung jawabkan atau mampu bertanggung jawab, dengan kata lain tidak seorangpun yang berada di luar kesalahannya dapat dimintai tanggung gugat asalkan undang-undang menentukan hal ini. Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan
31
M.A. Moegni Djojodirjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat (Aansprakelijkheid) Untuk Kerugian Yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Hal. 113. 32 Ibid, Hal. 56.
kerugian terhadap orang lain tidaklah diwajibkan membayar ganti rugi bilamana orang
tersebut
sakit
jiwa,
di
mana
setiap
kemungkinan
untuk
mempermasalahkannya tidak ada. Dalam kaitannya dengan istilah pertanggung jawaban PPAT, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menggunakan istilah bertanggung jawab. Hal ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 55 yang menyebutkan bahwa : PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap pembuatan akta. Sementara itu Kode Etik PPAT menggunakan istilah tanggung jawab. Hal ini sesuai ketentuan yang diatur pada Pasal 3 huruf e yang menentukan bahwa salah satu kewajiban PPAT adalah bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur serta tidak berpihak. Dengan
menggunakan
penafsiran
secara
analogis
dari
pendapat
Abdulkadir Muhammad33 dalam bukunya yang berjudul “Etika Profesi Hukum” mengenai bentuk tanggung jawab Notaris, dapat disebutkan bahwa tanggung jawab PPAT dapat diberi pengertian sebagai berikut :
33
Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 93-94, (Selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II), yang menyebutkan bahwa tanggung jawab Notaris dapat diberi pengertian sebagai berikut : 1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar artinya akta yang dibuat itu menurut kehendak hukum dan permintaan pihak yang berkepentingan karena jabatannya 2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya bukan mengada-ada. Notaris menjelaskan kepada pihak berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. 3. Berdampak positif artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.
1. PPAT dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar artinya akta yang dibuat itu menurut kehendak hukum dan permintaan pihak yang berkepentingan karena jabatannya 2. PPAT dituntut menghasilkan akta yang bermutu artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya bukan mengada-ada. PPAT menjelaskan kepada pihak berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. 3. Berdampak positif artinya siapapun akan mengakui akta PPAT itu mempunyai kekuatan bukti sempurna. Berdasarkan uraian di atas, maka PPAT dalam menjalankan jabatananya dituntut bekerja secara benar dan profesional, sehingga produk PPAT berupa akta otentik sebagai dasar peralihan dan/atau pembebanan hak atas tanah dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak yang membutuhkannya. Untuk menunjang teori pertanggungjawaban dalam membahas masalah yang kedua dari tesis ini, digunakan juga Teori Individualisasi. Birkmayer dan Karl Binding,34 merupakan tokoh pendukung teori individualisasi berpendapat bahwa faktor penyebab yang dapat menimbulkan adanya suatu akibat adalah dengan melihat pada faktor yang ada atau yang terjadi setelah dilakukannya suatu perbuatan. Lebih jauh disebutkan makna dari pernyataan ini adalah peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Teori Individualisasi
34
Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 2 : Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 213.
berpandangan bahwa faktor penyebabnya mesti bersifat sangat dominan serta memiliki peran paling kuat akan timbulnya suatu akibat.35 Adapun yang menjadi faktor penyebab terjadinya dualisme penyiapan dan pembuatan akta PPAT adalah terbitnya revisi surat pengantar Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 tertanggal 25 Juli 2013, jo Surat Edaran Sestama No.465/5.31-100/I/2015, tanggal 29 Januari 2015 perihal Pemanfaatan Blanko Akta PPAT. Dengan surat tersebut maka akibatnya adalah PPAT dapat menggunakan blangko yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan pada satu sisi atau menggunakan blangko yang disiapkan sendiri oleh PPAT yang bersangkutan. Teori tanggung jawab dan Teori Individualisasi dalam penelitian tesis ini digunakan untuk memecahkan permasalahan kedua mengenai akibat hukum penggunaan blanko Akta PPAT berdasarkan Surat Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 1.6.
Metode Penelitian Menurut sarjana-sarjana penekun Teori Hukum seperti Gijssel & van
Hoecke dan D.H.M. Meuwissen sebagaimana dikutip Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyatakan bahwa bidang kajian Teori Hukum meliputi tiga bidang besar yakni : (1) Ajaran hukum; (2) Hubungan hukum dan logika; (3) Metodologi.36 Ajaran hukum terdiri dari analisis pengertian hukum, analisis pengertian-pengertian dalam hukum atau konsep-konsep dalam hukum, analisis asas dan sistem hukum, analisis norma hukum, dan analisis keberlakuan hukum. 35
Desak Putu Thiarina Mahaswari Agastia, 2014, Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Setelah Debitur Wanprestasi, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, Hal 18. 36 Otje Salman & Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, Hal. 54-59.
Dalam bidang hubungan hukum dan logika diuraikan tentang argumentasi yuridis, tentang penerapan logika “deontik”serta kaitan hukum dan bahasa. Sementara dalam bidang metodelogi dibedakan atas ajaran ilmu dan ajaran metode praktek hukum. Sedangkan pengertian penelitian hukum versi Cohen & Olson sebagai berikut : “Legal reaserch is the process of finding the law that governs activities in human society”.37 Dalam ajaran metode keilmuan dibahas tentang metode penelitian hukum yang berlandaskan pada sifat keilmuan ilmu hukum dan landasan teoritisfilosofisnya dengan bertumpu pada struktur berpikir yuridis. Disisi lain ajaran metode praktek hukum dipelajari tentang metode pembentukan hukum dan metode penemuan hukum.38 Metode penelitian merupakan sub bab terakhir di dalam bab I. Kajian dalam metode penelitian ini berisikan tentang Jenis Penelitian, Jenis Pendekatan, Sumber Bahan Hukum, Teknik Pengumpulan Bahan Hukum dan Teknik Analisis Bahan Hukum. a.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif juga dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal yang dilakukan dengan mengkaji bahan-bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur hukum.39 Dalam penelitian hukum normatif, peneliti mengkaji apa yang tertulis dalam berbagai 37
Morris L, Cohen & Kent C. Olson, 1992, Legal Research in A Nutshell, St Paul Minn, West Publishing Co, Hal. 1 38 Ibid. 39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 13
peraturan perundang-undangan (law in book) dan literatur hukum yang terkait dengan permasalahan hukum yang dibahas dalam tulisan ini, yakni inkonsistensi dalam penyiapan dan pembuatan blanko akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah. Pada satu sisi masih diperkenankannya menggunakan blanko yang di cetak dan dikeluarkan oleh BPN seperti sebelum berlakunya Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 dan pada sisi lain penyiapan dan pembuatan blanko PPAT dibuat sendiri oleh PPAT yang bersangkutan. Kondisi ini telah menimbulkan terjadinya dualisme penggunaan blanko akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah. Dengan kata lain telah terjadi inkonsistensi antara ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 dengan yang diatur di dalam Surat Sekretaris Utama BPN RI. b.
Jenis Pendekatan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa jenis pendekatan
untuk menganalisis permasalahan yang ada, yaitu : 1.
Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach) Dalam pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dilakukan penelitian yang mensinkronkan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal.40 Peneliti menggunakan pendekatan ini untuk menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
2.
Pendekatan Konsep Hukum (Conceptual Approach) Konsep dalam bahasa Inggris menyebut Concept dan bahasa Latin menyebut Conceptus dari concipere yang memiliki arti memahami, menerima 40
Rony Hanitijo Sumitro, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 27.
atau menangkap. Konsep secara umum dijelaskan sebagai unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang partikular. Penggabungan itu memungkinkan ditentukannya arti katakata secara tepat dan menggunakannya dalam proses pemikiran.41Analisa konsep hukum digunakan untuk menganalisa konsep-konsep yang relevan dalam penelitian ini sehingga memperoleh hasil yang diinginkan. Dengan kata lain dalam pendekatan konsep peneliti merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan para sarjana atau doktrin-doktrin hukum. 2.
Pendekatan Kasus (Case Approach) Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil.42 Faktafakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan pada fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Sedangkan diktum, yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus 41
Johnny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III, Bayumedia Publishing, Malang, Hal. 306. 42 Ian McLeod, 1999, Legal Method, Macmillan, London, Hal. 144
bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi. c.
Sumber Bahan Hukum Untuk mengkaji dan membahas permasalahn dalam penelitian ini, penulis
menggunakan sumber bahan hukum. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat.43 Selain itu juga dikatakan bahwa bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki otoritas (autoritatif)44 berupa norma-norma, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi antara lain : -
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
-
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria;
-
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
-
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
-
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
43
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 118. 44 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika Offset, Jakarta, Hal. 47.
-
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997;
-
Surat Sekretaris Utama BPN RI Nomor 859/7.1-100/III/2013 tentang Penyampaian Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012;
-
Revisi Surat Pengantar Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 tertanggal 25 Juli 2013.
2.
Bahan hukum sekunder, merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.45 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah : -
Buku-buku hukum mengenai Jabatan Notaris dan PPAT, Pertanahan, Akta Otentik yang dibuat PPAT, maupum buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan ini;
3.
-
Pendapat para pakar hukum atau doktrin.
-
Artikel yang terkait.
Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum maupun bahan hukum sekunder yang berupa kamus hukum, ensiklopedia, dan kamus besar Bahasa Indonesia.
d.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan
dengan metode bola salju (snowball method). Metode bola salju adalah metode di mana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literatur kemudian dari
45
Ibid, Hal. 113.
beberapa literatur tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literatur tersebut. Teknik pengumpulan bahan hukum yaitu melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Mengumpulkan bahan hukum yaitu peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) maupun teori-teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan.
2.
Mencocokkan peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) dan teori-teori hukum yang dibahas dalam penulisan.
3.
Menganalisis semua bahan hukum yang telah dikumpulkan mulai dari peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) sampai dengan teori-teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan.
4.
Hasil analisis dari peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) dan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan praktek yang dalam penulisan ini praktek digunakannya blanko akta PPAT sesuai Surat Revisi yang dikeluarkan oleh Sekretaris Utama BPN RI.
e.
Teknik Analisa Bahan Hukum Analisis terhadap bahan hukum dilakukan yang meliputi konsep hukum,
norma hukum, konsep hukum teknis, lembaga hukum-figur hukum, fungsi hukum dan sumber hukum.46 Sebelum melakukan analisis untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diajukan, maka terlebih dahulu dilakukan kegiatan
46
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Makalah, Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, hal.3-4. (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II)
melalui tahapan-tahapan sampai dengan analisis sebagai layaknya dalam kajian penelitian hukum. Adapun tahapan yang dimaksud adalah : 1. Inventarisasi hukum positif yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, yang mengatur tentang blanko akta PPAT, sampai dengan berlakunya Surat Sekretaris Utama BPN RI Nomor 859/7.1-100/III/2013 tentang Penyampaian Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 jo Surat Edaran Sekretaris Utama BPN RI Nomor 465/5-31-100-/I/2015. 2. Mengidentifikasi hukum positif yang mempunyai hubungan erat dengan blanko akta PPAT. 3. Menganalisis peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan blanko akta PPAT, termasuk dasar hukum blanko akta PPAT, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan blanko akta PPAT, maupun penggunaan blanko akta PPAT sesuai Surat Revisi yang dikeluarkan oleh Sekretaris Utama BPN RI.