1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, dan ruang angkasa demikian pula yang terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang ada di dalamnya adalah ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Dari pernyatan tersebut jelas bahwa kepentingan bersama lebih menonjol sehingga kalau kita tinjau kembali kepada Pasal 6 UUPA yang menyatakan ; “Hak milik tanah mempunyai fungsi sosial”1. Salah satu kekayaan bagi bangsa Indonesia atau sumber daya alam yang di ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia adalah tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan tanah. Kehidupan manusia tidak dapat di pisahkan dari tanah. Tanah merupakan modal dan suatu unsur utama dalam pembangnan menuju terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Kehidupan masyarakat Indonesia baik itu secara kualitas maupun kuantitas selalu mengalami peningkatan. Dari realitas tersebut luas tanah yan tetap sementara jumlah penduduk atau, masyarakat yang membutuhkan tanah untuk 1
A.P Parlindungan, Hukum Agraria Serta Landreform, Ctk. Pertama, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm. 87
2
memenuhi kebutuhannya selalu bertambah terus. Selain bertambah banyaknya manusia yang membutuhkan tanah untuk timpat tinggal, juga perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Jumlah tanah yang dirasakan menjadi sempit dan sedikit, sedangkan permintaan bertambah, maka tidak heran kalau kebutuhan akan tanah menjadi meningkat. Tidak seimbangnya akan tanah dengan kebutuhan tanah itu, telah meninggalkan berbagai persoalan yang banyak seginya2. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum dari subyek hukum. Agar hubungan hukum itu tetap berjalan secara harmonis, seimbang dan adil dalam arti setiap subyek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan-hubungan hukum tersebut3. Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karateristik paling penting dari tindakan hukum yang dilakukan pemerintah adalah keputusan-keputusan dan ketetapanketetapan pemerintah bersifat sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintah itu tergantung pada kehendak sepihak pemerintah.
2
R. Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tentang Tanah, Ctk. Pertama, Karya Anda Surabaya, 1995, hlm 15 3 Ridwan. HR, Hukum Administrasi Negara, Ctk. Pertama, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm 209
3
Ketetapan merupakan instrumen yang digunakan oleh organ pemerintah dalam bidang publik dan digunakan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu (akibat hukum yang dimaksud yang lahir dari keputusan adalah munculnya hak, kewajiban, atau status tertentu). Dengan kata lain akibat yang dimaksud adalah muncul dan lenyapnya hak dan kewajiban dari subyek hukum tertentu4. Pada awalnya di saat masyarakat belum berkembang seperti sekarang, kegiatan tukar menukar telah dilakukan oleh mesyarakat sejak zaman dahulu. Masyarakat melakukan tukar menukar atas segala sesuatu yang menurut mereka berguna bagi masing-masing pihak. Salah satu proses tukar menukar tersebut sering dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah hak milik dengan pamong Desa. Mereka melakukan tukar menukar karena dianggap tanah milik perseorangan tersebut lebih strategis untuk dilakukan pembangunan bagi kepentingan umum. Pamong Desa melakukan proses tukar menukar dengan pemilik tanah tersebut hanya secara lisan yang berdasarkan pada rasa saling percaya dan saling menghargai. Tetapi seiring berjalannya waktu, proses tukar menukar tersebut menimbulkan masalah karena dipandang tidak lagi sesuai dengan kesepakatan semula. Dalam mengatasi masalah di bidang pertanahan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yaitu Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPakok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA. UUPA merupakan pedoman 4
Ibid, hlm 119
4
pokok untuk mengatur masalah dan meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 UUPA ini mempunyai beberapa tujuan:5 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani, dalam rangka menciptakan mesyarakat adil dan makmur; 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat sepenuhnya. UUPA dengan seperangkat peraturan pelaksanaannya bertujuan untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia6. Di dalam UUPA, penggunaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi ; “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
5
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah. Djambatan. Jakarta. 2003, hlm. 220. 6 Bactiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm 5
5
dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”7 Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pengaturan dan penguasaan Hak-Hak Atas Tanah sudah ada sebelum Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960) berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengaturan dan penguasaan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah UndangUndang Pokok Agraria berlaku di Yogyakarta, Undang-Undang yang khusus berlaku di Yogyakarta menjadi tidak berlaku, tetapi ada beberapa peraturan yang masih berlaku berkaitan dengan sumber pendapatan dan kekayaan desa, pengurusan dan pengawasaanya. Pengaturan mengenai kekayaan Desa diatur didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa. Yang dimaksud dengan kekayaan Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hal lainnya yang sah8. Lebih lanjut lagi yang khusus mengatur tentang Tanah Kas Desa yang terdapat di Yogyakarta yaitu diatur dengan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Tanah Kas Desa Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara garis besar, peraturan tersebut mengatur tentang tujuan dari pengelolaan dari Tanah Kas Desa adalah untuk mengoptimalkan daya guna dan hasil guna 7
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9 8
6
Tanah Kas Desa baik oleh Pemerintah Desa sendiri atau melalui kegiatan sewamenyewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan dan bangun serah guna dan bangun guna serah dengan tidak mengubah status Tanah Kas Desa. Kedua peraturan tersebut diatas juga mengatur tentang pelepasan dan pengadaan kekayaan Desa yang berupa Tanah Kas Desa. Di dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Tanah Kas Desa Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Pasal 11 disebutkan bahwa9: (1) Pelaksanaan pelepasan dan pengadaan Tanah Kas Desa dilaksanakan oleh Panitia Pelepasan dan Pengadaan Tanah Kas Desa.
(2) Pelepasan dan pengadaan tanah pengganti kas desa diselesaikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah izin Gubernur ditetapkan.
Pelapasan kekayaan Desa yang berupa Tanah Kas Desa kepada pihak lain diperbolehkan untuk kepentingan umum dan dilakukan setelah mendapat ganti rugi yang menguntungkan Desa. Pelepasan kekayaan desa yang berupa Tanah Kas Desa Kepala Desa setelah mendapatkan persetujuan dari BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dan mendapatkan ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan Gubernur10. Salah satu bentuk perbuatan hukum yang dapat dilakukan dalam rangka pelepasan dan pengadaan Tanah Kas Desa adalah dengan cara tukar menukar. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1541 BW yang menyatakan bahwa Tukar 9
Pasal 11 Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 2008. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 Pasal 15 ayat 1-5 jo Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 12 ayat 1-10 10
7
menukar adalah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik, sebagai gantinya suatu barang lain11. Penukaran adalah suatu nudum pactum (perjanjian terbuka), bahwa pertama karena pelaksanaan daripada salah satu pihak juga suatu contractus (kontrak khusus) dan bukanlah suatu contractus consensualis (perjanjian persesuaian) tetapi suatu contractus realis (perjanjian sesungguhnya), sehingga seseorang yang telah setuju untuk saling menukar, sehingga kalau salah satu pihak wanprestasi, maka pihak lainnya dapat meminta kembali benda yang sudah diserahkannya tersebut12. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi tukar menukar antara Tanah Kas Desa dengan Tanah Hak Milik penduduk setempat sebagaimana yang terjadi di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Pelaksanaan tukar menukar tersebut menyangkut Tanah Kas Desa yang dijadikan obyek tukar menukar dengan Tanah Hak Milik Perorangan untuk pembangunan Gedung Sekolah Dasar13. Di dalam kenyataannya, Tanah Kas Desa yang seharusnya menjadi pengganti atas Tanah Hak Milik Perorangan yang telah dipergunakan untuk pembangunan Gedung Sekolah Dasar, penggantian atas Tanah Hak Milik tersebut tidak sesuai 11
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ctk. Ketigapuluhsembilan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 380. 12 A.P, Parlindungan, “Ruilslag Tanah-Tanah Pemerintah dan Kaitannya Dengan UUPA”, Hukum Agraria Serta Landreform Bagian Kedua,Ctk. Pertama, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 145-146. 13 Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 23/IZ/2001
8
dengan ijin Gubernur yang telah diterbitkan dikarenakan sebagian tanah tersebut telah dikuasai kepada pihak lain bukan penerima hak sesuai izin Gubernur bahkan sudah bersertifikat14. Sehingga, dengan didasarkan pada permasalahan tersebut di atas, penulis beranggapan untuk melakukan penelitian mengenai tukar menukar antara Tanah Kas Desa dengan Tanah Hak Milik. Dan penulis ingin mengangkat permasalahan ini dalam tulisan yang penulis memberi judul : “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Tukar Menukar Tanah Kas Desa Dengan Tanah Hak Milik di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul” B. Rumusan Masalah Bedasarkan pada uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan penulis angkat adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana akibat hukumnya pelaksanaan tukar menukar Tanah Kas Desa dengan Tanah Hak Milik di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul yang tidak sesuai dengan ijin Gubernur? 2. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan tukar menukar antara Tanah Kas Desa dengan Tanah Hak Milik di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul?
14
Laporan permasalahan Ex tukar menukar Tanah Kas Desa Planjan dengan Tanah Hak Milik Penduduk Nomor : 500/489/BPN/2008
9
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui akibat hukum pelaksanaan tukar menukar Tanah Kas Desa dengan Tanah Hak Milik di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. 2. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam pelaksanaan tukar menukar antara Tanah Kas Desa dengan Tanah Hak Milik di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. D. Tinjauan Pustaka Hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masingmasing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk di dalam pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas :15 1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi. 2. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan air. 3. Hukum Pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahanbahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan. 4. Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
15
Boedi Harsono, Op.cit., hlm. 5.
10
5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur dalam Ruang Angkasa (bukan “Space Law”), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA. Tidak dapat dipungkiri lagi, sejak berlakunya UUPA, pengaturan hukum agraria di Indonesia mengalami suatu perubahan yang sangat besar, yaitu suatu revolusi yang merubah pemikiran dan landasan politik hukum agraria penjajahan yang lebih mementingkan kepentingan modal besar asing dengan mengorbankan dan memperkosa hak-hak rakyat atas tanah menjadi suatu peraturan yang mempunyai tujuan utama untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Seperti kita ketahui bersama, bahwa tujuan pokok UUPA dalam hubungannya dengan Pancasila dan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yang terdapat dalam Penjelasan Umum I, dinyatakan 3 tujuan pokok UUPA ialah :16 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dengan demikian, berdasarkan ketiga tujuan pokok UUPA di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa UUPA dijadikan dasar untuk mencapai sebesar 16
Ibid. hlm. 220.
11
besarnya kemakmuran rakyat terutama rakyat tani dan melindungi golongan ekonomi lemah agar mendapatkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Dalam konteks hukum pertanahan, hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan (non pertanian), sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.17 Sebelum berlakunya UUPA, dikenal juga pengaturan hak atas tanah yang didasarkan pada hukum adat. Di Indonesia, tanah-tanah ulayat merupakan tanahtanah hak yang ada sejak zaman dahulu kala sebelum Indonesia mempunyai hukum tersendiri yang mengatur mengenai Tanah. Tanah-tanah ulayat tersebut diatur didalam peraturan daerah masing-masing yang mempunyai hak tersebut. Mr. C.C.J. Maassen dan A.P.G. Hens dalam bukunya Agrarische regeling voor het Gouvernementsgebied van Java en Madura (Peraturan-peraturan agraris di daerah Gubernemen Jawa dan Madura), Jilid I halaman 5, menerangkan bahwa yang dinamakan hak ulayat adalah18 : "Hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain 17
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Edisi 1, Ctk Ketiga, Kencana, Jakarta, 2007, hlm 82 18 Dirman, Perundang-undangan Agraria Di Seluruh Indonesia, J.B. Wolters, Jakarta, 1958, hlm. 36. dikutip dari Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Ctk. Ketiga, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 32.
12
(orang asing) dengan membayar kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukuan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan".
Hak Ulayat merupakan hak yang berada di tangan desa sebagai persekutuan dari orang-orang penduduknya. Penduduk desa mempunyai hak untuk mengerjakan tanah yang berlaku baik terhadap golongan desa itu sendiri maupun terhadap mereka yang ada di luar desa. Bagi tiap-tiap anggota golongan desa itu sendiri mendapat bagian tanah sendiri-sendiri, dan hak-hak perseorangan ini dapat dibatasi dengan kepentingan-kepentingan dari golongan itu sebagai pembuktian. Sedangkan untuk anggota golongan yang ada di luar golongan desa hanya tidak mendapat bagian tersendiri tetapi hanya dapat menggarap/mengerjakan tanah atau dapat mengumpulkan hasil-hasil dari tanah itu dengan izin dari golongan desa itu dengan menbayar kerugian atau uang tanda bukti.19 Sedangkan didalam Desa tersebut juga terdapat tanah Ulayat. Tanah Ulayat merupakan tanah masyarakat hukum adat yang tidak mengandung unsur pemilikan perorangan.20 Setelah berlakunya UUPA, pengaturan mengenai hak atas tanah didasarkan pada ketentuan yang berlaku pada UUPA. Salah satu hak atas tanah yang ada menurut UUPA adalah hak milik, Pasal 20 ayat (1) UUPA, memberi pengertian tentang hak milik adalah :21 “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6” 19
Ibid, hlm 34. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 huruf F. 21 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. 20
13
Adapun dasar hukum pemberian hak atas tanah kepeda perseorangan atau badan hukum dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “atas dasar hak menguasai Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.22 Pada dasarnya pemberian hak-hak atas tanah tersebut meliputi beberapa unsur, yaitu : 1. Subjek pemohon, dengan sasaran penelitian berupa data pribadi atau warga negara. 2. Lokasi tanah, yang menyangkut letak sebenarnya tanah yang diuraikan serta batas-batas yang sesuai dengan prinsip Contradictoir Limitatief. 3. Bukti-bukti perolehan haknya secara beruntun dan sah menurut hukum.
Proses pemberian hak terhadap suatu permohonan hak atas tanah tidak semata-mata hanya melihat segi-segi prosedurnya saja. Suatu permohonan hak atas tanah tidak cukup hanya dianalisis dengan apakah pemohon memenuhi syarat, permohonan tersebut telah diumumkan, diperiksa secara fisik, diukur, dibuatkan fatwa dan lain sebagainya yang sifatnya prosedur, melainkan harus pula dikaji dari segi hukumnya. Permohonan hak atas tanah juga bisa terjadi terhadap tanah-tanah yang menjadi kekayaan Desa yang berupa Tanah Kas Desa dengan mengadakan penggantian yang senilai dengan nilai tanah tersebut. 22
Urip Santoso,Op. Cit., hlm. 135.
14
Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa menyatakan bahwa kekayaan Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya. Didalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa terdapat mengenai jenis-jenis dari kekayaan Desa23 : (1) Jenis kekayaan Desa terdiri atas: a. tanah Kas Desa b. pasar Desa c. pasar Hewan d. tambatan Perahu e. bangunan Desa f. pelelangan ikan yang dikelola oleh Desa g. lain-lain kekayaan milik Desa
Kekayaan Desa yang telah disebut diatas dapat diperoleh Desa dengan pembelian, sumbangan, bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah maupun pihak lain dan bantuan dari pihak ketiga yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan24. Jenis dari kekayaan Desa yang sering kali menjadi obyek tukar menukar adalah Tanah Kas Desa. Di dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Tanah Kas Desa Di Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan bahwa Tanah Kas Desa adalah tanah milik Desa berupa bengkok/lungguh,
pengarem-arem,
titirasa,
kuburan,
23 24
Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007
jalan-jalan
desa,
15
penggembalaan hewan, danau-danau, tanah pasar desa, tanah keramat, lapanganlapangan dan tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Desa25. Tanah Kas Desa tersebut dapat dijadikan obyek tukar menukar dengan ketentuan bahwa Pemerintah Desa mendapat pengganti atas Tanah Kas Desa tersebut dengan mendapat keuntungan dari tukar menukar tersebut. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1541 BW yang menyatakan bahwa Tukar menukar adalah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik, sebagai gantinya suatu barang lain26. E. Metode Penelitian 1. Subyek penelitian a. Kepala Desa Planjan b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Gunung Kidul 2. Obyek penelitian Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Tukar Menukar Tanah Kas Desa Dengan Tanah Hak Milik di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul 3. Sumber Data a. Data primer 25
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2008 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 8. 26 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit., hlm. 380.
16
Diperoleh melalui penelitian langsung di lapangan dengan wawancara secara langsung dengan subjek penelitian (field research). b. Data Sekunder Diperoleh melalui kepustakaan (library research) dan dokumen 4. Teknik Pengumpulan Data a
Data Primer dilakukan dengan : wawancara langsung dengan subjek penelitian
b. Data Sekunder dilakukan dengan : studi kepustakaan 5. Metode pendekatan Pendekatan yang digunakan yakni pendekatan yuridis-normatif 6. Analisis Data Deskriptif-Kualitatif F. Kerangka Skripsi BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Tinjauan Pustaka
17
E. Metode Penelitian F. Kerangka Skripsi BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG
HAK-HAK ATAS TANAH,
KEKAYAAN DESA DAN TUKAR MENUKAR A. Konsep Dasar Hak-Hak Atas Tanah B. Kekyaan Desa C. Tukar Menukar BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum Pelaksanaan Tukar Menukar Tanah Kas Desa Dengan Tanah Hak Milik di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. B. Faktor Penghambatan Pelaksanaan Tukar Menukar Tanah Kas Desa Dengan Tanah Hak Milik di Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran