BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Bumi, air dan ruang angkasa demikian pula yang terkandung di dalamnya adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah ditujukan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Dari pernyataan tersebut semakin jelas bahwa kepentingan bersama itu lebih menonjol sehingga kalau kita tinjau kembali kepada pasal 6 UUPA yang menyatakan : “Hak milik tanah mempunyai fungsi sosial”.1 Salah satu kekayaan alam atau sumber daya alam yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia adalah tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan tanah. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah merupakan modal bagi bangsa Indonesia dan suatu unsur utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945. Kehidupan masyarakat Indonesia baik itu secara kualitas maupun kuantitas selalu mengalami peningkatan. Dari realitas tersebut luas tanah yang bersifat tetap sementara jumlah penduduk atau masyarakat yang membutuhkan 1
A.P Parlindungan, Hukum Agraria Serta Landreform, Ctk.Pertama, CV. Mandar Maju, 1997, Hlm.87.
tanah untuk memenuhi kebutuhanya selalu bertambah terus. Selain bertambah banyaknya manusia yang membutuhkan tanah untuk tempat tinggal, juga perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Jumlah tanah yang dirasakan menjadi sempit dan sedikit, sedangkan permintaan bertambah, maka tidak heran kalau kebutuhan akan tanah menjadi meningkat. Tidak seimbangnya akan tanah dengan kebutuhan tanah itu, telah meninggalkan berbagai persoalan yang banyak seginya.2 Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum dari subyak hukum. Agar hubungan hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil dalam arti setiap subyek mendapatkan apa yang menjadi hak-nya dan menjalankan kewajiban yang diberikan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan-hubungan hukum tersebut.3 Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang dilakukan pemerintah adalah keputusan-keputusan dan ketetapanketetapan pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintah itu tergantung pada kehendak sepihak pemerintah. Ketetapan merupakan insterumen yang digunakan oleh organ pemerintah dalam bidang publik dan digunakan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
2
R.Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tanah, Ctk.Pertama, Karya Anda Surabaya, 1995, Hlm.15. Ridwan. HR, Hukum Administrasi Negara, Ctk.Pertama, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, Hlm.209. 3
2
tertentu (akibat hukum yang dimaksud yang lahir dari keputusan adalah munculnya hak, kewajiban, kewenangan, atau status tertentu).4 Sengketa tanah tergolong masalah yang bersifat klasik dan akan selalu ditemukan di muka bumi. Oleh karena itu masalah atau sengketa yang berhubungan dengan tanah senantiasa berlangsung secara terus-menerus, sebab itu sudah menjadi kebutuhan setiap orang. Bukan hanya di dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih tetap membutuhkan tanah. Pada awalnya di saat masyarakat belum berkembang sengketa masih dalam komunitas tertentu. Sengketa tanah yang ada masih bisa diselesaikan oleh anggota (warga) bersama tokoh yang disegani dalam komunitas masyarakat yang bersangkutan. Namun disaat masyarakat sudah banyak mengalami perkembangan seperti sekarang ini, apabila sengketa tersebut belum menemukan titik terang penyelesaian masalahnya, maka konflik tersebut akan berkembang meluas menjadi permasalahan yang bersifat krusial. Dalam mengatasi masalah di bidang pertanahan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yaitu Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang disebut dengan UUPA. UUPA merupakan pedoman pokok untuk mengatur masalah pertanahan dan meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, UU No.5 tahun 1960 (UUPA) mempunyai beberapa tujuan :
4
Ibid ; Hlm.119.
3
1
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani, dalam rangka menciptakan masyarakat adil dan makmur.
2
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat sepenuhnya. UUPA dengan seperangkat peraturan pelaksanaannya, bertujuan untuk
terwujudnya jaminan kepastian hukum rehadap hak-hak atas tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia.5 Munculnya sengketa hukum adalah berawal dari keberatan dari tuntunan suatu hak atas tanah baik terhadap setatus tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan suatu harapan mendapatkan penyelesaian administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.6 Terhadap sengketa batas, berawal dari perolehan hak yaitu pemberian hak secara derivatif, yaitu yang memperoleh haknya karena peralihan hak. Misalnya dengan jual-beli, tukar-menukar, hibah dan lainnya. Sebagaimana telah diketahui dalam ilmu hukum, yang dimaksud dengan hak pada hakekatnya adalah sesuatu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap suatu benda maupun orang.
5
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1983, Hlm.5. 6 Rusmandi Murad, Penyelesaian Sengketa hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991, Hlm.22.
4
Menurut sistem pendaftaran tanah yang diatur dalam UUPA (Undangundang No.5 tahun 1960) dan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997, maka stelsel yang digunakan dalam administrasi pendaftaran tanah kita adalah stelsel negatif (mengarah pada positif). Dimana dalam stelsel ini terkandung pengertian bahwa tanda bukti hak (sertifikat) yang dipegang seseorang belum menunjukkan orang tersebut sebagai pemegang hak yang sebenarnya. Sertifikat setiap waktu dapat dibatalkan apabila ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik yang sebenarnya. Berbeda di dalam sistem hukum positif, yaitu tanda bukti hak seseorang atas tanah adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila ternyata terdapat bukti yang cacat, menunjukkan cacat hukum dalam perolehan hak tersebut, maka ia tidak dapat menuntut pembatalan, kecuali tuntutannya pembayaran ganti kerugian. Kesalahan di dalam penetapan batas atas suatu tanah yang berkaitan langsung dengan hak penguasaan tanah, maka apabila ada pihak yang dirugikan dan menyatakan rasa tidak puas atas penetapan batas tersebut dapat mengajukan keberatannya ke kantor Pertanahan setempat yang berwenang. Sesuai dengan tata aturan pihak tersebut dapat mengajukan keberatannya atas penetapan batas tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional yang berwenang untuk itu. Sehinggga proses penerbitan sertifikat suatu hak atas tanah dapat ditunda terlebih dahulu untuk dapat dilakukan penyelesaiannya, agar tidak ada yang merasa dirugikan.
5
Permasalahan mengenai sengketa batas yang telah penulis paparkan, maka keberadaaan Badan Pertanahan Nasional sangat penting sebagai instansi pemerintah non departemen yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dapat menyelesaikan sengketa pertanahan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf (c) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 1999, yaitu yang berbunyi : “Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya, antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional”. Di saat proses penerbitan sertifikat dalam tahap pengukuran harus melewati persetujuan para pihak yang bersangkutan atau yang berbatasan sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah serta sebagai perwujudan dari asas Contradictoire Delimitatie, dengan tujuan apabila suatu ketika ada pihak yang mengajukan gugatan atas tanah tersebut berdasarkan sesuai kepentingannya berfungsi untuk : 1. Memberikan kepatian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. 2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pada sengketa batas yang terjadi di Kabupaten Temanggung, banyak terjadi dikarenakan kurangnya kesadaran pemilik tanah untuk memasang tanda
6
batas sehingga setelah terjadinya peralihan hak (proses jual-beli, waris atau hibah) pemilik lupa atau kurang tahu pasti batas tanahnya.7 Selain itu yang juga berpengaruh dalam terjadinya sengketa batas di Kabupaten Temanggung yaitu masih banyak tanah yang belum didaftarkan, sehingka ketika suatu saat seseorang dalam proses pendaftaran tanah dalam tahap pengukuran mengalami banyak kendala dengan pihak yang berbatasan yang tanahnya belum didaftarkan di kantor Pertanahan. Sehingga tidak jarang pula yang terjadi diantara tanah para pihak yang bersengketa salah satunya masih berletter C atau belum terdaftar.8 Keadaan yang demikian menjadikan seringnya seseorang melakukan penyerobotan batas tanah yang kemudian diklaim menjadi batas tanahnya karena alasan tanda batas yang kurang jelas atau hanya mengetahuinya dari cerita orang pendahulunya, dan menambah panjang cerita sengketa batas yang terjadi di Kabupaten Temanggung. Dalam penyelesaiannya sengketa pertanahan di Kabupaten Temanggung sering mengalami berbagai hambatan, namun diusahakan semaksimal mungkin oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung dapat memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi warga negara berupa keputusan atau ketetapan setelah melakukan mediasi dengan pihak-pihak yang terkait.
7
Hasil wawancara dengan : Kasi Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung, tanggal 15 Januari 2010, pukul 09:52 WIB. 8 Hasil wawancara dengan : Kasi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung, tanggal 19 April 2010, pukul 09:43 WIB.
7
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah : 1
Bagaimana upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung dalam proses penyelesaian apabila terjadi perselisihan sengketa batas ?
2
Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung pada saat proses penyelesaian sengketa batas ?
C. TUJUAN PENELITIAN 1
Untuk mengetahui bagaimana upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung dalam proses penyelesaian
apabila terjadi perselisihan
sengketa batas. 2
Untuk mengetahui Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung pada saat proses penyelesaian sengketa batas.
D. TINJAUAN PUSTAKA UUPA dan seperangkat peraturan pelaksanaanya, bertujuan untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah diseluruh Indonesia. Usaha-usaha untuk menghindari terjadinya suatu masalah atau sengketa hak-hak atas tanah sebenarnya dapat dilakukan secara preventif pada saat permohonan pemberian hak diproses. Tindakan yang bersifat pencegahan ini sebenarnya lebih efektif dibandingkan dengan usaha penyelesaian sengketa apabila ada masalah tersebut telah menjadi kasus (represif) dengan tidak
8
mengesampingkan upaya tehnis yang lain berupa pembinaan peraturan serta ketentuan-ketentuan yang ada. Pada dasarnya pemberian hak-hak atas tanah tersebut meliputi beberapa unsur, yaitu : a) Subyek permohonan, dengan sasaran penelitian berupa data pribadi atau warga Negara. b) Lokasi tanahnya, yang menyangkut letak tanahnya sebenarnya tanah yang diuraikan serta batas-batas yang tegas sesuai dengan prinsip-prinsip Contradictoire Delimitasie. c) Bukti-bukti perolehan haknya secara beruntun dan sah menurut hukum. Proses pemberian hak terhadap suatu permohonan hak atas tanah semata-mata hanya dengan melihat segi-segi prosedurnya saja. Suatu permohonan tidak cukup hanya dianalisis dengan apakah pemohon memenuhi syarat, permohonan tersebut telah diumumkan, diperiksa secara fisik, diukur, dibuatkan fatwa dan lain sebagainya yang sifatnya prosedur, melainkan harus pula dikaji dari segi hukumnya. Oleh karena itulah, maka tepat sekali apabila stelsel yang dianut dalam pendaftaran tanah atau hak sebagaimana menurut Peraturan Pemerintah No.16 tahun 1961 adalah menganut stelsel neatif (cenderung kepada positif) yang memberikan kesempatan bagi siapa yang merasa lebih berhak untuk selanjutnya membuktikan bahwa dirinya adalah pemilik sebenarnya dari tanah yang dimaksud.
9
Penilaian terhadap pembuktian yang dilakukan oleh aparat pelaksana agararia terhadap permohonan tersebut adalah dari segi riwayat perolehan tanah kepada yang bersangkutan. Disinilah dapat ditemukan adanya aspek keperdataan, pejabat agraria yang berwenang harus menerapkan ketentuan-ketentuan peraturan maupun hukum yang mengatur keperdataan. Masalah-masalah mengenai sengketa batas banyak sekali dijumpai dalam masyarakat dan memerlukan peranan Badan Pertanahan Nasional dan masalah-masalah tersebut sering masuk dalam “lapangan hukum administrasi” sebagaimana kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai nilai-nilai fries ermessen (berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu) sesuai dengan tujuan dan berdasarkan hukum (rechmatige). Dari kewenangan pemerintah di atas sering dijumpai aspek yang lainnya selain aspek hukum, aspek yang lebih menonjol adalah aspek ekonomi, apabila hanya dilihat dari segi hukumnya saja yang digunakan sebagai pertimbangan akibatnya akan menimbulkan hal-ahl yang bersifat negatif terhadap warga masyarakat tersebut, yamg tidak jarang akan menyebabkan krisis sosial dan mengganggu kewibawaan pemerintah. Masalah-masalah seperti inilah yang digolongkan sebagai sengketasengketa yang bersifat strategis. Pemerintah biasanya akanmempertimbangkan terlebih dahulu kepada pertimbangan non pemerintah (politik, ekonomi, sosial dan keamanan) dahulu dan setelah itu baru berpaling kepada soal hukumnya.
10
Oleh karena itu banyak pendapat dari kalangan praktisi atau pelaksana agrarian yang mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, tidak hanya dibutuhkan keterampilan hukum.9 Seni yang dimaksu adalah dilihat dari kenyataan bahwa kasus-kasus yang dapat diselesaikan dengan cara pendekatan yang non yuridis. Sebagai contoh adalah pada masyarakat pedesaan sebagian besar berorientasi pada pemimpin masyarakat. Pola yang demikian berakibat besarnya peran tokoh masyarakat digunakan sebagai mediator penyelesaian suatu sengketa (yang bersifat strategis). Masalah pertanahan meliputi permasalahan teknis, sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian.10 a) Permasalahan teknis, adalah permasalahan yang di hadapi oleh masyarakat dan atau Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di pusat maupun daerah
berkaitan
dengan
system
perundang-undangan,
administrasi
pertanahan, atau mekanisme penanganan yang belum sempurna. b) Sengketa, adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat, dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusa tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.
9
Ibid; Hlm.20. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan No:01/JUKNIS/D.V/2007 Tentang Pemetaan Masalah dan Akar Masalah Pertanahan, Jakarta, 2007. 10
11
c) Konflik, adalah perbedaan nilai kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut penguasaan, kepemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, serta mengandung aspek politik, ekonomi dan social budaya. d) Perkara, adalah sengketa dan atau konflik pertanahan yang penyelesaiannya dilakukan melalui badan peradilan. e) Pemetaan masalah pertanahan, adalah proses pengkajian, penyusunan, pengolahan dan penyajian data sengketa, konflik dan perkara yang meggambarkan atau menginformasikan tentang tipologi, jumlah kasus, jumlah sebaran kasus berdasarkan wilayah administratif (Provinsi, Kabupaten/ Kota/Kotamadya, Kecamatan, Kelurahan/Desa), jumlah sebaran kasus berdasarkan karakteristik pihak yang bersengketa, mendapat perhatian publik, bersifat strategis dan berdasarkan jangka waktu penanganan. Sengketa pertanahan sebagaimana dikemukakan oleh Rusmandi Murad adalah : “Perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui jalur musyawarah atau pengadilan”.11
11
Murad, Penyelesaian Sengketa hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991, Hlm.12.
12
Pengertian sengketa pertanahan dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 tahun 1999 tentang tata cara penanganan sengketa pertanahan, yaitu Sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai : a. keabsahan suatu hak b. pemberian hak atas tanah c. pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya, antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sengketa pertanahan dapat diklasifikasikan berdasarkan substansi dan pihak-pihak atau pelakunya serta cara penyelesaiannya. Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara lain : a) Masalah/persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau tanah yang belum ada haknya. b) Bantahan terhadap sesuatu alas hak atau perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak (perdata). c) Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar.
13
d) Sengketa/ masalah lain yang mengandung aspek-aspek social praktis (bersifat straregis). Sesuai dengan maksud dan tujuan UUPA, khususnya mengenai ,eletakkan dasar-dasar dalam rangka mengadakan kepastian hukum atas tanah sebagaimana diatur dalam pasal 19, 23, 32 dan 38 yang menghendaki agar pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat rech kadaster dengan asas bahwa penguasaan saja terhadap suatu bidang tanah belum merupakan jaminan bahwa orang tersebut berhak atas tanahnya. Dari hal-hal tersebut di atas, maka bukan suatu hal yang mustahil, terbuka kemungkinan timbulnya perselisihan/persengketaan hak baik materiil maupun secara formil. Beberapa ketentuan peraturan yang dapat digunakan sebagai landasan operasional dari fungsi penyelesaian sengketa hukum atas tanah yaitu antara lain Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 khususnya pasal 29 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 tahun 1972 pasal 12 dan 14. Mengenai masalah sengketa batas dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah khususnya pasal 19 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Jika dalam penetapan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataan merupakan batas-batas bidangbidang tanah yang bersangkutan”.
14
Penyelesaian atas sengketa batas yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 pasal 19, membutuhkan peranan Badan Pertanahan Nasional penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaiannya. Sesuai denagan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional, bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun perundang-undangan yang lain tentang Pertanahan yang meliputi pengaturan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanan yang ditetapkan oleh Presiden. Dasar hukum yang mengaturbagaimana tata cara penanganan dan penyelesaian atas sengketa pertanahan oleh Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 tahun 1999 tentang tata cara penanganan sengketa pertanahan khususnya dalam pasal 3 yang berbunyi : (1) Setiap unit kerja dalam Kantor Menteri Negara Agraria dan Badan Pertanahan Nasional yang menerima penyampaian permasalahan sengketa pertanahan secara tertulis meneruskan surat/dokumen yang bersangkutan kepada Direktur Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah selaku Penangung jawab Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan. (2) Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan mencatat dan meneliti permasalahan sengketa tersebut dan memutuskan untuk : a. menangani sendiri sengketa yang bersangkutan apabila masalah tersebut dipandang sebagai sengketa yang sederhana, atau
15
b. mengusulkan dibentuknya Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan sebagaimana maksud dalam pasal 2 untuk menangani permasalahan sengketa yang dianggap rumit dan untuk merumuskan penyelesaiannya diperlukan keikutsertaan pejabat lain dari pada anggota Sekretariat Penanganan Sengketa. (3)
Dalam
hal
Sekretariat
Penanganan
Sengketa
memutuskan
untuk
merumuskan sendiri penyelesaian permasalahan sengketa yang diterimanya, maka Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan menugaskan seorang atau beberapa orang anggotanya untuk merumuskan penyelesaian sengketa tersebut dan menyiapkan surat/dokumen yang perlu dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dengan menetapkan batas waktu penyelesaiannya. (4) Dalam hal Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan memutuskan untuk mengusulkan dibentuknya Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan, maka usul tersebut disampaikan kepada Deputi Bidang Hak-hak Atas Tanah dengan disertai naskah surat penugasan yang diperlukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Apabila keanggotaan Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan terdiri dari pejabat di lingkungan Kantor Menteri Negara Agraria dan atau Badan Pertanahan Nasional yang menduduki jabatan setinggi-tingginya Eselon II, maka surat penugasan tersebut ditanda-tangani oleh Deputi Bidang Hak-hak Atas Tanah atas nama Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional;
b. Apabila keanggotaan Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan yang menduduki jabatan Eselon I atau pejabat dari unit kerja di luar Kantor
16
Menteri Negara Agraria atau Badan Pertanahan Nasional, maka surat tugas tersebut ditanda-tangani oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Mengenai penyelesaian atas sengketa pertanahan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu penyelesaian melalui jalur non peradilan (perundingan/ musyawarah/negosiation,
konsilasi
atau
consiliation,
mediasi/mediation,
abritase/abritan) dan jalur peradilan/litigasi.
17
E. METODE PENELITIAN 1. Obyek Penelitian Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Batas Dalam Rangka Penertiban Sertifikat Hak Atas Tanah Melalui Kantor Pertanahan di Kabupaten Temanggung.
2. Subyek Penelitian a. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung. b. Camat Ngadirejo. c. Camat Kandangan. d. Kepala Desa Karanggedong. e. Kepala Desa Ngemplak.
3. Sumber Data a. Data Primer, yaitu Data yang diperoleh langsung dari Subyek Penelitian. b. Data Sekunder, yaitu Data yang diperoleh melalui Studi literature dan Perundang-undangan yang berlaku dan relevan dengan Obyek Penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara, yaitu pengumpulan data-data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara lisan kapada subyek penelitian
18
b. Studi Pustaka, yaitu pengumpulan data-data dengan cara mempelajari literature-literature dan sumber-sumber lain yang ada kaitannya dengan obyek penelitian.
5. Metode Pendekatan Penulis menggunakan suatu metode pendekatan yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang dalam proses penelitiannya memandang dan membahas obyek penelitian yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
6. Pengolahan dan Analisis Data Dalam hal analisis data, data yang diperoleh diidentifikasikan dan disajikan dalam bentuk deskriptif kemudian dianalisis, yaitu pengolahan dan penguraian data yang diperoleh dalam suatu gambaran sistematis dengan melihat sistem hukum yang berlaku. Kemudian dari analisis tersebut diharapkan timbul pemahaman yang memberi makna.12
12
Mudzakkir, Hand Out Metode Penelitian hukum, Magister Hukum UII, Yogyakarta 1998, Hlm.19
19