1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanah sebagai sumber kehidupan, karena disinilah setiap orang bertempat tinggal, bercocok tanam untuk memperoleh bahan pangan, dan sebagai tempat peristirahatan yang terahir ketika dipanggil sang pencipta. Tanah yang dulu dipandang dari sudut sosial, yang tercakup dalam lingkungan hukum adat, Hak Ulayat dan fungsi sosial, kini mulai dilihat dengan kaca mata ekonomi, sehingga tepat apabila Perserikatan Bangsa-Bangsa mensinyalir bahwa saat ini masalah pertanahan tidak lagi menyangkut isu kemasyarakatan tetapi telah berkembang menjadi isu ekonomi.1 Sekitar jutaan jiwa petani di Indonesia masih belum memiliki lahan pertanian atau mengandalkan dirinya sebagai buruh tani. Besarnya jumlah buruh tani tersebut sangat memprihatinkan karena bagaimana mungkin bisa sejahtera seorang petani jika tidak memiliki lahan pertanian. Banyaknya petani yang belum memiliki lahan pertanian tersebut kemungkinan besar terjadi karena masih rendahnya pendidikan formal, biasanya petani adalah seorang pekerja keras namun sangat rendah pengetahuannya, sementara itu petani yang memiliki lahan pertanian juga masih sulit untuk hidup sejahtera, karena tidak sedikit dari mereka terjerat rentenir untuk membiayai pengelolaan tanahnya.2
1
Muhammad Yamin Lubis, Abd Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 26. 2 Wawancara dengan Syahranuddin Harahap, ( Warga Masyarakat Kabupaten Padang Lawas Utara) Juli 2011.
Universitas Sumatera Utara
2
Berdasarkan landasan politik hukum agraria Indonesia, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian sebagai pelaksana dari ketentuan diatas dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa hak menguasai Negara tersebut memberi wewenang untuk: 3 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Berkaitan dengan kewenangan Negara diatas, maka pemanfaatan tanah harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk mengatur pemanfaatan, pemilikan dan penguasaan tanah pertanian , Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 17 menentukan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau suatu keluarga, baik dengan hak milik atau hak-hak lainnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar seseorang (keluarga) dapat memiliki atau menguasai tanah pertanian tidak melebihi atau kurang dari ketentuan batas luas
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan Pelaksanaanya, Jakarta, Djambatan, 2000, hal. 229-230.
Universitas Sumatera Utara
3
maksimum dan minimum, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup atau penghidupan bagi para petani.4 Dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap masalah pertanian di Indonesia telah menunjukkan bahwa penguasaan, penggunaan dan pemilikan tanah masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam masyarakat, dimana ada sekelompok kecil dari masyarakat memiliki atau menguasai tanah
secara
berlebihan dan melampaui batas sedangkan dipihak lain sebagian kelompok dari masyarakat memiliki atau menguasai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas, yaitu dibawah batas minimum pemilikan tanah dan bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali, terpaksalah hidup sebagai buruh tani yang senantiasa hidup dibawah garis kemiskinan yang sifatnya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.5 Hal ini juga sangatlah bertentangan dengan tujuan dari penerapan
landreform yang diimplamentasikan di Indonesia sejak tahun 1960, dimana tujuan landreform diIndonesian dalam pidato Menteri Agraria Soedjarwo pada tanggal 12 September 1960 adalah; 1. Untuk mangadakan pembagian yang adil atas sumber panghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasi yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial. 2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani (land to the tillers) agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan. 3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial, suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak privat bezit yaitu hak
4
Upik Hamidah, Pelaksanaan Penetapan Batas Tanah Pertanian Setelah Diberlakukannya UU No. 56 Prp Tahun 1960, Justisia, No. 16 Th. V 1997. 5 Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria Seri Hukum Agraria V, Bandung, Alumni, 1980, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
4
milik sebagai hak yang kuat, bersifat perorangan, dan turun temurun, tetepi berfungsi sosial. 4. Untuk mengakhiri sistem tuan-tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk setiap keluarga, selanjutnya kepada keluarga dapat laki-laki ataupun perempuan. 5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan petani. Secara umum tujuan landreform adalah untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian secara khusus landreform di Indonesia agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus menyebutkan bahwa tujuan dari landreform adalah sebagai berikut:6 1. Ekonomi Landreform a. Untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi dari fungsi sosial pada hak milik tersebut. b. Untuk memperbaiki produksi nasional khususnya disektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat. 2. Tujuan Sosial Politik Landreform a. Mengakui sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang sangat luas. b. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar pembagian yang adil juga. 3. Tujuan Mental Phsycology Landreform. a. Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai kepemiliken tanah. b. Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya. Selanjutnya dalam rangka pembangunan pertanian perlu adanya tata ruang dan tata guna tanah, sehingga penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas 6
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, Medan, USU-Press, 1998, hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
5
tanah dapat menjamin kemudahan dan kelancaran usaha-usaha pertanian serta benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata. Sehubungan dengan itu perlu dicegah pemilikan dan penguasaan tanah oleh perorangan secara berlebihan, serta pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi sumber kehidupan yang layak. Oleh karena itu dalam rangka pembangunan masyarakat yang sesuai dengan asas sosialisme Indonesia disamping perlu adanya batas maksimal pemilikan tanah pertanian yang boleh dikuasai oleh satu keluarga, baik dengan hak milik maupun dengan hak lain, juga perlu diadakan penetapan luas minimumnya, dengan tujuan supaya setiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luas agar dapat mencapai taraf hidup yang layak. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa: “pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiki tanah pertanian minimum 2 hektar, baik untuk sawah maupun untuk lahan kering”. Sehubungan adanya penetapan batas minimum dua hektar maka diadakan larangan untuk menjual, membagi-bagikan atau memisah-misahkan tanah yang sudah ada sehingga menimbulkan berlangsungnya pemilikan hak atas tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar.” Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 menyebutkan sebagai berikut: “Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian karena pewarisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya
Universitas Sumatera Utara
6
atau berlangsungnya
pemilikan
tanah
yang luasnya kurang dari 2 hektar.
Larangan tersebut tidak berlaku kalau penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus”. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa pemecahan tanah pertanian yang luasnya dibawah batas minimum dua hektar kecuali karena pembagian warisan dilarang. Namun pada hakekatnya masih sering terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, hal ini sering dilakukan oleh petani diwilayah Kabupaten Padang Lawas Utara. Pemilikan tanah pertanian di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara masih banyak lagi yang dibawah 2 hektar setiap petani sekeluarga, dan bahkan yang tidak mempunyai tanah sama sekalipun masih banyak didapati. Jika pemecahan tanah tersebut masih tetap terjadi dilakukan oleh masyarakat bukan tak mungkin tanah yang sudah ada tersebut akan mengakibatkan timbulnya bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Pada dasarnya hal itu sangat tidak dikehendaki oleh masyarakat, karena bagaimana mungkin masyarakat mau jika tanah yang mereka miliki semakin habis. Pasti ada alasannya mengapa masyarakat tetap melakukannya, dimana kebanyakan mereka melakukan itu adalah karena keadaan ekonomi yang mendesak hanya itulah jalan satu-satu yang harus dilakukan dengan menjual sebagian dari tanah mereka. Berkaitan dengan terjadinya jual beli atas tanah pertanian, Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
7
“Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pajabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Akan tetapi kenyataannya di Kabupaten Padang Lawas Utara tidaklah demikian. Kebanyakan jual beli yang dilakukan oleh penduduk hanya dihadapan Kepala Desa, bahkan masih sering juga terjadi peralihan hak yang hanya dilakukan dengan secara lisan dan/atau kuitansi untuk pembuktian. Hal inilah yang sering menyebabkan terjadinya pemecahan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, karena jual beli tanah tersebut tidak dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sedangkan Kepala Desa sendiri tidak meneliti apakah peralihan hak tersebut melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 atau tidak.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut diatas maka ada terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara?
2.
Bagaimana akibat hukum atas terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara?
Universitas Sumatera Utara
8
3.
Bagaimana upaya-upaya yang mempengaruhi penegakan hukum tentang larangan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara?
C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara.
2.
Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum atas terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara.
3.
Untuk mengetahui bagaimana upaya-upaya yang mempengaruhi penegakan hukum tentang larangan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
9
1. Secara teoritis Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi ilmiah guna melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam tentang permasalahan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform. 2. Secara Praktis Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah yang berwenang dalam mengambil langkah-langkah kebijakan selanjutnya guna mengatasi permasalahan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan kepustakaan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan, khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimum Melalui Jual Beli Dikaitkan Dengan Penerapan Landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya. Walaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini adalah serbagai faktor pendukung dalam penulisan ini, karna hal tersebut memang sangatlah dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini.
Universitas Sumatera Utara
10
Adapun hasil dari penelusuran kepustakaan yang berhubungan dengan judul tersebut diatas adalah sebagai berikut: 1. “Pelaksanaan Redistribusi Tanah Objek Landreform Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 Di Kabupaten Langkat”, oleh Zulkarnain, Nim: 027005047. Permasalahan yang diangkat: a. Bagaimana penerapan ketentuan landreform setelah berlakunya Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 di Kabupaten Langkat? b. Akibat hukum apa yang timbul setelah penerbitan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 di Kabupaten Langkat? c. Kebijakan hukum apa yang diambil terhadap Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 di Kabupaten Langkat? 2. “Pelaksanaan Landreform Di Kabupaten Deli Serdang, Studi Mengenai Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T)”, oleh Irzan, Nim: 047005032/Hk. Permasalahan yang diangkat: a. Bagaimana pelaksanaan landreform dalam konteks Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T)? b. Apakah
kendala
dalam
pelaksanaan
Inventarisasi
dan
Registrasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T)? c. Bagaimana kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi kendala yang ditemui dalam pelaksanaan Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) tersebut?
Universitas Sumatera Utara
11
3. “Kajian Atas Landreform Dalam Rangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia”, oleh Herman S, Nim: 9733101004. Permasalahan yang diangkat: a. Bagaimana kontribusi landreform terhadap pembangunan hukum ekonomi? b. Mengapa program landreform di Indonesia tidak berjalan dengan baik? c. Bagaimana strategi hukum terhadap pelaksanaan program landreform di Indonesia dalam upaya pembangunan ekonomi?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi7, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada
fakta-fakta
yang
dapat
menunjukkan
ketidak
benarannya8. Selain itu teori dapat juga didefinisikan adalah suatu konstruksi dialam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman9. Teori berguna untuk mempertajam atau mengkhususkan fakta, berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep dan memperkembangkan defenisi, suatu ikhtiar yang diketahui, kemungkinan prediksi fakta mendatang, memberi petunjuk terhadap kekurangan10.
7
J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hal. 203. 8 Ibid, hal. 216 9 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, ELSAM-HUMA, 2002, hal. 184. 10 http: //staf . ui.edu/internal
Universitas Sumatera Utara
12
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan.11 Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya suatu kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.12 Menurut Kaelan M.S Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasasan teori pada suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.13 Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut: a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisidefenisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtiar dari padahal-hal yang diteliti. d. Teori memberi kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.14
11 12
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung , Mandar Maju, 1994, hal. 80. Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982,
hal. 37. 13
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta, Paradigma, 2005, hal. 239. 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986, hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
13
Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam “Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimum Melalui Jual Beli Dikaitkan dengan Penerapan Landreform” adalah dengan menggunakan pendekatan teori tujuan landreform. Landreform merupakan sebuah program yang berisikan redistribusi drastis atas pemilikan dan pendapatan melalui pengorbanan kaum tuan tanah, yang meliputi seluruh atau sebagian dari unsur-unsur; redistribusi jaminan pengaturan pembiayaan yang layak bagi pembelian tanah penyakapan, jaminan penguasaan dan penyakapan tanah yang adil, bimbingan teknis, perkreditan yang baik, pasilitas pemasaran dan lain-lain.15 Gerakan landreform muncul sebagai akibat tidak adanya keadilan sosial dalam masyarakat petani. Perbedaan kehidupan antara para petani dan tuan-tuan tanah terlalu menyolok sehingga menimbulkan kesadaran dari para petani untuk bangkit dan menuntut keadilan sosial, kemerdekaan dan emansipasi (penghargaan yang sama atas dasar kesamaan kedudukan), seperti halnya yang dimiliki oleh para tuan-tuan tanah. Aturan yang menetapkan larangan pemecahan tanah pertanian di bawah batas minimum terdapat pada Pasal 8 juncto Pasal 9 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 56 Prp Tahun 1960, dengan kualifikasi pelanggaran dan bukan kejahatan, maka karena sifat hakikatnya dalam sejarah kemanusiaan, perbuatan itu menjadi tindak pidana bukan karena kualitas perbuatannya, melainkan hanya akibat dibentuk dan diterapkannya peraturan perundang-undangan oleh penguasa. Perbuatan itu sendiri bukan sesuatu perbuatan yang dalam kesadaran hukum masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang jahat. 15
Suardi, Hukum Agraria, Jakarta, Badan Penerbit Iblam, 2005, hal.105.
Universitas Sumatera Utara
14
Oleh karenanya, penataan kembali struktur penguasaan dan pemilikan tanah melalui hukum dan perundang-undangan demikian, yang harus konsisten berpedoman pada asas dalam UUD 1945 dan UUPA. Untuk dapat terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan secara efektif, itu dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 16 a. Faktor hukumnya sendiri; b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk hukum menegakkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat , yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Abdurrahman senada dengan Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan berlakunya undangundang atau peraturan, yaitu: 17 a. Faktor peraturan hukumnya sendiri baik yang menyangkut sistim peraturannya dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang bersangkutan dan substansi atau isi dari peraturan tersebut. b. Faktor pelaksanaan dan penegak hukum yang diserahi tugas untuk melaksanakan peraturan tersebut. c. Faktor sarana dan prasarana yang mencakup berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut. d. Faktor budaya dan masyarakat setempat banyak mempengaruhi pelaksanaan undang-undang atau peraturan yang bersangkutan. Faktor-faktor tersebut diatas saling berkaitan erat satu sama lain, sebab merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas berlakunya undang-undang atau peraturan. Keempat faktor tersebut
16
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002,) hal. 12. 17 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
15
dapat dikaji berdasarkan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman yang menyatakan: untuk menilai bekerjanya hukum sebagai suatu proses, ada 3 komponen yang harus diperhatikan , yaitu: 1) Legal structure (struktur hukum), 2)
Legal substance (substansi hukum), 3) Legal culture (budaya hukum).18 Dari ketiga komponen-komponen dalam sistem yang saling mempengaruhi satu sama lain tersebut, maka dapat dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum merupakan budaya masyarakat, oleh karna itu tidak mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua sistem hukum saja, tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang ada dalam masyarakat. Suatu Peraturan Pemerintah haruslah dijalankan oleh organ atau struktur yang benar, akan tetapi itu semua akan berjalan dengan efektif apabila didukung oleh budaya hukumnya. Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa masalah-masalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga komponen-komponen inilah yang harus dapat dilaksanakan didalam efektifitas penerapan undang-undang terhadap Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Kerangka Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu
18
Lawrence M. Friedman, seperti yang dikutip dalam buku Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
16
yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.19 Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dua bius) dari suatu istilah yang dipakai untuk ditemukan suatu kebenaran dengan substansi yang diperluhkan “.20 Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan gejala-gejala tertentu. Kerangka konsepsional merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.21 Dalam penulisan tesis ini diperlukan konsepsi yang merupakan defenisi operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut: a. Penetapan luas tanah pertanian dilakukan dengan peraturan perundangundangan dan pemilikan atau penguasaan tanah pertanian dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 diperintahkan kepada pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar. Menurut penjelasannya 2 (dua) hektar itu bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering.22 b. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan, bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempatlah
19
Soerjono Soekanto, Loc.Cit Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2006, hal. 31. 21 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 20. 22 Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 382. 20
Universitas Sumatera Utara
17
yang menentukan berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa luas yang merupakan tanah pertanian.23 c. Landreform adalah perombakan mengenai pemilikan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah.24 d. Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. e. Pemilikan atas tanah adalah jaminan hukum yang lebih luas dan terpenuh dari hak-hak lain untuk melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan hak itu untuk memenuhi kepentingannya sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi sosial. f. Tanah Absentee adalah tanah yang dimiliki seseorang (pemilik), dimana orang tersebut bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letaknya tanah tersebut.25
G. Metodologi Penelitian Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dengan asal kata methods yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan penelitian yang menyangkut tentang cara kerja yang berfungsi untuk dapat memahami objek yang menjadi sasran ilmu 23
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan Pelaksanaanya, Jakarta, Djambatan, 2000, hal.372. 24 Ibid, hal. 364. 25 Tampil Anshari Siregar, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Medan, FH USU, 2006, hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
18
yang bersangkutan.26 Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistimatis, metodologis, dan konsisten.27 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan gejala menganalisanya.28 Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memhami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.29 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. Sehubungan dengan itu dalam kegiatan penelitian yang akan dilakukan sehubungan dengan permasalahan tersebut sebelumnya dapat dikemukakan beberapa hal diantaranya:
1. Spesifikasi Penelitian Berdasarkan judul dan permasalahan yang akan dibahas didalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, disebut demikian karna “penelitian ini merupakan penelitian yang memafarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta atau individu, kelompok atau keadaan, dan untuk menentukan
26
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta , Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 16 27 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 1. 28 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hal. 6. 29 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta, Indonesia- Hill Co, 1990, hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
19
frekuensi sesuatu yang terjadi”.30 Sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskriptif atau gambaran yang seteliti mungkin tentang kajian hukum mengenai masalah Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimum Melalui Jual Beli di Kabupaten Padang Lawas Utara yang dikaitkan dengan Penerapan
Landreform, kemudiaan melakukan pengumpulan dan pengolahan data-data tersebut sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, artinya “penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku”,31 serta melihat
kenyataannya
yang sebenarnya
terjadi
dalam
masyarakat tentang pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum dikaitkan dengan penerapan landreform.
2. Populasi dan Sampel. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memecah tanah pertanian yang luasnya dibawah batas minimum pemilikan tanah pertanian melalui jual-beli di Kabupaten Padang Lawas Utara. Metode penentuan sampel dalam penelitian ini adalah teknik porpusive sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subyek yang didasarkan pada tujuan tertentu. 30 31
Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hal. 58. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yokyakarta, Andy Offset, 1989, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
20
Adapun subyek yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah dari kabupaten tersebut diambil 4 kecamatan, dan dari masing-masing kecamatan yang terpilih sebagai sampel tersebut diambil 4 desa sebagai sampel, jadi jumlah desa sampel seluruhnya ada 16 desa, dari masing-masing desa diambil 3 orang yang melakukan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual-beli. Sehingga sampel yang diambil adalah 48 orang yang melakukan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum. Masing-masing kecamatan dan desa yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Kecamatan Padang Bolak. 1) Desa Nagasaribu. 2) Desa Gunung Tua Tonga. 3) Desa Sihoda-hoda. 4) Pagaran Tonga. b) Kecamatan Portibi. 1) Desa Paya Goti. 2) Desa Muara Sigama. 3) Desa Pijor Koling. 4) Desa Gunung Manaon II. c) Kecamatan Padang Bolak Julu. 1) Desa Balimbing. 2) Desa Padang Bujur. 3) Desa Pamuntaran. 4) Desa Sobar.
Universitas Sumatera Utara
21
d) Kecamatan Halongonan. 1) Desa Hutaimbaru. 2) Desa hiteurat. 3) Desa Hutanopan. 4) Desa Hambulo. Selain itu, untuk melengkapi data dalam penelitian ini juga dipilih narasumber antara lain: a) Kepala Desa/Lurah dari beberapa sampel. b) Tokoh masyarakat yang ada disetiap sampel. c) PPAT dan Camat setiap kecamatan Sampel. d) Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan.
2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan studi dokumen maka data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari pada data primer. Data sekunder yang diteliti terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum: 1.
Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan perundangundangan, dokumentasi resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah
yang berkaitan dengan masalah pertanahan. Keputusan-
Universitas Sumatera Utara
22
keputusan Menteri Agraria serta peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan topik. 2.
Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan yang memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bahan hukum primer, yakni tulisan atau pendapat pakar hukum, hasil penelitian yang merupakan data dari studi dokumen yang berkaitan dengan objek permasalahan yang diteliti.
3.
Bahan Hukum Tersier Data tersier yaitu data yang memberikan petunjuk dan juga penjelasan terhadap data primer dan data sekunder yang berupa kamus, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal, laporan-laporan ilmiah yang akan dianalisis dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data a. Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dilakukan untuk memperoleh data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundangundangan, jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. b. Field Research (penelitian lapangan) yaitu dengan mengadakan wawancara dengan berbagai elemen masyarakat dan pihak-pihak yang berwenang yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara
23
4. Alat Pengumpulan Data Agar dapat memperoleh data yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
serta
dapat
dipertanggungjawabkan
hasilnya,
maka
alat
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumentasi atau studi kepustakaan. Setelah itu dilakukan wawancara secara langsung terhadap narasumber, yang bertujuan untuk mengumpulkan bahan penelitian berupa data-data kebenaran secara konkrit dan jeles melalui bantuan narasumber yang terkait dalam penelitian ini.
5. Analisis Data Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.32 Pengertian dianalisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
24
permasalahan yang telah diteliti. Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara