1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai kebutuhan hidup manusia, baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan. Bagi masyarakat pedesaan yang bercorak agraris tanah merupakan sumber penghidupan bagi para petani untuk bercocok tanam, sedangkan bagi masyarakat perkotaan kebutuhan tanah semakin meningkat untuk perkantoran dan pemukiman penduduk kota yang semakin padat, yang disebabkan karena adanya urbanisasi penduduk dari desa ke kota. Tanah untuk daerah tertentu dan lokasi tertentu di kota harganya semakin mahal, maka semakin sulit untuk mendapatkannya sehingga tanah seolah menjadi barang langka. Begitu juga kebutuhan akan tanah pada Desa Pamah sebagai Kabupaten Dairi, yang sedang melaksanakan pembangunan sebagai tindak lanjut dari otomomi khusus daerah, sedang luas tanah tidak bertambah tetapi kebutuhan akan tanah makin meningkat sesuai keberadaan manusia untuk melangsungkan hidupnya. Eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada masyarakat marga pinem cenderung melemah, oleh karena itu pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan eksistensi masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya, dengan mewujudkannya dalam sebuah Peraturan Daerah, hal ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Begitu
1
Universitas Sumatera Utara
2
pun dalam pelepasan dan penyerahan tanah ulayat kepada pihak luar diperbolehkan akan tetapi harus dengan izin kepala suku, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun1999, bahwa pelepasan atau penyerahan tanah ulayat masyarakat hukum adat harus sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa merupakan mendapat perlindung hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar keberadaannya oleh para pengambil keputusan. Wilayah Kecamatan Tanah Pinem dulunya dikepalai oleh seorang asisten demang Tanah Pinem pada tahun 1935, berkedudukan di Simbetek desa Tanah Pinem. Asisten Demang ini bertanggung jawab kepada Demag yang berkedudukan di Sidikalang. Pada tahun 1937 Pemerintah Kecamatan Tanah Pinem digabung ke Asisten Demang Tigalingga sampai tahun 1946 yang berkedudukan di Simbetek. Kenegerian Tanah Pinem terdiri dari 7 Kampung yakni Kampung Tanah Pinem, Kampung Kempawa, Kampung Kuta Gamber, Kampung Liren, Kampung Balan Dua, Kampung Lau Petundal, Kampung Kuta Buluh. Kenegerian ini dikepalai oleh 1 orang Kepala Negeri yang berkedudukan di simbetek pada tahun 1935 sampai dengan 1945, kenegerian ini dipimpin oleh Raja Ikuten Tanah Pinem yakni L. Tarigan. Kenegerian ini
Universitas Sumatera Utara
3
dikepalai oleh Kepala Negeri yang bernama Jemat Maha yang kemudian diteruskan oleh Itam Maha sampai tahun 1954 yang bererkedudukan di Lau Njuhar I. Kerajaan Pamah terdiri dari 6 Kampung yakni : Kampung Pamah, Kampung Lau Peske, Kampung Renun, Kampung Lau Gunung, Kampung Pasir Mbelang, Kampung Lau Mbelin. Kerajaan ini dikepalai oleh Raja Pandua Pamah yang bernama Nipati Pinem pada tahun 1935 dan berkedudukan di Pamah.1 Pada tahun 1946 wilayah Kecamatan Tanah Pinem kembali berkedudukan di Simbetek dengan nama Kecamatan Tanah Pinem, dipimpin oleh seorang Asisten Wedana yang bernana Ngapit Tarigan tahun 1946 sampai dengan1947. Kecamatan ini terdiri dari gabungan 3 Kenegerian yakni : Kenegerian Tanah Pinem, Kenegerian Tanah maha dan Kenegerian Juhar Kidupen Manik ditambah satu Kerajaan Pamah yang dipimpin oleh Raja Pandua sampai tahun 1949. Pada tahun 1949, Asisten Wedana Ngapit Tarigan diganti oleh Johannes Pinem dan pada tahun itu juga Ibukota Kecamatan Tanah Pinem dipindahkan dari Simbetek (Desa tanah Pinem) ke Kuta Buluh Pada tahun 1949 juga Asisten Wedana Johannes Pinem dipindahkan ke Lau Baleng Kecamatan mardingding, Penggantinya menjadi Asisten Wedana Tanah Pinem adalah Nembah Bangun Sampai tahun 1955. Pada tahun 1955 Nembah Bangun diganti oleh Mantas Tarigan sebagai Asisten wedana Tanah Pinem hingga tahunn 1958. Kemudian Mantas Tarigan diganti oleh J.S Meliala sebagai Asisten Wedana Tanah Pinem sampai tahun 1959. Pada tahun 1959 J.S Meliala diganti oleh Tengteng Munte menjadi Asisten Wedana Tanah Pinem hingga tahun 1963.2 Bersamaan dengan proses penggantian nama wilayah Tanah Pinem sejak dari simbetek sampai ke Kuta Buluh, maka tahun 1963 status kenegerian di Kecamatan Tanah Pinem dihapuskan dengan hanya satu status pemerintahan yaitu Kecamatan Tanah Pinem yang terdiri dari 11 desa yaitu : Desa Renun, Desa Pasir Tengah, Desa Pamah, Desa Kuta Buluh, Desa Tanah Pinem, Desa Kuta Gamber, Desa Kempawa, Desa Lau Primbon, Desa Harapan, Desa Gunung Tua dan Desa Suka Dame. Pada tahun 1963 jabatan Asisten Wedana Tanah Pinem digantikan oleh Waldemar Pinem sampai 1965. Pada tahun 1965 Waldemar Pinem pindah ke Kantor Bupati dan digantikan oleh Tamin Keloko sebagai Asisten Wedana Kecamatan Tanah Pinem sampai tahun 1969. Kemudian Tamin Keloko diganti kembali oleh Waldemar Pinem sampai tahun 1978. Dibawah Waldemar Pinem pada tahun 1971 terlaksana Pemilihan Umum Pertama Pemerintahan Orde Baru. Pada tahun inilah nama Jabatan Asisten Wedana berubah menjadi Camat.3 1
Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi, Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka 2011, Koodinator Statistik Kecamatan Tanah Pinem, 2011, hal 13 2 Ibid, hal 13 3 Ibid, hal 13
Universitas Sumatera Utara
4
Maria S.W. Sumardjono menyebutkan bahwa eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan diangkatnya Kepala Kelurahan dari pamong desa menjadi Pegawai Negeri maka tanah bengkok menjadi urusan Pemerintah Daerah oleh karena memang hak otonomi ada pada Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota, yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dirubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, kemudiaan dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.4 Mengamati kewenangan yang ditimbulkan dari tanah ulayat, tampak bahwa masyarakat desa memiliki hak otonomi dalam artian kemandirian dalam mengurus dan menentukan persoalan yang terkait dengan keberadaan di wilayahnya, kemandirian
dalam
mengurus tersebut ditunjang pula dengan
mekanisme
musyawarah desa yang berfungsi sebagai forum untuk melibatkan anggota masyarakat sebanyak-banyaknya sebelum Kepala Desa mengambil hal yang penting terutama yang berkaitan dengan tanah, tidak mengherankan jika keputusan Kepala Desa yang diambil dengan cara mekanisme seperti itu tidak akan menimbulkan konflik ataupermasalahan karena memang masyarakat benar-benar telah ikut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ulayat diserahkan kepada peraturan daerah masing-masing di mana hak ulayat itu berada. Realisasi dari pengaturan
4
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2008, hal 16
Universitas Sumatera Utara
5
tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan. Mengenai eksistensi Hak Ulayat, UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental diatas, dapatlah dikatakan, bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni : 1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu, sebagai subyek hak ulayat; 2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai tanah pinem yang merupakan obyek hak ulayat; dan 3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana diuraikan diatas.5 Hak ulayat mempunyai sifat berlaku keluar dan ke dalam. Maka kewajiban yang pertama penguasa adat yang bersumber pada hak tersebut adalah memelihara kesejahteraan, kepentingan anggota masyarakat hukumnya, mencegah terjadinya perselisihan dalam penggunaan tanah dan jika terjadi sengketa ia wajib menyelesaikannya. Memperhatikan hal tersebut maka pada prinsipnya penguasa adat
5
Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2001),hal.57
Universitas Sumatera Utara
6
diperbolehkan mengasingkan atau mengalihkan seluruh atau sebagaian tanah wilayahnya kepada siapapun. Hal ini mengandung arti bahwa, ada pengecualian, dimana anggota masyarakat hukum adat diberikan kekuasaan untuk menggunakan tanah yang berada pada wilayah hukumnya.6 Agar tidak terjadi konflik antara warga maka perlu memberitahukan hal tersebut kepada penguasa adat yang tidak bersifat permintaan ijin membuka tanah. Hak ulayat sifat berlaku keluar merupakan hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan terhadap orang asing atau bukan anggota masyarakat yang bermaksud ingin mengambil hasil hutan atau membuka tanah dalam wilayah hak ulayat tersebut.7 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah Hak Ulayat masyarakat adat yang nyatanyata masih ada didaerah yang bersangkutan. Seperti kasus kita lihat konflik pertanahan telah berlangsung sejak zaman kolonial hingga saat ini. Khususnya dalam areal perkebunan yang berasal dari konsensi yang diberikan sultan kepada perusahaan perkebunan (onderdeming) diatas tanah ulayat. Hak konsensi berubah menjadi hak erfphact dan kemudian berubah menjadi Hak Guna Usaha. Peristiwa hukum ini telah menghilangkan kedudukan hak ulayat masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal. Konflik pertanahan yang berlanjut menjadi sengketa pertanahan antara rakyat dengan pemerintahan dan pihak 6
Hazairin, 1994, Sekelumit Persangkutpautan Hukum Adat dalam tujuh Serangkaian tentang Hukum, Penerbit Tirta Mas, Jakarta, hal 75 7 Hi.Rizani Puspawidjaja, 2006, Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran,Penerbit Universitas Bandar Lampung, Lampung, hal 39
Universitas Sumatera Utara
7
onderneming yang sekarang menjadi pihak PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II, khususnya antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat. Sengketa ini dalam praktek sulit diselesaikan, bahkan belum diselesaikan muncul lagi sengketa baru. konflik sengketa tanah yang terjadi antara Badan perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) dengan PTPN II. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) adalah organsasi petani orang Melayu yang berdiri tahun 1953. didirikan tahun 1953, tetapi akar BPRPI sudah ada sejak masa kolonial Belanda menguasai Sumatera Timur. Setelah diberlakukannya Undang–undang Agraria 1870 pengusaha swasta asing kolonial mulai mengalir ke Sumatera Timur untuk menanamkan modalnya dalam industri perkebunan, ketika pengusaha swasta asing kolonial berlomba memasuki Sumatera Timur mendirikan Industri Tembakau, orang Melayu yang sebelumnya mengusahakan tanah pertanian mengalami perubahan dalam bercocok tanam. Sebelum kedatangan pengusaha swasta asing kolonial, orang Melayu dari satu tempat ke tempat lain membuka hutan dan menanam padi dengan sistem ladang berpindah. Akan tetapi sesudah industri perkebunan tembakau mulai beroperasi, cara bercocok tanam ladang berpindah orang Melayu ikut berubah. Orang Melayu tidak lagi membuka hutan, tetapi menggunakan tanah jaluran sebagai lahan perladangan. Perubahan tersebut tidak mengganggu kegiatan bercocok tanam orang Melayu, sebab kegiatan pertanian orang Melayu diakui dan dicantumkan kedalam akta konsensi. Diakui dan dicantumkannya hak atas tanah tersebut kedalam akta konsensi menunjukkan orang Melayu tetap dapat mengolah tanah, walaupun tanah ditanami tembakau. Jika tembakau sudah dipanen orang Melayu dapat mengerjakan bekas tanah tembakau itu. Selama tembakau belum dipetik orang melayu menunggu tembakau sampai dipanen. Mereka yang menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu. Sedang tanah bekas kebun tembakau yang diolah Rakyat Penunggu disebut tanah jaluran 8 Secara umum dari kasus tersebut diatas dapat dianalisa, bahwa tindakan penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat diatas tanah perkebunan, terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara dengan hak ulayat masyarakat adat. Dalam UUPA terdapat dua sistem hukum yang berbeda mengenai hak menguasai terhadap tanah. Keadaan ini menimbulkan terjadinya conflicten 8
Budi Agustino. Kebijakan Perburuhan di Sumatera Timur. Medan, Yayasan Akatiga, 1995.
hal. 35
Universitas Sumatera Utara
8
recht/perselisihan hukum, maka dalam hal ini perlu ditegaskan tentang apa yang menjadi peraturan hukum atau hukum mana yang berlaku mengenai suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum yang memuat unsur-unsur yang dapat menyangkutkan dua atau lebih sistem hukum yang berlaku. Dari kasus ini Pemerintah hanya menentukan hukum yang berlaku dalam konflik tersebut, hanya bersandar pada Pasal 2 UUPA, sedangkan Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA dikesampingkan. Konflik antara hukum negara (UUPA) dan hukum adat/tradisi tak tertulis, terjadi karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi dalam UUPA, tidak melestarikan tatanan tradisi masyarakat adat/lokal yang lama, dengan cara mengakomodasi tradisi dan hukum adat lokal ke dalam UUPA. Tetapi hanya mendekonstruksi serta merekonstruksi tatanan-tatanan institusional yang ada atau bahkan untuk menggantikannya dengan yang baru dalam rangka mengupayakan unifikasi hukum tanah. Akhir-akhir ini di daerah tersebut seringkali terjadi isu sengketa tanah dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa yang sering kali muncul di daerah tersebut adalah sengketa perdata yang berkenaan dengan masalah tanah di antara warganya dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa-sengketa tersebut bersumber dari tanah-tanah hak ulayat, atau obyeknya hak ulayat. Di sisi lain pernah terjadinya sengketa perdata, sengketa antar masyarakat adat dengan obyek tanah ulayat yaitu mengenai sengketa pengadaan tanah untuk lokasi permukiman transmigrasi oleh Pemerintah Daerah.
Universitas Sumatera Utara
9
Dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi tersebut mereka mempunyai cara sendiri yang mereka anggap lebih efektif. Meskipun telah ada lembaga pengadilan yang disediakan oleh Pemerintah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul, mereka memilih cara lain yaitu melalui penyelesaian di luar pengadilan. Penyelesaian non litigasi dipilih oleh masyarakat dengan alasan dari segi waktu yang relatif lebih cepat dapat terwujud, biaya murah,dan penyelesaian masalah dilakukan dengan cara damai yaitu melalui musyawarah. Secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan kosensus. Mengenai batas-batas hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem dapat dilihat berupa batu, bukit, kayu dan pancuran merupakan batas kewenangan dan batas pemilikan hutan yang satu dengan hutan yang lain atau batas pemilikan keturunan yang satu dengan keturunan yang lain. Batas-batas hak ulayat di daerah ini dapat dibuktikan pada saat adanya perselisihan antara pemilik tanah yang satu dengan pemilik tanah yang lain, dan pembuktiannya yaitu dengan cara menghadirkan saksi dari keturunan dan saksi-saksi dari tetangga. Sehingga adanya perdamaian diantara ke dua belah pihak dengan cara musyawarah. Mengenai penetapan batas bidang-bidang tanah diatur dalam Pasal 17 PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang tanah yang akan dipetakan diukur setelah ditetapkan letaknya.
Universitas Sumatera Utara
10
2. Batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan. 3. Dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistimatik dan pendaftaran tanah secara sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. 4. Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. 5. Bentuk, ukuran dan teknis penempatan tanda batas ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA di undangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, sedangkan penjelasan UUPA dimuat dalam Tambahan Negara Tahun 1960 Nomor 2043. Undang-undang tersebut menentukan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.9 Arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan atas tanah bagi tiap warga negara Indonesia, akan tetapi negara memiliki kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) tersebut terkandung makna adanya hubungan penguasaan, yang artinya bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
9
Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, (Jakarta : ELSAM, 2006), hal 70
Universitas Sumatera Utara
11
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai negara, sedangkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya akan melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan ketiga hal tersebut. Hak menguasai tanah oleh negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat dan perorangan atas tanah, sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah.10 Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa (conssesie).11
10 11
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Jakarta, 2007, Hal. 7. http://blogingria.blogspot.com/2012/03/hukum-tanah-adat.html diakses 3 Juli 2012
Universitas Sumatera Utara
12
Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha perkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara. Sengketa ini berkisar tentang siapa
yang
berhak
menyewakan,
menggarap,
mengolah
dan
menentukan
perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat dengan hak ulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat kontrak sewa dengan menerima konsensi dari sultan yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah. Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilisator dan penjaga hukum serta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. kepentingan utama yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda yaitu menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggap peluang untuk memperluas pengaruh politiknya di tanah melayu yang dianggap mengandung potensi luas bagi sumber produksi, sehingga akan menanbah pemasukan bagi devisa negara. Disamping itu juga, pengusaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alasan hak sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian, pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan potensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap dan cukup tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat),
Universitas Sumatera Utara
13
sehingga mereka mengganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun.12 Penyelesaian persoalan dalam sengketa masyarakat versus perkebunan dalam hal ini khususnya PT. Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara, pemerintah dalam melakukan penyelesaian sengketa pertanahan khususnya areal PT. Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara, tidak semata-mata harus bersandar pada aturan tertulis saja. Tetapi harus lebih komprehensip menyangkut sistem hukum, perilaku hukum yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis tentang hal tersebut dengan judul : “Eksistensi Tanah Ulayat Marga Pinem Di Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi.” B. Perumusan Masalah Adapun pokok masalah dari penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi?
2.
Bagaimana pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi?
3.
Apakah yang menjadi konsekuensi dengan terjadinya peralihan/pemindahan hak atas tanah ulayat?
12
Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan : Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur. Medan,USU Press, 2005 hal. 110-111
Universitas Sumatera Utara
14
C. Tujuan Penelitian Sebagai tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi
2.
Untuk mengetahui pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi.
3.
Untuk mengetahui pengalihan hak tanah ulayat kepada warga pendatang ke Desa Pamah dikaitkan dengan hukum agraria.
D. Manfaat Penelitian Beranjak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat atau kontribusi sebagai berikut : 1.
Dari segi teoritis, dapat memberikan sumbangsih pemikiran baik berupa pembendaharaan konsep, metode proposisi, maupun pengembangan teori-teori dalam khasanah studi hukum dan masyarakat.
2.
Dari segi pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan (input) bagi pemerintah Kecamatan Tanah Pinem khususnya bagi Desa Pamah.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Magister Kenotariatan, diketahui bahwa penelitian tentang “Eksistensi Tanah Ulayat Marga Pinem Di Desa Pamah
Universitas Sumatera Utara
15
Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik yang mirip, namun jelas berbeda dengan penelitian ini. Ada ditemukan beberapa
penelitian sebelumnya tentang Tanah Ulayat,
namun topik permasalahan dan bidang kajiannnya berbeda dengan penelitian ini, peneliti tersebut antara lain : 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Syarifah M, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”. Pokok masalah dari penelitian adalah: a. Bagaimana Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau? b. Bagaimana Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah Oleh Masyarakat Suku Sakai Kepada Pihak Lain Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nomor 5 Tahun 1999?
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Diana Elisabeth Siallagan, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Keberadaan Hak Ulayat di Kabupaten Simalungun”. Pokok masalah dari penelitian adalah: a. Apakah hak ulayat masih Eksistensi dalam batas-batas di Kabupaten Simalungun?
Universitas Sumatera Utara
16
b. Bagaimanakah pengaturan, penggunaan, peruntukan dan peralihannya terhadap hak ulayat di Kabupaten Simalungun? c. Bagaimanakah menyelesaikan bila terjadi sengketa hak ulyat di di Kabupaten Simalungun 3.
Penelitian yang dilakukan oleh Maria Kaban, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Keberadaan Hak Masyarakat Adat atas tanah di tanah karo”. a. Bagaimanakah status hak ulayat Atas Tanah di Tanah Karo ? b. Bagaimanakah Sistem Penggunaan Tanah Adat karo ? c. Bagaimanakah Keberadaan Hak Masyarakat Adat karo? Dengan demikian jelas bahwa penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses
tertentu terjadi,13 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktafakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14 Menetapkan landasan teori pada
13
J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm 203 14 Ibid, hal. 216
Universitas Sumatera Utara
17
waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah. Sebelumnya diambil rumusan landasan teori seperti yang dikemukakan M. Solly Lubis, yang menyebutkan : “Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau pun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.15 Teori ini sendiri adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atau suatu gejala. Adapun teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah : “Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefiniskan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut ”.16 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas Ilmu Hukum. Secara umum, Ter Haar mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’ (Ballon Theory). Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan 15
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hlm. 80 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Gramedia, 1989), hlm 12 16
Universitas Sumatera Utara
18
sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan : Dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat – pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak–hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.17 Teori Balon (mengembang dan mengempis), pada waktu seorang warga persekutuan atas izin persekutuan membuka dan mengurus terus menerus bidang tanah tertentu, hak ulayat persekutuan menipis (tapi tetap ada) hak perorangan menonjol. Bila tanah diterlantarkan, hak persekutuan penuh kembali.18 Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori balon (Ballon Theory), untuk menjaga kontinuitas terhadap tanah-tanah adat maka salah satu cara adalah dengan memproteksinya dan Desa Adat seharusnya membentuk suatu badan hukum yang khusus mengelola, mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah adat.19 Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomianya masih bercorak agraria, sehingga tanah merupakan bagian dari 17
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung ; Sumur Batu, 1985), hlm 57 http://webcache.googleusercontent.com diakses 13 Juli 2012 19 Op.Cit, hlm 57 18
Universitas Sumatera Utara
19
kehidupan manusia yang sangat penting karena seluruh aktifitas kehidupan manusia tergantung pada tanah. Dalam rangka memakmurkan rakyat secara adil dan merata sebagai bagian dari tujuan pembangunan nasional, harus dilaksanakan melalui berbagai bidang, sehingga tercipta sebuah keadaan bahwa melalui penguasaan dan pengunaan tanah yang tersedia, rakyat dapat memenuhi semua kebutuhan dengan memuaskan.20 Tanah yang bersifat abadi mempunyai kedudukan khusus dalam hukum adat karena tanah merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia. Tanah mempunyai kedudukan khusus/ penting dalam hukum adat karena tanah merupakan tempat tinggal, tempat untuk mengubur dan tempat untuk berlindung bagi persekutuan dan roh leluhur persekutuan.21 Permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan zaman Kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas tanah adat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah adat yang tidak mempunyai bukti tertulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalah-masalah berupa sengketa, baik dalam batas maupun sengketa dalam siapa-siapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut. Ditinjau dari segi kehidupan masyarakat indonesia kita melihat adanya hubungan hukum antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, dengan perkataan lain persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah yang dinamakan “beschikkingsrecht” (hak menguasai tanah).22 Didalam hukum adat, perjanjian tentang tanah atau transaksi tanah termasuk dalam hukum tanah dalam keadaan bergerak, karena dalam perjanjian tentang tanah
20 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaanya. 1999. Jakarta: djambatan, hal. 3 21 Suryo Wignjodipuro, Pengantar & Asas Hukum Adat (Jakarta : Raja Grafindo, l990), Hal.23 22 Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, (Padang, Bina Aksara, 1985, hal 1 & 22
Universitas Sumatera Utara
20
ini merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memperoleh hak-hak atas tanah.23 Menurut Soerojo Wignyodipoero perjanjian tentang tanah ini dapat digolongkan atas dua bagian, yakni :24 a.
Perjanjian tentang tanah yang bersegi satu atau sepihak (een zijdig) yang berarti perolehan hak. Di dalam perjanjian ini hanya terjadi perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak, jadi tidak memerlukan pihak lain atau pihak kedua. Karena itu pada dasarnya dalam perjanjian ini hanya meliputi perbuatan hukum untuk memperoleh hak atas tanah bersegi satu ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : 1. Perbuatan hukum pendirian desa/dusun 2. Perbuatan hukum ini dinamakan dengan perbuatan membuka tanah secara perorangan
b.
Perjanjian tentang tanah bersegi dua (twezijdig) berarti peralihan hak. Dalam perjanjian ini diperlukan adanya dua pihak. Dengan dilakukannya perbuatan hukum oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka terjadilah proses pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain yang memperoleh hak atas tanah itu. Menurut Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan ,Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat 23
Hadikusuma, Hilman ,l982, Hukum Perjanjian Adat, Bandung : Alumni, hal 18 Wignyodipoera, Soerojo. 1994. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. CV. Haji Masagung. Jakarta, hal 68. 24
Universitas Sumatera Utara
21
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut yang bersangkutan. Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : 1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. 2. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari. 3. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlau dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan : 1. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA. 2. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah
Universitas Sumatera Utara
22
tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.25 Tanah Ulayat sebagai Nilai Sosiologis bukan hanya sekedar nilai ekonomi yang memberikan nilai tambah (suprlus) produksi tetapi merupakan ikatan sosial antara manusia dengan alam. Dalam pandangan sosial bahwa tanah merupakan salah satu penentu tinggi atau rendahnya derajat suatu kaum. Dalam kajian hukum adat peruntukan perolehan atas hak ulayat merupakan izin dari kepala adat (penghulu) pada lahan kosong, bekas bentuk usaha yang ditinggalkan, dan tanah kosong di daerah terpencil, pemanfaatan, hak pakai (Gebruiksrecht) dan hak untuk menggarap/mengelolah (ontginingsredht) merupakan hak pribadi kodrati diatas tanah. Kepemilikan atas hak tersebut akan melekat jika kemudian peserta mengadakan bentuk usaha tertentu atas tanah tersebut. Seperti dalam bentuk, Sawah, tebat, pekaranga, kebun tanaman muda dan kebun tanaman tua.26 Tanah ulayat merupakan salah satu bentuk kepemilikan tanah yang dilakukan secara bersama, hak ulayat sebagai istilah teknis hukum adalah hak yang melekat sebagai kompetensi hak pada masyarakat hukum adat berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar. Secara epistimologi ulayat berasal dari bahasa Arab diartikan ke-dalam bahasa Indonesia sebagai suatu daerah atau kawasan,27 hak ulayat merupakan hak komunal atau hak bersama atas sebidang tanah sebagai akibat dari terjadinya hubungan antara masyarakat hukum adat dengan wilayah dan secara prinsip dipusakai secara turun temurun dan tidak dapat dipindah tangankan ‘Tanah ulayat itu dijual tak dimakan 25 Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, (Jakarta : Djambatan, 2000).,Hal.63-65. 26 Wignyodipoera, Soerojo, Op.Cit, hal 69 27 Rais, Kamardi H. 2004. Status Tanah Ulayat dan Potensinya. Padang : Padang Ekspress, hal 34
Universitas Sumatera Utara
23
beli, digandai tak dimakan sando, (sandera),mahal tak dapat dibeli murah tak dpat diminta. Hak pengelolaan tanah ulayat dikenal dengan azaz terpisah (herizontal splitsen/horizontal splitting) artinya adalah hak yang digunakan disana adalah hak menikmati hasilnya, boleh ditanami, diolah, digarap, diusahakan, dikelolah, dan sebagainya maka hasilnya boleh dimanfatkan
namun jangan berlebihan
dan
tanahnya tidak boleh dipindah tangankan.28 Tanah tentu di yakini bukan hanya sebagai faktor produksi yang memiliki nilai ekonomi, yang bisa menjadi produk yang bisa diperdagangkan
disaat
permintaan akan tanah semakin tinggi namun juga memiliki nilai sosiologis dan kerohanian yang merupakan titipan Tuhan. Perolehan dan pemanfaatan
harus
sedemikian rupa seimbang dan adil dirasakan oleh semua pihak. Perwujudan dari rasa keadilan sosial tanah secara normatif dalam terlihat dalam prinsip dasar UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yakni prinsip “negara yang menguasai” prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua atas tanah, Prinisp landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestarian dan prinsip nasionalitas.29 Walaupun dalam prakteknya kemudian dijumpai beberapa peraturan biasa terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat dan belum memberikan perhatian pada kelompok masyarakat yang lebih besar.
28
Institute for Economic and Social Research. 2001. Tanah ulayat,Jakarta, Faculty of Economics University of Indonesia, Jurnal Website. FE-UI, hal 23 29 Hi.Rizani Puspawidjaja, 2006, Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran, Penerbit Universitas Bandar Lampung, Lampung, hal 23
Universitas Sumatera Utara
24
Bagi masyarakat hukum adat, tanah mempunyai fungsi yang sangat penting, “Sebagai salah satu unsur essensial pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di Negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu donditioe sine qua non” (suatu syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan sesuatu perjanjian itu berlaku).30 Kemudian hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah “Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak luar untuk melakukan hal yang sama dan sebagai suatu kesatuan bertanggung jawab terhadap perilaku menyeleweng yang dilakukan oleh orang asing di tanah tersebut, Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya, dengan cara mengatasi peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian tanah tertentu dari hak menikmatinya secara pribadi serta menarik bagian tanah tertntu dari hak menikmatinya serta pribadi, untuk kepentingan masyarakat langsung” .31 Maka masyarakat hukum adat sebagai totalitas, memiliki tanah dan hak tersebut dinamakan dengan hak ulayat yang oleh Hazairin disebut sebagai hak bersama, oleh karena itu maka masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah terbatas yang dinamakan lingkungan tanah. Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah kosong murni, tanah larangan, dan lingkungan perusahaan yang terdiri dari tanah yang diatasnya terdapat pelbagai bentuk usaha sebagai perwujudan dari hak pribadi atau hak peserta atas tanah.32 30
Bushar Muhamad, 2000, Pokok-pokok Hukum Adat, Penerbit Pradya Paramitha, Jakarta, hal 47 Soekanto,Soerjono. 2002. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal 173 32 Soekanto,Soerjono. 2006, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia,Penerbit Kurniaesa, Jakarta, hal 175 31
Universitas Sumatera Utara
25
Di pandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat maka lingkungan tanah dibedakan atas dua yakni lingkungan tanah sendiri, yakni linkungan tanah yang dikuasi dan dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat dan Lingkungan tanah bersama, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh bebera hukum adat yang setingkat dengan alternatif.
2.
Konsepsi Masalah tanah merupakan masalah yang senantiasa menarik perhatian oleh
karena masalah tanah menyangkut berbagai aspek kehidupan da penghidupan masyarakat. Bertambahnya penduduk dan adanya kecenderungan berkurangnya tanah untuk digarap akan menimbulkan permasalahan-permasalahan di bidang sosial dan sosial politik. Selain dari permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas, masih terdapat permasalahan-permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan zaman Kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas tanah adat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah adat yang tidak mempunyai bukti terulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalahmasalah berupa sengketa, baik dalam hal batas maupun sengketa dalam siapasiapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut. Masalah-masalah tanah seperti ini, tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama di daerah yang masih kuat hukum adat pertanahannya.33 Menjual tanah adat berarti menyerahkan hak atas tanah adat dengan menerima prestasi tertentu berbentuk uang tunai, dalam istilah hukum adat, jual beli dimaksudkan adalah jual lepas jual mutlak, jual lepas mutlak yaitu dengan dijualnya/diserahkannya atas suatu bidang tanah, maka melepaskan pula segala hak atas bidang tanah tersebut, sehingga perpindahan dari tangan penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya. Dalam penyerahan bidang 33
Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria, Bina Aksara, Sumatera Barat, 1985, hal 1-2
Universitas Sumatera Utara
26
tanah tersebut, pada saat itu diterima secara serentak pembayaran uangnya tunai secara sekaligus tanpa dicicil.34 Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional definition (Definisi Opreasional)35. Oleh karena itu, dalam penelitian ini didefenisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: a.
Eksistensi Tanah ulayat yaitu dapat dipahami sebagai keberadaan bidang tanah yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat.36
b.
Hak Atas Tanah yaitu hak penguasaan atas tanah yang memberikewenangan kepada pemegang hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya.37
c.
Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun menurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, idiologi, politik, budaya sosial dan wilayah sendiri.38
d.
Sertifikat adalah surat keterangan dari orang yang berwenang dan dapat digunakan untuk keperluan tertentu, atau merupakan tanda bukti yang kuat 34
Bushar Muhammad, 1988, Asas-Asas Hukum Adat suatu Pengantar, Penerbit Bina Cipta Bandung. 1988, hal 38 35 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bago Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm.10 36 Ignas Tri (Penyunting) Masyarakat Hukum Adat, Hubungan struktural dengan Suku Bangsa, Bangsa dan negara; Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2006, hlm. 327. 37 Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2006), hal 23 38 Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2004, hal.13.
Universitas Sumatera Utara
27
selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya dari data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya yang harus diterima sebagai data yang benar.39 e.
Tanah ulayat adalah segala sesuatu yang teradapat atau yang ada di atas tanah termasuk ruang angkasa maupun segala hasil perut bumi diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang yang diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan utuh, tidak terbagi dan tidak boleh dibagi.40
f.
Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara / Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda-bukti dan pemeliharaannya.41
G. Metode Penelitian 1.
Sifat Penelitian Sesuai dengan karekteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk
menganalisis bagaimana keberadaan tanah dalam masyarakat Adat Karo (studi di Desa Pamah Kabupaten Dairi) maka penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan 39
Parlindungan, Tanya Jawab Hukum Agraria dan Pertanahan , (Bandung : Mandar Maju Team, 2003), hal 47 40 Nurullah, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau, PT. Singgalang Press, Padang, 1999, hal. 10 41 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia , jilid 1, (Jakrta: Jambatan, 2007) hal 186.
Universitas Sumatera Utara
28
akurat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris, yang merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum yang terdiri dari hukum positif dan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diperoleh di lapangan secara langsung dari Desa Pamah Kabupaten Dairi. 2.
Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penyusunan tesis ini, penulis menggunakan penelitian
hukum normatif atau terapan yang bersumber dari data sekunder yaitu data yang berasal dari kepustakaan yang berupa buku-buku, dokumen, Koran atau majalah. Selain itu penulis juga menggunakan penelitian hukum atau penelitian dengan menggunakan data primer, dimana data yang diperoleh langsung dari lapangan. 1.
Penelitian Hukum Normatif Dalam penelitian normatif ini, penulis mencari dan mengumpulkan data-data sekunder yang berupa buku-buku, Undang-Undang serta studi perpustakaan dengan mempelajari bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi penelitian.42
2.
Penelitian Hukum Empiris Dalam penelitian hukum empiris ini, penulis melakukan penelitian lapangan untuk mendapatkan data-data yang diinginkan yang berupa data primer guna penyelesaian penulisan ini. Data-data yang diperoleh penulis dikumpulkan dan
42
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Normatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya 1993),
hal 24
Universitas Sumatera Utara
29
dianalisa kemudian disusun secara teratur, sistematis dan lengkap dalam suatu bentuk karya tulis ilmiah sehingga memudahkan untuk dipahami dan dipelajari.43 3.
Analisis Data Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisa
kualitatif untuk mengetahui bagaimana perolehan pelaksanaan, status dan keberadaan tanah dalam masyarakat adat karo marga pinem, apakah sesuai dengan peraturan yang berlaku atau tidak. Metode analisa kualitatif merupakan suatu cara penelitian yang menghasilkan data diskriptif, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Data yang diperoleh dari hasil penelitian diklasifikasikan kemudian dianalisis secara kualitatif yang selanjutnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam bentuk tesis.
43
Ronny Hanitijo Soemitro,1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 32
Universitas Sumatera Utara