I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya. Hutan sendiri mempunyai banyak peran penting bagi kehidupan manusia. Peranperan hutan itu antara lain sebagai penentu sistem penyangga kehidupan dan kemakmuran rakyat, sebagai perlindungan sumberdaya genetik, pengaturan stabilitas hidro-orologi, pengaturan stabilitas iklim, media penyerbukan ilmiah bagi vegetasi alam dan tanaman, obyek wisata dan rekreasi alam, media pengembangan kreativitas sosial ekonomi budaya, melestarikan cadangan benih, populasi, dan cadangan keanekaragaman hayati (Departemen Kehutanan, 2002). Dengan adanya hutan sebagai pengatur stabilitas hidro-orologi menyebabkan persediaan air terjamin sehingga hidupan liar berlangsung dengan baik dan juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat. Hutan sebagai salah satu sumberdaya yang bersifat common-pool resources (CPRs) memiliki sifat sebagai barang publik (common property). Mangkoesoebroto
(1993) menyebutkan
dua
sifat
barang publik
yaitu
penggunaannya tidak bersaingan (non rivalry) dan tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non excludability) sehingga dalam pengelolaan sumberdaya hutan seringkali menghadapi masalah yaitu sumberdaya hutan cenderung dieksplotasi secara berlebihan (over exploitation) (Purnamadewi dan Tanjung 2005). Pengertian sumberdaya sendiri dapat diartikan sebagai suatu konsep yang dinamis sehingga jika terdapat perubahan dalam informasi, teknologi dan
kelangkaan pada sumberdaya terutama sumberdaya hutan dapat berakibat sesuatu yang
semula
dianggap
tidak
berguna
menjadi
berguna
dan
bernilai
(Reksohadiprodjo dan Pradono 1998). Selain itu, sumberdaya secara jelas akan tergantung pada kondisi yang diwariskan di masa lalu, teknologi sekarang dan masa mendatang, kondisi ekonomi serta selera. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan dibagi ke dalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi sendiri terdiri dari : a) Kawasan suaka alam yang berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), b) Kawasan pelestarian alam yang berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura), dan Taman Wisata Alam (TWA) serta c) Taman Buru (Statistik Kehutanan 2007). Taman nasional sendiri menurut UU No. 5 Tahun 1990 adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya dan rekreasi. Salah satu contoh kawasan taman nasional yang ada di Indonesia adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) merupakan salah satu taman nasional dengan memiliki hutan hujan terluas di Pulau Jawa yang kaya akan keanekaragaman hayati, bentang alam dan beragam budaya tradisional. TNGHS terletak di Propinsi Jawa Barat dan Banten serta secara administratif terletak di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. 2
Kawasan TNHGS yang secara geografis terletak pada bujur 106o12’58” BT-106o45’50” BT dan 06o32’14” LS-06o55’12” LS memang menyimpan banyak sekali keanekaragaman hayati di dalamnya. Untuk keragaman flora di dalam kawasan ini tercatat sebanyak lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga, 75 jenis anggrek, 12 jenis bambu dan tumbuhan obat sebanyak 117 jenis dari 69 famili serta 10 diantaranya merupakan tumbuhan obat unggulan. Selain keragaman flora tersebut, keragaman fauna yang terdapat di TNGHS antara lain 4 jenis primata, 67 jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 49 jenis reptil, 77 jenis kupu-kupu, dan 244 jenis burung yang diantaranya sebanyak 32 jenis merupakan endemik jawa (Hartono et al 2007). Banyaknya keanekaragaman hayati yang ada di TNGHS ini merupakan sumber pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam kawasan TNGHS, contohnya seperti pemanfaatan tumbuhan obat, kayu untuk bahan bangunan dan bahan bakar. Hartono et al. (2007) juga menyebutkan jumlah penduduk di dalam dan sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat lokal yang ada umumnya adalah Suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok kasepuhan dan bukan kasepuhan. Kelompok kasepuhan di TNGHS adalah kelompok masyarakat Adat Sunda yang disebut Kasepuhan Banten Kidul. Kasepuhan adat terletak terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi sebelah barat hingga ke Kabupaten Lebak dan ke utara hingga Kabupaten Bogor (Wikipedia 2010). Emilia dan Suwito (2006) menyebutkan beberapa kasepuhan yang ada di TNGHS antara lain Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek serta Kasepuhan Cibedug. Sebagai salah satu Kasepuhan yang menempati di dalam kawasan taman nasional, 3
sudah pasti masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan misalnya, untuk kebutuhan bahan bakar dan bahan pembuatan rumah mereka memanfaatkan kayu yang ada di hutan, wilayah hutan yang datar mereka jadikan lahan pemukiman serta lahan persawahan dan kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam memanfaatkan sumberdaya hutan TNGHS sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menerapkan kearifan lokal yang mereka berlakukan di dalam kasepuhan mereka. Kearifan lokal yang mereka terapkan yaitu dalam konsep alokasi pembagian ruang adat yang mereka bagi menjadi lahan pemukiman, leuweung (hutan), reuma dan lahan garapan. Kearifan lokal yang ada di kasepuhan juga berupa aturan batasan (boundary rule) dan pemberlakuan sanksi atau hukuman terhadap yang melakukan pelanggaran. Walau dengan adanya konsep kearifan lokal yang diterapkan di Kasepuhan Cibedug ini tetapi masih ada peluang potensi ancaman yang bisa mengganggu kondisi dari sumberdaya hutan TNGHS itu sendiri. Potensi ancaman ini bisa datang dari aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan yang membuka lahan hutan menjadi reuma, lahan garapan seperti sawah dan kebun serta menjadi lahan tempat tinggal. Potensi ancaman ini bisa menjadi kenyataan apabila ditambah asumsi tiap tahun jumlah individu dalam kasepuhan ini meningkat yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup meningkat sehingga aktifitas yang telah disebutkan diatas semakin sering dilakukan. Keterkaitan antara tingkat pertumbuhan penduduk dengan kondisi sumberdaya yang ada dikemukakan dalam perspektif Malthus yaitu sumberdaya alam yang terbatas 4
tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh secara eksponensial (Fauzi 2004). Dengan pemaparan tersebut maka penting dilakukan studi mengenai bagaimana sistem pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug berdasarkan aturan-aturan pemanfaatan yang diberlakukan. Hal ini menjadi penting mengingat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberfaya hutan TNGHS sehingga memiliki keterkaitan terhadap kondisi sumberdaya hutan TNGHS di masa yang akan datang. 1.2.
Perumusan Masalah Keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan
Taman
Nasional
Gunung
Halimun-Salak
secara
tidak
langsung
telah
dilestarikannya salah satu dari ragam budaya tradisional yang ada di Indonesia oleh TNGHS. Akan tetapi dengan keberadaan masyarakat adat ini di dalam kawasan juga dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kondisi dari sumberdaya hutan TNGHS itu sendiri. Kehidupan sehari-hari masyarakat adat bergantung pada sistem pertanian tradisional yang pada umumnya masyarakat adat kasepuhan memanfaatkan hutan atau lahan yang ada dalam berbagai cara. Hartono et al (2007) menyebutkan huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun sebagai bentuk-bentuk yang digunakan dalam memanfaatkan hutan atau lahan yang ada. Siklus penanaman secara tradisional adalah sebagai berikut : setelah menebang hutan primer, hutan sekunder atau semak, lahan yang telah dibersihkan tersebut kemudian dijadikan huma atau ladang selama beberapa tahun.
5
Pada dataran tinggi ditanami padi dan sayur-sayuran seperti jagung, singkong dan kacang-kacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan sayursayuran beberapa kali dalam setahun. Untuk padi sendiri, setelah panen tergantung pada kondisi tanah dan kandungan air dalam lahan tersebut yang tergenang di atas tanah. Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan tersebut menjadi sawah sehingga ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah digarap terus menerus (Hartono et al. 2007). Sistem pengelolaan yang dikembangkan masyarakat adat kasepuhan yaitu menggunakan konsep turun-temurun dengan adanya leuweung titipan atau hutan titipan, leuweung kolot serta leuweung cadangan (Hartono et al 2007). Leuweung titipan atau hutan titipan dan leuweung kolot memiliki pengertian sebagai kawasan yang tidak boleh diganggu karena menjaga mata air dan leuweung cadangan atau hutan cadangan memiliki pengertian sebagai lahan yang dicadangkan oleh warga untuk jangka panjang ke depan dengan penggunaan yang bervariasi dari mulai cadangan garapan sampai cadangan pemukiman bahkan fungsi perlindungan (konservasi). Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan pun hanya digunakan untuk keperluan sendiri tidak untuk dijual atau dikomersilkan. Walaupun dengan adanya sistem pengelolaan hutan sebagai kearifan lokal yang telah diterapkan, tidak cukup untuk menyatakan bahwa sistem masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tersebut tidak akan menimbulkan perubahan apalagi kerusakan terhadap kondisi sumberdaya TNGHS. Ditambah lagi berdasarkan hasil penelitian Aprianto (2008), dikatakan bahwa keberadaan Kasepuhan Cibedug ini di dalam zona inti Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Secara perundang-undangan keberadaan masyarakat adat 6
di dalam zona inti taman nasional telah melanggar Pasal 33 Ayat 1 UndangUndang No 41 Tahun 1999 yang berbunyi setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Dalam pasal 34 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat bisa menjadi pengelola kawasaan hutan tetapi untuk pemanfaatan hutan sendiri harus berdasarkan pasal 24 yaitu pemanfaatan dapat dilakukan pada kawasan hutan kecuali hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional dan juga ditegaskan pada pasal 25 pemanfaatan di dalam taman nasional yang termasuk ke dalam kawasan pelestarian alam diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penambahan jumlah penduduk di Kasepuhan Cibedug khususnya pendatang yang bukan asli masyarakat adat menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup juga bertambah. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya aktifitas pembukaan lahan kawasan hutan TNGHS untuk dijadikan lahan garapan serta pemukiman. Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS) sebagai pihak resmi yang mengelola kawasan TNGHS sudah jelas mempunyai wewenang kuat untuk mengeluarkan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug karena menempati kawasan zona inti taman nasional yang sebelumnya disebutkan tidak boleh dilakukan perubahan di dalam kawasan zona inti tersebut. Proses pengeluaran masyarakat yang ada di dalam kawasan zona inti taman nasional bisa berjalan apabila kondisinya penetapan kawasan tersebut menjadi zona inti terlebih dahulu dilakukan dibandingkan keberadaan masyarakat yang menetap di dalam kawasan zona inti tersebut. 7
Hasil penelitian Aprianto (2008) disebutkan keberadaan masyarakat adat kasepuhan Cibedug sudah ada jauh sebelum ditetapkannya kawasan Gunung Halimun-Salak sebagai taman nasional. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa leluhur dari masyarakat adat Kasepuhan Cibedug telah menempati kawasan TNGHS sejak tahun 1920 dan masyarakat sudah benar-benar mendiami kawasan dalam jumlah cukup banyak mulai tahun 1942 sedangkan penetapan Gunung Halimun-Salak baru dilakukan pada tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (Departemen Kehutanan 2003). Berarti apabila dilakukan proses pengeluaran masyarakat adat yang ada di dalam kawasan zona inti maka tidak bisa dilakukan begitu saja karena masyarakat adat pasti akan tetap bersikukuh dengan keberadaannya di dalam kawasan zona inti TNGHS beserta dengan nilainilai yang melekat pada dirinya. Dengan kondisi yang seperti ini, konsep kolaboratif manajemen atau komanajemen bisa menjadi alternatif pengelolaan yang dilakukan pihak TNGHS terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam zona inti TNGHS. Landasan ko-manajemen ini tertuang pada UU No 41 tahun 1999 di Amar c yaitu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional dan dipertegas pada pasal 4 ayat 3 UU No 41 tahun 1999 bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. 8
Dari permasalahan diatas, penelitan ini akan mencoba untuk mengetahui dan memahami masalah-masalah berikut : 1.
Bagaimana kelembagaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak?
2.
Apakah terdapat indikasi ancaman dari pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug terhadap kawasan TNGHS.?
3.
Bagaimana bentuk ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug serta peran Balai TNGHS dan stakeholder terkait terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS?
1.3.
Tujuan Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
tentang kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terutama dalam sistem pemanfaatan sumberdaya hutan kawasan TNGHS serta pengaruhnya pada kondisi sumberdaya hutan TNGHS dan secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1.
Menganalisis peran BTNGHS serta stakeholder yang terkait dengan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS.
2.
Melihat kesesuaian serta potensi dampak yang dihasilkan dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug melalui perbandingan aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundangan yang berlaku pada pengelolaan kawasan TNGHS.
3.
Mengevaluasi kegiatan ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug di dalam pengelolaan kawasan TNGHS. 9
1.4.
Manfaat Manfaat penelitian ini adalah :
1.
Memberikan informasi bagi Balai Taman Nasional Gunung HalimunSalak mengenai kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional dan masukan dalam bentuk pengelolaan kawasan taman nasional dengan adanya masyarakat adat kasepuhan yang bermukim di dalam kawasan.
2.
Memperkaya literatur mengenai bentuk pengelolaan kawasan konservasi terutama taman nasional.
3.
Menjadi sarana bagi penulis dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa batasan, antara lain yaitu :
a.
Penelitian ini merupakan studi kasus analisis kelembagaan dan kebijakan terhadap sistem pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug. Hal ini perlu dikaji karena masyarakat adat tersebut memiliki kearifan lokal dan kelembagaan adat yang biasanya secara prinsip tidak merusak hutan.
b.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah keberadaan yang memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhannya mengancam kelestarian kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Biasanya masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak merusak alam. Oleh karena itu 10
perlu dikaji perbandingan antara aturan adat masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan peratuan pemerintah terkait pemanfaatan sumberdaya hutan. Perlu juga dikaji kelembagaan yang ada di dalam masyarakat adat tersebut. c.
Penelitian dilakukan di masyarakat adat Kasepuhan Cibedug Kabupaten Lebak karena kasepuhan ini berada di dalam zona inti Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebelum ditetapkan sebagai zona tradisional. Hasil penelitian hanya berlaku untuk Kasepuhan Cibedug saja.
11