BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan dengan kekayaan harta benda lainnya, oleh sebab itu maka anak harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi, termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Apabila dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. 1 Perlindungan adalah “Suatu bentuk pelayanan yang wajib dilakukan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan” 2. Pengertian perlindungan
1
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. vii 2 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi
yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah tersebut merupakan bentuk dari perlindungan yang bersifat hukum. Maria Theresia Geme mengartikan perlindungan hukum adalah “Berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan (memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang. 3 Satjipto Raharjo mengartikan perlindungan hukum adalah “Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum”. 4 Bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Perlindungan yang bersifat preventif 2. Perlindungan refresif. Perlindungan hukum yang preventif merupakan perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang defenitif. Perlindungan hukum ini bertujuan mencegah terjadinya sengketa, dan sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak, sehingga dapat mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusam yang berkaitan dengan asas freies
3
Maria Theresia Geme, Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas, Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 99 4 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 54
ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan itu. Perlindungan hukum refresif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini memiliki badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu: 1.
Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum;
2.
Instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi. Peradilan umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum meliputi: pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan pengadilan khusus. 5 Pengadilan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi. Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang. 6 Pengadilan khusus meliputi : pengadilan anak, pengadilan
5
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun1986 Tentang Peradilan Umum 6 Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun1986 Tentang Peradilan Umum
niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan perikanan. 7 Dibentuknya pengadilan anak dalam peradilan umum merupakan bukti dari usaha pemerintah dalam hal memberikan perlindungan hukum terhadap anak, karena dari tahun ke tahun jumlah anak yang berhadapan dengan hukum terus meningkat. 8 Anak yang berhadapan dengan hukum bisa berupa anak sebagai pelaku tindak pidana ataupun anak sebagai korban tindak pidana, dan keduanya berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan amanat Undang-Undnag Perlindungan Anak. Anak sebagai pelaku tindak pidana adalah anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, baik terlarang menurut perundang-undangan, misalnya, pencurian, penganiayaan, dan perbuatan lain yang dilarang undang-undang. Anak sebagai korban tindak pidana adalah anak yang menjadi korban perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang dilakukan oleh orang lain, misalnya: anak korban eksploitasi ekonomi dan/atau seksual, dan perbuatan lain yang tidak sepatutnya dialami oleh anak-anak. Eksploitasi seksual terhadap anak dapat berupa pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak atau pernikahan dini. Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial dimana seorang anak disediakan untuk tujuan-tujuan seksual. Isu
7
Penjelasan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun1986 Tentang Peradilan Umum 8 Jumlah Anak Bermasalah Dengan Hukum, dalam http://www.metrotvnews.com, diakses tanggal 26 September 2013
kuncinya adalah bahwa bukan anak-anak yanh memilih untuk terlibat dalam pelacuran agar dapat bertahan hidup atau untuk membeli barang-barang konsumtif, tetapi mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial dan pelaku-pelaku individu ke dalam situasi-situasi dimana orang-orang dewasa memanfaatkan kerentanan mereka serta mengkesploitasi dan melakukan kekerasan seksual kepada mereka. Pornografi anak berarti pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktifitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. 9 Pengkesploitasian anak melalui pornografi dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1.
Anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk melakukan tindakan seksual untuk pembuatan bahan-bahan pornografi atau mungkin gambar-gambar tesebut dibuat dalam
proses
pengeksploitasian
seorang
anak
secara
seksual
tanpa
sepengatahuan anak tersebut. Gambar-gambar tersebut kemudian disebarkan, dijual atau diperdagangkan ; 2.
Orang-orang yang mengkonsumsi dan/atau memiliki gambar anak-anak tersebut terus mengeksploitasi anak-anak ini. permintaan mereka atas gambar anak-anak tersebut menjadi perangsang untuk membuat bahan-bahan porno tersebut;
3.
Para pembuat bahan-bahan pornografi biasanya menggunakan produk-produk mereka
untuk
memaksa,
mengancam
atau
memeras
dimanfaatkan untuk pembuatan produk-produk tersebut..
9
Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak
anak-anak
yang
Perdagangan anak atau trafiking adalah semua perbuatan yang melibatkan perekrutan atau pengiriman orang di dalam maupun ke luar negeri dengan penipuan, kekerasan atau paksaan, jeratan hutang atau pemalsuan dengan tujuan untuk menempatkan orang tersebut dalam situasi-situasi kekerasan atau eksploitasi seperti pelacuran dengan paksaan, praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penyiksaan, atau kekejaman yang ekstrim, pekerjaan dengan gaji yang rendah atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang bersifat eksploitatif. Perdagangan anak bisa terjadi tanpa atau dengan menggunakan kekerasan atau pemalsuan karena anak-anak tidak mampu memberikan izin atas eksploitasi terhadap diri mereka. Pariwisata seks anak merupakan eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan sari satu tempat ke tempat yang lain dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Sebagian wisatawan seks anak menjadikan anak-anak sebagai sasaran mereka, tetapi sebagian besar dari mereka merupakan para pelaku kekerasan situasional yang biasanya tidak memiliki keinginan khusus untuk berhubungan seks dengan anak-anak tetapi hanya sekedar memanfaatkan situasi dimana seorang anak memang tersedia untuk mereka. Perkawinan anak atau pernikahan dini yaitu perkawinan yang melibatkan anak dan remaja usia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Eksploitasi seksual dalam bentuk pernikahan dini ini yang menjadi topik penelitian. Pernikahan dini dianggap sebagai sebuah bentuk eksploitasi seksual jika seorang anak diterima dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual demi mendapatkan barang atau bayaran dalam bentuk uang atau jasa. Biasanya orang tua atau sebuah keluarga menikahkan
seorang anak untuk mendapatkan keuntungan atau untuk membiayai keluarga tersebut. Perkawinan anak dapat terjadi baik terhadap anak laki-laki maupun perempuan, tetapi perkawinan anak umumnya terjadi pada anak perempuan yang dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua dari mereka. 10 Anak perempuan tersebut dipaksa untuk menikah oleh orang tua atau keluarga pada usia yang masih terlalu muda untuk membuat keputusan yang benar. Izin diberikan oleh orang lain atas nama anak tersebut dan anak tersebut tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan haknya untuk memilih. Pernikahan dini sering berkaitan dengan penelantaran isteri dan menjerumuskan anak-anak perempuan muda ke dalam kemiskinan yang luar biasa. Anak dalam kondisi apapun harus dilindungi dari segala bentuk perbuatan yang bisa merusak masa depan anak. Perhatian dunia terhadap nasib anak, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1924, ketika nasib anak-anak yang dijadikan budak yang mempunyai nasib yang sangat buruk. Beranjak dari fenomena tersebut, maka pada tahun 1924 Liga Bangsa-Bangsa (LBB) telah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Anak yang diusahakan oleh International Union for the Save Children. 11 Aksi-aksi perlindungan kepada anak-anak terus dilakukan secara serius dan seterusnya diakui bahwa hak anak adalah hak asasi manusia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Perjanjian hak asasi manusia internasional terdiri dari 9 (sembilan)
10
ECPAT Internasional, Tanya dan Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Restu Printing, 2006 hlm. 15 11 Chairul Bahriah Mozasa, Aturan-Aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan dan Anak), Medan : USU Press, 2005, hlm. 5
butir, dimana hak anak disebutkan pada butir ke 6 (enam). Isi dari perjanjian hak asasi manusia tersebut adalah sebagai berikut: 12 1. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras; 2. Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan dua protokol opsionalnya; 3. Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; 4. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan protokol opsionalnya; 5. Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, tidak Berperikemanusiaan dan Merendahkan; 6. Konvensi tentang Hak Anak dan dua protokol opsionalnya; 7. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarga Mereka; 8. Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa; 9. Konvensi tentang Hak Penyandang Cacat. Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen internasional mengikat pertama untuk mengemukakan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya anak. Konvensi tersebut merupakan hasil negosiasi selama satu dasawarsa antara pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Konvensi Hak Anak mulai berlaku pada bulan September 1990 dan saat ini memiliki 193 negara peserta. Setiap negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah meratifikasi atau ikut serta dalam konvensi hak anak. 13 Bulan Mei 2002, Perserikatan Bangsa Bangsa PBB menggelar Sidang Khusus Majelis Umum tentang anak yang dilaksanakan di New York. Pertemuan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini dipersembahkan untuk anak-anak dan remaja dunia. 12
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, ECPAT Affiliate Member Group in Indonesia, Panduan Praktis, Memperkuat Hukum Penanganan Eksplotasi Seksual Anak, Medan: KONAS PESKA, 2010, hlm. 12 13 Ibid, hlm. 14
Pertemuan tersebut telah mempertemukan para kepala pemerintah, kepala negara, lembaga swadaya masyarakat (LSM), advokat anak, dan remaja dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam World Ummit for Children pada tahun 1990, dan untuk mengangkat hak-hak anak dalam agenda dunia. Sidang tersebut membahas kemajuan yang telah dicapai World Summit dan menciptakan sebuah komitmen baru dan berjanji untuk melakukan langkah-langkah khusus untuk anak-anak dalam dekade mendatang. Sidang khusus tersebut menghasilkan sebuah aksi global untuk anak-anak dan remaja yang disebut dengan Sebuah Dunia Yang Layak Bagi Anak (A World Fir for Children). 14 Deklarasi A World Fir for Children menunjukkan komitmen para pemimpin untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan untuk mengambil langkah yang diperlukan, pada semua tingkatan, sebagaimana mestinya, untuk mengkriminalkan dan menghukum secara efektif, sesuai dengan semua instrumen internasional yang berlaku dan terkait, semua bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan seksual terhadap anak, termasuk dalam keluarga atau untuk tujuan komersial, pelacuran anak, pedofilia, pornografi anak, pariwisata seks anak, trafiking, penjualan anak dan organ tubuh mereka, pelibatan anak dalam buruh anak secara paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi lain, sembari menjamin bahwa dalam perlakuan
14
Resolusi Majelis Umum PBB S-27/2 (Sebuah dunia yang layak bagi anak), dalam http://www.unicef.org/worldfitforchildren/files/A-RES-S27-2E.pdf
oleh sistem peradilan pidana anak-anak yang menjadi korban, kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama. 15 Aksi menentang eksploitasi seksual anak tingkat internasional lainnya juga bisa dilihat dengan diselenggarakannya Kongres Dunia Pertama di Stockholm, Swedia tahun 1996, yang diikuti sebanyak 122 negara mengadopsi Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm (Agenda Aksi). Agenda Aksi tersebut meminta negaranegara dan semua sektor masyarakat serta organisasi-organisasi nasional, regional dan internasional untuk mengambil sebuah langkah untuk menentang eksploitasi seksual anak dalam 6 (enam) wilayah, yaitu: koordinasi, kerjasama, pencegahan, perlindungan, pemulihan dan reintegrasi serta partisipasi anak. 16 Penegasan kembali komitmen terhadap Agenda Aksi tersebut ditandai dengan diadopsinya dokumen yang merupakan keluaran dari kongres tersebut, yaitu Komitmen Global Yokohama pada bulan Desember 2001. Para peserta mengakui dan menyambut berbagai kemajuan positif yang telah dicapai sejak Kongres Dunia Pertama yang dilaksanakan pada tahun 1996, termasuk pengimplementasian Konvensi Hak Anak yang lebih baik dan mobilisasi yang lebih besar terhadap pemerintah nasional dan masyarakat internasional untuk mengadopsi berbagai undang-undang, peraturan dan program untuk melindungi anak-anak dari ekploitasi seksual. 17
15
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, ECPAT Affiliate Member Group in Indonesia, op.cit, hlm. 24 16 Ibid, hlm. 21 17 Ibid
Bulan Juli 2007, Komite Menteri Dewan Eropa mengadopsi Konvensi tentang Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual, 18 yang ditandatangani oleh 30 negara anggota pada Oktober 2008. Konvensi tersebut akan berlaku setelah diratifikasi oleh 5 (lima) negara, termasuk sedikitnya 3 (tiga) negara Dewan Eropa. 19 Tujuan konvensi ini adalah untuk mencegah dan memerangi eksploitasi seksual dan kekerasan seksual, melindungi hak-hak korban eksploitasi seksual dan kekerasan seksual, mempromosikan kerjasama nasional dan internasional untuk menentang eksploitasi seksual dan kekerasan seksual. Konvensi tersebut menawarkan defenisi yang jelas tentang istilah-istilah kekerasan seksual terhadap anak dan eksploitasi seksual terhadap anak dan mengharuskan bentuk-bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak yang berbeda-beda tersebut untuk dianggap sebagai pelanggaran kriminal. 20 Bentuk dukungan pemerintah Indonesia terhadap aksi negara-negara Internasional dalam hal perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan bentuk penyiksaan lainnya adalah dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Selain meratifikasi perjanjian internasional Konvensi Hak Anak, Indonesia juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada 22 Oktober 2002. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 merupakan peraturan khusus yang 18
Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Anak dari Eksploitassi Seksual dan Kekerasan Seksual, dalam http://convention.coe.int/Treaty/EN/treaties/Html/201.htm 19 Peratifikasian negara dapat dilihat dari website Dewan Eropa. Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Anak dari Eskploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual, dalam http://convention.coe.int/Treaty/Commun/ChercheSig.asp.NT=201&CM=8&DF=&CL=ENG 20 Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual, dalam http://convention.coe.int/Treaty/EN/treaties/Html/201.htm
memberikan perlindungan terhadap anak secara utuh, menyeluruh, dan komprehensif berdasarkan asas-asas nondiskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Berdasarkan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, maka sangat beralasan bila pernikahan Pujiono Cahyo Widianto (Syeh Puji), seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren berusia 43 tahun dengan gadis berusia 12 tahun yang bernama Lutviana Ulfah beberapa waktu yang lalu mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. 21 Kasus lain yang tidak sampai tersorot media elektronik adalah Ki Masyhurat dan Haji Naning, yang mengincar gadis-gadis belia. Ki Masyhurat, lelaki uzur asal Sumenep-Madura ini mengoleksi istri 10 orang, ia menikahi istri-istrinya di usia antara 9-12 tahun. Haji Naning, kakek 65 tahun, asal Dusun Patontongan, Kecamatan Mandai, Sulawesi Selatan, menikahi Nurlia gadis berusia 11 tahun. Bahkan, Naning mengincar Nurlia sejak masih usia balita (bayi usia di bawah lima tahun). Ki Masyhurat dan Naning semuanya seperti berkedok orang-orang yang membantu dhuafa. Gadis-gadis muda belia tersebut direlakan orang tuanya untuk dinikahkan dengan kakek-kakek, karena mereka terbelit kemiskinan. 22
21
“Pernikahan Dini”, dalam http://rudisayful.blogspot.com/2013/01/makalah-pernikahandini.html, diakses 1 Maret 2013 22 “Pernikahan Usia Dini tak dapat Dipungkiri Namun tak Layak Diamini”, dalam http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=929:pernikahan-usia-dinitak-dapat-dipungkiri-namun-tak-layak-diamini--fokus-edisi-38-&catid=32:fokus-suararahima&Itemid=47
Berdasarkan studi yang berhasil dicatat menyebutkan bahwa pernikahan di bawah umur terjadi di antaranya karena kebiasaan yang terjadi secara turun temurun. Penelitian yang dilakukan di Kec. Jangkar Kec. Situbodo Jawa Timur, menyebutkan, masyarakat yang menikah pada 1960-2000 belum memiliki akta nikah karena dilakukan terhadap anak di bawah umur. Tahun 2001-2007 sebagian masyarakat sudah memiliki akta nikah, namun pengantin perempuan rata-rata masih lulusan SD atau juga masih di bawah umur. Pada periode 2007-2008 pernikahan bawah umur kembali meningkat tajam, karena faktor ekonomi, pendidikan, dan tradisi turun temurun. 23 Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Kota Malang, tercatat angka pernikahan di bawah umur pada 2008 meningkat sampai 500% dibandingkan tahun sebelumnya. Fakta lain menyebutkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2008 terdapat 32,2% perempuan yang menikah pada usia di bawah 15 (lima belas) tahun, sedangkan pada laki-laki terjadi pada 11,9%. Perempuan yang melahirkan antara usia 13-18 (tiga belas sampai delapan belas) tahun mencapai 18%, dan pernikahan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun angkanya mencapai 49%. Badan Pusat Statistik juga mencatat 5 (lima) provinsi yang memiliki angka pernikahan bawah umur tertinggi, yaitu Jawa Timur (28%), Jawa Barat (27,2%), Kalimantan Selatan (27%), Jambi (23%), Sulawesi Tengah (20,8%). Data lain menyebutkan, Bappenas melansir pada 2008 sekitar 2 juta pasangan nikah terdapat 35% pasangan merupakan pernikahan dini atau pernikahan bawah umur.
Tidak ada data yang pasti namun pernikahan di bawah umur terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia. 24 Eksploitasi seksual dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak seorang anak untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk hidup produktif, berharga dan bermartabat. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan dampak-dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam nyawa jiwa anak sehubungan dengan perkembangan-perkembangan fisik, psikologis, spiritual, emosional, dan sosial serta kesejahteraannya. Dampaknya bervariasi berdasarkan pada situasi-situasi yang dihadapi anak-anak dan tergantung pada berbagai faktor seperti tahap perkembangan dan sifat lamanya serta bentuk kekerasan, namun semua anak yang mengalami eksploitasi seksual akan menderita berbagai dampak negatif. Dampak-dampak psikologis dari eksploitasi seksual dan ancaman-ancaman yang dipergunakan biasanya akan membekas sepanjang sisa hidup mereka. Bentuk eksploitasi seksual dalam pernikahan dini yang akan dibahas dalam penelitian ini dilihat melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 690K/PID.SUS/2010 yang dalam amar putusannya menerima putusan hakim Pengadilan membatalkan
Negeri
Rantau
putusan
tingkat
Prapat
Nomor
banding
436/PID.B/2009/PN.RAP
Pengadilan
Tinggi
Medan
serta Nomor
712/PID/09/PT.MDN.
24
“Pernikahan Anak di Bawah Umur”, dalam http://innanoorinayati.blogspot.com/2011/11/pernikahan-anak-di-bawahumur-dalam.html, diakses 2 Maret 2013.
Terdakwa adalah H. Aska Hasibuan, laki-laki berusia 37 tahun yang berdasarkan putusan hakim pengadilan negeri Rantau Prapat telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan menikahi gadis belia bernama Rohimah Boru Lubis, berusia 13 tahun. Pernikahan H. Aska Hasibuan dengan Rohimah Boru Lubis ini adalah pernikahan yang berlatar belakang ekonomi, sehingga dapat dikategorikan sebagai eksploitasi seksual terhadap anak dalam bentuk pernikahan dini. 25 Haji Aska Hasibuan menikahi Rohimah Boru Lubis secara siri 26 agar bisa memperoleh keturunan. Demi mewujudkan keinginannya menikah dengan Rohimah Boru Lubis, Haji Aska Hasibuan menjanjikan kepada orang tua Rohimah Boru Lubis bahwa perkawinan yang dimaksudkannya adalah kawin gantung, 27 sehingga Rohimah tetap bisa melanjutkan sekolahnya tanpa harus terbebani tanggung jawabnya sebagai seorang isteri. Haji Aska Hasibuan juga menjanjikan akan memberikan rumah, sebidang tanah, menjadikan Rohimah sebagai penerus usaha panglong miliknya, dan menanggung biaya sekolah Rohimah sampai ke tingkat perguruan tinggi. Bujukan dan janji-janji manis Haji Aska Hasibuan berhasil membuat orang tua Rohimah menyetujui permintaannya, dan bersedia menikahkan anak gadisnya kepada terdakwa.
25
Mengacu kepada pengertian pernikahan dini yang mengarah kepada eksploitasi seksual, dalam ECPAT Internasional, op.cit 26 Nikah Siri adalah nikah yang tidak dicatat oleh negara, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nikah_siri, diakses tanggal 25 September 2013 27 Perkawinan yg sudah sah, tetapi suami dan istri belum boleh serumah (masih tinggal di rumah masing-masing), dalam http://kamusbahasaindonesia.org, diakses 27 September 2013
Haji Aska Hasibuan melanggar kesepakatan, sebab Rohimah dipaksa melayaninya selayaknya seorang isteri kepada suami, sehingga menyebabkan Rohimah hamil. Kehamilan Rohimah ternyata tidak diinginkan oleh Haji Aska Hasibuan. Rohimah dan orang tuanya diusir dari kediaman Haji Aska Hasibuan karena malu kalau sampai orang lain mengetahuinya hal tersebut. Orang tua Rohimah melaporkan Haji Aska Hasibuan kepada pihak yang berwajib karena merasa dibohongi, sebab semua yang pernah diucapkan dan dijanjikannya mulai dari janji hanya kawin gantung, memberikan rumah dan tanah, menjadikan Rohimah sebagai penerus usaha panglong, dan menanggung biaya sekolah Rohimah sampai perguruan tinggi, tidak satupun ditepati. Keadaan Rohimah bahkan menjadi sangat memprihatinkan, masa anak-anak yang seharusnya penuh dengan keceriaan telah hancur karena di usianya yang baru menginjak 13 (tiga belas) tahun harus merawat dan membesarkan anak dengan segala keterbatasannya sebagai seorang ibu. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 690K/PID.SUS/2010 dinilai menarik untuk diteliti, sebab dalam hal penjatuhan hukuman terhadap H. Aska Hasibuan mulai dari putusan Hakim tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi berbeda satu dengan lainnya. Pengadilan Negeri Rantau Prapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama 7 (tujuh) tahun penjara dan denda sebesar 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), sedangkan Pengadilan Tinggi Medan menjatuhkan hukuman 1 (satu) tahun penjara. Hal lain yang dinilai menarik untuk diteliti adalah mengenai pengimplementasian dari
perlindungan hukum yang diberikan pengadilan kepada Rohimah Boru Lubis sebagai korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini.
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas pada peneltian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaturan tentang larangan eksploitasi seksual pada pernikahan anak usia dini dalam perundang-undangan di Indonesia?
2.
Bagaimana pertimbangan Hakim pada Tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang larangan eksploitasi seksual pada pernikahan anak usia dini dalam perundang-undangan di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Hakim pada Tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini.
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum perlindungan anak secara khusus di Indonesia.
2.
Manfaat Praktis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berperan sebagai masukan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menciptakan suatu peraturan mengenai perlindungan anak yang lebih jelas dan tegas, khususnya mengenai batasan usia dewasa bagi perempuan. b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan membuka wawasan masyarakat kita, khususnya mayarakat yang masih berada di perkampungan, dan dengan ekonomi lemah, akan bahaya menikahkan anak perempuan mereka pada usia dini.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang didapat melalui penelusuran kepustakaan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya perpustakaan cabang fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul: “Analisis Perkara Nomor 690K/PID.SUS/2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini”, tidak pernah dilakukan sama sekali. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada. Berdasarkan hasil observasi, ada beberapa penelitian yang memiliki topik yang sama, yakni: 1.
Nancy Yosepin Simbolon, 097005097, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, judul Tesis “Penanggulangan dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak”.
2.
Hanan, 107005047, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, judul Tesis “Penanggulangan Kejahatan Eksploitasi Seksual Secara Komersial Terhadap Anak di Kabupaten Asahan”. Kedua tesis ini tidak membahas eksploitasi seksual terhadap anak dalam
konteks pernikahan dini, sehingga dalam hal permasalahan dan pembahasan tidak mengalami kesamaan dengan penelitian yang sedang berlangsung ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk memperjelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. 28 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin akan disetujui ataupun tidak disetujui, yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikit dalam penulisan. 29 Teori merupakan suatu generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup faktor yang sangat luas. Kadangkadang dikatakan orang, bahwa teori itu sebenarnya merupakan “an elaborate hypotheis”, suatu hukum akan terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan diterima oleh ilmuwan, sebagai suatu keadaan yang benar dalam keadaan-keadaan tertentu. 30 Teori yang digunakan untuk menganalisa permasalahan pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi seksual dalam pernikahan di usia dini adalah teori perlindungan hukum. Teori perlindungan hukum digunakan untuk melihat apakah Hakim dalam memutus perkara terkait pernikahan H. Aska Hasibuan dan Rohimah Boru Lubis sudah memberikan perlindungan hukum terhadap korban, sebagaimana amanah Undang-Undang Perlindungan Anak.
28
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 254 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hlm. 80 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1996, hlm. 126-127 29
Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu, legal protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan theorie van de wettelijke bescherming, dan dalam bahasa Jerman disebut dengan theorie der rechtliche schutz. Teori ini bersumber dari teori hukum alam yang dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Zeno. Aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang secara kodrati memiliki hak asasi. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah. Hukum dibuat dan dibentuk ke dalam suatu aturan yang kongkrit oleh lembaga pemerintah untuk dipatuhi oleh masyarakat. Apabila dikaitkan dengan konsep teori hukum alam tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hukum yang sejatinya bersumber dari Tuhan tersebut, dibuat dan disusun ke dalam satu bentuk aturan hukum yang kongkrit oleh lembaga pemerintah yang berwenang, untuk melindungi hak-hak manusia. Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Terkait dengan penelitian ini, hak asasi manusia yang dirugikan tersebut adalah hak anak yang telah terampas akibat dinikahi dan disetubuhi pada usia dini
oleh seorang dewasa, sehingga anak tersebut kehilangan masa kanak-kanaknya yang semestinya penuh dengan keceriaan, terpaksa berhenti sekolah, kehilangan rasa percaya diri, merasa dikucilkan oleh teman-teman seumuran dan masyarakat karena statusnya yang telah menjadi seorang ibu di usianya yang masih anak-anak. Hak-hak anak tersebut yang seyogianya mendapatkan perlindungan dari negara. Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Terkait dengan penelitian ini anak yang menjadi korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini dalam hal ini berasal dari keluarga ekonomi lemah. Kelemahan posisi anak tersebut dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab yang memiliki kekuasaan terhadap anggota keluarga anak tersebut. Hukum semestinya memberikan jaminan kepada anak tersebut untuk memperoleh keadilan berupa hukuman setimpal terhadap orang yang telah berbuat tidak semestinya pada diri anak tersebut melalui persidangan. Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan. Terkait penelitian ini, perlindungan hukum preventif yang dilakukan pemerintah dalam upaya mencegah terjadinya eksploitasi seksual terhadap anak dalam
pernikahan dini adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang khusus dengan sanksi hukuman yang lebih berat lagi, sehingga diharapkan masyarakat menjadi takut menikahi anak di bawah umur baik secara sah maupun tidak sah. Perlindungan hukum represif dalam upaya menyelesaikan perkara eksploitasi seksual terhadap anak adalah melalui persidangan yang adil berasaskan nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang tujuan hukum, tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Beliau berpendapat bahwa “Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan keseimbangan, sehingga ketertiban di dalam masyarakat tercapainya serta kepentingan manusia terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. 31 Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo tersebut, untuk mencapai tujuan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, harus ditempuh dengan membagi antara wewenang untuk mengadakan perlindungan anak, wewenang untuk memecahkan masalah eksploitasi
31
hlm. 71
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberti, 1999,
seksual anak dalam pernikahan dini tersebut, serta wewenang untuk memelihara kepastian hukum jika terjadi kasus yang serupa di kemudian hari. Terkait kepada pihak yang berwenang mengadakan perlindungan anak sesuai dengan bunyi undangundang adalah negara dan masyarakat, yang terwujud dalam satu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wewenang untuk memecahkan masalah eksploitasi seksual anak dalam pernikahan dini terkait pada penelitian ini adalah lembaga peradilan Indonesia, baik pada tingkat satu, tingkat banding, maupun tingkat kasasi. Wewenang untuk memelihara kepastian hukum dalam hal ini dipegang oleh pihak aparat penegak hukum, yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga bantuan hukum.
2.
Konsepsi Kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis menjadi syarat
yang sangat penting dalam suatu penelitian hukum. Kerangka konsep memaparkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, kemudian pada bagian landasan/kerangka teoritis sebagai suatu sistem aneka theore’ma atau ajaran (di dalam bahasa Belanda: leesrstelling). 32 Permasalahan dalam penelitian ini akan dijawab melalui pendefenisian beberapa konsep agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana
32
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 7
penelitian ini dan secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. a.
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. 33 Perlindungan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bertujuan untuk melihat sejauh mana peraturan perundangundangan perlindungan anak baik nasional dan internasional memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini.
b.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 34 Anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Rohimah Br. Lubis yang berusia 13 tahun pada saat melangsungkan pernikahan.
c.
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 35 Korban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Rohimah Br. Lubis, dimana pada saat pernikahan masih berusia 13 tahun, yang secara hukum belum diperbilehkan untuk menikah. 33
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
d.
Eksploitasi seksual adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap anak itu. 36 Eksploitasi seksual yang dimaksud dalam penelitan ini adalah bahwa pernikahan yang dilakukan H. Aska Hasibuan berusia 37 tahun dan Rohimah Br. Lubis 13 tahun, tidak dilatarbelakangi oleh niat yang tulus, melainkan karena untuk tujuan tertentu, yakni keturunan, sebab istri pertama pelaku tidak bisa memberikan keturunan dan pemuas nafsu si pelaku.
e.
Pernikahan dini adalah perkawinan yang melibatkan anak dan remaja di bawah usia 18 tahun. Perkawinan anak dapat dianggap sebuah eksploitasi seksual jika seorang anak diterima dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual demi mendapatkan barang atau bayaran dalam bentuk uang atau jasa. Kasus-kasus tersebut biasanya orang tua atau sebuah keluarga menikahkan seorang anak untuk mendapatkan keuntungan atau untuk membiayai keluarga tersebut. 37 Pernikahan dini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernikahan yang dilakukan H. Aska Hasibuan berusia 37 tahun dan Rohimah Br. Lubis 13 tahun, dengan iming-iming H. Aska Hasibuan akan memberikan sebuah rumah, sebidang lahan sawit, dan lain-lain kepada Rohimah Br. Lubis. Pernikahan yang dijanjikan oleh korban kepada pelaku adalah “kawin gantung”, artinya pernikahan tersebut tanpa hubungan suami istri sampai waktu yang disepakati,
36
Tanya dan Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Sebuah Buku Saku Informasi Oleh ECPAT Internasional, op.cit, hlm. 18 37 Ibid, hlm. 15
sehingga korban bisa melanjutkan sekolah hingga kuliah sesuai dengan yang dijanjikan pelaku kepada korban dan keluarganya. Mengingat latarbelakang ekonomi keluarga korban yang lemah, maka orang tua korban menyetujui pernikahan tersebut. Setelah menikah, pelaku melanggar kesepakatan dan menyetubuhi korban, sehingga hamil.
G. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif atau
disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process). 38 Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif analitis yang ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak korban yang menjalani pernikahan di usia dini.
38
Amiruddin dan Zainal Asikin, Metode Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 118
2.
Sumber Bahan Hukum Sebagai penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini hanya
menggunakan data sekunder sebagai bahan hukumnya. Data sekunder meliputi : a.
Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak, Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
b.
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal hukum, buku-buku hukum, makalah hukum, tulisan-tulisan hukum yang diperoleh dari internet, serta putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks hukum dan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini memiliki keterkaitan dengan masalah eksploitasi seksual terhadap anak dan masalah pernikahan dini, yang dapat dilihat pada bagian daftar pustaka, sedangkan bahan hukum sekunder berupa putusan pengadilan meliputi: putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 436/PID.B/2009/PN.RAP, Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 712/PID/2009/PT-MDN, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 690K/PID.SUS/2010.
c.
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus hukum, ensiklopedia hukum, dan lain-lain.
3.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang digunakan dalam penelitian
ini diperoleh dan dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan (library research) 39, Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan, yakni masalah eksploitasi seksual terhadap anak dan masalah pernikahan dini.
39
Menurut bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya: a) Mendapatkan gambaran atau informasi mengenai penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui histori perspektif daripermasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; g) Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010, hlm. 112-113
4.
Analisis Bahan Hukum Data sekunder yang telah terkumpul selanjutnya akan dianalisis secara
kualitatif, karena hasil penelitian nantinya berupa uraian-uraian kalimat. 40 Analisis kualitatif dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a.
Mengumpulkan bahan hukum berupa inventarisasi peraturan perundangundangan yang relevan dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang mendukung;
b.
Memilih bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan-bahan hukum sesuai dengan permasalahan;
c.
Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkan untuk menemukan kaidah, asas, konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut;
40
Ibid