1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi penyakit infeksi memiliki kecenderungan yang masih cukup tinggi meskipun terapi pengobatan dan pencegahan terhadap kejadian infeksi semakin berkembang. Antibiotik sebagai terapi infeksi merupakan salah satu obat yang hingga saat ini paling banyak diresepkan dan diperkiraan sepertiga pasien rawat inap mendapat antibiotik dengan biaya mencapai 50% dari anggaran untuk obat di rumah sakit (Juwono dan Prayitno, 2003). Penelitian di beberapa negara menunjukkan penggunaan antibiotik semakin meningkat namun masih banyak dijumpai penggunaan yang belum rasional (Tünger et al., 2009). Distribusi antibiotik yang cukup bebas dan frekuensi penyakit infeksi spesifik yang cukup tinggi terutama di negara – negara berkembang menjadi salah satu penyebabnya (Tünger et al., 2000). Beberapa penyebab lain peresepan antibiotik yang tidak rasional adalah : penegakan diagnosis yang belum jelas, penyebab penyakit yang cukup kompleks, informasi dan pengetahuan yang kurang terutama terkait epidemiologi lokal mengenai resistensi antibiotik atau interpretasi yang kurang tepat dari hasil pemerikasaan mikrobiologi (Cusini et al., 2010). Laporan penggunaan obat di dunia yang dilakukan oleh WHO memperkirakan bahwa penjualan antibiotik secara bebas tanpa peresepan mencapai dua-pertiga dari keseluruhan penggunaan. Hasil studi di Indonesia, Pakistan dan India menunjukkan
2
lebih dari 70% pasein memperoleh antibiotik yang sebagian besar berupa sediaan parenteral dan sebenarnya tidak dibutuhkan (Holloway et al., 2004). Penelitian yang dilakukan oleh tim AMRIN-study (Antimicrobial Resistance in Indonesia : Prevalence and Prevention) tahun 2002 didapatkan hasil pemberian antibiotik tanpa indikasi mencapai 55 – 80% di RS Dr. Soetomo Surabaya dan sebesar 20 - 53 % di RS Dr. Kariadi Semarang (Kuntaman dan Paraton, 2011). Beberapa penelitian mengenai penggunaan antibiotik yang dilakukan di Indonesia terhadap pasien infeksi ringan saluran nafas atas mencapai 75 – 86% kasus dan sebanyak 94% kasus pada pasien diare. Faktor – faktor yang menjadi penyebab antara lain kurangnya pengetahuan terhadap antibiotik dan penggunaannya, motivasi ekonomi, lemahnya regulasi peresepan dan pemasaran antibiotik yang pesat di Indonesia (Hadi, 2009). Hal ini dapat berpengaruh terhadap munculnya permasalahan terkait penggunaan antibiotik seperti berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik, munculnya penyakit akibat superinfeksi bakteri resisten, terjadinya toksisitas/efek samping obat yang potensial berbahaya bagi pasien dan perawatan penderita menjadi lebih lama. Selain itu, biaya pengobatan juga akan bertambah mahal sehingga dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan akibat kegagalan pengobatan (Raveh et al., 2006 ;Cusini et al., 2010; Costelloe et al., 2010). Hasil observasi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito diperoleh data dari rekam medis bulan Januari sampai awal November tahun 2011 bahwa infeksi merupakan penyakit yang menduduki urutan pertama dari sepuluh besar penyakit di Rumah Sakit dengan jumlah pasien paling banyak terdiagnosis
3
sepsis yang mencapai 657 pasien dan 311 pasien diantaranya dirawat di instalasi penyakit dalam dengan rata-rata lama rawat inap 10 hari. Penyakit infeksi yang lain sebagian besar disebabkan karena nosokomial, antara lain : pneumonia (400 pasien), infeki saluran kemih (308 pasien), decubitus (29 pasien), phlebitis dan thromboplebitis (46 pasien). Kejadian infeksi juga menjadi penyebab mortalitas utama di rumah sakit. Sebanyak 994 kejadian mortalitas, 33% diantaranya disebabkan karena sepsis dan pneumonia. Penelitian yang pernah dilakukan di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.Sardjito oleh Pradipta (2008) menunjukkan bahwa dari 26 subyek penelitian diperoleh ketidaktepatan pemberian antibiotik sebesar 28,6 % dan ketidaktepatan dosis antibiotik sebesar 6,7 %. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jatmiko (2011) dari 35 orang responden (dokter) dengan klasifikasi ABUSE diketahui bahwa dokter yang meresepkan antibiotik secara benar hanya mencapai 37%. Penelitian mengenai rasionalitas penggunaan obat di Indonesia sudah dilakukan akan tetapi data yang dilaporkan masih sedikit. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merasa perlu melakukan penelitian mengenai audit peresepan antibiotik di bangsal rawat inap penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito dengan melibatkan tiga reviewer yang terdiri dari 2 orang dokter senior spesialis penyakit dalam dan seorang farmasis untuk menilai rasionalitas peresepan antibiotik sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan peresepan yang benar agar tercapai clinical outcome sesuai harapan.
4
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah terkait penelitian mengenai audit peresepan antibiotik pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.Sardjito sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pola penggunaan antibiotik empiris pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.Sardjito? 2. Bagaimanakah audit peresepan antibiotik secara kualitatif pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito berdasarkan kriteria Gyssens? 3. Bagaimanakah audit peresepan antibiotik secara kuantitatif pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.Sardjito apabila dihitung berdasarkan Defined Daily Dose (DDD) dan Prescribed Daily Doses (PDD)? 4. Bagaimanakah reliabilitas penilaian rasionalitas peresepan antibiotik secara kualitatif yang dilakukan antar reviewer apabila dianalisis dengan Cohen kappa?
C.Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai : 1. Pola penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.Sardjito. 2. Penggunaan antibiotik apabila dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan pedoman penggunaan antibiotik (antibiotics guideline) di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.Sardjito.
5
D. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian adalah untuk meningkatkan peran farmasis dalam penggunaan antibiotik secara rasional sehingga tercapai outcome klinik secara optimal sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Pola penggunaan antibiotik empiris pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.Sardjito. 2. Rasionalitas antibiotik secara kualitatif berdasarkan kriteria Gyssens. 3. Rasionalitas antibiotik secara kuantitatif berdasarkan Defined Daily Dose (DDD) dan Prescribed Daily Doses (PDD). 4. Mengetahui reliabilitas penilaian rasionalitas peresepan antibiotik yang dilakukan antar reviewer apabila dianalisis dengan Cohen kappa.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi penggunaan antibiotik yang akan dilakukan mencakup analisis baik secara kualitatif dengan kriteria Gyssens maupun secara kuantitatif dengan menghitung Defined Daily Dose (DDD) dan Prescribed Daily Doses (PDD) belum pernah dilakukan di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.Sardjito. Penelitian pendahuluan tentang penggunaan antibiotik yang pernah dilakukan adalah : 1.
Comparison of Defined versus Recommended versus Prescribed Daily Doses for Measuring Hospital Antibiotic Consumption at German university hospital yang dilakukan oleh K.De With, H.Bestehorn dan W.V. Kern (2009) menunjukkan
6
Dari 1.754 PDDs diketahui sebanyak 625 dosis sesuai DDD dan 1024 dosis sesuai RDD.Pemberian antibiotik beta laktam dan makrolida memiliki perbedaan nilai DDD dan pemberian aminoglikosida memiliki perbedaan nilai RDD. Apabila dibandingkan dengan PDD, penggunaan DDD sebagai pengukuran penggunaan antibiotik menunjukkan peningkatan sebesar 32% dan penurunan sebesar 9 % dengan RDD. 2.
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Kriteria Gyssens Pasien Rawat Inap Kelas III di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.Kariadi (tahun 2008) oleh Tri Ika Kusuma Ningrum dengan metode penelitian cross sectional dan pengambilan sampel secara consecutive random sampling sebanyak 43 catatan medik diperoleh hasil analisis rasionalitas antibiotik menurut kriteria gyssens adalah 51,90% termasuk kategori I (rasional), 2,29% kategori IIA (tidak rasional karena dosis tidak tepat), 4,58% termasuk kategori IIIA (tidak rasional karena lama pemberian terlalu lama), 5,34% termasuk kategori IIIB (tidak rasional karena lama pemberian terlalu singkat), 35,87% termasuk kategori V (tidak rasional karena pemberian antibiotik tanpa indikasi).
3.
Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Sepsis di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr.Sardjito Periode September – November (tahun 2008) oleh Ivan Surya Pradipta. Penelitian dilakukan secara observasional selama periode September hingga November 2008 di bangsal rawat inap penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito,Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif. Didapatkan 23 subyek penelitian (88,4%) mengalami DRPs dan 3 subyek
7
penelitian (11,5%) tidak mengalami DRPs, dengan jumlah kejadian DRPs yang ditemukan, antara lain kebutuhan antibiotik 35 episode (38,4%), ketidaktepatan antibiotik 26 episode (28,6%), ketidaktepatan dosis 6 episode (6,7%), interaksi antibiotik 24 episode (26,4%). 4. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Untuk Terapi Infeksi Pada Pasien Rawat Inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr.Sardjito (tahun 2011) oleh Puspita Fatwaningtyas Jatmiko. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional menggunakan desain cross-sectional, pengambilan data dilakukan secara prospektif dengan pengisian kuisioner oleh dokter residen di rawat inap Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta dan pencatatan data rekam medis selama periode Januari 2011 dan pengolahan data dilakukan secara deskriptif. Antibiotik yang digunakan dalam penelitian ini digunakan pada 54 pasien dengan 19 jenis kasus infeksi dengan 150 episode infeksi. Penggunaan antibiotik yang tepat indikasi adalah sebesar 85,3% episode infeksi. Terdapat 8,7% dosis antibiotik belum disesuaikan pada pasien dengan fungsi ginjal yang menurun. Hasil dari terapi antibiotik didapatkan 56,7% memberikan respon yang baik. Responden dokter yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 35 orang. Responden (dokter) dalam penelitian ini sesuai dengan klasifikasi ABUSE, sebesar 37,1% sudah baik dalam memberikan terapi antibiotik kepada pasien dengan menempati klasifikasi Brick yang berarti dokter tersebut solid dan teguh pendirian terhadap terapi yang diberikan pada pasien.