BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Studi aktivitas antioksidan dari tanaman obat, baik dari ekstrak, fraksi aktif, maupun isolat senyawa aktif alamiah maupun modifikasi sintetis, sampai sekarang masih terus dilakukan. Peningkatan prevalensi dan keberagaman penyakit degeneratif akibat pengaruh aktivitas radikal bebas dan senyawasenyawa dengan spesies reaktif seperti reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) semakin menambah urgensi diproduksinya produk-produk antioksidan seefisien mungkin dengan biaya produksi yang rendah, namun memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi tanpa memberikan efek merugikan bagi manusia (Lobo dkk., 2010; Pham-Huy dkk., 2008). Dalam kondisi fisiologis normal, keseimbangan antara kadar radikal dan antioksidan selalu terjaga. Radikal bebas dan oksidan mempunyai dampak yang menguntungkan dan merugikan bagi tubuh manusia. Dalam jumlah yang sedikit, adanya ROS dapat memberikan efek positif bagi respon seluler dan fungsi imunitas. Jika radikal bebas dan oksidan terdapat secara berlebihan dalam tubuh, maka lama-kelamaan akan terakumulasi dan memicu timbulnya penyakit-penyakit kronis dan degeneratif seperti artritis rematoid, penuaan, kelainan autoimun, katarak, penyakit-penyakit neurodegeneratif, gangguan kardiovaskuler, hingga kanker (Pham-Huy dkk., 2008). Penggunaan senyawa antioksidan makin berkembang seiring dengan makin bertambahnya pengetahuan tentang aktivitas
1
2
radikal bebas terhadap beberapa penyakit degeneratif (Fessenden,1997; Praptiwi dkk.,2006). Seiring bertambahnya usia, kerentanan sel terhadap radikal semakin tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan suplementasi antioksidan dari luar tubuh (antioksidan eksternal) untuk membantu antioksidan yang dihasilkan secara alami oleh tubuh mencegah kerusakan yang lebih luas, yang diakibatkan oleh semakin banyaknya radikal yang dihasilkan di dalam tubuh dan bertambahnya kerentanan sel terhadap radikal di saat bersamaan. Berdasarkan sumbernya, antioksidan eksternal dibagi menjadi antioksidan sintetis dan antioksidan alami. Antioksidan sintetis memiliki efektivitas yang tinggi, tetapi kurang aman bagi kesehatan. Selain itu, antioksidan sintetis juga dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinogenesis. Oleh karena itu, pencarian rempah-rempah, buah, atau tanaman yang mempunyai senyawa antioksidan alami menjadi penting untuk dikembangkan (Pujimulyani, 2003). Antioksidan alami sangat menarik untuk diteliti karena efikasinya dalam melindungi tubuh dari radikal bebas dan keamanan penggunaannya dalam jangka panjang yang baik. Salah satu golongan senyawa dari tumbuhan yang dikenal memiliki aktivitas antioksidan adalah flavonoid. Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh banyak tumbuhan, yang memiliki banyak kegunaan untuk fungsi metabolik tumbuhan. Flavonoid terkandung secara luas dan terdapat di hampir seluruh tanaman buah, sayuran, gandum, temu-temuan, dan beragam jenis tanaman lainnya. Sejak berabad-abad lalu, efek terapetik dari tanaman-tanaman yang
3
banyak mengandung senyawa turunan flavonoid dianggap banyak berperan penting dalam pengembangan pengobatan tradisional dan etnomedisin. Dari hasil studi yang dilakukan Pietta (2000), menunjukkan bahwa pemberian beberapa gram bagian tanaman dengan kandungan flavonoid secara rutin setiap hari menunjukkan adanya manfaat karena adanya aktivitas antioksidan. Beberapa senyawa flavonoid juga menunjukkan aktivitas mengkelat logam-logam transisi yang secara tidak langsung berperan dalam aktivitas antioksidannya (Cook dan Samman, 1996). Studi oleh Oldman dan Bowen (1998) bahkan menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan beberapa senyawa turunan flavonoid melampaui aktivitas antioksidan vitamin C dalam kompartemen uji air (representasi dari kompartemen air dalam tubuh) dan vitamin E dalam kompartemen uji lipid (representasi dari membran sel dan lipoprotein). Oleh sebab itu, senyawa-senyawa flavonoid kini banyak diterima sebagai antioksidan eksternal untuk kebutuhan fisiologis manusia dalam rangka perlindungan terhadap penyakit-penyakit degeneratif yang berhubungan dengan kerusakan jaringan akibat ROS (Dreosti, 2000). Salah satu suku tumbuhan yang dikenal sebagai penghasil senyawa flavonoid adalah suku Zingiberaceae, atau dikenal juga sebagai suku temutemuan. Hasil studi oleh Alafiatayo dkk. (2014) menunjukkan tingginya kadar fenol total dan adanya aktivitas antioksidan dalam ekstrak 10 tanaman suku Zingiberaceae yang terdapat di Asia Tenggara. Tanaman dari jenis Zingiberaceae banyak terdapat di Indonesia dan sudah dikenal luas di masyarakat dengan berbagai macam kegunaan. Salah satu tanaman dari jenis ini yang paling banyak
4
dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah temu kunci [Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht]. Temu kunci tidak hanya dikenal di masyarakat sebagai bumbu masak, tetapi juga dipercaya dalam pengobatan tradisional di antaranya sebagai peluruh dahak, peluruh gas dalam saluran cerna, penambah nafsu makan, peluruh ASI, dan penyembuh sariawan (Sudarsono dkk., 2002). Bagian rimpang temu kunci mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder di antaranya minyak atsiri dan banyak senyawa flavonoid yang menunjukkan banyak aktivitas farmakologis yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, seperti antioksidan, antifungal, anti bakteri. Penelitian oleh Nihlati dkk. (2012) menunjukkan bahwa ekstrak etanolik rimpang temu kunci memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 10,36 µg/mL menggunakan metode penangkapan radikal DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Studi oleh Fahey dan Stephenson (2002) menunjukkan bahwa senyawa pinostrobin yang diisolasi dari rimpang temu kunci memiliki kemampuan menginduksi enzim detoksifikasi fase II pada mamalia. Penelitian lain oleh Punvittayagul dkk. (2011) menunjukkan bahwa pemberian senyawa pinosembrin yang diisolasi dari rimpang temu kunci meningkatkan aktivitas enzim metabolisme xenobiotik heme oksigenase. Studi lain oleh Kumar dkk. (2007) menunjukkan bahwa senyawa pinosembrin yang diisolasi dari rimpang lengkuas (Alpinia galanga) meningkatkan apoptosis mitokondrial pada sel kanker kolon. Untuk menentukan besarnya kapasitas antioksidan senyawa pinostrobin dan pinosembrin, salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) assay. Dalam studi perbandingan metode
5
pengukuran daya antioksidan dari ekstrak buah jambu biji oleh Thaipong dkk. (2006) dibandingkan metode penangkapan radikal ABTS (2,2’-azino-bis(asam 3etilbenztiazolin-6-sulfonat)) dan DPPH, FRAP, dan ORAC. Thaipong dkk. menyimpulkan bahwa metode FRAP paling menguntungkan karena memberikan reprodusibilitas hasil yang tinggi, metodenya sederhana, pelaksanaannya cepat, dan memberikan korelasi daya mereduksi antioksidan dengan kadar fenolik total yang tertinggi. Oleh sebab itu, pengujian kapasitas antioksidan pinostrobin dan pinosembrin dengan metode FRAP sangat menarik untuk dipelajari.
A. Rumusan Masalah Bagaimana potensi isolat pinostrobin dan pinosembrin dari rimpang temu kunci sebagai antioksidan dalam hal kapasitasnya berdasarkan metode FRAP?
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengeksplorasi tanaman obat Indonesia yang berpotensi sebagai sumber bahan antioksidan. 2. Tujuan khusus 1. Melakukan isolasi senyawa pinostrobin dan pinosembrin dari rimpang temu kunci.
6
2. Mengetahui besarnya kapasitas antioksidan senyawa pinostrobin dan pinosembrin yang diisolasi dari rimpang temu kunci dengan metode Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) assay. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses isolasi dan identifikasi senyawa penanda (marker) pinostrobin dan pinosembrin yang terkandung dalam rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht). Serta memberikan informasi mengenai adanya aktivitas antioksidan yang berasal dari tanaman temu kunci sehingga ke depannya dapat dimanfaatkan untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif yang berkaitan dengan adanya radikal reaktif di dalam tubuh manusia akibat proses oksidasi, seperti kanker dan gangguan sistem kardiovaskuler.
D. Tinjauan Pustaka 1.
Tanaman temu kunci Nama tanaman
: Temu Kunci (Boesenbergia pandurata Roxb.)
Sinonim
: Kaempferia pandurata Roxb., Gastrochilus pandurata Roxb.,
Nama simplisia : Rimpang temu kunci (Boesenbergiae rhizoma) (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991)
7
Gambar 1. Tanaman temu kunci (Sumber: http://tipspetani.blogspot.com)
a.
Klasifikasi tanaman Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Subkelas
: Zingiberidae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Boesenbergia
Spesies
: Boesenbergia pandurata Roxb. (Backer dan Van Den Brink, 1965)
b.
Deskripsi tanaman Temu kunci (Boesenbergia pandurata Roxb.) banyak tumbuh di daerah
tropis dataran rendah. Waktu berbunganya pada bulan Januari-Februari dan April-Juni. Daerah distribusi dan habitat tanaman ini adalah tumbuh liar pada dataran rendah dan di hutan jati. Tanaman ini tumbuh baik pada iklim panas dan lembab, pada tanah yang relatif subur dengan pertukaran udara dan tata
8
air yang baik. Pada tanah yang kurang baik tata airnya (sering tergenang air) pertumbuhan akan terganggu dan rimpang cepat busuk. Perbanyakan temu kunci dapat dilakukan dengan pemotongan rimpang menjadi beberapa bagian (tiap bagian terdapat paling sedikit 2 mata tunas) dan penanaman dilakukan pada jarak tanam 3000 cm. Temu kunci berperawakan herba rendah, merayap di dalam tanah. Dalam satu tahun pertumbuhannya 0,3-0,9 cm. Batangnya merupakan batang asli di dalam tanah sebagai rimpang, berwarna kuning coklat, aromatik, menebal, berukuran 5-30 x 0,5-2 cm. Batang di atas tanah berupa batang semu (pelepah daun). Daun tanaman ini pada umumnya 2-7 helai, daun bawah berupa pelepah daun berwarna merah tanpa helaian daun. Tangkai daun tanaman ini beralur, tidak berambut, panjangnya 7-16 cm, lidah-lidah berbentuk segitiga melebar, menyerupai selaput, panjang 1-1,5 cm, pelepah daun sering sama panjang dengan tangkai daun; helai daunnya tegak, bentuk lanset lebar atau agak jorong, ujung daun runcing, permukaan halus tetapi bagian bawah agak berambut terutama sepanjang pertulangan, warna helai daun hijau muda, lebarnya 5-11 cm. Bunga tanaman ini berupa susunan bulir tidak berbatas, di ketiak daun, dilindungi oleh 2 spatha, panjang tangkai 41 cm, umumnya tangkai tersembunyi dalam 2 helai daun terujung. Kelopak bunganya 3 buah lepas, runcing. Mahkota bunganya 3 buah, warnanya merah muda atau kuning-putih, berbentuk tabung 50-52 mm, bagian atas tajuk berbelah-belah, berbentuk lanset dengan lebar 4 mm dan panjang 18 mm. Benang sarinya 1 fertil besar, kepala sarinya bentuk garis membuka secara memanjang.
9
Lainnya berupa bibir-bibiran (staminodia) bulat telur terbalik tumpul, merah muda atau kuning lemon, gundul, 6 pertulangan, dan ukurannya 25×7 cm. Putik bunganya berupa bakal buah 3 ruang, banyak biji dalam setiap ruang (Geonadi, dkk., 2008). Akar tanaman ini adalah akar serabut berwarna putih kekuningan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). c.
Kandungan kimia Rimpang temu kunci mengandung banyak senyawa turunan flavonoid,
minyak atsiri, dan beberapa senyawa lain. Berdasarkan strukturnya, kandungan kimia rimpang temu kunci dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kalkon (uvangoletin, kardamonin, helikrisetin, flavokawain), kalkon terprenilasi (boesenbergin A, boesenbergin B, (+)-panduratin A, (-)panduratin A, panduratin C, (-)-isopanduratin A2, (±)-isopanduratin A1, (+)4-hidroksipanduratin A, (-)-4-hidroksipanduratin, (±)-6-metoksipanduratin A, (-)-nikolaiodeisin B, (+)-krakaizin A, (-)-krakaizin A, (+)-krakaizin B, (-)krakaizin B), flavanon (pinostrobin, pinosembrin, alpinetin, sakuranetin), flavanon terprenilasi ((2R)-6-geranilpinostrobin, (2S)-6-geranilpinostrobin, ()-6-geranilpinosembrin), flavon (contohnya tektokrisin), minyak atsiri monoterpenoid (geraniol, kamfor, borneol, mirsena, terpineol, geranial, neral, kamfena, metil sinamat, γ-terpinena), minyak atsiri non monoterpenoid (nerolidol, sitral, limonena, 11-dodeken-1-ol), dan senyawa-senyawa lain seperti 5,6-dehidrokawain, asam benzoat terprenilasi (geranil-2,4-dihidroksi6-fenetilbenzoat), dan fenilpropanoid terprenilasi (panduratin H dan panduratin I). (Chahyadi dkk., 2014).
10
d.
Kegunaan temu kunci Boesenbergia pandurata telah lama dimanfaatkan dalam pengobatan
tradisional untuk mengobati gangguan perut, diare, kolik, batuk kering, karies gigi, iritasi rongga mulut, rematisme, dan infeksi jamur. Selain itu telah diuji juga sebagai antiseptik pada luka terbuka, antimutagenik, antitumor, antiinflamasi, antioksidan, antibakterial, antiviral, antiparasit, antiulkus, antiobesitas, dan pencegah hiperpigmentasi (Chahyadi dkk., 2014). Minyak atsiri rimpang temu kunci berefek pada pengurangan pertumbuhan Entamoeba coli, Staphylococcus aureus, dan Candida albicans. Selain itu, dapat berefek pula dalam pelarutan batu ginjal kalsium secara in-vitro. Perasan dan infus rimpang temu kunci juga memiliki daya analgetik dan antipiretik (Sudarsono dkk., 2002). 2.
Radikal bebas Oksidan adalah senyawa penerima elektron, yaitu senyawa yang dapat
menarik elektron (Syahbana dan Bahalwan, 2002). Sedangkan radikal adalah suatu atom, gugus atom, atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya yang mungkin terbentuk akibat reaksi oksidasi dan reduksi yang melibatkan elektron terluarnya atau pecahan homolitik suatu ikatan rangkap. Untuk menjaga kesetimbangan, radikal tersebut akan berupaya mendapatkan elektron dari molekul lain di dekatnya atau melepas elektronnya yang tidak mempunyai pasangan (Dalimartha dan Soedibyo, 1999). Radikal bebas bersifat merugikan dan dapat menyebabkan berbagai kerusakan. Beberapa radikal yang dikenal menyebabkan banyak kerusakan adalah radikal
11
bebas oksigen (ROS) seperti anion superoksida (•O2-), radikal hidroksil (•OH), hidroksi peroksida, dan lipid peroksida. ROS dapat bermuatan positif, negatif, atau netral (Dalimartha dan Soedibyo, 1999). Radikal bebas dan oksidan mempunyai dampak yang menguntungkan dan merugikan bagi tubuh manusia. Radikal bebas dapat dihasilkan dari proses metabolisme selular normal maupun didapatkan dari sumber-sumber eksternal di luar tubuh manusia. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh yang terjadi secara terus-menerus di dalam sel merupakan konsekuensi dari hasil reaksi enzimatik dan nonenzimatik seluler (Liu dkk., 1999). Reaksi metabolik intraseluler yang paling berperan besar dalam menghasilkan radikal alami, terutama ROS, adalah proses fosforilasi oksidatif yang terjadi di mitokondria. Sementara sumber-sumber eksternal tersebut antara lain polusi udara, radiasi, dan obat-obatan. Dalam jumlah yang sedikit, adanya ROS dapat memberikan efek positif bagi respon seluler dan fungsi imunitas. Jika radikal bebas dan oksidan terdapat secara berlebihan dalam tubuh, maka lama-kelamaan akan terakumulasi dan memicu timbulnya penyakit-penyakit kronis dan degeneratif seperti artritis rematoid, penuaan, kelainan autoimun, katarak, penyakit-penyakit neurodegeneratif, gangguan kardiovaskuler, hingga kanker. Studi pada aterosklerosis, yaitu suatu kondisi terbentuknya plak pada dinding pembuluh arteri, menunjukkan bahwa pembentukan plak terjadi akibat reaksi radikal bebas yang melibatkan lipid dari asupan makanan (diet) pada dinding pembuluh arteri dan serum yang mengakibatkan timbulnya senyawasenyawa peroksida (Harman, 1992). Penyempitan dan pengerasan pada dinding
12
arteri dapat mengeblok secara total pasokan darah untuk organ-organ vital manusia, seperti jantung, otak, dan ginjal. Terganggunya pasokan darah tersebut mengakibatkan penyakit-penyakit berbahaya, seperti penyakit jantung koroner, serangan jantung, gagal ginjal kronis, dan stroke iskemik (Anonim, 2014). ROS menginduksi kerusakan DNA. Reaksi antara radikal bebas dan rantai DNA menyebabkan modifikasi susunan pasangan basa, sehingga menyebabkan mutagenesis. Mutasi pada susunan basa kemudian menyebabkan terjadinya karsinogenesis (Lobo dkk., 2010). Radikal bebas juga dapat memediasi terjadinya modifikasi protein. Kerusakan oksidatif pada protein dalam tubuh dapat mempengaruhi aktivitas enzim, reseptor, dan sistem transpor pada membran sel, yang berimplikasi pada kerusakan membran sel dan terganggunya banyak fungsi selular normal. Selain itu oksidasi protein menyebabkan perubahan pada mekanisme transduksi sinyal antarsel, aktivitas enzim, dan meningkatnya suseptibilitas terhadap proteolisis. Hal-hal tersebut menyebabkan terjadinya proses penuaan (Lobo dkk., 2010). ROS banyak diproduksi akibat proses metabolisme asam amino dan neurotransmitter eksitatori, seperti glutamat. ROS yang terbentuk kemudian merusak sel-sel glial dan neuron, yang sensitif terhadap radikal bebas, yang kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel neuron. Kerusakan oksidatif tersebut dapat memicu terjadinya apoptosis (kematian sel yang terprogram) pada sel neuron. Karena luasnya tempat produksi ROS pada jaringan saraf, maka kerusakan yang ditimbulkan ROS dapat bersifat luas dan memicu terjadinya penyakit-penyakit neurodegeneratif (Uttara dkk., 2009).
13
Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk menetralkan stres oksidatif akibat adanya radikal bebas dan oksidan yang berlebihan, yaitu dengan memproduksi antioksidan alami secara in situ, atau dengan memanfaatkan asupan senyawa-senyawa antioksidan baik dari makanan pokok atau suplemen makanan (Pham-Huy dkk., 2008). Seiring bertambahnya usia, kerentanan sel terhadap radikal semakin tinggi. Hal tersebut disebabkan karena semakin tua usia sel, maka semakin lama sel tersebut terpapar radikal ROS, yang merupakan konsekuensi dari proses metabolisme intraseluler normal di mitokondria, yaitu proses fosforilasi oksidatif, untuk menghasilkan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP). Pemaparan tersebut menyebabkan terjadinya mutasi dalam susunan rantai DNA mitokondrial (mtDNA) dan kerusakan pada konstituen penyusun mitokondria yang kemudian mengurangi kemampuan mitokondria itu sendiri dalam memperbaiki susunan rantai mtDNA (mtDNA repair), yang pada akhirnya mengakibatkan disfungsi organel mitokondria (Lagouge dan Larsson, 2013). Dari hasil studi yang dilakukan Leadsham dkk. (2013) menunjukkan bahwa disfungsi mitokondria secara tidak langsung meningkatkan kadar ROS sitosolik. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan sel yang lebih parah dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit-penyakit degeneratif. Reaksi yang melibatkan radikal bebas berlangsung dalam tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.
14
Inisiasi
RH
R• + H•
(1)
Propagasi
R• + O2
ROO•
(2)
ROO• + RH
ROOH + R•
R• + R•
produk inert
R• + ROO•
produk inert
ROO• + ROO•
produk inert
Terminasi
3.
(3)
Antioksidan Antioksidan
didefinisikan
sebagai
senyawa
yang
dapat
menunda,
memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid oleh radikal bebas (Kochhar dan Rossell, 1990). Antioksidan merupakan suatu molekul yang dapat menetralkan radikal bebas dengan mendonorkan atau menerima elektron. Hal ini berarti molekul antioksidan menjadikan dan membuat molekul radikal bebas menjadi non-radikal (Pokorny dkk., 2001). Antioksidan
penting
untuk
kesehatan
dan
kecantikan
serta
dapat
dimanfaatkan untuk mempertahankan mutu produk pangan. Dalam dunia medis, antioksidan digunakan untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif, seperti tumor, kanker, penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler, serta penuaan dini. Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai juga dapat meningkatkan status imonologis tubuh manusia. Konsumsi antioksidan secara optimal dan memadai dibutuhkan oleh manusia dari semua kelompok usia (Winarsi, 2007).
15
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat spesies-spesies reaktif, baik spesies oksigen reaktif (ROS), spesies nitrogen reaktif (RNS), dan spesies reaktif lainnya. Secara garis besar, antioksidan terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan mekanisme penghambatan radikalnya, yaitu: 1) Antioksidan yang bekerja dengan proses enzimatik, yaitu antioksidan yang dihasilkan secara alami (in-situ) dalam tubuh, antara lain katalase, yang diproduksi oleh peroksisom di dalam sel, berguna untuk mengkonversi hidrogen peroksida, yang toksik bagi sel, menjadi air dan oksigen; glutation peroksidase dan glutation reduktase, yang bekerja dengan cara mengoksidasi glutation dan mereduksi peroksida secara bersamaan
lewat
reaksi
reduksi-oksidasi;
superoksida
dismutase,
yang
mendismutasi superoksida menjadi hidrogen peroksida, untuk kemudian dihilangkan oleh katalase dan glutation peroksidase. Antioksidan jenis ini sering disebut antioksidan primer atau disebut juga antioksidan endogen. 2) Antioksidan pemutus reaksi berantai, yaitu senyawa antioksidan yang bekerja dengan cara menerima elektron dari radikal atau mendonorkan elektron kepada radikal disertai pembentukan produk sampingan yang stabil, sehingga memutus propagasi reaksi berantai dan menghentikan pembentukan radikal. Antioksidan jenis ini terbagi lagi menjadi dua macam berdasarkan kelarutannya, yaitu antioksidan pemutus reaksi berantai fase lipid dan fase air. Antioksidan pemutus reaksi berantai fase lipid sangat penting dalam menanggulangi radikal yang terdapat pada membran sel dan lipoprotein sehingga mencegah peroksidasi lipoprotein. Contoh antioksidan jenis ini yang paling penting adalah Vitamin E (Esterbauer dkk., 1991). Antioksidan pemutus reaksi berantai fase air, adalah antioksidan yang
16
penting dalam menanggulangi radikal pada kompartemen air dalam tubuh secara langsung, contoh paling penting dari antioksidan jenis ini adalah Vitamin C (askorbat) (Levine dkk., 1999). Antioksidan jenis inilah yang sumbernya berasal dari luar tubuh dan oleh sebab itu banyak ditambahkan ke dalam asupan harian atau sebagai suplemen makanan. Antioksidan jenis ini disebut juga antioksidan sekunder atau antioksidan eksogen. 3) Protein pengikat logam transisi, yaitu protein yang memiliki aktivitas antioksidan dengan cara mensekuestrasi atom golongan logam-logam transisi, khususnya zat besi (Fe) dan tembaga (Cu) sehingga logam-logam tersebut tidak dapat memicu pembentukan radikal hidroksil.
Contohnya
antara
lain
ferritin,
transferrin,
laktoferrin,
dan
kaeruloplasmin (Young dan Woodside, 2001). Kaeruloplasmin, yang bekerja dengan mengikat tembaga, juga dapat berfungsi sebagai enzim antioksidan yang mengkatalisis oksidasi ion besi divalen (Fe2+) menjadi ion besi trivalen (Fe3+) yang kurang reaktif (Atanasiu dkk., 1998). Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetis. Antioksidan alami yang terdapat di dalam makanan bisa berasal dari antioksidan yang sudah ada pada komponen makanan itu sendiri, reaksi-reaksi selama proses pengolahan makanan, maupun diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke dalam makanan sebagai bahan tambahan (Pratt, 1992). Senyawa fenolik atau polifenolik umumnya merupakan senyawa antioksidan alami yang terdapat di dalam tumbuhan.Senyawa fenolik dan fenolik ini dapat dalam bentuk senyawa golongan flavonoid, turunan asam
17
sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional (Pratt dan Hudson, 1990). Antioksidan sintetis adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi
kimia.
Antioksidan
sintetis
yang
sering
digunakan
adalah
t-
butilhidroksianisol (BHA), t-butilhidroksitoluen (BHT), propil galat (PG), tbutilhidroksikuinon (TBHQ) dan tokoferol. Penggunaan antioksidan sintetis pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan efek toksik bagi manusia (Borlow, 1990). 4.
Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan/senyawa kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair (Anonim, 2000). Pemisahan senyawa aktif dalam ekstrak dapat dilakukan dengan partisi. Prinsip partisi yaitu menggunakan pelarut yang kepolarannya sesuai dengan kepolaran senyawa, seperti melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar ataupun senyawa non polar dalam pelarut non polar. Proses partisi bergantung pada perbedaan kemampuan larut solut dalam dua macam pelarut (solven) yang tidak saling campur dan berbeda polaritasnya berdasarkan prinsip like-dissolves-like (Snyder dan Kirkland, 1997). Senyawa aktif yang terdapat dalam simplisia biasanya digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diekstraksi oleh pelarut, karena itu penyerbukan simplisia tidak perlu sampai halus sebelum diekstraksi. Penyerbukan sampai halus diperlukan pada
18
simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar karena zat aktifnya susah diserap oleh pelarut. Selain memperhatikan sifat fisik dan senyawa aktif dari simplisia, harus juga diperhatikan senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam simplisia seperti protein, karbohidrat, lemak, dan gula, karena senyawa-senyawa ini akan mempengaruhi tingkat kejenuhan pelarut sehingga akan berpengaruh pula pada proses pelarutan senyawa aktif (Anonim, 2000). Terdapat beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu cara dingin dan cara panas. Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin meliputi maserasi dan perkolasi. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi, maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi keseimbangan. Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan yang terus-menerus. Remaserasi berarti dilakukan penambahan ulang pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Maserasi merupakan cara penyarian senyawa yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel kemudian melarutkan zat aktif berdasarkan kepolaran penyari. Adanya gradien konsentrasi larutan zat aktif ekstraseluler dan intraseluler akan mendorong zat aktif yang disari keluar dari badan sel. Peristiwa tersebut terjadi secara kontinu hingga terjadi kesetimbangan konsentrasi larutan zat aktif di dalam kompartemen sel dengan di luar sel. Kelebihan ekstraksi dengan cara maserasi adalah cara
19
pengerjaan dan kebutuhan peralatan yang sederhana, tetapi mempunyai kekurangan yaitu proses pengerjaan yang lebih lama dan penyarian yang dihasilkan kurang sempurna, sehingga rendemen yang didapatkan kurang maksimal jika dibandingkan dengan menggunakan metode penyarian perkolasi (Anonim, 1986). Selain itu, dikenal juga remaserasi. Remaserasi merupakan metode ekstraksi dimana terjadi pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Pelarut kedua ditambahkan sebanyak penambahan pelarut pertama (Anonim, 2000). Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Anonim, 2000). Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas meliputi refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekoksi. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada ampas pertama sampai 3-5 kali, sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi berkelanjutan dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-
20
50oC. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). Dekoksi memiliki prinsip seperti infus, namun pada waktu yang lebih lama yaitu ≥30 menit dan temperatur sampai titik didih air (Anonim, 2000). 5.
Fraksinasi Proses pemisahan senyawa yang terkandung dalam ekstrak melibatkan
pembagian ekstrak menjadi fraksi-fraksi tertentu. Tipe fraksinasi tergantung dari sampel dan tujuan pemisahannya. Biasanya eluen dijalankan dalam kolom dan eluat dipisahkan menjadi fraksi-fraksi yang dapat diatur, diikuti dengan analisis fraksi untuk mendeterminasi kandungan senyawa masing-masing fraksi, kemudian diambil fraksi dengan kandungan yang diinginkan. Mengumpulkan eluat ke dalam fraksi-fraksi yang lebih kecil dimaksudkan untuk mengumpulkan senyawa-senyawa sedemikian rupa sehingga didapatkan sekumpulan senyawa yang lebih murni. Namun demikian, diperlukan perlakuan lebih lanjut pada setiap fraksi untuk memastikan kemurnian senyawa yang terkandung. Salah satu metode pemisahan yang digunakan untuk memisahkan ekstrak menjadi beberapa fraksi adalah dengan kromatografi cair vakum (KCV). Kromatografi kolom menggunakan pengisap vakum sering digunakan untuk memisahkan campuran senyawa-senyawa produk alam dan untuk memurnikan campuran senyawa-senyawa yang telah diketahui. Campuran senyawa dieluasi oleh fase gerak (eluen) dengan bantuan pengisap vakum (Mukti, 2008). Kromatografi cair vakum merupakan salah satu metode kromatografi kolom
21
khusus yang biasanya menggunakan gel silika sebagai fase diam (adsorben). Alat yang digunakan adalah corong Buechner, kolom yang terbuat dari gelas dengan diameter cukup besar, dan pengisap vakum (Kristanti, 2008). Kolom kromatografi berisi fase diam yang disiapkan secara baru dan dikemas kering dalam keadaan rapat dengan bantuan pengisap vakum sehingga diperoleh kerapatan maksimum. Pada proses eluasi, eluen (pelarut) dituangkan ke permukaan fase diam yang telah diberi sampel sebelumnya hingga memenuhi gelas kolom, kemudian eluen disedot menggunakan pengisap vakum, sehingga eluen turun membawa senyawa dari sampel yang terlarut di dalamnya (solut) dari kolom melalui adsorben, sehingga terjadilah mekanisme pemisahan senyawa dari sampel akibat interaksi solut-adsorben-eluen. Solut yang tidak terretensi adsorben kemudian ditampung, kemudian dianalisis kandungannya secara kualitatif. Solut yang terkandung pada setiap fraksi bergantung pada kelarutannya dalam eluen yang digunakan pada masing-masing fraksi. Dalam proses fraksinasi, biasanya elusi dilakukan secara gradien, yaitu terjadi kenaikan kepolaran eluen dari fraksi ke fraksi, hal ini disebut sebagai fraksinasi bertingkat. Tujuan dari fraksinasi cair–cair bertingkat ini adalah untuk memisahkan kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada sampel berdasarkan tingkat kepolarannya. Fraksinasi dilakukan dari pelarut dengan tingkat kepolaran rendah atau nonpolar bertujuan agar proses pengikatan senyawa bertahap dan agar seluruh senyawa tidak ditarik oleh pelarut polar yang bersifat menarik seluruh senyawa (Edawati, 2012). Kemampuan mengikat senyawa oleh tingkat kepolaran tersebut menyebabkan fraksinasi dengan pelarut polar dilakukan paling akhir. Oleh karena
22
itu, pada fraksi awal didapatkan senyawa paling nonpolar, kemudian di fraksifraksi berikutnya, senyawa-senyawa yang terbawa mempunyai polaritas yang meningkat seiring dengan meningkatnya polaritas eluen. Hasil pemisahan sampel yang kurang baik dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena fase diam yang kurang rapat, pengisian sampel pada permukaan fase diam yang tidak rata, proses pergantian eluen yang menyebabkan sisa eluen dari elusi fraksi sebelumnya masih tersisa, dan resolusi pemisahan yang terbatas karena kolom pemisahan yang digunakan pendek (Mukti, 2008). 6.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan kromatografi yang fase diamnya
difiksasi sebagai lapisan tipis pada penyangga seperti kaca, gelas, atau lembaran aluminium, aluminium oksida, kalsium hidroksida, resin penukar ion, magnesium fosfat, poliamida, sefadeks, polivinil pirolidon, selulosa, atau campuran dua bahan tersebut atau lebih (Stahl, 1985; Harborne, 1987). Pada KLT, lapisan tipis berlaku sebagai fase diam yang cenderung mengadsorpsi komponen-komponen dalam sampel. Sedangkan pelarut yang bermigrasi melalui lapisan tipis tersebut disebut sebagai fase gerak yang cenderung melarutkan sambil membawa komponen-komponen dalam sampel. Pengembangan fase gerak pada KLT biasanya menggunakan cara pengembangan naik yang dilakukan dalam bejana (chamber) yang telah dijenuhkan dengan zat yang sama dengan fase gerak, sehingga tekanan uap di dalam bejana seragam, hal tersebut membuat proses elusi fase gerak lebih cepat dan efisiensi pemisahan komponen dalam sampel lebih tinggi.
23
Campuran yang akan dipisahkan terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Kemudian campuran sampel ditotolkan di daerah awal pemberian sampel atau titik penotolan sampel yang telah ditentukan di dekat salah satu ujung dari plat, sampel kemudian dikeringkan. Bagian ujung plat yang telah ditotolkan sampel kemudian dicelupkan dalam fase gerak, biasanya campuran dari beberapa pelarut atau pelarut tunggal, di dalam bejana tertutup yang telah dijenuhkan oleh fase gerak. Komponen-komponen dari sampel kemudian bergerak terbawa fase gerak yang bermigrasi melalui fase diam. Kecepatan migrasi masing-masing komponen melewati fase diam saat terbawa oleh fase gerak berbeda-beda, inilah yang akan menentukan pola kromatogram yang terbentuk saat fase gerak mencapai titik akhir elusi yang telah ditentukan sebelumnya. Perbedaan kecepatan migrasi masing-masing komponen adalah berdasarkan kapilaritas dan hasil gaya tarik dari fase gerak dan gaya hambat dari fase diam. Setelah fase gerak mencapai titik akhir elusi, plat diangkat dari dalam bejana, kemudian dikeringkan beberapa saat, dan bercak-bercak yang terbentuk diamati dengan atau tanpa bantuan reagen visualisasi yang sesuai, di bawah sinar dengan panjang gelombang yang sesuai. Deteksi kromatogram akan lebih mudah dilakukan apabila senyawa yang dipisahkan memiliki warna, berpendar, atau menyerap sinar ultraviolet. Penyerapan sinar ultraviolet biasanya terjadi pada senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi atau senyawa aromatik. Akan tetapi tidak semua senyawa memiliki warna, berpendar, ataupun menyerap sinar ultraviolet secara alami, sehingga perlu diberi pereaksi penampak bercak sehingga dapat menghasilkan warna atau pendaran.
24
Pengamatan pada kromatografi lapis tipis dilakukan dengan cara melihat nilai Rf (Retention factor) dari solut. Nilai Rf didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh solut dibagi jarak yang ditempuh fase gerak. Nilai minimum Rf yaitu 0, ini terjadi ketika solut tertahan pada posisi titik awal permukaan fase diam. Apabila solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak yang menunjukkan bahwa solut mempunyai perbandingan distribusi (D) dan faktor retensi (k’) sama dengan 0, maka nilai Rf bernilai maksimal yaitu 1 atau jika dinyatakan dalam hRf (Rf x 100) 100 (Gandjar dan Rohman, 2007).
Jarak rambat senyawa dari titik penotolan Rf = Jarak elusi fase gerak / pelarut Ada pula faktor kapasitas, k’, yang menyatakan rasio kuantitas solut yang terdistribusi antara fase gerak dan fase diam. ts k’ = tm dengan ts adalah waktu retensi komponen dalam fase diam dan tm adalah waktu retensi komponen dalam fase gerak. Nilai faktor kapasitas juga berhubungan dengan nilai Rf, yang dinyatakan dengan persamaan (Sherma, 1996):
1 - Rf k’ = Rf Salah satu bentuk dari KLT adalah kromatografi lapis tipis preparatif. KLT preparatif digunakan untuk memisahkan dan mengisolasi senyawa/komponen
25
dengan kuantitas yang lebih banyak dibandingkan dengan KLT analitik (biasanya 10–1000 mg). Tujuan dari KLT preparatif adalah untuk mendapatkan senyawa murni untuk digunakan dalam proses analisis spektrometri atau kromatografi lebih lanjut, atau untuk penentuan aktivitas biologisnya (Kowalska dan Sherma, 2006). Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang sering dipakai adalah 0,5-2 mm, dengan ukuran permukaan plat kromatografi biasanya 20 x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum digunakan adalah gel silika (Muzakir, 2011). Penjerap dapat disiapkan sendiri secara baru di laboratorium dengan cara mencetak penjerap di atas plat, atau tersedia juga plat yang sudah terdapat penjerap (precoated layer) secara komersial di pasaran. Ketebalan penjerap biasanya 0,5 – 2 mm tergantung kapasitas pemuatan sampel (Kowalska dan Sherma, 2006). Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pelarut yang baik untuk melarutkan cuplikan adalah pelarut yang atsiri. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri disekeliling permukaan bagian dalam bejana (Hostettmann dkk., 1995).
26
Daerah pada penjerap yang terdapat bercak-bercak komponen sampel hasil pengembangan oleh fase gerak dapat dideteksi secara nondestruktif setelah penguapan fase gerak, baik secara biasa oleh mata telanjang karena warna alami yang dimiliki oleh masing-masing bercak, atau dengan mengamati karakter pendaran bercak di bawah sinar ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 254 atau 366 nm (Joseph dan Sherma, 2006). Setelah pita ditampakkan dengan cara yang tidak merusak, kemudian senyawa yang tidak berwarna dengan penjerap dikerok. dari plat kaca. Cara ini berguna untuk memisahkan campuran beberapa senyawa sehingga diperoleh senyawa murni (Gritter dkk., 1991). Untuk memastikan kemurnian senyawa hasil isolasi, salah satu metode yang dapat dimanfaatkan adalah metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Densitometri. KLT Densitometri memberikan hasil yang lebih mendalam dan akurat untuk uji kemurnian dengan KLT kualitatif, karena dapat mendeteksi adanya bercak-bercak pada plat hasil elusi yang sulit dilihat oleh mata telanjang. Selain itu, KLT Densitometri juga dapat membantu menentukan apakah bercak-bercak yang terdapat pada plat KLT adalah bercak dari senyawa target, karena pengukuran dengan densitometer dilakukan pada panjang gelombang spesifik sesuai dengan profil senyawa target. Model pengukuran dalam instrumen densitometer dibagi menjadi dua, yaitu deteksi model transmisi dan deteksi model refleksi. Pada model pengukuran transmisi, lempeng kromatografi dilewati seberkas sinar dan energi dari cahaya yang ditransmisikan lempeng diukur. Sedangkan pada metode pemantulan, sinar disorotkan pada lempeng dan berkas sinar yang dipantulkan diukur. Metode
27
pemantulan lebih efektif terutama jika cuplikan dapat berfluoresensi dan fluoresensinya dapat diukur. Dari kedua model tersebut, energi dari cahaya yang dipantulkan atau ditransmisikan dideteksi kemudian dikonversi dalam bentuk puncak-puncak pada densitogram. Pada umumnya, instrumen densitometer dilengkapi dengan sumber cahaya, kondensor, sistem pemfokus, dan detektor yang peka cahaya. Selain itu, instrumen dilengkapi juga dengan monokromator yang pada beberapa jenis memiliki filter optik yang selektif hanya pada panjang gelombang tertentu. Sumber cahaya merupakan salah satu bagian yang paling penting pada alat. Sumber cahaya yang berbeda akan memberikan karakteristik spektrum yang berbeda pula. Lampu deuterium (D2), lampu tungsten (W), merupakan lampu yang sering digunakan untuk analisis pada daerah UV. Sedangkan untuk pengukuran fluoresensi, biasanya digunakan lampu merkuri (Hg) atau lampu xenon (Xe). Lampu D2 digunakan untuk analisis dalam rentang panjang gelombang 190-400 nm, lampu W dalam rentang 350-800 nm, sedangkan lampu Hg untuk pengukuran fluoresensi dengan rentang panjang gelombang 254-578 nm. Sinar yang keluar dari lampu dihimpun oleh bagian yang disebut kondensor. Agar diperoleh sinar dengan panjang gelombang tertentu, sinar dilewatkan pada monokromator. Sinar monokromatis yang dihasilkan kemudian diarahkan pada lempeng KLT. Sebagian sinar yang dipantulkan oleh lempeng kemudian disejajarkan oleh bagian yang disebut kolimator. Setelah melalui kolimator, sinar tersebut kemudian disaring oleh bagian yang disebut filter optik, sehingga hanya
28
cahaya dengan panjang gelombang tertentu saja yang dapat masuk ke detektor. Pada bagian akhir, sinyal cahaya akan diubah menjadi sinyal arus listrik oleh photo multiplier. Sinyal arus listrik inilah yang dikonversi menjadi puncak-puncak pada densitogram. Dalam penggunaan densitometer, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: a. Sinar yang masuk tidak perlu tepat paralel, namun sudut datang sinar harus dipertahankan konstan. b. Monokromatisitas dari sinar sangat penting, untuk menjaga keseragaman absorbsi dari sampel pada panjang gelombang yang digunakan. c. Celah sinar datang harus kecil, sesuai dengan rentang daerah panjang gelombang absorbsi. d. Ketidakseragaman pada bercak pada lempeng memiliki efek yang besar dalam pengukuran dengan model refleksi, bila dibandingkan dengan metode transmisi (Utama, 2008). 7. Pinosembrin
Gambar 2. Struktur molekul pinosembrin
Senyawa ini memiliki nama sistematik IUPAC: (2S)-5,7-dihidroksi-2fenil-2,3-dihidro-4H-kromen-4-on.
Senyawa
ini
merupakan
senyawa
29
golongan flavonoid, derivat flavanon dengan rumus molekul C15H12O4. Berdasarkan beberapa literatur, senyawa ini mempunyai jarak lebur 191 193°C (Ching dkk.,2007) dan 200 - 201°C (Jaipetch dkk., 1982). Senyawa ini pertama kali diisolasi dari tumbuhan Pinus cembra. Selain itu, senyawa ini juga telah berhasil diisolasi, antara lain dari daun Eucalyptus sieberi, Baccharis glutinosa, Hymenoclea monogyna, dan Alnus stelbodiana. 8. Pinostrobin
Gambar 3. Struktur molekul pinostrobin
Senyawa ini memiliki nama sistematik IUPAC 5-hidroksi-7-metoksi-2fenilkroman-4-on. Senyawa ini merupakan senyawa golongan flavonoid derivat flavanon dengan rumus molekul C16H14O4. Berdasarkan beberapa literatur, senyawa ini mempunyai jarak lebur 96 - 98°C (Ching dkk., 2007), 100 - 101°C (Jaipetch dkk., 1982), 99 - 101 °C (Sukardiman dkk., 2014). Senyawa ini telah berhasil diisolasi dari tanaman Boesenbergia pandurata, Myrica pensylvanica, Onychium siliculosum, Aniba riparia, Larix dahurica, Helichrysum polycladum, Prunus cerasus, Agonis spatulata, serta Pipersp, Pinussp, Albus sp, dan Populus sp. Pinostrobin merupakan senyawa golongan flavonoid utama yang terkandung dalam tanaman Boesenbergia pandurata (Anonim, 2004).
30
9.
Spektrofotometri UV-Visibel Spektrofotometri UV-Visibel adalah sebuah teknik analisis spektroskopik
yang menggunakan radiasi elektromagnetik sinar ultra violet dekat (panjang gelombang 200 – 400 nm) dan sinar tampak (panjang gelombang 400 – 780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Sinar ultra violet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektronik. Transisi-transisi elektronik akan meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar (ground state) ke satu atau lebih tingkat energi eksitasi molekul. Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi potensial elektron pada tingkat keadaan tereksitasi. Dalam aspek kuantitatif, radiasi yang diserap oleh cuplikan (sampel) ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap dengan asumsi tidak ada penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang dalam satuan waktu. Serapan dapat terjadi jika foton/radiasi yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya perubahan energi pada molekul. Kekuatan radiasi pada molekul dapat mengalami penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi penurunan radiasi sangat kecil dibandingkan
31
dengan besarnya radiasi yang diserap molekul sehingga dapat diabaikan (Gandjar dan Rohman, 2007). Penyerapan radiasi ultraviolet dan sinar tampak (visibel) dibatasi oleh sejumlah gugus fungsional (yang disebut dengan kromofor) yang mengandung elektron valensi dengan tingkat energi eksitasi yang relatif rendah. Kromofor merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak. Pada molekul organik, dikenal pula istilah auksokrom yang merupakan gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas, seperti -OH, -O, -NH2, dan -OCH3. Terikatnya gugus auksokrom pada kromofor akan menyebabkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang yang lebih besar (pergeseran batokromik), yang disertai dengan peningkatan intensitas serapan (efek hiperkromik). Kuantifikasi besarnya radiasi yang diserap molekul dinyatakan dalam persamaan Lambert-Beer: A = abc Di mana: A = absorban a = konstanta absorptivitas b
= ketebalan kuvet (cm)
c = konsentrasi senyawa dalam larutan Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal kuvet dan konsentrasi larutan senyawa. Terdapat beberapa pembatasan dalam hukum Lambert-Beer, yaitu:
32
a.
Sinar yang digunakan harus monokromatis.
b.
Absorpsi terjadi dalam suatu volume dengan luas penampang yang sama.
c.
Senyawa yang menyerap dalam larutan tidak tergantung terhadap pengotor/senyawa lain yang terdapat dalam larutan tersebut.
d.
Tidak terjadi peristiwa fluoresensi/fosforesensi.
e.
Indeks bias cahaya tidak tergantung pada konsentrasi larutan.
Kuantitas spektroskopik yang diukur oleh instrumen biasanya adalah transmitansi, yaitu besarnya radiasi yang diteruskan oleh molekul cuplikan dibanding besarnya radiasi total yang dipancarkan oleh instrumen, T = I/I0, dan absorbansi A, dimana A = log 1/T. Absorptivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi senyawa dalam larutan, tebal kuvet, dan intensitas radiasi yang mengenai sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, jenis pelarut, struktur molekul cuplikan, dan panjang gelombang radiasi (Gandjar dan Rohman, 2007). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometri UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna dalam sinar tampak yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel, karena senyawa tersebut harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa yang berwarna. Pertama, senyawa yang dianalisis harus diubah bentuk menjadi senyawa yang dapat menyerap sinar tampak saat dianalisis. Cara yang digunakan adalah dengan mengubah analit menjadi senyawa lain atau dengan direaksikan dengan pereaksi tertentu, disebut pereaksi pengkopling. Pereaksi pengkopling harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
33
a.
Reaksi yang dihasilkan selektif dan sensitif
b.
Reaksi yang dihasilkan cepat, kuantitatif, dan reprodusibel
c.
Hasil reaksi stabil dalam jangka waktu lama
Selektivitas reaksi dapat dinaikkan dengan mengatur pH, pemakaian masking agent, atau penggunaan teknik ekstraksi. Kedua, ditentukan dahulu waktu operasional (operating time), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk memberikan hasil pengukuran yang stabil. Waktu operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan. Pada saat awal reaksi, absorbansi senyawa berwarna meningkat sampai waktu tertentu hingga diperoleh pembacaan absorbansi yang stabil. Semakin lama waktu pengukuran, maka ada kemungkinan senyawa berwarna tersebut menjadi rusak atau terurai sehingga
intensitas
warna
yang
ditimbulkan
menjadi
turun,
akibatnya
absorbansinya juga turun. Karena alasan inilah, maka dalam pengukuran senyawa berwarna dalam sinar tampak harus dilakukan dalam rentang waktu operasional. Hal ketiga yang harus diperhatikan adalah pemilihan panjang gelombang untuk analisis senyawa tertentu. Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang dapat memberikan absorbansi maksimal. Untuk menentukan panjang gelombang maksimum, dibuat kurva hubungan antara absorbansi dan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Beberapa alasan penggunaan panjang gelombang maksimum, yaitu: a.
Pada panjang gelombang maksimum didapatkan sensitivitas analisis yang maksimal.
34
b.
Di sekitar panjang gelombang maksimum, bentuk kurva korelasi absorbansi vs konsentrasi mendekati datar sempurna dan hukum Lambert-Beer terpenuhi.
c.
Jika dilakukan pengukuran ulang, maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang pada instrumen sangat kecil.
Berikutnya, yang harus diperhatikan yaitu dalam pembuatan kurva baku. Kurva baku yang dibuat untuk pengukuran haruslah mendekati datar sempurna dengan koefisien korelasi mendekati 1 (memenuhi hukum Lambert-Beer). Hal kelima yang harus diperhatikan adalah saat pembacaan absorbansi sampel. Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya dalam rentang nilai 0,2 sampai 0,8 atau dalam nilai transmitansi 15% sampai 70%. Hal ini jika diasumsikan bahwa kesalahan dalam pembacaan transmitansi adalah 0,005 atau 0,5% (Gandjar dan Rohman, 2007). 10. Metode uji aktivitas antioksidan a. Metode penangkapan radikal DPPH DPPH merupakan radikal nitrogen organik yang stabil berwarna ungu tua. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Brand-williams (Prior dkk., 2005). Metode DPPH adalah sebuah metode yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan.Prinsipnya dimana elektron tidak berpasangan pada molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 517 nm yang berwarna ungu. Warna ini akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut
35
berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan (Prakash, 2001). Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah Inhibitory Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan radikal. Semakin rendah nilai IC50 semakin baik aktivitas antioksidannya (Molyneux, 2004). Metode ini sederhana karena hanya membutuhkan spektrofotometri UVVis. Akan tetapi, karena DPPH sensitif terhadap cahaya maka metode ini dilakukan di ruangan yang gelap atau terhindar cahaya. b. Metode FRAP Metode Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) pertama kali diperkenalkan oleh Benzie dan Strain (1996). Prinsip metode ini adalah reduksi ion ferri (Fe3+) menjadi ion ferro (Fe2+) oleh senyawa/bahan uji yang memiliki aktivitas antioksidan. Metode ini menggunakan pereaksi 2,4,6-tripiridil-striazin (TPTZ) yang akan memberikan warna ungu intens karena terbentuknya ion kompleks Fe(TPTZ)22+ akibat bereaksi dengan ion Fe2+ yang terbentuk dari ion Fe3+ yang tereduksi oleh bahan/senyawa uji yang memiliki aktivitas antioksidan (Collins dkk., 1959). Pereaksi lain yang juga dapat memberikan warna spesifik karena bereaksi dengan ion Fe2+ adalah 1,10-fenantrolin. Ion Fe2+ akan bereaksi dengan 1,10fenantrolin membentuk ion kompleks berwarna jingga-merah ferroin [Fe(C12H8N2)3]2+ yang intensitas warnanya tidak bergantung pada keasaman dalam rentang pH 2-9, dan stabil dalam waktu yang lama (Jeffery dkk., 1989).
36
Senyawa kompleks ini dapat dibaca absorbansinya di sekitar panjang gelombang 510 nm (Terry dkk.,2011). Semakin besar pembacaan absorbansi menandakan semakin banyak ion Fe3+ yang tereduksi menjadi ion Fe2+, berarti semakin besar pula daya reduksi yang dimiliki oleh bahan/senyawa uji dan semakin besar daya antioksidannya (Molyneux, 2004). Mekanisme umum yang terjadi dalam uji kapasitas antioksidan metode FRAP: Fe3+ + antioksidan
Fe2+ +antioksidan+
Fe2+ + (C12H8N2)3
[Fe(C12H8N2)3]2+
N N
Fe2+ N
N N
N
Gambar 4. Kompleks antara senyawa 1,10-fenantrolin dan ion Fe2+ (Azzahra, 2015)
c. Sistem linoleat-tiosianat Asam linoleat adalah asam lemak tidak jenuh yang memiliki dua ikatan rangkap yang mudah mengalami oksidasi membentuk peroksida yang selanjutnya mengoksidasi ion ferro menjadi ion ferri. Selanjutnya ion feri bereaksi dengan amonium tiosianat membentuk kompleks feritiosianat [Fe(CNS)3] yang berwarna merah muda. Kemudian intensitas warna ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 490 nm. Semakin tinggi intensitas warnanya menunjukkan semakin banyak peroksida yang terbentuk (Pokorny dkk., 2001).
37
d. β-caroten bleaching assay Prinsip metode ini adalah adanya pemucatan warna β-karoten oleh radikal yang berasal dari peristiwa oksidasi spontan asam lemak pada suhu 50˚C. Metode ini sudah banyak digunakan secara luas, tetapi memiliki keterbatasan diantaranya adalah sensitif terhadap oksigen dan suhu udara (Prieto dkk., 2012). e. Uji aktivitas pengkhelat logam (metal chelating activity) Metode ini menggunakan reagen Ferrozine® sebagai agen pengkhelat. Ferrozine® dapat mengkhelat ion logam Fe2+ dan kemudian membentuk senyawa kompleks berwarna merah yang dibaca absorbansinya secara spektrofotometri pada panjang gelombang 562 nm. Pengukuran aktivitas mengkhelat bahan antioksidan dilakukan dengan mengukur pemudaran warna merah dari kompleks Ferrozine-Fe2+, yang berarti terdapat bahan antioksidan telah berikatan (mengkhelat) secara kompetitif dengan ion Fe2+ (Soler-Rivas, dkk., 2000). Senyawa antioksidan yang terdapat dalam bahan antioksidan berikatan dengan ion logam yang reaktif dan membentuk kompleks koordinasi yang kemudian menginhibisi proses transfer elektron, yang kemudian mengakibatkan terhentinya proses oksidasi dan tidak ada radikal bebas yang dihasilkan.
38
E. Landasan Teori Tanaman Boesenbergia pandurata Roxb. atau yang dikenal sebagai temu kunci adalah salah satu tanaman obat tradisional Indonesia. Rimpang temu kunci mengandung minyak-minyak atsiri dan senyawa turunan flavonoid yang menunjukkan banyak aktivitas farmakologi, termasuk antioksidan. Flavonoid dan fenolik merupakan senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antioksidan dan pengkelat yang signifikan (Heim dkk., 2002). Oleh karena itu, aktivitas antioksidan seringkali dikaitkan dengan kandungan fenolik dan flavonoid totalnya. Hasil studi oleh Nihlati dkk. (2012) menunjukkan bahwa ekstrak etanolik rimpang temu kunci memiliki aktivitas antioksidan yang poten dengan nilai IC 50 10,36 µg/mL menggunakan metode penangkapan radikal DPPH (2,2-difenil-1pikrilhidrazil). Sementara studi oleh Zaeoung dkk. (2005) memberikan hasil bahwa ekstrak metanol dan ekstrak air rimpang temu kunci memiliki daya antioksidan masing-masing sebesar 47,4 µg/mL dan 11,3 µg/mL. Hasil penelitian lain oleh Tanjung dkk (2013) menunjukkan bahwa senyawa pinostrobin dan pinosembrin yang diisolasi dari rimpang Kaempferia pandurata mampu menangkap radikal DPPH, dengan IC50 masing-masing sebesar 5816 µg/mL dan 6268 µg/mL. Kapasitas antioksidan dalam metode FRAP merupakan parameter besarnya kekuatan suatu zat/bahan dalam mereduksi suatu zat per satuan berat bahan antioksidan tersebut. Kapasitas antioksidan dinyatakan dalam jumlah mol yang tereduksi oleh bahan uji per satuan berat bahan uji tersebut (mmol/gram).
39
Besarnya daya reduksi tersebut secara kasar dapat menggambarkan besarnya aktivitas antioksidan bahan uji tersebut. Temu kunci mengandung senyawa flavonoid utama pinostrobin dan pinosembrin. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini akan dilakukan pengukuran kapasitas antioksidan senyawa pinostrobin dan pinosembrin yang diisolasi dari rimpang temu kunci menggunakan metode FRAP. F. Hipotesis Senyawa pinostrobin dan pinosembrin yang diisolasi dari rimpang temu kunci memiliki aktivitas antioksidan berdasarkan metode uji kapasitas antioksidan FRAP.