1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ablasi retina merupakan salah satu penyakit
yang mengancam
penglihatan, terlebih jika melibatkan fovea. Beberapa survei epidemiologi menunjukkan bahwa angka kejadian ablasi retina regmatogen dalam setahun antara 7- 14 kasus per 100.000 penduduk di negara-negara barat, namun jauh lebih tinggi di Asia yang mungkin berhubungan dengan tingginya kejadian miopia pada ras asia (Wilkes et al., 1982, Rowe et al., 1999, Algvere et al., 1999, Ideta et al., 1995, Wong et al., 1999). Sebuah survei berbasis populasi mengidentifikasi kejadian rata-rata dalam setahun 14,4 kasus per 100.000 penduduk di daerah pedalaman Cina, dengan kecenderungannya meningkat selama 4 tahun (Zou et al., 2008). Modalitas penanganan ablasi retina adalah tindakan pembedahan untuk menempelkan kembali retina (D'Amico, 2008). Sampai saat ini masih terdapat kontroversi mengenai tehnik bedah terbaik yang dapat dikerjakan untuk menangani ablasi retina rhegmatogen. Pars plana vitrectomy (PPV) dan scleral buckle (SB) adalah tehnik operasi yang paling populer digunakan dalam penanganan ablasi retina rhegmatogen (Mehta et al., 2011, García-Arumí et al., 2013). Penggabungan kedua tehnik tersebut juga telah menjadi metode populer dan dapat diandalkan untuk memperbaiki ablasi retina rhegmatogen jenis tertentu (Mehta et al., 2011). Pemilihan teknik bedah didasarkan pada karakteristik ablasi retina dan kekhasan pada masing-masing pasien serta pada pengalaman ahli bedah pada masing-masing teknik bedah.
2
Secara historis, SB telah menjadi metode yang lebih disukai dibandingkan dengan PPV dalam menangani ablasi retina rhegmatogen untuk menghindari tingginya insidensi kejadian katarak setelah prosedur PPV. Namun pada saat ini, sejumlah besar ahli bedah vitreoretina tampaknya mulai meninggalkan SB dan lebih memilih PPV untuk menghindari komplikasi yang terjadi pada SB, yang meliputi kejadian miopia setelah operasi, pembentukan membran epiretina, diplopia, ablasi koroid, malposisi kelopak mata dan rejeksi buckle (D'Amico, 2008, Sharma et al., 2004, Sodhi et al., 2008, Tewari et al., 2003, Wickham et al., 2004). Selain itu, pembentukan katarak setelah PPV saat ini dapat dikelola dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dan waktu yang singkat dengan menggunakan teknologi fakoemulsifikasi. Operasi SB mempunyai tujuan untuk mendekatkan kembali lapisan neurosensorik retina yang terlepas dengan lapisan epitel pigmen retina di bawahnya, dan menghilangkan tarikan vitreoretina di daerah sekitar buckle (sabuk). Pada operasi PPV, tarikan vitreoretina dapat dihilangkan dengan cara mengambil vitreus yang ada di segmen posterior dan menggantinya dengan gas tertentu sebagai tamponade. Adanya tamponade gas dan hilangnya tarikan vitreoretina tersebut, maka lapisan neurosensorik retina yang terlepas dapat melekat kembali ke lapisan epitel pigmen retina yang ada di bawahnya. Dengan tujuan kedua operasi tersebut yang hampir sama tersebut, kemudian timbul pertanyaan apakah pada operasi PPV masih perlu disertai dengan pemasangan SB. Manfaat dari melakukan pemasangan SB pada operasi PPV masih menjadi perdebatan. Beberapa peneliti mengklaim bahwa penambahan SB dapat meningkatkan hasil akhir pembedahan, tetapi peneliti lain melaporkan bahwa
3
dengan pembersihan vitreus dengan sangat teliti, maka penambahan SB tidak diperlukan lagi, bahkan penambahannya dapat membahayakan. Beberapa penelitian telah menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih baik secara anatomi dan fungsional pada penanganan ablasi retina rhegmatogen dengan menggunakan PPV dibandingkan dengan SB (Brazitikos, 2005, Arya et al., 2006, Feltgen et al., 2007, Sharma et al., 2004). Hal ini mungkin karena kemajuan tehnik PPV terbaru, seperti widefield wiewing system yang memungkinkan visualisasi yang lebih baik robekan di anterior. PPV juga memungkinkan pelepasan traksi vitreus pada robekan retina dengan sangat teliti dan memungkinkan pengambilan retinal pigmen epithel (RPE) yang dapat menyebabkan pengkerutan makula dan/atau proliferative vitreoretinopathy (PVR). Studi-studi lain menunjukkan hasil anatomis yang sama baik dengan PPV maupun dengan SB (Sharma et al., 2004, Ahmadieh et al., 2005, Le Rouic et al., 2002, Oshima et al., 2000, Pastor et al., 2008). Keberhasilan secara anatomis pada penelitian yang dilakukan oleh Mehta et al. mencapai 83,8% pada mata fakia yang menjalani operasi PPV saja, sedangkan yang menjalani operasi PPV dan SB mencapai 97,1%; pada mata pseudofakia yang menjalani operasi PPV keberhasilan anatomisnya mencapai 87,5%, sedang yang menjalani operasi PPV dan SB mencapai 93,9% (Mehta et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Kinori et al. melaporkan bahwa keberhasilan secara anatomis pada operasi pertama mencapai 81,3% pada pasien yang menjalani operasi PPV, sedangnya pada pasien yang menjalani PPV dan SB mencapai 87,1%; tajam penglihatan akhir pada pasien yang menjalani PPV adalah
4
0,41 (LogMAR), sedangkan pada pasien yang menjalani PPV dan SB adalah 0,51 (LogMAR) (Kinori et al., 2011). Feltgen et al. melaporkan bahwa perubahan rerata best corrected visual acuity (BCVA) lebih tinggi pada pasien fakia yang menjalani SB dibandingkan PPV, dan pada pasien pseudofakia, perubahan rerata BCVA pada kelompok SB dan PPV tidak berbeda (Feltgen et al., 2007). Simanjutak menemukan bahwa tingkat keberhasilan operasi secara anatomis pada kasus ablasi retina mencapai 73,3% (Simanjuntak), dan menurut Mitry et al., kesuksesan operasi pada ablasi retina mencapai 80,3% (Mitry et al., 2012).
B. Pertanyaan Penelitian Berdasar latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah perlu dilakukan scleral buckle (SB) pada operasi pars plana vitrectomy (PPV) pada penanganan ablasi retina rhegmatogen di RS Mata dr. Yap?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil operasi secara anatomis operasi pars plana vitrectomy (PPV) dengan atau tanpa scleral buckle (SB) pada penanganan ablasi retina rhegmatogen dalam waktu follow up 6 bulan.
5
D. Manfaat Penelitian 1.
Dapat digunakan sebagai dasar pemilihan metode operasi yang lebih efisien dalam menangani ablasi retina rhegmatogen
2.
Dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya
E. Keaslian Penelitian Berikut beberapa penelitian yang telah dilakukan Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti
Metode
Kesimpulan
Kinori et al., (2011)
Mengevaluasi vitrektomi untuk penanganan ablasi retina rhegmatogen. Terdapat 96 mata pada group PPV dan 85 mata pada group PPV/SB. Follow up dilakukan selama minimal 3 bulan
Weichel et al. (2006)
Mengevaluasi operasi PPV dibandingkan dengan PPV/SB untuk penanganan ablasi retina rhegmatogen pada pasien pseudofakia
Mehta et al., (2011)
Membandingkan operasi PPV dan PPV/SB untuk penanganan ablasi retina rhegmatogen. Data diambil secara retrospektif dari catatan medis kemudian dianalisis hasilnya secara anatomis dan fungsional
Keberhasilan anatomi dan ketajaman visus akhir pada kedua grup adalah sebanding. Penambahan SB tidak meningkatkan hasil operasi dan berhubungan dengan ketajaman visus yang sedikit lebih rendah dibandingkan PPV tanpa SB. Lokasi robekan dan keadaan lensa berefek pada tingkat kesuksesan PPV dan PPV/SB mempunyai efikasi yang sama dalam penanganan ablasi retina rhegmatogen pada pasien pseudofakia. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kejadian komplikasi di antara kedua kelompok. PPV/SB mungkin berhubungan dengan penurunan resiko ablasi ulang jika dibandingkan dengan PPV dalam menangani ablasi retina rhegmatogen pada pasien fakia. Pada pasien pseudofakia, kesuksesan secara anatomi di antara kedua tehnik operasi tampaknya sama
6
Siqueira et al. (2007)
Rush et al. (2013)
Lima puluh satu pasien dengan ablasi retina rhegmatogen dengan proliferative vitreoretinopathy (PVR) dalam berbagai tingkatan menjalani operasi PPV, 23 pasien dengan SB (grup I) dan 28 tanpa SB (grup II). Ketajaman visus, komplikasi segmen anterior, tekanan intraokuler, strabismus dan penempelan retina dievaluasi pada kedua grup Review selama 2 tahun pasien ablasi retina rhegmatogen berulang yang ditangani dengan operasi PPV atau PPV/SB. Hasil primer adalah kesuksesan secara anatomis. Hasil sekunder adalah ketajaman visus akhir setelah follow up selama 6 bulan
Kedua prosedur operasi memiliki keberhasilan penempelan retina kembali yang sama. Komplikasi selama operasi dan setelah operasi sama pada kedua jenis operasi. Ketajaman visus meningkat secara signifikan pada grup II.
Hasil penelitian tidak menunjukkan superioritas antara kedua metode operasi
Penelitian mengenai perbedaan hasil operasi secara anatomis antara metode operasi PPV dengan atau tanpa SB dalam penanganan ablasi retina rhegmatogen di RS dr. Yap Yogyakarta belum pernah dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian-penelitian sebelumnya tidak dilakukan di Indonesia, sedangkan penelitian ini dilakukan di Indonesia, khususnya di RS Dr. Yap Yogyakarta.