BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai gencar mengembangkan pengadaan Kelas Khusus Olahraga (KKO) atau disebut pula dengan sekolah berbasis olahraga. KKO tidak hanya sekedar menyalurkan minat dan bakat siswa dalam bidang olahraga, namun juga mendorong siswa untuk berprestasi di bidang olahraga. Seperti halnya tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, program KKO bukan hanya sekedar program pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian dari proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, ketrampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani, namun juga sebagai program untuk menunjang olahraga prestasi, yakni olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Penekanan prestasi dalam pembinaan KKO secara umum memang berorientasi pada pencapaian prestasi yang berhubungan dengan olahraga. Akan tetapi, siswa KKO memperoleh pelajaran seperti layaknya siswa kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. Hanya saja, perbedaan dalam hal ini adalah siswa KKO diberikan bobot materi olahraga yang lebih banyak dan mendalam, memperoleh tambahan jam untuk melakukan latihan rutin yang dilakukan baik di dalam maupun di luar sekolah, serta turut berpartisipasi sebagai wakil sekolah untuk bertanding dalam turnamen-turnamen olahraga. Siswa KKO bukan hanya sebagai siswa namun juga sebagai atlet yang dituntut untuk mampu memberikan prestasi terbaik, dimana kedisplinan memegang peranan
1
2 penting dalam mencapai prestasi tersebut. Prestasi akan dapat dicapai oleh atlet yang memiliki disiplin diri dengan latihan yang teratur dalam upaya untuk mencapai target yang ditentukan sendiri, tidak melanggar ketentuan-ketentuan dari pelatih, sehingga jelaslah bahwa sikap disiplin diri ini dibutuhkan oleh atlet sejak menjalani latihan, latihan sendiri, dan pertandingan yang terikat pada peraturan dan wasit. Hukuman dan sanksi selama ini memang menjadi upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kedisiplinan, namun belum sepenuhnya menjadi upaya yang efektif. Penting adanya kedisiplinan yang muncul dari dalam diri, sehingga seseorang akan tetap teguh pada tanggung jawabnya, dan tahu apa yang harus dilakukan tanpa ada paksaan dari luar. Kedisiplinan yang seperti inilah yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. Menurut Richard Mainaky, kunci keberhasilan seorang atlet terletak pada mental disiplin (Suryanto, 2013). Vince Lombardi (dalam Payne, 2014) juga menyatakan bahwa untuk menjadi pemenang, seseorang haruslah berkomitmen untuk selalu disiplin, berkorban, dan bekerja keras. Menurut Maksum (2007) ada tujuh trait kepribadian yang menunjang prestasi atlet salah satunya adalah komitmen. Trait kepribadian ini merujuk pada adanya kesediaan atlet untuk mengikuti dan memegang teguh ketentuan-ketentuan, baik yang datang dari dalam diri atlet sendiri maupun yang datang dari luar. Atlet yang memiliki komitmen adalah atlet yang mencintai profesinya, fokus terhadap tugas, disiplin dan tanggung jawab terhadap tugas, serta rela mengorbankan kepentingan lain demi profesi yang dipilihnya. Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa disiplin termasuk dalam komponen kepribadian yang menunjang prestasi atlet. Siswa atlet memiliki jadwal yang lebih padat jika dibandingkan dengan siswa di kelas reguler. Selain harus tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kurikulum, siswa atlet juga memiliki kewajiban untuk berlatih olahraga setidaknya tiga kali dalam satu minggu, baik di sekolah maupun di luar sekolah, karena sebagian siswa juga mengikuti latihan di klub. Namun, yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah
3 kurangnya kedisiplinan pada siswa KKO. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru di SMP Negeri 13 Yogyakarta dan SMA Negeri 4 Yogyakarta, diperoleh informasi bahwa siswa KKO cenderung bersikap kurang disiplin, khususnya dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa KKO cenderung sukar diatur dan dengan sengaja sering mengulur-ulur waktu setelah latihan rutin dengan berbagai alasan seperti antri mandi dan ganti baju agar jam pelajaran berkurang. Beberapa siswa juga terkadang izin untuk pulang dan mandi di rumah seusai latihan rutin. Kasus-kasus yang menunjukkan kurangnya kedisiplinan juga terjadi tidak hanya pada siswa atlet KKO. Sutrisno (2009) menyatakan bahwa hampir di setiap tingkat sekolah selalu saja ada peserta didik yang melakukan pelanggaran disiplin. Seorang pelatih tim sepak bola wanita U-15 mengeluh bahwa dalam beberapa tahun terakhir, tim yang diasuhnya sangat kurang disiplin. Para pemain jarang berlatih dan hanya datang saat menjelang pertandingan (Anonim, 2008). Sejalan dengan hal itu, Basoeki (2012) yang merupakan seorang pelatih kegiatan ekstrakurikuler futsal memberikan keterangan dalam penelitiannya bahwa beberapa siswa yang ditanganinya memang rendah tingkat kedisiplinannya. Hal ini dilihat dari kebiasaannya saat berlatih, yakni beberapa kali terlambat, tidak mengenakan seragam yang ditentukan, dan terkadang tidak mematuhi instruksi yang diberikan, atau sering mengobrol di waktu latihan. Hal tersebut merupakan permasalahan yang terjadi pada siswa atlet dimana siswa berada pada masa remaja, masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, yakni menuju pada kematangan jasmani, seksualitas, pikiran dan emosional. Rosenberg (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa diri remaja akan terus memiliki ciri ketidakstabilan hingga tiba suatu saat di mana seorang remaja berhasil menemukan jati dirinya dan biasanya hal ini tidak terjadi hingga masa remaja akhir atau bahkan di awal masa dewasa. Kedisiplinan siswa atlet sesungguhnya tak lepas dari faktor kematangan emosi siswa itu sendiri. Sulaiman (2013) berpendapat bahwa ketika kematangan emosi
4 seorang remaja sudah dikatakan matang atau sesuai dengan usianya, maka seseorang akan cenderung berperilaku sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulaiman (2013) mengenai kedisiplinan menunjukkan bahwa kematangan emosi memiliki hubungan yang positif dengan disiplin berlalu lintas pada remaja. Hal tersebut membuktikan bahwa kematangan emosi memang memiliki keterkaitan dengan kedisiplinan remaja. Piaget (dalam Dariyo, 2007), mendefinisikan kematangan emosi sebagai kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya secara baik, dalam hal ini orang yang emosinya sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsangan atau stimulus baik dari dalam maupun dari luar pribadinya. Individu yang matang secara emosi akan mampu menerima dirinya sendiri, menghargai orang lain, menerima tanggung jawab, percaya pada diri sendiri, sabar dan mempunyai rasa humor. Pemaparan tersebut menunjukkan bahwa siswa yang belum matang secara emosi akan mudah terpengaruh oleh keinginan-keinginan yang berasal dari dalam maupun dari luar pribadinya, yang akan membawa individu pada situasi yang membuatnya lalai akan tanggung jawab dan menjadi tidak disiplin. Bertolak pada gambaran di atas, maka penulis berusaha menyusun sebuah penelitian tentang kematangan emosi dan kedisiplinan siswa atlet KKO. Hal ini berkaitan dengan sangat dibutuhkannya pemahaman tentang kematangan emosi dan kedisiplinan sebagai upaya remaja khususnya siswa KKO untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki sehingga mampu meraih prestasi dalam bidang olahraga. Perilaku disiplin sebagai suatu perwujudan dari kematangan emosi pada remaja inilah yang dijadikan penulis sebagai fokus penelitian. Apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan kedisiplinan pada siswa atlet KKO? Penelitian mengenai kematangan emosi sebelumnya telah banyak dilakukan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Ekawati (2009) yang berjudul “Hubungan
5 Antara Kematangan Emosi Dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja Awal Di SMK Negeri I Bojonegoro”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) banyak siswa (65,52%) SMK Negeri I Bojonegoro yang memiliki tingkat kematangan emosi dengan kategori sedang, (2) banyak siswa (62,07 %) SMK Negeri I Bojonegoro yang memiliki tingkat penyesuaian diri dengan kategori sedang, dan (3) terdapat hubungan positif yang signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian diri pada remaja awal di SMK Negeri I Bojonegoro. Selanjutnya, penelitian tentang kedisiplinan yang dilakukan oleh Prasetyo (2013) dengan judul “Pengaruh Konsep Diri dan Kedisiplinan Terhadap Prestasi Belajar Siswa Jurusan Teknik Audio Video di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta” menunjukkan hasil bahwa (1) konsep diri siswa, kedisiplinan, dan prestasi belajar siswa memiliki kecenderungan dalam kategori tinggi, (2) tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar siswa, kedisiplinan dengan prestasi belajar siswa, konsep diri dan kedisiplinan secara bersama terhadap prestasi belajar siswa kelas XI dan XII Jurusan Teknik Audio Video SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Penelitian mengenai kematangan emosi dan kedisiplinan juga pernah dilakukan oleh Sulaiman (2013) dengan judul “Hubungan Persepsi Kesesakan (Crowding) dan Kematangan Emosi dengan Disiplin Berlalu Lintas Pada Remaja Akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Persepsi kesesakan (crowding) tidak memiliki hubungan dengan disiplin berlalu lintas. (2) Kematangan emosi memiliki hubungan positif dengan disiplin berlalu lintas. (3) Secara keseluruhan, persepsi kesesakan (crowding) dan kematangan emosi sebagai variabel bebas tidak dilakukan pengukuran dengan disiplin berlalu lintas sebagai variabel terikat karena variabel persepsi kesesakan (crowding) menunjukkan tidak memiliki hubungan dengan variabel disiplin berlalu lintas.
6 Uraian di atas menunjukkan bahwa penelitian dengan variabel kematangan emosi dan kedisiplinan sudah banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai variabel kematangan emosi dan kedisiplinan siswa atlet kelas khusus olahraga tidak pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian apakah terdapat hubungan antara tingkat kematangan emosi dengan kedisiplinan pada siswa atlet kelas khusus olahraga. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan antara kematangan emosi dengan kedisiplinan siswa atlet kelas khusus olahraga di Yogyakarta. C. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan disiplin ilmu psikologi khususnya psikologi olahraga dan psikologi perkembangan, kaitannya dengan perkembangan emosi. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu membangkitkan minat para peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya tentang permasalahan olahraga kaitannya dengan perkembangan remaja.
2.
Manfaat Praktis Memberikan sumbangan pengetahuan kepada sekolah berbasis olahraga, pusat pembinaan atlet dan klub-klub olahraga mengenai pentingnya kematangan emosi sebagai hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kedisiplinan atlet sehingga akan tercipta atlet-atlet yang disiplin, sportif, tanggung jawab, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, memberi dan menerima cinta, serta memahami diri sendiri maupun orang lain. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi
7 kepada para orang tua dan lembaga pendidikan tentang pentingnya mengembangkan kematangan emosi dalam upaya membentuk sikap disiplin pada anak dan remaja.