BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini banyak negara berkembang menaruh perhatian khusus pada industri pariwisata. Hal ini terlihat dengan banyaknya program pengembangan kepariwisataan di negara berkembang. Pembangunan dalam sektor pariwisata serta pendayagunaan sumber dan potensi kepariwisataan menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja terutama bagi masyarakat setempat, mendorong pembangunan daerah serta memperkenalkan alam, nilai dan budaya bangsa. Pariwisata dengan berbagai aspek positifnya dipandang sebagai passport to development, new kind of sugar, tool for regional development, invisible export, non-polluting industry dan sebagainya (Pitana, 2002). Sektor pariwisata tidak sekedar memberikan keuntungan bagi pelaku-pelaku bidang pariwisata melainkan juga memberikan keuntungan sektor-sektor lain di luar pariwisata. Begitupun bagi Indonesia, potensi kekayaan alam dan budaya yang dimiliki sangat mendukung bagi berkembangnya industri pariwisata. Pariwisata merupakan salah satu kegiatan industri pelayanan dan jasa yang menjadi andalan Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa negara disektor non migas. Menurut data Kementrian Pariwisata dan Ekonomi
1
2
Kreatif Republik Indonesia pada tahun 2008 kepariwisataan Indonesia berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp. 153,25 trilyun atau 3,09% dari total PDB Indonesia (BPS, 2010). Pada tahun 2009, kontribusinya meningkat menjadi 3,25%. Pertumbuhan PDB pariwisata pun sejak tahun 2001 selalu menunjukkan angka pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan PDB nasional. Pada tahun 2009 pertumbuhan PDB pariwisata mencapai 8,18%, sedangkan PDB nasional hanya 4,37%. Pada tahun yang sama, devisa dari pariwisata merupakan kontributor terbesar ketiga devisa negara, setelah minyak dan gas bumi serta minyak kelapa sawit. Peringkat ini menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat sejak tahun 2006 yang hanya menempati peringkat ke-6 dari 11 komoditi sumber devisa negara. Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya dampak yang tidak diharapkan, aktivitas pariwisata dapat memberikan tekanan pada lingkungan lokal akibat meningkatnya intensitas menimbulkan
pengaruh
interaksi dengan wisatawan sehingga akan (impact)
yang
kurang
baik
terhadap
perekonomian, lingkungan maupun kondisi sosial masyarakat. Misalnya saja terjadi penurunan kualitas lingkungan alam, sosial, kebudayaan, kesenjangan ekonomi antara masyarakat setempat dengan para penanam modal, serta lahirnya komunitas-komunitas pelacuran. Selain itu, menurut Damanik (2005:20), meskipun diakui bahwa sumbangan sektor pariwisata terhadap perolehan devisa dan penciptaan lapangan kerja secara makro
3
cukup signifikan, namun di tingkat mikro terbukti belum ditemukan fakta bahwa adanya korelasi antara besaran devisa tersebut dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Dampak
negatif
tersebut
kemungkinan
disebabkan
karena
pengembangan pariwisata semata-mata dilakukan dengan pendekatan ekonomi
dan
pariwisata
dipersepsikan
sebagai
instrumen
untuk
meningkatkan pendapatan, terutama oleh bidang usaha swasta dan pemerintah. Selain itu sebagian besar struktur industri pariwisata menuntut adanya investasi dan modal yang cukup besar, sehingga membatasi partisipasi
kelompok
masyarakat
miskin
untuk
memanfaaatkan
keuntungan pariwisata. Dengan cara ini tidak jarang masyarakat lokal yang merupakan salah satu pemangku kepentingan menjadi terpinggirkan dari pengelolaan sumberdaya pariwisata. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka sejak tahun 2004 program pengembangan pariwisata memprioritaskan peningkatan nilai tambah sumber daya secara terpadu antar pengembangan produk pariwisata dan pengembangan pemasaran pariwisata melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal dalam rangka pengembangan communitybassed tourism (CBT), memperluas dan mengembangkan pasar pariwisata serta mempertahankan dan mengoptimalkan peranan pariwisata yang berdasarkan pada konsep kehidupan berkesinambungan. (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2001: 2).
4
Selain itu saat ini telah terjadi pergeseran pola dan orientasi berwisata. Pola dan orientasi wisatawan tak lagi berorientasi menikmati kehidupan alam semata. Para wisatawan, khususnya dari mancanegara, lebih mencari interaksi dengan budaya, masyarakat, maupun alam setempat. Interaksi ini diwujudkan dalam bentuk wisata alternatif, termasuk di dalamnya pengembangan obyek dan daya tarik wisata skala kecil yaitu rural tourism atau desa wisata. Desa wisata merupakan salah satu program untuk memberdayakan masyarakat desa dalam berbagai aspek kegiatan. Didorong oleh kunjungan wisatawan, desa wisata mampu menggali potensi. Potensi tersebut dapat berupa alam, adat-istiadat, budaya, tradisi, kerajinan, homestay (rumah inap), outbound, dan sebagainya. Potensi ini diharapkan dapat diolah oleh setiap warga dalam bentuk tim sehingga dapat menghasilkan uang dan memperbaiki perekonomian masyarakat sekitar. Pengembangan desa wisata sejalan dengan isu yang diangkat oleh pemerintah, yakni pemberantasan kemiskinan dan penyejahteraan masyarakat melalui pariwisata. Salah satu unsur penting dalam pengembangan desa wisata yang berkelanjutan adalah keterlibatan atau partisipasi masyarakat setempat dalam setiap aspek wisata yang ada di desa tersebut. Pendekatan partisipatif dalam pengembangan desa wisata merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat. Strategi ini menyadari pentingnya
kapasitas masyarakat untuk meningkatkan
5
kemandirian dan kekuatan internal dalam mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan dari dengan atau oleh masyarakat desa. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1990 pasal 30 tentang Pariwisata, dan telah diperbaharui dengan UU No.9 Tahun 2009, pemerintah menyerahkan sebagian urusan di bidang penyelenggaraan pariwisata kepada pemerintah daerah. Penyerahan sebagian urusan pariwisata kepada pemda tersebut diperluas dengan keberadaan UU No.32 tahun 2004 mengenai otonomi Daerah. Dengan bergulirnya otonomi daerah, memungkinkan setiap daerah untuk memilih sektor yang menjadi andalannya sesuai dengan potensi yang dimiliki dan kebutuhan masyarakatnya. Jika pariwisata menjadi pilihan sektor andalan dalam pembangunan suatu wilayah, maka wilayah tersebut
harus
pengembangan
memiliki
berbagai
perekonomian,
keunikan
sekaligus
karakteristik
mampu
untuk
memberdayakan
masyarakat luas, baik pelaku maupun penikmat dari pengembangan pariwisata. Bantul merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi DIY yang memiliki beragam produk wisata, baik obyek wisata maupun fasilitas penunjangnya.Obyek wisata di Bantul dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu wisata alam serta wisata budaya dan sejarah. Kegiatan pariwisata merupakan kegiatan yang strategis untuk dikembangkan di Kabupaten Bantul dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah dan memperluas lapangan usaha dan kesempatan kerja.
6
Tabel 1. Sebaran Obyek Daya Tarik Wisata di Kabupaten Bantul No. Kecamatan 1 Kretek
Lokasi Desa Parangtritis
Nama ObyekWisata - Pantai Parangtritis - Pantai Parangkusumo - Pantai Depok - Cepuri Parangkusumo - Gumuk Pasir - Lab. Geospasial - Makam Syeh Bela Belu - Makam Syeh Maulana Maghribi - Pemandian Parangwedang - Pantai Samas - Pantai Patehan
2
Sanden
Desa Sri Gading
3
Srandakan
Desa Poncosari
- Pantai Pandansimo - Pantai Kwaru
4
Pajangan
5
Imogiri
Desa Guwosari Ds. Sendangsari Ds. Selopamioro Desa Girirejo
- Goa Selarong - Desa WisataKrebet - Goa Cerme - KerajinanKeris - Makam Pangeran Pekik
Desa Wukirsari
- Makam Seniman Girisapto - KerajinanBatik - Tatah Sungging - Makam Raja-Raja Mataram
Ds. Kebonagung
- Kerajinan Tatah Sungging - Desa Wisata Kebonagung - KR Tirtatamansari - Desa WisataManding - Goa Jepang - Kerajinan Keramik
6
Bantul
7
Pundong
Desa Trirenggo Desa Sabdodadi Desa Seloharjo
8
Dlingo
Desa Mangunan
- Goa Gajah - Kebun Buah Mangunan
9
Sewon
Desa Timbulharjo
- Pasar Seni Gabusan - Desa WisataTembi - Desa WisataKasongan - Kerajinan Tatah Batu Lemahdadi - Kerajinan Tatah Sungging
10 Kasihan
Desa Bangunjiwo
11 Pandak 12 Banguntapan
Desa Wijirejo Desa Baturetno
- KerajinanBatik - TamanRekreasi Air Balong - Museum Wayang Kekayon
Sumber: Dokumen RJPMD Kab. Bantul Tahun 2011-2011
7
Keberhasilan pembangunan di bidang pariwisata dapat ditinjau dari jumlah kunjungan wisatawan. Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan di Kabupaten Bantul tahun 2004–2009 disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Kunjungan Wisatawan Kabupaten Bantul Tahun 2004-2009 Sumber: Dokumen RJPMD Kab. Bantul Tahun 2011-2015
Dari Gambar 1 dapat diketahui bahwa secara umum jumlah kunjungan wisatawan domestik mengalami penurunan dari 1.506.605 wisatawan menjadi 1.007.838 kunjungan (turun 33,10%) pada tahun 2007. Kemudian mengalami peningkatan lagi pada tahun 2008 dan 2009, hingga mencapai 1.407.535 wisatawan. Penurunan jumlah wisatawan ini bisa dimaklumi, karena pada tahun 2006 Kabupaten Bantul dilanda Gempa Bumi dan mengakibatkan kerusakan beberapa infrastruktur daerah. Sejalan dengan wisatawan domestik, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Kabupaten Bantul juga mengalami fluktuasi penurunan pada tahun 2006. Untuk tahun 2008 dan tahun 2009 kunjungan wisatawan asing sudah meningkat yaitu 26.220 dan 28.725 kunjungan wisatawan asing.
8
Pengembangan desa wisata merupakan salah satu prioritas dari sebelas prioritas pembangunan Daerah Kabupaten Bantul di bidang pariwisata. Prioritas
pembangunan
dibidang
pariwisata
tersebut
antara
lain:
a).Meningkatkan kunjungan dan lama tinggal wisatawan, b). Melestarikan asset seni daerah, c). Meningkatkan jumlah desa wisata, desa budaya, pariwisata budaya, penghargaan budaya dan kelompok kesenian. Program pengembangan desa wisata oleh Pemda Bantul merupakan upaya pemerintah untuk menggerakan masyarakat lokal di desa wisata untuk ikut berperan dalam meningkatkan kesejahteraan desa mereka dengan potensi yang dimiliki. Demi keberhasilan pelaksanaan program ini, harus ada kerjasama yang baik antara masyarakat desa, pemerintah dan swasta. Masyarakat desa kedudukannya menjadi setara dengan pemerintah dan swasta yakni sebagai investor yang berminat mendukung program desa wisata. Masyarakat sebagai pemilik desa namun juga ikut andil dalam program pengembangan desa mereka. Saat ini jumlah desa wisata di Kabupaten Bantul sebanyak 24 desa wisata. Akan tetapi menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bantul, Bambang Legowo yang dikutip dari Antaranews.com “Dari 24 desa wisata yang tumbuh hanya delapan hingga 10 desa wisata yang secara berkala mampu mendatangkan kunjungan, sehingga diharapkan menjadi percontohan bagi pengembangan desa wisata yang lain.”
9
Salah satu desa wisata yang berkembang dan memiliki nilai jual di Kabupaten Bantul adalah Desa Wisata Kebonagung. Desa ini terletak di Kecamatan Imogiri, sekitar 17 Km Selatan Kota Yogyakarta. Desa Kebonagung ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul sebagai sebuah desa wisata sejak Tahun 2006. Sebagai kawasan desa wisata, Kebonagung telah mendapatkan penghargaan sebagai peringkat II dalam lomba desa wisata tingkat nasional pada tahun 2010. Selain mendapatkan peringkat II dalam lomba desa wisata nasional, pada tahun 2010 Desa Kebonagung terpilih sebagai salah satu pilot proyek PNPM Mandiri berbasis Pariwisata bersama dengan 10 desa wisata lainnya di Indonesia. Dana bantuan PNPM tersebut diterima oleh Desa Kebonagung selama 3 tahun berturut-turut yaitu tahun pada 2009, 2010 dan tahun 2011. Desa Wisata Kebonagung terkenal sebagai desa wisata berbasis pertanian, seni dan budaya. Desa Wisata Kebonagung menitik beratkan potensi alam yang berupa area persawahan dan mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani serta seni budaya dan adat istiadat yang masih dilestarikan. Meskipun dikenal dengan wisata tani, Desa Kebonagung juga menawarkan beragam wisata menarik lainnya antara lain wisata air, wisata budaya, wisata kerajinan tangan dan wisata museum. Pengembangan destinasi wisata yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal tidak lepas dari perlibatan masyarakat dalam pengelolaan wesa wisata. Pengelolaan destinasi wisata yang dilakukan masyarakat lokal lebih dikenal dengan community based tourism
10
(CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat. Desa Wisata Kebonagung yang dikelola langsung oleh masyarakat sendiri dengan pendampingan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantul dapat dikategorikan sebagai desa wisata berbasis komunitas. CBT adalah pola pengembangan pariwisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh masyarakat stempat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan usaha pariwisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Dalam pengembangan desa wisata setidaknya ada tiga aktor yang berperan penting yaitu wisatawan, penduduk setempat dan bisnis pariwisata atau perantara. Ketiga aktor tersebut harus melebur secara utuh untuk mewujudkan industri pariwisata yang dapat menguntungkan semua pihak. Wisatawan merupakan aktor penentu, karena aktivitas desa wisata muncul karena adanya perubahan selera wisatawan dalam memandang daerah tujuan wisata. Sedangkan penduduk setempat adalah mereka yang terkena dampak dari kunjungan wisatawan, yang mempersiapkan apa yang dibutuhkan wisatawan, dan yang akan menerima rejeki dari wisatawan. Untuk bisnis pariwisata adalah mereka yang mempromosikan daerah tujuan wisata kepada wisatawan sehingga merupakan aktor yang mencari keuntungan dari wisatawan dan memberikan keuntungan bagi penduduk setempat. ( Prabaningrum 2010:5). Ada beberapa masalah yang muncul terkait dengan pengembangan desa wisata. Ketika pengembangan desa wisata digalakkan di Desa Kebonagung, berbagai reaksi muncul dari masyarakat, ada yang setuju ada
11
pula yang tidak setuju dengan dikembangkannya desa mereka menjadi desa wisata. Di dalam masyarakat dapat dijumpai mereka yang menaruh harapan besar terhadap desa wisata, desa wisata dianggap angin segar yang dapat memberikan solusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Mereka inilah yang menunjukkan sikap setuju
terhadap
pengembangan desa wisata. Di sisi lain ada pula masyarakat yang menunjukkan sikap tidak setuju dan cenderung tidak peduli dengan pengembangan desa wisata. Hal ini dikarenakan pemahaman masyarakat tentang desa wisata yang masih terbatas, sehingga karena ketidak tahuannya masyarakat cenderung pasif terhadap
pengembangan
pariwisata.
Masih
ditemukannya
sikap
masyarakat yang tidak mendukung ini dapat menjadi penghambat kesuksesan misi pengembangan Desa wisata Kebonagung nantinya. Dukungan dari warga setempat merupakan kekuatan untuk proses pengembangan desa. Permasalahan lain yang berkaitan dengan pengembangan Desa Wisata Kebonagung adalah dengan belum optimalnya kelembagaan masyarakat terkait dengan upaya peningkatan partisipasi masyarakat untuk turut aktif dalam pengembangan desa wisata. Masih terbatasnya pelaku wisata yang turut berkecimpung mendukung pengembangan Desa Wisata Kebonagung dikarenakan belum ada minat dari masyarakat lainnya selain anggota POKDARWIS yang sekarang masih aktif, hal ini menjadi salah satu
12
ancaman untuk keberlanjutan Desa Wisata Kebonagung dimasa yang akan datang. Belum meratanya penguatan Sadar Wisata terkait dengan upaya meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat dalam mendukung pengembagan pariwisata menyebabkan rendahnya pemahaman akan manfaat pengembangan desa wisata dalam meningkatakan kesejahteraan. Pemahaman masyarakat mengenai desa wisata berbasis masyarakat akan mempengaruhi sikap mereka menerima atau menolak konsep desa wisata dan pada gilirannya masyarakat akan bertindak untuk menjalankan roda pariwisata dengan konsep CBT atau tidak (Demartoto, 1009:71). Pemahaman mengenai CBT seharusnya dipahami oleh seluruh masyarakat, bukan hanya dipahami oleh aparat pemerintah saja mengingat upaya pengelolaan dan pemeliharaan terhadap tempat wisata tidak hanya dilakukan oleh aparat pemerintah melainkan juga masyarakat sekitar lokasi wisata, pengunjung dan masyarakat umum. Salah satu penyebab mengapa masyarakat kurang memahami mengenai konsep CBT adalah karena minimnya sosialisasi konsep dan program tersebut yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat luas. Pemberian pemahaman terutama kepada petugas pariwisata sangatlah penting, mengingat mereka adalah ujung tombak dalam pengembangan pariwisata. Namun di lapangan petugas-petugas tersebut hanya diberi pelatihan mengenai mengelola pariwisata secara praktis, pelatihan mengenai pengelolaan pariwisata berbasis komunitas tidak pernah mereka
13
terima. Pendidikan dan pelatihan kepada petugas sangatlah penting, tidak kalah penting juga bahwa kegiatan tersebut juga diselenggarakan untuk masyarakat luas. Sebagai komponen utama dalam pariwisata berbasis masyarakat, warga lokal mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang pembangunan pariwisata. Tapi ironis, ketika masyarakat lokal hanya berperan sebagai objek atau penonton yang tidak dilibatkan atas pengelolaan pariwisata di tanahnya sendiri, atau apabila dilibatkan seringkali masyarakat hanya dilibatkan ketika pelaksanaan kegiatan saja, sementara pada saat perencanaan, evaluasi, dan pemanfaatan hasil tidak pernah diajak berdialog. Minimnya pelibatan masyarakat ini dikarenakan keterlibatan atau partisipasi masih diartikan secara sempit. Suatu program dikatakan sudah melibatkan masyarakat ketika masyarakat sudah diajak melaksanakan suatu program tertentu. Padahal sebenarnya suatu program dikatakan partisipatif apabila masyarakat terlibat sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan hasil. Masalah lain dalam pengembangan desa wisata adalah kurangnya keunikan dan kekhasan atraksi wisata yang ditawarkan. Berbagai atraksi dipersiapkan untuk menyambut wisatawan yang akan berkunjung. Akan tetapi, dalam prakteknya banyak desa wisata yang mengadopsi atraksi dari desa wisata lain, sehingga persaingan antar desa wisata menjadi tidak sehat. Hal ini menimbulkan kejenuhan dari wisatawan karena mereka cenderung memilih desa yang memiliki keaslian dan keunikan
14
dibandingkan dengan desa yang lain. Adanya kesamaan atraksi dan produk wisata dengan desa wisata yang lain menyebabkan wisatawan malas untuk mengunjungi desa wisata tersebut. Akibatnya perkembangan desa wisata tersebut tidak bertahan lama, pada awalnya banyak wisatawan yang datang namun beberapa saat kemudian terjadi penurunan hingga akhirnya tidak ada wisatawan yang datang. Masyarakat pun bersemangat ketika banyak wisatawan datang, namun begitu geliat desa wisata mulai menurun maka semangat mereka pun juga ikut turun dan pada akhirnya masyarakat cenderung acuh tak acuh terhadap perkembangan desa wisata tersebut. Pembangunan desa wisata dengan mengoptimalkan sumber daya manusia masyarakat setempat memerlukan pengorganisasian yang bergerak dalam berbagai bidang yang terkait dengan kegiatan pariwisata. Partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam kegiatan pengembangan CBT sangatlah penting. Hal ini akan berdampak terhadap pemberdayaan baik potensi sosial budaya maupun ekonomi. Desa Wisata Kebonagung yang dapat dikategorikan sebagai desa wisata berbasis masyarakat dalam pengelolaannya, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk meneliti lebih lanjut tentang bagaimana pengelolaan desa wisata berbasis masyarakat dan bagaimana keterlibatan masyarakatnya serta pro-kontra yang terjadi dalam pengelolaan desa wisata.
15
B.
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata antara lain: a. Hasil pembangunan pariwisata selama ini baru dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat yang bukan merupakan kelompok masyarakat miskin. b. Tidak semua masyarakat Desa setuju (terjadi pro dan kontra) dalam pengembangan desa wisata. c. Pemahaman masyarakat mengenai desa wisata yang masih rendah. d. Pendidikan dan pelatihan mengenai desa wisata berbasis masyarakat yang masih rendah. e. Pelibatan (partisipasi) masyarakat dalam mengelola desa wisata yang belum optimal, hanya beberapa orang saja yang terlibat dalam pengelolaan desa wisata. f. Atraksi wisata yang ditawarkan kurang khas dan unik karena adanya kesamaan atraksi dan produk wisata dengan desa wisata yang lain sehingga menimbulkan kejenuhan bagi wisatawan
16
C.
Batasan Masalah Karena adanya keterbatasan, waktu, dana tenaga dan teori dan supaya penelitian dapat dilakukan lebih mendalam, maka tidak semua masalah yang telah diidentifikasi akan diteliti. Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai partisipasi (keterlibatan) masyarakat dalam pengelolaan Desa Wisata Kebonagung dan bagaimana pro dan kontra yang terjadi dalam pengelolaan desa wisat.
D.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian yaitu: a Bagaimana pengelolaan Desa Wisata Kebonagung ? b Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Kebonagung ? c Bagaimana sikap masyarakat
(pro-kontra) yang terjadi dalam
pengelolaan desa wisata ? E.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai bagaimana model pengelolaan desa wisata berbasis komunitas di Desa Kebonagung serta bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Desa wisata Kebonagung dan bagaimana pro kontra yang terjadi.
17
F.
Manfaat Penelitian 1.
Secara teoritis, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan Ilmu Administrasi Negara khususnya dalam pemberdayaan masyarakat desa melalui pariwisata.
2.
Secara praktis a.
Bagi peneliti, penelitian ini merupakan tugas akhir yang digunakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Prodi Ilmu Administrasi Negara, serta untuk menambah wawasan tentang
bagaimana
berkelanjutan
mengembangkan
melalui
pengembangan
pembangunan pariwisata
yang
berbasis
masyarakat. b.
Bagi Pemerintah Kabupaten Bantul, dengan adanya model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, dapat membantu Pemerintah Kabupaten Bantul dalam mewujudkan pariwisata yang
partisipatif
dan
dapat
dijadikan
contoh
dalam
pengembangan desa wisata berbasis masyarakat di Daerah DIY pada umumnya dan Kabupaten Bantul pada khususnya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan
atau
manajemen
berasal
dari
bahasa
Inggris
“management”. Menurut Sudjana (2000:17) pengelolaan atau manajemen berarti kemampuan dan ketrampilan khusus untuk melakukan suatu kegiatan baik bersama orang lain atau melalui orang lain dalam mencapai tujuan organisasi. Menurut Leiper dalam Pitana (2009:80), pengelolaan (manajemen) merujuk kepada seperangkat
peranan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang, atau bisa juga merujuk kepada fungsifungsi yang melekat pada peran tersebut. Para pakar manajemen mengemukakan sudut pandang yang hampir sama mengenai urutan fungsi manajemen, misalnya Fungsi-fungsi manajemen menurut Leiper yaitu Planning (perencanaan), Directing (mengarahkan),
Organizing
(termasuk
coordinating),
Controlling
(pengawasan). Henri Fayol mengurutkan lima fungsi manajemen yang dikenal dengan singkatan POCCC, yaitu Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Commanding (perintah), Coordinating (pengkoordiansian), Controlling
(Pengawasan).
Luther M
Gullick
mengurutkan enam fungsi manajemen dengan singkatan POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, dan Budgeting).
18
19
Pengelolaan sangatlah penting bagi perkembangan suatu obyek wisata dalam meraih pengunjung. Secara umum penjelasan mengenai fungsi dan bagian-bagian dari pengelolaan dalam bidang wisata yaitu sebagai berikut a.
Perencanaan Perencanaan pariwisata berarti “ Pengorganisasian secara menyeluruh pengembangan/pembangunan fasilitas-fasilitas pariwisata, sehingga fasilitas-fasilitas tersebut secara efektif dapat memenuhi tugas sebagaimana mestinya. Dengan demikian perencanaan pariwisata merupakan bagian dari pengembangan/ pembangunan seluruhnya dan dapat menggunakan sumber-sumber kekayaan alam, kemampuan manusia, serta sumber keuangan dengan sebaik-baiknya Oka A. Yoeti dalam Muljadi A.J (2009:28) menjelaskan bahwa aspek-aspek yang perlu diketahui dalam perencanaan pariwisata, yaitu: 1) Wisatawan ( tourist) Harus terlebih dahulu melalui penelitian, karakteristik wisatawan yang diharapkan datang, dari negara mana saja mereka datang, musim kunjungan,pola perjalanan, keadaan sosial ekonomi, motivasi dan lamanya pengunjung tinggal. 2) Pengangkutan (transportation) Melakukan penelitian terlebih dahulu tentang bagaimana fasilitas transportasi yang tersedia atau yang dapat digunakan untuk memebawa wisatawan ke daerah wisata yang dituju. Selain itu, ba gaimana transportasi lokal yang digunakan untuk menuju daya tarik wisata yang dikunjungi. 3) Daya tarik wisata Daya tarik wisata yang akan dijual harus memenuhi tiga syarat agar memberikan kepuasan kepada wisatawan antara lain: apa yang dilihat (something to see), apa yang dapat dilakukan (something to do) dan apa yang dapat dibeli (something to buy)
20
4) Fasilitas pelayanan (sevice facilities) Fasilitas apa saja yang tersedia di daerah tujuan wisata tersebut, seperti bagaimana akomodasi yang ada, restoran, pelayanan 5) Informasi dan promosi Calon wisatawan perlu memeperoleh tentang daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi, untuk itu perlu dipikirkan cara-cara publikasi atau promosi yang akan dilakukan. b. Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan, diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat didalamnya, seperti masyarakat itu sendiri, tenaga pendamping lapangan dan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Selain itu juga diperlukan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dan stakeholder sehingga
tidak
terjadi
tumpang
tindih
kepentingan.
Dalam
pelaksanaan juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. c. Pengawasan Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan.Pengawasan hendaknya dilakukan secara terus menerus agar apabila terjadi kelemahan pada setiap sektor dapat dikurangi. d. Penilaian atau evaluasi Penilaian adalah proses pengukuran dan pembandingan hasil-hasil pekerjaan yang nyata dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya
21
dicapai. Penilaian dilakukan sejak dimulainya proses implementasi perencanaan, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas kegiatan dan permasalahan yang timbul dalam implementasi kegiatan sehingga akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari perencanaan yang ada, guna perbaikan untuk pelaksanaan tahap berikutnya. Pengelolaan pariwisata haruslah mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan yang menekankan pada nilai-nilai kelestrarian lingkungan alam, komunitas, dan nilai sosial yang memungkinkan wisatawan menikmati kegiatan wisatanya serta bermanfaat bagi kesejahteraan komunitas lokal. Menurut Cox dalam Pitana dan Diarta (2009:81), pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: a. Pembangunan dan pengembangan pariwisata haruslah didasarkan pada kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan. b. Preservasi, proteksi, dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi basis pengembangan kawasan pariwisata. c. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah budaya lokal. d. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan dan pengembangan lingkungan lokal. e. Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi sebaliknya mengendalikan atau menghentikan aktivitas pariwisata tersebut jika melampaui ambang batas (carrying capacity) lingkungan alam atau akseptabilitas sosial walaupun di sisi lain mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Untuk menyinergikan pengelolaan pariwisata yang memenuhi prinsipprinsip pengelolaan dalam uraian sebelumnya, diperlukan suatu metode
22
pengelolaan yang menjamin keterlibatan semua aspek dan komponen pariwisata. Metode pengelolaan pariwisata menurut WTO dalam Pitana dan Diarta (2009:88) :mencakup beberapa kegiatan berikut a. Pengkonsultasian dengan semua pemangku kepentingan. b. Pengidentifikasian isu yang mungkin muncul dalam kegiatan pariwisata. c. Penyususnan kebijakan d. Pembentukan dan pendanaan agen dengan tugas khusus e. Penyediaan fasilitas dan operasi f. Penyediaan kebijakan fiskal, regulasi, dan lingkungan sosial yang kondusif g. Penyelesaian konflik kepentingan dalam masyarakat
B. Desa Wisata Desa Wisata pada dasarnya merupakan bagian dari suistainable tourism. Model pariwisata ini memiliki pemanfaatan lingkungan sosial, pelestrarian
kebudayaan
masyarakat
serta
memiliki
semangat
pemberdayaan komunitas lokal. Secara sosiologis, bentuk desa wisata lebih meletakkan masyarakat sebagai subyek itu sendiri. Hal ini populer dengan model community based tourism. Terdapat banyak konsep mengenai desa wisata. Pengertian tersebut bisa mengacu pada fasilitas yang disediakan, pada kegiatan yang dilakukan atau pada budaya dan kehidupan masyarakat setempat itu dilakukan. Menururt Demartoto ( 2009:124): Bila dilihat dari fasilitas yang disediakan, desa wisata bisa dilihat sebagai suatu pemukiman dengan fasilitas lingkungan yang sesuai dengan : (a) tuntutan wisatawan untuk menikmati, mengenal dan menghayati/mempelajari kekhasan desa dengan segala daya tariknya, (b) tuntutan kegiatan hidup kemasyarakatan (kegiatan hunian,
23
interaksi sosial, kegiatan adat setempat dan sebagainya), sehingga dapat terwujud suatu lingkungan yang harmonis yaitu rekreatif dan terpadu dengan lingkungannya. Dilihat dari perspektif lingkungan masyarakatnya, pariwisata pedesaan merupakan bentuk pariwisata dengan obyek dan daya tarik berupa kehidupan desa yang memiliki ciri-ciri khusus dalam masyarakatnya, panorama alamnya, dan budayanya sehingga mempunyai peluang untuk dijadikan komoditi bagi wisatawan. Kehidupan desa sebagai tujuan wisata adalah sebagai obyek sekaligus sebagai subyek. Sebagai suatu obyek maksudnya adalah bahwa kehidupan pedesaaan merupakantujuan bagi kegiatan wisata, sedangkan sebagai subyek adalah bahwa kehidupan pedesaan merupakan penyelenggara sendiri dari berbagai aktifitas kepariwisataan, dan apa yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut akan dinikmati oleh masyarakatnya secara langsung. Selanjutnya
menurut
Inskeep
dalam
Demartoto
(2009:124)
mendefinisikan desa wisata sebagai “where small group of tourist stay in or near traditional, often remote village and learn about village life and the local enviroment”, atau suatu bentuk pariwisata dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal di dalam atau di desa tradisional, sering di desadesa terpencil dan mempelajari tentang kehidupan desa dan lingkungan setempat. Dalam pengertian ini Inskeep lebih melihat pariwisata pedesaan sebagai wisata baru atau trend baru pariwisata internasional, dimana wisatawan
datang
dan
mempelajari
kehidupan
masyarakat
yang
dikunjunginya bahkan ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan penduduk. Selanjutnya Destha dalam Kusuma (2006:24) mendefinisikan desa wisata adalah: Pengembangan suatu wilayah desa, yang pada hakekatnya tidak merubah apa yang sudah ada, tetapi lebih cenderung kepada penggalian potensi desa dengan memanfaat kemampuan unsur-unsur yang ada di desa (mewakili dan dioperasikan oleh penduduk desa) yang berfungsi sebagai atribut produk wisata dalam skala kecil menjadi rangkaian aktifitas pariwisata, serta mampu menyediakan dan
24
memenuhi serangkaian kebutuhan perjalanan wisata baik aspek daya tarik maupun sebagai fasilitas pendukungnya. Studi tentang model-model pariwisata alternatif yang meberikan tekanan pada pentingnya upaya model pariwisata pedesan telah dilakukan oleh Nuryanti (1992), Ikaputra (1985), Basuki (1992) dan sebagainya. Termasuk apa yang digagas oleh Helmut Weber (1997) dengan wisata minat khusus. Jenis wisata pedesaan termasuk wisata minat khusus budaya kehidupan masyarakat (living culture). Jenis kegiatan wisata ini berorientasi pada budaya kehidupan masyarakat, dapat berupa adat istiadat, kesenian, kerajinan, masakan, budaya religius dan sebagainya. Pengembangan strategi pariwisata yang berdasar pada keunikan dan ciri khas suatu daerah merupakan elemen yang dapat menjamin keunggulan bersaing suatu proyek pariwisata pedesaan. Dalam hal ini pembinaan yang berkelanjutan sangat diperlukan sehingga membawa pada isu mengenai keikutsertaan masyarakat dalam permodelan desa wisata untuk membangun daerah pedesaan. Strategi perlibatan masyarakat dalam memberdayakan potensi sosial budaya yang ada akan lebih efektif karena pembangunan desa wisata yang berkelanjuatan tidak akan berkembang dalam situasi di mana penduduk setempat merasa dieksploitasi dan terancam oleh kegiatan pariwisata tersebut. Wilayah pedesaan yang dapat dikembangkan sebagai desa wisata adalah wilayah-wilayah yang baik dari segi ekonomi, sosial budaya, lingkungan fisik alam mempunyai ciri khas yang non urban, serta mempunyai ciri-ciri kehidupan tradisional yang unik. Untuk menetapkan
25
kriteria desa wisata, dilakukan pendekatan berdasarkan karakteristik masing-masing desa. Pendekatan karakteristik desa adalah melihat desa sebagai suatu bentuk lapisan-lapisan baik bentuk fisik maupun non fisik yang hidup dalam proses. Menurut
Departemen
Kebudayaan
dan
Pariwisata
(2001:20)
karakteristik desa wisata dapat dikelompokan sebagai berikut: a. Desa dengan lingkungan alam Yaitu desa yang karena letaknya berada pada lingkungan alam yang dapat dijadikan atraksi alam. Misalnya: pemandangan alam, di dalamnya termasuk lembah, gunung, pantai, sungai dan sebagainya. b. Desa dengan kehidupan ekonomi/ mata pencaharian Yaitu desa yang dalam kehidupan keseharian masyarakatnya sangat tergantung dari aktivitas pola mata pencaharian yang dilakukan sebagian besar masyarakat desa, seperti: nelayan, pertanian, kerajinan, dan sebagainya. c. Desa dengan kehidupan adat/ seni budaya Adalah desa yang kehidupan masyarakatnya sangat kental dengan tata cara adat. Masyarakatnya sangat taat terhadap kepercayaan yang tumbuh dan diwariskan oleh leluhur mereka sejak ratusan tahun yang lalu. d. Desa dengan bangunan tradisional Yang dimaksud disini adalah desa dengan bangunan atau rumah penduduk yang mempunyai bentuk yang unik, baik bentuk eksterior maupun interiornya yang dibuat dengan skala, gaya, konstruksi, material, warna, dan dekorasinya merupakan warisan turun temurun yang tidak terdapat di tempat atau daerah lain. Suatu desa dapat dijadikan destinasi wisata jika memiliki obyek dan daya tarik yang khas jika dibandingkan dengan desa-desa lain. Menurut Bapeda DIY (2000:12) Potensi desa yang dapat dikembangkan sebagai potensi desa wisata yaitu: a Atraksi desa wisata Atraksi merupakan segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata desa dan merupakan daya tarik agar wisatawan mau berkunjung ke tempat tersebut.
26
b Sarana prasarana Sarana prasarana seperti aksesbilitas yang diperlukan untuk menunjang kegiatan yang ada di desa wisata yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pola pengembangan desa wisata. c Fasilitas pendukung kegiatan Segala fasilitas dan jasa pendukung kegiatan desa wisata sering disebut dengan amenitas. Fasilitas ini pada dasarnya bukan sematamata untuk kegiatan wisata saja tetapi juga sangat membantu dalam memperlancar keseluruhan kegiatan.. d Masyarakat lokal Kesiapan dan ketersediaan masyarakata lokal terhadap kegiatan pariwisata di desanya merupakan potensi pengembangan desa wisata, sehingga mampu meningkatkan kapasitas dan produktivitasnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri melalui bidang-bidang yang dimilikinya. e Kelembagaan desa Keberadaan suatu lembaga desa sangat diperlukan sebagai media untuk dapat menampung, mengatur serta mengelola atau mengontrol keseluruhan kegiatan maupun kepentingan yang ada di dalam obyek wisata. Lembaga ini dapat dibentuk oleh masyarakat dengan dukungan instansi terkait maupun lembaga swadaya masyarakat terkait. f Motivasi kuat dari masyarakat Motivasi yang kuat dari masyarakatuntuk menjaga karakteristik yang khas dari lingkungan pedesaan dan kehidupan budaya setempat menjadi modal dasar bagi keberlangsunagn kegiatan wisata di desa wisata. g Ketersediaan lahan/area yang dimungkinkan untuk pengembangan Desa wisata harus memiliki alokasi lahan atau area yang dimungkinkan untuk dikembangkan fasilitas pendukung wisata pedesaan, seperti homestay, area pelayanan umum, area kesenian, dan lain-lain sehingga memungkinkan wisatawan untuk tinggal, erinteraksi dengan masyarakat lokal, dan belajar mengenai kebudayaan setempat dan kearifan lokal.
27
C.
Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community based tourism) Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat atau community based tourism (CBT) merupakan konsep pariwisata alternatif sebagai antisipasi terhadap pariwisata konvensional (mass tourism). CBT adalah industri kepariwisataan yang pelaku utamanya adalah masyarakat itu sendiri dengan bermodalkan pada kesederhanaan dan keunikan kehidupan keseharian dan adat budaya, dimana masyarakat mendapat nilai tambah (value added) dalam kehidupan ekonominya (Dyana, 2004). Konsep CBT muncul pertama kali sekitar tahun 1970-an akibat adanya kritikan atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh mass tourism. Kemudian mendapatkan perhatian lebih pada tahun 2000, dimana Bank Dunia
(World
Bank)
mulai
memikirkan
bagaimana
caranya
menanggulangi masalah kemiskinan melalui sektor pariwisata yang kemudian dikenal dengan community-based tourism (CBT), selanjutnya diidentifikasi adanya tiga kegiatan pariwisata yang dapat mendukung konsep CBT yakni adventure travel, cultural travel dan ecotourism. Bank Dunia yakin bahwa peningkatan wisata adventure, ecology dan budaya akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan sekitarnya sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup masyarakat di sekitarnya. Menurut I Gede Ardika ( 2005 : 37 ) konsep CBT menegaskan bahwa masyarakat bukan lagi menjadi obyek pembangunan akan tetapi sebagai penentu pembangnan itu sendiri, masyarakat akan mampu
28
mengentaskan dirinya sendiri dari kemiskinan dan mengurangi tingkat ketergantungan pada faktor eksternal Natori
dalam
Aronggear
(2008)
mengemukakan
konsep
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menekankan pada 3 hal yakni: 1) terpeliharanya mutu dan kelanjutan sumber daya alam dan budaya/ keseimbangan, 2) meningkatkan kesejahteraanmasyarakat lokal, 3) serta terwujudnya kepuasan wisatawan. Dalam hal ini masyarakat lokal sebagai pelaku utama pembangunan pariwisata berbasis masyarakat, karena masyarakat yang paling tahu potensi wilayahnya, sehingga pembangunan yang akan direncanakan sesuai keinginan masyarakat yaitu oleh, dari dan untuk masyarakat. Dalam pengoperasian pengelolaan manajemen komunitas, mengacu pada tiga alasan mendasar seperti yang dikemukakan oleh Korten dalam Soetomo (2006:287)yaitu : a. Local Variety, maksudnya varisi kehidupan masyarakat lokal atau kehidupan yang berbeda menuntut sistem pengelolaan yang berbeda, tidak dapat diberikan perlakuan sama dan masyarakat lokallah yang paling akrab dengan situasinya. b. Local Resource, artinya sumberdaya secara tradisional dikuasai dan dikelola oleh masyarakat setempat. c. Local Accountability (tanggung jawab lokal), yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat biasanya lebih bertanggungjawab
29
karena kegiatan yang dilakukan secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka. Pengembangan CBT menuntut koordinasi dan kerjasama serta peran yang berimbang antara berbagai unsur stakeholder
termasuk
pemerintah, swasta dan masyarakat. Oleh karena itu salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengembangkan CBT adalah pendekatan partisipatif. Pendekatan ini digunakan untuk mendorong terbentuknya kemitraan diantara para pihak stakeholder terkait. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengembangan CBT berperan di semua lini pembangunan
baik sebagai perencana, investor, pelaksana, pengelola,
pemantau, maupun evaluator.
30
P E M E R I N T A H
Sebagai perencana
Sebagai investor
Masyarakat
Sebagai pelaksana
DARI MASYARAKAT
OLEH MASYARAKAT
D A N
Sebagai pengelola
UNTUK MASYARAKAT
S W A S T A
Sebagai pemantau dan evaluator
Gambar 2. Pola Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Sumber: Argyo Demartoto (2009: 22) Ciri-ciri CBT terbagi ke dalam beberapa definisi tujuan. Tujuan yang terpenting
dalam
pembentukkan
CBT
menurut
Hatton
dalam
Nurlita (2005) adalah keberlanjutan sosial, maksudnya aktifitas pariwisata sebagian besar dibentuk dan dijalankan oleh masyarakat lokal yang diikuti dengan pembagian keuntungan yang jelas dan dapat diterima oleh masyarakat. Keuntungan yang diperoleh digunakan untuk kerjasama, petualangan,
asosiasi
masyarakat,
pihak
yang
memeberdayakan
masyarakat, atau untuk menumbuhkan wirausaha atau mengoperasikan usaha kecil menengah. Perhatian terhadap budaya lokal, tradisi dan warisan budaya menjadi ciri utama yang lain dalam CBT. Definisi tersebut
31
memperlihatkan
CBT sebagai suatu bentuk industri pariwisata yang
memiliki multiflier effect atau dampak berganda yang menciptakan keterkaitan antar sektor yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dan mampu menggerakan ekonomi rakyat. Keterlibatan masyarakat lokal sebagai kunci utama dari prinsip pengembangan CBT, menurut Drake (1991) dapat diimplementasikan dalam tiga era, yaitu perencanaan (planning stage), pelaksanaan (implementation stage), serta dalam hal pemanfaatan keuntungan (share benefit) baik secara ekonomi maupun sosial budaya. a) Tahap perencanaan, pada tahap ini memposisikan masyarakat sebagai subjek pengembangan yang berperan aktif dalam proses perencanaan. Tahap perencanaan
dilakukan dengan memposisikan masyarakat
sebagai subjek dan meliputi tahap identifikasi masalah atau persoalan, identifikasi potensi pengembangan, pengembangan alternatif rencana dan fasilitas. b) Tahap implementasi, bentuk keterlibatan masyarakat terutama terkait dengan
partisipasi
masyarakat
dalam
pelaksanaan
program
pengembangan/pembangunnan, pengelolaan objek atau usaha yang terkait dengan kegiatan. c) Aspek dampak manfaat, bentuk partisipasi masyarakat terwujud dalam peran dan posisi masyarakat memperoleh nilai manfaat signifikan, baik secara ekonomi maupun sosial budaya, yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal.
32
Kesimpulan yang di dapat dari berbag definisi community based tourism (CBT) adalah CBT merupakan suatu obyek daya tarik wisata yang muncul karena adanya inisiatif dan motivasi dari masyarakat lokal, dikelola oleh masyarakat lokal, dan bertujuan mengkonservasi lingkungan budaya masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Inisiatif dan motivasi dari masyarakat lokal membentuk sebuah partisipasi yang menggerakan CBT.
D.
Partisipasi Masyarakat 1. Konsep Partisipasi Pembangunan
masyarakat
tidak
sekedar
untuk
memenuhi
kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat mengatasi kesulitankesulitannya, namun di dalamnya ada usaha untuk membentuk kemandirian masyarakat. Kemandirian masyarakat dapat dibentuk dengan
mengikutsertakan
masyarakat
dalam
setiap
proses
pembangunan. Seperti yang diungkapkan oleh Suparjan dan Hempri Suyatno (2003:22): Selain bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat, maka secara ideal pembangunan masyarakat juga mempersyaratkan adanya partisipasi, kreatifitas dan inisiatif dari masyarakat. Pembangunan akan berhasil guna ketika mampu menggerakkan partisipasi masyarakat di dalamnya. Oleh sebab itu, salah satu indikator keberhasilan pembangunan masyarakat juga harus diukur dengan ada atau tidaknya partisipasi. Menurut Conyers (1981:154-155) ada beberapa alasan mengapa partisipasi masyarakat sangat penting dalam pembangunan.
33
Pertama, partisipasi merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program-program pembangunan akan mengalami kesulitan. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program-program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mempunyai perasaan memiliki. Ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri. Mereka berhak untuk merembug (memberikan saran) dalam menentukan kegiatan yang mereka butuhkan . Demikian halnya dalam pengembangan desa wisata. Partisipasi masyarakat menjadi penggerak utama dalam pengembangan dan pengelolaan desa wisata, baik dalam proses pembentukan atau perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pelaksanaannya. Menurut World Bank (1978) partisipasi masyarakat dapat didefinisikan sebagai berikut: a. Keterlibatan dari semua unsur dalam proses pengambilan keputusan terhadap hal-hal yang harus dikerjakan dan cara pelaksanaannya. b. Sumbangan masyarakat dalam upaya pembangunan misalnya dalam pelaksanaan dari keputusan yang diambil c. Menikmati bersama hasil pembangunan Selanjutnya Sumarto dan Hetifah ( 2004:14) menjelaskan partisipasi warga adalah “proses ketika warga, sebagai individu maupun kelompok sosial
dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi
proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka”. Sumarto juga memberi makna partisipasi sebagai “keterlibatan orang secara sukarela tanpa tekanan dan jauh dari perintah”. Penjelasan partisipasi tersebut diartikan sebagai suatu proses peran serta seseorang dalam keseluruhan
34
proses kebijakan yang dilakukan secara sukarela tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak lain. Bentuk peran serta masyarakat sebagai individu maupun kelompok sosial tersebut berupa kontribusi ide dan gagasan, pemberian informasi mengenai hal-hal yang dibutuhkan, keikutsertaan dalam memecahkan permasalahan, keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, dan keikutsertaan dalam pelaksanaan kegiatan baik ketrampilan, ide atau gagasan, waktu dana dan tenaga. Menurut Juliantara (2002:4) substansi dari partisipasi adalah bekerjanya suatu sistem pemerintah dimana tidak ada kebijakan yang diambil tanpa adanya persetujuan dari rakyat sendiri, sedangkan arah dasarnya adalah pemberdayaan. Pertama partisipasi akan memungkinkan rakyat secara mandiri mengorganisasi diri dan dengan demikian akan mempermudah rakyat menghadapi situasi yang sulit, serta mampu menolak kecenderungan yang merugikan. Kedua, suatu partisipasi tidak saja menjadi cermin kongkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan memperjuangkan, tetapi yang lebih penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan rakyat. Ketiga, persoalan-persoalan dinamika pembangunan akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi. Suntoro Eko (2003:40) menambahkan partisipasi masyarakat dalam governance mempunyai pengertian relasi antara negara dan pemerintah. Intisari dari relasi itu antara lain : a. Masyarakat bukanlah hamba atau client melainkan sebagai warga negara (citizen) b. Masyarakat bukan pada posisi yang diperintah tetapi sebagai partner perencanaan dalam mengelola pemerintah dan pembangunan. c. Partisipasi bukanlah pemberian pemerintah tetapi merupakan hak sebagai warga masyarakat.
35
d. Masyarakat bukanlah sebagai objek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah tetapi sebagai aktor atau subyek yang menentukan kebijakan. Dengan merangkum pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan dua unsur dari partisipasi masyarakat. Pertama, partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan melibatkan proses dan orang-orang. Partisipasi dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan paksaan. Partisipasi juga menghendaki kontribusi pada kepentingan dan tujuan kelompok. Kedua, bentukbentuk partisipasi warga dalam pelaksanaan program pembangunan dapat dituangkan dalam proses perencanaan, implementasi kegiatan atau program, penerimaan manfaat dan evaluasi. 2. Bentuk dan Tingkat Partisipasi Meskipun partisipasi merupakan sesuatu yang penting dan dapat menguntungkan bagi pemerintah dan masyarakat, akan tetapi dalam kenyataannya pemerintah sering mengelabuhi masyarakat dengan menjadikan partisipasi hanya sebagai jargon untuk memperoleh legitimasi publik. Untuk membantu membedakan partisipasi yang sesungguhnya dengan partisipasi yang semu berikut ini Pretty dalam The Mountain Institude (1995:34) mengemukakan tujuh tipologi partisipasi sebagai berikut: a. Passive Participation. Partisipasi tidak menggunakan respon atau tanggapan partisipan dalam mempertimbangkan dan outcome telah ditetapkan sebelumnya. Penyampaian informasi hanya kepada institusi eksternal.
36
b. Participation in information giving. Orang-orang memberikan masukan tetapi tidak memiliki peluang untuk mempengaruhi isi keputusan dan terkadang hasilnya tidak disampaikan. c. Participation by consultation. Orang-orang berunding dan pendapatnya diperhitungkan. Namun demikian tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan. d. Participation for. Partisipasi mempengaruhi orang-orang untuk memperoleh insentif secara materiil dan insentif langsung atas pelayanan yang mereka lakukan. e. Functional participation. Partisipasi terjadi dengan pembentukan kelompok yang obyektifitasnya telah ditetapkan. Beberapa partisipasi sebagian besar terjadi ketika keputusan utama telah diambil. f. Interactive participation. Orang-orang berpartisipasi dalam memperoleh informasi dan kemudian menganalisanya untuk memandu perencanaan dan implementasi. Proses tersebut memunculkan metodologi yang berbeda-beda pada berbagai perspektif lokal yang selanjutnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan akan kualitas dan kegunaan informasi. g. Self mobilization. Kemandirian yaang tidak terpengaruh intervensi eksternal, orang-orang berpartisipasi dan mengambil inisiatif untuk merubah sistem. Mereka menciptakan hubungan dengan, input dari luar tetapi tetap mempertahankan kontrol atas manajemen sumber dayanya. Ketujuh tipologi partisipasi di atas merupakan tipologi partisipasi dalam proses perencanaan atau pembentukan suatu proyek yang memperlihatkan tingkat partisipasi dari keseluruhan tipologi. Ketujuh tipologi tersebut merupakan suatu rangkaian kesatuan partisipasi dari tingkat terbawah, tanpa partisipasi, hingga tingkat teratas, partisipasi aktif, yang tidak membatasi pengertian partisipasi pada satu pengertian tetapi merupakan perjalanan keterlibatan aktif seseorang dalam suatu proyek atau kegiatan.
37
Josef Kaho (2001:114-115) menyatakan partisipasi dapat dilihat dari: a. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, setiap proses penyelenggaraan terutama dalam kehidupan bersama masyarakat, pasti melewati tahap penentuan kebijaksanaan. Partisipasi masyarakat dalam tahap ini sangat mendasar sekali terutama pada putusan politik yang diambil menyangkut nasib mereka secara keseluruhan. Murbyarto (1984) menegaskan dalam keadaan paling ideal kekikutsertaan masyarakat untuk membuat keputusan “putusan politik” yang menyangkut nasib mereka, adalah ukuran tingkat partisipasi rakyat. Semakin besar kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, semakin besar partisipasi masyarakat dalam pembangunan. b. Partisipasi dalam pelaksanaan. Partisipasi ini merupakan tindak lanjut dari tahap pertama, partisipasi dalam pembangunan ini dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberikan kontribusi guna menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud tenaga, uang, barang, materi, maupun informasi yang berguna bagi pelaksanaan pembangunan. c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil Usaha bersama dalam pembangunan bagaimanapun ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama anggota masyarakat. Demikian juga dalam penyelenggaraan pemerintah daaerah harus dapat menikmati hasilnya dengan adil. Adil yang dimaksud adalah setiap orang mendapatkan bagian sesuai dengan pengorbanan dan norma-norma yang dapat diterima, norma tersebut dapat berupa norma hukum, etika dan moral. Uphoff menyatakan ada tiga segi aspek yaitu manfaat materialnya (material benefit) manfaat social (social benefit), manfaat social (social benefit), dan manfaat pribadi (privat benefit). d. Partisipasi dalam evaluasi Penyelenggaraan apapun dalam kehidupan bersama hanya akan dinilai berhasil apabila memberikan manfaat , masyarakat diberikan kesempatan untuk menilai hasil yang telah dicapai. Sikap mendukung dan memelihara hasil yang dicapai dapat dilihat sebagai indikasi adanya dukungan positif dari anggota masyarakat terhadap apa yang dihasilkan, terutama kesesuaian dengan kepentingan masyarakat. Masyarakat dapat berpartisipasi menurut relevansinya (keahlian, kepentingan, serta kemampuan). Dengan kata lain seseorang dapat berpartisipasi secara parsial, dalam pengertian hanya terlibat dalam satu aktivitas ataupun dapat terlibat secara menyeluruh
38
dari semua fase awal sampai akhir aktivitas yang dimaksud. Dalam partisipasi mengandung dua pengertian pokok yaitu adanya kesadaran dan kesukarelaan. Cohen dan Uphoff dalam Fahmi (2009:25) telah memberikan suatu perspektif untuk melihat partisipasi masyarakat dalam suatu program pembangunan. Dimensi partisipasi yang digagas oleh Cohen dan Uphoff adalah apa, siapa, dan bagaimana partisipasi dilakukan. Dimensi pertama, Apa- partisipasi itu menurut Cohen dan Uphoff berada pada 4 area partisipasi
yaitu
partisipasi
dalam
pembuatan
keputusan,
dalam
implementasi dalam penerimaan manfaat, dan dalam evaluasi dilakukan. Dimensi kedua Siapa- mungkin ini menjadi sangat penting, bila ini berkaitan dengan target group, peran serta siapa yang akan diurus atau ditangani. Sedangkan aktor yang mempengaruhi partisipasi ada 4 yaitu penduduk lokal, pegawai pemerintah dan partisipan di luar komunitas. Dimensi bagaimana- peran serta terjadi misalnya inisiatif partisipasi datang dari atas atau dari bawah, dengan keikutsertaan sukarela atau paksaan, struktur, peran serta dapat melalui individu atau kelompok formal, jangkauan peran serta, seberapa besar kapasitas seseorang untuk mencapai hasil dari keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan implementasi. Dalam melihat partisipasi Ife dan Tesoriero (2008:331) telah mengingatkan bahwa partisipasi bukan sekedar soal hasil. “partisipasi adalah suatu proses oleh karena itu meliputi banyak dimensi dan perubahan. Partisipasi memiliki potensi untuk berkontribusi pada
39
perubahan aspek-aspek politik, kultural, ekonomi, dan sosial dari masyarakat dan kehidupan manusia”. Untuk mengetahui atau mengukur derajat tingkat partisipasi dapat menggunakan “Tangga Partisipasi Sherry Arnstein” yang membagi tingkatan partisipasi menjadi tiga yaitu tingkat tanpa partisipasi
(non
partisipan), tingkat paradigma penghargaan semu (degrees of tokenism) dan tingkat kekuatan masyarakat (citizen power). Pendapat Arnstein digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 3. Delapan Tangga Partisipasi Publik
8
Citizen Control
7
Delegated Power
6
Partnership
5
Placation
4
Concultation
3
Informing
2
Therapy
1
Manypulation
Citizen power
Tokenism
Nonparticipation
Sumber: Sherry Arnstein, dalam Dwiyanto (2005: 189) Tabel Tangga Partisipasi diatas membagi tiga tingkatan menjadi delapan tingkatan sub partisipasi. Pertama, Citizen Power (Kekuatan
40
Masyarakat) yang terdiri dari tiga sub tingkatan yaitu Kontrol Warga Negara (citizen control), Pendelegasian wewenang (delegated power) dan Kemitraan (partnership). a. Kontrol Warga Negara (citizen control) yang dimaksudkan adalah bukan sesuatu kewenangan tanpa batas. Pada tahap ini merupakan puncak
partisipasi
dimana
publik
(masyarakat)
mempunyai
kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan kebijakan publik dan sumberdaya yang digunakan. b. Pendelegasian wewenang (delegated power), dalam tahap ini ditandai dengan semakin besarnya kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat misalnya banyaknya anggota masyarakat yang duduk dalam dewan kota serta adanya hak veto bagi masyarakat, tantangan dalam tingkatan ini adalah perwujudan akuntabilitas dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat yang ada dalam kelompok tersebut. c. Kemitraan (partnership), kewenangan dalam tahap ini relatif tebagi dengan merata antara masyarakat dengan pemerintah, sudah tercipta suatu kemitraan antara keduanya dalam membicarakan perencanaan dan pengambilan keputusan bersama melalui badan-badan yang dibentuk. Permasalahannya inisiatif dan komitmen baru muncul setelah adanya publik yang kuat untuk menjalankan proses yang partisipatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah keterwakilan dan akuntabilitas wakil kelompok tersebut serta sumberdaya kelompok tersebut.
41
Kedua, Tingkatan Paradigma Penghargaan Semu (Degrees of Tokenism), terdiri dari Peredam (placation), Konsultasi (consultation) dan Pemberitahuan (informing). a. Peredam (placation), dalam tahap ini masyarakat sudah mempunyai pengaruh dalam kebijakan, namun sifatnya belum asli, masih ditentukan oleh besar dan solidnya kekuatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam wadah-wadah yang dibentuk sudah dikenal, namun jumlah dan kekuatannya belum signifikan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan,
pemerintah
masih
sebagai
pengambil
kebijakan. b. Konsultasi (consultation), dalam tahap ini sudah ada konsultasi dan dengar pendapat dengan masyarakat, walaupun belum ada suatu jaminan masukan dari masyarakat tersebut akan diperhatikan, partisipasi masyarakat sebatas pada tempat konsultasi saja. c. Pemberitahuan (informing), ditandai adanya pemberian informasi kepada masyarakat tentang hak, kewajiban, tanggung jawab dan pilihan yang ada. Tetapi sifatnya masih satu arah dari pemerintah ke masyarakat, masyarakat diposisikan sebagai objek sosialisasi. Ketiga, Tidak Partisipasi (non-partisipan), yang terdiri dari terapi (therapy) dan manipulasi (manipulation). a. Terapi (therapy), tahapan ini menurut Arstein sebenarnya cocok untuk tingkatan terbawah partisipasi, sifatnya tidak jujur dan arogan serta mengekang dan mengarahkan masyarakat.
42
b. Manipulasi
(manipulation),
partisipasi
di
dalam
tingkatan
ini
dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan publik dengan memberikan kesan sudah melibatkan masyarakat padahal kenyataan tanpa melalui proses partisipasi. Dari berbagai penjelasan tersebut partisipasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu proses peran serta masyarakat Kebonagung mulai dari proses perencanaan dan pembuatan keputusan hingga partisipasi masyarakat dalam evaluasipengembangan desa wisata. Bentuk peran serta masyarakat dapat berupa kontribusi ide dan gagasan, pemberian informasi mengenai hal-hal yang dibutuhkan, keikutsertaan dalam memecahkan permasalahan,
keikutsertaan
dalam
pengambilan
keputusan,
dan
keikutsertaan dalam pelaksanaan kegiatan baik ketrampilan, ide atau gagasan, waktu dana dan tenaga. E.
Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai Community Based Tourism yang pernah dilakukan sebelumnya dan relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang berjudul“Pengembangan Potensi Pariwisata di Kawasan Selo Melalui Pendekatan Pariwisata Berbasis Komunitas.” Oleh Irawati Dian (2010), Tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui tingkat potensi yang dimiliki kawasan wisata Selo untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis komunitas. Metode pengambilan data dilakukan dengan observasi wawancara serta kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan Selo
memiliki
tingkat
yang potensial
mencakup
aspek
atraksi,
43
aksesibilitas, akomodasi, dan pasar. Beberapa atraksi mulai melibatkan keikutsertaan masyarakat setempat seperti homestay, desa wisata, dan agrowisata F.
Kerangka Berfikir Keberadaan desa wisata berbasis masyarakat (CBT) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengkonservasi lingkungan serta budaya masyarakat setempat. Desa kebonagung menawarkan panorama alam, kegiatan pertanian dan seni budaya masyarakat setempat sebagai obyek daya tarik wisata. Pengelolaan Desa wisata Kebonagung dilakukan oleh dan dibentuk oleh masyarakat di bawah naungan pengelola Desa Wisata Kebonagung yang juga dibentuk oleh masyarakat. Dalam pengelolaan desa wisata, partisipasi masyarakat menjadi kunci utama berlangsungnya pengelolaan obyek wisata yang memiliki tingkat partisipasi di dalamnya. Akan tetapi sering terjadi beberapa masalah terkait pengembangan CBT. Beberapa masalah tersebut antara lain pemahanan masyarakat mengenai CBT yang masih rendah,
pelibatan/partisipasi
masyarakat dalam mengelola pariwisata yang belum optimal, pendidikan dan pelatihan mengenai desa wisata yang masih rendah, kurangnya promosi wisata, adanya pro kontra yang terjadi dalam masyarakat dengan dikembangkannya desa wisata. Masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini mengenai bagaimana partisipasi/ keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan desa wisata berbasis komunitas di Desa Kebonagung karena
44
partisipasi merupakan inti dari pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Untuk melihat apa peran dan partisipasi masyarakat, dalam penelitian ini menggunakan kerangka partisipasi Cohen dan Uphoff (1977) untuk menjelaskan siapa dan bagaimana partisipasi dilakukan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Tabel 4. Dimensi Partisipasi Apa partisipasi yang dilakukan Siapa yang melakukan partisipasi Bagaimana partisipasi dilakukan
1) Partisipasi dalam perencanaan program; 2) Partisipasi dalam pelaksanaan program. Partisipasi ini juga meliputi partisipasi dalam penerimaan manfaat dan pemeliharaan hasil; 3) Partisipasi dalam evaluasi program 1) Masyarakat sasaran termasuk kelompok marjinal 2) Pemimpin lokal 3) Pegawai dan pemerintah 4) Partisipan di luar masyarakat sasaran 1) Dari mana datangnya inisiatif partisipasi; 2) Apakah yang menjadikan orang berpartisipasi, apakah partisipasi dilakukan dengan suka rela atau dengan paksaan; 3) Struktur partisipasi dan chanel atau jejaring partisipasi, apakah dilakukan secara individual atau kolektif, apakah dilakukan dengan formal atau non formal organisasi, atau apakah partisipasi tersebut langsung atau representativ; 4) Durasi dan skop partisipasi, sekali-kali, berkala atau terus menerus, dan bagaimana jaraknya; 5) Memberdayakan; bagaimana keefektifan partisipasi masyarakat diterapkan pada tahapan-tahapan program
Sumber: Cohen dan Uphoff dalam Fahmi (2009:26) Sedangkan tangga partisipasi Arnstein (1969) digunakan untuk mengetahui tingkat partisipasi pada tiap sub bahasan yaitu dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program, dihubungkan dengan pengaruhnya terhadap akses kekuasaan atau pemerintah selaku pemilik
45
program. Hasil penelitian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan pada Bab I. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam studi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata berbasis komunitas di Desa Kebonagung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul dapat dilihat dalam Bagan berikut:
Partisipasi Masyarakat Desa Kebonagung
Perencanaan program
Pelaksanaan program
Pengawasan dan evaluasi program
Pelaksanaan program Perencanaan program
POKDARWIS Tingkat Partisipasi
Community Based Tourims
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
46
5.
Pertanyaan Penelitian a. Bagaimana pengelolaan Desa Wisata Kebonagung? b. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Desa Wisata Kebonagung, pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program? c. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Desa Wisata Kebonagung? d. Faktor apa yang menghambat masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengelolaan Desa Wisata kebonagung? e. Bagaimana pro-kontra yang terjadi dalam pengelolaan Desa Wisata Kebonagung?
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Desain Penelitian Penelitian ini menggambarkan berbagai potensi wisata yang dimiliki oleh Desa Kebonagung dan bagaimana pengelolaan desa wisata berbasis masyarakat oleh organisasi dan masyarakat setempat mulai dari perencanaan,
pelaksanaan,
pengawasan
hingga
evaluasi
serta
permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan desa wisata berbasis komunitas. Dalam meneliti masalah ini dibutuhkan suatu metode yang dapat memahami dan mengkaji permasalahan secara mendalam karena masalah desa wisata sangatlah kompleks yang melibatkan banyak pihak, yaitu masyarakat destinasi wisata yang beragam, pihak pengelola, pihak pemerintah hingga orang-orang yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode yang dapat mengungkap fakta di balik sebuah fenomena. Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti menggunakan metode penelitian kualitatatif untuk mendiskripsikan dan menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat, serta hubungan yang muncul dalam pengelolaan desa wisata berbasis komunitas di Desa Kebonagung. Peneliti berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk memahami dan mengenal lebih jauh kondisi sebenarnya di lapangan,
47
48
sehingga peneliti dapat memperoleh data yang dibutuhkan secara lebih jelas dan lengkap. B.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wisata Kebonagung, yang berlokasi di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Pemilihan lokasi didasarkan oleh fakta bahwa Desa Wisata Kebonagung merupakan salah satu desa wisata yang berkembang dan memiliki nilai jual di Kabupaten Bantul dan yang paling penting di desa tersebut pariwisata dibentuk dan dikelola oleh masyarakat lokal sehingga bisa disebut berbasis komunitas. Adapun titik-titik lokasi dari penelitian ini lebih di fokuskan di beberapa dusun yang merupakan titik aktivitas wisata yaitu Dusun Jayan, Talaban, Tegal dan Mangsan. Di dusun Jayan terdapat sekretariat pokdarwis yang menjadi basis aktivitas desa wisata. Waktu penelitian dilaksanakan mulai tanggal 5 Juli sampai dengan tanggal 5 Oktober 2012. Melalui penelitian ini akan dipetakan potensipotensi dan juga komponen lain yang mendukung berkembangnya desa wisata sesuai dengan prinsip community based tourism.
49
G.
Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang menetahui secara pasti dan ikut terlibat dalam mengelola desa wisata. Informan tersebut antara lain: 1.
Bapak Bachroni, Ketua Pokdarwis Desa Kebonagung.
2.
Bapak Ir. Priya Hariyanta, MMa., Sekretaris Desa Kebonagung.
3.
Bapak Dalbiyo, Bendahara Desa Wisata Kebonagung
4.
Bapak Sardi, Ketua Seksi Homestay
5.
Masyarakat setempat yang ikut berpartisipasi maupun tidak dalam pengelolaan Desa Wisata kebonagung
6.
Pihak-pihak lain yang terlibat dan ditemui pada saat pelaksanaan penelitian yakni wisatawan yang berkunjung ke Desa Kebonagung.
C.
Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian yang mempergunakan metode kualitatif adalah peneliti sendiri. Peneliti menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menganalisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Selama penelitian, peneliti juga menggunakan alat bantu instrumen berupa pedoman wawancara, selain itu melengkapi dan mempertajam data yang diperoleh peneliti menggunakan buku catatan, alat tulis, alat perekam dan kamera untuk mendokumentasikan penelitian serta peralatan lain yang mendukung penelitian.
50
Tabel 5. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian Fenomena yang Diamati Pengelolaan desa wisata
Dimensi
Perencanaan/ Planning
Indikator
- Identifikasi masalah dan identifikasi potensi wisata - Rencana penyusunan kebijakan/ program pengembangan desa wisata. Pelaksanaan/ - Pengembangan program-program/ Implementation atraksi wisata (attraction) - Pengembangan/ pengelolaan fasilitas dan servis wisata (amenity) - Pengembangan/pengelolaan akses dan infrastruktur (accesibility) - Nilai manfaat dari sisi ekonomi dan sosial budaya Evaluasi - Pemantauan kebijakan/program pengelolaan desa wisata yang telah dilakukan - Pemantauan terhadap masalah yang terjadi dalam pengelolaan desa wisata Partisipasi Perencanaan - Keterlibatan masyarakat dalam masyarakat identifikasi masalah dan Identifikasi potensi wisata - Peran serta keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan Pelaksanaan - Keterlibatan masyarakat dalam atraksi wisata - Keterlibatan masyarakat dalam pelatihan/peningkatan ketrampilan dalam penyelenggaraan jasa pariwisata - Keterlibatan masyarakat dalam pembentukan kelembagaan terkait pengelolaan fasilitas jasa dan objek Evaluasi - Keterlibatan masayarakt dalam pemantauan kebijakan/program desa wisata - Keterlibatan masayarakt dalam pemantauan - Adanya umpan balik dari masyarakat - terhadap masalah yang terjadi dalam pengelolaan desa wisata Sumber: Diolah oleh penulis
51
D.
Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui wawancara dan observasi sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait dan hasil-hasil penelitian sebelumnya melalui studi dokumen. Hal ini dilakukan dengan menelusuri informasi dari berbagai sumber data yang terdiri atas informan, tempat dan peristiwa serta dokumentasi/arsip terkait yang ada, maupun foto-foto yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Data sekunder yang berhasil didapatkan antaralain SK Bupati Nomor 359 Tahun 2006 tentang Pengesahan Pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan Forum Komunikasi (Forkom Pokdarwis) Di Kabupaten Bantul, Anggaran Dasar Dan Rumah Tangga Pokdarwis “Tambak Tegal Agung” Desa Kebonagung, peta administrasi dan data-data lainnya.
E.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode criterion based selection (CBS) (Muhajir, 1993). Informan penelitian yang dipilih adalah orang-orang yang dapat memberikan informasi mengenai latar belakang dan keadaan sebenarnya dari objek penelitian sehingga data yang dihasilkan akurat. Untuk itu dalam penelitian ini informan yang dipilih oleh penulis berdasarkan pada pertimbangan kapasitas informasi yang dimilikinya. Penentuan sumber informasi (informan) menggunakan seleksi berdasarkan kriteria (criterion based selection), dimaksudkan agar hasil penelitian ini memiliki validitas data sesuai dengan kebutuhan, hal ini
52
sesuai dengan model penelitian kualitatif yang tidak bergantung pada kuantitas populasi dan sampling. Peneliti menentukan informan berdasarkan tiga kelompok atau kriteria. Yang terdiri dari masyarakat, tokoh masyarakat (kepala desa, sekdes dan kepala dusun), yang terakhir adalah anggota kelompok sadar wisata Desa Kebonagung. Informan yang dipilih dalam penelitian ini antara lain Lurah Desa Kebonagung Bapak Eka Supriyadi, ST, Ketua Pokdarwis Bapak Bachroni, bendahara pokdarwis Bapak Dalbiya, Sekretaris Pokdarwis Bapak Ir. Priya Hariyanta, MMA, dan beberapa warga Desa Kebonagung. F.
Teknik Pengumpulan Data Ada tiga macam teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi 1. Wawancara Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan semi-terstruktur menggunakan pedoman wawancara yang pertanyaannya berkembang sesuai situasi dan informasi yang dibutuhkan.Wawancara dilakukan dengan Tokoh Masyarakat Desa Kebonagung, anggota Pokdarwis Kebonagung dan beberapa masyarakat setempat. Terkait dengan fokus kajian CBT, maka informasi langsung dari anggota Pokdarwis dan warga masyarakat desa setempat menjadi unsur yang penting dalam objek wawancara.
Pengumpulan data melalui
wawancara direkam dengan menggunakan alat bantu rekam untuk
53
membantu peneliti mengurangi kesalahan dan merekam informasi secara utuh. Proses
wawancara
dimulai
dengan
peneliti
mendata
dan
menentukan siapa saja informan yang akan diwawancarai. Setelah peneliti menentukan informan, kemudian peneliti memilih informan dari anggota Pokdarwis untuk diwawancarai terlebih dahulu untuk mendapatkan gambaran umum mengenai desa wisata Kebonagung, selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan masyarakat setempat yang turut terlibat dalam pengelolaan desa wisata maupun yang tidak turut terlibat. Dari wawancara tersebut peneliti berhasil mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian yaitu tentang pengelolaan desa wisata, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan desa wisata, harapan masyarakat dengan adanya desa wisata dan data-data lainnya. 2.
Observasi Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada lokasi peristiwa, atau ketika situasi sedang terjadi. Observasi dilakukan dengan melihat secara langsung mengenai potensi wisata Desa Kebonagung serta kehidupan yang terjalin di Desa Wisata Kebonagung, baik kehidupan sosial, ekonomi, maupun budayanya. Observasi tidak hanya dilakukan untuk melihat gambaran
54
yang jelas mengenai objek penelitian tetapi untuk melengkapi data yang diperlukan. Data yang dikumpulkan melalui observasi yaitu keadaan desa serta infrastruktur yang mendukung dalam kaitannya sebagai destinasi wisata, aktifitas masyarakat sehari-hari, interaksi masyarakat yang satu dengan yang lain, potensi wisata yang ditawarkan, serta aktivitas wisata para wisatawan. Hasil dari observasi berupa foto maupun tulisan 3.
Dokumentasi Teknik dokumentasi merupakan proses memperoleh data dengan menggunakan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian dengan menggunakan dokumen resmi, arsip-arsip, dan gambar-gambar sebagai sumber data. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sumber tertulis dari literatur dan pengambilan foto yang berkaitan dengan objek penelitian. Peneliti menggunakan alat perekam untuk mengabadikan semua hasil wawancara supaya dapat terdokumentasi dengan baik, yang kemudian ditranskrip untuk dipahami kembali hasil wawancara. Data tertulis sebagai dukungan refrensi diambil dari buku teks, jurnal, surat kabar, dan internet yang terkait dengan pengelolaan pariwisata berbasis komunitas. Selain itu, peneliti juga mendokumentasikan melalui foto kegiatan wisata dan keadaan desa wisata. Hasil dokumentasi yang berhasil didapat antaralain dokumen monografi Desa Kebonagung, dasar hukum pembentukan Pokdarwis
55
yaitu SK Bupati Bantul No 359 Tahun 2006, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Pokdarwis Tambak Tegal Agung, dan foto-foto kegiatan wisata Desa Kebonagung H.
Pemeriksaan Keabsahaan Data Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber. Triangulasi sumber adalah pengecekan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Peneliti mengajukan pertanyaan yang relatif sama kepada beberapa informan yang relevan untuk memastikan kebenaran informasi yang diterima dan disampaikan oleh informan. Melalui triangulasi sumber peneliti melakukan crosscheck data hasil wawancara antar informan yang berbeda, selanjutnya data dianalisis dan dibuat kesimpulan dari hasil wawancara yang dilakukan
I. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sejak peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan dan terus dilakukan secara intensif hingga pengumpulan data selesai dilakukan. Pengolahan data dimulai dengan mereduksi data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi untuk memilih dan memilah data yang sesuai dengan fokus penelitian. Data yang relevan dengan fokus penelitian selanjutnya dianalisis kesinambungan dan kaitan dengan data lainnya. Setelah data direduksi maka langkah selanjutnya adalah mendisplay data, penyajian data dilakukan berdasarkan data-data
56
yang telah direduksi, dalam penelitian kualitatif penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian, bagan hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya untuk melihat pola-pola hubungan data satu dengan data lainnya. Tahap selanjutnya adalah menarik kesimpulan (drawing collection), dari hasil reduksi data dan penyajian data. Secara lebih terperinci analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebgai berikut: Sebelum melakukan analisis data, peneliti mengumpulkan data yang dibutuhkan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Data primer dan data sekunder yang diperoleh peneliti kemudian direduksi dan dikategorikan. Data yang telah dikategorikan kemudian diberi gambaran atau penjelas yang disajikan secara sistematis. Data yang dibutuhkan dalam menganalisis pengelolaan desa wisata meliputi tahap awal perencanaan desa wisata, pelaksanaan dan evaluasi
serta partisipasi
masyarakat pada setiap tahapan, sarana infrastruktur yang dibangun dalam mendukung pariwisata, potensi lokal sebagai daya tarik wisata dan kelembagaan yang ada di masyarakat. Jadi laporan di lapangan yang diperoleh disingkat, direduksi, dan disusun lebih sistemastis. Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Melalui penyajian data, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan makin mudah dipahami, dalam penelitian ini data disajikan dalam bentuk teks yang bersifat naratif dan tabel.
57
Tahap akhir, adalah menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan. penarikan kesimpulan dilakukan setelah pembahasan tentang pengelolaan desa wisata
selesai dilakukan. Penarikan kesimpulan didasarkan pada
temuan-temuan yang diperoleh dari proses pengumpulan data yang telah dilakukan mengenai Pengelolaan Desa Wisata Kebonagung. Dalam setiap analisis data peneliti akan menarik kesimpulan sementara dan akan berubah jika tidak ditemukan bukti yang kuat untuk mendukung pengumpulan data berikutnya. Namun, jika kesimpulan awal telah didukung oleh bukti yang valid dan konsisten dalam pengumpulan data maka kesimpulan dapat dikatakan kredibel.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1.
Deskripsi Lokasi Penelitian a. Kondisi Geografis Kebonagung merupakan salah satu desa yang terletak di bagian Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Desa ini memiliki luas sekitar 183.1105 Hektar. Secara administratif Desa Kebonagung terdiri atas 5 pedukuhan,
yaitu:
Pedukuhan
Jayan,
Pedukuhan
Kalangan,
Pedukuhan Kanten, Pedukuhan Mandingan dan Pedukuhan Tlogo. Desa Kebonagung memiliki 27 Rukun Tangga (RT). Desa Kebonagung berjarak sekitar 15 km arah selatan dari ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau sekitar 10 km dari ibukota Kabupaten Bantul. Desa Kebonagung berbatasan langsung dengan beberapa desa di Kecamatan Imogiri, yaitu Desa Karang Talun, Desa Karang Tengah, Desa Sri Harjo dan Desa Canden. Batas wilayah Desa Kebonagung dengan desa lain yang ada di sekitarnya adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
:
Desa Karang Talun
Sebelah Timur :
Desa Karang Tengah
58
59
Sebelah Selatan: Desa Sriharjo Sebelah Barat: Desa Canden
Gambar 3. Peta Administrasi Desa Kebonagung Sumber: Monografi Desa Kebonagung Letak Desa Kebonagung sangat strategis karena merupakan jalur wisata menuju Pantai Parangtritis dan Pantai Renehan Gunungkidul sehingga menjadi jalur penghubung antara Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul. Desa Kebonagung memiliki ketinggian rata-rata tujuh meter di atas permukaan laut. Tanah tersebut mempunyai topografi dataran rendah. Berkaitan dengan topografi tersebut,
60
aktivitas ekonomi utama masyarakat Kebonagung adalah bidang pertanian. b. Kondisi Demografis Total jumlah penduduk di Desa Kebonagung mencapai 3.377 jiwa. Sampai pada tahun 2009, jumlah keluarga miskin yang tercatat mencapai 157 KK dari sekitar 1.372 KK, atau sekitar 11% dari jumlah KK. Distribusi penduduk menurut jenis kelamin terdiri atas 1.655 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki atau sekitar 49% dari jumlah keseluruhan dan 1.722 jiwa perempuan, atau sekitar 51% dari keseluruhan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang berada pada usia produktif antara 15 th - 60 th sekitar 40% dari total jumlah penduduk. Berdasarkan data monografi Desa Kebonagung tercatat bahwa mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Kebonagung adalah sebagai buruh tani. Jumlah penduduk yang bermata pencaharian buruh tani sebanyak 366 atau mencapai 28,9%. Mata pencaharian petani yang menggarap sawah sendiri berada pada kisaran 243 penduduk atau sekitar 19,2%. Sebanyak 257 orang atau 20,3% bekerja sebagai buruh bangunan, 96 orang bekerja sebagai pedagang, dan yang bekerja pada sektor industri rumah tangga sekitar 70 orang. Penduduk yang bekerja pada sektor formal sebagai karyawan PNS hanya mencapai 5,5%, dan Swasta 15,6% dari jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 1.758.
61
Tabel 6. Data Penduduk Desa Kebonagung menurut Mata Pencaharian Tahun 2009 No Pedukuhan Petani
Buruh
Buruh
Pedagang
Industri
Pegawai Pegawai Jumlah
1
Manding
27
tani 70
bangunan 35
26
RT 8
Negeri 10
swasta 26
202
2
Kanten
67
75
44
15
1
22
63
287
3
Kalangan
27
70
35
26
8
10
26
202
4
Jayan
70
89
90
14
2
13
12
290
5
Tlogo
52
62
53
15
15
15
70
282
Jumlah
243
366
257
96
34
70
197
1263
Prosentase (%)
19,2
28,9
20,3
7,6
2,6
5,5
15,6
Sumber : Monografi Desa Kebonagung Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian penduduk Desa Kebonagung mayoritas bukan pegawai/karyawan yaitu sebesar 78,64% dan 48,1% diantaranya berprofesi sebagai petani dan buruh buruh tani. Hanya sekitar 21,1% penduduk yang memiliki penghasilan tetap sebagai PNS ataupun pegawai swasta. 2.
Perkembangan Desa Wisata Kebonagung a. Sejarah Desa Kebonagung Menurut tokoh masyarakat setempat, Desa Kebonagung dahulunya merupakan bagian dari wilayah Kraton Kasunanan Surakarta. Namun melalui Perjanjian Giyanti , Kraton Kasunanan pecah menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Desa Kebonagung masuk dalam wilayah Kabupaten
62
Bantul di bawah kekuasaan Kraton Kasultanan. Asal-muasal nama Kebonagung sendiri berasal dari sebuah cerita, di mana pada zaman dahulu Raja Kraton Surakarta mempunyai banyak selir. Jika para selir ini berbuat kesalahan atau membuat raja marah maka mereka akan diasingkan. Dalam bahasa jawa pengasingan disebut dikebonkan, sementara kata Agung karena daerah ini terkenal subur dan merupakan sumber pemasok makanan Kraton Surakarta, maka semenjak itulah wilayah tersebut dikenal sebagai Desa Kebonagung. b. Prestasi Desa Kebonagung Sebagai sebuah desa, Kebonagung telah memiliki prestasi di bidang pertanian serta pariwisata. Prestasi yang telah diraih tersebut antara lain: 1) Bidang Pertanian Beberapa prestasi yang dicapai oleh Desa Kebonagung dalam bidang pertanian yaitu meraih Juara Nasional Perancangan Swasembada Pangan Tingkat Nasional tahun 1984, selain itu Desa Kebonagung
juga
telah
mendapatkan
Sertifikat
Organik
No 0012501-10 atas prestasi dalam melaksanakan sistem manajemen organik sesuai dengan SNI 01-6792-2002 untuk budidaya tanaman padi. Prestasi terbaru yang diraih Desa Kebonagung di bidang pertanian adalah mendapatkan piagam penghargaan dari Direktorat Jendral Pengolahan dan pemasaran Hasil Pertanian sebagai
63
pemenang ketahanan pangan bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, serta Piagam Penghargaan Ketahanan Pangan dari Menteri Pertanian RI atas prestasi dalam mendorong dan mewujudkan pemantapan ketahanan pangan melalui padi organik pada Desember 2010 2) Bidang Pariwisata Selain di bidang pertanian, ada juga prestasi Desa Kebonagung di bidang pariwisata, antara lain pernah menjadi juara 2 desa wisata terbaik se-DIY, pada tahun 2007 Museum tani Jawa mendapatkan Juara 2 dalam karnaval festival Museum se-DIY, dan pada tahun 2010 meraih Juara III Desa Wisata tingkat Nasional Kementerian Pariwisata & Kebudayaan Republik Indonesia. Prestasi lainnya adalah Desa Kebonagung diberi kepercayaan untuk ambil bagian menjadi
peserta
Karnival
dalam
rangka
ulang
tahun
D.I.Yogyakarta. c. Potensi Desa Kebonagung Desa wisata Kebonagung adalah salah satu desa wisata di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul yang dikenal sebagai Desa Wisata Pertanian, Budaya dan Pendidikan. Desa Kebonagung memiliki banyak potensi antara lain : 1) Potensi Alam Pertanian Lahan Pertanian yang dimiliki seluas 117,670 Ha yang subur dikarenakan sumber air untuk jaringan irigasi bersumber
64
dari Sungai Opak, dimana jarak antara Sungai Opak dan Desa Kebonagung relatif dekat. Dengan jumlah lahan pertanian yang masih luas ini Desa Kebonagung menawarkan berbagai aktivitas pertanian yang dapat dijumpai/dilakukan oleh para wisatawan yang berminat untuk melakukan kegiatan yang sama dengan aktifitas petani kesehariannya, seperti : membajak sawah dengan kerbau, menggaru (meratakan tanah), menanam padi, dan panen padi.
Gambar 4. Aktivitas Pertanian Masyarakat Desa Kebonagung Sumber: Dokumentasi Desa Kebonagung 2) Potensi Alam Perairan Pesona sungai Opak dan Bendungan Tegal pun menjadi salah satu atraksi alam yang cukup banyak dikunjungi oleh para wisatawan yang cenderung lebih banyak adalah kaum remaja. Tidak hanya melihat aliran air sungai Opak di Bendungan Tegal juga banyak menawarkan berbagai kegiatan wisata air bagi wisatawan seperti Dayung, Perahu Naga, Sampan, Perahu Canoe,dan aktifitas outbond.
65
Setiap tahunnya, Sungai Opak selalu digunakan untuk Perayaan Peh Cun. Perayaan Peh Cun disebut juga Hari Raya Twan Yang (Twan Wu) yang jatuh pada tanggal 5 bulan 5 tahun kalender Imlek. Dalam perayaan Peh Cun, di Sungai Opak diadakan lomba dayung perahu naga yang di ikuti peserta yang berasal dari Kabupaten Bantul dan juga beberapa kota pesisir di Jawa Tengah, seperti Cilacap, Tegal, dll. Kegiatan Lomba Perahu naga merupakan hasil kerjasama antara pihak Desa Kebonagung dengan Desa Canden.
Gambar 5. Potensi Perairan Bendung Tegal Sumber: Dokumentasi Desa Wisata Kebonagung 3) Potensi Seni Budaya Masyarakat
Desa
Kebonagung
masih
melestarikan
berbagai tradisi seni dan budaya, seperti: Seni Tradisi Gejok Lesung, Seni Tradisi Karawitan, Seni Tradisi Laras Madya, Seni Tradisi Wayang Kulit, Tarian Angguk, Seni Tradisi Campur Sari, Seni Tradisi Nini Thowong, Festival memedi manuk, Seni
66
Tradisi Jatilan, Seni Tradisi ritual seperti Kenduri, Wiwitan, Samparan, dll.
Gambar 6. Kesenian Jathilan dan Karawitan Sumber: Dokumentasi Desa Kebonagung 4) Potensi Kuliner dan Kerajinan Sebagian besar industri rumah tangga yang terdapat di Desa Kebonagung bergerak di bidang kuliner. Kuliner merupakan salah satu aspek kebudayaan hasil karya nenek moyang dan diwariskan secara turun-temurun dan menjadi salah satu pelengkap yang mempunyai peran penting
bagi keberadaan
suatu desa wisata. Beragam kuliner yang masih dilestarikan oleh masyarakat lokal antara lain gudeg manggar,
jadah tempe,
apem, keripik tempe, peyek, wedang uwuh, serta makanan yang berasal dari umbi-umbian.
67
Selain kuliner ada juga masyarakat yang mengembangkan industri kerajinan rumah tangga seperti pembuatan gerabah, anyaman bambu, dan kerajinan dari limbah industri.
Gambar 7. Kerajinan Anyaman Bambu Sumber: Dokumentasi Desa Kebonagung d. Kegiatan Wisata Aktivitas yang dilakukan di Desa Wisata Kebonagung merupakan point selling utama yang ditawarkan. Kegiatan yang dapat dilakukan tergolong cukup banyak dan variatif. Berikut tabel yang menampilkan berbagai macam pilihan kegiatan dan harga yang ditawarkan untuk tiap kegiatannya.
68
Tabel 7. Penawaran Harga Paket Kegiatan Desa Wisata “Kebonagung No Nama Kegiatan
Harga
1
Home stay
Rp.100.000,00
2
Pertanian
Rp. 30.000,00
S 3
Membatik Kain
Rp. 40.000,00
u4
Cetak Gerabah
Rp. 35.000,00
m5
Batik Kayu
Rp. 40.000,00
b6
Menghias Caping
Rp. 40.000,00
e7
Belajar Karawitan
Rp. 30.000,00
r8
Ngenger
Rp. 25.000,00
9
Rias Janur
Rp. 35.000,00
10
Naik Perahu
Rp. 30.000,00
12 P 13 r 14 o 15
Bersepeda santai
Rp. 30.000,00
Hiking cari Jejak Harga
Rp. 15.000,00
Api DuluUnggun Sambil Bakar Jagung
Rp. 25.000,00
f16
Memancing
Rp. 20.000,00
i17
Paket Memasak
Rp. 15.000,00
l18
Senam kesehatan jasmani
Rp. 10.000,00
19
Perlombaan Gejog Lesung
Rp. 20.000,00
21
Outbond
Rp. 50.000,00
22
Genduri
Rp. 30.000,00
:
Permainan Anak Desa Tempo Rp. 10.000,00
Sumber: Profil Desa Wisata Kebonagung
Keterangan
69
e. Fasilitas Wisata (Amenitas) Berdasarkan pengumpulan data yang diperoleh, Desa Wisata Kebonagung memiliki sarana penunjang yang cukup baik antara lain: (1) Sekretariat Desa Wisata Kebonagung memiliki bangunan tetap yang diperuntukkan untuk sekretariat pengelola (POKDARWIS). Keadaan fisik bangunan tergolong baik, walaupun bangunan belum merupakan aset milik POKDARWIS. (2) Akomodasi (Homestay) Ketersediaan akomodasi memang menjadi salah satu unggulan Desa Wisata Kebonagung. Homestay di Desa Kebonagung diresmikan tanggal 6 November 2007 oleh Tahzabir, SH, M.Hum, kepala BAPARDA DIY. Data terakhir tercatat terdapat 60 homestay
yang tersebar di lokasi Desa
Wisata Kebonagung dengan total kamar sebanyak 151 kamar dan kapasitas mencapai 344 orang. (3) Pramuwisata Pramuwisata berasal dari penduduk setempat. Posisi pramuwisata tidak tetap dan sangat fleksibel, tergantung pada kebutuhan dan kondisi.
70
(4) Toko, Warung Makan, Warung Kelontong Karena letak Desa Kebonagung berada diperlintasan jalur alternatif Bantul – Gunungkidul, dan merupakan daerah objek wisata, maka keberadaan toko dan warung cukup banyak. (5) Telekomunikasi Jaringan telepon sudah masuk dan ada beberapa wartel yang masih aktif digunakan.
Sinyal untuk telpon genggam dan
koneksi internet sudah tersedia, baik menggunakan HP maupun modem. (6) Lain-lain Beberapa fasilitas lain yang tersedia di Desa Wisata Kebonagung adalah akses jalan dan penerangan, alat kesenian, tempat pementasan, penunjang atraksi, papan nama dan sarana teknologi informasi. Semua dalam kondisi yang baik dan dapat digunakan. f.
Aksesibilitas Kondisi jalan desa cukup baik, meskipun belum seluruhnya beraspal. Akses jalan ke tiap-tiap dusun terbuka, sehingga memiliki cukup banyak alternatif jalan/trek yang bisa digunakan.
Desa
Kebonagung dapat dijangkau dari arah selatan melalui rute Gunungkidul ataupun dari arah utara, yaitu rute Bantul. Ada beberapa pilihan transportasi umum yang bisa digunakan untuk mencapai Desa Wisata Kebonagung. Dari terminal besar
71
Giwangan Yogyakarta dapat menggunakan bus umum jurusan Imogiri, lalu dilanjutkan dengan bus jurusan Gunungkidul, ataupun dapat menggunakan ojek setelah turun di terminal bus Imogiri. Bagi pengendara kendaraan pribadi ataupun biro perjalanan dari luar Yogyakarta, ketersediaan keterangan jalan (Sign Road) sudah sangat memadai. Petunjuk jalan sudah dapat ditemui ketika mulai memasuki wilayah Imogiri, maupun Bantul Kota. g. Perkembangan Kunjungan Sejak peresmian desa wisata pada tahun 2003 dan memulai promosi keluar bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bantul, tercatat kunjungan pertama masuk pada tahun 2005 dengan lama kunjungan 3 hari dan jumlah pengunjung 250 orang. Berikut profil wisatawan yang berkunjung ke Desa Kebonagung. INSTANSI DINAS 13% PARIWISATA 3%
0%
UMUM 9%
TK 3%
SMP 26%
TRAVEL AGEN 0% PERGURUAN TINGGI 6%
SD 3%
SMA 37%
0%
Gambar 8. Diagram Pie Latar Belakang Wisatawan Nusantara Sumber: Profil Desa Wisata Kebonagung
72
Dari diagram tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar pengunjung Desa Kebonagung berasal dari lembaga pendidikan TK, SD, SMP, SMA/SMK dan perguruan tinggi yaitu sebesar 75%. Hal ini sejalan dengan segmentasi pasar yang difokuskan pada lembaga pendidikan, karena paket wisata yang ditawarkan dapat menjadi bahan pembelajaran di luar kurikilum pendidikan formal yang diajarkan. Wisatawan Desa Kebonagung mayoritas berasal dari Kota Jakarta, ada beberapa sekolah di Jakarta yang telah berlangganan mengunjungi Desa Kebonagung. Pihak sekolah tertarik dengan paket wisata yang ditawarkan karena siswa-siswi yang berasal dari Jakarta dirasa perlu untuk dikenalkan dengan kehidupan pedesaan Pada tahun 2009, Desa Kebonagung menjadi salah satu desa wisata terbaik di tingkat nasional dan mendapat PNPM Pariwisata tiga periode berturut-turut, yakni tahun 2009-2011, sehingga Desa ini tidak hanya dikunjungi oleh para pelajar namun juga dikunjungi oleh Dinas Pariwisata, Insatansi dan masyarakat umum yang ingin mengetahui lokasi dan paket wisata yang ditawarkan. Dinas Pariwisata dari provinsi lain yang pernah berkunjung antara lain dari Kepualauan Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya. Mereka untuk mendapatkan informasi dalam merintis dan mengembangkan desa wisata. Berikut adalah data wisatawan yang berkunjung berdasarkan asal daerah.
73
DIY 11%
BOGOR 7%
KEP.RIAU 1%
JAKARTA 81%
Gambar 9. Diagram Pie Asal Wisatawan Nusantara ke Desa Wisata Kebonagung Sumber: Profil Desa Wisata Kebonagung Selain
dikunjungi wisatawan nusantara, Desa Kebonagung juga sering
mendapat kunjungan dari wisatawan manca negara seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Swedia, Spanyol, Perancis dan negara lainnya.
Wisatawan
mancanegara yang berkunjung memiliki motivasi untuk mengenal kegiatan masyarakat lokal, belajar tentang pertanian, belajar membuat kerajinan lokal dan mengenal kebudayaan Jawa. Berikut adalah data wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Desa Kebonagung:
74
MIX COUNTRY SWEDIA 11%
SPANYOL 5%
PERANCIS 3%
4% JEPANG 16%
SINGAPORE 36% MALAYSIA 16%
KOREA 9%
WISMAN DESA WISATA KEBONAGUNG Th.20052010
Gambar 10. Diagram Pie kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Desa Wisata Kebonagung
2.
Deskripsi Data Penelitian a. Pengelolaan Desa Wisata Kebonagung Desa Wisata Kebonagung adalah salah satu dari sekitar 42 desa wisata yang berada di Kabupaten Bantul. Desa Kebonagung dipandang telah memiliki nilai jual dan mampu mendatangkan kunjungan wisatawan. Di desa ini kehidupan pedesaan dan kegiatan bertani menjadi sektor andalan. Wisatawan dapat melakukan kegiatan pertanian seperti ngluku atau membajak sawah dan tandur atau menanam padi. Desa Wisata Kebonagung merupakan bentuk obyek wisata yang berangkat dari kemauan masyarakat dan dikelola langsung oleh masyarakat
yang dikenal dengan community based tourism
(pariwisata berbasis masyarakat).
Masyarakat memegang peranan
75
penting dalam pengelolaan dan pengembangan desa wisata sehingga partisipasi masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan pariwisata menjadi salah satu kunci keberhasilan desa wisata. 1). Perencanaan awal pembentukkan Desa Wisata Kebonagung a). Tahap identifikasi masalah dan potensi pengembangan wisata Sebelum menjadi sebuah desa wisata, Desa Kebonagung dinyatakan sebagai daerah tertinggal dan dituntut untuk mengadakan perbaikan. Sebagian besar masyarakat Desa Kebonagung
mengandalkan mata pencahariannya melalui
bertani dan memelihara hewan ternak. Para petani sendiri kebanyakan tidak memiliki lahan sendiri namun mengerjakan lahan tersebut untuk orang lain. Selain itu dahulu juga banyak masyarakat setempat yang bermata pencaharian sebagai penambang pasir di Kali Opak, karena dikhawatirkan akan terjadi erosi bila pasir terus-menerus ditambang, sehingga pada tahun 1997-1998 dibangunlah bendungan di Kali Opak yang mengaliri desa tersebut. Setelah dibangun bendungan daerah tersebut menjadi genangan dan tidak mungkin untuk ditambang lagi warga juga tidak diperbolehkan menambang pasir dalam radius 1 km dari lokasi dibangunnya bendungan. Hal ini
mengakibatkan banyak
pencahariannya.
warga kehilangan mata
76
Melihat hal tersebut Kepala Desa Kebonagung yang pada saat itu di jabat oleh Bapak Kristya Bintara memunculkan ide untuk mengembangkan pariwisata di Desa Kebonagung mengingat potensi yang bendungan yang menjanjikan untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Pemerintah desa bersama masyarakat sepakat
untuk mengangkat bendungan tersebut
sebagai obyek wisata air yang bernama “Wisata Tirta Bendung Tegal” Berbagai
atraksi
dan lomba sering diadakan di
bendungan ini seperti lomba lukis, lomba dangdut, lomba campursari dan lain-lain. Harapan warga, bendungan ini dapat mengundang banyak wisatawan untuk berkunjung ke desa ini sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka. Namun, setelah dikelola selama kurang lebih lima tahun, objek wisata ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan, menyadari adanya potensi lain yang bisa diangkat sebagai potensi kepariwisataan maka Kepala Desa Bapak Kristya Bintara, memunculkan ide penerapan wisata budaya pendidikan tani. Mulai saat itu konsep Desa
Wisata Kebon Agung mulai
dirintis. Tepatnya pada tanggal 30 September 2003, Desa Wisata Kebon Agung resmi berdiri. Desa
Wisata
Kebon
Agung
mengusung
konsep
pendidikan pertanian dan budaya. Hal ini tidak lepas dari
77
beberapa alasan yang mendasari diterapkannya konsep tersebut. Selain dari potensi terkait kekayaan budaya, dalam skala nasional Desa Kebonagung telah diakui eksistensinya pada sektor pertanian. Pada tahun 2004 Desa Kebon Agung ditetapkan menjadi juara ketahanan pangan nasional. Hal ini yang kemudian meyakinkan para tokoh masyarakat bahwa ada kesempatan dan peluang untuk mengusahakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui sektor kepariwisataan. b). Tahap sosialisasi Dalam mensosialisasikan program desa wisata kepada masyarakat, Kepala Desa Kebonagung menurunkan level kebijakan hingga tingkat RT. Sosialisasi hingga tingkat RT ini bertujuan
untuk meningkatkan rasa memiliki dengan cara
mensosialisasikan, memahamkan masyarakat desa akan makna pengembangan desa wisata yang akan dilaksanakan di desa mereka, masalah-masalah apa saja terkait pengembangan desa wisata, dan manfaat apa yang akan mereka terima dengan dikembangkannya desa wisata di desa mereka Di tingkat masyarakat Pemerintah Desa Kebonagung memberikan informasi dan membangun motivasi berupa sosialisai tentang pelatihan desa wisata kepada masyarakat, sebelum mensosialisasikan pelatihan desa wisata kepada masyarakat, terlebih dahulu Pemerintah Desa memberikan
78
pengertian kepada masyarakat tentang pentingnya desa wisata, komponen-komponen apa saja yang dibutuhkan dalam mewujudkan desa wisata. Tentu saja dalam memperkenalkan suatu program baru kepada masyarakat desa tidak terlepas dengan pro dan kontra. Pada saat itu bila ada masyarakat yang menentang, pemdes tidak
bisa
serta-merta
menentang,
masyarakat
diberi
pemahaman dan difasilitasi semacam event-event yang menurut masyarakat dapat menguntungkan. Misalnya jathilan, pemuda-pemuda Kebonagung di suruh jaga parkir, dengan begitu mereka mendapatkan uang. Dari hasil tersebut mereka akan merasakan ada manfaat langsung berupa uang parkir. c). Tahap Pengembangan rencana fasilitas. Dalam mewujudkan sebuah desa wisata diperlukan beberapa komponen. Pertama adalah lembaga/organisasi pengelola desa wisata. Pembentukkan lembaga pengelola desa wisata dilakukan dengan cara bermusyawarah. Musyawarah pembentukan lembaga pengelola tidak melibatkan seluruh warga desa, musyawarah hanya diikuti tokoh masyarakat setempat seperti Lurah, kepala dukuh, kepala dusun, ketua RT dan beberapa pemuka warga, hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak DL sebagai berikut: “Penunjukan pengurus itu memang kita pemilihan dari masyarakat, pemilihan masyarakat di sini dalam
79
artian hanya perwakilan mbak, jadi tidak seperti pemilihan lurah tiap orang punya hak milik, tidak. Jadi katakanlah pemuka-pemuka kumpul di sini kita tawarkan siapa yang di sepakati. (wawancara tanggal 23 September 2012). Pengelola desa wisata yang ditetapkan dalam musyawarah tersebut bernama Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) “Tambak Tegal Agung” yang diresmikan pada tanggal 2 Juni 2005 sebagai lembaga pengelola Desa Wisata Kebonagung. Seluruh anggota pengurus POKDARWIS ini berasal dari warga Desa Kebonagung. POKDARWIS Tambak Tegal Agung disahkan melalui Surat Keputusan Bupati Bantul Nomor 359 Tahun 2006 tanggal 16 Desember 2006 . Dengan adanya SK Bupati ini menegaskan bahwa ada jalur koordinasi yang terjadi antara pemerintah dengan pengelola dan berarti juga pada masyarakat, karena pengelola adalah warga Desa Kebon Agung sendiri. Kedua adalah fasilitas pelayanan (amenitas). dicetuskannya
ide
pembentukan
desa
Dengan
wisata,
Desa
Kebonagung mengalami perubahan fisik seperti adanya fasilitas pendukung pariwisata dan
pengembangan fasilitas
prasarana lingkungan. Fasilitas yang dibangun dalam rangka mendukung
kegiatan
wisata
antara
lain
sekretariat
POKDARWIS, pelebaran dan pengaspalan jalan, perbaikan standart homestay, pendapa pertemuan/ gazebo, papan
80
penunjuk arah, arena flying fox, museum tani dan fasilitas pendukung lainnya. Tabel 8. Fasilitas Desa Wisata Kebonagung No
Keterangan
Jumlah
1
Homestay
60 buah
2
Gazebo
3
Papan penunjuk arah
18 buah
4
Flying fox
1 paket
5
Museum tani
1 unit
6
Panggung
1 unit
1 unit
Sumber: Data POKDARWIS Desa Kebonagung Ketiga adalah promosi. Promosi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilupakan dalam menyelenggarakan desa wisata. Tujuan promosi adalah memperkenalkan produk sehingga calon wisatawan tertarik untuk membeli produk yang dimiliki Desa Kebonagung. Pada awal pengembangan desa wisata, pengelola bekerja sama dengan tour agent Tourista Tour. Promosi melalui tour agent ini dipilih karena karena Tourista
Tour
telah
memiliki
pengalaman
dalam
mempromosikan desa wisata lain seperti Desa Wisata Turi. Untuk menarik peminat bagi wisatawan Tourista Tour memiliki strategi memberikan hadiah bagi tamu nomor 100 atau kelipatannya uang sebanyak Rp 100.000,00 dan tiap
81
rombongan sebanyak 15 orang atau kelipatannya, tamu yang bernomor 16 akan mendapatkan compliment/gratis Kelompok sasaran segmen pasar adalah pelajar SMU dan SMP yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta. Harapannya para pelajar selain dapat menimba ilmu
dari
masyarakat desa dan juga menikmati keindahan alam Desa Kebonagung, pertimbangan lain kenapa sasarannya adalah pelajar karena biasanya sekolah memiliki program study tour, kesempatan ini digunakan untk meminta kepala sekolah agar study tour bisa dilakukan di desa wisata, alasan lain mengambil segmen pasar para pelajar karena jumlah mereka cukup banyak berkisar 100-300 orang, ini akan sangat membantu masyarakat desa Kebonagung, karena masyarakat sendiri yang akan menyediakan makan siang, pagi, malam disamping itu masyarakat akan menyediakan kebutuhan lainnya seperti makanan kecil, perlengkapan mandi, dll, sehingga akan menambah pendapatan masyarakat. Hal ini terlihat dari data kunjungan yang sebagian besar berasal dari Pelajar sebagai berikut:
82
Tabel 8. Daftar Wistawan Nusantara & Manca Negara Tahun 2005 s.d 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Wisman & Wisnus SMU 71 Wisman Wisman Dinas Pariwisata SMU Antonius Dinas Pariwisata Capeg PTPN XI SMU Don Bosco Gabungan Travel Agent Dinas Pariwisata Wisman SMU Kristen Ketapang II SMU Kristen Ketapang I SLTP Bina Bangsa Komisi B DPRD Instansi Pendamping Komisi B DPRD UPN Veteran WISMAN Dinas Pariwisata SMU Kristen Ketapang II Temu Anak Nasional SMA I Peka SMU Ketapang SMU Ketapang SMU Ketapang SMP Pariwisata SMP Muh. II SD Bodon DEPKES RI UII SMK PGRI SMP Jubilee Int. School
34 35 36 37 38 39
SMP Jubilee Int. School SMP Al-Azhar SMP Islamic Palace SMP Pembangunan West Spring School SMP Zhenghua
Asal Jakarta Korea Spanyol Papua Jakarta Kab. Banyuwangi JATIM Jakarta Jakarta Kab. Boyolali Swedia Jakarta Jakarta Jakarta Yogyakarta Yogyakarta Kep. Riau Yogyakarta Perancis KALTIM Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Yogyakarta Jakarta Yogyakarta Indramayu Jakarta
Jumlah 250 orang 4 orang 8 orang 10 Orang 88 Orang 12 Orang 53 Orang 86 Orang 12 Orang 8 Orang 8 Orang 84 Orang 88 Orang 120 Orang 3 Orang 20 Orang 43 Orang 45 Orang 6 Orang 3 Orang 80 Orang 287 Orang 102 Orang 74 Orang 33 Orang 37 Orang 197 Orang 40 Orang 40 Orang 69 Orang 17 Orang 94 Orang 81 Orang
Jakarta Jakarta Tangerang Jakarta Singapore Singapura
85 Orang 35 Orang 104 Orang 118 Orang 33 Orang 38 Orang
Sumber: Profil Desa Wisata Kebonagung
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
83
2). Pelaksanaan Program Desa Wisata Kebonagung Keunggulan dari konsep wisata yang ditawarkan oleh Desa Kebonagung adalah kegiatan pertanian dan kehidupan masyarakat yang masih tradisional. Latar belakang keadaan desa dengan hamparan sawah yang masih luas, adanya Bendung Tegal yang nampak indah, dan masyarakat lokal yang masih melestarikan budayanya menjadikan Desa Kebonagung layak dijadikan obyek daya tarik wisata. Dalam pelaksanaan kegiatan wisata, skenario sajian wisata dilaksanakan
seperti
berikut.
Kedatangan
dari
rombongan
wisatawan disambut oleh Pengurus POKDARWIS dan diajak ke pendopo untuk diberi pengarahan tentang jadwal kegiatan wisata yang akan dilakukan dan pembagian home stay. Setelah istirahat sejenak para pemilik homestay menjemput setiap wisatawan ke homestay yang telah ditentukan oleh pengurus POKDARWIS. Dengan waktu yang telah ditentukan, wisatawan diberi kesempatan untuk beristirahat di home stay dan berkenalan lebih jauh dengan pemilik homestay. Di sini masyarakat diberi suguhan makanan dan minuman yang dibuat oleh pemilik homestay sendiri. Makanan yang disajikan untuk wisatawan telah ditentukan oleh pengurus POKDARWIS, misalkan untuk makan siang pemilik homestay harus memasak sayur lodeh. Untuk menjaga kualitas dan kelayakan makanan yang disuguhkan kepada wisatawan, sebelumnya ada
84
pengurus POKDARWIS yang bertugas mengunjungi setiap homestay utnuk mencicipi makanan yang dihidangkan. Setelah cukup beristirahat wisatawan diajak kembali ke pendopo sekretariat POKDARWIS untuk melakukan kegiatan sesuai dengan paket wisata yang dipesan. Jika jumlah rombongan wisatawan besar ( lebih dari 50 orang), maka wisatawan akan dibagi dalam beberapa kelompok, bisanya dalam satu kelompok terdiri dari 10 arang yang akan dipandu oleh seorang pemandu wisata. Pemandu wisata berasal dari pengurus POKDARWIS sendiri yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah wisatawan, hal ini untuk menjaga pelayanan yang diberikan kepada wisatawan. Dalam paket homestay wisatawan diberi kesempatan untuk bermalam di rumah-rumah penduduk sehingga ada interaksi langsung dengan wisatawan, di sini wisatawan dapat mengenal secara
langsung kehidupan
masyarakat
desa
beserta
adat
istiadatnya. Sebagai pelengkap, pada malam harinya wisatawan akan dilibatkan pada acara tradisi kenduri. Sebelum meninggalkan Desa Kebonagung, wisatawan akan diajak menikmati keindahan Bendung Tegal. Dalam
rangka
melayani
wisatawan
yang
berkunjung,
POKDARWIS membagi tugas dengan membentuk seksi-seksi. Secara rinci, setiap tugas pengelolaan telah ditata agar tidak saling bertubrukan, sehingga hasil kerjanya mewujudkan pembagian kerja
85
yang organis, meskipun antara sektor yang satu dengan yang lain sering dibutuhkan kerja sama atau saling melengkapi a). Ketua, sekretaris dan bendahara merangkap bagian promosi Hampir seluruh seluk beluk tentang informasi desa wisata Kebonagung dikuasai oleh pengurus inti POKDARWIS yaitu Bapak Bachroni sebagai Ketua, Bapak Priya sebagai sekretasis dan Bapak Dalbiya sebagi bendahara. Mereka juga bertugas untuk menerima perminataan (order) dari berbagai elemen masyarakat yang akan mengunjungi desa wisata Kebonagung. b). Petugas Pemandu Wisata.
Orang yang bertugas untuk
memandu wisata adalah orang yang mampu memberikan informasi tentang sejarah desa Kebonagung, kegiatan wisata, serta faktor-faktor pendukung seperti soal lingkungan alam dan aktivitas tradisi budaya masyarakat. Pemandu wisata berasal dari pengurus POKDARWIS sendiri. Jika ada wisatawan asing yang berkunjung, maka pengelola biasanya akan meminta bantuan dari pihak luar seperti Tour Agent untuk
menterjemahkannya
karena
dari
pengurus
POKDARWIS sendiri belum ada yang menguasai bahasa asing. c). Petugas Parkir Sejumlah pemuda dan masyarakat sekitar Desa Kebonagung telah dipersiapkan untuk mengantisipasi banyaknya kendaraan,
86
baik mobil, bus, maupun sepeda motor yang biasanya mendadak dalam jumlah besar akan berkunjung ke Desa Kebonagung. Secara khusus desa Kebonagung tidak memiliki tempat atau lapangan parkir yang representatif. Sebagai gantinya, area yang dijadikan tempat parkir adalah di jalan desa atau halaman warga yang cukup luas. d). Petugas Pertunjukan Jatilan Jathilan adalah atraksi kuda lumping oleh pemuda dan remaja. Kelompok kesenian ini sudah terlatih, karena mereka mengikuti latihan rutin yang telah ditentukan waktunya. e). Petugas Pertunjukan Gejok Lesung Gejok lesung adalah permainan tradisional dengan memukul lesung yang dilakukan oleh 8 orang ibu-ibu dan 2 orang bapakbapak. Latihan rutin gejok lesung diadakan bila ada wisatawan yang akan berkunjung. f). Petugas Penggarap Sawah Penggarap sawah adalah seorang petani yang bertugas untuk mengerjakan sawah, mulai dari menggaru, ngluku, menanam padi. Lahan sawah dan kerbau untuk membajak sawah biasanya dipinjam dari warga setempat yang bersedia jika sawahnya digunakan untuk kegiatan desa wisata.
87
g). Petugas Distribusi Homestay Banyak wisatawan yang menginap di Desa Kebonagung, baik dalam jumlah terbatas maupun besar. Masyarakat desa Kebonagung telah menyiapkan tempat tinggal. Pembagian homestay dilakukan oleh pengurus POKDARWIS Prinsip pengelolaan Desa Kebonagung adalah pemberdayaan masyarakat untuk semua, dalam arti seluruh warga Kebonagung diusahakan untuk dapat ikut terlibat dalam mengelola program desa wisata, seperti yang diungkapkan oleh Bapak BR sebagai berikut: Saya katakan pemberdayaan murni karena contoh misal paket pertanian ini kan insyaallah yang dapetkan orang-orang tani, kalau nanti paket batik kelompok batik yang dapet, kalau gerabah ya nanti yang mengambil lempung yang dapet trus nanti kalau mungkin paket permainan anak-anak ada gobak sodor, ada engkling, ada apa nanti anak-anak Karangtaruna yang dapet kalau mungkin flying fox, perahu, anak-anak Karangtaruna yang dapat, sehingga disinikan juga ada istilahnya home industri contoh misal saya bakul apem, kalau tamu itu mau makan apem mau bikin apem sekolah caranya bikin apem ya saya yang dapet lha itu, kalau bikin geplak ya ibu-ibu yang bikin geplak yang dapat. Kalau mungkin tamu-tamu ingin bikin telur asin ya yang biasa bikin telur asin yang dapet karena mereka yang tak suruh ngajarin. Bahasa saya istilahnya pemberdayaan murni yang seperti itu. (wawancara 14 September 2012) Bermacam-macam kapasitas yang dimiliki seseorang akan selalu berperan dalam kancah aktivitas desa wisata.
Kapasitasnya
sebagai petani, pemain jathilan, pembuat makanan tradisional, tukang masak, dan sebagainya diharapkan dapat ikut merasakan
88
kehadiran aktivitas program desa wisata, dan bukan hanya dinikmati oleh kelompok tertentu. Hal ini untuk menyiasati agar tidak terjadi kesenjangan antar warga. Kehadiran desa wisata diharapkan dapat memacu kreatifitas, meningkatkan kemampuan sumber daya, serta dapat memberikan keadilan bagi setiap warga. Memang dalam satu paket kunjungan wisata tidak pernah langsung melibatkan warga masyarakat seluruh kampung. Tetapi selalu dijadwal secara proporsioanal, agar warga masyarakat dalam kurun waktu tertentu terlibat dalam pengelolaan wisata desa,dalam kurun waktu yang lain bergantian dengan warga masyarakat yang belum terlibat. Tentu saja keadilan perannya untuk andil dalam pengelolaan aktivitas desa wisata sangat diperhitungkan. Dengan demikian kehadiran program desa wisata ini tidak menimbulkan persoalan dalam kehidupan masyarakat, sebaliknya dapat memberikan kontribusi untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. 3). Evaluasi Dalam rangka memberikan pelayanan kepada para wisatawan, setiap selesai kunjungan wisatawan selalu diadakan evaluasi. Seluruh seksi POKDARWIS yang terlibat dalam kegiatan wisata melakukan rapat evaluasi berkumpul bersama untuk membahas mengenai kekurangan atau kelemahan ketika sedang memberikan pelayanan
kepada
para
wisatawan.
Bila
telah
ditemukan
89
kekurangannya, maka akan mendapat saran dari masyarakat untuk meningkatkan diri dengan latihan secara teratur. Misalnya pentas gejlog lesung atau jathilan terdapat kesalahan, maka untuk meningkatkan kualitas pentasnya dilakukan latihan yang lebih mendalam. Dengan demikian pengelolaan desa wisata ini juga merupakan bentuk peningkatan kualitas keahlian masyarakat untuk mendalami bidangnya. Jadi keuntungan dari pengelolaan desa wisata ini jelas semata-mata tidak hanya memberikan kontribusi secara ekonomis, tetapi juga meningkatkan keahlian sumber daya masyarakat. b.
Partisipasi
Masyarakat
dalam
Pengelolaan
Desa
Wisata
Kebonagung Prinsip penting dalam pengelolaan desa wisata berbasis masyarakat (CBT) adalah pelibatan masyarakat lokal dalam setiap aspek wisata. Keterlibatan masyarakat lokal sebagai kunci utama dari prinsip
pengembangan
CBT
menurut
Drake
(1991)
dapat
diimplementasikan dalam 3 era yaitu: perencanaan (planning stage), pelaksanaan (implementation stage), serta dalam hal mendapatkan manfaat atau keuntungan (share benefit) baik secara ekonomi maupun sosial budaya. 1). Partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan Pembentukkan Desa Wisata Kebonagung berawal dari dibangunnya bendungan Tegal. Melihat potensi bendungan yang
90
menjanjikan, Kepala Desa yang pada saat itu dijabat oleh Bapak Kristya Bintara memiliki gagasan untuk mengangkat bendungan tersebut sebagai obyek wisata. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat belum sepenuhnya dilibatkan dalam rencana pembentukkan desa wisata. Hal ini terlihat dari tidak dilibatkannya seluruh masyarakat dalam musyawarah rencana pengembangan wisata di desa Kebonagung, pemerintah desa hanya mengajak tokoh masyarakat setempat sebagai wakil dari masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh pengurus POKDARWIS Bapak PR: “Lha ketika ngumpulkan itu hanya tokoh-tokoh masyarakat tertentu sering kumpul saya Pak Bahroni, pak Lurah dan beberapa tokoh temasuk mendatangkan beberapa tokoh dari desa wisata provinsi dalam rangka mengembangkan itu jadi kalau ga ada tokoh memang ga bisa lha pada waktu itu saya selaku ketua BPD dan Pak Lurahnya Pak Kristiobintoro belum lurah yang ini jadi antara BPD sama lurah desa awalnya seperti itu.” Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Bapak BR sebagai berikut: “...akhirnya dulu kita dengan pemerintah desa, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh warga, tokoh agama ini ya kita bareng-barenglah nggagas bagaimana kalau seandainya bendung itu kita manfaatkan sebagai obyek wisata, lha dulu muncul sepakat oke, kita jadikan menjadi wisata tirta yang dulu kita kasih nama Wisata Tirta Bendung Tegal,.... kita kelola selama lima tahun kan tidak berkembang terus bahasa kita kan sudah lelah lima tahun kita kelola kita even-even kegiatan disana namun tidak ada orang yang mau nengok, akhirnya lima tahun tidak berkembang sama sekali bagaimana itu kita sikapi, kita kumpul lagi, bareng-bareng kita sepakati membuat sebuah program baru, karena masyarakat kita yang
91
dulunya seperti itu warga disini juga seperti itu bagaimana seandainya kita itu membentuk sebuah desa wisata yang kata orang-orang pinter itu anak-anak kota kan sudah jenuh di kota terus penginnya back to nature katanya....,” (wawancara tanggal 14 September 2012) Dari paparan tersebut dapat dilihat bahwa dalam perencanaan pengembangan wisata di Desa Kebonagung aktor yang terlibat adalah tokoh masyarakat lokal yang ada di desa wisata tersebut seperti Pemerintah Desa, Kepala Dukuh, Kepala Dusun, Ketua RT dan Tokoh Agama dan dibantu oleh beberapa tokoh dari desa wisata provinsi. Selain itu dalam mengidentifiksi potensi wisata masyarakat juga tidak dilibatkan. Proses identifikasi potensi wisata dilakukan oleh pemerintah desa beserta staffnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak DB: “waktu perencanaan identifikasi potensi wisata dulu memang hanya pak Lurah dan stafnya. Jadi dulu itu memang terbentuknya bendung tegal memang terlihat indah. Jadi dulu Pak Lurah adalah Pak Krisbiantoro, mengingat warga Kebonagung kususnya di pinggiran sungai Opak ini katakanlah memang warganya tertinggal dalam artian memang sebagai petani tapi hanya sebagai buruh seperti yang saya sampaikan itu, lha beliau punya gagasan untuk menambah income masyarakat karena terbentuknya bendung tegal yang nampak indah itu bentuknya desa wisata”. ( wawancara 23 September 2012) Bila ditinjau dari penilaian masyarakat, sebagian besar masyarakat mendukung terhadap perencanaan pengembangan Desa Wisata Kebonagung, namun masyarakat kurang dilibatkan dalam hal diskusi membahas proses perencanaan pengembangan
92
desa wisata. Diskusi yang diselenggarakan selama ini masih kurang karena tidak diselenggarakan secara berkala, sehingga masyarakat tidak mengikuti dan mengerti proses pengembangan pariwisata di Desa Kebonagung. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan hanya berupa dukungan terhadap rencana pembentukan desa wisata. Dukungan ini terlihat dari banyaknya warga yang setuju terhadap pembentukkan desa wisata, sementara pembuat keputusan adalah pemimpin lokal seperti Pemerintah Desa, Kepala Dukuh, Kepala Dusun, Ketua RT dan Tokoh Agama.
Dukungan masyarakat
Desa Kebonagung diberikan karena adanya rasa solidaritas dan Rasa memiliki Desa Kebonagung yang bertujuan untuk membangun desanya. 2). Partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan. Dalam pelaksanaan program kegiatan wisata, belum seluruh masyarakat Desa Kebonagung ikut berpartisipasi. Sebagaian besar masyarakat yang berpartisipasi langsung maupun tidak langsung pada CBT mengganggap aktivitas kepariwisataan di desa mereka sebagai kegiatan paruh waktu. Seperti yang diungkapkan oleh pengelola : ”Masyarakat menganggap kegiatan wisata hanya sebagai kegiatan selingan paruh waktu yang cukup menghasilkan. (wawancara tanggal 14 September 2012)
93
Sementara masyarakat yang tidak ikut berpartisipasi berpendapat bahwa penghasilan yang diperoleh dari desa wisata tidak seberapa dan tidak bisa diandalkan. Selain itu masyarakat lokal masih sedikit sekali yang berpendidikan cukup serta kultur petani telah terbangun lama, sehingga membuat masyarakat Kebonagung
lebih tertarik pada mata pencaharian sektor
pertanian dan peternakan dari pada industri wisata sebagai salah satu alternatif penghasilan yang potensial. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program wisata berupa keterlibatan dalam pengelolaan fasilitas (amenitas), keterlibatan dalam pengelolaan atraksi (attraction)
wisata,
keterlibatan dalam pelatihan/peningkatan pelayanan wisata dan keterlibatan dalam pengembangan aksesibilitas desa wisata. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan fasilitas wisata dan
servis/objek
(Amenity)
yakni
dalam
pembentukan
POKDARWIS “Tambak Tegal Agung”, keterlibatan masyarakat masih kurang. Mayoritas masyarakat berpendapat bahwa pada saat pembentukkan POKDARWIS, masyarakat tidak dilibatkan. Proses pembentukkan POKDARWIS dilakukan dengan dipilih perwakilan dari setiap RT, dari tahap tersebut disaring lagi orangorang yang memiliki loyalitas tinggi dalam mendukung pengelolaan Desa Wisata, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Bapak DB sebagai berikut:
94
“Penunjukan pengurus itu memang kita pemilihan dari masyarakat, pemilihan masyarakat di sini dalam artian hanya perwakilan dari tiap RT mbak, jadi tidak seperti pemilihan lurah tiap orang punya hak milik, tidak. Jadi katakanlah pemuka-pemuka kumpul di sini kita tawarkan siapa yang di sepakati. (wawancara tanggal 23 September 2012” Selain dalam kepengurusan POKDARWIS bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan fasilitas wisata adalah sebagai penyedia homestay, yang secara keseluruhan berjumlah 85 homestay yang dapat menampung 340 orang, sementara itu warga yang
tidak
memiliki
homestay
berpartisipasi
dengan
menyedikanan fasilitas wisata lainnya seperti kamar mandi, sarana air bersih, dan joglo sebagai tempat pertemuan, seperti yang diungkapkan oleh Bapak PR sebagai berikut: “Dia berpartisipasi dalam hal ini dibagi lagi dalam masyarakat tadi kan ada yang setuju dan tidak setuju lha konstribusi masyarakat kan sekarang kan ada dua ada masyarakat yang memiliki homestay dan tidak memiliki homestay. Lha yang memiliki homestay ini jelas dia kontribusi dengan homestanya yang tidak memiliki homestay ya tetap tidak mengganggu, tidak merugikan dan juga ikut berpartisipasi. Contoh tahu kan joglo itu ketika belum ada kamar mandi yang layak, depannya ada kamar mandi maka ada event di situ wisatwan mandi, buang air. Kamar mandi itu pun dikasih entah itu lima ribu atau sepuluh ribu, dua puluh ribu tergantung pemasukkan kita” (wawancara tanggal 29 September 2012) Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa meskipun ada masyarakat yang tidak setuju dengan pengembangan desa wisata, mereka tidak mengganggu bahkan mereka tetap mendapat keuntungan dengan kehadiran wisata di desa mereka karena
95
hanya dengan menyediakan kamar mandi mereka pun mendapat penghasilan. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan atraksi wisata (attraction). Masyarakat
dilibatkan dalam kegiatan wisata
dibawah koordinasi seksi-seksi POKDARWIS. Bapak-bapak lebih terlibat dalam pengelolaan paket wisata pertanian, paket kerajinan, dan paket tradisi budaya, ibu-ibu dilibatkan dalam pengelolaan konsumsi dan paket kesenian seperti gejlog lesung sementara Karangtaruna diberi tugas untuk mengelola paket wisata outbound, permainan anak dan jathilan. Sementara paket memasak seperti membuat apem, telur asin, emping melinjo diserahkan kepada pemilik industri rumah tangga di Desa Kebonagung. Keterlibatan
masyarakat
dalam
pelatihan/peningkatan
pelayanan wisata. Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dinas Pariwisata bekerjasama dengan pihak-pihak luar juga sering mengadakan
pelatihan-pelatihan
untuk
pengelola
maupun
masyarakat sekitar. Eka Supriyadi, Kepala Desa Kebon Agung membenarkan hal tersebut. Berdasarkan wawancara lebih lanjut dengan jajaran Kepala Dusun, mereka juga menjelaskan tentang adanya pelatihan-pelatihan yang cukup banyak dari berbagai bidang termasuk untuk kepariwisataan di Kebon Agung yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal
96
maupun perguruan tinggi lokal. Hal ini disambut positif oleh warga dengan adanya antusiasme yang cukup tinggi. Hanya saja banyak dari beberapa program khususnya terkait pelatihan, yang dirasa
oleh
warga
sangat
mendukung
tetapi
tidak
ada
keberlanjutannya. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan akses dan infrastruktur (aksesibilitas). Desa Kebonagung menjadi salah satu dari 11 desa yang menerima dana PNPM Mandiri Pariwisata dan dijadikan Desa Percontohan dalam rangka pengembangan pariwisata. Tujuan dari PNPM pariwisata adalah meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat terutama masyarakat miskin melalui pengembangan desa wisata. Desa Wisata Kebonagung mendapat bantuan PNPM Mandiri Pariwisata 3 kali berturut-turut yaitu tahun 2009, tahun 2010 dan tahun 2011. Tahun 2009 Desa Kebonagung mendapat dana PNPM Pariwisata sebesar Rp 50.000.000,00. Dana tersebut digunakan untuk pengadaan sarana pementasan dan peralatan gejlog lesung, sehingga diharapkan warga Desa Kebonagung dapat melestarikan kesenian gejlok lesung dan dapat melakukan pementasan dalam acara penyambutan wisatawan yang berkunjun. Pada tahun 2010 Desa Kebonagung kembali mendapat dana PNPM Pariwisata sebesar Rp 62.000.000,00 yang digunakan untuk beberapa
97
kegiatan yakni pelatihan bahasa Inggris, pelatihan kerajinan, pelatihan dan pengadaan sarana kesenian Jathilan, serta pelatihan dan pengadaaan sarana outbond ( flying fox). Masuknya PNPM Pariwisata telah mengubah lingkungan desa yang tadinya kumuh menjadi bersih dan rapi. Hal ini ditunjang dengan pembangunan infrastruktur jalan, sekolah dan pemberian Kredit SPP PNPM Mandiri bagi masyarakat yang ingin berwirausaha ataupun yang ingin merenovasi rumah sehingga layak menjadi homestay. . Berdasarkan
uraian
di
atas
masyarakat
yang
sudah
berpartisipasi aktif terdiri dari anggota POKDARWIS, pemilik home stay, pengrajin lokal dan kelompok karangtaruna, mereka yang selama ini memberi pelayanan jasa, menyewakan homestay, menyelenggarakan atraksi wisata, dan memberikan info seputar Desa Wisata Kebonagung. 3). Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan hasil Pengembangan Desa Wisata Kebonagung ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama anggota masyarakat, dalam hal ini hasil dari pengembangan desa wisata harus bisa dirasakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik itu manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Dari segi ekonomi, dengan berpartisipasi dalam pengelolaan desa wisata, masyarakat mendapat tambahan pendapatan dari jasa yang mereka sediakan.
98
Misalnya dalam paket homestay, harga yang ditawarkan oleh pengelola jika tidak terjadi negosiasi dengan wisatawan adalah Rp 100.000,-
maka pemilik homestay akan mendapatkan Rp
40.000,- dari setiap tamu yang menginap. Jika dua tamu yang menginap dua malam maka pemilik homestay dalam dua hari mendapatkan penghasilan sebesar Rp 160.000,- . penghasilkan sebesar ini belum tentu didapatkan masyarakat dalam dua hari jika hanya bekerja sebagai petani biasa. Manfaat dari segi ekonomi tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam pengelolaan desa wisata saja, masyarakat yang tidak turut berpartisipasi pun turut merasakan manfaat pengembangan desa wisata yaitu dengan adanya
dana
pengembangan
komunitas,
jadi
berdasarkan
kesepakatan bersama setiap ada wisatawan yang menginap POKDARWIS akan menyetorkan uang ke kas RT sebesar Rp1000,00 pemilik homestay yang rumahnya dijadikan untuk menginap pun juga menyetorkan uang sebesar Rp2000,00 untuk setiap tamu yang menginap, menurut pengurus POKDARWIS pemasukkan terbesar Kas RT berasal dari setoran POKDARWIS dan pemilik homestay, selain itu manfaat yang dapat dirasakan sejak ditetapkannya sebagai desa wisata, Desa Kebonagung menjadi ramai dikunjungi orang, hal ini dimanfaatkan penduduk sekitar untuk membuka warung. Seperti yang diungkapkan oleh
99
penjual mie ayam yang mengaku bahwa kini warungnya dikunjungi banyak pembeli seperti berikut: ” “Sekarang ini Kebonagung sudah semakin ramai. Meski bukan karena para wisatawan yang datang menginap, tetapi nama Bendung Tegal sudah cukup dikenal dan banyak yang datang kesini untuk sekedar duduk-duduk di bawah pohon dan memesan mie ayam.”( wawancara 23 September 2012) Nilai manfaat dari segi sosial budaya adalah, sejak ditetapkannya menjadi desa wisata, lingkungan Desa Kebonagung menjadi lebih bersih, masyarakatnya pun juga lebih sadar akan kebersihan, seperti yang diungkapkan oleh Bapak BR sebagai berikut: “...ya Alhamdulillah di pedukuhan sini tu kondisinya dari pedukuhan yang lain tu kondisinya beda, situasinya beda wonge wes do gelem ngguya ngguyu lha ini kan lain, rumahnya juga jadi agak bersih, Insyaallah kalau mau nengok kan kamar-kamar yang tergabung dalam homestay kan insyaallah setiap saat siap untuk dikunjungi” (wawancara 13 September 2012) Selain
itu
dari
segi
sosial
budaya
manfaat
dengan
dikembangkannya desa wisata adalah keberlanjutan adat dan budaya lokal di Desa Kebonagung hal ini terbukti dengan adanya penawaran paket wisata yang bersifat mengangkat budaya lokal seperti gejlog lesung, jathilan, karawitan, dan lain-lain. 4). Faktor yang menjadi kendala dalam peningkatan partisipasi. Selama ini kegiatan pariwisata hanya aktif pada beberapa dusun saja, yakni dusun Jayan, Talaban, Tegal dan Mangsan. Hal ini dikarenakan pada tahun 1998, pariwisata berpusat pada daya
100
tarik wisata Bendung Tegal yang berlokasi di Dusun Tegal. Pada saat awal dibentuknya desa wisata, kesekretariatan POKDARWIS terletak di dusun Jayan dan sekarang pindah lokasi di Dusun Talaban. Faktor yang menjadi kendala dalam peningkatan partisipasi masyarakat antara lain: a). Masih rendahnya kesadaran masyarakat desa Kebonagung akan manfaat dari desa wisata. Hal ini bisa dilihat dari kurangnya keinginan masyarakat untuk menjaga lingkungan, ini salah satu unsur dari keberhasilan program desa wisata yang kemudian berdampak pada kebersihan lingkungan yang merupakan faktor pendukukng menjadikan desa sebagai desa wisata. Selain itu ada semacam hitung-hitungan dalam pemikiran masyarakat, bahwa segala sesuatu harus mendapat imbalan, sedangkan pendapatan dari desa wisata sendiri tidak dapat diandalkan. b). Persebaran daya tarik wisata yang tidak merata. Lokasi daya tarik wisata hanya ada di beberapa dusun yakni dusun Candran, Kebon, Talaban, Jayan, Tegal, Onggopatran, Tanayang dan sepanjang kali Opak. Museum Tani dan Joglo berlokasi di Dusun Candran. Pengrajin lokal cetak gerabah dan batik tulis berlokasi di
Dusun Kebon, kesekretariatan
POKDARWIS, Jathilan, Kandang Kelompok dan Joglo
101
terletak di Dusun Talaban. Atraksi Gejlok Lesung terletak di Dusun Jayan. Flying fox, kegiatan outbound, bendung Tegal, Monumen Gempa, Ketoprak Lesung terletak di Dusun Tegal. c). Pola
Kunjungan
Wistawan
selama
berada
di
Desa
Kebonagung. Dikarenakan persebaran daya tarik wisata hanya ada di beberapa dusun yakni dusun Candran, Kebon, Talaban, Jayan, Tegal, Onggopatran, Tanayang dan sepanjang Kali Opak sehingga pola kunjungan hanya pada Dusun tersebut. d). Persebaran masyarakat yang mendukung priwisata menjadi penyebab mengapa lokasi sebaran homestay hanya terletak di dusun Jayan, Talaban, Tegal dan Mangsan. Pada dusun Talaban terdapat 20 Homestay, dusun tegal terdapat 16 homestay dan dusun mangsan terdapat 3 Homestay. c.
Peran Organisasi dalam Peningkatan Partisipasi Masyarakat Peran
organisasi
dalam
pengelolaan
pariwisata
berbasis
masyarakat adalah sangat besar. Peran organisasi ini untuk akomodasi partisipasi masyarakat. Saat ini desa wisata Kebonagung telah memiliki organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sendiri yaitu Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Tambak Tegal Agung. POKDARWIS berperan dalam memberi informasi pariwisata sekaligus membangun kesadaran kepada masyarakat sebagai tuan rumah yang baik dalam memajukan wisata di Desa Kebonagung. Tujuannya mengembangkan kreatifitas masyarakat lokal yang bernilai
102
pariwisata seperti mengorganisir masyarakat, menyusun program desa wisata. POKDARWIS ini dibina dan diberi pelatihan oleh Dinas Pariwisata tentang pengelolaan dan pengembangan desa wisata dan membuka wawasan masyarakat di desa Kebonagung. Guna meningkatkan kualitas SDM di desa wisata di Kabupaten Bantul, berdasarkan Rencana Strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul tahun 2006-2010, Dinas Pariwisata Kab.Bantul mewujudkan salah satu kebijakan dalam hal memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat,
kelestarian
potensi,
kerjasama
lintas
sektoral,
memasyarakatkan SAPTA PESONA, melibatkan peran stake holder, serta berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada wisatawan. Program peningkatan kualitas SDM sektor pariwisata pembinaan
POKDARWIS,
Pelatihan
masyarakat
yakni
pendukung
kepariwisataan, pemberdayaan pelaku wisata oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul sangat mendukung Desa Wisata
Kebonagung
khususnya dalam hal peningkatan kualitas para pelaku wisata dan masyarakat lokal dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan. Jumlah seluruh anggota POKDARWIS adalah 40 orang. Menurut hasil wawancara kepada pengurus POKDARWIS, dari jumlah 40 orang anggota tersebut yang aktif berperan dalam pengelolaan desa wisata Kebonagung kurang lebih hanya 15 orang anggota saja. Berdasarkan anggaran dasar POKDARWIS Tambak Tegal Agung masa bakti kepengurusan POKDARWIS maksimum 5 tahun. Akan
103
tetapi dalam pelaksanaannya sejak berdirinya POKDARWIS yaitu pada tahun 2005 belum pernah ada pergantian pengurus. Menurut pengurus POKDARWIS sendiri hal ini disebabkan karena masyarakat sendiri yang kurang tertarik untuk berpartipasi sebagai pengurus, seperti yang dikemukanan oleh Ketua POKDARWIS Bapak BR seperti berikut: “belum ada yang tertarik karena apa terus terang kadangkadang anak-anak kita pun juga apa to yang kita dapat dari desa wisata ini, ya memang belum menjajikan... Kalau orang yang kerjanya profesional kan mending kerja yang pasti. Kalau seperti ini kan ya mohon maaf ga bisa dijagake. Prinsip kami dengan yang sepuh-sepuh ini pokoknya dasari sing ikhlas kita ngabdi kita berjuang itu saja. Wong nek ana tamu ora mung aku sing seneng sak desa melu seneng itulah kebanggaan kami terutamanya itu.” (wawancara tanggal 29 September 2012)
Dari
petikan
wawancara
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
masyarakat belum tertarik untuk menjadi pengurus POKDARWIS karena penghasilan menjadi pengurus tidak bisa diandalkan. Mereka lebih memilih menekuni pekerjaan mereka sehari-hari sedangkan pengurus POKDARWIS sendiri bekerja mengelola desa wisata Kebonagung dengan prinsip pengabdian tanpa mengharap penghasilan yang banyak. Sementara itu
pendapat lain dikemukakan oleh salah satu
anggota Karangtaruna Desa Kebonagung. Dia berpendapat bahwa Karangtaruna tidak dilibatkan dalam kepengurusan Desa Kebonagung. Seperti yang diungkapkan oleh EK,
104
“Pas pemilihan pengurus kan ketua elemen RT, pak dukuh barang kae karo warga dilibatke, dadi aku dimasukke neng sekretaris karo sik ketua pemudane jayan ya dimasuke, lha kumpulan meneh to wis ra melibatkan koyo dukuh koyo rt barang, terus mung ngelibatke anggota POKDARWIS, kumpulane kaya di setting kae koq, usul-usul apa wae kae di cut karo wong tua-tua kaya mbah prapto, kaya dalbiya barang kae di cut-cut lha kumpulan meneh koyo ngono kui meneh dadine kaya wis dikon kowe ngene-ngene nha kaya neng perusahaan kae. Koe nyatet iki yo, gah nek modele mung kaya ngono kui duit barang ora reti.” (wawancara 30 September 2012) (waktu pemilihan pengurus kan Ketua elemen RT, Pak Dukuh dan warga dilibatkan, jadi saya dan pemuda dari Jayan dimasukkan, ada kumpulan lagi sudah tidak melibatkan seperti Dukuh dan RT, terus hanya melibatkan anggota POKDARWIS, kimpulannya seperti disetting, usul apa aja dipotong oleh orang-orang tua seperti mbah prapto dan Pal DB. Lha kumpulan lagi seperti itu lagi jadinya seperti sudah disuruh kamu gini-gini nha seperti diperushaan itu. Kamu mencatat ini, ya kalau kaya gitu tidak mau kalau modelnya seperti itu keuangan saja tidak tahu.)
Dari wawancara tersebut diketahui bahwa ada misscommunication antara POKDARWIS dengan Karangtaruna Desa Kebonagung. POKDARWIS beranggapan bahwa masyarakat kurang antusias untuk menjadi pengurus pokdarwis, sementara karangtaruna menganggap bahwa POKDARWIS tidak memberikan akses pemuda untuk ikut dalam
kepengurusan
Pokdarwis.
Sebagai
generasi
penerus
berlanjutnya Desa Wisata Kebonagung seharusnya karangtaruna dibina dan diberi kesempatan untuk ikut dalam kepengurusan POKDARWIS.
105
d.
Pro dan Kontra yang terjadi terkait pengelolaan Desa Wisata Kebonagung. Salah satu pendukung dapat berkembangnya kepariwisataan adalah adanya kehendak bersama masyarakat untuk mengembangkan pariwisata setempat. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar masyarakat setuju terhadap pengembangan pariwisata di Desa Kebonagung hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam pengelolaan desa wisata misalka terlibat dalam sebagai pengurus POKDARWIS, telibat dalam pengelolaan amenitas, fasilitas dan atraksi wisata seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Di samping banyak warga yang mendukung, dalam pengelolaan sebuah desa wisata tidak terlepas dari adanya permasalahanpermasalahan yang dapat menghambat perkembangan desa wisata. Dari
hasil
wawancara
dengan
pengurus
POKDARWIS
dan
masyarakat, ditemukan adanya beberapa masalah terkait pengelolaan desa wisata Kebonagung masalah tersebut antaralain dimulai dari rencana pengembangan desa wisata, pada awal dikembangkannya desa wisata Kebonagung sebagian warga bersikap apriori. Desa Kebon Agung mengawali prosesnya sebagai desa wisata pada tahun 1998, disertai apriori sebagian warga karena rendahnya rasa percaya diri pada kekayaan alam di desa mereka, seperti yang diungkapkan oleh Bapak BR sebagai berikut: “
106
"Masyarakat desa itu kalau namanya wisata itu kan konotasinya hal-hal negatif, sehingga setelah kita pahamkan mereka itu ya paham. Kan dulunya ah apa mungkin seperti ini jadi obyek wisata, apa mungkin jadi desa wisata, terus wisata ini konotasinya yang tidak baik...” Selain sikap apriori dari masyarakat berdasarkan keterangan yang didapat dari pengurus POKDARWIS pada saat awal pengembangan desa wisata terjadi penolakkan dari warga. Penolakan sebagai desa wisata antara lain ditunjukkan lewat tingginya permintaan ganti rugi oleh warga yang pekarangannya terkena pelebaran jalan. Padahal, pekarangan itu merupakan tanah becek, penolakkan warga juga ditunjukkan dengan sulitnya mengajak warga untuk bergotong royong menjaga kebersihan seperti yang diungkapkan oleh Bapak BR beikut: “...dulu waktu saya datang kesini, kebetulan saya kan tinggalnya disana di Telaga jadi Kebonagung paling Selatan, kalau datang kesini kadang-kadang warga masyarakat kan sudah susah dulu ya karena kita itu program tu harus jalan konsepnya harus jelas, yang pertama kita kan menyadarkan warga masalah kebersihan, masalah gotong royong ya segala sesuatu. Itu kan kita sering datang kesini paling kalau Jumat bersih itu kami datang kesini untuk ajak-ajak warga untuk ini-untuk ini kan jadi musuh, nggak ada yang mau bahkan pak Dal itu bilang Pokdarwis itu kelompok modar yo wis waktu itu, tetapi Alhamdulillah kurun waktu sekian saat 2005 sudah ada mulai tamu akhirnya warga itu sadar ohh ternyata seperti ini to, kita berupaya bagaimana caranya kita mencari tamu, setelah ada tamu, tamu makan minum tidur kita perhitungkan itungannya kita serahkan kepada warga kan “oh ternyata betul”, akhirnya kan warga berlomba. Namun setelah beberapa tahun berjalan, pada tahun 2005 tamutamu mulai berdatangan ke desa wisata, masyarakat mulai menyadari peran desa wisata. Mereka melihat tetangga-tetangga mereka mendapat tambahan pendapatan dari penginapan Rp 15.000,000 –
107
Rp 20.000,00 per tamu per malam, akhirnya warga berlomba untuk terlibat dengan menjadikan rumah mereka sebagai homestay. Selanjutnya masalah yang terjadi terkait pengelolaan desa wisata adalah dalam hal pengelolaan keuangan. Masyarakat berpendapat bahwa dalam pengelolaan pendapatan desa wisata, pokdarwis tidak transparan, masyarakat tidak diberitahu berapa pemasukkan yang didapat dan berapa pengeluaran yang digunakkan untuk menunjang desa wisata. Bahkan saat mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah POKDARWIS tidak membuat laporan pertanggung jawabannya. Hal ini
mengakibatkan
kesalahpahaman
antara
warga
dengan
POKDARWIS. Pada tahun 2010 masyarakat dari dusun Tegal melakukan demonstrasi di Kantor Kelurahan Kebonagung menuntut adanya laporan pertanggungjawaban dana. Masyarakat berfikir bahwa pengadaan fasilitas wisata tidak sesuai dengan dana PNPM yang didapat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pemuda dusun jayan EK: “nek diitung-itung 20 juta koq yo gebangeten, sajane 20 juta yo entuk pepakan duit akeh je, sik ngompori kan wong kene njuk dilumpuke kae neng klurahan, Lurahe yo seh enom emosinan wes gayeng” (kalau dihitung-hitung 20 juta koq ya keterlaluan, seharusnya 20 juta ya dapat komplit, uang banyak, yang memprofokasikan orang sini, terus dikumpulkan di kantor kelurahan) Peristiwa
serupa
juga
diungkapkan
oleh
pengurus
POKDARWIS Bapak BR seperti berikut: “Dulu itu kita pernah didemo, “bubarke pokdarwis wae (bubarkan pokdarwis saja)” semua
108
masyarakat dibalai desa tapi ya setelah kita jelaskan dananya untuk ini-ini mereka ya paham ternyata gitu to, ya ga ada apa-apa.” Lurah Desa Kebonagung menjembatani pertemuan publik antara POKDARWIS dengan masyarakat. Setelah di beri penjelasan oleh POKDARWIS masyarakat pun paham dan bisa menerima penjelasan dari POKDARWIS. Dari petikkan tersebut dapat diketahui bahwa terjadi kesalahpahaman antara POKDARWIS dengan masyarakat. Pokdarwis seharusnya lebih transparan dalam pengelolaan keungan agar tidak terjadi lagi konflik antara POKDARWIS dengan warga. Masalah selanjutnya dalam pengelolaan desa wisata adalah adanya dua desa wisata dalam satu wilayah. Desa wisata lainnya yang berada di Desa Kebonagung adalah Kampung Wisata Candran yang didirikan oleh tokoh yang sama yang menggagas pengembangan Desa Kebonagung yaitu bapak Kristiya Bintara. Awal mula berdirinya Kampung Wisata Candran yang terletak di Dusun Candran yang merupakan bagian dari Desa Kebonagung ini bermula dari didirikannya Museum Tani. Berdasarkan keterangan yang didapat, pada tahun 2006 terjadi gempa yang meruntuhkan museum tani yang telah ada sebelumnya. Pemerintah ingin merintis kembali Museum Tani tersebut dan memberikan bantuan dana sebesar RP 250.000.000,Pengurus POKDARWIS bersama Kepala Desa bermusyawarah mengenai lokasi dibangunnya Museum Tani, sementara di lain pihak Bapak Kristya Bintara telah menyusun akta notaris bahwa Museum
109
Tani adalah rintisannya dan ditempatkan dirumahnya. Kronologi lebih lanjut mengenai pembangunan Museum Tani diungkapakan oleh Bapak DB seperti berikut: “Berawal begini mbak dulu kita mempunyai museum tani dulu kita wujudkan berjalannya waktu singkatnya kita memperoleh dana, gempa kan hilang terus pemerintah ada anggaran untuk merintis kembali 250 juta lha pak lurah kan mengambil sidang tapi Pak K menyikapi di tempatkan di rumahnya Pak Kris akhirnya dia mempunyai Museum Tani. Tapi dulu itu yo tarik ulur bikin keju pikiran tapi yo wis monggolah. Lha dulukan kita sudah bertemu dengan Pak Lurah Pak Eko kita diajak berembug kita siapkan tanah di sini-sini eh ternyata beliau nyusun akta notaris kalau museum ini rintisan dia terus akhirnya kan keduluan dia. Jadi Pak K itu tanpa lurah bisa meraup, kalau saya kan ndak berani walaupun istilahnya lurah itu usia anak saya, apapun kan orang tua saya, pimpinan saya, komandan saya”(wawancara tanggal 14 September 2012)
Dengan
dibangunnya
Museum
Tani
di
Dusun
Candran
mengakibatkan terjadinya perpecahan antara Dusun Candran dengan Desa Kebonagung. Di Dusun Candran tersebut juga dikembangkan kampung wisata yang menawarkan paket wisata yang sama dengan desa wisata kebonagung. Hal ini mempengaruhi kunjungan wisatwan ke Desa Kebonagung dan menimbulkan persaingan yang kurang sehat antara Dusun Candran dengan Desa Kebonagung. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak DB berikut: “Ini dulu tu tamu yang kemarin sudah survey ke saya jauh-jauh hari, kita tunjukkan harga paket kita sampaikan juga kita tetep nego memang karena Pak K itu pandai lobi-lobinya dan Pak K sering ke ugm juga, yang kemarin itu tamu dari ugm juga itu kan langsung ditangkap Pak K. Jadi kami tu memang menjual paket mahal seperti yang saya sampaikan tadi karena personel kita banyak dan juga pelayanan harus memperhatikan betul-betul. Pak kris hanya tiga orang iya to, operasionalnya
110
lebih mudah. Dan Pak K kan tidak menjual paket seperti ini mbak. Ya beliau menjual paket hanya begini, contoh misal paket pertanian sekian rupiah itu tidak, Pak K itu punya dana berapa lha nanti bisa itu” ( wawancara 14 September 2012) Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa adanya persaingan yang kurang baik antara Desa Kebonagung dengan dusun Candran. Sosok Pak K sebagai pendiri kedua desa wisata tersebut memiliki akses dan pengaruh lebih besar di tingkat atas sehingga lebih mudah dalam mendapatkan wisatawan.
B. Pembahasan 1. Desa Wisata Kebonagung sebagai Community Based Tourism Community based tourism (CBT) merupakan suatu bentuk obyek daya tarik wisata yang muncul karena adanya inisiatif dan motivasi dari masyarakat lokal, dikelola oleh masyarakat lokal dan bertujuan untuk mengkonservasi lingkungan, dan budaya masyarakat lokal, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut. Menurut Natori konsep CBT menekankan pada 3 hal yaitu : 1) terpeliharanya mutu dan kelanjutan sumber daya alam dan budaya/ keseimbangan, 2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, 3) serta terwujudnya kepuasan wisatawan. Ketiga konsep tersebut telah dilaksanakan di Desa Wisata Kebonagung meskipun belum terlaksana secara maksimal. Kontribusi terhadap terpeliharanya
mutu
dan
kelanjutan
sumber
daya
alam
dan
budaya/keseimbangan diwujudkan melalui produk-produk wisata yang berorientasi pada alam pedesaan, kegiatan pertanian tradisional, dan
111
pelestarian adat kesenian masyarakat lokal. Pengelolaan produk wisata tersebut secara tidak langsung mendorong masyarakat desa Kebonagung untuk
melestarikan
alam
dan
kebudayaan
yang
dimiliki
demi
berlangsungnya kegiatan wisata di desa Kebonagung. Hal tersebut sesuai dengan konsep CBT yaitu CBT harus memberikan kontribusi dalam peningkatan konservasi sumber daya alam dan budaya. Kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal diwujudkan melalui peningkatan pendapatan pariwisata yang sebagian dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang terlibat dalam aktifitas pariwisata. Peningkatan pendapatan yang diperoleh masyarakat berasal dari keterlibatan masyarakat sebagai penyedia homestay, pemilik lahan sawah yang digunakan dalam kegiatan wisata, pemilik kerbau atau sapi yang digunakan untuk membajak, sebagi pelaksana atraksi, dan lain-lain. Kepuasan wisatawan diwujudkan dalam pelayan yang diberikan oleh masyarakat, wisatawan dianggap seperti keluarga sendiri sehingga tercipta keakraban antara wisatawan dengan masyarakat. Selain wisatawan mendapatkan ilmu tentang kearifan lokal yang yang masih dilestarikan, masyarakat pun juga mendapat pengetahuan baru mengenai modernitas yang dibawa oleh wisatawan Desa wisata Kebonagung merupakan salah satu obyek daya tarik wisata yang berbentuk CBT yang berjalan karena adanya partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat Desa Kebonagung mulai dari perencanaan, pembentukan pengelola desa wisata, hingga pelaksanaan
112
kegiatan desa wisata, baik dalam
bentuk kontribusi ide, ketrampilan,
waktu, dana, maupun tenaga, dapat dikategorikan dalam tingkatan partisipasi. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dilihat melalui proses pembentukkan pengelola desa wisata, bentuk partisipasi masyarakat dan banyaknya masyarakat yang terlibat telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. a. Level partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
Desa
Wisata
Kebonagung Desa wisata Kebonagung bila dilihat dari proses terbentuk dan pengelolaanya, merupakan suatu daerah tujuan wisata yang berbentuk CBT yang diartikan suatu bentuk obyek daya tarik wisata yang muncul karena adanya inisiatif dan motivasi dari masyarakat lokal, dikelola oleh masyarakat lokal, dan bertujuan mengkonservasi lingkungan dan budya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbentuknya desa wisata Kebonagung berawal dari dibangunnya Bendungan Tegal yang nampak indah serta keindahan alam desa Kebonagung yang masih asri dan aktivitas masyarakatnya yang sebagian besar petani tradisional. Potensi tersebut menjadi input bagi terbentuknya desa wisata yang menghasilkan produk wisata pertanian, pertunjuakan kesenian daerah, pembuatan
kerajinan tradisional, outbound, dan aktivitas sosial
ekonomi masyarakat sebagai output dari des wisata. Proses terpenting dalam pengelolaan desa Wisata Kebonagung adalah partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan mulai dari
113
perencanaan, pengelolaan hingga evaluasi. Faktor yang mendorong masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengelolaan desa Kebonagung antara lain adanya kepentingan untuk mendapatkan kontribusi dari pelayanan yang diberikan, adanya solidaritas sebagai kesatuan masyarakat, dan adanya keinginan yang sama untukmeningkatkan perekonomian masyarakat. Keterlibatan Kebonagung
masyarakat
dapat
dalam
digolongkan
pengelolaan
dalam
desa
beberapa
wisata
tingkatan.
Penggolongan tingkat partisipasi dilihat dari dimensi partisipasi yang dikemukakan Cohen dan Uphoff, yaitu apa partisipasi yang dilakukan, siapa yang melakukan partisipasi dan bagaimana partisipasi dilakukan. Penggolongan partisipasi dalam setiap tahapan adalah seperti berikut 1) Partisipasi masyarakat dalam tahap Perencanaan Dalam mengidentifikasi potensi wisata masyarakat tidak dilibatkan, identifikasi potensi wisata hanya dilakukan oleh pemerintah desa beserta stafnya. Dalam penyusunan kebijakan/ program pengembagan desa wisata tidak semua masyarakat terlibat,
musyawarah
penyusunan
kebijakan/program
hanya
melibatkan pemerintah desa dan tokoh masyarakat setempat, tokoh masyarakat tersebut sebagai wakil dari masyarakat. Dalam pembentukkan organisasi pengelola desa wisata tidak semua masyarakat
dilibatkan,
musyawarah
pembentukan
lembaga
pengelola tidak melibatkan seluruh warga desa, musyawarah hanya
114
diikuti tokoh masyarakat setempat seperti Lurah, kepala dukuh, kepala dusun, ketua RT dan beberapa pemuka warga. Tabel 9. Dimensi Partisipasi Tahap Perencanaan Siapa yang berpartisipasi
Bagaimana partisipasi dilakukan
Pemimpin lokal
- Menyampaikan ide gagasan pembentukkan desa wisata - Mengidentifikasi potensi wisata - Merumuskan produk wisata - Sebagai fasilitator, motivator dan pendamping
Lurah, kepala dusun, Ketua RT
Pegawai pemerintah
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bantul Masyarakat Masyarakat Masyarakat menyetujui sasaran Desa pembentukkan desa wisata Kebonagung Kebonagung yang telah ditetapkan melalui musyawarah perangkat desa dengan beberapa tokoh masyarakat Masyarakat di Mendukung rencana luar kelompok pengembangan desa wisata sasaran Sumber: diolah oleh penulis
Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembentukan desa wisata mengacu pada tangga partisipasi Arnstein dapat digolongkan ke dalam tingkat partisipasi Kedua yaitu Paradigma Penghargaan Semu (Degrees of Tokenism), pada tingkatan ini masyarakat dapat memperoleh
informasi
dan
memberikan
informasi
kepada
pemegang kekuasaan tetapi kewenangan tetap ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Aktor yang berperan dalam pengambilan Keputusan adalah pemimpin Lokal yaitu Kepala Desa, Kepala
115
Duku dan Ketua RT sementara bentuk partisipasi masyarakat adalah berupa persetujuan/ dukungan dibentuknya desa wisata. Level
partisipasi
yang diharapkan
dalam
mewujudkan
community based tourism adalah level partisipasi self mobilization yang membentuk kemandirian masyarakat dalam pengelolaan obyek wisata. 2) Level Partisipasi Masyarakat pada tahap pelaksanaan Bentuk
partisipasi
masyarakat
dalam
pelaksanaan
pengelolaan desa wisata antara lain sebagai pemilik homestay, sebagai anggota pokdarwis, sebagai pelaku atraksi wisata, sebagai pemilik sawah yang digunakan untuk ativitas wisata. Masyarakat berpartisipasi atas keinginan sendiri dengan harapan memperoleh insentif dari jasa yang diberikan.
116
Tabel 10. Dimensi Partisipasi Tahap Pelaksanaan Siapa yang berpartisipasi Pemimpin
Lurah,
lokal
Kepala
Bagaimana partisipasi dilakukan RT,
-
Dusun Pegawai
Dinas
-
pemerintah
kebudayaan
memberi bantuan pembangunan
dan
fasilitas desa wisata
pariwisata
-
menjadi
media
promosi dan
memberikan
pelatihan
pengembangan skill Masyarakat
Masyarakat
sasaran
Lokal
- Masyarakat kepengurusan
ikut
dalam
POKDARWIS
sebagai lembaga pengelola desa wisata - Masyarakat sebagai pelaksana desa wisata meliputi pemilik homestay, pelaksana atraksi, dan petugas parkir - Masyarakat
menikmati
hasil
pengembangan desa wisata Masyarakat
Perguruan
diluar
tinggi
kelompok
tour agent
Sebagai media promosi
dan
sasaran
Sumber: diolah oleh penulis Jika dilihat dari siapa yang berpartisipasi dan bagaimana partisipasi dilakukan maka pada tahap pelaksanaan desa wisata, tingkat partisipasi masyarakat dapat digolongkan dalam tingkat kekuatan masyarakat (citizen power), dimana pada tahap ini merupakan puncak partisipasi tertinggi di mana masyarakat
117
mempunyai kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan kebijakan publik dan sumberdaya yang digunakan. Pada tahap pelaksanaan program desa wisata Kebonagung tingkat partisipasi tersebut ditunjukkan dengan pengelolaan desa wisata yang secara langsung dikelola oleh masyarakat lokal dan hasil dari pengembangan desa wisata juga dinikmati oleh masyarakat sendiri. 3) Partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi Evaluasi pengelolaan desa wisata dilakukan setiap selesai kunjungan wisata. Seluruh seksi POKDARWIS dan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata melakukan rapat evaluasi berkumpul bersama untuk membahas mengenai kekurangan atau masalah yang terjadi ketika sedang memberikan pelayanan kepada para wisatawan. Bila telah ditemukan kekurangannya, maka akan mendapat saran dari masyarakat untuk meningkatkan pelayanan yang lebih baik kepada.
118
Tabel 11. Dimensi Partisipasi Tahap Evaluasi Siapa yang berpartisipasi
Bagaimana partisipasi dilakukan
Pemimpin
-
-
-
-
Masyarakat
Pokdarwis
- Masyarakat
Sasaran
dan
atas kegiatan wisata yang telah
masyarakat
dilakukan
Lokal Pegawai Pemerintah meberikan
saran
lokal Masyarakat
-
-
Luar sasaran
Sumber: Diolah oleh penulis Pada tahap evaluasi bentuk partisipasi masyarakat berupa sumbangan kritik dan saran. Aktor utama yang berperan dalam tahap evaluasi ini adalah POKDARWIS sebagai organisasi pengelola. Jika dilihat dari siapa dan bagaimana partisipasi dilakukan maka pada tahap evaluasi partisipasi masyarakat dapat digolongkan pada tingkat degree of tokenism, dimana pada tingkat ini telah melakukan dialog kepada publik yang berarti masyarakat memiliki hak untuk didengar pendapatnya meskipun tidak secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan, karena pengambilan keputusan dilakukan oleh POKDARWIS sebagai organisasi pengelola. Partisipasi dari masyarakat dapat berjalan karena adanya pengerahan, pelatihan, bimbingan dari berbagai pihak seperti, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten bantul, Perguruan
119
Tinggi dan Lembaga Swadaya masyarakat. Pengarahan, bimbingan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat tersebut didukung dengan adanya regulasi mengenai keberadaan Desa Wisata Kebonagung melalui SK Bupati. Desa wisata Kebonagung juga telah memenuhi tiga faktor utama yang harus dipenuhi dalam CBT yaitu: 1. Membangun
antusias
pengembangan
komunitas
yang
diwujudkan melalui pembentukkan organisasi pengelola desa wisata yaitu POKDARWIS Tambak Tegal Agung, sebagai basis aktivitas masyarakat dalam pengelolaan desa wisata dan sebagai
sarana
mempermudah
komunikasi
dengan
pemerintah maupun lembaga lain
dalam berbagai hal,
termasuk
wisata.
dalam
promosi
desa
Keberadaan
POKDARWIS sebagai suatu organisasi masih terbatas pada penyediaan basis informasi dan aktivitas masyarakat, serta promosi-promosi usaha yang terorganisir, tetapi belum mampu
menciptakan
pengembangan
komunitas
yang
sistematis karena belum semua warga Kebonagung mampu berkembang melalui keberadaan desa wisata 2. Menjamin keberlanjutan lingkungan masyarakat, sumber daya dan kepuasan wisatawan melalui pemetaan sumberdaya yang ada dan dijadikan sebagai produk wisata yang siap jual. Pelibatan masyarakat
sebagai pemandu wisata, penyedia
120
homestay, pelaksana atraksi dan lain-lain membuka peluang penambahan penghasilan masyarakat. Penjaminan terhadap keberlanjutan sumberdaya alam dan budaya dapat dilakukan dengan hadirnya desa wisata, namun hadirnya desa wisata ini belum mampu menciptakan lapangan kerja yang tetap dan hanya bersifat penambah penghasilan masyarakat saja. 3. Menyeimbangkan keberlanjutan lingkungan masyarakat, sumber daya dan kepuasan wisatawan melalui pengelolaan yang dilakukan langsung oleh masyarakat lokal, menjadikan produk wisata kesenian dan tradisi masyarakat seperti gejlog lesung dan kenduri sebagai upaya menjaga kelestarian budaya masyarakat dan membuka kritik dan saran yang diajukan oleh wisatawan kepada pengelola desa wisata. Keberadaan pengelola Desa Wisata Kebonagung sebagai wadah atau organisasi kegiatan masyarakat telah mampu menjadi basis kegiatan masyarakat di bidang pariwisata dan menjadi penggerak masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan alam dan budaya Desa kebonagung. Meskipun keberadaan desa wisata Kebonagung belum mampu menciptakan lapangan kerja tetap bagi masyarakat karena pengelolaannya yang bertujuan untuk pemberdayaan, tetapi masyarakat Kebonagung telah memperoleh peluang penambahan penghasilan melalui pemanfaatan aset yang
121
dimiliki seperti homestay, menyewakan lahan pertanian dan kerbau untuk membajak sawah, sebagai pemandu wisata, pelaksana atraksi wisata, dan lain-lain. Jadi secara umum Desa kebonagung telah memenuhi tiga faktor utama Desa Wisata Kebonagung sebagai CBT yang memiliki POKDARWIS sebagai basis kegiatan pariwisata yang beranggotakan
masyarakat
lokal,
produk-produk
wisata
pertanian dan budaya sebagai pelestarian lingkungan dan keberlanjutan tradisi
yang akan menimbulkan kepuasan
wisatawan akan produk wisata yang ditawarkan Desa Wisata Kebonagung. 2.
POKDARWIS sebagai Community Based Organization (CBO) Dua indikator penting dari sekian banyak indikator keberhasilan desa wisata adalah: pertama adanya kemandirian institusi lokal (local institution) serta kedua adalah tersedianya sumber daya manusia (man power) yang memadai dalam melaksanakan pembangunan desa wisata (Demartoto: 2009: 127). Kemandirian institusi lokal ini sangat penting karena sebagai basis aktivitas masyarakat dalam pengelolaan desa wisata, sementara ketersediaan sumber daya manusia yang visioner, tangguh dan profesional juga akan menjadi faktor kunci penopang keberhasilan program Desa Wisata. Menurut Esman dan Uphoff (dalam Soetomo, 2006:456) institusi pada tingkat lokal yang menjadi penghubung antara sektor privat dengan
122
sektor publik dapat
diklasifikasikan kedalam
6 macam
yaitu:
a) Administrasi lokal yang merupakan kepanjangan tangan atau perwakilan pemerintah pusat pada tingkat lokal. b) Pemerintah lokal yang mempunyai otoritas untuk menyelenggerakan pembangunan dan membuat regulasi yang dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. c) Asosiasi lokal yang keanggotaannya
bersifat sukarela yang
dikembangkan untuk berbagai tujuan. d) Koperasi yang merupakan alat kerjasama. e) Organisasi pelayanan lokal yang mewadahi warganya dalam saling membantu timbal balik. f) Usaha perorangan di bidang usaha Saat ini desa wisata Kebonagung telah memiliki organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sendiri yaitu Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS). Berdasarkan pada sifat keanggotaannya POKDARWIS dapat dikategorikan dalam organisasi lokal yang keanggotaannya bersifat sukarela, dapat dikatakan demikian karena POKDARWIS merupakan kelompok
swadaya
oleh dan untuk masyarakat
dan serta
swakarsa bertujuan
yang
tumbuh dari,
untuk
meningkatkan
pengembangan pariwisata daerah dan mensukseskan pembangunan pariwisata nasional. Dengan demikian kelompok sadar wisata merupakan kelompok yang tumbuh atas inisiatif dan kemauan serta kesadaran masyarakat sendiri guna ikut berpartisipasi aktif memelihara dan melestarikan berbagai obyek dan daya tarik wisata dalam rangka meningkatkan pembangunan kepariwisataan di daerah.
123
POKDARWIS Desa Kebonagung dibentuk pada tanggal 2 Juni 2005 dan diberi nama “Tambak Tegal Agung”. Peran POKDARWIS adalah menjadi mediator antara Dinas Priwisata dan Kebudayaan dengan masyarakat lokal. POKDARWIS ini dibina dan diberi pelatihan oleh Dinas Pariwisata tentang pengelolaan dan pengembangan desa wisata dan membuka wawasan masyarakat di Desa Kebonagung. Tujuan dari POKDARWIS
adalah
untuk
mempromosikan
pariwisata
Desa
Kebonagung dan memberdayakan masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas POKDARWIS dibentuk sebagai organisasi berbasis masyarakat ( Community Based Organization). Salah satu tujuan utama CBO adalah untuk pemberdayaan masyarakat. Secara garis besar peran peran CBO dalam pemberdayaan masyarakat mencakup tiga hal yaitu capacity building, penguatan kelompok, dan networking. Berdasarkan
hal
tersebut
maka
peran
yang
dijalankan
oleh
POKDARWIS sebagai CBO dalam pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut: a. Capacity building Pengertian capacity building
mencakup pembangunan sumberdaya
manusia melalui pembekalan individu dengan pemahaman akan masalah, skill, akses terhadap informasi, pengetahuan serta pelatihan yang sekiranya membuat mereka mampu menyelesaikan masalah secara efektif. Peran dalam capacity building terlihat pada program yang dilaksanakan POKDARWIS untuk meningkatkan pengetahuan
124
masyarakat Desa Kebonagung tentang pengelolaan desa wisata. POKDARWIS
menjadi aktor, motivator, komunikator dalam
mewujudkan Sapta Pesona di masyarakat. Masyarakat yang mayoritas adalah petani sebelumnya tidak
tahu apa-apa tentang pariwisata,
dengan adanya POKDARWIS yang bertugas mensosialisasikan dan mengajak masyarakat untuk sadar wisata telah membuka wawasan masyarakat tentang manfaat pengembangan wisata di desa mereka. Dengan adanya POKDARWIS kini masyarakat sadar akan SAPTA PESONA pariwisata dan mengetahui bagaimana melayani wisatawan. b. Penguatan Kelompok Penguatan kelompok dilakukan dengan memobilisasi masyarakat untuk melakukan tindakkan bersama (collectiv action), dalam hal ini sebagai CBO
peran
POKDARWIS
Tambak
Tegal
Agung
adalah
menggerakkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengembangan Desa Wista Kebonagung. c. Networking Networking adalah jaringan baik berbentuk kemitraan, kerjasama, donor, maupun bentuk asosiasi denga pihak internal dan eksternal. Peran POKDARWIS dalam networking terlaksana dengan kerjasama yang dilakukan POKDARWIS dengan pihak lain eksternal seperti Dinas Pariwisata dan kebudayaan, Perguruan Tinggi, desa wisata lain, tour agent dan pihak lain yang berkaitan dengan promosi desa wisata. dalam lingkup internal POKDARWIS berperan dalam menciptakan
125
jaringan antar dusun Di Desa Kebonagung. Pengurus POKDARWIS yang merupakan perwakilan dari tiap dusun secara tidak langsung telah menciptakan jaringan antar dusun yang satu dengan dusun yang lainnya dalam hal pengelolaan wisata. Pemberdayaan yang dilakukan oleh POKDARWIS sebagai CBO bukanlah sesuatu yang datar-datar saja. Ada dinamika tersendiri yang dialami
oleh
POKDARWIS
dalam
menjalankan
perannya.
Permasalahan tersebut datang baik dalam organisasi sendiri maupun dari masyarakat. Dalam suatu struktur organisasi tertentu tidak semua pengurus ikut berpartisipasi aktif dalam program. Jumlah seluruh anggota POKDARWIS adalah 40 orang, tetapi menurut hasil penelitian daari 40 orang tersebut yang secara aktif berperan dalam pengelolaan desa wisata kurang lebih hanya 15 orang, hal ini dikarenakan keanggotaan POKDARWIS bersifat suka rela sehingga tidak ada intensif yang diberikan kepada anggota yang menyebabkan kurangnya motivasi dari anggota untuk berperan aktif dalam pengelolaan. Masalah lain yang terjadi adalah tidak adanya regenerasi kepengurusan POKDARWIS, dalam anggaran dasar POKDARWIS Tambak Tegal Agung disebutkan bahwa masa bakti kepengurusan adalah 5 tahun, akan tetapi sejak dibentuknya POKDARWIS tahun 2005 hingga sekarang belum pernah ada regenerasi kepengurusan. Menurut anggota POKDARWIS masyarakat belum tertarik untuk ikut
126
terlibat menjadi anggota karena penghasilan yang didapat dengan menjadi anggota POKDARWIS tidak dapat diandalkan. Tidak adanya regenerasi kepengurusan POKDARWIS ini akan berpengaruh terhadap pemberdayaan yang dilakukan. Salah satu fungsi pemberdayaan adalah proses belajar sosial. Proses belajar sosial ini berlangsung secara berkesinambungan dan terus menerus bukan melalui jalur pendidikan formal melainkan melalui pengalaman dalm kehidupan bersama. Dalam aplikasinya ke dalam CBO proses belajar sosial diartikan sebagai proses interaksi sosial diantara warga masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah yang seringkali dilakukan melalui trial dan error (Tjokrowinoto dalam Soetomo, 2006:411). Dengan tidak adanya regenerasi dalam kepengurusan POKDARWIS maka proses belajar sosial masyarakat menjadi kurang optimal. Masyarakat yang tidak menjadi anggota POKDARWIS tidak memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dalam organisasi POKDARWIS.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Wisata Kebonagung adalah sebagai berikut: 1.
Pengelolaan Desa Wisata Kebonagung dilaksanakan secara langsung
oleh
POKDARWIS
masyarakat adalah
lokal
melalui
organisasi
yang
POKDARWIS. dibentuk
beranggotakan masyarakat Desa Kebonagung.
dan
Desa Wisata
Kebonagung sebagai suatu bentuk CBT telah menerapkan tiga prinsip CBT meskipun belum terlaksana secara maksimal. Desa Wisata Kebonagung telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan konservasi sumber daya alam dan budaya, dan kontribusi terhadap peningkatan ekonomi lokal, melalui produk wisata yang berorientasi pada alam pedesaan, kegiatan pertanian tradisional, dan pelestarian tradisi adat dan kesenian Jawa yang ditawarkan kepada wisatawan. 2.
Partisipasi yang tergambar dalam pengelolaan Desa Wisata Kebonagung adalah sebagai berikut a
Pada
tahap
pembentukan
Desa
Wisata
Kebonagung
masyarakat kurang dilibatkan. Ide pembentukan dan keputusan
127
128
pengembangan desa wisata dibuat oleh kepala desa dan tokoh masyarakat setempat. Namun demikian dari
daya dukung
masyarakat terhadap pengembangan kepariwisataan, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat mendukung pengembangan kepariwisataan di desanya. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah tingkat partisipasi Kedua yaitu Paradigma Penghargaan Semu (Degrees of Tokenism), aktor yang berperan dalam pengambilan keputusan adalah pemimpin Lokal yaitu Kepala Desa, Kepala Dukuh dan Ketua RT sementara bentuk partisipasi masyarakat adalah berupa persetujuan/ dukungan dibentuknya desa wisata. b
Pada tahap pelaksanaan program desa wisata, secara kuantitas jumlah masyarakat yang berperan aktif dalam pengelolaan desa wisata masih sedikit. Berdasarkan hasil penelitian, hal tersebut dikarenakan masyarakat belum paham
mengenai
pariwisata dan belum mengetahui manfaat pariwisata yang tidak hanya bedampak pada peningkatan ekonomi namun juga dibentuknya masyarakat yang kreatif dan mandiri. Mayoritas masyarakat hanya memilih menjadi buruh tani dan peternak, dikarenakan mereka masih ragu-ragu dengan kualitas kerja mereka sendiri, mereka masih malu dalam menghadapi wisatawan yang berkunjung karena kondisi ekonomi, tempat tinggal dan kemampuan berbahasa Indonesia yang kurang.
129
Kurangnya dukungan dari pemerintah desa menjadi salah satu faktor
kurangnya
partisipasi
aktif
masyarakat.
Bentuk
keterlibatan masyarakat pada tahap pelaksanaan adalah sebagai anggota POKDARWIS, sebagai pengelola amenitas, atraksi dan fasilitas wisata. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan dapat digolongkan ke dalam tingkat citizen power, dimana pada tahap ini merupakan puncak partisipasi tertinggi di
mana
masyarakat
mempunyai
kewenangan
untuk
memutuskan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan kebijakan publik dan sumberdaya yang digunakan. c
Pada tahap evaluasi bentuk partisipasi masyarakat berupa sumbangan kritik dan saran. Aktor utama yang berperan dalam tahap evaluasi ini adalah POKDARWIS sebagai organisasi pengelola. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi dapat digolongkan ke dalam tingkat degree of tokenism.
3.
Pro dan Kontra yang terjadi dalam masyarakat antara lain, sikap pro masyarakat ditunjukkan yaitu dukungan masyarakat dengan ikut menjaga kebersihan lingkungan dan ikut terlibat dalam keanggotaan POKDARWIS, terlibat dalam pengelolaan atraksi, fasilitas dan amenitas wisata. Sementara kontra yang terjadi di masyarakat antara lain sikap apriori pada awal pengembangan desa wisata, pengelolaan keuangan yang tidak transparan sehingga terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat, adanya dua
130
desa wisata dalam satu wilayah yaitu Desa Wisata Kebonagung dan Kampung wisata Chandaran yang menawarkan paket wisata yang sama. B.
Saran Berdasarkan hasil penelitian maka dirumuskan beberapa saran sebagai berikut: 1. Sosialisasi tentang kepariwisataan yang merata untuk memberikan pemahaman yang komperhensif mengenai pariwisata, desa wisata dan pariwisata berbasis masyarakat kepada seluruh masyarakat di Desa Kebonagung oleh pihak terkait dalam hal ini Dinas Pariwisata dengan mengundang Praktisi Wisata seperti LSM atau Perguruan Tinggi. 2. Penguatan sadar Wisata melalui penyelenggaraan event-event wisata yang melibatkan seluruh masyarakat Desa Kebonagung seperti penyelenggaraan lomba memedi manuk, menyelenggarakan lomba dayung dan atraksi wisata lainnya secara berkala. 3. Peningkatan sharing komunikasi yang lebih terbuka, transparan dan berkala melalui rapat evaluasi setiap bulan sehubungan dengan pengelolaan dan pendapatan desa wisata dengan di dampingi oleh perangkat desa sehingga dapat meminimalkan kesenjangan sosial dan konflik dalam masyarakat. 4. Kerja sama dengan pihak swasta seperti tour agent untuk mempromosikan Desa Wisata karena selama ini belum ada kerja sama yang jelas hitam di atas putih dengan pihak swasta.