BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini, eksil banyak dijadikan sebagai tema pembicaraan di berbagai kalangan masyarakat Indonesia meskipun istilah tersebut tidak dapat ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Eksil dalam kamus bahasa Inggris disebut “Exile”, yang diartikan sebagai expulsion from one's native land by authoritative decree atau a person banished from his or her native land. Artinya, eksil merupakan istilah untuk menyebutkan tragedi pembuangan atau pengasingan seseorang dari rumah atau tempat asal. Pengasingan para eksil tersebut dapat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, politik, atau budaya. Dalam sejarah Indonesia, eksil lebih banyak disebabkan karena faktor politik. Taktik eksil ini digunakan dalam praktik kekuasaan untuk menyingkirkan orang-orang yang dinilai membahayakan kekuasaan pemerintah. Misalnya pada masa pemerintahan kolonial, Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker diasingkan ke Belanda pada tahun 1920-an akibat mendirikan Indische Partij yang dianggap membahayakan bagi kekuasaan pemerintah kolonial. Taktik pengasingan tidak hanya digunakan oleh pemerintah kolonial saja. Jauh setelah masa kolonial berakhir, yaitu masa pasca-kolonial, praktik pengasingan ini dinilai efektif untuk pendisiplinan warga. Di era pemerintahan Orde Baru praktik ini cukup banyak ditemui. Awal kekuasaan pemerintah Orde Baru ditandai dengan penculikan dan pembunuhan jenderal pada malam 30
1
2
September 1965. Berbagai pihak kemudian menyudutkan orang-orang komunis sebagai tertuduh dan telah melakukan upaya pemberontakan terhadap negara (Sulistyo: 2000:47-61 dan Roosa, 2008: 68-72). Mereka, baik yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung, kemudian dikucilkan, ditangkap, dibunuh, atau dibuang di tempat-tempat terpencil. Orang-orang yang dikucilkan dan dibuang ini dapat disebut sebagai eksil. Para eksil pada masa Orde Baru tersebut ternyata tidak hanya dibuang di tempat asing yang ada di Indonesia, melainkan juga di luar negeri. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang ketika peristiwa 1965 meletus sedang berada di luar negeri untuk berbagai macam keperluan, seperti bersekolah, menjalankan tugas sebagai diplomat, atau rombongan undangan dari pemerintah Cina untuk menghadiri perayaan ulang tahun partai komunis Cina. Orang-orang tersebut selanjutnya dianggap sebagai simpatisan komunisme karena sebagian dari mereka berada di negara yang pro terhadap komunis sehingga keberadaan dan kepulangan mereka tidak diharapkan lagi di negeri ini. Akibatnya, mereka harus melakukan perjalanan ke beberapa negara asing yang mau menerima keberadaan mereka. Mereka kemudian memiliki kewarganegaraan baru sesuai dengan negara yang mereka tinggali. Yang menarik dan patut diberikan perhatian dari peristiwa pengasingan tersebut adalah sebagian besar para eksil menghasilkan karya seni di tanah pengasingan. Salah satu karya seni yang mereka ciptakan adalah karya sastra, seperti puisi, cerpen, atau novel. Banyak kalangan yang menyebut karya para eksil ini dengan istilah sastra eksil. Kehidupan di lingkungan baru atau nostalgia terhadap Indonesia menjadi bahan utama karya mereka. Alex Soepartono (2001:
3
30) mencatat dan mengumpulkan sekitar 75 judul karya eksil, baik yang sudah atau belum diterbitkan, semuanya berbahasa Indonesia dan lebih 80% diantarannya berbicara tentang Indonesia. Menanggapi fenomena ini, Asahan Alham (2002) dalam sebuah pendahuluan buku kumpulan puisi Di Negeri Orang mengatakan, “Sastra eksil bukan satu aliran, tapi suatu kekhususan, ia ujud. Kekhususan itu wajar sebagai akibat peristiwa yang menimbulkan banyak ketidakwajaran terutama bagi sastrawan dan seniman eksil yang hidup di luar tanah airnya, dan terpisah dari masyarakat bangsanya, teman-temannya, dan keluarganya”. Beberapa eksil mengirimkan dan menerbitkan karya mereka di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari fenomena beberapa tahun terakhir ini, yaitu pada era 2000-an kesusastraan Indonesia diramaikan dengan terbitnya beberapa karya sastra yang bertemakan eksil. Sebut saja novel Pulang karya Leila S. Chudori (2012), kumpulan cerpen Menuju Kamar Durhaka: Sepilihan Cerita Pendek Karya Sastrawan Eksil (2002), buku Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil (2002) yang berisi 15 penyair yang dianggap ‘eksil’, kumpulan cerpen Di Pengasingan karya Syarkawi Manap (2007), tiga kumpulan cerpen karya Soeprijadi Tomodihardjo, yaitu Kera di Kepala (2006), Cucu Tukang Perang (2011), dan Lelaki Pencari Langit (2012), dan beberapa karya lainnya. Jika dilihat rentang waktu penulisan dan penerbitan, sebagian besar karyakarya para eksil muncul di Indonesia beberapa tahun setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Artinya, kekuasaan pemerintah yang telah menolak kehadiran para eksil karena dianggap—terlibat secara langsung maupun tidak langsung—komunis mulai longgar. Masa ini dapat dikatakan sebagai momentum
4
yang tepat bagi para eksil untuk mengirimkan karya-karya mereka ke Indonesia. Dengan kata lain, ada sebagian dari diri eksil yang dapat kembali ke Indonesia, yaitu ide, pikiran, dan perasaan yang direpresentasikan melalui karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan karya-karya para eksil tersebut patut diberikan perhatian. Perhatian masyarakat terhadap karya eksil dapat dilihat dari upaya penerbitan karya-karya eksil di Indonesia dan kemudian ditanggapi dengan berbagai macam kajian-kajian terhadap eksil Indonesia beserta karya sastra mereka. Hal ini sebagai bukti bahwa sastra eksil menarik untuk dikaji. Misalnya, Hesri Setiawan (2009) dengan artikelnya yang berjudul Sastra Eksil Indonesia, Saut Situmorang (2009) menulis esai berjudul Sastra Eksil, Sastra Rantau sebagai kritik terhadap terbitnya buku Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, Alex Supartono (2001) menulis rekaman jejak kehidupan pengarang Utuy Tatang Sontani dalam artikel berjudul “Rajawali Tak Bisa Pulang: Karya-karya Eksil Utuy Tatang Sontani”, Iryan Ali Herdiansyah (2011) menuliskan makalah Karya Sastra Eksil Sebagai Ungkapan Kesepian Utuy TS, dan beberapa tulisan lainnya. Keberadaan eksil Indonesia ini juga menarik perhatian akademisi di luar negeri, seperti Dorothea Schaefter (2009) dengan artikelnya berjudul Indonesian Literature in Exile, 1965-1998, Bambang Alfred Sipayung (2011) dengan tesisnya berjudul Exiled Memories: The Collective memory of Indonesian 1965 Exiles yang diterbitkan oleh Institute of Social Studies (Netherlands), atau David T. Hill (2008) dengan makalahnya berjudul Knowing Indonesia Afar: Indonesian Exile and Australian Academics.
5
Beberapa kajian mengenai eksil Indonesia, khususnya yang berkaitan karya sastra eksil memiliki kecenderungan yang sama. Pertama, kajian-kajian tersebut lebih banyak mengulas para pengarang eksil yang telah banyak dikenal masyarakat atau memiliki nama besar, khususnya di Indonesia. Para pengarang eksil yang sering dibicarakan, seperti Agam Wispi, Utuy Tatang Sontany, atau Sitor Situmorang. Kecenderungan semacam ini menimbulkan kekhawatiran sendiri, yaitu para pengarang eksil dengan nama besar dijadikan stereotipe eksil Indonesia ataupun karya sastra eksil pada umumnya. Artinya, para eksil lainnya akan tetap mengalami pengucilan meskipun sebagian dirinya telah “pulang” ke Indonesia melalui karya mereka. Kedua, ada satu poin penting yang luput atau bahkan dikesampingkan oleh para pemerhati karya sastra eksil, yaitu berkaitan dengan cerita perjalanan yang dituangkan para eksil di dalam karya sastra. Selama ini belum ada kajian yang menyoroti karya eksil dari segi cerita perjalanannya. Perlu diingat bahwa perpindahan ruang geografis—bisa disebut dislokasi geografis—adalah bagian penting dari kehidupan pengarang sebagai eksil, orang yang terusir dari tanah air. Eksil kemudian berada dalam masyarakat dan kebudayaan yang asing bahkan ia menjadi bagian di dalamnya. Hal ini sesuai dengan konsep perjalanan dari Carl Thompson. Thompson (2011: 10) menjelaskan bahwa seseorang melakukan perjalanan berarti telah melakukan gerakan melalui ruang. Perjalanan melalui ruang ini pada akhirnya menghasilkan negosiasi antara diri dan lainnya yang pada gilirannya akan membentuk sebuah tatanan sosial yang baru, yang melampaui batas-batas sosial dan kultural setempat. Negosiasi yang dilakukan oleh eksil inilah yang menarik untuk dibahas lebih lanjut.
6
Untuk itu, penelitian kali ini akan mengangkat tema eksil, khususnya pada karya sastra eksil dalam kerangka cerita perjalanan seperti yang dijelaskan Carl Thompson. Salah satu eksil Indonesia yang konsisten menceritakan perjalanan hidup eksil—baik kisah dirinya sendiri maupun kisah eksil lain—dalam bentuk karya sastra adalah Soeprijadi Tomodihardjo. Soeprijadi memang tidak setenar Agam Wispi ataupun Utuy, tetapi mengangkat Soeprijadi dapat melengkapi kajian-kajian pengarang eksil yang telah ada. Soeprijadi adalah seorang eksil yang tinggal di Jerman. Awalnya, Soeprijadi adalah anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pada bulan September-Oktober 1965 menghadiri undangan ke Beijing untuk kegiatan liputan acara peringatan ulang tahun partai komunis Cina. Peristiwa G30S menyebabkan dirinya tidak dapat kembali ke Indonesia. Pada akhir 1970 Soeprijadi meninggalkan daratan Cina menuju ke Eropa Barat atas bantuan seorang wartawan Perwakilan Kantor Berita Antara di Jerman. Di Jerman inilah Soeprijadi kemudian tinggal untuk selamanya dan menuangkan perjalanan hidupnya sebagai seorang eksil dalam bentuk cerpen. Beberapa cerpen Soeprijadi diterbitkan dalam berbagai media, seperti internet, majalah, atau koran. Sebagian besar cerpen-cerpen tersebut kemudian dibukukan menjadi tiga buah kumpulan cerpen, antara lain Kera di Kepala (2006), Cucu Tukang Perang (2011), dan Lelaki Pencari Langit (2012) Cerpen-cerpen Soeprijadi yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah cerpen-cerpen yang terdapat di dalam buku kumpulan cerpen Kera di Kepala. Kumpulan cerpen ini dipilih karena beberapa pertimbangan. Pertama, peneliti menganggap kumpulan cerpen Kera di Kepala menggambarkan seluruh perjalanan pengarang daripada dua kumpulan cerpen Soeprijadi lainnya.
7
Meskipun berbentuk cerpen dan memiliki struktur cerita yang berbeda-beda, namun cerpen-cerpen tersebut memiliki kesatuan tema yang sama dan dapat menggambarkan alur perjalanan pengarang dari Indonesia ke Jerman. Pengarang mulai menggambarkan bagaimana ia meninggalkan Indonesia, pertemuannya dengan tempat dan orang-orang asing, dan kehidupannya sebagai orang asing di negeri asing. Dengan demikian, Soeprijadi tidak hanya menyajikan perjalanan dan kehidupannya sebagai seorang eksil, tetapi juga menggambarkan negosiasi yang dilakukan ketika dirinya berada di negara Barat. Kedua, cerpen-cerpen ini menarik jika dikaitkan dengan wacana pascakolonial. Hal ini dikarenakan pengarang sebagai eksil Indonesia justru diterima di negara Barat. Pengarang juga menggambarkan para eksil lainnya yang diterima di Belanda, negara bekas penjajah Indonesia. Dengan kata lain, di satu sisi eksil “bukan” lagi sebagai orang Indonesia, meskipun masih memiliki perasaan sebagai orang Indonesia. Di sisi lain, eksil menjadi bagian dari Barat. Eksil dihadapkan secara langsung pada superioritas Barat. Artinya, permasalahan eksil setelah keluar dari Indonesia adalah berkaitan dengan hegemoni kolonial yang selama ini telah terpaku dalam pikiran masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kecenderungan pengarang memunculkan relasi antara Indonesia dan Barat, yaitu Belanda. Dalam konteks pasca-kolonial, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah eksil masih terjebak pada hegemoni kolonial ataukah ada upaya-upaya elternatif eksil untuk lepas dari hegemoni tersebut?. Pertanyaan ini dapat diutarakan dengan mengingat eksil yang kemudian menjadi bagian dari negara Barat. Permasalahan tersebut dapat dijawab dengan melihat karya Soeprijadi
8
dalam kerangka sastra perjalanan, yaitu pada strategi pelainan seperti dalam teori sastra perjalanan dari Thompson. Berdasarkan pola pelainan yang terdapat di dalam cerpen-cerpen Soeprijadi, maka akan dapat diketahui posisi pengarang sebagai eksil yang melakukan perjalanan ke negara Barat. Ketiga, ada yang unik dalam cerpen-cerpen Soeprijadi. Soeprijadi cenderung menggambarkan para pendatang baik dari Indonesia maupun negaranegara Eropa. Penggambaran tempat-tempat dan penduduk asli, yaitu Jerman dan Belanda, justru sangat sedikit. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri mengingat pengarang telah puluhan tahun tinggal di Jerman, tetapi tempat-tempat dan penduduk asli tidak banyak digambarkan. Selain itu, Soeprijadi juga sangat sedikit menceritakan nostalgia terhadap Indonesia seperti karya-karya eksil lainnya. Apakah kecenderungan ini adalah bagian dari negosiasi yang ditunjukan pengarang sebagai eksil?. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian mengenai sastra perjalanan terhadap cerpen-cerpen Soeprijadi menjadi penting dilakukan. Selain untuk melihat bentuk perjalanan yang dilakukan eksil, secara teoritik penelitian ini diharapakan dapat melengkapi konsep perjalanan eksil yang telah ada, khususnya dalam kasus yang ada di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah Masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana sastra perjalanan menggambarkan negosiasi antara eksil dengan Yang Lain akibat perpindahan ruang, yaitu berupa perjalanan eksil ke wilayah masyarakat dan kebudayaan yang asing. Selain itu, agenda sosial, budaya, politik, atau ekonomi apa yang
9
melatarbelakanginya. Masalah pokok ini dijabarkan dalam dua pertanyaan besar, yaitu sebagai berikut. 1) Bagaimana pola sastra perjalanan, yang meliputi penggambaran dunia, pengungkapan diri, dan perepresentasian Yang Lain, dalam kumpulan cerpen Kera di Kepala karya Soeprijadi Tomodihardjo? 2) Bagaimana agenda etis dan politis yang diimplikasikan dari pola sastra perjalanan dalam kumpulan cerpen Kera di Kepala karya Soeprijadi Tomodihardjo?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan juga permasalahan penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan, antara lain: 1) Secara praktis, penelitian ini menjelaskan pola sastra perjalanan eksil dalam
kumpulan
cerpen
Kera
di
Kepala
karya
Soeprijadi
Tomodihardjo. Selain itu, dari pola sastra perjalanan tersebut akan dilihat implikasi etis dan politis sebagai agenda sastra perjalanan eksil. Tujuan kedua ini sekaligus sebagai langkah menjelaskan negosiasi yang dilakukan eksil. 2) Secara teoritik, hasil penelitian ini dapat melengkapi konsep eksil dan karya sastra eksil Indonesia yang sudah ada, khususnya dalam kasus yang berkaitan dengan peristiwa 1965.
10
1.4 Tinjauan Pustaka Tidak banyak ditemukan penelitian yang membahas karya seorang eksil apalagi dengan memfokuskan pada cerita perjalanannya. Beberapa tulisan lebih cenderung membahas tema eksil dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan politik di Indonesia. Selain itu, penelitian yang menggunakan objek material kumpulan cerpen karya Soeprijadi Tomodiharjo juga tidak ditemukan. Berikut ini adalah pemaparan hasil penelitian, makalah, atau esai yang dapat dijadikan sebagai pembanding sekaligus penunjang dalam penelitian ini. Pertama, penelitian Bambang Alfred Sipayung (2011) mengenai eksil Indonesia akibat peristiwa 1965. Penelitian ini berjudul Exiled Memories: The Collective Memory of Indonesian 1965 Exiles yang diterbitkan oleh Institute of Social Studies di Belanda sebagai sebuah tesis. Sipayung memfokuskan pembahasannya pada eksil Indonesia pasca peristiwa G30S. Eksil ini adalah orang yang dicegah untuk kembali ke negaranya dan kemudian dicabut status kewarganegaraannya. Sipayung menyebutnya sebagai eksil 1965. Asumsi awal Sipayung yaitu kehilangan kewarganegaraan (statelessness) adalah pengalaman umum yang diingat oleh para eksil 1965 sehingga menjadi memori kolektif. Namun demikian, memori kolektif ini menjadi bermasalah karena mengandung lintasan pembuangan berbeda. Untuk itu, penelitian Sipayung bertujuan membongkar isi lintasan eksil untuk dapat mengungkapkan hubungan antara kenangan kolektif, individu, dan subkelompok. Selain itu, dari lintasan eksil tersebut dapat ditelusuri konsep rumah bagi para eksil. Sebagai pisau analisisnya, Sipayung memakai gagasan "memori kolektif" dari Halbwach dan "situs memori" dari Pierre Nora untuk memahami bagaimana
11
eksil menyesuaikan makna rumah dalam kaitannya dengan lintasan eksil yang berbeda. Metode pemerolehan datanya adalah dengan wawancara kualitatif, sejarah lisan, dan metode etnografi. Wawancara digunakan untuk menelusuri ingatan dari eksil Indonesia yang tinggal di Belanda dan Republik Ceko. Selain itu, Sipayung menggunakan satu dokumen dari sejarah lisan di International Institute Social Geschidenis (IISG) dan satu riwayat tertulis. Metode etnografi dilakukan
untuk
melihat
pertemuan-pertemuan
eksil
sekaligus
lintasan
perjalanannya, seperti mengunjungi beberapa tempat kenangan para eksil. Hasil penelitian ini antara lain: 1) eksil 1965 menjadi orang tanpa kewarganegaraan dengan dilatarbelakangi konteks internasional Perang Dingin dan situasi politik nasional; 2) ada ikatan emosional yang dimiliki para eksil dan dihubungkan dengan negara asal dan lintasan pembuangan; 3) ikatan emosional tersebut membuat eksil mengingat lintasan pembuangannya secara kolektif dan pribadi; dan 4) makna rumah bagi eksil tidak statis dalam hubungannya dengan satu wilayah geografis tetapi harus diidentifikasi melalui dua atau lebih negara sesuai dengan lintasan pembuangan para eksil yang berbeda. Penelusuran Sipayung akan lintasan perjalanan eksil tersebut sangat detail. Hal ini dapat dilihat dalam metode pemerolehan data. Misalnya, Sipayung ikut mengunjungi tempat-tempat yang dikunjungi oleh para eksil sebagai bagian dari lintasan pembuangan dengan disertai keterangan langsung dari para eksil. Penelitian sipyaung ini memang membahas mengenai perjalanan eksil, namun yang menjadi fokus utama Sipayung adalah memori akan lintas pembuangan oleh para eksil. Dengan kata lain, Sipayung sebenarnya juga memaparkan pertemuan eksil dengan masyarakat dan budaya asing, tetapi ia tidak sampai pada
12
pembahasan mengenai negosiasi yang dilakukan eksil ketika melakukan perjalanan dan tinggal di negara baru. Negosiasi eksil ini perlu ditelusuri mengingat eksil memiliki konsep rumah sesuai dengan lintasan perjalanannya. Artinya ada sikap dan tindakan yang berbeda dari eksil terhadap dunia asing. Kedua, David T. Hill (2009) menulis sebuah makalah berkenaan eksil Indonesia, yaitu Knowing Indonesia From Afar: Indonesian Exiles and Australian Academics. Makalah ini dipresentasikan dalam acara the Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Melbourne pada tanggal 1-3 Juli 2008. Makalah ini sebenarnya sebagai kritik yang ditujukan kepada media, politisi atau akademisi Australia karena kurang perhatian untuk mengangkat tema korban pembantaian PKI tahun 1965-1966 di Indonesia. Korban yang dimaksud adalah para eksil yang tidak dapat kembali pulang dan tinggal di negara lain. Sebagai latar belakang penulisan makalah ini, Hill menyatakan bahwa studi tentang sejarah kebudayaan Indonesia di pengasingan (para eksil) setelah tahun 1965 dapat berkontribusi sebagai evaluasi sejarah nasional Indonesia (termasuk sejarah sastra), yaitu pasca-1998. Untuk itulah dalam makalah ini Hill mencoba menelusuri kehidupan eksil Indonesia pasca tahun 1965. Hill menggunakan pendekatan historis. Hill memulai makalahnya dengan memaparkan sedikit peristiwa pengasingan yang dilakukan di jaman kolonial dan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai strategi eksil yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru. Para eksil di masa orde baru yang dibahas oleh Hill adalah para sastrawan yang menghasilkan karya di tempat pengasingan. Dari pemaparan tersebut, Hill menjelaskan bahwa orang-orang buangan era kolonial cenderung para pemimpin politik, sedangkan eksil pada jaman Orde
13
Baru adalah mahasiswa, pekerja budaya, termasuk kontingen besar penulis, akademisi, dan jurnalis. Hill menyimpulkan bahwa eksil adalah komunitas retak atau terpecah. Mereka tidak dapat berbicara dengan satu suara bahkan saat mereka berjuang untuk menemukan suaka dan keamanan. Namun demikian, para eksil di tanah pengasingan ternyata banyak yang menghasilkan karya seperti otobiografi, novel (dalam bahasa Inggris dan Indonesia), majalah dan jurnal, puisi dan drama, antologi, koleksi cerita pendek, dan esai. Artinya, karya-karya tersebut dapat menjadi media bagi eksil untuk bersuara. Kesimpulan Hill, yaitu mempelajari keberadaan eksil adalah salah satu upaya untuk memahami dinamika sejarah politik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kelompok kiri. Makalah ini diakhiri dengan adanya pernyataan bahwa kajian mengenai eksil Indonesia ini diharapkan mampu sebagai langkah rekonsiliasi untuk lebih mendengarkan dan memandang positif terhadap eksil Indonesia. Dari tulisan Hill ini dapat diperoleh informasi bahwa praktik eksil atau pengasingan menjadi praktik yang tidak asing di Indonesia, yaitu sejak jaman kolonial. Selain itu, banyak eksil Indonesia yang menghasilkan karya dalam berbagai bentuk. Para eksil dikatakan telah menulis dan menerbitkan sendiri berbagai bahan, termasuk tentang pengalaman mereka di pengasingan dan analisis mereka tentang politik tanah air Indonesia. Dengan kata lain, ada negosiasi yang dialami oleh eksil dan dituangkan dalam karyanya. Permasalahan yang diungkapan eksil tersebut sangat menarik untuk dibahas. Namun demikian, Hill tidak membahasnya lebih lanjut. Kajian sastra perjalanan menjadi salah satu cara yang efektif untuk studi eksil, khususnya terhadap karya mereka. Hal ini dikarenakan kajian sastra perjalanan tidak hanya berisi pembahasan mengenai
14
pengalaman hidup para eksil, tetapi juga strategi pelainan yang dilakukan oleh eksil, baik terhadap orang Indonesia (negara asal) maupun masyarakat asing (negara baru). Ketiga, Mutia Sukma (2015) mahasiswi pascasarjana Universitas Gadjah Mada menulis sebuah tesis berjudul Ruang Nation dalam Puisi-Puisi Agam Wispi Pada Kumpulan Puisi Eksil Di Negeri Orang. Latar belakang penelitian ini adalah bahwa ruang nation yang terdapat di dalam puisi-puisi Agam Wispi bersifat problematik. Hal ini dikarenakan Indonesia yang nampaknya homogen pada kenyataannya terdiri dari berbagai macam perbedaan, seperti suku, agama, ras, atau golongan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat upaya Agam Wispi keluar dari problematika nation tersebut. Untuk menganalisis puisi-puisi Agam Wispi ini, Sukma menggunakan teori mengenai ruang nation dari Sarah Upstone. Hasil penelitian menunjukan bahwa Agam Wispi sebagai seorang komunis, yang seharusnya merasa dirinya sebagai warga negara dunia dan memperjuangkan kelas proletar, ternyata masih mengharapkan Indonesia sebagai tempat tinggal yang ideal. Sukma juga memaparkan alur perjalanan Wispi, yaitu dari Indonesia ke Belanda dan dari Belanda ke Indonesia. Ketika pulang ke Indonesia ini, Wispi merasa kecewa dengan kondisi yang ada di Indonesia sehingga membuatnya untuk pergi meninggalkan Indonesia lagi1. Hal ini tentu sangat menarik jika dikaji dalam kerangka cerita perjalanan mengingat ada perubahan pada diri Wipsi, terutama setelah kepulangannya ke Indonesia. Artinya, ada negosiasi-negosiasi 1
Soeprijadi sedikit menceritakan kehidupan Agam Wispi dalam cerpen berjudul Kremasi. Agam Wispi digambarkan menghabiskan sisa hidupnya di rumah jompo dan dalam perawatan orang Belanda. Artinya, setelah kepulangan Wispi ke Indonesia, ia kembali ke Belanda.
15
yang dilakukan Wispi ketika melakukan perjalanan. Selain itu, dengan melihatnya dalam konteks cerita perjalanan dan negosiasi yang dilakukan eksil, tafsiran mengenai Indonesia menjadi tempat yang ideal bagi eksil akan semakin kuat. Keempat, Saut Situmorang (2009) menulis esei mengenai sastra eksil berjudul Sastra Eksil, Sastra Rantau. Esai ini sebenarnya sebagai kritik Saut terhadap terbitnya buku Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar. Latar belakang dari esai ini adalah permasalahan awal mengenai definisi atau batasan ‘eksil’ dan ‘sastra eksil’ atas fenomena terbitnya buku tersebut. Hal ini dikarenakan beberapa karya pengarang eksil lainnya, seperti Sitor Situmorang, tidak disertakan di dalam buku tersebut. Hal inilah yang menjadi dasar kritik Saut terhadap buku tersebut. Selain itu, Saut juga mempertanyakan mengenai batasan karya sastra eksil itu sendiri dan estetika yang seharusnya menjadi ciri khas sastra eksil. Sebagai kesimpulan, Saut berasumsi bahwa sastra eksil seharusnya menanamkan memori tentang kampung halaman di dalam sastra eksil daripada mengenai dislokasi geografis tubuh biologis sekelompok sastrawan. Namun demikian, asumsi Saut mengenai isi sastra eksil tersebut kurang berdasar. Dislokasi geografis tubuh eksil juga menjadi bagian yang penting ketika membicarakan eksil. Hal ini dikarenakan kehidupan eksil tidak dapat dilepaskan dari lingkungan baru, meskipun pada kenyataannya beberapa eksil masih dibayangi memori tentang kampung halaman. Tidak menutup kemungkinan seorang eksil membicarakan kehidupan dirinya berada di pengasingan, seperti yang disuguhkan oleh Soeprijadi dalam cerpen-cerpennya. Soeprijadi justru lebih banyak membicarakan kehidupan dirinya ketika berada di negara lain. Artinya, hal ini tentu mematahkan asumsi Saut yang mengenyampingkan masalah
16
dislokasi geografis sebagai topik pembicaraan. Meskipun terpaksa, eksil telah melakukan perjalanan di mana dapat terjadi persentuhan dengan masyarakat dan budaya asing di tempat yang dikunjungi atau ditinggali. Hal ini pada gilirannya memungkinkan terbentuknya sebuah tatanan sosial yang baru. Dengan demikian, kajian mengenai cerita perjalanan eksil sangat penting dilakukan. Kelima, Iryan Ali Herdiansyah (2011) dalam makalahnya berjudul Karya Sastra Eksil Sebagai Ungkapan Kesepian Utuy TS melihat sastra eksil dalam kerangka eksterioritas. Makalah ini disampaikan dalam diskusi Komunitas Kembang Merak di Yogyakarta pada 26 Februaru 2011. Kerangka eksterioritas yang dimaksud Herdiansyah mengacu pada tradisi orientalis yang disampaikan oleh Edward Said. Eksterioritas tersebut diartikan sebagai perihal penyingkapan Timur untuk Barat. Artinya, Herdiansyah ingin membahas cara eksil Indonesia yang tinggal di Barat memandang Barat yang direpresentasikan di dalam karyanya. Kerangka eksterioritas ini untuk melihat posisi orang Indonesia yang berada di luar negeri dan bagaimana eksil melihat/menilai negara Barat dan negerinya sendiri, seperti yang tercermin dalam karya sastra eksilnya. Dalam hal ini, Herdiansyah mengulas cerpen berjudul Anjing karya Utuy Tatang Sontani. Tulisan Heriansyah ini memiliki keunggulan dalam hal data kesejarahan. Herdiansyah cukup detail dalam memaparkan biografi Utuy dan sejarah politik di Indonesia. Namun demikian, keunggulan tersebut justru melemahkan latar belakang penulisan makalah, yaitu analisis terhadap cerpen karya Utuy. Herdyansah justru sangat sedikit mengupas karya Utuy bahkan analisisnya cenderung tidak konsisten dengan tujuan awalnya, yaitu melihat kasus eksil dalam kerangka eksterioritas. Herdiyansah belum menunjukan upaya penyingkapan cara
17
seorang eksil memandang atau strategi pelainan terhadap Barat. Strategi pelainan yang dilakukan eksil terhadap Barat ini menjadi salah satu aspek yang penting dalam penelitian ini. Strategi pelainan ini kemudian menjadi langkah awal untuk melihat implikasi etis dan politis dari sastra perjalanan eksil. Seperti yang dikatakan oleh Thompson (2011: 7) bahwa perkembangan kritik akademik terhadap cerita perjalanan lebih ditekankan pada perdebatan mengenai “moral” dan “manfaat” (tujuan). Keenam, ada satu tulisan yang mengkaitkan antara eksil dengan nasionalisme, yaitu sebuah artikel berjudul Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita yang ditulis oleh Amin Mudzakkir (2013). Pembahasan Mudzakkir tidak didasarkan pada karya sastra eksil, melainkan pada hubungan antara eksil dengan negara asal. Menurut Mudzakkir, globalisasi yang ditandai dengan meningkatnya arus migrasi, khususnya para eksil, ternyata tidak membuat nasionalisme kehilangan relevansinya. Sebaliknya, justru di kalangan para eksil dan imigran lainnya lahir jenis nasionalisme baru, yaitu nasionalisme jarak-jauh. Anggapan Mudzakkir ini didasarkan pada sikap para eksil yang tinggal di negara asing. Mereka tetap menunjukkan komitmen politisnya dengan melakukan aksi-aksi tertentu yang merupakan tanggapan terhadap situasi bangsanya. Mudzakkir juga menyimpulkan bahwa para eksil tetap mengaku sebagai bangsa Indonesia meski telah memiliki kewarganegaraan lain. Namun demikian, kesimpulan tersebut memiliki kelemahan. Tanpa melihatnya dalam konteks strategi pelainan eksil terhadap Indonesia atau Barat dan memasukannya dalam konteks pasca-kolonial seperti pada penelitian ini, tafsiran Mudzakkir mengenai nasionalisme jarak jauh dikalangan eksil itu perlu dipertanyakan lagi.
18
Kesan keseluruhan, semua tulisan di atas tidak mengungkapkan bagaimana strategi atau negosiasi eksil dalam mengatasi keterpaksaan hidup di barat dan ketidakmungkinan untuk pulang ke Indonesia. Artinya, persoalan yang mendasar dari eksil, sesuai dengan definisi eksil yang telah ada dan disepakati oleh semuanya, adalah perjalanan terpaksa, keterpaksaan tinggal di tempat asing, dan adanya kerinduan yang besar pada kampung halaman. Pembahasan akan lengkap apabila hubungan dan tarik-menarik antara kedua aspek ini dibahas. Pembahasan semacam ini terdapat dalam kajian sastra perjalanan seperti yang dikemukakan oleh Carl Thompson. Penelitian atau kajian-kajian lain tidak membahasnya. Mereka cenderung terfokus hanya pada salah satu aspeknya.
1.5 Landasan Teori Untuk menjawab permasalah penelitian, pada subbab ini akan dipaparkan konsep sastra perjalanan. Konsep utama sastra perjalanan ini diambil dari buku Travel Writing karya Carl Thompson (2011). Subbab ini akan dibagi lagi menjadi beberapa anak subbab sesuai dengan yang dipaparkan oleh Thompson. Sebagai tambahan, karena Thompson tidak membicarakan mengenai eksil, maka akan dipaparkan konsep eksil dari beberapa sumber. Konsep eksil tersebut akan tetap dihubungkan dengan sastra perjalanan.
1.5.1
Definisi dan Perkembangan Fungsi Sastra Perjalanan Thompson
(2011)
mengawali
definisi
sastra
perjalanan
dengan
menjelaskan apa itu “To travel”. To travel adalah perjalanan atau gerakan melalui ruang. Perjalanan melalui ruang ini pada akhirnya menghasilkan negosiasi antara
19
diri dan lainnya. Sastra perjalanan kemudian dipahami sebagai laporan perjalanan tentang dunia yang lebih luas yang dilakukan oleh orang asing di tempat yang asing atau belum diketahui (Thompson, 2011: 10). Dengan kata lain definisi tersebut menjadikan negosiasi antara kesamaan dan perbedaan sebagai syarat dalam
sastra perjalanan. Definisi ini dirasa masih sangat luas. Artinya, jika
melibatkan semua perjalanan (gerakan melalui ruang) yang berisi perjumpaan antara diri dan lainnya, maka semua tulisan perjalanan adalah produk dari pertemuan ini. Untuk mengatasi luasnya batasan dari genre sastra perjalanan, Thompson memberikan alternatif ketika membicarakan genre ini. Genre sastra perjalanan dapat dimaknai sebagai bagian dari berbagai tipe kepengarangan atau teks. Dengan ruang lingkup yang meluas, orang akan dapat semakin teliti dalam melihat subgenre yang lebih spesifik dalam sastra perjalanan, dengan berbagai macam konteks historis, zaman, konvensi retoris, dan perannya pada kebudayaan tertentu. Oleh sebab itu, ‘subgenre’ dapat dijadikan sebagai upaya menyatukan konsep eksklusif dan inklusif (Thompson, 2011: 25). Subgenre memiliki konvensi-konvesi. Hal ini berkaitan dengan fungsi yang ditekankan, seperti yang berfungsi personal, interpersonal, atau laporan-laporan. Berbicara mengenai berbagai fungsi dari sastra perjalanan tentu tidak lepas dari perkembangan dari sastra perjalanan itu sendiri. Perkembangan sastra perjalanan yang dipaparkan Thompson adalah perkembangan cerita perjalanan yang ada di negara Barat yang mana menunjukan dominasi negara Barat dalam tradisi perjalanan dan penulisan sastra perjalanan. Perkembangan tersebut dibagi menjadi lima periode; ancient, early modern, eigtheenth century, victorian, dan
20
abad 20. Dari perkembangan—pembagian periode—tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sastra perjalanan memiliki motif dan fungsi yang berbeda sesuai dengan konteks kultural yang melingkunginya. Fungsi yang dimaksud antara lain, sebagai petunjuk, untuk berperang, atau untuk melarikan diri; untuk perdagangan melalui darat atau laut; mengunjungi tempat-tempat suci agama dan ramalan; mengelola dan memelihara berbagai kerajaan dunia kuno; sebagai langkah awal imperialisme; eksplorasi; tujuan negara; atau telah menjadi aktivitas masal (Thompson, 2011: 34-56).
1.5.2
Penggambaran Dunia Dari berbagai bentuk, sastra perjalanan cenderung mempunyai tujuan
untuk menyebarkan atau memberitahukan pada masyarakat dunia yang lebih luas mengenai tempat dan orang yang tidak familiar. Holland dan Huggan (dalam Thompson, 2011: 30) menyebut sastra perjalanan sebagai ‘fiction of factual representation’, sastra perjalanan adalah bentuk fiksi dari representasi yang nyata berupa pengalaman yang dialami oleh penulis. Penulis sekaligus pelaku perjalanan melakukan transformasikan ‘pengalaman perjalanan’ ke dalam ‘teks perjalanan’. Perlu digaris bawahi bahwa dunia yang diberitakan oleh penulis biasanya telah melalui proses selektif. Akibatnya, penulisan perjalanan hanya menawarkan gambaran sebagian dunia (secara parsial) dan gambaran yang tidak lengkap dari sebuah realitas yang jauh lebih kompleks. Secara keseluruhan, cara penggambaran dunia ada dua, yaitu secara objektif atau secara subjektif. Penggambaran dunia secara objektif berarti menggambarkan dunia secara apa adanya. Penggambaran secara objektif ini dapat dilihat sebagai
21
upaya menampilkan fakta-fakta tentang tempat dan budaya yang digambarkan sehingga sastra perjalanan tidak hanya dianggap sebagai fiksi. Strategi objektivis baik dalam pengumpulan dan representasi data juga dimaksudkan untuk mengatasi subjektivitas atas sudut pandang wisatawan. Namun demikian, Thompson (2011: 72) mencatat bahwa meskipun penggambaran dunia tampak secara objektif, sastra perjalanan biasanya tetap mencerminkan perspektif ideologis yang berbeda dari dunia. Posisi budaya dan ideologi penulis itu sendiri juga dapat mempengaruhi penggambaran tempat dan orang asing. Penggambaran dunia secara subjektif melibatkan perasaan dan pikiran pribadi penulis dalam memandang dan menggambarkan dunia. Hal ini dikarenakan seorang penulis sastra perjalanan sering ditakjubkankan oleh pertemuan mereka dengan perbedaan yang ekstrim dan penulis tentu saja telah berusaha memahami fenomena yang melampaui atau berbeda dengan anggapan sebelumnya. Heran mungkin didefinisikan sebagai respons emosional dan intelektual yang terjadi ketika seorang wisatawan dihadapkan dengan sesuatu yang tidak dipamahami, dan yang tidak dapat dengan mudah berasimilasi ke dalam jaringan konseptual wisatawan (Thompson, 2011: 66). Perasaan kagum dan bingung kadangkala membuat penulis (wisatawan) terpaku di tempat sehingga memunculkan kiasan-kiasan atau bahkan tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Pemilihan kata atau ungkapan untuk mengungkapkan pengalaman tersebut didasarkan pada titik acuan yang jelas atau kategori konseptual dalam budaya penulis sendiri (Thompson, 2011: 67). Oleh sebab itu, sudut pandang subjektif ini akan selalu memiliki ideologi, menjadi ekspresi sikap, asumsi dan aspirasi yang
22
diwarisi dari budaya yang lebih besar atau subkultur di mana penulis sastra perjalan menjadi bagiannya. Semua catatan perjalanan dengan cara penggambaran subjektif ini dikatakan tidak banyak memberikan representasi dari dunia yang sebenarnya. Artinya, penulis sastra perjalanan bisa dikatakan memberitahu pembaca lebih banyak tentang matriks konseptual, asumsi sadar dan bawah sadar, dan sering kali ambisi dari individual dan masyarakat yang memproduksinya (Thompson, 2011: 72). Oleh sebab itu, pembaca akan dihadirkan dengan persoalan-persoalan kebenaran pengetahuan atas dunia asing yang ditawarkan di dalam sastra perjalanan.
1.5.3
Strategi Meraih Kepercayaan Pembaca Sastra perjalanan berakar dari pengalaman pribadi sehingga memberikan
kekuatan otoritatif. Oleh karena itu, teks sastra perjalanan juga menimbulkan ‘kecurigaan’ karena tidak ada orang lain yang bisa mengkonfirmasi akan kebenaran berita yang dituliskan. Terlebih lagi jika pengetahuan itu terasa sangat asing bagi pembaca (sangat asing hingga tidak bisa dipercaya). Seorang penulis sastra perjalanan harus bisa menterjemahkan sesuatu yang begitu asing dan bahkan tak dimengerti oleh budayanya menggunakan referensi-referensi tertentu yang ada pada kulturnya untuk dijadikan semacam dasar, tolak ukur, atau bahkan pembanding untuk memahami apa yang ia temui. Artinya, di dalam sastra perjalanan terdapat strategi-strategi penulis untuk meraih kepercayaan pembaca atas cerita perjalanan yang disuguhkannya. Cara yang pertama adalah penggambaran secara objektif. Cara ini mengenyampingkan keterlibatan emosi dan pikiran pengarang. Oleh sebab itu
23
cara ini dapat membuat otoritas atas setiap pengamatan penulis sastra perjalanan. Thompson (2011: 74) memberikan contoh pada strategi penulisan menggunakan metode jurnal. Dalam strategi penulisan jurnal, pengamatan dicatat ketika masih segar dalam ingatan, atau bahkan adegan dan fenomena yang dijelaskan masih di depan penulis, dan masih bisa samar-samar diingat ketika berada di lokasi yang berbeda atau tujuan berikutnya. Cara yang kedua adalah dengan menunjukan sikap empirisme. Sikap ini mengasumsikan bahwa yang paling akurat dan dapat dipercaya dari catatan perjalanan adalah mereka yang menampilkan diri secara langsung. Sikap empirisme ini juga dapat dilihat dari sudut pandang yang digunakan dalam sastra perjalanan. Kekuatan otoritas seorang penulis sastra perjalanan adalah ia telah menjadi saksi mata (eyewitness). Berangkat dari sifat ke’saksi-mata’an inilah penulisan sastra perjalanan sering kali menggunakan sudut pandang orang pertama ‘aku’ walaupun dalam tulisan yang tidak bersifat personal (Thompson, 2011: 65). Cara ketiga, yaitu dengan menggunakan teks-teks yang dianggap kanon. Cara ini dapat dicontohkan pada sastra perjalanan abad pertengahan. Pada abad ini, sastra perjalanan harus memiliki kesesuaian dengan apa yang telah disediakan oleh teks kanon (otoritas yang mapan), seperti Alkitab dan tulisan-tulisan para Bapa Gereja. (Thompson, 2011: 72). Cara keempat berkaitan dengan gaya penulisan. Penulis berusaha membuat yang tidak familiar menjadi familiar dengan menggunakan bahasa. Majas merupakan gaya bahasa yang dapat berfungsi untuk memfamiliarkan dunia yang asing. Misalnya, dengan majas simile penulis dapat mengungkapkan sesuatu
24
dari budaya asing yang belum diketahui dengan fenomena yang sudah diketahui penulis (Thompson, 2011: 68). Namun demikian, penggunaan simile yang berlebihan malahan sering menghancurkan koherensi yang sedang dibicarakan. Selain
itu,
sastra
perjalanan
kebanyakan
bersifat
sinekdoke,
yaitu
menggeneralisasikan yang sebagian penulis lihat. Dengan kata lain, penulis cenderung
mengambil
hal-hal
yang
emblematic
atau
ikonik
dalam
menggambarkan sesuatu. Cara yang terakhir adalah plausibilitas-probabilitas. Cara ini lebih ditujukan untuk membuat masuk akal atas pengalaman penulis kepada pembaca. Dengan cara ini, penulis sastra perjalanan dapat menampilkan fakta atau fenomena yang masih dalam batas kewajaran.
1.5.4
Pengungkapan Diri Paul Fussell (dalam Thompson, 2011: 96) menyatakan bahwa perjalanan
interior dan eksterior merupakan ideal estetika dalam sastra perjalanan. Berdasarkan pendapat tersebut yang perlu menjadi catatan adalah asumsi kritis tentang menulis perjalanan biasanya sangat otobiografi. Sebuah genre yang biasanya mengeksplorasi dan menyajikan subjektivitas wisatawan sebagai narator untuk mengeksplorasi dan melaporkan dunia. Dengan demikian Fussell mengklasifikasikan sastra perjalanan, atau setidaknya buku perjalanan modern, sebagai 'sub-spesies memoar', sedangkan menurut Thompson (2011: 96-97), sastra perjalanan tidak hanya berisi perjalanan literal, tetapi juga perjalanan emosional dan psikologis penulisnya. Namun, kecenderungan dalam genre tersebut telah menyebabkan catatan perjalanan—hampir seluruhnya—tentang wisatawan (narator), bukan tempat yang
25
dikunjungi. Sehingga pertemuan dengan dunia yang lebih luas hanya akan menjadi dalih untuk introspeksi dan analisis diri. Bentuk tulisan perjalanan pascaabad pertengahan dilakukan dengan menggabungkan beberapa unsur informasi pribadi dan narasi orang pertama, genre ini dapat dianggap sebagai cabang penting dari apa yang sekarang sering disebut 'menulis hidup'. Artinya, sastra perjalanan menjadi media di mana penulis dapat melakukan proyek otobiografi, menjelajahi pertanyaan identitas dan kedirian (Thompson, 2011:98). Namun Thompson (2011: 99-100) juga mengatakan bahwa sastra perjalanan tidak perlu secara eksplisit diniatkan sebagai otobiografi, juga tidak harus menunjukkan subjektivitas yang terang-terangan untuk mengungkapkan kepribadian penulis. Bahkan, sastra perjalanan yang tampaknya modern dan sangat impersonal kadang-kadang berfungsi sebagai model penciptaan-diri, di mana penulis berusaha untuk memproyeksikan identitas atau persona yang diinginkan oleh dunia yang lebih luas. Untuk membahas pengungkapan diri penulis, tidak dapat dilepaskan dari strategi yang digunakan penulis dalam menggambarkan dunia. Tidak hanya dapat dilihat diri penulis, melainkan juga dapat dilihat jenis perjalanannya. Secara umum, Thompson membagi jenis perjalanan menjadi dua, yaitu perjalanan ekplorasi dan pariwisata (turistik). Perjalanan eksploratif berisi perjalanan menuju tempat-tempat yang terpencil yang sebelumnya belum pernah dikunjungi oleh para penjelajah. Perjalanan ini dipenuhi ketidakpastian. Seorang yang melakukan perjalanan eksploratif tidak memerlukan buku panduan. Di lain pihak perjalanan turistik merupakan perjalanan yang sudah terpetakan, perjalanan untuk rekreasi, dan biasanya dipandu dengan buku-buku panduan perjalanan. Perjalanan turistik
26
ini awalnya sebagai agenda kaum elite. Gejala turisme bisa dikatakan bermula dari munculnya kelas menengah. Secara spesifik, dari tahun 1760-an, terjadi peningkatan jumlah penjelajah antar benua dari kaum menengah. Selain itu, Thompson juga banyak menyinggung sastra perjalanan yang berisi perjalanan ziarah. Ziarah adalah paradigma yang paling umum dalam wisata abad pertengahan. Motif penting lainnya di era ini adalah perjalanan kekesatriaan, perjalananan untuk renovasi iman, dan juga penghapusan dari dosa masa (Thompson, 2011:106). Dengan kata lain, ziarah dianggap sebagai perjalanan untuk biasanya melibatkan peningkatan keyakinan/keimanan. Selanjutnya, Thompson mendefiniskan jenis diri dari berbagai sastra perjalanan. Konsep diri yang terungkap di dalam cerita perjalanan cenderung bervariasi sesuai dengan konteks budaya dan periode yang berbeda. Contoh pada abad ke 18, dikenal diri pencerahan (Enlightenment). Diri pencerahan memprioritaskan fakta dan penyelidikan empiris ke dunia yang lebih luas. Penggambaran dunia oleh diri pencerahan cenderung bersifat objektif (Thompson, 2011: 117). Dalam banyak studi tentang sastra perjalanan, munculnya catatan subyektivis dari akhir abad kedelapan belas dan seterusnya telah ditandai sebagai pergeseran radikal dari Pencerahan untuk nilai Romantis. Diri yang romantik, atau seperti yang kadang-kadang disebut, ‘Romantic subjectivity', diasumsikan berbeda dengan diri Pencerahan. Diri Romantik yang cenderung menggambarkan dunia secara subjektif. Wisatawan yang romantis, tidak hanya mengamati, mereka juga bereaksi terhadap adegan di sekitar mereka, dan merekam reaksi mereka, dan refleksi atas mereka, dalam laporan mereka. Dalam banyak kasus, memang,
27
mereka mencari situasi yang membangkitkan perasaan yang kuat dan sensasi keagungan atau intensitas spiritual. Wisatwawan romantis dipengaruhi—untuk diubah—oleh pengalaman perjalanan mereka dan oleh orang lain yang mereka hadapi (Thompson, 2011:117). Meskipun berbeda, diri Pencerahan dan diri Romantik kadangkala tidak dapat dipisahkan. Banyak penulis perjalanan pada akhir abad ke-18 dan seterusnya menyuguhkan pikiran dan perasaan personal ke dalam cerita perjalanannya, tetapi tidak semua dari mereka menggambarkan dirinya secara signifikan diubah oleh pengalamannya. Begitu juga dengan sastra perjalanan dari abad 18 akhir yang mana sastra perjalanan yang menggunakan cara yang lebih personal, tetapi juga tetap bertujuan untuk mengumpulkan data dan pengamatan empiris dalam proyek Pencerahan. Di lain pihak ada kecenderungan negatif terhadap penulis catatan perjalanan. Terlepas dari kecenderungan mereka lebih ke arah Pencerahan atau paradigma Romantis, diri yang diartikulasikan dalam sastra perjalanan biasanya memiliki aspek aspiratif dan melakukan fungsi retoris. Perjalanan sering dilakukan untuk meningkatkan status sosial. Citra diri yang disajikan dalam catatan perjalanan ini biasanya dimaksudkan, pada tingkat tertentu, untuk membujuk penonton bahwa tidak hanya wisatawan adalah seorang saksi mata handal, tetapi juga bahwa memiliki—atau telah diperoleh—berbagai atribut lain yang diinginkan atau prestasi, seperti keberanian, rasa, pencerahan spiritual atau lebih mendalam, 'otentik' pengetahuan diri. Oleh sebab itu, Thompson dalam Sastra perjalanan menembahkan subbab imperious ‘i’. Ia ingin mengatakan bahwa dibalik penulisan diri tersimpan kecurigaan mengenai kesombongan diri.
28
1.5.5
Perepresentasian Yang Lain Konsep perjalanan adalah perpindahan melalui ruang. Perjalanan melalui
ruang ini pada akhirnya menghasilkan negosiasi antara diri dan lainnya. Perjalanan
ini
mempertemukan
wisatawan/penjelajah
dengan
dunia
kesamaan asing
dan
yang
baru
perbedaan
antara
ditemui.
Ketika
menggambarkan Yang Lain tersebut, penulis sastra perjalanan telah melakukan proses othering atau pelainan. Thompson menjelaskan ada tiga strategi dalam pelainan, yaitu kolonialisme, poskolonialisme, dan neo-kolonialisme. Yang pertama, sastra perjalanan dan wacana kolonialisme. Strategi ini mengkaitkan sastra perjalanan dengan imperialisme dan kolonialisme negara Barat. Pelainan selain mencoba memisahkan/menggambarkan perbedaan dan mengindetifikasi suatu kebudayaan, juga menjadikan satu kebudayan inferior dari kebudayaan Barat. Akhir abad kesembilan belas dan awal keduapuluh sering disebut sebagai masa 'imperialisme tinggi'. Begitu juga di Eropa yang melihat hal itu sebagai tatanan alamiah bahwa orang kulit putih keturunan Eropa harus memiliki kendali penuh dalam mengatur berbagai macam aspek dari seluruh dunia. Sastra perjalanan adalah salah satu bentuk budaya seperti mendalami sikap dan citra imperialis. Agaknya, prinsip melakukan perjalanan adalah sebagai penjelajahan, berusaha untuk mengumpulkan informasi geografi dan etnografi. Namun, bagaimanapun juga data yang dikumpulkan pada waktunya akan terbukti sangat berguna untuk proyek kolonial Eropa di Afrika timur dan tengah. Thompson memberikan contoh pada karya Henry Morton Laris Stanley berjudul Through the Dark Continent (Thompson, 2011: 132-133).
29
Stanley menceritakan bahwa ia menemui sekelompok kanibal dan orang biadab yang tidak berperasaan ketika ia melakukan perjalannya di wilayah Kongo. Stanley menyebarkan pelabelan terhadap orang asing tersebut di sebagai “kotor dan setan rakus”. Hal ini menunjukan Stanley telah merendahkan martabat/tidak memanusiakan mereka (other). Hal ini adalah sebuah strategi retoris bahwa penulis perjalanan (travel writers) sering digunakan untuk merendahkan martabat masyarakat. Para penulis ini lupa atau telah mengabaikan fakta bahwa setiap rakyat banyak sebenarnya terdiri dari banyak individu yang unik, masing-masing dengan kisah hidup mereka sendiri (Thompson,
2011: 140). Karya ini
membuktikan kegunaan/kebermanfaatan ideologi tersebut guna mendorong dan menganjurkan adanya imperialis. Hal ini dicontohan Thompson (2011: 132) dalam kajian John Ross yang menggambarkan suku Linuit sebagai masyarakat biadab,
tidak
beradap,
tidak
dapat
mengolah
sumber
alam,
dan
membandingkannya dengan hewan pengganggu. Di sisi lain, Ross menyatakan bahwa bumi hanya bisa dikelola dan dipanen oleh manusia, dalam hal ini adalah orang-orang Barat sebagai manusia beradap. Dengan cara ini, melalui Through the Dark Continent, seperti banyak bentuk-bentuk lain dari wacana kolonial yang menunjukkan intervensi Eropa dalam urusan daerah lain. Cerita perjalanan menyajikan intervensi tidak hanya karena imbalan ekonomi atau kekayaan yang ditawarkan, tetapi juga sebagai sarana untuk memberikan penduduk pribumi bantuan kemanusiaan dan pengaruh peradaban. Seperti banyak penjelajah lain dari abad ke-18 ke depan, Stanley menggambarkan dirinya sendiri sebagai utusan/wakil dari yang disebut dengan
30
tiga Cs’: civilization (peradaban), chistianity (pengkristenan), dan commerce (perdagangan) (Thompson, 2011:145). Yang kedua, sastra perjalanan dan wacana neokolonialisme. Sastra perjalanan yang mengarah pada Visi Kosmopolitan, yaitu visi di mana sastra perjalanan berusaha untuk tidak merendahkan tetapi untuk mengangkat pihak lain dan perbedaan kebudayaan. Sastra perjalanan berusaha membingkai pertemuan dengan yang lain dengan cara yang positif, menunjukkan rasa empati, dan relasi kesetaraan, serta wawasan nilai-nilai bersama. Sastra perjalanan seperti ini muncul setelah negara Eropa pecah pada abad ke-19 (Thompson, 2011: 154). Menurut Lisle (dalam Thompson, 2011: 154), apabila sastra perjalanan yang dulu bertujuan untuk mendominasi dan mengeksploitasi wilayah lain, sastra pejalanan yang sekarang berusaha membantu proyek masyarakat global dengan cara saling pengertian, tolerasnsi, mengajarkan kita bagaimana menghargai kebudayaan, mengenali nilai-nilai umum untuk semua masyarakat. Namun demikian, sastra perjalanan masih terjebak pada nekolonialisme yang mana Barat tetap mempertahankan dominasinya. Yang ketiga, yaitu sastra perjalanan dan wacana pascakolonialisme. Pandangan bahwa catatan perjalanan merupakan usaha untuk mengenalkan kebaikan yang ada di dunia atau untuk merayakan kebebasan manusia merupakan pandangan yang naif. Yang sebenarnya adalah catatan perjalanan merupakan suatu hal yang bertendensi imperialistik dan eksploitatif. Berdasarkan paparan sebelumnya dikemukakan bahwa kebanyakan para penulis catatan perjalanan adalah orang Barat berkulit putih. Catatan mereka telah menciptakan suara baru
31
bagi representasi kebudayaan bangsa lain. Semakin lama para penulis perjalanan semakin beragam. Lalu muncullah istilah penulis perjalanan poskolonial. Istilah penulis perjalanan poskolonial ini tadinya merujuk pada penulis yang bukan berasal dari bangsa pengoloni, seperti Kanada, Afrika Selatan, dan Australia. Namun, label ini menjadi perdebatan dan kemudian label penulis perjalanan poskolonial dilabelkan kepada penulis perjalanan dari ras manapun yang tulisannya muncul di akhir tahun 1960-an (Thompson, 2011: 163). Istilah poskolonial atau pascakolonial ini memang dapat diartikan dalam kerangka waktu dan ideologis (Loomba, 2003: 9). Kerangka waktu yang dimaksud adalah masa poskolonial adalah masa setelah kolonialisme berakhir. Sedangkan kerangka ideologis yang dimaksud adalah dalam arti menggantikan ideologi yang telah ada (kolonial). Artinya sastra perjalanan 'poskolonial' berusaha secara tegas untuk menantang definisi yang telah dibuat oleh kolonial terhadap masyarakat terjajah. Penulis poskolonial yang lain memperluas sudut pandang, sejarah, dan hubungan antar budaya yang kerap diabaikan oleh penulis barat. Amitav Ghosh, dalam In an Antique Land (1992), mengisahkan kedatangan bangsa Barat dengan misi pemberadabannya justru merusak peradaban negara Timur Tengah tersebut(Thompson, 2011: 164). Sastra perjalanan dengan wacana poskolonial ini terdapat agenda politis, yaitu counteridentificaion. Sastra perjalanan jenis ini melakukan pemukulan ulang, penolakan, dan pembalikan hirearki bahwa barat tidak selamanya unggul, justru kedatangan barat menjadi penghancur budaya setempat.
32
1.5.6
Eksil dalam Sastra Perjalanan Pada
penelitian
ini,
peneliti
membutuhkan
konsep
yang
dapat
menyandingkan antara eksil dengan sastra perjalanan. Thompson sama sekali tidak menyinggung mengenai perjalanan seorang eksil. Selain itu, di Indonesia juga belum ada definisi eksil secara umum dan bahkan istilah eksil tidak terdapat di dalam Kamus Besar Indonesia. Berikut ini pemaparan mengenai konsep eksil sekaligus sebagai definisi perjalanan eksil yang dirangkum dari berbagai sumber. Eksil memiliki definisi yang sangat luas. Istilah eksil sejauh ini tidak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun demikian, istilah eksil ini tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia. Eksil dalam kamus bahasa Inggris disebut “Exile”. Exile diartikan sebagai expulsion from one's native land by authoritative decree, a person banished from his or her native land, atau anyone separated from his or her country or home voluntarily or by force of circumstances. Dari ketiga pengertian tersebut, eksil adalah seseorang yang pergi dari negaranya atau rumahnya dengan sukarela atau dengan paksaan. Pengertian eksil yang lebih luas dikemukakan oleh Hong Zeng dalam bukunya berjudul The Semiotic of Exil in Literature. Ia menjelaskan pengertian eksil tidak hanya sebatas dislokasi geografis tetapi juga budaya dan tercerabut secara psikologi. Zeng (2010: 33) mendefinisikan pengertian umum eksil yang direfleksikan dalam beberapa genre dan wacana, seperti fotografi, tragedy, prototipe artis, atau konsep waktu. Zeng menelusuri genre dan wacana yang terdapat di dalam karya sastra. Bagi Zeng, istilah eksil tidak harus berkaitan dengan pengalaman ekspatriat. Misalnya, Zeng menjelaskan bahwa fotografi adalah lambang eksil, pengasingan, kebuntuan masa lalu, perceraian tubuh dan
33
citra akibat kehilangan rasa protagonis atas realitas. Artinya, semiotika fotografi memiliki kiasan karakteristik kelompok eksil, berkabung, nostalgia budaya, dan kehilangan realitas. Dengan demikian, konsep eksil yang ditawarkan oleh Hong Zeng ini terlalu luas sebagai acuan dalam penelitian ini. Mary Baine Campbell (dalam Hulme, 2002: 269) memasukan eksil sebagai orang terlantar. Dalam dunia global di mana puluhan juta orang menjadi ‘orang-orang terlantar’ yang melakukan perjalanan tanpa kehendak, keinginan, atau niat, bahkan juga secara mental, lantas subjek awal perjalanan adalah: eksil, haji, dan (sebelum Perang Dunia kedua) imigran. Pendapat serupa disampaikan oleh Andrew Gurr (dalam Ashcroft, 2001: 92-94). Gurr menggambarkan eksil sebagai kondisi di mana seseorang dipisahkan dan diasingkan dari tanah air, asalusul, budaya, atau suku. Kondisi eksil menyangkut gagasan atas pemisahan dan pengasingan dari tanah air atau dari asal-usul budaya dan suku. Seorang eksil dikatakan tidak dapat kembali ke ‘tempat asal’, meskipun jika mereka berharap untuk melakukan. Namun pernyataan ini dibantah oleh Edward Said (2001) dengan mengatakan bahwa kadang kala menjadi eksil lebih baik dari pada tetap tinggal atau tidak dapat keluar dari kondisi—negara—yang diskriminatif terhadap dirinya2. Dari beberapa definisi eksil di atas dapat di ambil mengenai definisi secara umum. Eksil mengalami perpisahan dengan yang asal atau familiar menuju tempat 2
Said (2001) mencontohkannya dengan nasib Noubar seorang Armenia. Ia terpaksa meninggalkan Turki karena terjadi pembantaian terhadap keluarganya. Kemudian ia pindah ke beberapa kota secara bertahap. Noubar menjadi orang terlantar, terasing, dan memerlukan bantuan. Ia tidak dapat lepas dari keterasingan tersebut karena ia tidak memiliki kemungkinan untuk kembali ke negara asalnya. Di satu sisi kondisi ini menyengsarakan dirinya, namun di sisi lain juga menyelamatkan hidupnya. Kondisi yang dialami oleh Noubar ini mirip dengan kondisi para eksil Indonesia akibat peristiwa G30S. Mereka terpaksa menjadi eksil dan tidak dapat—selama pemerintahan orba—pulang kembali ke Indonesia.
34
yang lain (asing) dan ada unsur keterpaksaan. Saut menyebutnya sebagai dislokasi geografis. Tidak ada batasan apakah eksil melewati batas ruang yang lebih luas, seperti negara, atau hanya lingkup yang lebih sempit. Kondisi yang dialami oleh eksil seringkali diidentikan dengan kondisi kehilangan status kewarganegaraan. Secara politis, orang tanpa kewarganegaraan kehilangan hak dan keistimewaan mereka
yang biasanya
dinikmati
oleh
warga.
Eksil
yang kehilangan
kewarganegaraan ini melakukan perjalanan dari satu atau beberapa negara yang dapat menerima keberadaannya. Meskipun secara umum istilah eksil hampir sama, yaitu mengalami keterpaksaan atas dislokasi, namun latar belakang eksil bermacam-macam. Latar belakang ini cenderung berupa “perbedaan” yang sering kali berujung pada diskriminasi, seperti perbedaan agama dan politik. Eksil yang diakibatkan oleh disrkiminasi agama terjadi misalnya dalam kasus warga asal Arab, Afghani dan Pakistan di negara Hyderabad India berikut partisi India pada tahun 1948. Agama Islam mereka menjadi alasan bagi pemerintah India untuk mendeportasi dan menolak mereka akses ke India kewarganegaraan (Sherman dalam Sipayung, 2011). Jika identitas agama menjadi dasar pencabutan kewarganegaraan dari warga Arab, Pakistan dan Afghanistan, maka untuk eksil Indonesia pasca peristiwa G30S dilatarbelakangi kepentingan politik. Lalu apa hubungan antara eksil dengan sastra perjalanan? Jika melihat kembali definisi-definisi tentang eksil, maka dapat dilihat bahwa seorang eksil— dengan terpaksa—melakukan perjalanan menuju tempat asing seperti konsep perjalanan yang dikemukakan oleh Thompson di atas. Pernyataan ini senada dengan pendapat Thomas Palmer (dalam Hulme, 2002: 27 ) yang membedakan
35
antara pelancong “suka rela” dan “terpaksa”, saat ia memikirkan mengenai eksil, sejarah sastra perjalanan secara penuh mengenai orang yang dipaksa untuk melakukan perjalanan ke beberapa tempat—dan dalam berbagai keadaan—yang bukan pilihan mereka. Para—bakal—eksil melakukan perjalanan dari Indonesia ke negara Barat, secara otomatis eksil bernegosiasi dengan lingkungan baru. Eksil mempunyai lingkungan baru sekaligus mereka bertemu dengan masyrakat dan budaya yang asing. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Thompson mengenai konsep perjalanan. Namun demikian, ditempat baru ini eksil masih teringat akan memori dari hal-hal ini di lingkungan lain. Artinya, baik lingkungan baru dan lama yang hidup akan terus mengisi kehidupan eksil. Di lingkungan baru inilah sebagian besar eksil menuliskan kisah mereka dalam berbagai bentuk tulisan, terutama karya sastra. Dengan demikian, tulisan dan karya-karya eksil tersebut dapat dikategorikan sebagai sastra perjalanan.
1.5.7
Agenda Sastra Perjalanan Sastra perjalanan tidak hanya dilihat secara tekstual apa yang disajikan di
dalamnya, seperti pemberitaan dunia, jenis perjalanan, atau gaya penulisan. Lebih dari itu, ada agenda yang diimplikasikan dari diciptakannya sastra perjalanan itu sendiri. Artinya, penggambaran dunia, orang-orang, atau budaya di dalam sastra perjalanan ternyata tidak hanya sekedar mengabarkan tentang dunia asing, melainkan mengimplikasikan agenda etis dan politis. Implikasi etis dan politis ini berkaitan dengan wacana kolonial, neokolonial, atau poskolonial dalam sastra
36
perjalanan (Thompson, 2011: 7). Kasus ini dapat dicontohkan dalam buku berjudul Orientalisme karya Edward Said. Menurut Hulme dan Youngs (2002: 8), Orientalism karya Edward Said merupakan karya pertama yang mengungkapkan adanya agenda dalam sastra perjalanan yang ditulis orang Barat. Orientalisme merupakan wacana besar dan memiliki
legitimasi
akademis.
Wacana
ini
pada
akhirnya
bertujuan
mengkontstruksi wilayah geografis imajiner yang disebut sebagai “Timur”. Penggambaran dunia timur ini ternyata mengandung implikasi etis dan politis. Implikasi etisnya adalah masyarakat dan budaya timur digambarkan sebagai masyarakat yang terbelakang, bodoh, primitif, atau menyandingkannya dengan hewan sehingga timur ditempatkan pada posisi yang lebih rendah. Implikasi politisnya adalah memberikan legitimasi akademis pada imperialis Barat untuk melakukan kolonialisasi terhadap timur. Jika melihat adanya agenda yang diimplikasikan dalam penggambaran dunia, maka tidak lepas dari strategi pengarang untuk meraih kepercayaan pembaca. Bahkan bagi Thompson (2011: 15), gaya dan estetik sama pentingnya dengan isi teks karena bagian dari strategi penyampaian informasi secara efesien dan akurat. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan strategi yang digunakan pengarang untuk menggambarkan dunia, maka agenda yang terimplikasikan dalam sastra perjalanan juga akan sampai pada pembaca. Hal ini dapat kita lihat bagaimana Said membuktikan cerita-cerita perjalanan Barat, yaitu oleh para orientalis yang telah menggambarkan masyarakat dan kebudayaan Timur. Apa yang digambarkan oleh para orientalis ini tidak hanya dipercayai oleh orang Barat, melainkan juga orang-orang Timur itu sendiri. Selain itu, penggambaran
37
Timur (the other) tersebut sekaligus memiliki andil dalam pembentukan hegemoni (kekuasaan kultural) penjajah terhadap yang terjajah. Implikasi agenda pada sastra perjalanan juga dapat diperkuat dengan melihat jenis sastra perjalanan dan masa (semangat jaman) penulisan sastra perjalanan. Thompson (2011: 27) menjelaskan bahwa setiap subgenre dari sastra perjalanan, pada setiap perkembangan, memiliki sejarah, konvensi retorika, dan peran budaya yang luas. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk memperhatikan spesifik, tradisi subgenre, dan agenda. Dapat dicontohkan bagaiamana narasi ziarah abad pertengahan memiliki agenda khotbah sehingga narasi ziarah tersebut kurang lebih himpunan bagian-bagian dari Alkitab. Pada masa itu, terdapat pengaruh kuat Kristen yang menganggap minat yang berlebihan dalam hal sekuler sebagai dosa Curiositas (rasa ingin tahu). Atau agenda intelektual yang dipromosikan oleh filsuf Bacon. Ia meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan modern, dan berpengaruh besar dalam perkembangan sastra perjalanan Barat (Thompson, 2011: 40-41). Sastra perjalanan tentunya mengalami perkembangan seiring dengan perubahan jaman. Thompson juga mengakui perkembangan ini, yaitu dengan melihat perkembangan penyebaran sastra perjalanan melalui berbagai mendia. Menurut Thompson (2011: 61), sastra perjalanan terus berkembang baik melalui media baru dan dalam bentuk yang lebih tradisional, sehingga dapat mencerminkan pola perjalanan dan perhatian baru secara global. Beberapa tahun terakhir ini, yaitu setelah berakhirnya pemerintahan orde baru, di Indonesia bermunculan sastra eksil. Keberadaan sastra eksil ini mejadi luas setelah diterbitkannya sebuah kumpulan puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair
38
Indonesia Eksil (Saut, 2009: 60). Tidak hanya itu saja, para eksil yang tinggal di luar negeri menyebarkan tulisan perjalanannya juga melalui internet. Bahkan Sobron Aidit memiliki blog khusus yang memuat tulisan-tulisannya. Begitu juga halnya dengan Suprijadi Tomodiharjo yang mengirimkan tulisan-tulisannya, termasuk cerpen-cerpennya melalui internet. Beberapa karyanya telah dimuat di dalam berbagai surat kabar, majalah, atau bahkan telah diterbitkan menjadi buku. Dengan melihat persebaran sastra eksil ini tidak bisa dipungkiri jika sastra eksil memiliki bentuk dan agenda tersendiri.
1.6 Hipotesis Hipotesis adalah kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian (Faruk, 2012: 21). Dari rumusan masalah dan juga paparan teori yang digunakan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah penggambaran dunia, pengungkapan diri, dan perepresentasian Yang Lain dalam kumpulan cerpen Kera di Kepala karya Soeprijadi Tomodihardjo mengimplikasikan agenda etis dan politis. Dari hipotesis tersebut dapat ditentukan variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah agenda etis dan politis. Variabel terikatnya adalah pola penggambaran dunia, pengungkapan diri, dan perepresentasian Yang Lain.
1.7 Metode Untuk membuktikan hipotesis di atas, penelitian ini akan melakukan dukungan data empirik dalam pengumpulan data dan dukungan pemikiran analitis dan kritis dalam analisis data.
39
1.7.1
Metode Pengumpulan Data Data untuk variabel terikat bersumber pada teks karya sastra yang diteliti,
yaitu cerpen-cerpen karya Soeprijadi Tomodiharjo yang termuat di dalam kumpulan cerpen Kera di Kepala. Cerpen-cerpen yang digunakan adalah yang berkaitan dengan perjalanan seorang eksil. Cerpen-cerpen tersebut antara lain, Lintang Kemukus, Srigala, Permata Breinstein, Berat Hidup di Barat, Nama Tinggal Nama, Kera di Kepala, Pagi Hari di Garasi, Serentang Garis Panjang, Tinnitus, Kremasi, Boneka, Sarma, dan Kabar Burung. Dari
teks
itu
akan
dikumpulkan
satuan-satuan
tekstual
yang
merepresentasikan satuan-satuan kenyataan tekstual yang berupa gambaran mengenai dunia, pengungkapan diri, dan strategi pelainan. Masing-masing dari satuan-satuan kenyataan tekstual itu akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu gambaran dunia secara subjektif dan objektif; diri kolonial, neo-kolonial, atau post-kolonial; dan strategi kesetaraan dan hierarki. Data variabel bebas bersumber pada teks-teks eksternal, baik berupa teks-teks sosiologis, kebudayaan, maupun historis.
1.7.2
Metode Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menemukan hubungan antara variabel
yang pertama dengan variabel yang kedua. Metode yang digunakan adalah metode historis dengan mendasarkan diri pada dokumen-dokumen historis yang menyatakan adanya hubungan empirik antara keduanya, metode perbandingan dengan membandingkan data-data yang ada dengan dokumen pembanding tertentu, dan metode inferensi logis seperti deduksi, induksi, dan silogisme.
40
1.8 Sistematika Laporan Penelitian Penulisan hasil penelitian ini akan dibagi ke dalam tujuh Bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab Kedua adalah penggambaran dunia. Bab ini berisi penggambaran dunia secara objektif, penggambaran dunia secara subjektif, dan strategi untuk memperoleh kepercayaan pembaca. Bab Ketiga adalah pengungkapan diri. Bab ini berisi penggambaran diri pengarang berdasarkan penggambaran dunia, bentuk perjalanan eksil, alur perjalanan eksil, dan konteks kultural. Bab Keempat adalah perepresentasian Yang Lain. Perepresentasian Yang Lain ini dibagi menjadi tiga strategi, yaitu kolonial, poskolonial, dan neo-kolonial. Bab dua hingga bab empat merupakan jawaban rumusan masalah pertama. Bab Kelima adalah agenda sastra perjalanan eksil. Bab ini sekaligus berisi jawaban atas rumusan masalah kedua. Yang terakhir, Bab Keenam berisi kesimpulan penelitian.