BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
[…] The present age may be the age of space Michel Foucault1
Dalam waktu beberapa tahun terakhir sampai saat ini, di Yogyakarta dipenuhi dengan perumahan-perumahan berlabelkan agama. Terutama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perumahan muslim. Merebaknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta memang merupakan fenomena empirikal yang aktual, dan nampaknya, akan terus happening selama beberapa tahun ke depan. Terbukti, jika menyempatkan diri berkeliling menyusuri pelbagai tempat di Yogyakarta atau cukup “berselancar” di dunia maya, tidak akan sulit untuk menemukan perumahan-perumahan muslim—baik yang sudah dibangun dan ditempati, atau masih baru ditawarkan dalam bentuk produk properti dalam brosur-brosur maupun situs-situs perumahan di internet. Penulis melakukan pengamatan dan pemetaan awal sederhana terkait perumahan-perumahan muslim berdasarkan empat lingkup kabutapen yang ada di Yogyakarta. Tujuannya untuk meyakinkan bahwa perumahan-perumahan muslim
1
Seperti dikutip Walter Prigge dalam artikel,“Reading The Urban Revolution: Space and Representation”, yang terhimpun dalam buku “Space, Difference dan Everyday Life”, Routledge, New York dan London: 2008.
1 | Tesis
di Yogyakarta memang merebak. Dari pengamatan dan pemetaan tersebut, didapatkan seluruh kabupaten di Yogyakarta (meliputi Bantul, Sleman, Kulonprogo dan Gunung Kidul) dijadikan lokus dari proyek penggarapan perumahan-perumahan muslim oleh para pengembang (developer). Di Bantul saja misalnya, untuk menyebut beberapa di antaranya, ada perumahan Muslim “Sedayu”, perumahan Muslim “Nirwana Residence”, perumahan Muslim “Baitus Sakinah”, perumahan Muslim “Madina Residence Yogyakarta”, perumahan Muslim “Griya Baiturahman” dan perumahan Muslim “Puri Sakinah 2”. Di Kabupaten Sleman, ada perumahan Muslim “Darussalam”, perumahan Muslim “Djogja Village”, dan perumahan Muslim “Villa Green Madani”. Sedangkan di Kulonprogo, ada perumahan Muslim “Griya Nadhifa”. Sementara di Gunung Kidul, ada perumahan Muslim “De Afifa Residence”, perumahan Muslim “Rahmani Green Resident”, serta masih banyak yang lainnya. Sulit untuk memastikan secara spesifik mengenai kapan sebenarnya perumahan-perumahan muslim tersebut muncul pertama kalinya di Yogyakarta. Selain karena belum ditemukannya data yang cukup meyakinkan dan bisa dipertanggungjawabkan, juga mengingat bahwa proses perubahan sosial dan budaya, kata Umar Kayam—dalam artikelnya berjudul “Arsitektur Masyarakat Transisi”—terkadang memang tidak pernah berjalan secara jelas kapan “sebenarnya-benarnya” titik mula dan akhirnya. Tiba-tiba, terhampar begitu saja dihadapan kita, tanpa kita bisa menandai proses-proses perubahan itu dengan sangat tandas akan tonggak-tonggaknya (dalam Budihardjo, dkk, 1996: 175).
2 | Tesis
Hanya saja, untuk memberikan penjelasan secara umum atas munculnya perumahan-perumahan muslim itu, barangkali perlu melihat kembali ke dalam konteks pada kisaran antara tahun 1970 sampai 1980-an. Pada tahun 1970-an, terdapat kondisi-kondisi yang mendorong program perumahan yang kemudian banyak diikuti oleh munculnya proyek-proyek perumahan yang dikelola oleh swasta. Kondisi-kondisi ini adalah konsekuensi logis dari kebijakan pembangunan nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi (Siregar dalam Tjahjono, dkk, 2012: 131). Pertengahan tahun 1980-an, deregulasi ekonomi2 juga semakin memberikan peluang yang cukup besar kepada swasta atau pengembang non-pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan. Lantas para pengembang kemudian mulai melakukan upayaupaya “akrobatik” dengan inovasi-inovasi berbagai macam konsep perumahan yang dikembangkan untuk menarik minat dan perhatian para konsumen3. Misalnya, muncul konsep “perumahan hijau”, yang tidak hanya menekankan pada kenyamanan dan kemegahan hunian semata, melainkan juga keasrian dan kesegaran alam. Tidak hanya itu, para pengembang juga memasukkan konsep agama (Islam) ke dalam persaingan bisnis properti perumahan. Dimasukkannya konsep agama ke dalam bisnis properti perumahan tersebut, diperkirakan mulai muncul pada sekitar tahun 1990-an, terlebih di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya (Lasman, 2007: 2). Tak mengherankan, pada waktu itu, arus kesadaran Islam kultural dan islam politik—minimal dalam
2
Mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi ekonomi ini, lebih lengkap silahkan lihat dalam CST Kansil “Paket Kebijakan Deregulasi 1988”, Karyasastra Tridarma, Jakarta: 1989. 3 Lihat dan pelajari artikel Farabi Faqih “Rumah ‘Indonesia Indah’” dalam situs www. karbonjournal.org.
3 | Tesis
level dan tataran simbolik—mengalami peningkatan yang pesat (Ibrahim dalam Latif, 2007). Islamisasi merebak di berbagai bidang dan aspek kehidupan di masyarakat (Ricklefs, 2012: 453; Turmudi, 2014: 6; Baso, 2002: 20). Menguatnya proses islamisasi ini, tak bisa dilepaskan dari konteks politik yang melingkupinya. Semua bermula dari sebuah pergeseran politik penguasa Orde Baru terhadap Islam. Jika sebelumnya, negara di bawah rezim Orde Baru menerapkan political scape-goating yang penuh kebencian terhadap Islam4. Namun, pada akhir tahun 1980-an, penguasa mulai tampak merangkul hampir seluruh elemen umat Islam. Islam mulai diakomodasi oleh penguasa sejak saat itu. Pada awal tahun 1990-an, akomodasi penguasa terhadap Islam dianggap berada pada titik puncaknya (Maliki, 2010: 298). William Liddle bahkan mencatat pergeseran politik ini sebagai Islamic turn in Indonesia5. Martin van Bruinessen mengganggapnya sebagai “pembalikan dramatis dari kebijakan-kebijakan Orde Baru sebelumnya” (Bruinessen, 2013: 223). Robert Hefner menyebutnya sebagai regimist Islam6. Fachry Ali dalam pidato politik akhir tahunnya di LIPI pada tahun 1994 menyebutnya sebagai “institusionalisasi tidak resmi penyatuan Islam dan negara” (dalam Husaini, 1995: 90). Sebagian pengamat lain, menggambarkan fenomena ini sebagai era “bulan madu” antara Islam dan pemerintah (Afandi, 4
Mengenai hubungan yang sublim antara Islam dan negara, terutama bagaimana represi yang dilakukan negara terhadap Islam pada masa Orde Baru, bisa dilihat dalam Robert Pringle “Understanding Islam in Indonesia: Politics and Diversity” pada bagian “The Suharto Era: Islam Repressed, Islam Resurgent”, Singapore, EDM. Lihat juga dalam Noorhaidi Hasan “Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru”, Jakarta, LP3ES dan KITLV, hal 45. 5 Untuk membaca lebih jauh analisa William Liddle, lihat artikelnya berjudul “The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation” dalam The Journal of Asian Studies No 3 Volume 55 tahun 1996. 6 Pemahaman lebih detail, lihat Robert Hefner, dalam “Civic Islam: Muslim and Democratizationin Indonesia”, Princeton University Press, 2000, terutama bagian dalam hal 12843.
4 | Tesis
1997: 3). Islam mulai bangkit dari tiarap panjang, dari pengucilan struktural, dari keterpinggiran, dan mulai mendapatkan akses yang besar dalam pemerintahan serta
memiliki
keberanian
mengartikulasikan
identitasnya,
kesadaran
relijiusitasnya di ranah publik (SCHMIDT, 2012: 384; Assyaukanie, 2009: 177; Hasbullah, 2012: 49). Suatu hal yang sebelumnya betul-betul tak dapat dan mustahil dilakukan. Perumahan muslim, diakuti tidak, merupakan salah satu wujud ekspresi dan artikulasi identitas Islam7—setelah akomodasi Islam ini— dalam produk-produk kultural yang dimanfaatkan seluas-luasnya oleh para kapitalis8 (developer/pengembang perumahan) untuk mereguk profit dan keuntungan-keuntungan material yang sebesar-besarnya.
[] Mencermati fenomena muncul dan merebaknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta, secara teoretis kita menemukan dua hal, apa yang oleh Ronald Lukens-Bull (dalam Kittiarsa, 2008: 220) disebut sebagai ideologization of commodities (religification of commodities) dan commoditization of ideologies. Dua konsep yang mengacu pada proses-proses yang menyambungkan dan melekatkan (embodement) nilai-nilai, ide-ide dan ideologi pada suatu komoditas, serta proses-proses yang menjadikan yang ideologis tersebut menjadi sekedar 7
Identitas Islam dalam ruang publik, diakui tidak, merupakan dunia sosial yang terepresentasikan di dalam dunia material melalui berbagai tanda, wacana dan struktur. Untuk pemahaman mengenai dunia sosial yang direpresentasikan dalam dunia material tersebut, lihat buku “Discourse in Place: Language in the Material World”, karya Ron Scollon dan Suzie Wong, Routlledge, 2003. 8 Menurut Yoshihara Kunio dalam bukunya yang cukup terkenal “The rise of Ersazt capitalism in Southeast Asia”, dalam negara-negara sedang berkembang, istilah “kapitalis” memiliki konotasi yang buruk dan negatif. Istilah ini kemudian diganti dengan istilah yang terdengar lebih netral seperti “elit bisnis” dan “wirausahawan”. Lihat Yoshihara Kunio, “Kapitalisme Semu Asia Tenggara”, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta, 1990: 1
5 | Tesis
komoditas itu sendiri. Dalam konteks perumahan muslim, kita melihat bagaimana para pengembang (developer) memasukkan dan melekatkan konsep agama (Islam) ke dalam komoditas properti perumahan. Bagi para pengembang yang orientasinya sekedar bisnis dan profit, tentu perumahan-perumahan muslim diproduksi karena menganggap prospek pasar yang bagus. Mengingat jumlah kelas menengah muslim9, termasuk di Yogyakarta, cukup besar. Meskipun dari pengamatan awal yang penulis lakukan, ada beberapa proyek perumahan muslim di Yogyakarta (untuk tidak mengatakan sebagian besar) yang dibangun bukan semata-mata karena tujuan mencari keuntungan material, melainkan juga digerakkan dan “dipandu” oleh hal-hal yang sifatnya ideologis-keagamaan, baik dari sisi pengembang sendiri maupun konseptor perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Konseptor yang penulis maksud adalah orang-orang yang merumuskan konsep perumahan muslim dan membangun relasi kerja dengan pengembang dalam merealisasikan perumahan muslim yang dikonsepnya. Konseptor perumahan muslim ini, penulis sebut sebagai ‘elit kelompok Islam’. Disebut demikian, sebab konseptor mendaku membawa muatan “dakwah agama” dalam proses produksi perumahan muslim yang mereka lakukan. Pada titik ini, penulis menemukan adanya dominasi kekuatan kapitalis (developer/pengembang perumahan) dan elit kelompok Islam yang bersekongkol dalam memproduksi perumahan muslim di Yogyakarta.
9
Menurut banyak ilmuwan sosial, seperti Hefner, Kuntowijoyo, Arif Budiman, dll, kelas menengah di Indonesia muncul secara fenomenal pada tahun 1980-1990-an, termasuk kelas menengah muslim di dalamnya. Yang menarik, dalam konteks Indonesia, kemunculan lapisan masyarakat baru ini nyaris bersamaan dengan meningkatnya semangat kembali pada agama. Lihat Moeflich Hasbullah dalam “Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia”, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2014: 94-96.
6 | Tesis
Elit-elit Islam sendiri, secara pemikiran, nampaknya tidak seragam dalam memandang fenomena perumahan muslim. Sebagian mereka memandang Islam itu bersifat holistik, integral, mengatur semua aspek kehidupan seorang muslim termasuk urusan bagaimana membangun rumah dan tempat tinggal. Al-Quran dan Hadis sebagai teks dasar acuan dalam Islam, memang tidak memberikan tuntunan yang eksplisit tentang bagaimana membangun rumah dan tempat tinggal, tetapi keduanya, tetap mengatur dalam bentuk aturan-aturan akhlak perilaku sehari-hari sebagai individu dan kelompok masyarakat. Nilai-nilai keislaman ini pada gilirannya
kemudian
dianggap
mempengaruhi
perwujudan
arsitekturnya
(Nurjayanti, 2014: 310). Sebaliknya, sebagian yang lain, menegaskan bahwa tidak terlalu penting menonjolkan identitas keislaman dalam ruang publik. Salah satu pemikir Islam terkemuka, Mohammad Arkoun, misalnya, menuding bahwa bangunan-bangunan (termasuk perumahan) yang mengekspresikan dan diberikan label Islam merupakan subjek persoalan dari sebuah proses kemunduran yang menarik (Arkoun, 1990: 49)10. Fenomena merebaknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta, bagi penulis, bukan hanya persoalan komodifikasi agamanya yang penting dikaji dan dipersoalkan. Yang tidak kalah menarik, juga persoalan tarik menarik kepentingan ideologis tertentu yang kemungkinan bermain di dalamnya. Mengingat perumahan muslim merupakan sebuah ruang (sosial). Diakui tidak,
10
Mohammad Arkoun bahkan menuding banyak arsitek yang tiba-tiba menjadi kaya karena proyek bangunan-bangunan yang diberikan label Islam, pesanan sponsor. Lihat artikelnya “Islamic Culture, Developing Studies, Modern Thought” dalam “Expression of Islam in Buildings”, Proceeding of An International Seminar yang disponsori oleh Aga Khan Award for Architecture, 1990, hal 54.
7 | Tesis
perumahan muslim menjadi salah satu dari problem-problem keruangan di Yogyakarta, selain massifnya pembangunan mall, apartemen, dan hotel mewah yang belakangan mendapatkan gugatan serius dari publik. Dalam teori-teori ruang yang dirumuskan beberapa ilmuwan sosial kritis, ruang selalu diyakini sebagai hasil dari konstruksi sosial, dari relasi-relasi sosial yang dinamis dan terus berubah dan selalu bertaut dengan pertanyaan seputar kekuasaan dan simbolisme (Shields, 2006: 148; Barker, 2008: 309). Ruang dengan manusia itu selalu berdialog (Ajidarma, 2008: 229). Bahkan bagi Henri Lefebvre, salah seorang teoretikus neo-Marxian terkemuka, ruang bukan hanya sekedar sesuatu yang dapat dikonsumsi semata, tetapi ruang juga dijadikan alat kekuasaan untuk meraih kendali atas ruang yang semakin besar oleh kelas-kelas yang berkuasa (Lefebvre, 1991: 26-27). Dalam praktik dominasi atas ruang, hampir selalu pasti akan selalu terjadi peminggiran.
[] Perumahan muslim sangat terkait dengan arsitektur, sebab teknis perencanaan dan pembangunannya selalu membutuhkan peran kerja seorang arsitek. Para arsitek-lah (tentu setelah bekerja sama dengan para pengembang dan elit kelompok Islam) yang kemudian mengkonsep bagaimana perumahan muslim itu didesain dan ditata sedemikian rupa. Dalam hal ini, kolaborasi di antara mereka dapat dianggap sebagai pialang budaya baru (intelectuals of new culture intermediaries) bagi tersebarnya perumahan muslim di Indonesia, dan khususnya
8 | Tesis
di Yogyakarta11. Dalam perspektif kajian arsitektur kritis, arsitektur memang tidak dipahami hanya sekadar urusan gambar dan bangunan semata. Para arsitek menghasilkan karyanya tidak melulu hanya dengan menggunakan dan menerapkan teknik konstruksi dan fungsi bangunan. Lebih dari itu, arsitek ikut terlibat dalam menyusun tatanan simbolik dan membentuk sistem sosial dan budaya (Kusno, 2012: 2 - 3; Ikhwanuddin, 2005: 1). Manneka Budiman dalam pengantar untuk buku Abidin Kusno “Zaman Baru Generasi Modernis: Sebuah Catatan Arsitektur” juga memandang arsitek bukan sekumpulan tukang12 yang hanya tahu dan mengerti soal-soal teknis. Mereka mau tidak mau, kata dia, terseret dalam pusaran sejarah dan dipaksa untuk turut menjadi pemain penting dalam transformasi zaman dan formasi identitas zaman tersebut (Kusno, 2012). Konsepsi ruang Henri Lefebvre tampak memiliki semangat yang sama dengan perspektif arsitektur kritis, karena konsepsi ruang Lefebvre memang banyak menginspirasi kajian-kajian arsitekur.
1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari argumentasi dan pemaparan yang cukup panjang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji fenomena merebaknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta sebagai ruang (sosial). Pertanyaan-pertanyaan seperti, proses-proses dan relasi-relasi sosial seperti apakah yang menciptakan dan membentuk perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta sebagai ruang (sosial)? 11
Mengenai konsep intellectuals of new cultural intermediaries bisa dilihat lebih jauh dalam Mike Featherstone “Consumer Culture and Postmodernism”, SAGE Publication, 2007, hal. 89 12 Ada perbedaan antara arsitek tukang dengan arsitek intelektual yang terpejalar. Lihat dalam “Ruang dalam Arsitektur”, karya Cornelis Van de Van, penj. Imam Djokomono dan Prihminto Widodo, Jakarta, Gramedia, 1991: XIV dan XIV
9 | Tesis
Siapa sajakah para aktor dan agen yang terlibat dalam produksi perumahanperumahan muslim dan bagaimana tarik-ulur dinamika kepentingannya? Siapa yang dominan dan siapa terpinggirkan dalam proses penciptaan dan produksi ruang perumahan-perumahan muslim, mengingat ruang dalam konsepsi Lefebvre (1991) selalu diorientasikan untuk kepentingan dominasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dirasa lebih tepat jika diarahkan ke dalam rumusan masalah yang spesifik sebagai berikut: 1. Bagaimana
produksi
ruang
perumahan-perumahan
muslim
di
Yogyakarta? 2. Bagaimana relasi dan kepentingan ekonomi politik dari pengembang dan elit kelompok Islam yang terlibat dalam proses produksi ruang perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui bagaimana proses produksi ruang perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. 2. Mengetahui bagaimana relasi dan kepentingan ekonomi politik dari pengembang dan elit kelompok Islam yang terlibat dalam proses produksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis 1. Diharapkan dapat menambah dan memperkaya literatur ilmiah
10 | Tesis
tentang studi dan kajian mengenai ruang, terutama ruang dalam perspektif Neo-Marxian. 2. Kajian kritis mengenai perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta relatif belum banyak dikaji.
b. Manfaat Praktis 1. Diharapkan dapat memberikan informasi yang bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan terkait perumahan, khususnya di daerah Yogyakarta. 2. Diharapkan dapat menjadi rujukan para praktisi, aktivis dan publik secara luas dalam mengadvokasi persoalan-persoalan ruang di Yogyakarta.
1.5 Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka ini, penulis menelusuri penelitian-penelitian terdahulu yang dianggap relevan, terutama mengenai persoalan semakin menguatnya identitas keislaman dan mengentalnya proses islamisasi di Indonesia menjelang akhir dan pasca Orde Baru, serta kajian kritis soal perumahan (lebih spesifik, perumahan muslim), gate community (komunitas berpagar), dan terutama dalam kaitannya dengan persoalan tata ruang dan segregasi sosial di Yogyakarta. Penelusuran penelitian terdahulu ini sangat penting dilakukan untuk memberikan pijakan ilmiah dan penegasan akan aspek kebaruan penelitian yang akan dilakukan.
11 | Tesis
1.5.1 Islamisasi Pasca Orde Baru Persoalan semakin menguatnya proses islamisasi dan identitas keislaman di Indonesia menjelang akhir dan terutama pasca Orde Baru sudah banyak dikaji. Beberapa penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian tesis ini, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh M.C. Ricklefs berjudul “Islamisation and Its Opponents in Java”13. Tesis penting dari Ricklefs dalam karyanya ini yang patut ditebalkan adalah: masyarakat Indonesia pasca Orde Baru semakin terislamkan. Islamisasi di Indonesia (terutama di Jawa) semakin mendalam. Jawa semakin “hijau”. Bahkan, saking mengental dan menguatnya islamisasi tersebut, kata Ricklefs, saat ini tidak ada lagi penentangan yang cukup signifikan terhadapnya, bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dalam buku ini, Ricklefs memang menyinggung pergulatan dan pertarungan antara kaum islamis dengan kaum sekuler, santri dan abangan, sejak memperjuangkan dan memperdebatkan dasar-dasar negara Indonesia, perdebatan Konstituante pada masa Orde Lama, sampai Orde Baru. Namun kata Ricklefs, memasuki periode jelang akhir dan terutama pasca Orde Baru, sulit ditampik dan diingkari bahwa islamisasi di Indonesia (terutama di Jawa) mengalami kecenderungan semakin menguat. Perkembangan islamisme di tahun-tahun 1980 dan berpuncak pada tahun 1990-an ini, menurut Ricklefs, disebabkan oleh adanya beberapa peristiwa besar yang muncul dan mengitarinya: Pertama, rezim yang mendambakan hegemoni ideologis. Kedua, pendekatan antara NU dan rezim yang
13
Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Fx Dono Sunardi dan Satrio Wahono dengan judul “Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang”, Serambi, Jakarta, 2013. Buku yang dipakai dalam studi pustaka ini adalah buku yang versi terjemahan.
12 | Tesis
mendukung kemajuan dakwahisme. Ketiga, kemunculan kelompok-kelompok revivalis dan islamis yang aspirasinya sejalan dengan beberapa unsur di dalam elit rezim. Keempat, ketiga peristiwa besar tersebut di atas membawa konsekuensi logis berupa islamisasi yang lebih dalam, yang kemudian lazim disebut “penghijauan” rezim Orde Baru (Ricklefs, 2013). Sebagaimana diketahui, sebelum tahun 1980-an, hubungan antara rezim Orde Baru dengan Islam mengalami pasang surut. Bahkan, Islam pernah mengalami pengucilan struktural dan dipinggirkan oleh rezim. Seorang Indonesianis lain, R. William Liddle—dalam memahami mengapa rezim Orde Baru pada tahun 1980-an mulai condong “beralih ke kanan” dan merangkul Islam—menjelaskan dua kelompok pendekatan yang berusaha menjawabnya: pendekatan pertama, mengajukan penjelasan kemasyarakatan dan menekankan kekuatan politik pertumbuhan islamisasi masyarakat dan kebudayaan Indonesia, dan pendekatan kedua yang memfokuskan lebih sempit pada masalah konflik elit di dalam negara otoriter, terutama dari perilaku politik Presiden Soeharto (Liddle, 1997: 72). Dalam pendekatan yang pertama, kata Liddle, Robert Hefner termasuk salah ilmuwan sosial terkemuka yang memberikan analisa cukup tajam dan menarik. Menurut Liddle dengan mengutip Hefner, argumentasi Hefner setidaknya mengandung tiga hal: Pertama, Hefner percaya bahwa selama Orde Baru sejumlah besar orang yang sebelumnya abangan telah menjadi pemeluk Islam yang saleh atau santri. Kedua, banyak santri baru yang menjadi kelas menengah yang sedang tumbuh, karena mendapatkan pendidikan modern, dipekerjakan sebagai karyawan “berkerah putih”, manajer, profesional baik di
13 | Tesis
sektor pemerintahan atau swasta. Kelompok santri baru ini menampilkan budaya agama yang lebih toleran, moderat dan terbuka dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Nurcholis Madjid dianggap sebagai juru bicara kelas menengah Islam baru ini. Dan ketiga, penerimaaan Presiden Soeharto terhadap bagianbagian pokok rencana aktivis Islam, termasuk dukungannya pada pembentukan ICMI sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan besar di dalam masyarakat Indonesia, terutama sekali islamisasi dari kelas menengah tadi (Liddle, 1997: 7274). Perkembangan islamisasi ini dipandang terus tumbuh dan semakin menguat pasca Orde Baru, sebagaimana ditegaskan Ricklefs di atas. Untuk
meneguhkan
pendapatnya
mengenai
semakin
menguatnya
islamisasi di Indonesia (terutama dalam kehidupan masyarakat di Jawa) yang semakin islami tersebut, Ricklefs mengajukan data-data yang meyakinkan soal mengentalnya kesadaran akan Islam di kalangan masyarakat yang ditunjukkan dari semakin menjamurnya label-label Islam di semua bidang dan aspek kehidupan di Indonesia, seperti bisnis, pemerintahan, kebudayaan populer, pendidikan dan lain sebagainya. Islam semakin menonjol dan memiliki pengaruh kuat baik di pemerintahan, kebudayaan, dan semua praktik sosial sehari-hari. Meskipun tetap, sebagai ilmuwan sosial, Ricklefs menyadari bahwa proses-proses sosial di mana pun termasuk di Indonesia (terlebih di Jawa) tidak akan pernah selesai, dan mengenal titik akhir. Dengan rendah hati, Ricklefs mengatakan ketika buku ini sedang ditulis, cerita islamisasi di Indonesia tak akan rampung dibahas dan diperdebatkan. Tetapi, lanjut dia, adalah hal yang keliru bila transformasi sosial, pergeseran-pergesaran yang terjadi pada tahun-tahun 1980 dan akhir Orde
14 | Tesis
Baru yang menunjukkan adanya tren ke arah islamisasi yang lebih mendalam diabaikan begitu saja. Tren ke arah islamisasi yang terus tumbuh dan mendalam pasca Orde Baru, tidak mungkin bisa begitu saja dibalikkan (Ricklefs, 2014: 429). Penelitian terdahulu kedua yang menyinggung tentang menguatnya proses islamisasi dan identitas keislaman di Indonesia pasca Orde Baru, ditulis oleh S. Bayu Wahyono berjudul “Kejawen dan Aliran Islam: Studi tentang Respons Kultural dan Politik Masyarakat Kejawen terhadap Penetrasi Gerakan Islam Puritan di Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan disertasi S. Bayu Wahyono di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Penelitian ini menegaskan bahwa ketika negara mengalami surut—setelah sebelumnya, selama lebih dari tiga puluh tahun
lamanya
menjadi
kekuatan
hegemonik
dan
dominatif
terhadap
masyarakat—mengakibatkan pertarungan identitas dan ideologis serta benturan nilai semakin tak bisa dihindari di dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat lebih leluasa mengekspresikan nilai, identitas dan ideologinya dengan memanfaatkan ruang-ruang publik yang ada tanpa adanya kontrol yang efektif dari negara. Bahkan, benturan nilai itu mengarah pada keinginan untuk saling mendominasi dan meniadakan satu sama lain. Dalam konteks sosio-politik seperti itu, Wahyono mencoba melihat bagaimana benturan nilai, identitas dan ideologi antara masyarakat Kejawen dan Islam di Yogyakarta. Sebab dekade 1990-an di Indonesia, kelompok Islam puritan mengalami gelombang kebangkitan. Bagaimana pergulatan keduanya di tengah-tengah kondisi politik yang terbuka, menjadi pertanyaan yang menarik perhatiannya. Maka, Wahyono memfokuskan penelitiannya tersebut pada pertanyaan yang lebih spesifik: (1) dalam proses
15 | Tesis
pergulatan kedua entitas kebudayaan dan politik tersebut, bagaimana warga masyarakat kejawen mempertahankan identitasnya ketika menghadapi penetrasi gerakan Islam puritan? Secara kultural, apakah masyarakat kejawen dalam merespon tekanan pengaruh Islam puritan, mengalami proses kehilangan identitasnya atau terus berupaya mempertahankannya? (2) Secara politik bagaimana masyarakat kejawen merespon tekanan pengaruh gerakan Islam puritan, apakah terjadi proses transformasi menjadi basis pendukung partai-partai Islam, atau tetap berusaha memberikan dukungan terhadap partai-partai nasionalis yang dianggap mampu menjamin dan memberi proteksi terhadap kelangsungan tradisi kejawen? (3) Dalam proses pergulatan antara warga masyarakat kejawen yang masih mendukung tradisi kebudayaannya dengan pendukung gerakan Islam puritan, bagaimana karakter hubungan kedua entitas tersebut? Bersifat interrelatif, kontestatif atau bahkan konfliktual? Dengan
menggunakan
metode
etnografi,
menemukan bahwa dalam menghadapi
penelitian
disertasi
ini
gempuran penguatan islamisasi,
masyarakat kejawen di tingkat akar rumput melakukan respons kultural berupa strategi perumitan budaya, reproduksi nilai-nilai, tradisi-tradisi dan ritual-ritual Jawa dengan intens. Masyarakat kejawen menghidupkan dan semakin menggiatkan kembali acara seperti, ruwatan, methik padi, jamasan, kirap pusaka, serta meningkatkan kegairahan untuk mengunjungi tempat-tempat yang dianggap keramat, yang notabennya dianggap syirik dalam kacamata Islam puritan. Ke semuanya itu, dilakukan untuk membentengi masyarakat kejawen dari penerobosan program-program puritanasisasi Islam dan islamisasi yang semakin
16 | Tesis
meluas. Sementara respons politik masyarakat kejawen terhadap gempuran islamisasi dan Islam puritan tersebut, dilakukan dengan cara memilih, berafiliasi dan bersedia menjadi basis pendukung partai-partai nasionalis dibandingkan partai-partai Islam. Alasannya, partai-partai nasional dianggap lebih menjamin kelestarian tradisi dan nilai-nilai kejawen dibandingkan partai-partai Islam. Penelitian terdahulu ketiga mengenai semakin menguatnya islamisasi dan identitas keislaman di Indonesia, yang dianggap relevan adalah“On Secularization and Islamization: A Sosiological Interpretation”, sebuah tesis yang ditulis oleh Yudi Latif untuk meraih gelar Magister di Universitas Nasional Australia pada tahun 199914. Tesis ini juga berangkat dari fakta yang menarik perhatian Latif: menguatnya islamisasi di republik ini. Sekalipun Latif menyadari bahwa partaipartai Islam masih kalah bersaing dengan partai-partai nasional, tetapi dalam Orde Reformasi, menurutnya, kepemimpinan kenegaraan dan birokrasi pemerintahan memperlihatkan representasi kaum santri yang sangat mencolok. Tidak hanya di level pemerintahan, dalam kehidupan sosial sehari-hari tren islamisasi mengalami penguatan. Padahal kata Latif, di bawah rezim developmentalisme Orde Baru, Indonesia diterpa arus modernisasi yang cukup kuat. Seharusnya, jika mengikuti asumsi umum modernisme Barat yang mengatakan bahwa modernisasi akan selalu berjalan secara bertolak belakang dengan agama, maka mengapa di Indonesia modernisasi dapat berjalan seiring dengan islamisasi? Mengapa modernisasi di Indonesia tak berjalan seperti trayek modernisasi di Barat? Inilah yang menjadi fokus penelitian Latif. Latif melalui penelitian tesisnya ini 14
Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dibukukan oleh penerbit Jalasutra dengan judul “Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia”, 2007. Buku yang dipakai dalam studi pustaka ini adalah buku yang versi terjemahan.
17 | Tesis
menawarkan apa yang disebut sebagai “pendekatan dari bawah” untuk membedakan dengan “pendekatan dari atas”. Maksud pendekatan dari atas adalah bahwa modernisasi secara tak terhindarkan akan selalu mengarah pada penyingkiran agama sebagaimana dipahami secara luas selama ini, seperti dalam trayek modernisasi di Barat. Sebaliknya, pendekatan dari bawah meyakini bahwa modernisasi bisa berjalan seiring dengan islamisasi, dengan memperhatikan karakter khusus dari agama dan sosio-historis dari masyarakat itu sendiri. Dalam kesimpulannya, Latif menegaskan bahwa di Indonesia, tak akan ada modernisasi total ataupun islamisasi total. Sebab respon dan sikap muslim di Indonesia terhadap modernisasi tidaklah homogen. Sebagian muslim lebih akomodatif terhadap gagasan-gagasan modernisme demi memajukan masyarakat Islam sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman modern. Sebagian yang lain, menghendaki modernisasi yang berorientasi Islam. Yang satu menghendaki “modernisasi islam”, yang lainnya menghendaki “islamisasi modern”. Tapi kata Latif, tujuannya sama: merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia modern (Latif, 2007). Oleh karena itu, Latif meyakini bahwa modernisasi dan islamisasi di Indonesia dapat berjalan secara simultan, dan memiliki arena dan senjatanya masing-masing untuk saling bertahan. Perumahan muslim merupakan salah satu arena bagi islamisasi tersebut.
1.5.2 Perumahan, Segregasi Sosial dan Tata Ruang di Yogyakarta Perlu ditegaskan, bahwa sejauh penelusuran penulis, studi dan kajian tentang perumahan (secara spesifik, tentang perumahan muslim) yang
18 | Tesis
menggunakan pendekatan dan perspektif teori kritis belum banyak dilakukan, terlebih di Indonesia. Yang banyak, hanyalah penelitian-penelitian tentang perumahan dari disiplin manajemen (pemasaran), arsitektur dan teknik sipil, yang menurut penilaian penulis, kurang tepat untuk dijadikan pustaka terdahulu penelitian tesis ini, karena kajian-kajian tersebut kurang terasa political-culturenya. Dalam penelusaran tersebut, akhirnya ditemukan beberapa penelitian terdahulu berupa artikel-artikel ilmiah yang dianggap terkait dan relevan dengan topik yang dibahas. Penelitian tersebut adalah artikel ilmiah berjudul “Displaying Desire and Distinction in Housing” yang ditulis Elizabeth Silva dan David Wright. Artikel ini dimuat dalam jurnal “Cultural Sociology” Volume 3, Nomer I, Maret 2009 dan diterbitkan oleh SAGE Publication. Dalam artikel ini, Elizabeth Silva dan David Wright mendiskusikan mengenai makna modal kultural untuk memahami persoalan kekinian mengenai perumahan-perumahan di Britain, Inggris. Artikel ini menunjukkan bahwa perumahan di Britain terkait dengan posisi individual dalam ruang sosial. Menurut Silva dan Wright, aspek-aspek material dari perumahan ternyata sangat berhubungan dengan “pamer hasrat” untuk menunjukkan posisi, status dan perbedaan sosial yang diekspresikan dengan atau melalui dekorasi rumah dan ideide individual tentang sebuah rumah ideal yang diimpikan. Dengan kata yang lebih sederhana, Silva dan Wright, dengan menyandarkan penelitiannya pada teori-teori Pierre Bourdieu terutama “Distinctions”, ingin menegaskan bahwa
19 | Tesis
perumahan di Britain dijadikan semacam penanda dan pembeda kelas sosial di sana. Artikel ini didasarkan pada sebuah investigasi ekstensif mengenai modal kultural dan eksklusi sosial dengan mempertimbangkan perumahan aktual di Britain, baik berupa lokasi, tipe dan dekorasi perumahan serta imajinasi tentang perumahan ideal yang diimpikan. Penelitian ini menggabungkan dua pendekatan yakni kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Secara kuantitatif, artikel ini mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang lokasi, tipe, dan dekorasi perumahan serta imajinasi tentang perumahan ideal yang diimpikan dalam bentuk kuesioner yang disebar kepada 1564 responden. Responden dengan jumlah tersebut dianggap sebagai sample utama yang merepresentasikan populasi di Inggris dan juga melibatkan 227 responden dari tiga komunitas etnis minoritas terbesar di Britain. Secara kualitatif, penelitian ini melakukan wawancara mendalam terhadap 22 responden yang diwawancara di rumah mereka masingmasing terkait dengan pertanyaan yang sama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa modal kultural yang diidentifikasi dengan pengalaman atau tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan selera seseorang sangat menentukan orientasi mengenai perumahan yang ideal yang didambakan. Modal kultural dari seseorang adalah sumber yang berhubungan dengan posisi sosial dan mobilitas sosial dalam sebuah perumahan. Dalam penelitian ini disebutkan orang-orang yang masuk dalam kategori “lower class position” di Britain tidak memiliki imajinasi tentang rumah ideal yang menjadi impian. Mereka umumnya hanya memaknai perumahan hanya sebagai ruang fungsional
20 | Tesis
semata. Berbeda halnya dengan orang-orang yang masuk dalam kategori “high class position”, umumnya mereka selalu memahami perumahan sebagai ruang aestetik yang merefleksikan posisi sosial yang bersangkutan. Dengan kata lain, perumahan bagi mereka, merupakan tempat mempertontonkan hasrat, posisi dan stratifikasi sosial yang membedakan diri mereka dengan yang lain. Penelitian terdahulu berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Derajad S. Widhyharto berjudul “Komunitas Berpagar: Antara Inovasi Sosial dan Ketegangan Sosial (Studi Kasus Komunitas Berpagar di Propinsi D.I Yogyakarta Indonesia)” yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP), Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini menyoroti fenomena berkembangnya gates communities atau komunitas berpagar di Yogyakarta, terutama di wilayah Sleman dan Bantul yang ditandai dengan munculnya perumahan-perumahan berpagar, memiliki portal dan dilengkapi dengan penjagaan yang cukup ketat oleh satpam. Artinya, telah terjadi privatisasi ruang yang menghalangi aksesibilitas publik yang kemudian mengakibatkan terjadinya fragmentasi ruang dan segregasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Perumahan-perumahan tersebut sejak awal, kata Widhyharto, memang dirancang oleh pengembang dengan bentuk site-plan perumahan model cluster mengantong, cul-de-sac, atau dead-end. Dalam penelitiannya ini, Widhyharto menegaskan bahwa gates communities di Indonesia, termasuk juga di Yogyakarta, bukan hanya dihuni oleh orang-orang yang kaya, tetapi juga dari kalangan kelas menengah yang mempunyai kecenderungan gaya hidup dan tingkat konsumtif yang cukup mewah.
21 | Tesis
Di Indonesia secara umum, gate communities, diperkirakan mulai mengalami perkembangan yang pesat pada tahun-tahun 1990-an, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Dalam laporan riset Mahardika, dkk (2006), seperti dikutip Widhyharto, perkembangan tersebut ditandai dengan kehadiran Bumi Serpong Damai di Jakarta. Meskipun, fenomena ini dianggap tidak terlalu mendapatkan perhatian kritis dari banyak pihak. Setidaknya hanya dua artikel Kompas yang menyoroti tentang fenomena ini, yaitu tulisan Ridwan Kamil berjudul “Arogansi Gated-Community di Kota Kita” yang dimuat dalam harian Kompas, pada Minggu 29 Oktober 2000. Tulisan yang lainnya, ditulis oleh Wahyu Dewanto berjudul “Ketidakamanan Mengubah Arsitektur Kota Kita”. Di Yogyakarta sendiri, menurut Widhyharto, telah mengenal konsep komunitas berpagar sejak awal dekade ketiga abad ke-20, seiring dengan berkembangnya wilayah Kotagede. Komunitas berpagar tersebut, umumnya berdasarkan profesi pekerjaan, pendapatan, dan etnis. Termasuk juga berdasarkan agama. Perkembangan gate communities ini kemudian terus mengalami peningkatan yang pesat pada tahun-tahun berikutnya, setelah pemerintah daerah juga seperti berlomba-lomba mempromosikan wilayahnya sebagai tempat investasi yang aman demi mengejar tingkat pertumbuhan daerah. Menurut Widhyharto, ketiadaan platform teoritis yang cukup dari kalangan ilmuwan mengakibatkan ketiadaan respon yang massif dari lembaga yang bertanggung jawab terhadap perencanaan kota dan perumahan. Padahal, fenomena gates communites yang mengakibatkan fragmentasi ruang dan segregasi sosial, baik berdasarkan kelas dan etnis ini, akan mendatangkan persoalan baru seperti urban
22 | Tesis
sprawl, perubahan tata guna lahan secara cepat dan tak terkendali, semakin jauhnya disparitas kaya dan miskin, dan berbagai macam hirarki lainnya dalam masyarakat. Intinya, fenomena gate communities di Yogyakarta menyimpan potensi ketegangan sosial, kegagalan untuk menciptakan tatanan sosial yang baik dan sehat, serta harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah (Widhyharto, 2009: 207). Penelitian terdahulu berikutnya yang menyinggung soal fragmentasi ruang dan segregasi sosial di Yogyakarta dilakukan oleh Suryanto, dkk berjudul “Aspek Budaya dalam Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta” yang dimuat dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Volume 26, Desember 2015. Penelitian ini memang tidak secara spesifik membahas soal fragmentasi ruang dan segregasi sosial di Yogyakarta, melainkan menjelaskan aspek kebudayaan yang mewujud sebagai keistimewaan tata ruang di Yogyakarta. Namun ada sejumlah hal penting yang akan digaris-bawahi terutama menyangkut riwayat tata ruang Yogyakarta dan keistimewaan tata ruang Yogyakarta sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 2012. Jika dalam penelitian sebelumnya, kemunculan gate community di Yogyakarta dianggap dapat membuat sekat-sekat sosial, dalam penelitian ini ditegaskan bahwa fragmentasi ruang dan segresasi sosial sebetulnya sudah dapat dijumpai dalam riwayat kota Yogyakarta sejak dulu kala. Hal tersebut, kata Suryanto, paling tidak dapat dibuktikan melalui hal berikut ini. Dengan mengutip Selo Sumardjan (1962), Suryanto, dkk. menyatakan sejak mula setidaknya sampai awal abad ke 20 atau sampai pemerintahan HB VIII (era kolonial), masyarakat Yogyakarta masih berbudaya tradisional feodal. Konsep
23 | Tesis
feodal yang membentuk piramida kekuasaan dan berorientasi konsentris (memusat) tersebut, pada kenyataannya diwujudkan dalam tata ruang dan wilayah Yogyakarta oleh penguasa. Ruang-ruang kemudian tersekat berdasarkan kelaskelas sosialnya. Kraton adalah pusat kekuasaan, tempat tinggal sultan dan keluarganya. Ini merupakan lapis pertama. Di lapis kedua, terdapat ibu kota (kutho negoro), yang ditinggali para bangsawan dengan jabatan yang tinggi. Para bangsawan tidak diperkenankan tinggal di wilayah lungguhnya, melainkan harus tinggal di wilayah kutho negoro, agar sultan dapat mudah mengawasi mereka. Di lapis terluar, terdapat monconegoro yaitu wilayah yang tidak langsung “terawasi” oleh sultan, tetapi wilayah ini tetap mengakui kesultanan dan biasanya ditinggali oleh rakyat biasa (Suryanto, 2015). Di era kolonial, kelas bangsawan ini memiliki mitra yang dianggap sejajar dan sepadan secara kelas dengan pejabat tinggi Belanda dan pemilik dan pengusaha perkebunan. Fragmentasi ruang dan segregasi sosial di Yogyakarta ini nampaknya terus menjadi persoalan sampai saat ini, meski menampakkan dirinya dengan bentuk-bentuk yang sama sekali baru. Artinya, fragmentasi ruang dan segregasi sosial selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Jika dahulu, sekat-sekat sosial itu dilakukan secara struktural oleh penguasa (raja) dan pemerintah, tetapi saat ini hal tersebut nampaknya juga dilakukan oleh swasta. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari fenomena merebaknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta yang sepenuhnya dibangun oleh pengembang non pemerintah. Penelitian
terdahulu
yang
terakhir
berupa
artikel
ilmiah
berjudul
“Representasi Identitas dalam Brosur dan Artikel Perumahan Muslim” yang
24 | Tesis
ditulis oleh Diah Kartini Lasman. Artikel ilmiah yang dimuat di jurnal dosen Universitas Indonesia (UI) ini menyoroti persoalan representasi identitas (keislaman) dalam brosur-brosur perumahan muslim yang marak belakangan ini. Artikel ini membedakan antara apa yang disebut “perumahan muslim”, “perumahan islami”, dan “arsitektur islami”, sebagai konsep-konsep yang dijual oleh para pengembang atau sebagai strategi para pengembang untuk memikat para konsumen dalam dunia bisnis properti perumahan. Alasannya, kata “muslim” dan “islami” yang dipakai oleh para pengembang dalam bisnis properti perumahan, sebenarnya ingin memberikan penekanan yang berbeda. Sesuai dengan KBBI, kata “muslim” dan “islami” memiliki makna yang tak sama. Kata “islami”, dianggap lebih mengacu pada nuansa atau suasana keislaman. Sementara kata “muslim” dianggap lebih mengacu pada individu dan identitas seseorang. Dalam konteks perumahan, perumahan islami adalah perumahan yang menawarkan nuansa keislaman di dalamnya. Berbeda dengan perumahan islami, perumahan muslim dianggap hanya menawarkan sesuatu yang sifatnya lebih simbolik. Sedangkan arsitektur islami, dalam konteks perumahan muslim adalah perumahan yang dalam proses pembangunannya memperhatikan hal-hal yang dianggap “syar’ie”. Meskipun, dalam penilaian penulis, perumahan muslim dan perumahan islami sebetulnya kurang lebih sama saja, keduanya sama-sama mengandung aspek simbolik dan nuansa Islam sekaligus. Apapun sebutannya, perumahan muslim, perumahan islami, arsitektur islami, pada akhirnya samasama menunjukkan dan menegaskan identitas agama.
25 | Tesis
Artikel ini juga menegaskan bahwa konsumsi atas nama-nama Islam yang dipakai dalam iklan-iklan perumahan muslim, diakui tidak, semakin menegaskan identitas konsumen. Mengikuti Baudrillard, konsumen produk perumahan muslim, bukan semata-mata membeli perumahan muslim karena nilai fungsionalnya. Melainkan juga berdasarkan pemaknaan total atas citra-citra “Islam” yang dihembuskan oleh iklan-iklan perumahan tersebut. Selain menggunakan teori Baudrillard, artikel ini juga menegaskan persoalan selera akan perumahan muslim dengan merujuk pada teori Pierre Bourdieu. Artikel ini menuding bahwa selera akan perumahan muslim itu tidak netral. Selera merupakan representasi kelas sosial dominan yang mententukan budaya, integrasi kelompok dan sistem komunikasi. Selera pada gilirannya juga bisa membuat posisi sosial konsumen berbeda dengan yang lain. Dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai menguatnya proses islamisasi dan identitas keislaman pasca Orde Baru serta kajian mengenai perumahan, gate communities (komunitas berpagar) dalam kaitannya dengan persoalan fragmentasi ruang dan segregasi sosial serta tata ruang di Yogyakarta di atas, dapat ditarik beberapa benang merah yang tegas: Pertama, islamisasi di Indonesia pasca Orde Baru semakin mengalami pendalaman dan penguatan. Masyarakat semakin terislamkan. Sekalipun di bawah rezim Orde Baru, masyarakat Indonesia diterpa arus modernisme yang intens, tapi islamisasi tetap berkembang. Islamisasi dan modernisasi dianggap dapat berjalan seiring dan simultan. Meski demikian, dalam era yang terbuka seperti sekarang ini dan lemahnya kontrol negara, tak dapat ditampik bahwa pertarungan ideologis, identitas dan nilai akan selalu tetap saling
26 | Tesis
berebut pengaruh dan dominasi dengan berbagai macam strategi yang dilakukan. Mulai dari strategi struktural dengan cara memperebutkan negara, hingga strategi kultural dalam berbagai rupa cara untuk “mengislamikan” masyarakat. Salah satunya dengan cara merebut ruang-ruang keseharian, termasuk perumahan muslim sebagai ruang (sosial). Penting ditegaskan, bahwa perumahan berdasarkan studi pustaka terdahulu di atas, bukan ruang yang netral. Perumahan dapat menjadi arena mempertontonkan hasrat, kedudukan, status sosial untuk membedakan diri
dengan
yang lain,
yang pada akhirnya,
ditemukan
mendatangkan persoalan fragmentasi ruang dan segregasi sosial. Sekali lagi, perumahan bukan kotak-ruang yang netral. Di dalamnya terdapat reproduksi kelas dan sistem nilai. Kedua, iklan-iklan perumahan muslim yang dikaji menandai bahwa produk perumahan muslim memang banyak diproduksi oleh para pengembang saat ini. Perumahan muslim bukan hanya semata-mata menyangkut soal konsumsi nilai tanda dan nilai guna seperti fokus kajian yang dilakukan dalam penelitian terdahulu tersebut di atas. Lebih dari itu, perumahan muslim menjadi korpus kajian yang menarik, yang perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan fokus kajian yang berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya. Misalnya, kajian ruang perumahan muslim sebagai (produk) sosial.
1.6 Perspektif Teoretik 1.6.1 Teori Ruang Henri Lefebvre Ruang merupakan salah satu konsep yang kompleks, yang selama ini, telah banyak didekati dan dirumuskan dari pelbagai sudut pandang dan perspektif,
27 | Tesis
mulai dari filsafat, sciences dan sosial (Kuper dalam Setha dan Zuniga, 2003: 247). Termasuk dari perspektif ilmu sosial Neo-Marxian, terutama dari sudut pandang salah satu tokoh terkemuka Neo-Marxis yang akan dipaparkan dalam bagian ini, yakni Henri Lefebvre. Banyak pemikir ilmu sosial yang menyatakan bahwa tumbuhnya minat ruang dalam teori-teori Neo-Marxian—yang merupakan sebagian terkecil dari bangkitnya minat ruang dalam studi sosiologi—menemukan pijakan awalnya pada kajian Michel Foucault dimana Foucault menegaskan bahwa teori-teori Marxian sebenarnya menempatkan ruang dalam posisi yang istimewa (Ritzer dan Goodman, 2013: 164). Seperti diketahui, dalam lapangan ilmu pengetahuan sosial sebelumnya, ruang dianggap sebagai statis, diam, tidak bergerak dan tidak dialektis, bila dibandingkan dengan waktu. Oleh sebab itu, kajian ruang cenderung kurang diminati. Akibatnya, terjadi devaluasi ruang yang cukup lama. Padahal, waktu dan ruang itu saling terkait, tak dapat dipisahkan. Seharusnya, ruang dan waktu harus dipandang sebagai sesuatu yang sama-sama kaya, terus bergerak, dinamis dan dialektis. Ruang kemudian mulai kembali dikaji secara serius. Bahkan, Foucault mengatakan dengan sangat optimistik bahwa epos zaman sekarang adalah sangat mungkin epos zaman bagi ruang (seperti dikutip dalam Soja, 1989: 10). Henri Lefebvre pada tahun 1960-an, juga menangkap dan mendeteksi fenomena spasial turn: yakni adanya sebuah pergeseran epoch dari “waktu” ke “ruang” ini (Ronneberger dalam Goonewardena, 2008: 136). Hanya saja kemudian, di tangan Lefebvre, teori ruang Marxian mengalami pergeseran yang cukup signifikan: dari sasaran produksi (industri) ke produksi
28 | Tesis
ruang. Artinya, jika sebelumnya dalam teori-teori Marxian fokus perhatiannya terarah pada urusan sarana produksi dalam ruang, dalam analisis spasial Lefebvre, fokus perhatiannya terarah pada produksi ruang aktual itu sendiri. Tapi, tetap semangatnya adalah membongkar dominasi kapitalis dalam menguasai ruang dalam keseharian. Lefebvre menghubungkan dominasi ruang terhadap reproduksi kapitalisme. Dengan kata lain, produksi ruang merupakan fokus analitis Lefebvre, sekaligus kritik dan tujuan politisnya: produksi ruang sebagai landasan bagi transformasi sosial sehari-hari (Ritzer dan Goodman, 2013: 170). Lefebvre memang menekankan pada persoalan everyday life dalam filsafatnya. Menurut Lefebvre, kapitalisme dapat bertahan di akhir abad ke dua puluh dan dapat mengatasi kontradiksi internalnya karena menduduki ruang dan memproduksi ruang. Ini juga menjadi evaluasi mengapa revolusi gagal. Di dalam “Urban Revolution”, Lefebvre menjelaskan bagaimana pertumbuhan industri dan kekuatan industri mendorong proses-proses urbanisasi. Dan, di dalam ruang-ruang urban ini, kapitalisme mereproduksi dirinya (Charnok dan Fumas, 2011: 6). Kapitalisme menciptakan ruang-ruang urban, yang di dalamnya, kapitalisme dapat dengan mudah membentuk kondisi-kondisi permisif untuk mereproduksi secara totalitas masyarakat borjouis.
1.6.2 Ruang Sebagai Produk (Sosial) Lefebvre banyak dipengaruhi Karl Marx dalam merumuskan konsep ruangnya. Meskipun pada mulanya, menurut Elden dan Shield (dalam Wilson, 2013: 356) sepanjang masa karir intelektualnya—mulai tahun 1920-an sampai
29 | Tesis
1980-an—ia concern dengan persoalan alienasi dalam masyarakat modern yang kapitalistik. Bertitik tolak pada problem alienasi yang ditulis Marx dalam Manuscript 1844 itulah, Lefebvre kemudian sampai pada ketertarikan untuk mengembangkan konsep ruang dalam tradisi Marxian. Alienasi, dalam pemikiran Marx, disebabkan karena adanya pemisahan antara produsen dengan makna produksi. Namun para Marxist ortodoks membatasi persoalan alienasi itu hanya sekadar dalam ruang ekonomi. Berbeda dengan mereka, Lefevbre mengatakan bahwa problem alienasi tidak hanya terjadi dalam ruang produksi dan relasi kepemilikan, tetapi alienasi juga dapat terjadi dalam lingkup yang lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Alienasi membentuk peningkatan pemisahan manusia dari hakekat hidup mereka. Dan, ruang abstrak, kata Lefebvre, merupakan tempat dan sumber pemisahan itu. Dengan kata lain, alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi dalam penaklukan dari perebutan akan hidup yang dibayangkan, melalui penguasaan ruang dalam kehidupan keseharian. Kapitalisme semakin meneguhkan dirinya dengan cara ini: menyusun ruang, lalu menguasainya. Ruang abstrak memang merupakan ruang bagi kapitalisme (Wilson, 2013: 364; Charnok dan Fumas, 2011: 5). Ruang abstrak (sepadan dengan representasi ruang yang akan dijelaskan secara lebih jelas di bagian berikutnya) adalah alat kekuasaan, bahkan kekuasaan itu sendiri. Kapitalis tidak hanya sekedar ingin melakukan kontrol terhadap suatu ruang, melainkan meraih kendali atas ruang-ruang yang semakin besar dan menyeluruh (Ritzer dan Goodman, 2013: 168).
30 | Tesis
Dalam karya utamanya “The Production of Space” Lefebvre menegaskan bahwa ruang adalah produk (sosial). Ruang memproduksi struktur kelas, sistem kapitalis, ruang juga tempat dimana praktik–praktik perebutan wacana dan ideologi tertentu selalu terjadi, memperebutkan pengaruh di dalamnya. Ruang, kata Lefevbre, seperti alat berpikir dan bertindak. Ruang bisa mengarahkan bagaimana orang berpikir dan bertindak tertentu dalam kesehariannya, karena ruang memang dimaksudkan untuk kepentingan kontrol dan dominasi. Lefebvre menulis: (social) space is a (social) product … the space thus produced also serves as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of production it is also a means of control, and hence of domination, of power; yet that, as such, it escapes in part from those who would make use of it. The social and political (state) forces which engendered this space now seek, but fail, to master it completely; the very agency that has forced spatial reality towards a sort of uncontrollable autonomy now strives to run it into the ground, then shackle and enslave it” (Lefebvre, 1991: 26-27).
Lefebvre juga mengatakan bahwa di dalam ruang, semua orang seperti “disituasikan”, dimana mereka harus mengakui diri mereka atau menghilangkan diri mereka sendiri (Lefebvre, 1991: 35). Ruang bukanlah suatu area yang kosong dan kotak yang netral. Ruang-ruang yang secara sosial diproduksi menjadikan ruang itu sebagai sesuatu yang tidak sederhana, melainkan sesuatu yang kompleks dan selalu bertaut erat dengan persoalan kekuasaan (Mansvelt, 2005: 56). Di dalam memahami tesis mendasar ruang sebagai produk sosial yang bertaut erat dengan kekuasaan ini, kata Lefebvre, adalah pertama-tama memahami bahwa ruang itu tidak dapat eksis dalam dirinya sendiri. Melainkan, ia selalu diproduksi
31 | Tesis
dan hanya dapat dipahami di dalam konteks masyarakat yang spesifik (Schmid dalam Goonewardena, 2008: 28-29).
1.6.3 Triad Konseptual Lefebvre Lefebvre seperti ditegaskan dalam bagian sebelumnya, memandang ruang itu sebagai produk (sosial). Tetapi, pertanyaannya, bagaimana ruang itu diproduksi (secara sosial)? Lefebvre mengemukakan tiga konsep penting yang menjadi kunci dalam pemahamannya yang canggih atas ruang yang sering disebut sebagai momen-momen produksi ruang. Di satu sisi, Lefebvre merujuk pada konsep triadik/tripartit yaitu praktik spasial (spatial practice), representasi ruang (representation of space) dan ruang representasional (representational space) (Lefebvre, 1991: 38-39; Schmid dalam Goonewardana, 2008: 29). Sementara di sisi yang lain, dia juga merujuk pada apa yang disebutnya sebagai perceived space, conceived space dan lived space. Triad konseptual ini yang kemudian dimaksud sebagai praktik memproduksi ruang yang dilakukan oleh manusia melalui relasi produksi pada sebuah relasi dan praktik sosial. Menurut Lefebvre, makhluk hidup, termasuk juga manusia, pada dasarnya memang mengorientasikan diri mereka di dunia dengan menciptakan ruang (producing space). Memproduksi ruang merupakan metafisika Lefebvre. Scott Lash mengatakan bahwa gagasan Lefebvre ini lebih ambisius dari metafisika Nietzsche yang menekankan pada kehendak berkuasa (will to power) agar manusia tetap survive, atau metafisika Marx yang menekankan pada sekedar kepemilikan modal dan alat produksi. Bagi Lefebvre, untuk survive, manusia
32 | Tesis
tidak hanya perlu memiliki kekuataan modal dan menguasai sarana produksi, atau juga mengenyahkan mentalitas budak, tetapi cara kita menyesuaikan diri kita di dunia adalah dengan memproduksi ruang (Lash, 2006: 116) Lefebvre mencontohkan bagaimana laba-laba (spider) mula-mula menciptakan ruang, berupa jaring-jaring laba-laba yang dikeluarkan dari tubuhnya sendiri. Tubuh dianggap penting, yang menandai, bahwa dalam diri laba-laba, memang sudah terdapat sistem yang inheren untuk memproduksi ruang-ruang bagi kehidupannya sendiri (Lash, 2006: 116). Laba-laba, kata Lefevbre, memproduksi ruang dengan prinsip mimesis, melalui proses pencerminan (mirroring) dan penggambaran (imaging) pada tubuhnya sendiri. Seperti halnya laba-laba, semua makhluk hidup tak terkecuali manusia, dengan kemampuannya, selalu menciptakan ruang dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam menenun jaring-jaring, laba-laba—dan juga makhluk yang lainnya seperti manusia—juga “menenun” imajinasi mereka dan memperluas kekuasaan mereka di atas sebuah arena ruang (Lash, 2006: 117). Inilah yang disebut praktik spasial oleh Lefevbre. Praktik spasial (spatial practice) dalam skema pemikiran Lefebvre dianggap sama dan tidak dibedakan dengan praktik sosial (Wilson, 2013: 367). Praktik sosial, kata Lefebvre, memiliki implikasi-implikasi ruang. Sebab dalam kesehariannya, manusia selalu melakukan aktivitas di dalam pelbagai ruang. Praktik sosial selalu memiliki ruang-ruangnya sendiri. Sederhananya, praktik meruang (atau praktik sosial) terkait dengan bagaimana manusia mencerap, memaknai secara terus menerus ruang-ruang di sekelilingnya. Pemaknaan manusia pada ruang tersebut, disadari tidak, telah menciptakan dan memproduksi
33 | Tesis
ruang yang berbeda dengan ruang yang diapresiasinya dalam konteks tertentu. Nah, dengan menyamakan praktik spasial dan praktik sosial, Lefebvre ingin menegaskan bahwa hanya melalui relasi-sosio historis dari sebuah sosial sebuah ruang dapat diproduksi. Dengan kata lain, praktik spasial adalah proses-proses sosial yang mereproduksi ruang, yang keduanya, bisa menjadi alat dan sekaligus hasil dari aktivitas manusia (Mansvelt, 2005: 57). Sedangkan representasi ruang (representations of space) merupakan ruang normatif, ruang ideal, ruang konseptual yang dirumuskan dan dikonseptualisasi oleh para arsitek, ahli planologi, teknokrat, insinyur sipil dan pemerintah. Menurut Lefebvre, ruang ini adalah ruang dominan di banyak masyarakat. Ruang abstraksi dalam pikiran para ahli tersebut hanya mungkin dikonkretkan melalui sistem representasi dan tanda-tanda yang spesifik (Lefebvre, 1991: 38-39). Ruang representasi ini, bagi Lefebvre adalah “ruang yang sebenarnya” yang dijadikan alat untuk mencapai dan mempertahankan dominasi. Misalnya, program perbauran kota sejak dari awal oleh para arsitek dan planolog didesain, secara teoretis, untuk menghancurkan perumahan-perumahan kumuh milik warga miskin dan kemudian menggantikannya dengan perumahan yang lebih modern dan mewah. Warga miskin dipinggirkan dan dipindahkan ke tempat-tempat baru, ke wilayah-wilayah baru, hanya untuk membangun proyek-proyek perumahan yang biasanya hanya ditempati oleh kelas menengah dan kelas atas saja. “Praktik sosial” warga miskin diganti secara radikal oleh “representasi ruang” (Ritzer dan Goodman, 2013: 166). Ada kekerasan yang intrinsik dalam banyak abstraksi: sebab, kata Lefebvre, semua “rencana (plan)” yang dirumuskan oleh elit itu tidak
34 | Tesis
hanya berhenti di atas kertas, buldozer akan merealisasikan “rencana” tersebut (Charnok dan Fumas, 2011: 12). Menurut Lefebvre, representasi memang tak bisa dihindari, problemnya muncul saat representasi memisahkan bahkan kemudian mendominasi praktik spasial. Bahkan, representasi ruang ini menguasai praktik spasial dan ruang representasional sekaligus. Representasi ruang dapat membunuh praktik-praktik spasial (Lash, 2006: 118-119). Buku “The Production of Space” Lefevbre sebetulnya diposisikan sebagai kritik atas representasi ruang tersebut. Sementara yang terakhir, ruang representasional (representasional space) merupakan ruang yang secara langsung ditempati dan ditinggali oleh warga dan penggunanya (Lefebvre, 1991: 38-39). Menurut Lefevbre, dalam ruang representasional ini, kita dapat melihat semacam pewujudan simbolisme yang kompleks, kadang-kadang semacam kode, baik berupa artikulasi tindakan, perilaku,
hasrat,
ritual-ritual
tertentu
dan
gaya
hidup—sebagaimana
dikonseptualisasikan di dalam representasi ruang (Lefebvre, 1991: 33). Dengan kata lain, jika representasi ruang yang dianggap sebagai “ruang yang sebenarnya” diciptakan oleh kelompok dominan, maka representasi ruang betul-betul menghasilkan “kebenaran ruang”. Orang-orang yang berada di dalamnya akan merasakan dan merefleksikan hal-hal yang benar-benar terjadi di pengalaman hidup lebih dari sekedar “kebenaran asbtrak” seperti yang ada dalam representasi ruang yang diciptakan oleh kelompok dominan untuk mencapai dominasi dan melanggengkan kekuasaan. Ruang representasi lenyap menjadi representasi ruang (Ritzer dan Goodman, 2013: 166).
35 | Tesis
Konsep triadik/tripartit di atas, bagi Lefebvre, merupakan sesuatu yang bersifat determinan: ruang muncul hanya dalam pengaruh-mempengaruhi di antara ketiganya (Schmid dalam Goonewardana, dkk, 2008: 41). Namun, konsep triadik/tripartit yang sudah dijelaskan tersebut, dalam skema pemikiran Lefebvre, berada dalam tataran yang ideal dan terkesan pesimistis. Dalam bahasa yang lebih material dan optimistik, Lefebvre membedakan dengan tiga ruang lagi yang disebutnya sebagai ruang absolut (ruang alamiah), ruang abstrak dan ruang differensial. Menurut Lefevbre, ruang absolut (ruang alamiah) adalah ruang yang tidak mengalami kolonisasi dan dihantam oleh kekuataan ekonomi dan politik. Ruang abstrak sebetulnya serupa dengan representasi ruang. Ia merupakan ruang yang dibentuk oleh perencana kota, arsitek dan lain sebagainya. Namun, ruang abstrak tidak hanya sekedar bersifat ideasional. Ruang abstrak bukan hanya ditandai oleh tidak adanya hal-hal yang diasosiasikan dengan ruang absolut, tetapi ruang yang diduduki, didominasi dan dikendalikan. Sementara ruang differensial merupakan ruang yang mengaksentuasi perbedaan dan kebebasan dari kontrol dan dominasi sebagaimana dalam ruang abstrak. Tapi, Lefevbre sendiri, hanya tertarik dan fokus mengembangkan pemikirannya pada ruang abstrak (Ritzer dan Goodman, 2013: 169). Sebab ruang abstrak, bagi Lefebvre, ruang bagi kapitalisme untuk terus mempertahankan dirinya.
1.7 Metodologi dan Metode Penelitian Penelitian ini sebagaimana tercermin dalam rumusan pertanyaan, merupakan penelitian kritis yang mengambil perspektif cultural studies.
36 | Tesis
Kedudukannya sebagai
penelitian
cultural
studies, penelitian ini
akan
menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Audifax, salah satu karakteristik penting (kalau bukan kunci) dari pendekatan kualitatif adalah tujuannya untuk mengkonstruksi makna budaya, dan nilainya yang mensyaratkan peneliti untuk “hadir” dan “terlibat”. Berkebalikan dan kontras dengan pendekatan kuantitatif yang salah satu karakteristik utamanya adalah bertujuan untuk mengukur fakta objektif dan menekankan pada prinsip bebas nilai (Audifax, 2008: 57). Pendekatan kualitatif dalam cultural studies dapat diterima dan terus dikembangkan. Hal tersebut sangat mungkin mengingat penelitian kualitatif tidak terikat dengan disiplin keilmuan manapun (Denzin dan Lincoln, 2009: 4). Selain itu juga, analisis kualitatif selalu berurusan dengan konsep kebudayaan dan menjelaskan secara penuh makna tindakan. Sementara cultural studies, di satu sisi, tetap mengambil kebudayaan secara serius tanpa mereduksinya, dan sisi yang lain (dan ini yang penting), cultural studies menempatkan kebudayaan dan sistem makna tersebut sebagai sesuatu yang pasti terkait dengan politik dan kekuasaan (Alasuutari, 1996: 2). Mekanisme
kerja
dalam
penelitian
ini
adalah
mendeskripsikan,
menginterpretasi dan menganalisis bagaimana produksi ruang perumahanperumahan muslim di Yogyakarta, serta menganalisis bagaimana relasi dan kepentingan ekonomi-politik dari pengembang dan elit kelompok Islam yang terlibat dalam proses produksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta tersebut.
37 | Tesis
1.7.1 Lokasi Penelitian Penelitian tentang perumahan muslim sebagai ruang (sosial) ini hanya akan dibatasi dan difokuskan pada tiga perumahan muslim yang ada di Yogyakarta, yaitu: perumahan Muslim Darussalam 1 dan 2 yang terletak di Godean, perumahan Muslim Darussalam 3 yang terletak di Condongcatur, serta perumahan Muslim Gapura Sitimulya Estate yang terletak di Piyungan, Jalan Imogiri Km 9. Dua perumahan yang pertama terletak di Kabupaten Sleman. Sementara yang terakhir terletak di Bantul. Pemilihan dua kabupaten ini dilakukan karena di Yogyakarta, perumahan-perumahan muslim memang banyak ditemukan di dua kabupaten tersebut. Penentuan lokasi dan ketiga perumahan muslim ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan: (1) Perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta merebak dan terus tumbuh barangkali sampai beberapa tahun ke depan, terutama di Kabupaten Sleman dan Bantul (2) Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki karakteristik penting, selain karena kemajemukan nilai-nilai, budaya dan ideologi di dalamnya, Yogyakarta juga menjadi miniatur bangsa yang sering dijadikan referensi dan rujukan bagi daerah-daerah yang lain. 3) Perumahan Muslim Darussalam 1 dan 2 dan perumahan Muslim Darussalam 3 relatif merupakan perumahan muslim awal di Yogyakarta, sedangkan perumahan Muslim Gapura Sitimulya Estate merupakan perumahan muslim yang relatif baru dibangun. Berdasarkan pertimbangan atas waktu pemroduksian perumahanperumahan muslim tersebut, penulis bisa melihat apakah ada kesamaan dan
38 | Tesis
perubahan konsep perumahan muslim dari tahun ke tahun di Yogyakarta, terutama mulai tahun awal 2000-an sampai sekarang ini.
1.7.2 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan, berupa hasil wawancara mendalam dan hasil observasi (pengamatan) yang dilakukan mengenai seputar perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Sementara data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber-sumber tertulis, berupa penelitianpenelitian terdahulu yang dianggap terkait dan relevan dengan penelitian ini.
1.7.3 Teknik Penentuan Informan Dalam penelitian ini informan ditentukan secara purposive. Informan yang dipilih adalah orang-orang yang tinggal di perumahan-perumahan muslim, yang dianggap dan diasumsikan memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang seputar perumahan-perumahan muslim. Selain orang-orang yang tinggal di perumahan muslim, beberapa pihak yang dianggap terkait dengan perumahan muslim akan dijadikan informan penelitian ini, seperti para pengembang dan konseptor perumahan muslim di Yogyakarta dan lain sebagainya.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan pengamatan, serta studi
39 | Tesis
dokumen tentang perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta dan lain sebagainya yang dianggap terkait. Menurut Perti Alasuutari, data-data penelitian lapangan yang dihasilkan dari teknik pengumpulan data ini bukanlah hasil penelitian itu sendiri, melainkan hanya sekedar petunjuk-petunjuk (clues), untuk kemudian diinterpretasikan melalui metode tertentu sehingga ditemukan suatu tatanan “tersembunyi dari fenomena sosial”, lebih dari sekedar yang tampak di permukaan (Alasuutari, 1996: 39).
1.7.5 Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan secara deskriptif dan interpretatif kritis, dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: tahapan pertama adalah reduksi data, tahapan kedua adalah penyajian dan interpretasi, dan tahapan terakhir berupa penyimpulan (Denzin, 2009: 591-592).
1.8 Alur dan Sistematika Penulisan Alur dan sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi ke dalam beberapa bab, sebagai berikut: Bab I pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, perspektif teoretik, metodologi dan metode penelitian, serta alur dan sistematika penulisan. Bab II, berisi tentang ulasan mengenai kebangkitan kelas menengah muslim di Yogyakarta. Ulasan ini cukup penting, sebab kelas menengah muslim dapat dianggap sebagai penggerak islamisasi dan sekaligus konsumen terbesar perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Oleh sebab itu, di dalam bab ini
40 | Tesis
dieksplorasi bagaimana kemunculan dan perkembangan kelas menengah muslim di Indonesia, secara lebih spesifik di Yogyakarta. Bab III dan Bab IV, merupakan bab pembahasan. Dalam Bab III dibahas bagaimana produksi ruang perumahanperumahan muslim di Yogyakarta dalam perspektif Henri Lefebvre terutama triad konseptual atau konsep triadiknya. Lebih tegas, dalam bab ini, melihat bagaimana praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasional perumahanperumahan muslim di Yogyakarta. Sementara Bab IV, membahas relasi dan kepentingan ekonomi-politik di antara pengembang dan elit kelompok Islam dalam memproduksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian tesis ini, dikemukakan pada Bab V. Selain berisi kesimpulan yang telah diperoleh, bab ini juga memuat saran bagi penelitian selanjutnya yang masih terkait.
41 | Tesis