BAB I PENDAHULUAN
Di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini diperoleh data mengenai kasus bunuh diri yang banyak dilakukan oleh anak dan usia produktif. Berdasarkan data yang diperoleh dari Yosep (2007) ditemukan beberapa anak usia 12 tahun sampai 23 tahun
di daerah Garut, Lembang, Jakarta
melakukan bunuh diri. Hasil penelitian Suryani dari Institute for Mental Health ( SIMH, 2008) di Bali ditemukan
sekitar 952 orang bunuh diri
dalam 5 tahun terakhir, atau
diperkirakan dalam dua hari terjadi bunuh diri dan mayoritas dilakukan oleh anak dan usia produktif. Faktor penyebab hal ini terjadi, antara lain degadrasi mental atau makin melemahnya sikap mental remaja (Suryani, 2008). Kenakalan dan tindakan patologis kaum remaja semakin marak memenuhi berita dalam media cetak dan elektronik. Berita tawuran antar pelajar di Jakarta, dan adanya
geng motor
remaja
di wilayah Cirebon dan
Bandungyang melakukan pengroyokan, pengrusakan dan penjarahan; adalah merupakan gambaran perilaku remaja yang memprihatinkan pada saat ini. Keputusasaan yang berbuntut bunuh diri dan agresifitas yang destruktif adalah fenomena perilaku patologis yang merupakan cerminan terjadinya degradasi mental pada remaja yang diekspresikan dalam bentuk yang berbeda dan telah terjadi di beberapa wilayah Indonesia saat ini.Hal itu tentunya tidak terlepas dari pengaruh faktor lingkungan sosial, yang menjadi ruang hayat bagi individu remaja.
1
2
Menurut Moghaddam dan Studer,
perilaku manusia bukan dilihat dari
hubungan sebab akibat melainkan dari keterkaitan normatif manusia dan lingkungan
sekitarnya. Budaya menentukan perilaku yang dianggap tepat
tentang bagaimana seharusnya seseorang berperilaku (Utama, 2003). Kemajuan teknologi dan arus globalisasi membuat anak semakin pandai, semakin kritis, semakin banyak keinginannya, namun di sisi lain mentalnya melemah. Hal ini bisa juga karena fasilitas, kemudahan, bahkan kenikmatan hidup ditawarkan dimana- mana, sehingga anak kurang memiliki daya juang untuk mencapai sesuatu (Suryani, 2008). Disamping itu sikap orang tua yang terlalu menanamkan disiplin pada anak demi mengejar prestasi bagaikan pisau bermata dua. Anak diharuskan menurut untuk memenuhi target orang tua, sehingga anak menjadi sangat tertekan dan kemudian dapat melakukan tindakan bunuh diri (Suryani, 2008). Mencermati fenomena-fenomena sosial yang terjadi saat ini, dapat diketahui betapa pentingnya daya tahan dan daya lentur (resiliensi) bagi individu remaja.Karena dengan memiliki resiliensi sebagai kemampuan pribadinya maka remaja akan dapat menghadapi tantangan-tantangan, melakukan penyesuaian diri dengan baik dan dapat terhindar dari perilaku negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya. Menurut Isaacson (2002 dalam Everall, Altrows & Paulson, 2006), resiliensi tidak hanya berkaitan dengan pengalaman traumatis namun juga terkait dengan kemampuan individu dalam mengatasi tekanan kehidupan yang dihadapinya
sehari-hari.Resiliensilebih
merupakan
bagian
dari
proses
perkembangan sehat sebagai adaptasi dan dapat ditingkatkan disepanjang
3
rentang waktu kehidupan, dari pada sebagai suatu ciri sifat yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh individu (Everall, dkk., 2006). Remaja atau adolecence berasal dari kata latin yaitu adolecer , yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak (Calon, dalam Monks, Knoers & Haditono, 2006). Menurut Papalia, Olds dan Fieldman (2004), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 tahun atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Haditono (dalam Monks dkk., 2006), mengemukakan batasan usia remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun remaja awal, dan 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Masa remaja mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat individu mencapai usia matang secara hukum. Garis pemisah antara masa awal dan akhir masa remaja terletak kira-kira di sekitar usia 17 tahun, usia disaat rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menengah tingkat atas. Individu remaja pada rentang usia 17 tahun sampai dengan 21 tahun berada pada usia yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Piaget dalam Hurlock, 2009). Berdasar pendapat para ahli, maka peneliti membatasi penelitian pada remaja usia 16 tahun sampai dengan 21 tahun. Oerter (1985 dalam Huvighurts, 1972) menyatakan bahwa dalam proses perkembangan selama
rentang kehidupannya, seorang individu harus
menguasai serangkaian tugas-tugas
perkembangan yang muncul dari
4
konstelasi-konstelasi khusus yang disebabkan oleh tekanan kemampuan fisik, pengaruh sosio-kultural, dan kemampuan-kemampuan serta aspirasi-aspirasi individual. Contoh tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu: menerima diri sendiri, belajar mengenal peran sosial sebagai laki-laki atau perempuan, memilih dan bersiap-siap untuk menjalankan pekerjaan, mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan dewasa lainnya, menentukan skala nilai dan sistem nilai untuk menjalani kehidupannya ( Huvighurts, 1972 ). Tugas-tugas ini merupakan peletak dasar bagi
perkembangan
selanjutnya. Apabila tugas tersebut berhasil diselesaikan akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan penyelesaian tugas-tugas berikutnya, sedangkan kegagalan-kegagalan akan membawa ketidakbahagiaan dalam diri individu, misalnya berupa celaan dari masyarakat, dan atau kesulitan menghadapi tugastugas selanjutnya (Huvighurst, 1972). Melihat adanya pengaruh sosio-kultural bagi tugas-tugas perkembangan seorang individu, maka hubungan individu dengan masyarakatnya akan semakin penting pada masa remaja ( Haditono dalam Monks dkk., 2006). Lebih lanjut Filzgerald
mendiskripsikan kebudayaan sebagai proses
pembelajaran dan kebersamaan dari perasaan dan penyesuaian pada dunia. Hal ini meliputi perilaku, keyakinan, nilai-nilai dan sikap yang merupakan karakteristik dari sebuah populasi orang (Monks, dkk., 2006). Meskipun kecenderungan akan perkembangan sikap terdapat pada semua remaja pada masa ini , tetapi manifestasinya banyak dipengaruhi oleh faktor kebudayaan (Haditono dalam Monks dkk., 2006).
5
Menurut Suseno (1985), orang Jawa adalah sebutan pada orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya, serta tinggal dibagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa. Daerah asal orang Jawa adalah Pulau Jawa, yaitu suatu pulau yang panjangnya lebih dari 1.200 km, dan lebarnya 500 km, bila diukur dari ujungujungnya
yang
terjauh.
Letaknya
ditepi
selatan
Kepulauan
Indonesia
(Koentjaraningrat, 1994). Dengan demikian kaum remaja yang berasal dan berdomisili di Yogyakarta dapat disebut sebagai remaja Jawa. Remaja Jawa adalah komponen muda yang menjadi bagian dari masyarakat Jawa. Mengingat Yogyakarta menjadi pusat peradaban Jawa dengan keberadaan
Kraton
Ngayogyakarta
Hadiningrat,
maka
masyarakatnya masih kental menganut nilai budaya Jawa
kehidupan
(Koentjaraningrat,
1994). Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan, proses mental, sikap dan tingkah laku kaum remaja Jawa dipengaruhi nilai budaya Jawa yang menjadi ruang lingkup kehidupannya. Peneliti
berkesimpulan bahwa
remaja Jawa
adalah
bagian
dari
masyarakat Jawa, yang lahir dan hidup didalam keluarga yang kedua orang tuanya berasal dari suku Jawa, dan keluarganya tinggal diwilayah Jawa. Peneliti membatasi penelitian ini pada remaja yang tinggal diwilayah kota Yogyakarta, mengingat secara kultural Yogyakarta terletak dibagian tengah pulau Jawa dan masyarakatnya masih kental dengan nuansa budaya Jawa. Penelitian Rachim dan Nashori (2007) mengenai nilai budaya Jawa dan perilaku nakal remaja Jawa mengungkapkan adanya hubungan signifikan antara nilai budaya Jawa dengan perilaku nakal pada remaja Jawa. Semakin tinggi sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai budaya Jawa maka semakin sedikit
6
perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai budaya Jawa semakin tinggi tingkat perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa. Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh nilai budaya Jawa terhadap kehidupan psikologis kaum remaja Jawa. Hal ini disebabkan masih dijaganya nilai budaya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, dan pengajaran dari pihak keluarga maupun sekolah dalam mengenalkan dan mendidik nilai-nilai Jawa yang mengajarkan pada prinsip-prinsip hidup yang luhur (Rachim &Nashori, 2007). Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap bagaimana individu remaja
dalam
menghadapi
masalahnya.
Faktor-faktor
tersebut
adalah:
karakteristik pribadi, situasi, penilaian kognitif dan kebudayaan (Aldwin &Revenson, 1987 dalam Wulandari, 2009). Lea, Spears & de Groot (2001 dalam Baron & Byrne, 2005), menyatakan bahwa orang cenderung untuk mengkategorisasikan diri sendiri dalam kelompokkelompok secara positif dan stereotip tentang orang lain, atas dasar kelompok dimana mereka menjadi anggotanya. Menurut Tajfel & Turner (1979 dalam Savitri, 2008) identitas sosial terdiri dari seluruh aspek dari citra diri seseorang yang berasal dari kategori sosial orang tersebut dikategorikan
(misalnya: kelompok Muslim, Kristen, Jawa,
Amerika) dan juga nilai dan emosi yang menggambarkan keanggotaan orang tersebut dalam kelompok. Jadi identitas sosial adalah definisi personal (diri) dalam terma kelompok (Savitri, 2008). Diri terbentuk karena affiliasi atau keanggotaan individu dalam kelompok sosial tertentu dan-atau kategori sosial tertentu. Dalam interaksi sosial, identitas
7
itu kemudian menjadi ciri yang membedakan dirinya dengan ciri orang lain atau kelompok lain yang tidak menjadi acuannya (Suryanto, 2005). Seorang individu cenderung mendefinisikan diri untuk memperluas dan mengembangkan diri dalam kelompok sosial dan cenderung mencari identitas sosial yang positif. Bagi remaja Jawa adanya identitas diri sebagai orang Jawa diharapkan akan dapat menumbuhkan rasa yang berarti dalam
kehidupannya. Maslow
menambahkan bahwa rasa bangga dan keberartian diri membuat individu mampu mengaktualisasikan diri dengan baik, dan proses aktualisasi adalah perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada, atau yang terpendam (Goble, 2009). Perkembangan remaja erat hubungannya dengan kemampuan remaja memaknai lingkungannya. Menurut Tajfel (dalam Baron & Byrne, 2005), bahwa seorang individu termotivasi untuk memahami dunia sekitarnya sehingga individu tersebut
dapat mengatasi problem-problem yang terjadi secara efektif.
Kategorisasi dapat membantu individu dalam mencapai tujuannya, sebab kategorisasi
lebih responsif terhadap stimulus lingkungan, tanpa evaluasi
terhadap semua kateristiknya. Stimulus sosial maupun non sosial dapat dikategorisasi, dan kategorisasi stimulus sosial ini dapat menyangkut self dan orang lain. Kategorisasi sosial memainkan peranan penting dalam membentuk perilaku sosial individu terutama dalam interaksi sosialnya (Baron & Byrne, 2005). Dalam
upaya
Bronfenbrenner
(1979
membahas dalam
pengaruh
Agustiani,
lingkungan
2006)
perkembangan,
berpendapat
bahwa
perkembangan manusia merupakan hasil interaksi antara manusia yang
8
berkembang dengan lingkungannya. Perkembangan tersebut berupa perubahan dalam cara seseorang mengamati dan menghadapi lingkungan. Lewin menyatakan, bahwa lingkungan yang relevan untuk mengerti tingkah laku dan perkembangan bukanlah apa yang tampak, yaitu dunia obyektif, tetapi yang muncul dalam pikiran manusia. Atau dengan kata lain Lewin lebih memfokuskan pada cara bagaimana lingkungan diamati oleh manusia yang berinteraksi didalam dan dengan lingkungan tersebut (Agustiani, 2006). Selanjutnya Erikson menyatakan, bahwa seorang remaja bukan sekedar mempertanyakan siapa dirinya, tapi bagaimana dan dalam konteks apa atau dalam kelompok apa dia bisa menjadi bermakna dan dimaknakan. Identitas seseorang tergantung pula pada bagaimana orang lain mempertimbangkan kehadirannya. Karenanya dapat lebih dipahami mengapa keinginan untuk diakui, keinginan memperkuat kepercayaan diri, dan keinginan untuk menegaskan kemandirian menjadi hal yang sangat penting bagi remaja, terutama mereka yang akan mengakhiri masa itu (Agustiani, 2006). Kaum muda sangat membutuhkan kesempatan untuk membuat kontribusi berharga dalam kehidupan orang dewasa dan juga membutuhkan kesempatan berinteraksi dengan orang-orang dewasa yang bisa menjadi teladan bagi mereka (Adamson, Ferrer-Wreder, & Kerpelman, 2007). Dengan demikian dapat diketahui bahwa remaja sangat membutuhkan penerimaan dan adanya dukungan orang lain diluar dirinya dalam pembentukan jati dirinya dan mempengaruhi perkembangan diri remaja selanjutnya. Kekuatan pribadi (I AM) yaitu: perasaan, sikap dan keyakinan diri akan terbentuk, apabila dalam dirinya tumbuh perasaan disayang, dihargai, percaya diri dan optimis. Faktor individual yang merupakan karakteristik individu, seperti
9
harga diri, kemampuan kognitif, optimisme, kreatifitas adalah faktor yang turut menentukan resiliensi(daya tahan) pada diri seorang remaja (Grotberg, 1995). Sistem interpersonal menyatakan bahwa individu dan lingkungan budaya mempunyai interaksi yang saling menguntungkan dan saling mempengaruhi. Adanya interaksi yang saling menguntungkan ini menciptakan berbagai bentuk perilaku. Perbedaan budaya atau perbedaan individu dapat menciptakan perbedaan perilaku (Savitri, 2008). Maka kiranya perlu disadari, bahwa komunitas merupakan salah satu faktor eksternal yang memfasilitasi terbentuknya resiliensi pada remaja melalui dukungan sosial yang diberikannya, disamping faktor keluarga dan faktor individual remaja itu sendiri (Grotberg, 1995). Pada penelitian terdahulu mengenai resiliensi remaja Jawa di kabupaten Bantul
Yogyakarta yang dilakukan oleh Munauwarah (2008)
membuktikan bahwa remaja yang resilien dapat bertahan menghadapi dampak gempa bumi, dan tidak menunjukkan adanya gangguan psikologis, misalnya menunjukkan simptom-simptom stres seperti melamun, murung, dan malas untuk melakukan berbagai aktivitas. Hal ini disebabkan di kabupaten Bantul masih ada nilai saling tolong menolong, kerja sama yang dijunjung tinggi. Faktor sosial budaya masih dijunjung tinggi (Munauwarah, 2008). Remaja Jawa tentunya juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya Jawa yang menjadi acuan dan memberinya nilai-nilai kehidupan. Perkembangan psikologis selama masa remaja merupakan hasil dari perubahan-perubahan yang mendasar dan bersifat universal dengan konteks yang
sesuai tempat
pengalaman itu terjadi, sehingga dapat dikatakan merupakan hal yang tidak
10
mungkin untuk menggeneralisasikan tabiat remaja tanpa mempertimbangkan lingkungan sekitar tempat mereka tumbuh (Agustiani, 2006). Selanjutnya Vygotsky menyatakan
bahwa cara individu dalam
menjalani kehidupannya sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya tempat hidupnya. Lingkungan kehidupan budaya suatu masyarakat mengandung unsur nilai, norma, etika, kebiasaan, maupun cita-cita. Hal ini tentu kemudian mempengaruhi pola perilaku individu (Agustiani, 2006). Masyarakat Jawa memandang kehidupan semesta merupakan kesatuan yang utuh dan terdiri atas banyak individu yang saling berbeda satu sama lain (Sutrisno, 2007). Cita-cita masyarakat Jawa terletak pada tata tertib masyarakat yang laras (Suseno, 1985). Dalam masyarakat Jawa yang dikenal sebagai masyarakat “berkelompok” dibanding sebagai “individu”, sikap penyesuaian diri sangat dijunjung tinggi. Sikap ajur ajer mereka junjung tinggi sebagai penyesuaian diri terhadap situasi dan lingkungan sekitar dalam pergaulan sosial (Endraswara, 2008). Kesederhanaan menurut persepsi orang Jawa dianggap sebagai tanda bahwa orang dapat menguasai diri dan sekitarnya dan juga kemampuan mengekang nafsu setiap waktu, dan tidak terpengaruh karenanya (Sumukti, 2006). Sikap mental yang tersirat dalam budaya Jawa ini kiranya sejalan dengan konsep resiliensi yang dikemukakan Siebert. Resiliensi dapat membuat seseorang mengendalikan perasaannya dengan sehat. Individu membiarkan dirinya sendiri untuk merasakan kemarahan, kehilangan, dan keraguan, namun ia tidak membiarkan
perasaan tersebut
menjadi keadaan yang permanen dalam dirinya (Siebert, 2005).
11
Hasil penelitian yang dilakukan Prawitasari (1995) menyatakan bahwa pada masyarakat Jawa mengungkapkan emosi negatif seperti sedih, marah, dan takut dilakukan dengan hati- hati. Semua tindakan tersebut akan mengganggu keharmonisan, sehingga setiap orang diharapkan mampu mengendalikan perasaan dan mengikuti norma sosial atau ngeli. Selanjutnya Koentjaraningrat (1994); Mulder (1996); Sujamto (2000) mengungkapkan bahwa bagi masyarakat Jawa semua tindakan yang bersifat impulsif, tidak terkendali, dan didominasi oleh nafsu, tidak dapat diterima. Semua tindakan tersebut mengganggu keharmonisan diri, masyarakat dan alam semesta (Susana, 2009). Terkait dengan kemampuan individu mengendalikan perasaan, Reivich dan Shatté (2002) menyatakan bahwa pengekpresian emosi yang tepat adalah merupakan salah satu kemampuan individu yang resiliensi. Sehingga remaja Jawa yang mampu melakukan pengendalian diri dan penyesuaian diri dengan baik didalam masyarakat akan memperoleh dukungan sosial.Dukungan sosial merupakan faktor penguat bagi terbentuknya resiliensi pada individu. Hal ini diperkuat oleh pendapat Bandura (1996) yang menyatakan bahwa apabila individu bertanggung jawab atas kegagalannya maka individu akan menjadi lebih baik dalam mengendalikan diri, dibandingkan jika individu diyakinkan bahwa kekurangan dan ketakutan adalah karena faktor diluar kontrol kesadarannya.Individu
akan
melakukan
perbandingan
secara
sosial,
membandingkan dengan orang lain, baik perbandingan secara individu maupun kolektif; dan menilai seberapa besar arti penting dari aktivitas itu bagi dirinya. Akhirnya individu juga menilai seberapa besar dirinya menjadi penyebab suatu performa dan sikap yang baik, atau sebaliknya justru pemicu
12
terjadinya kegagalan dan sikap buruk Maka dengan kemampuan kognitif yang semakin berkembang dan didukung lingkungan akan memudahkan individu remaja memahami mengenai hak dan milik orang lain maupun dirinya sendiri, dan menghargai segala hal disekitarnya (Bandura, 1996). Greenfield (2003 dalam Supradewi, 2007)) menggabungkan tiga pendekatan dalam memandang budaya dan perkembangan, yang meliputi ekokultur,
sosiohistoris,
dan
pendekatan
nilai.
Adapun
tugas-tugas
perkembangan yang menjadi fokus adalah relationship formation, knowledge aquisition dan autonomy relatedness, yang merupakan kapasitas pada perkembangan kematangan dan tugas-tugas perkembangan yang utama. Ada dua model ideal dari proses perkembangan , yang satu menitikberatkan
pada
individu
menitikberatkan
pada
kelompok
dan dan
kemandirian, saling
sementara
yang
lain
ketergantungan.
Tiap
pola
merupakan bagian dari sistem sosio-kultural yang besar. Pola pertama disebut individualistik, sementara yang kedua kolektifitas atau sosiosentris (Supradewi, 2007). Fiske menyatakan bahwa asertivitas dan autonomi pada remaja akan mendapat penghargaan yang tinggi di Amerika Serikat, tetapi dinilai sebagai kekurangdewasaan dan kekurangmatangan dalam perkembangan di Asia Timur (Greenfield dkk, 2003 dalam Supradewi, 2007). Pada model interdependen anak-anak yang bergantung pada orang tua berubah kebalikan pada saat dewasa, ketika orang tua menjadi tergantung pada anaknya yang sudah dewasa Hal ini terjadi dibeberapa kultur, seperti kenyataan yang telah terbukti melalui kajian lintas budaya di Indonesia, Philipina, Thaiand, Taiwan.
13
Jika mengacu pada tinjauan Greenfield dkk (2003, dalam Supradewi, 2007) yang dikemukakan diatas, maka budaya Jawa berorientasi pada kolektivitas atau sosiosentris, serta pola interdependen. Hal ini memperlihatkan bahwa
perkembangan
remaja
dipengaruhi
kultur
dan
ruang
lingkup
kehidupannya, dan merupakan keunikan yang menjadi ciri khas pada masingmasing remaja sesuai kulturnya. Pada penelitian-penelitian sebelumnya mengenai resiliensi, adalah penelitian Werner (1995),yang dilakukan pada anak-anak dari Kuai di Hawai yang hidup dengan lingkungan yang miskin dan anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan orangtua yang pecinta alkohol, tidak sehat secara mental dan banyak yang tidak bekerja. Hasil penelitian Werner mengungkapkan bahwa anak-anak yang lahir tumbuh dan kembang dalam situasi lingkungan yang buruk tersebut, dua per tiga dari mereka pada masa remajanya melakukan perilaku merusak (hamil diluar nikah, pengangguran, kekerasan fisik). Namun demikian satu pertiga remaja tidak menunjukkan perilaku merusak. Werner menyebut kelompok kedua ini sebagai kelompok resilien. Anak-anak resilien dan keluarga mereka mempunyai sifat-sifat yang membuat mereka berbeda dari anak-anak dan keluarga non resilient(Werner, 1995). Selanjutnya penelitian Afiatin (2009), mengenai Subyective Well Being of Aceh Adolecents after Tsunami: The Meaning of Disarter and Adolecen Happiness. Mengambil subyek penelitian remaja Aceh berusia 12 tahun- 21 tahun yang mengalami Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, bertempat tinggal di Banda Aceh. Mengungkapkan bahwa remaja Aceh tetap memiliki
14
kemampuan kemandirian,
optimistik,
sensitifitas
sosial,
religiusitas yang
membuat dirinya lebih kuat menghadapi dampak tsunami. Selain itu terbukti pula bahwa kohesivitas dan ikatan keluarga pada remaja Aceh berpengaruh pada kepekaan individu menghadapi dampak tsunami. Dikemukakan pula mengenai interpretasi remaja Aceh mengenai kebahagiaan dan bagaimana remaja memperoleh kebahagiaan sangat mempengaruhi kebahgiaan remaja Aceh setelah tsunami (Afiatin, 2009). Dengan melihat hasil penelitian terdahulu pada remaja Kuai (Hawai), dan remaja Aceh diketahui bahwa setiap kultur mempunyai nilai-nilai budaya yang mempengaruhi peri kehidupan masyarakatnya. Dinamika psikologis resiliensi remaja tentunya berbeda pada masingmasing budaya, karena mempuyai ciri-ciri yang khas remaja dan unik dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bila dihadapkan pada problem solving, setiap budaya akan mencari jalan keluar yang terbaik menurut nilai dan norma yang ada pada budaya tersebut ( Supradewi, 2007). Menjadi sangat menarik untuk memahami dan menelaah secara mendalam mengenai resiliensi remaja Jawa, mengingat kekayaan budaya Jawa yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Hal inilah yang memperkuat alasan peneliti untuk meneliti mengenai resiliensi pada remaja Jawa. Perilaku remaja tidak bisa terlepas dari pola asuh yang didapat dari orang tua. Pengasuhan adalah proses sosialisasi yaitu cara seorang individu belajar nilai, norma, sikap dan cara berperilaku yang khas pada masyarakat tempatnya berada.
15
Dalam penelitian Baurind, sosialisasi cara pengasuhan dikenal dalam pendekatan
yang
menonjolkan
aspek
kontrol,
perawatan
dan
tuntutan
kemandirian (Garbino & Benn, 1992 dalam Andayani & Koentjoro, 2007), dalam bentuk positif dan negatif yang menonjolkan aspek emosi yang terlibat didalamnya (Simon, Beaman, Conger & Wei, 1992 dalam Andayani &Koentjoro, 2007). Dalam pengasuhan ada faktor keterlibatan dan sensivitas yang muncul dalam bentuk pola perilaku yang positif atau negatif (Andayani & Koentjoro, 2007). Pola asuh anak didalam keluarga berkultur Jawa akan jelas dipengaruhi oleh kaidah-kaidah yang berdasar pada kerukunan dan hormat (Prihartanti, 1999). Anak- anak Jawa akan belajar tata krama yang diharapkan dari orang dewasa Jawa (Suseno, 1986). Kefasihan mempergunakan rasa hormat dikembangkan sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Menurut Hildred Geertz, pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasisituasi yang menuntut hormat, yaitu wedi, isin, dansungkan ( Suseno, 1985 ). Wedi berarti takut pada orang yang dihormati, takut terhadap akibat kurang enak dari suatu tindakan. Isin dan rasa hormat merupakan suatu kesatuan. Orang Jawa merasa isin apabila tidak dapat menunjukkan sikap hormat terhadap orang yang pantas dihormati. Sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau orang yang belum dikenal , atau pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain ( Suseno, 1985).
16
Wedi, isin dan sungkan merupakan kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhdap tuntutan-tuntutan prinsip hormat Hasil penelitian Haryani (2007) mengenai remaja Jawa membuktikan ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi remaja terhadap nilai- nilai Jawa dengan perilaku agresif. Dinyatakan bahwa semakin baik persepsi remaja terhadap nilai-nilai budaya Jawa maka semakin kecil kecenderungan perilaku agresif yang dilakukan remaja. Penelitian ini juga membuktikan bahwa perilaku agresif remaja Jawa rendah (Haryani, 2007). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai-nilai budaya Jawa mampu meminimalisir emosi negatif pada remaja, sehingga tidak memunculkan perilaku negatif.Nilai-nilai budaya dapat menfasilitasiemosi positif sehingga menjadi faktor penguat terbentuknya resiliensi pada remaja Jawa. Mencermati pendapat para ahli dan hasil-hasil penelitian terdahulu maka dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai pengaruh nilai budaya Jawa pada kontrol emosi kaum remaja sesuai budaya masyarakat Jawa yang mengutamakan keharmonian.
Manakala ketaatan akan budaya kebersamaan
dengan kaidah hormat dan rukun dimiliki, maka diharapkan kaum remaja akan mampu menjaga sikap dan perilakunya secara posisif. dan semua ini berawal didapat remaja melalui pola asuh orang tua didalam keluarga. Perilaku remaja Jawa dipengaruhi pula oleh faktor- faktor lain selain budaya yakni: faktor keluarga dan teman sebaya yang sama pentingnya bagi perkembangan remaja dan merupakan sumber resiliensi bagi remaja. Namun telah diketahui bahwa gelombang modernisasi telah melanda peri kehidupan keluarga-keluarga di Indonesia, memberi dampak negatif yang terlihat dengan
17
menurunnya norma-norma dalam masyarakat yang ditandai dengan semakin meningkatnya angka perceraian dari tahun ketahun. Data yang diperoleh dari Kementrian Agama RI tahun 2009, ada 250. 000 kasus perceraian. Angka ini setara dengan 10% dari 2,5 juta pernikahan pada tahun 2009. Jumlah tahun 2009 ini naik 50.000 kasus dibanding tahun 2008 (Khumas, 2012). Meningkatnya angka perceraian 20 % pertahun di Yogyakarta (Dewi & Utami, 2008), seolah membuktikan pola hidup ala Barat sebagai imbas dari globalisasi membuat perceraian seakan sudah menjadi bagian dari budaya dan telah merasuk dalam kehidupan keluarga Jawa yang menjunjung kaidah keharmonian dalam hidup masyarakatnya. Telah diketahui bahwa dampak perceraian dan keharmonisan keluarga mempengaruhi kehidupan psikologis anak dan remaja didalam keluarga. Selain ada keluarga utuh yang dapat menyediakan lingkungan yang optimal bagi remaja, tetapi ada pula keluarga utuh yang tIdak dapat menjadi lingkungan yang membahagiakan karena ada faktor-faktor lain , misal konflik keluarga dan adanya kesulitan ekonomi (Wahyuni, 2008). Menurut Arnett (1999) ada 3 aspek kesulitan yang menandainya periode masa remaja adalah: konflik dengan orang tua, perubahan emosi, dan munculnya perilaku berisiko Perubahan-perubahan ini merupakan stresor penyebab stres bagi remaja (Gibson & Lowe, 2005 dalam Utami, 2009), dan dampak stres cenderung memberi pengaruh negatif dalam kehidupan remaja , antara lain terwujud dalam perilaku berisiko, contohnya: membangkang orang tua ( Hurlock, 2009), berontak terhadap orang tua (Arnett,1999; Hurlock, 2009), kenakalan remaja dan penggunaan obat-obat terlarang (Santrock, 2007),
18
perilaku anti sosial (Arnett,1999) dan menyumbang kerentanan remaja terhadap gangguan depresi (Cunningham, 2006dalam Utami, 2009). Kehidupan remaja masa kini mempunyai tantangan-tantangan hidup yang tidak mudah, dan lebih banyak menghadapi tuntutan dan harapan yang lebih kompleks dibanding remaja generasi lalu ( Feldman dalam Santrock, 2007). Terlebih pada remaja yang mempunyai konflik atau permasalahan-permasalahan didalam kehidupan keluarganya, misalnya: perceraian, keterpurukan ekonomi keluarga, konfik remaja dengan orang tua. Apabila hal ini tidak dapat diatasi oleh remaja dengan baik, maka dapat menimbulkan stres dan depresi pada remaja. Telah diketahui, bahwa depresi pada remaja sukar terdeteksi secara tepat karena biasanya merupakan depresi terselubung, yang sering dianggap sebagai gejala hiperaktivitas atau gangguan perilaku (Mutia, Subandi & Mulyati, 2010). Selanjutnya menurut Zunkel,remaja yang depresi selain menunjukkan perilaku kenakalan dan bunuh diri juga ada yang merasakan perasaan sedih berlebihan, putus asa, kehilangan semangat, lambat dalam merespon berbagai stimuli, dan tidak memiliki motivasi untuk melakukan aktivitas. Sehingga pada remaja keinginan bunuh diri yang diakibatkan depresi sulit diprediksi, jika depresi yang terjadi adalah depresi terselubung (Mutia, Subandi &Mulyati, 2010). Menurut Afiatin (2008, dalam Mutia, Subandi & Mulyati, 2010), depresi terselubung diduga menjadi penyebab remaja terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, mengingat 80% dari 3,4 juta orang Indonesia adalah remaja.Saat ini depresi menduduki posisi penyakit penyebab hendaya (disabilitas) keempat setelah jantung, kanker dan stroke (Kompas, 2008 dalam Mutia, Subandi & Mulyati, 2010). Bahkan WHO meramalkan pada 2020 depresi diperkirakan
19
menjadi yang kedua setelah jantung (Lampungpos, 2008 dalam Mutia, Subandi & Mulyati, 2010). Mencermati fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada saat ini, dan memahami problema-problema remaja yang semakin kompleks (dengan terjadinya perubahan-perubahan) serta semakin banyaknya permasalahan didalam kehidupankeluargamasa kini, maka dirasa penting memberi perhatian pada remaja. Resiliensi
membuat remaja lentur menghadapi kesulitan-kesulitan,
kesengsaraan, sehingga mampu adaptasi terhadap perubahan, tuntutan dan kekecewaan (Smet, 1994), bahkan trauma buruk masa lalu yang dialaminya (Kindt, 2006). Remaja yang resilien tidak mudah menyerah pada kegagalan, dan kondisi buruk yang dialaminya dan larut dalam kekecewaan, kesedihan secara terus menerus (Niaz, 2006). Oleh karenanya peneliti tertarik untuk meneliti resiliensi pada remaja Jawa, mengingat resiliensi merupakan kemampuan pribadi yang mampu melepaskan remaja dari keterpurukan dan ketidakberdayaan, dan dengan resiliensi remaja mampu mengembangkan diri secara optimal, optimis mencapai tujuan hidup dan kebahagiaan. Hasil penelitian Wahyuni (2008) mengungkapkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara resiliensi pada remaja Jawa dari keluarga bercerai dan utuh. Baik dari keluarga utuh dan bercerai mempunyai potensi untuk membentuk resiliensi diri. Selanjutnya hasil penelitian Amato menemukan bahwa tidak ada perbedaan resiliensi pada remaja dari keluarga utuh dan bercerai, karena mayoritas remaja dari keluarga bercerai dapat menyesuaikan diri secara emosinal (Kelly &Emery, 2003 dalam Utami, 2009).
Penyesuaian diri ditandai
20
dengan kestabilan emosi dan tidak menunjukkan gejala-gejala psikologis (Retnowati, 2005 dalam Utami, 2009). Kemampuan resiliensi pada remaja Jawa tentunya tidak terlepas dari pengaruh nilai budaya Jawa, dan peran keluarga sesuai budaya masyarakat Jawa yang mengutamakan keharmonian.
Manakala ketaatan akan budaya
kebersamaan dengan kaidah hormat dan rukun dimiliki, maka kaum remaja akan mampu menjaga sikap dan perilakunya secara posisif, dan semua ini berawal diperoleh remaja melalui pola asuh orang tua didalam keluarga. Menurut Suseno (1985), keluarga Jawa merupakan sarang aman dan sumber perlindungan, serta berusaha melindungi anak sedapat-dapatnya terhadap pengalaman-pengalaman frustasi. Keluarga adalah satu-satunya ruang yang relatif bebas dari tekanan yang terus menerus untuk mengontrol dorongandorongan spontannya dan untuk menyesuaikan diri dengan pelbagai otoritas, serta tempat orang Jawa menjadi dirinya sendiri (Suseno, 1985). Hasil penelitian Suwarsiyah (1987 menemukan adanya korelasi antara pola asuh dengan tingkat agresivitas pada remaja Jawa. Penelitian ini mengungkapkan adanya hubungan negatif antara pola asuh yang diterapkan dengan tingkat agresivitas remaja. Semakin baik pola asuh yang diterapkan akan semakin menekan tingkat agresifitas remaja Jawa. Pengasuhan dapat dimaknai sebagai proses interaksi antara orang tua dengan anak yang berkelanjutan menyangkut pemeliharaan, perlindungan dan pengarahan orang tua dalam rangka perkembangan anak (Suwarsiyah, 1987). Dalam keluarga Jawa, orang tua merupakan sumber utama bagi kesejahteraan jasmani dan rohani. Keluarga
Jawa sebagai suatu sistem
mempunyai hubungan baik material dan spiritual (Suseno, 1985). Menurut
21
Fuhrmann pola asuh adalah respon orang tua melalui sikap dan perilakunya yang memiliki kekuatan dalam mempengaruhi bagaimana remaja nantinya mengatasi dunianya (Haryani, 2007). Dari hasil penelitian Idrus (2004) pada remaja Jawa membuktikan bahwa pola asuh orang tua yang mendukung akan membuat anak menjadi berinisiatif, sopan, patuh dan lebih bertujuan. Diketahui bahwa keberhasilan remaja dalam menjalani hidupnya dan menyelesaikan tugas perkembangannya secara sukses tanpa mengalami kesulitan dan hambatan psikologis lebih banyak ditemukan pada remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya. Oleh karena itu orang tua perlu menjadi pengasuh yang tepat bagi remaja dalam mempersiapkan remaja tersebut untuk menghadapi dunianya (Haryani, 2007). Kehidupan psikologis kaum remaja Jawa akan diwarnai oleh pola kehidupan keluarganya. Hubungan yang menyenangkan dan memuaskan didalam keluarga diasosiasikan dengan kemampuan untuk mengalami empati, rasa percaya diri yang tinggi, dan kepercayaan interpersonal (Baron & Byrne, 2005). Hal ini menyatakan betapa pentingnya peran keluarga sebagai sumber ”social support” bagi anak dan kaum muda. Dukungan keluarga memberi sebuah bentuk variasi, informasi, dan emosional, menuju aktivitas-aktivitas yang dilakukannya (Sallis &Calfas, 1999). Faktor keluarga ikut berkontribusi terhadap resiliensi dan kesuksesan individu, hubungan atau interaksi dalam keluarga merupakan sumber resiliensi (Grotberg, 1995). Sehingga dapat dikatakan terbentuknya resiliensi pada remaja sangat ditentukan bagaimana pola hubungan remaja didalam kehidupan keluarganya. Andayani
dan
Koentjoro
perubahan dan pergeseran
(2007),
mengemukakan
bahwa
terjadi
akan peran dan fungsi keluarga sekarang ini.
22
Gambaran kehidupan keluarga di masa ini mencerminkan betapa ”keringnya” kehidupan dalam keluarga (Andayani & Koentjoro, 2007). Lebih lanjut Ekowarni (2002, dalam Widayanti 2008) menyatakan bahwa tidak sedikit anak dan remaja yang menjadi korban dari berbagai kondisi yang membahayakan perkembangan dan masa depannya, hal ini merupakan gejala yang menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat tidak cukup berdaya melindungi anak dan remaja ((Widayanti, 2008). Menurut
Rice & Dolgin (2002 dalam Dewi &Utami, 2008), adanya
kondisi yang tidak harmonis dalam keluarga dan perceraian tentu membawa perubahan dalam kehidupan
keluarga, terutama akan membawa perubahan
dalam kehidupan anak hasil perkawinan tersebut. Berbagai
penelitian
umumnya
membuktikan
bahwa
perceraian
mempunyai risiko yang besar pada anak, baik dari sisi psikologis, kesehatan maupun akademis (Dewi &Utami, 2008). Mc Dermot (dalam Stevenson & Black, 1995) mengungkapkan bahwa banyak anak yang secara klinis dinyatakan mengalami depresi seiring dengan perceraian orang tua mereka. Bahkan Herington (dalam Stevenson & Black, 1995) menambahkan bahwa setelah 6 tahun pasca perceraian orang tuanya, anak merasa kesepian , tidak bahagia, mengalami kecemasan dan perasaan tidak aman; serta adanya gangguan kesehatan dan menurunnya kemampuan akademisnya (Cafferata & Kasper; Jennings & Sheldon; Moreno; Worobey & Angel, dalam Stevenson & Black, 1995). Namun sebaliknya, hasil penelitian Sun (2001, dalam Dewi & Utami, 2008) mengungkapkan bahwa perceraian dapat berdampak positif dan meningkatkan well-being anak jika perceraian tersebut dapat menyelesaikan
23
konflik yang terjadi pada orang tua sehingga anak terhindar dari suasana keluarga yang penuh ketegangan. Bermasalah atau tidaknya seorang remaja tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor keluarga, tanpa memungkiri bahwa faktor teman sebaya dan masyarakat juga memiliki andil besar dalam perkembangan remaja. Pada kenyataannya ditemui remaja dari keluarga kurang ideal ( bercerai, bermasalah) yang ternyata tidak bermasalah, melakukan perilaku menyimpang atau mengalami kegagalan dalam hidupnya. Demikian pula sebaliknya, ditemukan adanya remaja bermasalah didalam keluarga yang ideal. Hal ini tentunya tergantung pada daya tahandan daya lentur (resiliensi)yang
dimiliki
remaja
sehingga
remaja
mampu
mengatasi
permasalahannya dengan baik dan terhindar dari perilaku menyimpang. Tanpa adanya resilensi didalam diri remaja maka ia tidak akan mampu menghadapi goncangan dalam kehidupannya. Calhoun dan Accocella (1990) mengemukakan bahwa penyesuaian diri remaja terhadap masalah termasuk perceraian orang tua dipengaruhi faktor dari dalam diri individu (internal) seperti harga diri, dan faktor yang berasal dari luar individu ( eksternal) seperti dukungan sosial. Salah satu kualitas pribadi yang dibutuhkan dalam penyesuaian diri yang efektif adalah resiliensi. Secara umum ada 3 faktor yang mempengaruhi resiliensi pada remaja (Everall,dkk, 2006; Werner, 1995), yaitu: faktor individu, faktor keluarga dan faktor eksternal atau komunitas. Komunitas remaja Jawa tentunya adalah teman sebaya dan masyarakat Jawa dan nilai-nilai budaya yang ada didalamnya. Menurut Matsumoto (2008), budaya adalah suatu konstruk psikologis. Konsep ini mengacu pada sejauh mana sekelompok orang secara bersama-
24
sama menganut serangkaian sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku. Budaya disampaikan dari generasi kegenerasi berikut melalui bahasa dan pengamatan (Matsumoto, 2008). Selanjutnya Fitzgerald mendiskripsikan kebudayaan sebagai pola pembelajaran dan kebersamaan dari perasaan dan penyesuaian pada dunia (Bourke, Helen-Taylor,& Dawn, 2005). Dapat dikatakan bahwa anak-anak dan remaja Jawa mengenal etika dan norma-norma Jawa berawal dari keluarganya sebagai lingkungan terdekatnya (Mulder, 1996). Masa remaja adalah masa krisis yang penuh pergolakan bagi individu remaja untuk mencari jati dirinya, tentu hal ini merupakan tantangan yang tidak mudah untuk dihadapinya. Kultur masyarakat Jawa yang ketat disekitarnya dan berawal dikenali remaja melalui orang tuanya, akan berbenturan dengan kebutuhan-kebutuhan
diri yang muncul pada saat perkembangan remaja
mencari identitas diri (Suseno, 1985). Identitas diri menurut Erikson adalah bagian penting dari proses perkembangan remaja (Schachter, 2002 dalam Chusaeri, 2008). Identitas diri dirumuskan Erikson sebagai perasaan subyektif akan kesamaan dan kontinuitas yang nyata (subjective sense of an invigorating sameness and continuity), menjadikan individu seolah menjadi orang yang sama sepanjang waktu. Proses perumusan identitas diri remaja menjadi penting pada masa remaja karena terjadinya pengorganisasian, sintetis, dan trasnformasi identitas-identitas di masa kanak-kanak menuju satu struktur tunggal yang disebut sebagai konfigurasi identitas (identity configuration) (Chusaeri, 2008). Marcia dalam teori ego identitystatus menyatakan bahwa identitas diri merupakan hasil komitmen individu pada identitas tertentu.Proses pencapaian
25
identitas menjadi hal yang mengancam individu karena membutuhkan proses menghubungkan dan mengorganisasikan berbagai aspek diri. Kegagalan dalam proses pembentukan identitas menjadikan individu mengalami kebingungan (diffuse) atau kemandegan (moratorium) dalam proses pembentukan identitas diri (Chusaeri, 2008). Globalisasi menjadikan sumber pemaknaan menjadi beragam, bahkan bersifat saling bertentangan (kontradiktif). Keragaman dan kontradiksi nilai-nilai sumber pemaknaan identitas tersebut bersumber pada perbedaan antara nilainilai globalisasi dengan nilai-nilai sosial tradisi dimana seseorang hidup. Menurut Arnett (dalam Callero, 2003), keragaman sumber-sumber pemaknaan identitas menghasilkan kebingungan identitas pada remaja dan kaum dewasa awal. Bagi seorang individu remaja, pengambilan keputusan untuk membentuk identitas diri terkait dengan kemampuannya dalam mengambil inisiatif. Wolin dan Wolin (1993), menyatakan bahwa inisiatif adalah hasrat untuk bertanggung jawab dengan dirinya sendiri, dan merupakan salah satu karakteristik individu yang resilien. Individu relisien lebih cenderung proaktif dibandingkan dengan seorang remaja yang pasif, dan berjuang untuk mengembangkan
dirinya
sendiri,
lingkungan
serta
kemampuan
untuk
menghadapi sesuatu yang memang tidak bisa berubah. Individu resilien melihat hidupnya sebagai rangkaian dari tantangan dan memiliki kekuatan untuk menyelesaikannya. Didalam kebudayaan sesungguhnya manusia mengaktualisasikan dirinya secara
total,
sehingga
kualitas
kebudayaan
sepenuhnya
merupakan
pencerminan dari nilai-nilai kebenaran yang dianutnya. Maslow mengungkapkan
26
bahwa keadaan tanpa sistem nilai-nilai adalah psikopatogenik. Orang yang tidak memiliki sistem nilai akan bersifat impulsif, nihilistik, dan sepenuhnya skeptik. Dengan kata lain, hidupnya sama sekali tidak bermakna (Goble, 2009). Maka diharapkan remaja Jawa mampu pula memaknai kaidah-kaidah masyarakatnya, karena perilaku nyata dari orientasi nilai
adalah individu
berusaha melakukan hal yang benar, menggunakan kesadarannya, dan memikirkan orang lain sama seperti ia memikirkan dirinya sendiri (Wollin, 2003). Konsep
ini
sejalan
dengan Ki Ageng
Suryomentaram
(dalam
Fudyartanto, 2003), yang menyatakan bahwa orang akan tergantung satu sama lain dan tergantung pada masyarakat, jadi didalam masyarakat tidak ada rasa individualis, yang ada rasa sama. Maksudnya bahwa orang lain dan masyarakat itu tidak dipandang sebagai kamu, dan diri sendiri sebagai aku, tetapi aku dan kamu adalah satu dan sama (Fudyartanto, 2003). Demikian pula yang diharapkan dalam hubungan remaja Jawa dengan masyarakatnya, adanya dukungan sosial akan membuat individu remaja merasa berada dalam lingkungan dan kehangatan sosial . Dukungan sosial yang didapat remaja dari masyarakat merupakan faktor eksternal yang merupakan sumber resiliensi bagi remaja (I HAVE) (Grotberg, 1995). Faktor protektif eksternal adalah karakteristik tertentu dari lingkungan yang berpengaruh bahkan mampu membalikkan pengaruh negatif yang mungkin muncul dan menjadikan individu mampu menghindar dari tekanan hidup dan mampu bertahan walaupun mereka berada dalam kondisi yang berisiko tinggi (Benard& Sharp-Light, 2007 ). Masa remaja adalah masa bermasalah (Hurlock, 2009), adalah suatu hal yang tidak mudah bagi seorang remaja yang mengalami perubahahan-
27
perubahan dalam dirinya untuk melakukan penyesuaian diri dengan baik pada lingkungan sosialnya. Apabila harapan dan tuntutan yang dihadapinya tidak seimbang maka jelas akan terjadi konflik dalam diri remaja dan dapat memunculkan masalah-masalah baru dalam kehidupannya (Hurlock, 2009). Kaum remaja Jawa yang tinggal di Yogyakarta juga tidak bisa lepas dari kultur
Jawa
yang
khas
dan
erat
melekat
menjadi
bagian
dari
peri
kehidupannya.Terdapat sejumlah tuntutan adaptif yang normatif diajukan, secara khusus harus dihadapi oleh para remaja (Agustiani, 2006). Selanjutnya Steven Heine menambahkan gagasan sebagai berikut: ”......diri individual memiliki beragam peran sesuai tuntutan dalam hubungan satu dengan yang lain. Diri haruslah cukup lentur sehingga mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan peran dan kebutuhan situasional.....”.Individu yang fleksibel harus menyesuaikan dirinya dengan dunia sosial yang tidak fleksibel.......”(Adamson, Ferrer-Wreder, & Kerpelman, 2007). Kini manusia hidup dalam masa tranformasi masyarakat tanpa tanding. Perubahan ini terjadi dibawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan dan semua lapisan masyarakat yaitu gelombang modernisasi ( Sunoto, 1989 dalam Astiyanto, 2006). Benturan nilai sosial kultural dan berbagai tuntutan kehidupan modern mau tak mau akan dialami semua orang demikian pula halnya dengan kaum remaja, maka sangat dibutuhkan kemampuan pengelolaan diri dan kepribadian yang tangguh untuk mampu menghadapinya. Bagi orang yang pribadinya tidak tatag dan mawas diri akan mengalami kebingungan dan frustrasi, bahkan akan dapat dengan mudah terpengaruh kedalam hal-hal yang melanggar normanorma masyarakatnya (Prihartanti,1999).
28
Nilai budaya dan sikap mempunyai keterkaitan yang erat, yakni nilai adalah konsep dasar mengenai apa yang dipandang sebagai baik dan diinginkan (Endraswara, 2008). Nilai kebudayaan yang diperoleh remaja dari proses belajar menghasilkan sikap dan perilaku tertentu dalam menjalaninya. Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia. Menurut Kristiatmo (2007),
melalui globalisasi tiap kebudayaan
berinteraksi. Remaja yang tumbuh dalam budaya Jawa tentunya tidak mungkin lagi tidak terpengaruh oleh gempuran globalisasi yang memaksanya setidaknya untuk ”tahu” dan pernah ”melihat” kebudayaan diluar budaya Jawa secara cukup intensif . Selanjutnya Koentjaraningrat (1994)
mengemukakan bahwa orang
Jawa sekarang (modern) telah terpengaruh nilai-nilai budaya barat yang dapat (telah) merusak nilai-nilai budaya tradisi (Jawa). Sikap hidup Jawa yang merupakan wajah esensial budaya Jawa kini larut kedalam zaman edan, yang antara lain bercirikan keteraturan terganggu, keadilan menipis, ekonomi sulit, tata nilai yang saling berbenturan (Sarjono,1992 dalam Endraswara, 2008). Akibatnya sulit dipungkiri kalau kini generasi muda sering mendapat ”cap” (dianggap) sudah tidak njawani lagi. Tudingan ini muncul didasarkan pada sikap dan perilaku negatif remaja yang diperlihatkan sehari-hari (Endraswara, 2008). Didalam kehidupan kini, modern adalah suatu sikap, cara berpikir, suatu cara menghadapi dunia dan kehidupan manusia (Mulder, 1986). Modern tidak berarti mengubah keadaan tradisional, melainkan berarti pembukaan dimensidimensi hidup yang baru. Membangun kemampuan individu-individu supaya
29
dapat menguasai kebendaan, mampu menyelesaikan problematik sosial dan ekonomi, agar mampu mengatur hidup masyarakat (Mulder, 1986). Dapat disadari bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam keluarga dan masyarakat Jawa tidak seluruhnya masih sesuai dengan jaman sekarang (Sunoto, 1989 dalam Astiyanto, 2006). Maka diharapkan remaja Jawa mampu mengembangkan
ketrampilan
sosial dan interpersonal (I CAN) sebagai sumber resiliensi,seperti: kemampuan berkomunikasi, problem solving dan kemampuan mengelola perasaan (Grotberg, 1995). Individu yang mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mudah menyerah dan tegar, ulet dan sabar adalah ciri individu yang resiliensi (Connor & Davidson, 2003 dalam Yu & Zhang, 2007). Bonanno (2004) memperjelas pentingnya resiliensi sebagai hasil positif (positive outcome) dari proses adaptasi individu terhadap tekanan dari lingkungan yang tidak kondusif, yang ditandai: tidak munculya gangguan atau masalah kejiwaan, adanya kompetensi sosial, konsep diri, harga diri positif, pencapaian
akademik
dan
kemampuan
dalam
mencapai
tugas-tugas
perkembangan sesuai dengan usia perkembangannya (Bonanno, 2004). Kepribadian
sehat
mengandung
pengertian
adanya
aspek-aspek
psikologis yang positif yang menentukan derajat kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya (Prihartanti, 1999). Menurut konsep Ki Ageng Suryomentaram, kepribadian manusia digambarkan benar-benar sebagai pola respon dalam berinteraksi dengan orang lain (Widyarini, 2008). Dalam kehidupan orang Jawa, kepribadian akan menjadi ciri khusus bagi munculnya pribadi Jawa yang memiliki jati diri khas. Kepribadian ini akan menuntun penampilan hidup yang menguntungkan semua pihak. Inilah
30
yang disebut dalam konsep kejawen memayu hayuning bawana (Endraswara, 2008). Artinya, pribadi yang hendak melestarikan hidup dan kehidupan lahir batin. Hasil penelitian Prihartanti (1999)
menemukan adanya faktor-faktor
kualitas kepribadian remaja Jawa yakni: ketegaran, optimisme, berkemampuan dan empati sebagai kualitas kepribadian yang bertumbuh setelah melampaui berbagai stresor peristiwa hidup dengan cara sikap penuh perhatian terhadap rentetan peristiwa yang dialaminya. Keempat faktor ini merupakan konstruksi pada identitas manusia tanpa ciri yang sehat sejahtera. Indikator sehat sejahtera pada identitas manusia tanpa ciri ditunjukkan oleh adanya afek positif: rasa damai, rasa tenang, rasa tentram, rasa bahagia, dan kemampuan mengatasi afek negatif: rasa sesal, rasa khawatir, rasa iri, dan rasa sombong (Prihartanti, 2004). Hasil penemuan ini ternyata sejalan dengan pendapat para ahli yang mengemukakan mengenai ciri-ciri orang yang resiliensi, yakni: mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mudah menyerah dan tegar menghadapi masalah, tidak mudah berkecil hati karena kegagalan, sabar, ulet, toleransi terhadap perasaan negatif, mempunyai kontrol diri yang kuat, terbuka, berpikiran jernih, yakin pada Tuhan (Connor & Davidson, 2003dalam Yu & Zhang, 2007). Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa remaja Jawa yang akan mencapai kesejahteraan lahir-batin, atau mencapai identitas sebagai manusia tanpa ciri (Suryomentaram, 1985) adalah remaja Jawa yang juga memiliki ciri-ciri resiliensi.
31
Berdasarkan
telaah
dari
filosofi
Jawa
maka
diharapkan
dan
seharusnyalah para remaja Jawa mempunyai ciri dan jati diri sebagai remaja Jawa sejati disebut manusia tanpa ciri. Manusia tanpa ciri dalam perspektif psikologis digambarkan sebagai gambaran kepribadian yang sehat sejahtera, dengan adanya afek positif (seperti: rasa bebas, damai, tenteram) dan teratasinya afek negatif (seperti: rasa sesal, rasa khawatir, takut, rasa dendam, iri ), adanya afek positif yang maksimal dan afek negatif minimal (Prihartanti, 2004).Remaja yang mampu melakukan olah rasa dan mawas diri akan membentuk pribadi tatag dan optimis (Suryomentaram dalam Endraswara, 2008). Disisi
lain,
tudingan
miring
terhadap
kaum
remaja
mengenai
ketidakmampuan remaja seolah menjadi stereotipe bagi kaum remaja pada umumnya (Hurlock, 2008) Remaja Jawa sebagai pewaris budaya Jawa, pada saat ini dalam banyak penelitian mengenai nilai budaya dengan berbagai dinamikanya banyak mengalami penurunan sikap dan perilakunya terhadap nilai budaya Jawa nya (Rachim &Nashori, 2007). Sulit dipungkiri bahwa generasi Jawa sekarang ini dianggap tidak njawani lagi (Endraswara, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indati dan Ekowarni (2006) disebutkan bahwa anak remaja Jawa sering tidak paham tentang aturan atau nilai- nilai budaya Jawa. Akibat dari tidak pahamnya tentang nilai budaya Jawa, remaja Jawa saat ini telah banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai budaya Jawa dan berbagai perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan nilai budaya Jawa. Hal tersebut dapat disebut sebagai sebuah penyimpangan dan perilaku nakal.
32
Terkait dengan kehidupan remaja didalam keluarga, Muhari (1983 dalam Astuti 2009), mengemukakan bahwa apabila didalam keluarga terjadi keretakan, ketidak harmonisan keluarga dan terjadinya perceraian, anak-anak menjadi korban. Akibatnya anak akan mengalami diskriminasi sosial dari lingkungannya sehingga mempengaruhi kehidupannya terutama dalam penyesuaian diri. Pada remaja yang hidup dalam keluarga yang situasinya tidak kondusif dapat menyebabkan para remaja tersebut melakukan kenakalan dan melanggar aturan yang ada bahkan dapat menjurus pada tindakan kriminal (Astuti, 2009). Namun pada kenyataannya dapat pula ditemui adanya remaja yang walaupun mempunyai permasalahan terkait dengan kehidupan keluarganya yang tidak harmonis (retak), mengalami keterpurukan ekonomi keluarga, konflik dalam keluargayang dapat memuncul stres pada anak dan remaja, namun mampu bangkit dan berkembang menjadi pribadi yang tangguh dan tatag. Mereka tidak larut dalam kehidupan dan perilaku yang negatif, atau menyalurkan emosinya secara liar. Adanya peristiwa-peristiwa hidup yang tidak kondusif tidak membuatnya terpuruk. Bahkan pada kenyataannya
remaja
bermasalah itu mampu membangun diri, mempunyai prestasi dan aktivitas yang positif. Adanya kesan yang muncul bahwa kaum remaja Jawa tidak mampu menyerap nilai-nilai budaya Jawa, dengan kata lain tidak ada lagi nilai-nilai Jawa dalam diri remaja. Atau nilai-nilai Jawa sudah tidak ada dan mampu menetap dalam diri kaum remaja, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara ekspresi agresi dan ketahanan mental antara remaja Jawa dengan remaja lainnya. Permasalahan ini tentunya menjadi menarik untuk diperhatikan dan dikaji lebih mendalam. Apakah hal ini juga berpengaruh terhadap resilisiensi pada
33
remaja Jawa? mengingat kontrol emosi dan ketahanan mental adalah merupakan ciri remaja yang resilien dengan memanfaatkan nilai-nilai budaya sebagai sumber resiliensi. Seiffege-Krenke yang mengamati perkembangan baru tentang remaja menyatakan bahwa remaja sebagai ” producer of hisown developmentment”, yang menguasai transisi menuju masa dewasa dengan secara tetap mengatasi tugas-tugas perkembangan yang relevan (Smet, 1994). Menurut Seligman (2005), ahli-ahli psikologi lebih peduli dengan pencarian solusi ketidakbahagiaan (depresi, kecemasan, penyakit emosi, dan sebagainya) dibanding pemberdayaan potensi positif. sebelumnya lebih
Penelitian-penelitian
difocuskan pada faktor risiko. Pada era sekarang ini,
dirasakan sungguh perlu memperhatikan sebuah usaha untuk meningkatkan potensi ketahanan dan kompetensi seorang individu (Smet, 1994). Permasalahan yang dihadapi kaum remaja Jawa pada saat ini, bukanlah merupakan hal mudah yang harus dihadapinya. Adanya perubahan dirinya secara biologis, emosi dan sosio kultural adalah merupakan permasalahan yang menjadi tugas-tugas perkembangan yang harus mampu dihadapinya untuk menjadi pribadi yang kuat ( Hurlock, 2009). Disisi lain, derasnya arus global yang melanda peri kehidupan masyarakat Jawa yang kini terjadi menjadi suatu permasalahan lain bagi remaja dimasa pergolakan dan pembentukan jati dirinya sendiri (Suseno, 1985). Untuk menghadapi semua permasalahan diri yang kompleks tersebut, maka remaja perlu membangun dan mengembangkan salah satu kemampuan yang ada didalam dirinya, yakni resiliensi (daya lentur), agar tidak mudah putus
34
asa dan jatuh dalam keterpurukan yang merugikan dirinya serta mampu menghadapi tantangan zaman. Resiliensi membuat remaja kuat dan mampu bertahan untuk kemudian bangkit membangun diri, dikala harus menghadapi tantangan dan hambatanhambatan, bencana, kesengsaraan atau peristiwa-peristiwa buruk serta trauma masa lalu yang pernah dialaminya. Seperti yang dikemukakan Wolff (dalam Bonano, 2004) yang memandang resiliensi sebagai ”trait”. Trait merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Resiliensi akan membuat remaja mempunyai daya tahan dan kelenturan menghadapi permasalahan yang ada, sehingga remaja dapat menjalani tugastugas perkembangannya dan mampu mencapai serta menjalani fase-fase perkembangan berikutnya dengan baik. Apabila remaja tidak mampu membangun diri yang resilien, bukan tidak mungkin akan terjadi hambatan-hambatan dalam tugas-tugas perkembangannya dan dapat pula mengakibatkan munculnya gangguan-gangguan psikologis yang mengganggu kehidupannya. Maka dirasa perlu bagi remaja menggali dan memanfaatkan kemampuannya. Snyder dan Lopez (2007) yang secara khusus menyebutkan bahwa resiliensi
remaja merupakan kemampuan untuk
menghadapi tekanan dari
tidak
mengalah ketika
lingkungan. Remaja mampu terhindar dari
penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan disekolah dan gangguan memtal.
35
Selanjutnya penelitian Nuryoto (2010 dalam Umami, 2012 ) menemukan bahwa remaja akhir Jawa masa kini lebih menonjolkan sisi kompetensi dan mandiri serta beberapa aspek lain sebagai gambaran diri ideal yang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. Adapun diri ideal merupakan model dari konsep diri sebuah kumpulan gambaran mental yang patut diteladani; yang terbentuk dari tiga komponen: a) gambaran masa datang ; b) harapan (mimpi dan cita-cita); c) identitas khusus individu (Umami, 2012 ). Disisi lain, penelitian lain mengemukakan bahwa remaja dan anak muda masa kini dipengaruhi budaya instant, hal ini dipicu oleh beberapa hal, antara lain faktor lingkungan baik keluarga maupun kondisi masyarakat secara luas dan kemajuan teknologi.Budaya instant menyebabkan remaja malas dan tidak berproses atau mengikuti tahapan situasi. Remaja atau anak muda memiliki kesulitan dalam memahami dirinya sendiri. Nilai budaya Jawa telah berubah pada fase remaja di Indonesia khususnya di Jawa. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi remaja begitu kompleks, melihat fenomena yang terjadi, hasil penelitian awal, dan pandangan-pandangan positif dan negatif tentang kemampuan
yang dimiliki remaja pada saat ini,
menjadi dukungan dan ketertarikan penulis untuk mencermati dan menggali lebih jauh mengenai bagaimana resiliensi pada remaja Jawa pada saat ini. Hal ini mengingat pentingnya remaja memperkuat diri dan menggali potensi positif untuk menghadapi dunia yang kini semakin mengglobal dengan kearifan lokal yang dimilikinya.
36
B. Perumusan Masalah Bagaimana resiliensi pada remaja Jawa pada saat ini, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi resiliensi remaja Jawa?. C. Tujuan Penelitian Mencermati resiliensi pada remaja Jawa saat ini dan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi remaja Jawa. D. Manfaat Penelitian 1. Diharapkan penelitian ini memberi manfaat dan menambah wacana mengenai kemampuan positif yang dimiliki oleh remaja yakni resiliensi. 2. Mengembangkan ilmu psikologi dalam menggali dan mengembangkan indigenous psychology atas dasar nilai-nilai budaya Jawa. E. Keaslian Penelitian Penelitian Shinny Islamiyah (2009), meneliti mengenai Gambaran Resiliensi Perempuan Penderita Lupus menggunakan metode kualitatif dengan tipe studi kasus. Sampel yang diambil adalah kaum wanita penderita lupus di Semarang. Penelitian Haryani (2007) mengenai Hubungan Antara Persepsi Remaja Terhadap Pola Asuh dan Nilai-Nilai Jawa Dengan Kecenderungan Perilaku Agresif . Subyek penelitian siswa-siswi kelas II SMA yang berusia 15 tahun- 18 tahun dan berasal dari suku Jawa pada SMAN 8 Yogyakarta. Metode yang digunakan metode skala. Penelitian Rachim &Nashori (2007) mengenai Nilai Budaya Jawa Dan Perilaku Nakal Remaja Jawa. Subyek penelitian adalah remaja Jawa dengan rentang usia 17-20 tahun dan merupakan siswa kelas 2 di SMA Taman Madya Yogyakarta. Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan skala.
37
Penelitian Wahyuni (2008), meneliti mengenai Resiliensi Pada Remaja Dari Keluarga Bercarai Dan Utuh Serta Peran Harga Diri Dan Dukungan Sosial Terhadap Resiliensi. Sampel penelitian remaja SMAN I Sleman di Yogyakarta. Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif. Penelitian Munauwarah (2008) di Yogyakarta, mengenai
Hubungan
Antara Resiliensi Dengan Kepribadian Tangguh, Harga Diri Dan Dukungan Sosial Pada Remaja Penyintas Bencana Gempa Bumi di Daerah Bantul Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006. Subyek penelitian adalah kaum remaja penyintas bencana gempa bumi Bantul, berusia 13 tahun-15 tahun. Metode penelitian yang digunakan metode kuantitatif. Penelitian Rinaldi (2008) mengenai Resiliensi Pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis Kelamin Dan Usia, dengan subyek penelitian masyarakat kota Padang. Metode penelitian yang digunakan metode kuantitatif, dengan menggunakan Connor-Davidson Resilience Scale ( CDRIC). Penelitian Afiatin (2009), mengenai Subyective Well Being of Aceh Adolecents after Tsunami: The Meaning of Disarter and Adolecent Happiness. Mengambil subyek penelitian remaja Aceh berusia 12 tahun - 21 tahun yang mengalami Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, bertempat tinggal di Banda Aceh. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan tipe fenomenologi. Penelitian yang peneliti lakukan adalah mengenai Resiliensi Pada Remaja Jawa. Penelitian ini mencoba mengungkap aspek lain yang belum terungkap dalam penelitian- penelitian sebelumnya, mengingat banyaknya nilai yang terkandung dalam budaya Jawa.
38
Penelitian dilakukan di kota Yogyakarta menggunakan sampel remaja Jawa yang berusia 16 tahun –21 tahun yang pernah mengalami kemalangan atau keterpurukan. Metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan tipe fenomenologi. Karena melalui pendekatan kualitatif suatu fenomena dieksplorasi melalui kekhasan ( uniqueness) pengalaman hidup masing-masing responden penelitianketika mengalaminya, sehingga fenomena itu dapat dibuka dan dipilah sehingga dicapai sebuah pemahaman terhadap kompleksitas fenomena yang ada (Smith, 2009).