BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul Pemilihan judul diambil karena keingintahuan peneliti mengenai proses pemberdayaan masyarakat desa Nglanggeran yang dapat memanfaatkan potensi di daerah mereka menjadi sebuah kawasan wisata yang menjadi salah satu obyek wisata unggulan di kabupaten Gunungkidul. Melalui pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan di desa Nglanggeran ini tidak sedikit masyarakat yang menikmati hasil dari proses demi proses pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran ini. Selain itu, tidak sedikit juga manfaat yang diperoleh di berbagai bidang, bahkan di bidang ekonomi. Pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran ini menciptakan lapangan pekerjaan dan peluang usaha lainnya yang tentu saja membuat masyarakat desa Nglanggeran lebih berdaya. Pemanfaatan potensi yang telah dilakukan masyarakat desa Nglanggeran ini didukung oleh stakeholder pemerintah baik pemerintahan kabupaten, provinsi, maupun pusat. Manfaat yang banyak diterima ini tidak hanya sebagai wujud memberdayakan masyarakat, namun membuat masyarakat tersebut menjadi mandiri dan lebih survive sehingga mampu keluar dari permasalahan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan lain sebagainya. Hal ini sangat berpengaruh karena pada dasarnya, sebuah pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata atau berbasis pariwisata, tidak hanya berdampak pada satu
1
bidang saja, melainkan bidang lainnya. Lebih lanjut mengenai alasan pemilihan judul penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut : 1.1.1 Relevansi dengan Program Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Penelitian dengan judul “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kawasan Wisata” ini sangat berkaitan dengan program studi yang peneliti ambil, yaitu Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Secara garis besar, didalam program studi Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan terdapat 3 (tiga) konsentrasi utama, yaitu Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility), Kebijakan Sosial (Social Policy), dan Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment). Berkaitan dengan ketiga konsetrasi utama tersebut, penelitian ini sangat berkaitan dengan salah satu konsentrasi utama tersebut, yaitu Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment). Hal ini dikarenakan, didalam penelitian ini fokus penelitian yang diambil adalah bagaimana proses pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata, sehingga dapat mengembangkan potensi wisata menjadi kawasan wisata unggulan dan juga dapat memberikan manfaat secara ekonomis kepada masyarakat desa Nglanggeran. Selain berkaitan dengan konsentrasi pemberdayaan masyarakat, dalam kaitannya dengan mata kuliah, penelitian ini secara langsung juga berhubungan dengan mata kuliah pemberdayaan masyarakat. Dalam studi pemberdayaan masyarakat, kami mempelajari mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat terutama alasan mengapa
2
masyarakat
perlu
diperdayakan.
Masyarakat
yang
menjadi
fokus
pemberdayaan merupakan masyarakat yang pada umumnya tidak berdaya atau powerless, baik dalam kondisi ekonomi, sosial, maupun politik. Masyarakat kemudian termarginalisasi dengan keadaan tersebut, sehingga perlu adanya suatu aksi untuk membuat masyarakat lebih berdaya atau masyarakat yang memiliki power. Proses membuat masyarakat menjadi lebih memiliki power untuk lebih survive dalam kehidupannya inilah yang dinamakan dengan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan agar masyarakat memiliki kekuatan dalam segi sosial dan ekonomi inilah yang nantinya membuat masyarakat mampu mandiri. Hal inilah yang dilakukan oleh masyarakat lokal desa Nglanggeran yang kemudian dapat mandiri mengelola kawasan wisata Nglanggeran. Keterkaitan pemberdayaan masyarakat dengan penelitian ini sangat jelas terlihat pada struktur organisasi pengelola kawasan wisata, dimana pengelola kawasan wisata ini merupakan masyarakat lokal desa Nglanggeran. Potensi yang sebenarnya telah lama ada, kemudian dapat dimanfaatkan secara baik, dan bahkan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah dan juga instansi swasta. Potensi yang tidak mainstream lagi seperti kepariwisataan ini memang memiliki daya jual yang tinggi. Hal ini tidak saja berlaku bagi masyarakat namun juga stakeholder pemerintah desa Nglanggeran sebagai stakeholder pemangku kawasan wisata Nglanggeran. Pemanfaatan potensi dengan mengikutsertakan masyarakat lokal untuk 3
pengelolaannya menjadi nilai plus ketika potensi wisata tersebut ditawarkan di pasar pariwisata. Selain itu, industri pariwisata tidak hanya membawahi satu atau dua bidang saja, melainkan berbagai bidang, hal inilah yang menjadikan pariwisata merupakan industri yang multidimensial. Secara teoritis (Bambang Sunaryo 2013 : 138) pada hakekatnya pembangunan kepariwisataan tidak lepas dari sumber daya dan keunikan komunitas lokal, baik berupa elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya), yang merupakan unsur penggerak utama kegiatan wisata itu sendiri sehingga semestinya kepariwisataan harus dipandang sebagai “kegiatan yang berbasis pada komunitas setempat”. 1.1.2
Aktualitas Dahulu, kabupaten Gunungkidul terkenal dengan kabupaten yang
memiliki angka kemiskinan yang tinggi, daerah penyandang permasalahan sosial yang tinggi, daerah yang tandus dan gersang, dan berbagai stigma yang melekat mengenai kabupaten yang sebenarnya memiliki banyak potensi wisata ini. Namun, semenjak sebuah pantai di wilayah pantai selatan kabupaten Gunungkidul, yaitu pantai Indrayanti menjadi booming dan terkenal. Kabupaten Gunungkidul ini seakan kebanjiran wisatawan dari berbagai daerah. Tidak hanya dalam wilayah satu provinsi saja, namun wisatawan dari kota lain, bahkan dari mancanegara berbondong-bondong untuk melihat keindahan panorama pantai selatan yang memiliki pasir putih yang indah.
4
Lepas dari boomingnya pantai Indrayanti atau pantai Pulang Syawal ini, banyak potensi yang kemudian digali untuk menopang pariwisata kabupaten Gunungkidul. Salah satunya adalah Kawasan Wisata Nglanggeran. Kawasan ini juga menjadi salah satu obyek wisata unggulan karena terkenal dengan peninggalan gunung api dari jaman purba dengan segenap mitos dan kepercayaannya. Menariknya kepariwisataan kabupaten Gunungkidul ini kemudian mendorong pemerintah kabupaten Gunungkidul ini menaruh perhatian lebih pada bidang kepariwisataan. Salah satu perhatian pemerintah kabupaten
Gunungkidul
ini
yaitu
dengan
ditetapkannya
kabupaten
Gunungkidul sebagai kawasan Geopark dari pegunungan karst (pegunungan sewu) pada tahun 2014. Salah satu geosite dari Geopark kabupaten Gunungkidul adalah Kawasan Wisata Nglanggeran. Keaktualitas penelitian ini tidak hanya berhenti pada kawasan wisata Nglanggeran yang sedang disorot sebagai kawasan wisata yang merupakan salah satu Geosite dari Geopark Gunungkidul, namun permasalahan yang juga diangkat oleh peneliti berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, dimana peneliti berfokus pada proses pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran. Dewasa ini, isu pemberdayaan masyarakat memang sedang banyak dibicarakan dan diaplikasikan. Hal ini dikarenakan studi mengenai pemberdayaan masyarakat memang dinilai sebagai salah satu pendekatan pembangunan yang dapat membuat masyarakat tidak hanya mandiri namun juga mampu memanfaatkan peluang dan potensi mereka. Sama halnya 5
dengan penelitian yang mengambil fokus pemberdayaan masyarakat, peneliti kemudian dapat melihat bahwa pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata akan mempengaruhi kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. 1.1.3 Orisinalitas Penelitian ini murni dikerjakan oleh peneliti dan belum ada penelitian sebelumnya mengenai pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran di kabupaten Gunungkidul. Sebelumnya memang sudah dilakukan penelitian terkait dengan pengembangan kawasan wisata Gunungkidul yang ditulis oleh Imam Yoelianto mahasiswa Universitas Negeri
Sebelas
“Pengembangan
Maret
Tahun
Obyek
Wisata
2008
dengan
Pantai
Judul
Sepanjang
Tugas di
Akhir
Kabupaten
Gunungkidul”. Akan tetapi yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Imam adalah fokus penelitian yang terkait dengan unit analisis dan fokus penelitian yang berbeda. Isi dari penelitian Imam ini berkaitan dengan bagaimana strategi mengembangkan obyek wisata bahari di Pantai Sepanjang Kabupaten Gunungkidul. Selain itu, terdapat penelitian mengenai pariwisata juga pernah dilakukan oleh A. Oktami Dewi A.A.P mahasiswa Universitas Hassanudin Makassar tahun 2013 dengan judul skripsi “Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Obyek Wisata Bahari di Pulau Kapoposang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan”. Dalam penelitian Okta dijelaskan mengenai partipasi masyarakat dalam pengembangan obyek wisata bahari, sedangkan dalam penelitian ini fokus yang diambil adalah proses pemberdayaan
6
masyarakat sehingga dapat menciptakan obyek wisata unggulan untuk membantu masyarakat setempat dalam hal ekonomi. Selain fokus penelitian yang berbeda, lokasi untuk penelitianpun juga berbeda. Sehingga secara keseluruhan antara penelitian ini dengan penelitian Okta berbeda, walaupun sama-sama dalam bidang pariwisata. Penelitian lain dengan tema pariwisata juga pernah dilakukan oleh Yekti Dwi Andyati mahasiswa Administrasi Negara (Manajemen Kebijakan Publik) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Penelitian Yekti berjudul “Kinerja Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Informasi Kabupaten Purworejo dalam Mengembangkan Potensi Pariwisata”. Dalam penelitian ini difokuskan lebih kepada pendalaman mengenai kinerja Dinas KPI dalam mengembangkan potensi pariwisata di kabupaten Purworejo. Penelitian ini menyinggung bahwa kinerja KPI kabupaten Purworejo masih rendah karena potensi wisata yang beragam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sehingga tujuan wisatawan belum tercapai. Namun hasil akhir dari penelitian ini menyebutkan bahwa Dinas KPI tetap melakukan pembenahan terhadap obyek wisata yang ada sehingga dapat dimanfaatkan sebagai daerah tujuan wisata. Terdapat penelitian lain yang juga berlokasi di desa Nglanggeran dengan mengangkat obyek yang sama yaitu kawasan wisata Nglanggeran. Penelitian ini dilakukan Novia Purbasari, mahasiswa Universitas Diponegoro Fakultas Teknik, pada tahun 2014. Mahasiswi ini mengangkat penelitian di kawasan wisata Nglanggeran dengan judul Model Community Based Tourism 7
pada Desa Wisata Kembangarum, Petingsari, dan Nglanggeran, DIY Sebagai Penerima PNPM Mandiri Pariwisata. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Novia ini menyoroti mengenai pentingnya strategi Community Based Tourism dalam mencapai dan menerima PNPM Mandiri Pariwisata. Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Novia dengan penelitian ini adalah bagaimana mengupas sebuah permasalahan yang ada di kawasan wisata Nglanggeran, penelitian Novia lebih menyoroti mengenai statrategi sebuah kawasan wisata dalam mengembangkan community based tourism agar menerima aliran dana dari PNPM Mandiri Pariwisata, sedangkan dalam penelitian ini lebih mengacu bagaimana proses dari pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata tersebut demi tercapainya sebuah kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.
1.2
Latar Belakang Masalah Pembangunan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat kini banyak diambil oleh banyak pihak baik pemerintah maupun swasta untuk mengembangkan masyarakat menjadi sebuah komunitas yang mampu merencanakan dan membangun daerahnya sebagaimana potensi dan keahlian yang mereka miliki. Pembangunan yang lebih mengacu pada partisipasi masyarakat ini kemudian menjadi salah satu andalan bagi banyak pihak untuk membuat sebuah terobosan baru dalam pembangunan, Banyak bidang yang kini mulai dikembangkan dengan perspektif pembangunan pemberdayaan masyarakat. Salah satunya dengan pengembangan pariwisata.
8
Industri pariwisata terutama di Indonesia kini banyak menggunakan perspektif pembangunan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat, dimana keberadaan masyarakat kemudian menjadi sebuah titik keberhasilan dari pengembangan industri kepariwisataan tersebut. Keberadaan pemberdayaan masyarakat melalui industri pariwisata, tidak hanya membawa dampak secara ekonomi dengan peningkatan pendapatan melalui menjamurnya usaha-usaha mikro melalui pengelolaan industri pariwisata, melainkan juga mulai merambah ke bidang sosial dimana angka pengangguran dan kemiskinan mula diangkat menjadi sebuah isu penting yang teratasi dengan adanya pengelolaan industri pariwisata oleh masyarakat. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh I Putu Gel-Gel bahwa pariwisata merupakan industri global yang diyakini mencakup semua bidang jasa sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Efek dari keberadaan pariwisata tidak hanya mencakup kepada industri keparwisataannya sendiri, melainkan juga ke bidang lainnya yang berkaitan dengan keparwisataan tersebut, seperti akomodasi, jasa transportasi, perdagangan, food and baverages, dan lain sebagainya. Pariwisata merupakan sebuah industri global, dimana pariwisata merupakan suatu kegiatan yang menyediakan jasa akomodasi, transportasi, makanan, rekreasi, serta jasa-jasa lainnya yang terkait (I Putu Gel-Gel, 2006:22). Salah satu penerapan dari pembangunan dan pengembangan pariwisata melalui basis pemberdayaan masyarakat adalah di sebuah obyek wisata alam di kabupaten Gunungkidul. Obyek wisata alam tersebut adalah Kawasan Wisata Nglanggeran. Obyek wisata Nglanggeran merupakan sebuah obyek yang terbagi atas dua peminatan khusus, yaitu Kawasan Ekowisata 9
Gunung Api Purba Nglanggeran dan Kawasan Agrowisata Embung dan Kebun Buah Nglanggeran. Obyek wisata Gunung Api Purba Nglanggeran dan Embung Nglanggeran tidak hanya dilihat sebagai obyek wisata yang menawarkan bentang alam yang penuh dengan kegiatan petualangan, namun juga menyuguhkan kreatifitas masyarakat lokal sebagai pengelolanya. Obyek wisata Gunung Api Purba Nglanggeran dan Embung Nglanggeran ini terletak di antara 3 (tiga) dusun, yaitu dusun Nglanggeran Wetan, dusun Nglanggeran Kulon, dan dusun Gunung Butak, desa atau kelurahan Nglanggeran, kecamatan Patuk, kabupaten Gunungkidul. Jarak yang tidak terlalu jauh dari obyek wisata lainnya, membuat kawasan wisata Nglanggeran ini menjadi favorit di kalangan wisatawan. Obyek wisata yang tidak hanya menawarkan keindahan gunung berapi yang aktif pada zaman purba ini, namun juga wisata petualangan atau outbond seperti mendaki gunung purba Nglanggeran, flying fox, dan lain sebagainya. Keindahan kawasan wisata ini tidak hanya berhenti pada wisata alam yang ditawarkan namun pengetahuan mengenai sejarah mengenai gunung api purba Nglanggeran yang penuh dengan mitos dan cerita tokoh pewayangan. Kawasan
Wisata
Nglanggeran
ini
tidak
hanya
memberikan
kesenangan bagi wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata tersebut, namun juga memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat di desa Nglanggeran. Hal ini dikarenakan, pengelolaan kawasan wisata Nglanggeran ini memang dikelola secara langsung oleh masyarakat desa Nglanggeran melalui Karangtaruna desa Nglanggeran dan juga Pokdarwis kawasan wisata 10
Gunung Api Purba Nglanggeran. Pengelolaan yang cukup bagus ini kemudian melahirkan banyak peluang usaha dan juga pembukaan lahan pekerjaan baru bagi masyarakat desa Nglanggeran khususnya pemuda. Pengelolaan yang dilakukan oleh karangtaruna bersama Pokdarwis inilah yang kemudian menjadi perhatian khusus bahwa adanya proses pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata yang cukup bagus sehingga dapat membuat masyarakat juga ikut menikmati manfaat dari pembukaan kawasan wisata Nglanggeran. Keberhasilan pengelolaan kawasan ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran ini bertolak belakang dengan kenyataan yang disampaikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) yang. mengatakan bahwa pengembangan destinasi ekowisata masih terhambat dikarenakan beberapa hal terutama berkaitan dengan perijinan, pembebasan lahan, dan juga peraturan daerah yang tidak mendukung
adanya
destinasi
ekowisata
tersebut
(sumber:
http://travel.kompas.com/ tentang Pengembangan Destinasi Ekowisata Masih Terhambat). Namun, apabila melihat kawasan wisata Nglanggeran yang berhasil memikat wisatawan disemua kalangan, kawasan wisata Nglanggeran juga mampu menggandeng masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam mengembangkan kawasan wisata tersebut. Kawasan wisata Nglanggeran sendiri memang diakui sebagai kawasan wisata yang mempunyai kelembagaan dan pengelolaan yang bagus. Hal ini sangat berkaitan dengan bagaimana proses memberdayakan masyarakat yang mengelola kawasan wisata tersebut sehingga menjadi kawasan wisata 11
unggulan
seperti
sekarang
ini.
Dalam
proses-proses
pemberdayaan
masyarakat tersebut pasti keaktifan, partisipasi, dan kesadaran masyarakat sangat diperlukan dalam mengelola potensi lainnya yang ada di daerah mereka. Selain itu, peran stakeholder yang kemudian mendukung terciptanya masyarakat yang mampu menjadi pengelola kawasan wisata unggulan ini layak menjadi fasilitator yang mampu menghidupkan semangat masyarakat. Ketika destinasi wisata lainnya terhambat pembangunan dan pengembangannya, kawasan ekowisata Gunung Api Purba dan kawasan agrowisata Nglanggeran ini mampu berkembang dengan baik. Hal ini menyisakan tanda tanya besar, bahwa bagaimana sebenarnya proses-proses pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan sehingga melahirkan masyarakat yang sadar akan potensi dan mampu memanfaatkan peluangpeluang usaha pariwisata tersebut. Selain keberhasilan yang telah dicapai, banyak hal yang mampu diungkapkan melalui keberhasilan tersebut, salah satunya adalah dengan titik tolak kemandirian atau self esteem. Dimana sebuah pembangunan dan pengembangan pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan, bertitik pada sebuah kemandirian masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Tri Winarni dalam Ambar Teguh (2004 : 79) bahwa didalam konsep pemberdayaan masyarakat meliputi tiga hal yaitu pengembangan
dari
pemberdayaan
masyarakat
itu
sendiri,
mampu
memperkuat potensi, dan kemudian yang terakhir mampu menciptakan sebuah kemandirian.
12
Konsep pemberdayaan masyarakat intinya meliputi tiga hal, yaitu Pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. (Tri Winarni dalam Ambar Teguh 2004 :79) Kemandirian masyarakat yang tercipta melalui pembangunan dan pengembangan kawasan wisata Nglanggeran ini membuat sebuah terobosan terbaru, bahwa dalam industri kepariwisataan dengan memanfaatkan alam dan potensi yang dimiliki ternyata membawa dampak yang bagus dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Keamndirian dalam berbagai bidang kemudian
ditonjolkan
melalui
proses-proses
pembangunan
dan
pengembangan dengan basis pemberdayaan masyarakat yang dikemas apik. Hal ini menjadi sebuah pemberlajaran bagi obyek wisata lainnya yang belum menerapkan pembangunan dan pengembangan kawasan wisata dengan basis pemberdayaan masyarakat. Bahwa ddalam pemberdayaan masyarakat akan menciptakan sebuah kemandirian didalam masyarakat itu sendiri, sehingga mendorong kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Kemandirian yang kemudian diciptakan tidak hanya dalam ekonomi, namun juga sosial dan kemandirian dalam menyampaikan pendapat.
1.3
Rumusan Masalah Mengacu pada uraian dan bahasan mengenai masalah pengembangan
kepariwisataan diatas, maka fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana proses pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran untuk meningkatkan kemandirian masyarakat desa Nglanggeran ?.
13
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian a. Mengetahui proses pemberdayaan masyarakat di desa Nglanggeran melalui kawasan wisata. b. Mengetahui strategi-strategi pengelola kawasan wisata Nglanggeran, sehingga kawasan wisata Nglanggeran selalu berkembang dengan pesat. c. Mengetahui peran stakeholder-stakeholder yang berkaitan dalam mendukung pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran d. Mengetahui hambatan yang dialami dalam proses pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran. 1.4.2 Manfaat Penelitian a. Penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran dan referensi yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya. b. Bagi
Jurusan
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan
dapat
memberikan kontribusi pengetahuan tentang pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan kawasan wisata yang menjadi salah satu ruang lingkup kajian peran masyarakat dalam pembangunan sosial yang merupakan bagian dari ilmu pemberdayaan masyarakat. c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi bagi kendala yang dihadapi pada permasalahan sosial seperti kemiskinan dan pengangguran melalui
pemberdayaan masyarakat
pariwisata.
14
dalam sektor
d. Bagi pemerintah kabupaten Gunungkidul, penelitian ini diharapkan sebagai
pelengkap data mengenai
proses-proses
pemberdayaan
masyarakat, terutama kawasan wisata Nglanggeran. Sehingga mampu memprediksi kebijakan dan strategi-strategi untuk mengembangkan kepariwisataan lainnya dengan memberdayakan masyarakat lokal.
1.5
Landasan Teori 1.5.1 Teori Pemberdayaan Masyarakat 1.5.1.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat Perspektif pertumbuhan merupakan
sebuah
perspektif
pembangunan yang mengutamakan peningkatan pada produktifitas. Hal ini digunakan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara cepat. Perspektif ini memang digunakan beberapa negara didunia ini sebagai pendongkrak pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi seccara makro. Namun perspektif pertumbuhan ini mengabaikan pendekatan yang humanistis atau pendekatan secara kemasyarakatan. Sehingga citra yang ditimbulkan dari perspektif ini kurang menghargai harkat dan martabat masyarakat sebagai warga negara tersebut. Dalam hal ini, masyarakat hanya dijadikan obyek dalam pembangunan bukan sebagai subyek dari pembangunan tersebut. Posisi masyarakat yang seperti ini membuat masyarakat tidak memiliki posisi yang marginal. Prinsip dari pembangunan dengan perspektif pertumbuhan ini, yaitu top-down, sentralistik, dan uniformity ini kemudian membuat masyarakat juga tidak memiliki kepentingan atas pembangunan yang dilakukan di negaranya. Hasilnya memang cukup bagus, apabila
15
dilihat dari sisi perekonomian makro, namun apabila dilihat lebih jauh, lapisan bawah tetap pada kondisi yang cukup mengenaskan, yaitu pada titik kondisi kemiskinan. Kejadian tersebut dikarenakan, batasan pembangunan tidak sampai pada masyarakat sebagai level komunitas. Mekanisme pembangunan dan pespektif pertumbuhan ini diyakini masih menganut sistem trickle down effect yang ternyata tidak menghasilkan apapun kecuali kesenjangan yang kian tajam. Melalui berbagai kelemahan dari perspetif pertumbuhan tersebutlah kemudian, ditarik kritik yang cukup kuat untuk kemudian membuat paradigma baru didalam pembangunan masyarakat, yaitu dengan paradigma people centre development yaitu paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Paradigma ini lebih kepada menghargai pada pendekatan humanistis sehingga masyarakat tidak lagi dijadikan sebagai obyek, melainkan sebagai subyek dari pembangunan. Didalam paradigma pembangunan yang berpusat pada masyarakat inilah kemudian muncul sebuah pendekatan yang kini sedang digalakkan pemerintah Indonesia dan negara lainnya sebagai sebuah pendekatan pembangunan yang terbaik. Pendekatan tersebut adalah pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pengertian
pemberdayaan
masyarakat
dijelaskan
secara
epitemologis maupun konsep, tujuan, proses, pendekatan, dan prinsip. Secara epistemologis, pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang berarti kekuataan atau kemampuan bertolak dari pengertian tersebut maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya atau kekuatan
16
atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Ambar Teguh, 2004 :77). Sedangkan masyarakat berarti sekumpulan orang yang saling berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang terpola, terorganisasi (Soetomo, 2011 : 25). Konsep pemberdayaan masyarakat mengartikan bahwa adanya pemindahan kekuasaan dari yang hierarkis bottom up menjadi top down. Hal ini akan memungkinkan adanya sinkronisasi kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bukan hal yang mudah untuk dipahami. Konsep pemberdayaan masyarakat bukan hanya sekedar bagaimana mengidentifikasi seluruh kebutuhan dan keinginan masyarakat dan memberikan semua kebutuhan dan keinginannya tersebut. Konsep pemberdayaan masyarakat lebih mengedepankan kemandiriaan atau ketidaktergantungan dengan pihak lainnya. Menurut Pranarka (dalam Ambar Teguh 2004 : 78) pemberdayaan masyarakat mengandung dua arti, yang pertama to give power or authority atau memberikan kekuasaan mengalihkan kekuasaaan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak yang kurang berdaya, yang kedua to give ability to or enable atau memberikan kemampuan atau keberdayaan serta memberikan peluang kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu. Hal ini mengartikan bahwa pemberdayaan secara tidak langsung memberikan kewenangan dan kekuasaan terhadap masyarakat yang tidak memiliki kekuatan atau dalam kondisi ketidakberdayaan. Sehingga kekuasaan atau wewenang tersebut dapat digunakna masyarakat untuk lebih mandiri di dalam menentukan kesejahteraannya. Selain itu, kekuasaan maupun wewenang yang diberikan kepada masyarakat ammpu mengurangi
17
intervensi pemerintah dalam melakukan suatu pembangunan didalam masyarakat. 1.5.1.2 Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pelaksanaan pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat memiliki sebuah tujuan utama. Tujuan tersebut digunakan sebagai acuan dalam merencanakan, melaksanakan, dan memonitoring kegiatan
pemberdayaan
masyarakat.
Secara
umum,
tujuan
dari
pemberdayaan masyarakat adalah tercapainya kemandirian di dalam masyarakat itu sendiri. Kemandirian merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan untuk memikirkan, memutuskan, serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai permasalahan-permaslaahan yang dihasapi dengan menggunakan daya kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif dengan pengeraaahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut (Ambar Teguh, 2004 : 80)
Kemandirian sebagai tujuan pemberdayaan masyarakat juga diungkapkan oleh Tri Winarni dalam Ambar Teguh 2004 : 79 bahwa : Konsep pemberdayaan masyarakat intinya meliputi tiga hal, yaitu Pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. Kemandirian masyarakat yang digunakan sebagai tujuan dari pemberdayaan masyarakat dibangun pada awalnya sebagai upaya untuk mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Lambat laun, masyarakat kemudian dapat mengelola sumber daya yang mereka miliki secara mandiri. Hempri Suyatna dan Suparjan juga mengungkapkan bahwa,
18
Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya diarahkan sebagai upaya meningkatkan ketahanan lokal, tidak bergantung dari atas (pemerintah) atau lebih mandiri, dalam merencanakan dan merancang masa depan pembangunan di daerahnya (Suparjan dan Hempri Suyatna, 2003 : 192). Melalui paparan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemberdayaan
masyarakat
adalah
memberikan
kekuatan
kepada
masyarakat baik memberikan kekuasaan terhadap masyarakat maupun memberikan kemampuan atau keberdayaan kepada masyarakat sehingga dapat mencapai pada titik kemandirian. Semua tujuan pemberdayaan masyarakat tersebut kemudian bertolak untuk membuat masyarakat terhindari dari lingkaran setan kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, kesenjangan, dan juga ketidakberdayaan. 1.5.1.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat Dalam pemberdayaan masyarakat, tidak terlepas oleh proses yang begitu panjang untuk menciptakan tujuan utama pemberdayaan masyarakt itu sendiri, yaitu sebuha kemandirian didalam masyarakat. Proses tersebut terangkup dalam sebuah konsep besar, bahwa didalam pemberdayaan masyarakat, proses yang dilewati bukan sebagai step by step seperti proses pembangunan lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Soetomo (2013 : 88) bahwa didalam proses pemberdayaan terdapat unsur utama yang berkaitan dengan proses tersebut, yaitu pemberian kewenangan dan peningkatan kapasitas. “...unsur utama dari pemberdayaan masyarakat adalah pemberian wewenang dan peningkatan kapasitas masyarakat. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, oleh karena apabila masyarakat telah memperoleh kewenangantetapi tidak atau belummempunyai 19
kapasitas untuk menjalankan wewenang tersebut maka hasilnya tidak akan optimal.” (Soetomo, 2013 : 88) Memang jika ditelusur lebih jauh, pemberian wewenang dan peningkatan kapasitas sangat erat kaitannya dengan proses pemberdayaan masyarakat.
Dimana
kedua
merupakan
inti
dari
terbentuknya
pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Diilustrasikan bahwa, didalam masyarakat hanya diberikan kewenangan dalam mengelola potensi yang mereka miliki, namun tidak diberi sebuah pelatihan atau peningkatan pengetahuan atau kapasitas masyarakat didalam mengelola potensi tersebut, sama saja masyarakat juga tidak mampu mengelola potensi tersebut. Hasilnya, masyarakat tetap memiliki kehidupan yang kurang sejahtera, begitu pula sebaliknya. Kedua unsur utama ini kemudian saling mengisi untuk membentuk sebuah pemberdayaan masyarakat yang nantinya akan menghasilnkan sebuah kemandirian didalam masyarakat tersebut. Menurut Ambar Teguh (2004 : 83), pemberdayaan amsyarakat merupakan sebuah proses belajar, yang terbagi dalam beberapa tahapan, yaitu tahapan penyadaran, tahapan transformasi, dan tahapan peningkatan kemampuan. Tahap penyadaran merupakan pembentukan perilaku menuju sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan, ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan, dan tahapan yang terakhir adalah tahapan peningkatan kemampuan intelektual,kecakapan,
20
ketrampilan, sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Tahapan-tahapan proses belajar ini nantinya akan mengantarkan masyarakat kepada kemandirian. Kemandirian tersebut yang ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Bagan 1 Proses Belajar Dalam Pemberdayaan Masyarakat TAHAP PENYADARAN (Pembentukan perilaku menuju sadar dan peduli)
TAHAP TRANSFOMASI KEMAMPUAN (Memberikan peran pembangunan didalam kehidupan masyarakat, membekali dengan berbagai kemampuan dan keahlian)
TAHAP PENINGKATAN KEMAMPUAN (Peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan, ketrampilan, sehingga membentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantar pada kemandirian
Dalam Randy dan Riant (2007 : 2), proses peberdayaan bukan hanya sebuah proses biasa, namun proses pemberdayaan menurut Randy dan Riant merupakan sebuah “proses menjadi berdaya” yang dilakukan dengan berbagai tahapan yang tepat. Tahapan tersebut berupa penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. “sebagai proses pemberdayaan mempunyai tiga tahapan : penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.” (Randy dan Riant, 2007 : 2)
21
Bagan 2 Tiga Tahapan Pemberdayaan
Sumber : Randy W. Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto, Manajemen Pemberdayaan : Sebuah Penantar dan Panudan Untuk Pemberdayaan Masyarakat, 2007 : 3
Tahap pertama, yaitu penyadarann dalam tahap ini obyek dari peberdayaan diberikan sebuah pencerahan. Dimana penceraha tersebut berisi mengenai pemberian pengertian sehingga si obyek tersebut mulai sadar dan peduli dengan kehidupannya dan lingkungannya. Hasil capaian dari tahapan ini adalah si obyek atau masyarakat sadar bahwa mereka hidup dengan berbagai potensi, namun potensi tersebut belum dimanfaatkan. Tahapan yang kedua adalah pengkapasitasan. Dalam tahapan ini, jika masyarakat mulai sadar akan potensi dan betapa marginalnya kehidupan mereka kemudian diberikan sebuah peningkatan kapasitas dalam hal kemampuan, keahlian, dan pengetahuan. Maka, tahapan ini sering disebut dengan tahap enabling atau memampukan. Peningkatan kapasitas dalam hal ini tidak hanya
22
dalam indvidu saja melainkan juga kelompok atau orgnaisai masyarakat dimana semuanya diberikan peningkatan kapasitas sehingga mampu memberdayan dirinya sendiri. Tahapan ketiga adalah pemberian daya itu sendiri. Tahapan ini memungkinkan pemberian wewenang dan pengelolaan potensi. Seluruh proses pemberdayaan diserahkan kepada masyarakat dan organisasi didalam masyarakat itu sendiri. Namun yang harus menjadi catatan adalah pemberian daya berupa wewenang dan pengelolaan potensi harus didasarkan pada kemampuan dari masyarakat itu sendiri. Jika masyarakat kemudian dirasa mampu menjalankan wewenang dan pengelolaan potensinya maka masyarakat dianggap mampu membangun iklim pemberdayaan masyarakatnya sendiri. 1.5.1.4 Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pendekatan yang digunakan dalam model
pembangunan
pemberdayaan masyarakat adalah mengikuti alur dari bawah ke atas atau dikenal dengan bottom-up. Bottom-up dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat berarti pemberdayaan masyarakat berupaya mengajak seluruh masyarakat
untuk
terlibat
didalam
setiap kegiatan pemberdayaan
masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki andil dalam mengambil keputusan dan juga bertanggungjawab atas keputusan tersebut. Pendekatan pemberdayaan masyarakat juga lebih cenderung melalui komitmen masyarakat itu. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang menggunakan model bottom-up ini mengartikan bahwa masyarakat tidak hanya dijadikan obyek 23
pembangunan lagi, namun sudah menjadi subyek pembangunan. Model ini tidak hanya membuat masyarakat bertanggungjawab atas pembangunan yang mengikutsertakan mereka dalam setiap tahapnnya, namun juga dapat mempermudah mengenai penggalian dana secara swadaya dan pembiayaan bangunan. Model ini lebih mengutamakan komitmen masyarakat di dalam melaksanakan pembangunan, sehingga apapun hasilnya masyarakat dapat memberikan koreksi dan juga evaluasi terhadap pembangunan yang telah dilaluinya. 1.5.1.5 Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Didalam
melakukan
pembangunan
dengan
pendekatan
peberdayaan masyarakat, perlu diperhatikan beberapa hal mengenai prinsip dari pemberdayaan masyarakat. Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat digunakan sebagai pembeda dari perspektif pembangunan sebelumnya, yang berorientasi pertumbuhan ekonomi nasional, bukan pertumbuhan masyarakat secara mikro. Prinsip desentralisasi.
pemberdayaan Proses
masyarakat
pemberdayaan
yang
masyarakat
pertama
adalah
mengutamakan
desentralisasi. Desentralisasi tersebut terutama dimanifestasikan dalam bentuk kewenangan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pengambilan keputusan dan memberdaya (Soetomo, 2013 : 72). Pengertian ini menjelaskan bahwa, di dalam pemberdayaan masyarakat, desentralisasi ini digunakan sebagai pembiasan kewenangan ke
24
masyarakat di level bawah atau lebih tepatnya desentralisasi memberikan wewenangan kepada masyarakat sampai ke tingkat komunitas lokal dalam menjalankan pembangunan. Masyarakat pada tingkat komunitas lokal inilah yang akan mengidentifikasi masalah, kebutuhan, dan menentukan pembangunan apa yang tepat bagi mereka disesuaikan dengan potensi mereka. Masyarakat inilah yang kemudian akan melakukan kontrol untuk pelaksana pembangunan tersebut. Pada dasarnya desentralisasi terutama dalam mengambil keputusan tidak berhenti sampai pada tingkat masyarakat lokal sebagai satu kesatuan komunitas, melainkan sampai spektrum yag luas dan masyarakat termasuk lapisan masyarakat posisi terbawah (Soetomo, 2013 : 72-73). Kenyataan ini dimaksudkan agar kepentingan lapisan bawah termasuk masyarakat miskin dapat terakomodasi. Apabila kewenangan masyarakat lokal dalam mengambil keputusan masih bias elit berarti masih ada unsur sentralistik didalam pemberdayaan masyarakat. Didalam pemberdayaan masyarakat didorong untuk melakukan sebuah penetrasi kewenangan kepada masyarakat sampai pada level terbawah. Hal ini dipertimbangkan agar masyarakat pada level terbawah dapat terakomodasi kepentingannya sebagai warga negara yang ikut berkecimpung dalam pembangunan masyarakatnya. Selain itu prinsip ini juga mencegah adanya dominasi dari berbagai aktor yang hanya merespresntasikan wewenang masyarakat sehingga apa yang dimaksud didalam pembangunan bukan dari masyarakat saja namun hanya generalisasi dari aktor tertentu didalam masyarakat.
25
Prinsip yang kedua adalah bottom-up, bottom-up merupakan sebuah alur pengambilan keputusan dengan sifat dari bawah ke atas. Hal ini berarti perumusan program yang akan dilaksanakan ditentukan oleh identifikasi masalah dan kebutuhan dari dan oleh masyarakat sendiri. Namun didalam proses dan mekanisme perumusan program pembangunan masyarakat ini ada dua kemungkinan. Yang pertama, identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat tersebut kemudian direspon oleh masyarakat bersangkutan dalam bentuk program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanankan oleh masyarakat sendiri. Hal ini menempatkan masyarakat sebagai subyek dari pembangunan, dan model ini mendorong masyarakat untuk berkembang melalui proses belajar dengan menyesuaikan dinamika kehidupan dan lingkungan yang terus berkembang. Model bottom-up yang kedua adalah, identifikasi dan kebutuhan dari bawah ini kemudian diakomodasi oleh pemerintah baik daerah maupun pusat, dalam hal ini dinas-dinas terkait, untuk dimasukkan sebagai program dalam perencanaan pembangunan. Model yang kedua ini yang kemudian dikenal dengan proses dan mekanisme pembangunan yang juga bersifat bottom-up. Didalam model pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang bersifat bottom-up, perlu adanya partisipasi dari masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat perencanaan dari awal dengan mengidentifikasi masalah, kebutuhan, dan potensi tidak akan terlaksana,
26
bahkan pembangunan dengan model ini dianggap tidak berhasil ketika tidak adanya partisipasi dari masyarakat lokal. Prinsip yang ketiga adalah variasi lokal, didalam pendekatan pemberdayaan
masyarakat,
perlu
diperhatikan
variasi
lokal
dari
masyarakat. Perbedaan kebutuhan, potensi, dan permasalahan didalam kehidupan masyarakat menantang bentuk pemberdayaan masyarakat untuk memberikan toleransi kepada variasi lokal bukan lagi penyeragaman. Dengan memberikan toleransi kepada variasi lokal ini, program-program yang dibentuk akan dilaksanakan dengan lebih bertanggungjawab dan masyarakat merasa memiliki serta merasa bahwa ketika keberhasilan program
pemberdayaan
merupakan
tanggungjawab
mereka
karena
merekalah yang membuat program tersebut. Prinsip pemberdayaan masyarakat yang keempat adalah proses belajar. Prinsip dari pemberdayaan masyarakat yang disebut proses belajar ialah dimana pemberdayaan masyarakat merupakan hasil dari proses belajar, dimana dari awal mereka belajar untuk mengidentifikasi masalah kemudian bagaimana mereka mempergunakan potensi untuk membentuk sebuah program. Proses belajar ini merupakan sebuah penyesuaian masyarakat dengan kondisi lingkungan dan kehidupan yang semakin berubah, sehingga mendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap perubahan. Proses belajar masyarakat akan terus dan terus belajar, sehingga masyarakat tidak lagi diintervensi oleh pihak lain yang secara sengaja ingin membentuk
kekuasaan
didalam 27
masyarakat.
Proses
belajar
dari
pemberdayaan masyarakat ini mendorong masyarakat lebih kritis dan kreatif dengan lahirnya berbagai gagasan dan ide untuk pembangunan mereka. Prinsip yang kelima adalah keberlanjutan. Didalam pendekatan pemberdayaan masyarakat, telah dijelaskan beberapa prinsip diatas, seperti desentralisasi, bottom-up toleransi terhadap variasi lokal, dan merupakan sebuah proses belajar masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut akan melahirkan sebuah pembangunan masyarakat dengan sifat keberlanjutan atau sustainable. Hal ini dikarenkana pemberian wewenang kepada masyarakat dalam
pengelolaan
pembangunan
lebih
mendorong
dan
menumbuhkembangkan sifat masyarakat yang lebih inisiatif dan kreatif, sehingga membuat masyarakat kemudian sadar bahwa pembangunan yang mereka lakukan digunakan sebagai kemajuan kehidupan masyarakat. Sifatsifat bertanggungjawab ini akan membawa keberlanjutan atau sustainable pada program yang telah dibentuk dan dilakukan. Sehingga tidak akan menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan program yang memang benar-benar dibentuk atas partisipasi masyarakat didalam pembangunan tersebut. 1.5.1.6 Partisipasi Masyarakat Sebagai Prasyarat Pemberdayaan Masyarakat Partisipasi atau participation adalah setiap proses identifikasi atau menjadi peserta suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu (Soerjono Soekanto, 1993 : 355).
28
Definisi ini mengartikan bahwa partisipasi adalah suatu kata kerja yang mengikutsertakan manusia kedalam sebuah kehidupan sosial yang didalamnya terjadi proses komunikasi dan kegiatan bersama. Partisipasi menjadi salah satu bagian dari yang paling terpenting didalam pemberdayaan masyarakat, terutama partisipasi dari masyarakatnya sendiri. Partisipasi masyarakat akan lebih terlihat pada bagaimana bentuk keberhasilan dari sebuah pembangunan yang berbasis partisipasi. Partisipasi dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah inti dari pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat itu sendiri. partisipasi di dalam pemberdayaan masyarkat menjadi sebuah proses dalam pengembangan masyarakat, partisipasi sangat berkaitan erat dengan bagaimana masyarakat tersebut berkembang dan menuju ke arah yang lebih maju. Selanjutnya, partisipasi masyarakat juga berkaitan dengan kontribusi masyarakat itu sendiri, baik kontribusi secara ragawi yang berupa melakukan suatu hal yang kongkrit, ataupun sebuah ide-ide. Didalam pemberdayaan masyarakat partisipasi masyarakat dituangkan ke dalam sebuah pendapat dan pengambilan keputusan akan masa depan masyarakat itu sendiri, sehingga tidak adanya ketergantungan dan juga otoriter kekuasaan dari atas (state). Besarnya partisipasi masyarakat akan lebih terlihat ketika kesuksesan masyarakat di dalam memberdayakan dirinya untuk lebih maju dalam perkembangan pembangunan baik ekonomi, sosial maupun politik.
29
Menurut Oakley (dalam Jim Ife, 2008 : 296), ada perbandingan partisipasi dalam dua konsep, yaitu partisipasi sebagai cara dan partisipasi sebagai tujuan, berikut ini tabel perbedaannya. Tabel 1 Perbedaan Partisipasi Partisipasi sebagai Cara
Partisipasi sebagai Tujuan
Berimplikasi pada penggunaan
Berupaya memberdayakan
partisipasi untuk mencapai
rakyat untuk berpartisipasi
tujuan atau sasaran yang telah
dalam pembangunan mereka
ditetapkan sebelumnya
sendiri secara lebih berarti
Merupakan suatu upaya
Berupaya untuk menjamin
pemanfaatan sumber daya yang
peningkatan peran rakyat
ada untuk mencapai tujuan
dalam inisiatif-inisiatif
program
pembangunan.
Penekanan pada mencapai
Fokus pada peningkatan
tujuan dan tidak terlalu pada
kemampuan rakyat untuk
aktifitas partisipasi itu sendiri
berpartisipasi bukan sekedar
Lebih umum dalam program-
mencapai tujuan-tujuan proyek
program pemerintah, yang
yang sudah ditetapkan
utamanya adalah masyaakat dan
sebelumnya
melibatkan mereka dalam
Pandangan ini relatif kurang
meningkatkan efisiensi sistem
disukai oleh badan-badan
penyampaian
pemerintah. Pada prinsipnya
30
Partisipasi umumnya jangka
LSM setuju dengan pandangan
pendek
ini.
Partisipasi sebagai cara
Partispasi dipandang sebagai
merupakan bentuk pasif dari
suatu proses jangka panjang.
partisipasi
Partisipasi sebagai tujuan relatif lebih aktif dan dinamis.
Ketika
melihat
tabel
diatas,
maka
partisipasi
masyarakat
didalam
pemberdayaan masyarakat lebih ditekankan pada partisipasi sebagai tujuan, hal ini jelas sangat terlihat pada beberapa inti dari deskripsi partispasi sebagai tujuan. Salah satunya mengenai partisipasi yang dipandang sebagai suatu proses jangka panjang bukan hanya jangka pendek. Seperti yang diisyaratkan dalam pemberdayaan masyarakat bahwa, program pembangunan yang berbasis pemberdayaan masyarakat akan jauh lebih ditargetkan pada keberlanjutan atau sustainable. Program yang dibuat, tidak hanya akan menolong masyarakat dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya dalam sekejap saja, namun juga dalam jangka panjang dan masyarakat mampu mengembangkan insiatif mereka sebagai mereka survive untuk program atau kegiatan
pemberdayaan
masyarakat
seperti
mereka
mempertahankan
kehidupan mereka. Didalam kata partisipasi banyak bermunculan makna yang tersirat, karena partisipasi sendiri diartikan sangat luas, terlebih ketika wujud partisipasi itu tidak dapat dibedakan. Adapun beberapa bentuk partisipasi
31
secara sederhana, diisyaratkan sebagai keikutsertaaan seseorang kelompok, ataupun masyarakat dalam kegiatana tau program tertentu. Hal ini sangat berkaitan sekali dengan partisipasi selalu diidentikan adanya subyek pelakunya, dimana subyek tersebut berkontribusi atau memberi sumbangan dalam kegiatan atau program tersebut, sehingga mampu untuk melancarkan dan menunjang keberhasilan kegiatan atau program tersebut. Bentuk partisipasi sebenarnya tidak hanya dalam hal berkontribusi ataupun memberik sumbangan, namun bentuk dari partisipasi dapat berbentuk dalam buah pemikiran yang memberikan sumbangsih pemikiran. Adapula partisipasi dalam bentuk tenaga, yang memberikan tenaganya untuk berbagai program maupun kegiatan untuk tujuan tertentu, yang tentunya tujuan dalam hal yang positif, seperti pembangunan dan lain sebagainya. Kemudian partisipasi selanjutnya dalam bentuk harta benda, kemudian ada juga dalam bentuk ketrampilan, dan juga partisipasi dalam wujud sosial. Etika didalam berpartisipasi sebenarnya ada dalam di kehidupan sehari-hari (habits) dimana, dalam berpartisipasi kita mungkin dapat menerima, menolak dengan memberikan alasan, melaksanakan ataupn menaati. Wujud partisipasi seara gamblang dapat dijelaskan dalam hal konkrit, dimana di dalam sebuah masyarakat yang ikut dalam berpartisipasi tentunya akan mencapai tujuan pembangunan desa yang lebih baik dan sesuai target. Dalam pemberdayaan masyarakat, sudah disebutkan diatas, bahwa partisipasi
sangatlah
penting
untuk
mewujudkannya
keberhasilan
pemberdayaan masyarakat di suatu masyarakat. hal ini mungkin dapat dilihat
32
melalui beberapa proses pemberdayaan masyarakat yang selalu mengaunggaungkan partisipasi masyarakat didalam setiap kegiatannya. Seperti halnya dalam proses pertama yang memposisikan partisipasi masyarakat dalam menciptakan sebuah iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang. Tanpa peran partisipasi masyarakat yang baik, iklim awal untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat bukanlah sebuah hal yang mudah untuk
dilakukan.
Selanjutnya
pada
tahap
kedua,
mengenai
upaya
memaksimalisasi potensi didalam masyarakat harus juga didukung dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Lagi-lagi partisipasi masyarakat menjadi inti utama yang harus dilakukan untuk membuat masyarakat bersatu paham mengenai bagaimana memperkuat potensi daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dan yang ketiga tidak kalah menariknya, partisipasi masyarakat juga diperlukan dalam
memperkuat
kapasitas individu dan institusi didalamnya, agar masyarakat mampu melaksanakan pemberdayaan masyarakat dimulai dari manajemen internal yang sudah rapi. Keempat, pemberdayaan masyarakat membutuhkan partisipasi masyarakat didalam pengambilan keputusan. Serta yang kelima, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dimana kelima tahap tersebut, semuanya menggunakan partisipasi masyarakat sebagai perilaku inti yang harus dibangun sejak awal. Tanpa partisipasi masyarakat maka pemberdayaan masyarakat tidak dapat berhasil. Sama halnya seperti suatu bentuk pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran yang masuk dalam kategori pemberdayaan
33
masyarakat yang sukses. Bahwa didalam pemberdayaan masyarakat tersebut, sinergitas dan partisipasi masyarakat desa Nglanggeran sangatlah dipertaruhkan. Terlebih ketika awal membangun sebuah potensi yang sudah dimiliki menjadi sebuah daya tarik wisata yang memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi masyarakatnya. Kunci dari pemberdayaan masyarakat melalui kawasan wisata Nglanggeran
ini
adalah
bagaimana
masyarakat
mampu
survive
demi
kesejahteraan mereka melalui apa yang mereka miliki sekarang.
1.5.1.7 Proses Manajerial dalam Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kawasan Wisata Pengelolaan pariwisata dengan basis atau perspektif apapun tidak dapat
terlepas
dari
proses
manajerial
didalamnya.
Seperti
halnya
pembangunan dan pengembangan obyek wisata melalui basis pemberdayaan masyarakat yang juga menggunakan proses manajerial didalamnya. Pengelolaan (manajemen) merupakan sebuah tahapan didalam melakukan atau mengelola bahkan menjadi suatu hal menjadi lebih bermanfaat. Menurut Leiper ( 1990 : 256) dalam I Gde Pitara dan I ketut Surya (2009:80), pengelolaan atau manajemen merujuk pada seperangkat peranan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang, atau bisa juga merujuk kepada fungsi-fungsi yang melekat pada peran tersebut. Fungsi-fungsi manahjemen tersebut adalah sebagai berikut : (1)Planning (perencanaan), (2)Directing (Mengarahkan), (3)Organizing (termasuk coordinating), dan (4)Controling (pengawasan).
34
Sedangkan arti lain dalam manajemen dijelaskan oleh Drucker (dalam Richard and Huker, 2004 178) bahwa manajemen merupakan sebuah alat yang spesifik untuk menjalakan fungsi yang spesifik untuk menunjang kapabilitas prosuki seseorang. Hal tersebut mengartikan bahwa, disetiap tahapan manajemen atau manajerial memiliki fungsi masing-masing sehingga dapat dikelola secara baik, dimana setiap sub-tahap dapat bekerja sesuai dengan jobdesknya masing-masing. “...the spesific tool, the spesfic function, the spesfic instrumen to make institutions capable of producting results... (The critical functions to tourim manajemen are planing, coordinating, and control” (Richard and Huker, 2004 178) Melalui penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa proses manajerial didalam pengelolaan pariwisata dengan basis pemberdayaan masyarakat dapat disimpulkan sebagai berikut ini. Proses pnengelolaan pariwisata dengan pemberdayaan masyarakat tidak hanya menilai proses bagaimana masyarakat tersebut dapat mencapai kemandirian, namun dapat dilihat melalui bagaimana intervensi dari pemerintah maupun pihak swasta, bagaimana masyarakat menemukenali potensi dan juga tantangan didalam kehidupan bermasyarakatnya, dan juga bagaimana masyarakat mampu belajar dari proses tersebut sehingga dapat menciptakan sebuah pemberdayaan yang sifatnya berkelanjutan. Proses pengelolaan pariwisata dengan pemberdayaan masyarakat dapat digambarkan pada bagan berikut ini : 35
Bagan 3 Proses Pemberdayaan Masyarakat
Bagan diatas dapat dijelaskan bahwa didalam proses pemberdayaan terdapat tiga proses, dimana kesemuanya merupakan proses belajar. Proses pemberdayaan masyarakat yang pertama adalah tahap perencanaan, didalam tahap perencanaan ini poin paling penting didalam melihat proses pemberdayaan adalah seberapa besar intervensi dari pemerintah maupun swasta sebagai stakeholder di dalam masyarakat tersebut. Dalam tahapan ini juga berupa penyadaran, menumbuhkembangkan pola pikiran masyarakat bahwa masyarakat butuh suatu implikasi pembangunan yang membuat mereka belajar mengenai bagaimana memecahkan sebuah masalah, terutama masalah didalam masyarakat tersebut. Upaya ini dilirik dengan mempertimbangkan assesment atau pemetaan sosial mengenai kehidupan masyarakat dan lingkungan terlebih dahulu. Tahap persiapan juga berhubungan dengan bagaimana masyarakat memunculkan ide dan
36
gagasan yang memang secara jelas menjadi kebutuhan mereka untuk memperbaiki kondisi mereka ke arah yang lebih baik atau berdaya. Proses pemberdayaan masyarakat dalam tahap kedua ini adalah tahap pelaksanaan. Tahap ini berupa melaksanakan program atau kegiatan yang bersifat memberdayakan masyarakat. Tahapan ini melihat bagaimana mengelola sumber daya yang ada di dalam masyarakat dengan menggunakan potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Tahap ini juga mengacu bagaimana masyarakat menjalankan program atau kegiatan tersebut dan juga upaya untuk mempertahankannya agar dapat merubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik dan berkelanjutan. Proses pemberdayaan masyarakat yang ketiga adalah tahap evaluasi. Tahap ini berupa mengevaluasi segala program atau kegiatan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Evaluasi ini akan menimbang, apakah masyarakat mampu untuk diberlakukan sebagaimana pemberdayaan masyarakat
yang
seharusnya,
atau
malah
tidak
berhasil
karena
pertimbangan masyarakat belum siap menerima kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah direncanakan. Evaluasi ini juga akan melihat seberapa berhasilkah program atau kegiatan yang dilaksanakan, sehingga akan ada program atau kegiatan baru untuk memperbaiki atau malah mengembangkan program atau kegiatan yang telah lama.
37