BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam konflik berkepanjangan di berbagai daerah, baik itu akibat isu sentimen agama, etnis maupun kepentingan-kepentingan politis yang seringkali tumpang tindih satu dengan yang lain. Ada begitu banyak kesedihan dan kehancuran yang dialami oleh masyarakat daerah konflik tersebut, baik dalam hal materi maupun non materi, contohnya seperti yang terjadi pada masyarakat Ambon dimana mereka harus kehilangan tempat tinggal dan sebagian besar dari harta benda mereka. Bahkan yang lebih parah lagi, mereka harus kehilangan anggota keluarga mereka; baik itu karena hilang dalam kerusuhan ataupun tewas dalam perang. Kesemuanya itu menimbulkan dampak yang begitu besar terhadap kehidupan mereka. Mereka mengalami trauma oleh karena peristiwa-peristiwa konflik yang harus mereka alami. Dalam bukunya yang berjudul Sang Terluka yang Menyembuhkan: Stress & Trauma Healing, Karl & Evelyn Bartsch mengemukakan bahwa karena stress yang berlangsung terus menerus ataupun oleh karena stress traumatik yang muncul secara tiba–tiba, mempunyai efek yang bisa dibilang sama. Pola normal kita dalam hidup keseharian akan mengalami gangguan. Kita menjadi kehilangan arah, baik dalam hubungan kita dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Kita kehilangan kepekaan tentang apa yang tepat untuk dilakukan, serta sulit memahami apa yang menjadi tanggung jawab sosial kita. Kita menjadi sulit mempercayai orang lain, dan akibatnya menghadapi masalah dalam mempertahankan jalinan hubungan persahabatan. Bahkan sering juga kita gagal mengurus kebutuhan diri sendiri. Kita pun merasa kehilangan kendali.1
Seiring dengan begitu banyak fenomena konflik dan kerusuhan yang terjadi di daerahdaerah di Indonesia ini, ada begitu banyak lembaga / Yayasan pertolongan yang 1
Karl & Evelyn Bartsch, Sang Terluka yang Menyembuhkan: Stress & Trauma Healing, Pustaka Muria, Semarang, 2005, hal. 20.
1
didirikan, termasuk Yayasan yang berbasiskan pemulihan terhadap trauma. Yayasan ‘ElJireh’ merupakan salah satu di antaranya. Yayasan yang terletak di jalan Tegal Mlati – Sleman daerah Monumen Jogja Kembali – Yogyakarta ini didirikan sekitar 5 tahun yang lalu dengan tujuan untuk menolong anak-anak korban kerusuhan Ambon dan hingga saat ini mereka menampung sekitar 30 anak korban kerusuhan Ambon. Mereka berdiri sebagai Yayasan ‘trauma’, dalam arti fokus kerja mereka dalam lembaga ini adalah lebih pada proses pemulihan terhadap trauma yang dialami oleh anak-anak Ambon. Ketika penyusun berkunjung ke Yayasan tersebut, ibu Agnes sebagai pembina dari Yayasan ini mengatakan bahwa mereka tidak ingin hadir seperti Yayasan-Yayasan yang sudah ada selama ini yang menurut dia kebanyakan berorientasi lebih pada pemberdayaan orangorang miskin Ambon saja dan memberikan pertolongan karitatif semata. Di sini mereka mencoba hadir sebagai seorang pendamping untuk membantu anak-anak Ambon tersebut agar mereka bisa mengatasi trauma mereka, dan pada akhirnya mereka juga memiliki harapan agar anak-anak tersebut kelak bisa memiliki kepribadian serta mental yang mantap dan bisa kembali hidup normal di tengah masyarakatnya.
Ketika penyusun bertanya mengenai kendala dan pergumulan yang dihadapi oleh para pembina terkait dengan proses pemulihan anak-anak di situ, ibu Agnes mengatakan bahwa salah satu hal terberat yang dihadapi oleh mereka adalah untuk menanamkan nilainilai pengampunan. Selama ini anak-anak tersebut masih menyimpan kenangan pahit terhadap orang-orang yang pada saat kerusuhan lalu menindas dan menyerang keluarga mereka. Terbersit rasa dendam yang cukup mendalam di hati mereka. Bahkan ada beberapa anak yang jika ditanya soal cita-citanya di masa mendatang, mereka menjawab ingin masuk ke militer dan hendak kembali ke daerahnya masing-masing untuk membalas perbuatan orang-orang yang pernah menyakiti mereka dan keluarga mereka dulu.2
Dari percakapan tersebut penyusun merasakan bahwa salah satu dampak dari trauma akibat konflik sosial adalah susahnya seorang korban untuk mengampuni para pelaku. 2
Dari sumber Ibu Agnes, kepala pembina Yayasan ‘El-Jireh’, Yogyakarta. Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Februari 2006, pukul 19.00 di Yayasan ‘El-Jireh’, Yogyakarta.
2
Dalam kondisi seperti itu, ego sang korban akan berusaha meyakinkan dirinya bahwa satu-satunya jalan melindungi diri dari penderitaan yang lebih menyakitkan adalah dengan menghukum orang lain lewat amarah, kebencian, dan menjauhi mereka (si pelaku) sehingga mereka merasakan akibat buruk perbuatan mereka.3 Konsekuensinya jikalau sang korban tidak bisa mengampuni dan malah mencoba untuk melupakan kenangan buruk pada masa lalunya, maka bisa jadi akan ada luka batin terus-menerus yang mengganggu kejiwaan sang korban. Gangguan Stres Selepas Trauma (GSST) berakar pada penyangkalan.4 Di samping itu, salah satu langkah dalam rangka mencapai rekonsiliasi / pendamaian untuk memulihkan hubungan antar manusia setelah mereka sempat saling bertolak belakang dan berjauhan memerlukan pengampunan dari segi sang korban, bukannya melupakan begitu saja.5 Karena jikalau tidak ada pengampunan kebencian itu bisa diteruskan kepada anak-anaknya. Ini dapat menimbulkan lingkaran pembalasan dan kekerasan antar kelompok yang terus berlanjut sampai beberapa generasi. Hanya pengampunan yang dapat membuat lingkaran itu terputus.6 Di samping itu, walaupun mengampuni adalah hal yang seringkali sulit dilakukan, pengampunan adalah suatu hal yang sangat penting dalam relasi dengan sesama dan bahkan pengampunan adalah pondasi terpenting dalam menjalin suatu hubungan. Mengapa? Karena dalam kehidupan relasi kita dengan sesama, pasti ada kalanya hati kita merasa disakiti oleh rekan kita, mungkin itu oleh orangtua kita, teman / sahabat kita, saudara kita, pasangan kita, anak-anak kita, termasuk bisa terjadi pada hubungan kita dengan Allah.
Jika kita berbicara soal pengampunan, maka hal tersebut bisa dibilang merupakan salah satu ciri khas kekristenan, dimana kita sudah diampuni terlebih dahulu oleh Allah melalui pengorbanan diri Yesus. Martin Luther pun menemukan bahwa keajaiban terbesar dalam kekristenan adalah pengampunan Allah.7 Dalam prosesnya pengampunan tidak bisa
3
Gerald G. Jampolsky, Rela Memaafkan: Obat Paling Ampuh, Erlangga, Jakarta, 2001, hal. 24. Karl & Evelyn Bartsch, Sang Terluka yang Menyembuhkan: Stress & Trauma Healing, Pustaka Muria, Semarang, 2005, hal. 135. 5 Ibid, hal. 136. 6 Margareth & Harriet Hill, Richard Bagge, & Pat Miersma, Menyembuhkan Luka Batin Akibat Trauma, Kartidaya & Gloria Graffa, Yogyakarta, 2006, hal. 131. 7 James R. Bjorge, Living in the Forgiveness of God, Augsburg, Minneapolis, 1990, hal. 10. 4
3
datang begitu saja hanya dengan berdoa dan membaca Alkitab, tetapi memerlukan sebuah proses dan komitmen yang bisa jadi memakan waktu yang cukup lama bagi sang korban.
Berangkat dari pentingnya sebuah pengampunan dalam proses pemulihan sang korban, penyusun merasa tertarik untuk melihat secara lebih mendalam mengenai metode apa saja yang digunakan dalam Yayasan ‘El-Jireh’ untuk menolong anak-anak korban kerusuhan Ambon ini – khususnya ketika mereka mencoba menanamkan dan mempraktekkan nilainilai pengampunan. Dari hasil yang didapat, penyusun akan mencoba merefleksikan tema pengampunan tersebut dalam upaya untuk mengintegrasikan dasar-dasar Alkitab yang bisa dijadikan acuan teologis bagi para penolong korban konflik Ambon.
Acuan teologis dalam proses pengampunan adalah hal yang sangat penting ketika kita hendak mengajarkan dan mempraktekkan pengampunan. Mengapa? Karena Kristus-lah yang memampukan kita untuk mengampuni. Pengampunan berawal dari rahmat Allah. Kekuatan manusia biasa tidak akan mampu untuk mengampuni seseorang yang telah menghancurkan hidup kita. Hannah Arendt mengatakan bahwa pengampunan adalah sesuatu hal yang tidak logis.8 Mengampuni orang yang telah bersalah kepada kita terasa terlalu mudah bagi sang pelaku. Apalagi jika kita mengalami peristiwa traumatis yang begitu mendalam, dengan rasa sakit yang begitu membekas dan luka yang mungkin sudah begitu parah sehingga pengampunan sudah berada di luar kemampuan kita. Apa yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen jika kita ingin mengampuni, juga kalau itu demi kepentingan kita sendiri, tetapi kita tidak mampu? Kita memerlukan bantuan Tuhan untuk bisa mengampuni. Tuhan harus berperan dalam hati kita supaya kita dimampukan untuk memulai proses pengampunan. Meninger9 memberikan contoh konkret soal peranan Tuhan dalam pengampunan yaitu melalui ‘doa’. Meninger mengatakan bahwa peranan Tuhan dalam proses pengampunan amatlah penting. Doa adalah jalan untuk menyadari hal ini. Doa adalah menghadapkan diri kepada Allah yang memberikan kekuatan, kalau apa yang harus kita lakukan tampaknya terlalu sulit atau bahkan tidak mungkin. Doa
8 9
Dr. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Kompas, Jakarta, 2003, hal. 89. William A. Meninger, Menjadi Pribadi Utuh, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal. 21.
4
adalah langkah pertama yang besar, yang kaya dengan harapan, iman dan akhirnya sebagaimana akan kita alami, dengan kasih. Di dalam kasih-lah ditemukan pengampunan.
2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan terlihat bahwa anak-anak di Yayasan El-Jireh ternyata masih sulit untuk mengampuni para pelaku kerusuhan. Dari permasalahan tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana
proses
para
pembina
untuk
mendidik
anak-anak
Ambon
mengampuni? 2. Apa hambatan-hambatan yang dialami oleh para pembina El-Jireh? 3. Apakah proses pengampunan yang digunakan oleh pembina El-Jireh sudah memadai?
3. HIPOTESIS
1. Anak-anak El-Jireh masih sulit mengampuni para pelaku kerusuhan karena dalam prosesnya para pembina mengalami hambatan dalam diri anak-anak tersebut. 2. Proses pengampunan yang digunakan oleh pembina El-Jireh belum cukup memadai untuk mencapai sebuah pengampunan yang sempurna.
4. PEMILIHAN JUDUL
Berdasarkan uraian di atas, penyusun mengajukan judul :
5
PENGAMPUNAN DALAM PROSES PEMULIHAN TRAUMA (Sebuah telaah etis – teologis tentang proses pengampunan anak-anak korban kerusuhan Ambon di Yayasan El-Jireh, Yogyakarta)
Penjelasan Judul: Yang dimaksud dengan ‘anak-anak korban kerusuhan Ambon’ dalam judul di atas adalah anak-anak yang terkena dampak dari kerusuhan yang terjadi di kota Ambon pada tahun 1999-2000, yang dalam hal ini adalah anak-anak yang menjadi anak asuh di Yayasan ElJireh. Penjelasan ini penting mengingat bahwa anak-anak Yayasan El-Jireh ini bukan berasal dari kota Ambon-nya, tetapi berasal dari sebuah desa di Halmahera yang juga terkena imbas dari kerusuhan Ambon.
5. BATASAN MASALAH
Agar masalah yang diteliti tidak terlalu luas dan mendapatkan hasil yang lebih baik dan spesifik maka penyusun menentukan batasan pembahasan hanya pada proses pengampunan. Penyusun memilih batasan tersebut karena pengampunan merupakan bagian penting dari proses pemulihan dan menjadi sebuah langkah awal bagi seseorang untuk dapat menyusun lagi jati dirinya kembali.10 Tanpa pengampunan, sang korban tidak akan dapat melakukan re-integrasi dengan komunitas sekitarnya dan melalui pengampunanlah sang korban dapat menemukan makna, tujuan hidup dan iman di dalam dan lewat peristiwa-peristiwa traumatik yang mereka alami.11 Meninger juga memahami bahwa tujuan dari seluruh proses pengampunan adalah menjadi pribadi yang utuh, proses menuju keutuhan yang melibatkan Allah dan manusia.12
10
Glenn Veenstra, Psychological Concepts of Forgiveness, Journal of Psychology & Character, vol.11, 1992, hal. 160. 11 Karl & Evelyn Bartsch, Sang Terluka yang Menyembuhkan: Stress & Trauma Healing, Pustaka Muria, Semarang, 2005, hal. 7. 12 William A. Meninger, Menjadi Pribadi Utuh, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal. 5.
6
Penyusun juga memilih Yayasan El-Jireh sebagai tempat penelitian karena Yayasan tersebut berbasiskan agama Kristen dan juga didukung oleh lembaga misi dari Brazil. Dengan adanya label Kristen dan dukungan dari lembaga misi, paling tidak Yayasan ElJireh memiliki sebuah proses pengampunan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan, baik secara teologis maupun psikologis. Selain itu penyusun hanya memilih objek penelitian yaitu pembina Yayasan El-Jireh karena dalam penelitian ini penyusun tidak diperbolehkan untuk melakukan kontak langsung dengan anak-anak, dalam arti mencari informasi tentang keadaan mereka. Hal tersebut dengan sengaja diberlakukan oleh Yayasan agar tidak ada intervensi dari pihak luar dalam proses pemulihan. Oleh karena hambatan akses tersebut penyusun membatasi diri hanya pada apa saja yang selama ini dilakukan oleh para pembina Yayasan El-Jireh untuk menanamkan & mempraktekkan nilai-nilai pengampunan kepada anak-anak korban kerusuhan Ambon yang ada di situ. Sumber dari data tersebut penyusun peroleh dari ibu Agnes yang berposisi sebagai kepala pembina Yayasan El-Jireh. Penyusun menyadari bahwa dengan pendekatan sekunder semacam ini – dalam arti tidak melakukan kontak langsung dengan anak-anak Yayasan El-Jireh – akan memiliki keterbatasan dalam analisanya, seperti halnya tidak dimungkinkannya klarifikasi data di lapangan dan data yang bisa jadi bersifat subyektif (menurut ibu Agnes). Dengan keterbatasan tersebut penyusun akan tetap untuk mencoba mendialogkan proses pengampunan Yayasan El-Jireh (sumber dari ibu Agnes) dengan proses pengampunan Robert D. Enright, sehingga pada proses dialognya akan menghasilkan suatu proses pengampunan yang lebih holistik bagi anakanak Yayasan El-Jireh.
6. TUJUAN PENYUSUNAN
Penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami dan mengkritisi proses pengampunan dalam rangka menolong anak-anak korban kerusuhan Ambon mengampuni para pelaku dan (2) berefleksi teologis atas studi proses pengampunan, dengan harapan dapat memberikan suatu acuan teologis khususnya dalam hal pengampunan yang bisa dipakai oleh para
7
penolong korban trauma dalam menolong anak-anak korban kerusuhan Ambon di Yayasan El-Jireh.
7. METODE PENYUSUNAN
Metode penyusunan yang dilakukan adalah deskriptif analisis. Pertama-tama penyusun akan mendeskripsikan/memaparkan data yang diperlukan secara menyeluruh dan mendalam mengenai proses pengampunan yang telah diterapkan selama ini oleh para pembina Yayasan El-Jireh dalam usaha untuk menanamkan dan mempraktekkan nilainilai pengampunan kepada sang korban.
Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan, penyusun akan mencoba untuk menganalisis data tersebut dengan menggunakan prinsip-prinsip pengampunan dari Robert D. Enright. Di samping itu dalam analisis, penyusun juga akan melihat bagian-bagian mana dari proses pengampunan dari ‘El-Jireh’ yang dapat diintegrasikan ke dalam prinsip pengampunan Enright. Sehingga pada akhir analisa dapat diperoleh sebuah dialog yang saling melengkapi antara proses dari Enright dan proses dari ‘El-Jireh’. Alasan mengapa penyusun memilih teori pengampunan Enright sebagai alat analisa karena Enright tidak saja memahami pengampunan sebagai sebuah proses untuk mengelola amarah dan memperbaharui harapan, tetapi ada beberapa hal yang berhasil Enright sajikan untuk mempermudah seseorang menjalani proses pengampunan. Dalam bukunya, Enright menyajikan proses pengampunannya lebih sebagai guide bagi seseorang dalam perjalanan mengampuni. Bukunya bukanlah semata diperuntukkan sebagai sebuah pegangan bagi para perawat ataupun psikolog, tetapi juga bisa digunakan langsung oleh korban / orang yang terluka. Penjelasan yang digunakan Enright bukan hanya sekedar wacana akan perlunya mengampuni, tetapi juga dilengkapi dengan penjelasan secara rinci untuk meyakinkan korban / orang yang terluka untuk mengampuni. Yang lebih menarik, dalam tahap pengampunannya Enright memberikan pertanyaan-pertanyaan pembimbing sebagai bahan refleksi bagi pembaca. Bagi penyusun pertanyaan-pertanyaan reflektif yang digunakan oleh Enright merupakan suatu metode penting untuk mengajak korban untuk
8
lebih memaknai dan menyadari setiap tahapan yang ia jalani. Dalam akhir setiap tahapan, Enright juga mengajak korban untuk membuat jurnal pribadi untuk menuliskan refleksi ataupun apa yang ia rasakan selama menjalani tahap-tahap pengampunan. Jurnal tersebut diperlukan agar korban dapat memantau sendiri perjalanan pemulihannya dari setiap tahapan yang ia jalani.
Langkah selanjutnya adalah mencoba merefleksikan hasil studi pada bab II dan III dengan pandangan Alkitab dalam sebuah tema pengampunan. Untuk menambah unsur teologis dalam proses pengampunan yang dihasilkan pada bab III, maka dalam refleksi ini penyusun ingin membahas mengenai bagaimana pengampunan dilihat dari perspektif Kristus. Dalam refleksi penyusun akan mencoba untuk menemukan beberapa prinsip dan makna dari sebuah pengampunan. Penyusun akan membahasnya dengan berangkat dari pemahaman akan keberadaan manusia yang seutuhnya di dunia ini, dimana dalam kehidupan keseharian sebetulnya beresiko untuk terluka dan menjadi manusia yang tidak lagi utuh.
Dalam pengumpulan data, penyusun akan melakukan wawancara dengan pembina yang bertugas menangani anak-anak Ambon di Yayasan El-Jireh serta melakukan pengamatan pada proses pengampunan yang mereka terapkan. Selain wawancara, penyusun juga akan melakukan studi literatur melalui tulisan-tulisan, baik itu buku, jurnal, internet, majalah ataupun artikel-artikel yang terkait dengan pokok bahasan.
8. SISTEMATIKA PENYUSUNAN
BAB. I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, judul, batasan masalah, tujuan penyusunan, metode penyusunan dan sistematika penyusunan.
9
BAB. II PROSES PENGAMPUNAN DI YAYASAN EL-JIREH
Bab ini berisi gambaran mengenai latar belakang Yayasan El-Jireh, tujuan, latar belakang anak-anak asuh Yayasan El-Jireh, faktor penghambat pengampunan, dampak kepada korban dan proses pengampunan yang selama ini dilakukan oleh para pendamping di Yayasan El-Jireh untuk menanamkan dan mempraktekkan nilai-nilai pengampunan kepada anak-anak korban kerusuhan Ambon di Yayasan tersebut.
BAB. III ANALISA
Bab ini berisi analisa atas bab II dengan menganalisis data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengampunan Robert D. Enright. Dalam proses dari analisis ini akan dikombinasikan mengenai apa yang masih perlu dilakukan oleh para pembina di El-Jireh agar anak-anak di situ dapat mengampuni para pelaku kerusuhan dan bagian mana yang mungkin perlu diperlengkapi dari proses Enright untuk menghasilkan sebuah proses pengampunan yang holistik.
BAB. IV REFLEKSI TEOLOGIS
Berangkat dari hasil studi yang terdapat pada bab II dan III maka pada bab ini penyusun mencoba membuat refleksi teologis dari perspektif teologi Kristen. Dalam refleksi ini penyusun akan membahas mengenai bagaimana pengampunan dilihat dari perspektif Kristus dan penyusun akan mencoba untuk menemukan beberapa prinsip dan makna dari sebuah pengampunan. Penyusun akan membahasnya dengan berangkat dari pemahaman akan keberadaan manusia yang seutuhnya di dunia ini, dimana dalam kehidupan keseharian sebetulnya beresiko untuk terluka dan menjadi manusia yang tidak lagi utuh.
10
BAB. V KESIMPULAN & SARAN
Bab ini akan mencoba menarik kesimpulan dari seluruh pembahasan skripsi ini sehingga diharapkan dalam bab ini akan diketahui secara jelas permasalahan dan refleksi dari proses pengampunan. Setelah itu penyusun juga akan memberikan saran-saran terhadap proses tersebut dari hasil refleksi teologis pada bab IV.
11