BAB I KONDISI EKONOMI MAKRO TAHUN 2005 Kondisi ekonomi makro tahun 2005 dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sejak memasuki paruh kedua tahun 2004, stabilitas moneter di dalam negeri mengalami tekanan eksternal berupa kenaikan suku bunga internasional dan meningkatnya harga minyak dunia. Kedua, dalam tekanan eksternal yang berat tersebut, perekonomian dalam keseluruhan tahun 2005 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya dengan laju pertumbuhan triwulanan yang melambat. Ketiga, upaya untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dan sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi perlu mendapat perhatian lebih besar dan sungguh-sungguh. A. PEREKONOMIAN DUNIA Pertumbuhan perekonomian dunia pada tahun 2005 diperkirakan sebesar 4,3 persen; lebih lambat dari tahun 2004 (5,1 persen). Perlambatan ekonomi dunia tersebut terjadi pada semua kelompok negara. Perekonomian negara-negara industri maju diperkirakan tumbuh 2,5 persen, lebih rendah dari tahun 2004 (3,3 persen) dengan perekonomian AS dan Jepang yang diperkirakan tumbuh masing-masing 3,5 persen dan 2,0 persen, lebih rendah dari tahun 2004 (4,2 persen dan 2,7 persen). Dari sisi produksi, perlambatan pertumbuhan tersebut berasal dari sektor industri dan perdagangan; sedangkan sektor jasa-jasa lainnya diperkirakan mengalami peningkatan. Perlambatan ekonomi dunia pada tahun 2005 juga disebabkan oleh tingginya harga minyak dunia yang pada gilirannya menurunkan kepercayaan usaha di berbagai negara. Dalam sembilan bulan pertama tahun 2005, harga minyak dunia meningkat antara lain didorong oleh tingginya permintaan minyak dunia terutama di AS, China, dan India; kerusakan kilang minyak di kawasan AS akibat badai Katrina, Rita, dan Wilma, serta unsur spekulasi yang menyertainya. Perkembangan harga minyak dunia sampai bulan September 2005 dapat dilihat pada Grafik I.1. Grafik I.1.
HARGA MINYAK MENTAH DUNIA
US$/barel
60 50 40 30 20 10 0
Jan '98
Jan '99
Jan' 00
Jan' 01
Dubai
Jan' 02
Jan'03
Brent
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Jan'04
Jan'05
WTI
I−1
Perekonomian dunia yang melambat pada tahun 2005 tetap mendorong permintaan komoditi ekspor. Dalam tahun 2005, volume perdagangan dunia diperkirakan masih meningkat sebesar 7,0 persen; lebih lambat dari tahun 2004 (10,3 persen). Dengan meningkatnya permintaan dunia tersebut, harga ekspor komoditi non-migas diperkirakan meningkat 8,6 persen; lebih rendah dibandingkan tahun 2004 (18,5 persen). Harga ekspor karet dan kopi robusta dalam tahun 2005 meningkat berturut-turut sebesar 10,5 persen dan 46,5 persen. Kenaikan juga terjadi pada komoditi beras. Harga beras di pasar internasional, seperti beras Bangkok, dalam periode yang sama meningkat sebesar 21,2 persen. Sementara harga ekspor minyak sawit menurun sebesar 12,1 persen. Perkembangan harga ekspor karet, kopi, dan minyak sawit sejak tahun 1999 – Desember 2005 dapat dilihat pada Grafik I.2. Grafik I.2. 140
700
120
600
100
500
80
400
60
300
40
200
20 Jan '99 Jan' 00 Jan' 01 Jan' 02 Jan'03
Minyak Sawit
Jan'04
Kopi Robusta
Jan'05
100
Minyak Sawit (US$ cent/lb)
Karet, Kopi (US$ cent/lb)
HARGA EKSPOR KARET, MINYAK SAWIT, KOPI
Karet
Dalam tahun 2005, perekonomian dunia juga dibayangi oleh resiko melebarnya kesenjangan global. Pertumbuhan ekonomi AS yang didorong oleh kebijakan moneter dan fiskal yang longgar selama beberapa tahun terakhir telah meningkatkan defisit anggaran dan defisit neraca transaksi berjalan AS. Sejak tahun 2001, defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan AS meningkat masing-masing dari 1,5 persen dan 3,8 persen PDB pada tahun 2001 menjadi 3,9 persen dan 5,7 persen PDB pada tahun 2004. Dalam tahun 2005, defisit transaksi berjalan AS diperkirakan mencapai sekitar 6 persen PDB. Meningkatnya defisit transaksi berjalan AS yang tinggi menimbulkan kekuatiran terhadap meningkatnya resiko ketidakstabilan moneter internasional dan sistem keuangan global yang pada gilirannya dapat memberi dampak negatif terhadap perekonomian dunia. Fenomena kesenjangan global dapat dilihat pada Boks I.1. BOKS I.1. KESENJANGAN GLOBAL Kesenjangan global yang merupakan fenomena ekonomi dunia dalam beberapa tahun terakhir ini bersumber dari meningkatnya ketidakseimbangan perdagangan antara AS yang terus mengalami defisit neraca transaksi berjalan dengan negara-negara Asia dan pengekspor minyak yang mengalami surplus. Defisit neraca perdagangan AS yang terus Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−2
meningkat tersebut dibiayai oleh arus modal ke AS. Besarnya defisit transaksi berjalan AS yang pada tahun 2005 diperkirakan sekitar USD 700 – 800 miliar tersebut telah menimbulkan kekuatiran terhadap kemungkinan terjadinya ketidakstabilan moneter dan keuangan internasional. BESARNYA KESENJANGAN GLOBAL. Selama 5 tahun terakhir ini, defisit neraca transaksi berjalan AS meningkat sangat tinggi. Dalam tahun 2004 defisit neraca transaksi berjalan AS mencapai 5,7 persen PDB dan pada tahun 2005 diperkirakan meningkat menjadi lebih dari 6 persen PDB. Pada tahun 2001, neraca transaksi berjalan AS masih berimbang. Defisit transaksi berjalan dan anggaran AS dapat dilihat pada Grafik I.3.
Grafik I.3. DEFISIT TRANS. BERJALAN & ANGGARAN AS % terhadap PDB
4 2 0 -2 -4 -6
1990
1992
1994
1996
Trans. Berjln.
1998
2000
2002
2004
Anggaran
Sementara itu, negara-negara mitra dagang AS antara lain Jepang, China, dan negaranegara emerging Asia lainnya terus mencatat surplus neraca transaksi berjalan sejak krisis Asia tahun 1997-98 dan diperkirakan mencapai USD 400 miliar pada tahun 2005. Dengan meningkatnya harga minyak dunia, negara-negara pengekspor minyak juga diperkirakan mengalami surplus neraca transaksi berjalan sebesar USD 350 miliar. Dalam pada itu, kondisi neraca transaksi berjalan negara-negara Eropah relatif konstan dengan sedikit surplus. Pembiayaan defisit neraca transaksi berjalan AS sebagian besar berasal dari fixed income dalam bentuk portfolio bond dan surat berharga yang berasal dari akumulasi cadangan devisa bank sentral luar negeri. PENYEBAB MENINGKATNYA DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN AS. Beberapa faktor utama yang meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan AS adalah sebagai berikut. Pertama, menurunnya tabungan masyarakat. Tabungan masyarakat (neto) menurun sangat tajam yaitu dari 8 persen pada tahun 1980an menjadi kurang dari 2 persen pada tahun 2005. Ketidakseimbangan antara tabungan dan investasi masyarakat ini diperkirakan ikut mendorong meningkatnya defisit neraca transaksi berjalan AS dan menjadikan AS sebagai negara pengutang terbesar di dunia dengan kewajiban sekitar 20 – 25 persen PDB AS. Kedua, kebijakan fiskal AS yang ekspansif sejak tahun 2001. Dalam tahun 2004, defisit anggaran AS mencapai sekitar 4 persen PDB. Dengan tingkat tabungan – investasi masyarakat negatif sekitar 1 persen, defisit anggaran AS merupakan penyumbang terbesar dari defisit transaksi berjalan. Menurunnya tabungan masyarakat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, ekspektasi positif terhadap perekonomian AS dalam jangka panjang yang kemudian meningkatkan ekspektasi terhadap pendapatan masyarakat, mendorong konsumsi masyarakat, dan Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−3
pada gilirannya menurunkan tabungan masyarakat. Sementara itu produktivitas di AS yang tinggi dan menggambarkan return terhadap investasi yang tinggi tetap memberi daya tarik yang kuat bagi masuknya modal ke AS dan memungkinkan AS untuk membiayai neraca transaksi berjalannya. Kedua, kebijakan moneter yang longgar yang mengakibatkan rendahnya suku bunga riil selama beberapa tahun sebelumnya. Ketiga, penggelembungan harga-harga aset (asset price bubbles) yang memberi wealth effects dan pada gilirannya meningkatkan konsumsi dan menurunkan tingkat tabungan masyarakat. RESIKO BERLANJUTNYA KESENJANGAN GLOBAL. Secara ringkas defisit neraca transaksi berjalan yang terus meningkat diperkirakan tidak akan berkelanjutan. Salah satu kekuatiran yang kemungkinan timbul adalah terjadinya reaksi yang berlebihan terutama dalam bentuk pembalikan modal (capital reversal) ke luar dari AS. Apabila kondisi ini terjadi diperkirakan terjadi gejolak yang luar biasa dalam stabilitas moneter, keuangan, dan perdagangan dunia. Nilai tukar dolar AS terhadap mata uang kuat dunia lainnya dapat merosot drastis yang memberi dampak negatif besar terhadap perekonomian AS pada khususnya serta perekonomian dunia pada umumnya. LANGKAH POKOK MENGURANGI MELEBARNYA KESENJANGAN GLOBAL. Mengingat resikonya yang besar terhadap stabilitas ekonomi dunia, beberapa langkah pokok ditempuh untuk mengurangi melebarnya kesenjangan global meliputi tiga kebijakan pokok. Pertama, mempercepat konsolidasi fiskal di Amerika Serikat. Salah satu prioritas utama kebijakan fiskal dalam negeri AS dalam jangka menengah adalah mengurangi defisit anggaran dan diharapkan dapat mencapai anggaran berimbang pada tahun 2010. Dalam kaitan itu, rencana anggaran AS tahun 2006 disempurnakan pada sisi pengeluaran dan penerimaan. Sisi pengeluaran diperketat, dan sisi penerimaan ditingkatkan termasuk dengan mengurangi pengecualian pajak (tax exemption), meningkatkan pajak energi, mengenakan tambahan pajak pertambahan nilai (value added tax) atau pajak penjualan. Dengan kebijakan tersebut diperkirakan defisit neraca transaksi berjalan akan menurun sebesar 2 persen dalam jangka waktu 10 tahun dan kewajiban luar negeri AS akan menurun lebih dari 10 persen dalam periode yang sama. Kedua, meningkatkan fleksibilitas nilai tukar di negara-negara Asia. Dengan kebijakan ini diharapkan impor negara-negara kawasan Asia dari AS meningkat yang pada gilirannya akan mengurangi kewajiban luar negeri AS. Kebijakan ini perlu disertai dengan upaya untuk meningkatkan permintaan domestik di negara-negara Asia yang berbeda satu sama lain. Di negara-negara yang tingkat investasinya rendah, kebijakan ditekankan pada upaya untuk mendukung peningkatan investasi termasuk reformasi sektor keuangan, mengurangi berbagai hambatan yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, serta memperbaiki iklim ketenagakerjaan. Ketiga, melakukan perubahan struktural di negara-negara Eropa dan Jepang. Reformasi struktural diarahkan untuk memperbaiki daya saing, meningkatkan akumulasi modal dan mengurangi distorsi di pasar tenaga kerja yang secara keseluruhan akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa dan Jepang. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini akan memperbaiki sektor eksternal, meningkatkan nilai tukar mata uang, serta memberi spillover effects pada pertumbuhan ekonomi dunia. Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−4
Dalam kaitan itu, sejak pertengahan tahun 2004, kebijakan moneter AS memberi tekanan pada stabilitas moneter. Secara bertahap suku bunga Fed Funds dinaikkan 13 kali hingga menjadi 4,25 persen pada pertengahan bulan Desember 2005. Perubahan kebijakan ini memberi pengaruh pada perubahan nilai tukar mata uang dunia dan akan menaikkan suku bunga internasional. Upaya untuk mengurangi kesenjangan global juga dilakukan oleh Pemerintah China dengan melakukan revaluasi nilai tukar Yuan terhadap dolar AS. Perkembangan suku bunga Fed Funds sejak pertengahan tahun 1990 – Desember 2005 dapat dilihat pada Grafik I.4. Grafik I.4.
SUKU BUNGA FED FUNDS 8 7 6
(%)
5 4 3 2 1 0
13-Jul-90
13-Sep-91 15-Nov-94
24-Agt-99
27-Jun-01
21-Sep-04
Dalam kecenderungan suku bunga internasional yang meningkat, kinerja bursa-bursa saham di dunia tetap terjaga. Pada akhir Desember 2005, Indeks Nikkei di Jepang, Indeks Strait Times di Singapura, dan Indeks Hang Seng di Hongkong meningkat masingmasing sebesar 40,2 persen, 13,6 persen, dan 4,5 persen dibandingkan akhir tahun 2004. Sementara itu Indeks Dow Jones di New York menurun 0,6 persen dalam periode yang sama. Perkembangan indeks saham sejak awal tahun 2000 pada beberapa bursa terkemuka di dunia dapat dilihat pada Grafik I.5. Grafik I.5. 12000
20500
11000
18250
10000
16000
9000
13750
8000
11500
7000
9250
6000 Jan' 00
Jan' 01
Jan' 02
New York
Jan'03
Jan'04
Tokyo
Jan'05
Tokyo, Hongkong
New York
INDEKS SAHAM BURSA INTERNASIONAL
7000
Hongkong
B. MONETER, PERBANKAN, DAN PASAR MODAL Meningkatnya harga minyak dunia dan kenaikan suku bunga internasional memberi tekanan pada stabilitas moneter di dalam negeri. Harga minyak dunia yang terus meningkat sejak paruh kedua tahun 2004 menuntut disesuaikannya harga BBM Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−5
dalam negeri. Pada awal Maret 2005 harga BBM di dalam negeri dinaikkan rata-rata sebesar 29 persen. Kenaikan harga BBM ini memberi dorongan terhadap inflasi bulan Maret 2005. Selanjutnya dalam triwulan II dan III/2005, stabilitas moneter di dalam negeri tertekan dengan ekspektasi kenaikan lebih lanjut suku bunga Fed Funds dan meningkatnya kebutuhan devisa untuk impor BBM. Pada bulan Agustus 2005 suku bunga Fed Funds dinaikkan 25 bps menjadi 3,5 persen serta pada bulan September, November, dan Desember 2005 dinaikkan lagi masing-masing sebesar 25 bps sehingga menjadi 4,25 persen pada pertengahan Desember 2005. Tekanan eksternal yang berat, respon kebijakan suku bunga di dalam negeri yang relatif lambat serta kekuatiran terhadap ketahanan fiskal dengan meningkatnya beban subsidi BBM selanjutnya melemahkan nilai tukar rupiah. Pada akhir Juni 2005 rupiah mencapai Rp 9.713,- per dolar AS atau melemah 2,3 persen dibandingkan akhir bulan sebelumnya. Pelemahan rupiah terus berlangsung, hingga menjelang akhir Agustus 2005, nilai tukar rupiah melewati Rp 10.000,- per USD. Hubungan antara suku bunga riil dengan nilai tukar rupiah diberikan pada Boks I.2. BOKS I.2. KURS DAN SUKU BUNGA RIIL Melemahnya kurs rupiah sudah terjadi sejak akhir Mei 2004 saat pertama kali dinaikkannya suku bunga Fed Funds sebesar 25 bps dari 1 persen. Kurs rupiah pada akhir Mei 2004 mencapai Rp 9.210 per USD atau melemah 6,3 persen dibandingkan akhir bulan sebelumnya. Dalam bulan Juni 2004, rupiah melemah lagi mencapai Rp 9.400 per USD. Kebijakan moneter yang dikeluarkan bulan Juli 2004 untuk menyerap kelebihan likuiditas dengan meningkatkan Giro Wajib Minimum (GWM) mampu menahan pelemahan rupiah pada tahun 2004. Selanjutnya suku bunga Fed Funds terus meningkat secara bertahap hingga mencapai 3,5 persen pada akhir bulan Agustus 2005. Kenaikan suku bunga Fed Funds tidak hanya berpengaruh pada rupiah, tetapi juga pada mata uang lainnya yang menganut nilai tukar mengambang seperti Yen Jepang dan Bath Thailand. Dibandingkan mata uang lainnya, rupiah mengalami penurunan yang lebih besar. Dibandingkan akhir April 2004 (saat sebelum terbentuknya ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Funds), kurs Bath pada akhir Juni 2005 hanya melemah sebesar 3,1 persen dan Yen sebesar 0,8 persen; sedangkan rupiah melemah sebesar 12,1 persen. Selanjutnya pada akhir Juli 2005, Bath dan Yen menguat; sedangkan rupiah masih melemah. Kepercayaan terhadap rupiah terkait dengan besarnya suku bunga riil yaitu suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi. Sejak bulan April 2004, suku bunga riil, yang dicerminkan oleh suku bunga deposito 1 bulan, bernilai negatif kecuali pada empat bulan terakhir tahun 2004. Pergerakan suku bunga riil dan kurs rupiah diberikan pada Grafik I.6. Menanggapi perubahan kebijakan moneter AS yang sebelumnya longgar ke arah yang ketat, respon suku bunga di dalam negeri lamban. Suku bunga SBI 1 bulan hanya Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−6
meningkat dari 7,33 persen pada bulan April 2004 menjadi 8,25 persen pada bulan Juni 2005 (kenaikan 0,9 persen) dengan kenaikan yang baru dilakukan pada bulan April 2005. Sementara itu suku bunga Thailand (proksi suku bunga deposito 3 bulan) sudah meningkat sebesar 1,7 persen dengan kenaikan yang bertahap searah dengan kenaikan suku bunga internasional. Respon suku bunga SBI dan suku bunga deposito Bath Thailand dapat dilihat pada Grafik I.7. Grafik I.6. 7000
15
8000
11
9000
7
10000
3
11000
-1
12000 Jan' 00
Jan' 01
Jan' 02
Jan'03
Kurs (Rp/US$)
Jan'04
Jan'05
-5
Suku Bunga Riil Deposito (%)
Kurs (Rp/US$)
SUKU BUNGA RIIL DAN KURS RUPIAH
Suku Bunga Riil Deposito
5,5 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
Mar
Mei
Jul
Sep
Deposito Bath 3 Bulan
Nov Jan'05 Mar
Mei
Suku Bunga SBI 3 Bulan
Jul
Sep
12,5 12 11,5 11 10,5 10 9,5 9 8,5 8 7,5 7
Suku Bunga SBI 3 Bulan [%]
Deposito Bath Thailand 3 Bulan [%]
Grafik I.7.
RESPON SUKU BUNGA
Fed Funds
Kenaikan suku bunga yang lambat dalam ekspektasi inflasi yang tinggi setelah kenaikan harga BBM awal Maret 2005 mengakibatkan rendahnya suku bunga riil untuk SBI dan bahkan negatif untuk suku bunga deposito. Dengan ekspektasi laju inflasi sebesar 8 persen, suku bunga riil SBI hanya sekitar 0,25 persen dan suku bunga riil deposito 1 bulan bahkan negatif sebesar 1 persen. Suku bunga riil deposito yang negatif ini mengakibatkan turunnya kepercayaan terhadap rupiah dan sangat rentan terhadap kepanikan masyarakat. Suku bunga yang rendah tersebut juga tidak mencerminkan kebijakan moneter yang responsif untuk mengurangi tekanan inflasi yang makin besar. Suku bunga riil seharusnya lebih besar dari kondisi normal untuk menampung risk premium yang makin besar. Kebijakan moneter yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2005 mampu menahan pelemahan rupiah. Kebijakan yang berintikan kenaikan suku bunga SBI menjadi 9,5 persen dan kenaikan suku bunga penjaminan baik dalam rupiah maupun USD mampu menahan pelemahan rupiah yang sempat menyentuh Rp 12.000,.- per USD menjadi Rp 10.400,- per USD pada penutupan 30 Agustus 2005.
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−7
Nilai tukar rupiah relatif stabil pasca Kebijakan 30 dan 31 Agustus 2005. Dalam rangka menahan melemahnya rupiah, pada akhir Agustus 2005 suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan 75 bps menjadi 9,5 persen dan kepastian kenaikan harga BBM dimajukan dari rencana semula pada awal tahun 2006 menjadi awal Oktober 2005 dengan mengupayakan tersalurnya program kompensasi yang telah direncanakan (pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pedesaan) dan bantuan langsung tunai yang pendataannya selesai akhir September 2005 serta penyampaian rencana kebijakan di bidang energi, fiskal, dan investasi. Rincian kebijakan moneter tanggal 30 Agustus 2005 dan agenda ekonomi tanggal 31 Agustus 2005 dapat dilihat pada Boks I.3. BOKS I.3. KEBIJAKAN 30 DAN 31 AGUSTUS 2005 DALAM RANGKA MENJAGA STABILITAS RUPIAH KEBIJAKAN MONETER 30 AGUTUS 2005 Langkah-Langkah Segera (a) Menaikkan BI rate sebesar 75 bps menjadi 9,5 persen berlaku sejak 30 Agustus 2005; (b) Menaikkan suku bunga FASBI 7 hari sebesar 100 bps menjadi 8,5 persen berlaku sejak 31 Agustus 2005; (c) Menyerap likuiditas secara maksimal melalui FTL dengan variable rate tender; (d) Menaikkan suku bunga maksimum penjaminan simpanan untuk bulan September 2005 (a) Rupiah: 1 bulan menjadi BI rate+50 bps; dan (b) Valas: dari 3 persen menjadi 4,25 persen; (e) Menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikaitkan dengan LDR; (f) Menaikkan imbalan jasa giro yang semula 3 persen menjadi 5,5 persen untuk seluruh tambahan GWM di atas 5 persen. Langkah-Langkah Berikutnya (a) Menyediakan fasilitas swap dengan BI dalam rangka hedging; (b) Melakukan intervensi valas dengan instrumen swap jangka pendek; (c) Menyempurnakan ketentuan kehati-hatian dalam transaksi devisa antara lain melalui pengaturan margin trading dan penyesuaian PDN; (d) Meningkatkan pengawasan intensif terhadap bank atas transaksi valas tanpa underlying transaction termasuk pengenaan sanksi sesuai aturan yang berlaku. AGENDA EKONOMI 31 AGUSTUS 2005 Energi: Menaikkan harga BBM setelah penyampaian dana kompensasi BBM kepada masyarakat miskin. Moneter: Sebagaimana kebijakan moneter 30 Agustus 2005. Fiskal: Memastikan bahwa APBN Tahun 2005 berkelanjutan, terkelola, dan sehat dengan menutup defisit melalui penerbitan obligasi dalam negeri dan internasional, privatisasi BUMN, dan divestasi saham aset. Investasi: Mempercepat realisasi investasi.
Pasca gejolak rupiah akhir Agustus 2005, kebijakan suku bunga responsif dalam mengurangi tekanan inflasi dan menjaga stabilitas rupiah. BI rate secara cepat Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−8
ditingkatkan berturut-turut menjadi 10,0 persen pada bulan September 2005 dan 11,0 persen pada bulan Oktober 2005, dan dinaikkan lagi menjadi 12,25 persen dan 12,75 persen pada awal November dan Desember 2005. Pada bulan Oktober – November 2005, kurs rupiah relatif stabil pada sekitar Rp 10.000,- per USD. Dengan perkembangan ini dalam keseluruhan tahun 2005, rata-rata kurs rupiah mencapai sekitar Rp 9.705 per USD. Laju inflasi meningkat dengan melemahnya rupiah, kenaikan harga BBM di dalam negeri dan tingginya ekspektasi terhadap inflasi. Dalam rangka mengurangi membengkaknya defisit APBN Tahun 2005, pada tanggal 1 Oktober 2005 harga BBM di dalam negeri dinaikkan rata-rata (sederhana) sebesar 127 persen. Melemahnya rupiah, meningkatnya ekspektasi terhadap inflasi, dan kenaikan harga BBM di dalam negeri memberi dorongan terhadap inflasi yang besar pada bulan Oktober 2005. Pada bulan Oktober 2005, laju inflasi mencapai 8,7 persen (m-t-m). Laju inflasi yang tinggi pada bulan Oktober 2005 merupakan kombinasi antara cost push yang terkait kenaikan harga BBM dan demand pull yang terkait dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri yang jatuh awal November 2005. Rincian unsur-unsur pendorong inflasi pada bulan Oktober 2005 dapat dilihat pada Boks I.4. BOKS I.4. DORONGAN INFLASI BULAN OKTOBER 2005 Laju inflasi bulan Oktober sebesar 8,70 persen (m-t-m) terutama didorong oleh kenaikan biaya (cost push) yang terutama berasal dari kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 serta dorongan permintaan (demand pull) dengan dekatnya perayaan hari Raya Idul Fitri. Sumbangan inflasi terbesar bulan Oktober 2005 berasal dari kelompok pengeluaran (a) transpor, dan jasa keuangan; (b) perumahan, air bersih, gas dan bahan bakar; serta (c) bahan makanan berturut-turut sebesar 4,17 persen, 1,94 persen, dan 1,78 persen. Tingginya laju inflasi pada bulan Oktober 2005 berasal dari kenaikan harga BBM (bensin, minyak tanah, dan solar) yang secara total menyumbang 3,47 persen serta angkutan dalam kota dan antar kota yang secara total menyumbang 2,00 persen. Kelima jenis barang dan jasa ini menyumbang sebesar 5,47 persen (63 persen dari laju inflasi sebesar 8,70 persen) yang tercakup dalam 2 kelompok pengeluaran yaitu: (a) perumahan, air bersih, gas dan bahan bakar serta (b) transpor, komunikasi, dan jasa keuangan. Pada inflasi kelompok bahan makanan, sumbangan terbesar berasal dari cabe merah (0,51 persen), beras (0,28 persen), dan ikan segar (0,22 persen). Sedangkan pada inflasi kelompok makanan jadi, sumbangan terbesar berasal dari nasi dan lauk pauk (0,10 persen) dan mie (0,08 persen). Sementara itu kelompok pengeluaran (a) sandang; (b) kesehatan; serta (c) pendidikan, rekreasi, dan olah raga tidak mengalami kenaikan harga yang berarti. Tingginya laju inflasi bulan Oktober 2005 juga didorong oleh permintaan musiman terkait dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1426H awal November 2005. Pada akhir Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−9
bulan Oktober 2005, posisi uang primer mencapai Rp 256,9 triliun atau naik 14,5 persen dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya. Kenaikan ini terutama didorong oleh uang beredar di masyarakat (kertas dan logam) sebesar 21,8 persen; sedangkan giro bank pada BI meningkat sebesar 3,6 persen. Laju inflasi menurut kelompok dan sub kelompok pengeluaran yang inflasinya lebih besar dari 5 persen serta sumbangannya terhadap inflasi dapat dilihat pada tabel berikut. LAJU INFLASI BULAN OKTOBER 2005 Kelompok/Sub Kelompok (>5%) Bahan Makanan - Padi-padian, Umbi-umbian, dan Hasilnya - Daging dan Hasil-hasilnya - Ikan Segar - Sayur-sayuran - Kacang-kacangan - Buah-buahan - Bumbu-bumbuan Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar - Bahan Bakar, Penerangan, dan Air Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan - Transpor - Sarana dan Penunjang Transpor Sumber: BPS
Inflasi (m-t-m) 7,24 5,20 5,20 6,92 7,91 5,57 5,32 29,10 3,21 7,40 22,18 1,84 0,95 1,40 28,57 41,69 5,29
SUMBANGAN KELOMPOK PENGELUARAN THD INFLASI OKTOBER 2005 Kelompok Sumbangan Bahan Makanan 1,78 Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau 0,57 Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar 1,94 Sandang 0,11 Kesehatan 0,04 Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga 0,09 Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 4,17 INFLASI 8,70 Sumber: BPS
Pada bulan November 2005, laju inflasi (m-t-m) mencapai 1,31 persen terutama didorong oleh kenaikan harga kelompok bahan makanan. Sedangkan pada bulan Desember 2005 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen terutama disebabkan oleh menurunnya harga kelompok bahan makanan sebesar 1,34 persen. Dengan perkembangan ini, laju inflasi dalam tahun 2005 (y-o-y) mencapai 17,1 persen. Selanjutnya dalam rangka mengurangi biaya tinggi sebagai akibat dari kenaikan harga BBM dan sekaligus meningkatkan daya saing usaha dikeluarkan Paket Insentif 1 Oktober 2005 mencakup beberapa rencana tindak di bidang fiskal, perdagangan, dan perhubungan. Rincian dari Paket 1 Oktober 2005 dapat dilihat pada Boks I.5.
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−10
BOKS I.5. PAKET INSENTIF 1 OKTOBER 2005 Dalam rangka mengurangi biaya tinggi dan meningkatkan daya saing usaha terutama setelah kenaikan harga BBM dikeluarkan paket insentif di bidang fiskal, perdagangan, dan perhubungan. DI BIDANG FISKAL: (a) Status PPN atas produk primer dirubah menjadi barang tidak kena pajak berlaku sejak Januari 2006; (b) Bea masuk bahan baku dan komponen industri alat-alat berat dibebaskan efektif November 2005; (c) Bea masuk gula diringankan, raw sugar dari Rp 550/kg menjadi Rp 250/kg, gula rafinasi dan gula putih masing-masing dari Rp 790/kg menjadi Rp 530/kg, efektif November 2005; (d) Bea masuk atas engine assy untuk angkutan umum dibebaskan; (e) Bea masuk converter kits untuk energi dibebaskan; (e) Pengenaan PNBP transaksi ekspor impor ditunda 3 bulan sejak November 2005; (f) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan 10 persen, Januari 2006; (g) Tarif mobil kendaraan penumpang umum diturunkan, efektif November 2005; (h) Pembatalan perda mengenai pajak dan retribusi yang menghambat dunia usaha dipercepat. DI BIDANG PERDAGANGAN: (a) Verifikasi teknis impor untuk garam kebutuhan farmasi, tire cord, filter cloth, kain goni, dan karung goni, dibebaskan, efektif Oktober 2005; (b) Penyelundupan dikurangi dengan menambah jalur prioritas dan jalur hijau kepada importir produsen serta jalur merah kepabeanan untuk importir umum, efektif Oktober 2005; serta (c) SKA diperketat. DI BIDANG PERHUBUNGAN: (a) Jembatan timbang dikurangi dari 127 menjadi 64, efektif Oktober 2005; (b) Harga CHC diturunkan dan surcharge ditetapkan tidak lebih dari 50 persen, efektif Oktober 2005; (c) 36 perda sektor perhubungan tentang dispensasi kelebihan beban angkutan kendaraan di jembatan timbang dibatalkan, efektif Oktober 2005.
Kinerja pasar modal tetap terjaga. Kinerja pasar modal di Bursa Efek Jakarta tetap terjaga meskipun sempat menurun pada saat rupiah melemah menjelang akhir Agustus 2005. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sempat menurun di bawah 1.000 menjelang akhir Agustus 2005. Pada akhir bulan Agustus 2005, IHSG di BEJ ditutup pada tingkat 1.050,1. Langkah-langkah untuk menjaga stabilitas rupiah menguatkan kembali kepercayaan terhadap pasar modal. Pada akhir Desember 2005, IHSG di BEJ ditutup pada tingkat 1.162,6 atau 16,2 persen lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2004. Perkembangan kurs rupiah harian dan IHSG di BEJ bulan Januari – Desember 2005 diberikan pada Grafik I.8.
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−11
Grafik I.8. 9000 9200 9400 9600 9800 10000 10200 10400 10600 10800 1100003-Jan-05
10-Feb-05 18-Mar-05 22-Apr-05 30-May-05 04-Jul-05 08-Aug-05 14-Sep-05 20-Oct-05 01-Dec-05
Kurs Rupiah
1240 1200 1160 1120 1080 1040 1000 960 920 880 840
IHSG di BEJ
Kurrs (Rp/US$)
KURS RUPIAH HARIAN DAN IHSG-BEJ
IHSG di BEJ
Suku bunga di dalam negeri meningkat untuk mengurangi tekanan inflasi dan menjaga stabilitas rupiah. Dalam rangka meredam gejolak nilai tukar rupiah, suku bunga SBI 1 bulan pada akhir Agustus dinaikkan sebesar 75 bps menjadi 9,5 persen. Pada bulan September dan Oktober 2005, suku bunga SBI dinaikkan lagi menjadi 10 persen dan 11 persen. Selanjutnya untuk menjaga kepercayaan terhadap rupiah dengan tingginya laju inflasi bulan Oktober 2005, BI rate dinaikkan lagi pada awal November 2005 dan awal Desember 2005 masing-masing sebesar 125 bps dan 50 bps menjadi 12,25 persen dan 12,75 persen. Kenaikan BI rate juga diikuti oleh kenaikan suku bunga penjaminan dan suku bunga dalam dolar AS. Sejalan dengan pola kenaikan ini, suku bunga deposito 1 bulan meningkat menjadi 10,4 persen pada akhir Oktober 2005, lebih tinggi 400 bps dibandingkan akhir tahun 2004. Suku bunga kredit meningkat menyesuaikan kenaikan suku bunga pinjaman. Kenaikan suku bunga deposito yang cukup tinggi mendorong kenaikan suku bunga kredit secara cepat. Pada bulan Oktober 2005, suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi meningkat menjadi 15,18 persen dan 14,92 persen; lebih tinggi masingmasing sebesar 177 bps dan 87 bps dibandingkan akhir tahun 2004. Peningkatan suku bunga kredit yang lebih lambat dari bunga pinjaman ini dimungkinkan dengan masih adanya selisih antara suku bunga pinjaman dan suku bunga simpanan (spread). Pada bulan Oktober 2005, selisih antara suku bunga kredit modal kerja dengan suku bunga deposito 3 bulan sebesar 5,8 persen; lebih tinggi dari Desember 2002 (4,2 persen). Perkembangan suku bunga SBI, deposito 3 bulan, serta kredit modal kerja sampai bulan Desember 2005 dapat dilihat pada Grafik I.9. Grafik I.9.
PERKEMBANGAN SUKU BUNGA 22
[%]
18 14 10 6 2
Jan' 00
Jan' 01
Kredit Modal Kerja
Jan' 02
Jan'03
Jan'04
Deposito 3 Bulan
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Jan'05
SBI (1 bulan)
I−12
Penyaluran kredit perbankan tetap tinggi dalam kecenderungan suku bunga yang meningkat. Sampai dengan akhir Oktober 2005, posisi kredit perbankan mencapai Rp 678,4 triliun atau naik 29,1 persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya. Dengan perkembangan ini, loan-to-deposit ratio (LDR) meningkat menjadi 54,8 persen pada akhir Oktober 2005 atau naik 485 bps dibandingkan akhir tahun 2004. Kenaikan kredit perbankan lebih didorong oleh kredit konsumsi. Meskipun meningkat, kenaikan kredit perbankan lebih didorong oleh kredit konsumsi. Pada akhir Oktober 2005, kredit konsumsi tumbuh sebesar 43,0 persen dibandingkan bulan yang sama tahun 2004. Kenaikan kredit konsumsi yang terjadi sejak tahun 2000 mengakibatkan peranannya meningkat dari 10,3 persen pada akhir tahun 1996 (sebelum krisis) menjadi 30,0 persen pada akhir Oktober 2005. Dilihat dari sektor ekonomi, kredit lebih banyak disalurkan kepada sektor industri, perdagangan, serta jasa-jasa. Pertumbuhan kredit perbankan dan komposisi kredit perbankan Desember 1996 dan Oktober 2005 dapat dilihat pada Grafik I.10 dan Grafik I.11. Grafik I.10.
PERTUMBUHAN KREDIT PERBANKAN 60 50
%, y-o-y
40 30 20 10 0 -10 -20
Jan' 02
Jul
Jan'03
Kredit Investasi
Jul
Jan'04
Jul
Kredit Modal Kerja
Jan'05
Jul
Kredit Konsumsi
Grafik I.11.
KOMPOSISI KREDIT PERBANKAN 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Des 1996 Kredit Investasi
Oktober Kredit Modal Kerja
Kredit Konsumsi
Non-performing loan (NPL) meningkat sejak bulan Mei 2005. Pada akhir Agustus 2005, NPL meningkat tajam menjadi Rp 51,7 triliun dari Rp 25,0 triliun pada bulan Maret 2005. Peningkatan NPL ini terutama disebabkan oleh kenaikan kredit dalam kriteria kurang lancar dan macet. Dalam bulan Oktober 2005, NPL membaik, menjadi Rp 49,8 triliun, atau turun 3,8 persen dibandingkan bulan Agustus 2005. Perkembangan NPL sejak Januari 2003 dapat dilihat pada Grafik I.12. Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−13
Grafik I.12. 8
70
7
60
6
50
5
40
4
30
3
20
2
Jan'03
Jul
Jan'04 NPL (%)
Jul
Jan'05
Jul
NPL (Rp Triliun)
NPL (%)
NON-PERFORMING LOAN PERBANKAN
10
NPL (Rp Triliun)
C. NERACA PEMBAYARAN Dalam perekonomian dunia tahun 2005 yang cenderung melambat, penerimaan ekspor meningkat cukup tinggi. Dalam 11 bulan pertama tahun 2005, total ekspor mencapai US$ 77,3 milliar, atau naik 19,0 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2004. Kenaikan penerimaan ekspor tersebut didorong oleh ekspor migas dan non migas yang meningkat masing-masing sebesar 21,5 persen dan 18,3 persen. Meningkatnya penerimaan ekspor migas didorong oleh harga minyak mentah yang tinggi di pasar dunia. Dalam 11 bulan pertama tahun 2005, rata-rata harga ekspor minyak mentah Indonesia di pasar internasional mencapai US$ 53,3 per barel; lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2004 (US$ 37,6 per barel). Sementara itu penerimaan ekspor non-migas didorong oleh ekspor hasil pertanian, industri, dan pertambangan yang meningkat berturut-turut sebesar 25,2 persen, 12,7 persen, dan 75,5 persen. Selain oleh kenaikan volume, penerimaan ekspor non-migas juga didorong oleh harga komoditi yang membaik terutama komoditi pertambangan. Kegiatan ekonomi di dalam negeri meningkatkan kebutuhan impor. Dalam 11 bulan pertama tahun 2005, impor meningkat menjadi US$ 52,7 miliar, naik 26,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2004. Peningkatan ini didorong oleh impor migas dan non-migas yang masing-masing naik sebesar 52,6 persen dan 18,4 persen. Dari penggunaannya, kenaikan impor terutama didorong oleh barang modal, bahan baku/penolong, dan barang konsumsi yang berturut-turut naik sebesar 30,7 persen, 26,3 persen, dan 24,7 persen. Perkembangan ekspor dan impor dapat dilihat pada Tabel I.1, Grafik I.13, dan Grafik I.14.
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−14
Tabel I.1. RINGKASAN PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR (US$ miliar) Okt Nov Pertumb Jan-Nov Jan-Nov 2005 2005 (%) 2004 2005 EKSPOR 7,76 6,83 -12,0 64,87 77,29 Migas 1,82 1,60 -12,1 14,31 17,39 Nonmigas 5,94 5,23 -12,0 50,56 59,90 - Pertanian 2,26 2,83 - Industri 44,36 49,99 - Pertambangan 4,03 7,08 IMPOR 4,79 4,04 -15,7 41,55 52,69 Migas 1,53 1,22 -20,0 10,53 16,08 Nonmigas 3,26 2,81 -13,8 31,02 36,61 Penggunaan Barang Konsumsi 0,43 0,40 -6,7 3,40 4,24 Bhn Baku/Penolong 3,72 3,05 -17,9 32,40 40,94 Barang Modal 0,65 0,59 -9,4 5,74 7,50 Sumber: BPS
Pertumb (%) 19,1 21,5 18,5 25,1 12,7 75,5 26,8 52,6 18,0 24,7 26,3 30,6
Grafik I.13.
U S $ M ilia r
PERKEMBANGAN EKSPOR 25 20 15 10 5 0 1995:1
1997:1
1999:1
2001:1
Non-Migas
2003:1
2005:1
Hasil Industri
Grafik I.14.
PERKEMBANGAN IMPOR 16
3
12
2,25
8
1,5
4
0,75
0
1995:1
Total Impor
1997:1
1999:1
2001:1
2003:1
Bhn Baku/Penolong
2005:1
0
Barang Modal (US$ miliar)
Total, Bhn Bk/Penolong (US$ Miliar)
Total Ekspor
Barang Modal
Peranan pariwisata dalam menyumbang devisa diperkirakan menurun. Sampai dengan 11 bulan pertama tahun 2005, arus wisatawan asing yang masuk melalui 13 pintu utama turun sebesar 8,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2004. Penurunan diperlunak dengan arus wisatawan asing ke Jakarta yang meningkat sebesar 10,0 persen. Bom Bali Kedua 1 Oktober 2005 memberi pengaruh bagi arus wisatawan asing ke Bali. Pada bulan Oktober dan November 2005, arus wisatawan asing melalui Bandara Ngurah Rai masing-masing turun 48,8 persen dan 22,0 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini lebih besar dibandingkan bulan yang sama tahun 2004 yang hanya menurun sebesar 9,0 persen dan 13,0 Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−15
persen. Perkembangan arus wisatawan asing sampai dengan triwulan III/2005 dapat dilihat pada Grafik I.15. Grafik I.15. 1400 1300 1200 1100 1000 900 800 700 600
2001:1
2002:1
2003:1
Ngurah Rai (Denpasar)
2004:1
2005:1
550 500 450 400 350 300 250 200 150
Ngurah Rai (Ribu Orang)
13 Pintu Utama (Ribu Orang)
ARUS WISATAWAN ASING
13 Pintu Utama
Dalam tiga triwulan pertama tahun 2005, surplus neraca transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial masing-masing sebesar US$ 0,4 miliar dan US$ 0,5 miliar. Dalam tiga triwulan pertama tahun 2005, kondisi neraca transaksi berjalan dihadapkan pada kebutuhan impor yang meningkat lebih tinggi dibandingkan penerimaan ekspor serta masih tingginya defisit pada jasa-jasa. Sementara itu neraca transaksi modal dan finansial dihadapkan pada terbatasnya investasi langsung serta tingginya pembayaran utang luar negeri swasta. Khusus dalam triwulan II/2005, investasi langsung (neto) mengalami surplus sebesar US$ 2,2 miliar terutama didorong oleh masuknya penyertaan saham Phillips Morris yang pencatatannya digolongkan sebagai investasi langsung. Selanjutnya dalam triwulan III/2005, investasi portfolio mengalami surplus sebesar US$ 2,3 miliar. Pada akhir November 2005, jumlah cadangan devisa mencapai US$ 33,2 miliar, bertambah sebesar US$ 3,1 miliar dibandingkan akhir September 2005. Ringkasan neraca pembayaran sampai dengan triwulan III/2005 dapat dilihat pada Tabel I.2. Tabel I.2. RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN (US$ miliar) 2000 2001 2002 2003 2004 Transaksi Berjalan
Tw. I
2005 Tw. II
Tw. III
7,99
6,90
7,82
8,10
3,11
1,17
-0,80
-0,00
Transaksi Modal dan Finansial Transaksi Modal Transaksi Finansial - Investasi Langsung - Investasi Portfolio - Investasi Lainnya
-7,90 -
-7,62 -
-1,10 -
-0,95 -
2,61 2,61
0,12 -
-0,46 -
0,87 -
-4,55 -1,91 -1,44
-2,98 -0,25 -4,40
0,15 1,22 -2,47
-0,60 2,25 -2,60
1,02 3,14 -1,55
0,39 0,73 -1,01
2,17 -1,54 -1,10
0,06 2,34 -1,53
Total Selisih Perhitungan Lalu Lintas Moneter
0,09 3,82 -3,92
-0,72 1,71 -0,99
6,72 -1,69 -5,03
7,16 -3,50 -3,65
5,72 -4,78 -1,51
1,28 -0,93 -0,86
-1,25 -0,23 -0,35
0,87 -4,02 1,48
MEMORANDUM ITEM Cadangan Devisa 29,39 28,02 Sumber: Bank Indonesia, 30 November 2005
29,25
27,53
36,32
36,03
33,87
30,32
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−16
D. KEUANGAN NEGARA Bencana alam dan badai Tsunami serta perubahan lingkungan eksternal terutama meningkatnya harga minyak dunia dan suku bunga internasional menuntut perubahan APBN Tahun 2005 sebanyak dua kali. Perubahan pertama dilakukan secara parsial dengan memasukkan pembiayaan untuk program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh serta program kompensasi BBM. Adapun perubahan kedua dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan asumsi ekonomi makro yang mendasari penyusunan APBN. Perubahan kedua APBN Tahun 2005 dilakukan untuk mengamankan APBN Tahun 2005 dari tekanan harga minyak dunia yang meningkat tajam sejak triwulan II/2005. Dengan konsumsi BBM pada tahun 2005 yang diperkirakan sebesar 65,6 juta kiloliter, tanpa adanya pengurangan, beban subsidi BBM diperkirakan mencapai Rp 113,7 triliun (4,3 persen PDB) serta defisit anggaran mencapai Rp 46,1 triliun (1,7 persen PDB). Dengan beban subsidi BBM yang sangat besar tersebut, Panitia Anggaran DPR RI 20 September 2005 dan Rapat Paripurna DPR RI 27 September 2005 menyepakati subsidi BBM pada tahun 2005 sebesar Rp 89,2 triliun (3,4 persen PDB) dan defisit anggaran sebesar Rp 24,9 triliun (0,9 persen PDB). E. PERTUMBUHAN EKONOMI Dalam tiga triwulan pertama tahun 2005, perekonomian tumbuh 5,8 persen (y-o-y). Meskipun pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen tersebut relatif tinggi, namun cenderung melambat. Pada triwulan IV/2004, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,7 persen, kemudian melambat menjadi 6,1 persen pada triwulan I/2005, 5,8 persen pada triwulan II/2005, dan 5,3 persen pada triwulan III/2005. Dari sisi permintaan, dalam tiga triwulan pertama tahun 2005, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh permintaan eksternal yang bersumber dari ekspor non-migas yang pada gilirannya menjaga investasi dan sektor industri pengolahan tumbuh cukup tinggi. Dalam tiga triwulan pertama tahun 2005, ekspor barang dan jasa tumbuh sebesar 9,5 persen dan pembentukan modal tetap bruto meningkat sebesar 12,4 persen. Sementara itu, permintaan domestik relatif rendah daya dorongnya terhadap perekonomian. Konsumsi masyarakat hanya tumbuh sebesar 3,7 persen serta pengeluaran pemerintah sebesar 0,6 persen antara lain karena kelambatan pencairan APBN Tahun 2005. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh sektor industri pengolahan terutama non-migas yang tumbuh sebesar 6,8 persen serta sektor tersier terutama pengangkutan dan komunikasi; perdagangan, hotel, dan restauran; serta keuangan dan jasa perusahaan yang masing-masing tumbuh sebesar 13,3 persen; 9,2 persen, dan 8,4 persen. Sementara itu sektor pertanian hanya Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−17
tumbuh 1,7 persen antara lain karena berkurangnya luas lahan pertanian. Ringkasan pertumbuhan ekonomi sampai dengan triwulan III/2005 dapat dilihat pada Tabel I.3. Tabel I.3. RINGKASAN PERTUMBUHAN EKONOMI (persen perubahan, y-o-y) 2001 2002 2003 PDB PDB Migas PDB Non-migas Menurut Sektor Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Industri Migas Industri Non-Migas Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Menurut Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa Sumber: Diolah dari BPS
2004
3,8 -5,3 5,1
4,4 -1,3 5,1
4,9 -2,9 5,8
2005 Tw 1-3 5,1 5,8 -4,4 -4,5 6,2 6,8
4,1 0,3 3,3 -6,2 4,9 7,9 4,6 4,4 8,1 6,6 3,2
3,2 1,0 5,3 2,5 5,7 8,9 5,5 3,9 8,4 6,4 3,8
4,3 -0,9 5,3 0,8 6,0 5,9 6,7 5,3 11,6 7,0 3,9
4,1 -4,6 6,2 -4,6 7,7 5,9 8,2 5,8 12,7 7,7 4,9
1,7 -0,8 5,8 -1,7 6,8 8,8 7,2 9,2 13,3 8,4 4,9
3,5 7,6 6,5 0,6 4,2
3,8 13,0 4,7 -1,2 -4,2
3,9 10,0 1,0 8,2 2,7
4,9 1,9 15,7 8,5 24,9
3,7 0,6 12,4 9,5 14,1
Perkembangan Sisi Pengeluaran. Lemahnya daya dorong konsumsi rumah tangga antara lain tercermin menurunnya indeks keyakinan konsumen dan perdagangan eceran (retail). Dalam bulan Oktober 2005, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang dikumpulkan oleh Danareksa Research Institute mencapai 89,5; menurun dari 107,5 pada akhir Desember 2004. Indeks yang sama yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Indeks Keyakinan Konsumen yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia pada bulan September 2005 turun menjadi 90,1 dari 119,1 pada Desember 2004. 1 Bahkan dalam bulan Oktober 2005 turun lagi menjadi 76,9. Indeks perdagangan riil eceran yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia juga menunjukkan kecenderungan menurun sejak bulan April 2005. Perkembangan kepercayaan konsumen dan retail bulan Januari – Oktober 2005 dapat dilihat pada Grafik I.16.
Indeks keyakinan konsumen di bawah 100 menunjukkan pesimisme konsumen dari pandangannya terhadap kondisi saat ini dan ekspektasi mendatang.
1
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−18
Indeks Keyakinan Konsumen)
140
220
120
200
100
180
80
160
60
140
40
120
20
Jan'04
Apr
Jul
IKK (BI)
Okt
Jan'05
Apr
IKK (DRI)
Jul
Okt
100
Indeks Perdagangan Eceran (Riil)
Grafik I.16.
INDEKS KEPERCAYAAN KONSUMEN DAN RETAIL
Perdagangan Eceran
Meskipun terjadi perlambatan, konsumsi masyarakat tetap tumbuh. Indikasi ini tercermin dari penjualan mobil dan sepeda motor. Dalam sepuluh bulan pertama tahun 2005, penjualan mobil meningkat sebesar 18,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2004, dan dalam sebelas bulan pertama tahun 2005 penjualan sepeda motor meningkat sebesar 22,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2004. Disamping meningkat, penjualan mobil dan sepeda motor telah melebihi tingkat sebelum krisis. Perkembangan penjualan mobil dan sepeda motor dapat dilihat pada Grafik I.17. Grafik I.17. 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1997:1
1999:1
Mobil
2001:1
2003:1
2005:1
1350 1200 1050 900 750 600 450 300 150 0
Sepeda Motor (ribu unit)
Mobil (ribu unit)
PENJUALAN MOBIL DAN SEPEDA MOTOR
Sepeda Motor
Investasi masih terjaga. Kegiatan investasi sebagian tercermin dari realisasi Izin Usaha Tetap (IUT) yang dikeluarkan oleh BKPM dan Instansi Penanaman Modal Daerah. Meskipun realisasi IUT yang dikeluarkan oleh BKPM dan Instansi Penanaman Modal Daerah hanya menyumbang sekitar 15,0 persen (2003) dalam pembentukan modal tetap bruto, perkembangannya searah dengan dinamika investasi yang tercermin pada neraca pendapatan nasional. Dalam keseluruhan tahun 2005, realisasi investasi yang tercermin dari izin usaha tetap (IUT) PMDN yang telah dikeluarkan oleh BKPM dan Instansi Penanaman Modal Daerah berjumlah 214 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 30,7 triliun, naik 100,9 persen dibandingkan tahun 2004; sedangkan izin usaha tetap PMA berjumlah 909 proyek dengan nilai investasi sebesar US$ 8,9 miliar atau naik 93,7 persen dibandingkan tahun 2004. Ringkasan Izin Usaha Penanaman Modal yang Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−19
dikeluarkan oleh BKPM dan Instansi Penanaman Modal Daerah dapat dilihat pada Tabel I.4. Tabel I.4. RINGKASAN IZIN USAHA PENANAMAN MODAL 2004 2005 Kenaikan (%) IZIN USAHA TETAP PMDN Jumlah Proyek 129 214 65,9 Nilai (Rp miliar) 15264,7 30665,0 100,9 PMA Jumlah Proyek 544 909 67,1 Nilai (US$ juta) 4601,1 8914,6 93,7 Sumber: BKPM
Meningkatnya kegiatan investasi juga tercermin dari impor barang modal serta meningkatnya penjualan semen dan listrik. Dalam 11 bulan pertama tahun 2005, impor barang modal naik sebesar 35,3 persen; sedangkan penjualan semen dan listrik masing-masing meningkat sebesar 5,0 persen dan 7,6 persen. Perkembangan penjualan semen dan listrik sampai dengan triwulan III/2005 dapat dilihat pada Grafik I.18 dan Grafik I.19. Grafik I.18.
PENJUALAN SEMEN 10
Semen (Juta Ton)
9 8 7 6 5 4 3
1996:1
1998:1
2000:1
2002:1
2004:1
Grafik I.19. 28 26 24 22 20 18 16 14 12
1996:1
1998:1
Total
2000:1
2002:1
2004:1
12 11 10 9 8 7 6 5 4
Industri (Miliar KWH)
Total (Miliar KWH)
PENJUALAN LISTRIK
Listrik kepada Industri
Perkembangan Sisi Produksi. Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian terutama disebabkan oleh sub-sektor tanaman bahan makanan dan kehutanan yang dalam tiga triwulan pertama tahun 2005 hanya tumbuh 0,4 persen dan negatif 3,6 persen. Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−20
Sedangkan sub-sektor perkebunan; peternakan dan hasil-hasilnya; serta perikanan tumbuh di atas 3 persen. Pertumbuhan sub-sektor tanaman pangan yang melambat antara lain disebabkan oleh menurunnya luas panen padi. Dalam angka ramalan III Produksi Padi dan Palawija Tahun 2005 (BPS) luas panen padi di Jawa dan luar Jawa pada tahun 2005 diperkirakan berkurang masing-masing sebesar 1,0 persen. Sementara itu, pertumbuhan industri pengolahan non-migas terutama didorong oleh sub-sektor industri alat angkut, mesin, dan peralatan; industri pupuk, kimia, dan barang dari karet; industri semen dan barang galian nonlogam; serta industri kertas dan barang cetakan yang masing-masing tumbuh 12,9 persen, 10,7 persen, 7,0 persen, dan 5,7 persen. Ringkasan pertumbuhan sektor pertanian dan industri pengolahan non-migas diberikan pada Tabel I.5. Tabel I.5. RINGKASAN PERTUMBUHAN SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI NONMIGAS (%) 2001 2002 2003 2004 2005 Tw 1-3 SEKTOR PERTANIAN -Tanaman Bahan Makanan 1,5 2,6 3,6 3,7 0,4 -Tanaman Perkebunan 9,9 5,0 4,4 4,5 4,3 -Peternakan dan Hasil-hasilnya 8,4 5,8 4,5 4,7 3,3 -Kehutanan 2,3 2,1 0,7 1,5 -3,6 -Perikanan 4,8 2,0 8,5 5,6 5,3 SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN NONMIGAS -Mknan, Mnman &Tembakau 1,1 0,2 2,7 1,7 3,7 -Tekstil, Brg Kulit, & Alas Kaki 3,4 3,2 6,2 4,2 1,1 -Brg Kayu & Hsl Hutan Lainnya 0,5 0,6 1,2 -2,0 -0,4 -Kertas & Barang Cetakan -4,8 5,3 8,4 7,7 5,7 -Ppk Kimia & Brg dari Karet 0,5 4,7 10,7 9,1 10,7 -Semen & Brg Galian Nonlogam 19,1 6,6 7,1 9,6 7,0 -Logam Dasar Besi dan Baja -1,0 -1,3 -8,0 -2,7 -5,2 -Alat Angkut, Mesin, & Peralatan 17,2 18,1 8,9 17,7 12,9 -Brg Lainnya 12,6 -11,1 17,7 15,1 3,9 Sumber: Diolah dari BPS
F. PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi sejak triwulan III/2004 belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai guna menampung tambahan angkatan kerja serta mengurangi tingkat pengangguran yang ada. Pengangguran terbuka yang dalam tahun 1997 berjumlah 4,2 juta orang (4,7 persen dari total angkatan kerja) terus meningkat. Pada bulan Februari dan Oktober 2005, jumlah angkatan kerja yang bekerja sebesar 94,9 juta jiwa dan 95,7 juta jiwa atau bertambah sebesar 1,8 juta jiwa dan 2,9 juta jiwa dibandingkan bulan Agustus 2004. Sedangkan lapangan kerja yang tercipta pada bulan Februari dan Oktober 2005 masing-masing sebesar bagi 1,2 juta jiwa dan 2,0 juta jiwa dibandingkan bulan Agustus 2004. Dengan pertambahan angkatan kerja yang lebih besar dari lapangan kerja baru yang tercipta, pengangguran terbuka pada bulan Februari 2005 meningkat menjadi 10,8 juta orang Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−21
(10,3 persen) dan pada bulan Oktober 2005 diperkirakan menjadi 11,6 juta orang (10,8 persen). Jumlah penduduk miskin masih cukup besar. Meningkatnya jumlah pengangguran dan tekanan terhadap stabilitas moneter di dalam negeri diperkirakan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan hasil Susenas Februari 2005, jumlah penduduk miskin mencapai 35,1 juta jiwa (16,0 persen), menurun dibandingkan tahun 2004 (36,1 juta jiwa atau sekitar 16,6 persen jumlah penduduk). Meningkatnya laju inflasi sejak Maret 2005 diperkirakan berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. G. PERKIRAAN PERTUMBUHAN KESELURUHAN TAHUN 2005
EKONOMI
DAN
NERACA
PEMBAYARAN
Berdasarkan perkembangan sampai dengan bulan Desember 2005, gambaran pertumbuhan ekonomi dan neraca pembayaran dalam keseluruhan tahun 2005 adalah sebagai berikut. Dalam keseluruhan tahun 2005, pertumbuhan ekonomi diperkirakan dapat mencapai 5,6 – 5,7 persen. Dengan perkembangan yang sampai tiga triwulan pertama tahun 2005 perekonomian tumbuh sebesar 5,8 persen, dalam keseluruhan tahun 2005 perekonomian diperkirakan tumbuh sekitar 5,6 – 5,7 persen. Dalam triwulan IV/2005, konsumsi masyarakat diperkirakan melambat dibandingkan triwulan sebelumnya (y-o-y); pengeluaran pemerintah diperkirakan tetap tinggi; pembentukan modal tetap bruto serta ekspor barang dan jasa diperkirakan melambat karena siklus musiman. Dengan perkiraan tersebut, pertumbuhan ekonomi dalam triwulan IV/2005 diperkirakan mencapai 5,0 – 5,4 persen (y-o-y) dan dalam keseluruhan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5,6 – 5,7 persen. Pola pertumbuhan ekonomi sampai dengan akhir tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel I.6. dan Grafik I.20. Tabel I.6. PERKIRAAN PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2005 (persen perubahan, y-o-y) 2004 2005 Tw. I*) Tw. II*) Tw. III*) Tw. IV Konsumsi Masyarakat Konsumsi Pemerintah PMTB Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa PDB
4,9 1,9 15,7 8,5 24,9 5,1
3,2 -8,6 13,7 13,3 15,6 6,1
3,6 -5,7 14,5 12,7 17,9 5,8
4,4 16,1 9,2 3,4 9,3 5,3
3,8 13,1 7,9 3,7 8,3 5,4
Total 3,8 4,1 11,2 8,0 12,5 5,7
* Realisasi
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−22
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
20 15 10 5 0 2002:1
2003:1
PMTB
2004:1
Konsumsi RT
2005:1
-5
Pertumbuhan PMTB (%)
Pertumbuhan PDB, Konsumsi RT (%)
Grafik I.20.
PERTUMBUHAN EKONOMI
PDB
Neraca pembayaran dalam keseluruhan tahun 2005 tetap terjaga. Dalam keseluruhan tahun 2005, impor nonmigas diperkirakan tumbuh jauh lebih tinggi (19,7 persen) dibandingkan ekspor nonmigas (17,0 persen). Dengan perkembangan ini surplus neraca transaksi berjalan dalam keseluruhan tahun 2005 diperkirakan sekitar US$ 3,4 miliar, lebih tinggi dari realisasi tahun 2004 (US$ 3,1 miliar). Sementara itu neraca modal dan finansial diperkirakan menurun menjadi defisit US$ 1,3 miliar; lebih rendah dari tahun 2004 (surplus US$ 2,6 miliar). Dengan perkiraan ini, cadangan devisa pada akhir tahun 2005 diperkirakan sebesar US$ 33,8 miliar. 2
2
Bank Indonesia, 30 November 2005.
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
I−23