BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1.1.1 Kondisi Makro dalam Industri Hilir Minyak dan Gas bumi (MIGAS) adalah sektor industri yang berskala internasional (internasional business), dimana perkembangan situasi global sangat menentukan jalannya industri ini. Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi keterkaitannya sangat erat dengan kepentingan-kepentingan internasional dan nasional. Industri Migas masih merupakan salah satu penyumbang terbesar devisa negara dan masih menjadi industri vital bagi negara kita bahkan bagi seluruh masyarakat di dunia. Dalam penggunaan teknologi, sebagian besar sudah dapat dipenuhi penyediaannya oleh industri minyak dan gas dalam negeri, namun industri ini membutuhkan pembiayaan yang sangat besar (capital intensive) dan pengelolaan manajemen yang tepat karena high risk baik dari segi permodalan maupun dari segi pengelolaan lapangan. Telah diketahui secara luas bahwa industri ini adalah industri yang padat modal (capital intensive), padat teknologi (technology intensive) dan penuh dengan resiko (high risk) terutama di sektor hulu. Industri ini disektor hulu baru berkembang bila kegiatan eksplorasi dilakukan secara intensif dan secara bersinambungan dan menunjukkan hasil (return) yang “menarik” (dari sudut pandang geologi) bagi investasi asing maupun domestik.
Eksplorasi adalah langkah awal dari kegiatan sektor hulu yang nantinya diharapkan dapat menghasilkan “leads” untuk dikembangkan menjadi “prospects” dan kemudian dikembangkan lagi menjadi “projects”. Salah satu contoh riil dari proses diatas adalah proyek Cepu, dimana ExxonMobil menemukan cadangan minyak dan Gas bumi dalam jumlah yang secara komersial dapat dipertanggung jawabkan untuk dikembangkan. Pada saat Blok Cepu dinyatakan komersial, maka risiko eksplorasi pada proses awal pegeboran akan menjadi kecil dan dapat dikatakan bankable. Sebelum dinyatakan bankable, proyek di hulu harus menggunakan modal sendiri (equity funding) yang bisa menghabiskan dana sendiri sampai ratusan juta dollar. Selain di sektor hulu, sektor hilirpun memerlukan struktur permodalan yang besar, namun resiko yang dimiliki di sektor ini cenderung lebih kecil mengingat sektor ini lebih terukur baik dari segi biaya maupun dari segi teknis, sehingga sektor ini dapat dikatakan lebih bankable. Gambar.1 Diagram Volume Produksi Kontraktor Bagi Hasil ( PSC ) Tahun 2004
3%
4%
39%
54%
Total: 1,860 MBOEPD Pre-1990 PSCs, Oil
Pre-1990 PSCs, Gas
1990-99 PSCs, Oil
1990-99 PSCs, Gas
3%
4%
39%
54%
Total: 1,860 MBOEPD Pre-1990 PSCs, Oil
• •
Pre-1990 PSCs, Gas
1990-99 PSCs, Oil
1990-99 PSCs, Gas
93% of current production from PSCs awarded prior to 1990 7% of current production, or 122 MBOEPD, from PSCs awarded in 1990’s
Sumber : Petrominer, February, 2004 Beberapa tahun belakangan ini, industri Migas di Indonesia menghadapi masalah yang cukup serius ketika meningkatnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri tidak diimbangi dengan meningkatnya produksi minyak lokal. Tidak optimalnya pendayagunaan blok migas yang ada dan belum ditemukannya ladang minyak baru menyebabkan negara Indonesia menjadi “net importer” sejak tahun 2004. Situasi ini memberikan gambaran bahwa secara rata-rata negara kita lebih banyak mengimpor minyak mentah (crude oil) daripada mengekspor. Indonesia mengimpor beberapa jenis crude oil yang berasal dari luar negeri untuk memasok oil refinery (tempat pengolahan minyak) guna mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri. Andaikan negara kita dapat mempertahankan posisi negara kita sebagai “net exporter”, maka kelebihan produksi yang ada
dapat kita “swap” di pasar
internasional dengan jenis crude oil lain yang diperlukan oleh refinery kita. Kondisi
negara Indonesia sejak tahun 2004 sudah masuk kategori “net importer” sehingga membuat kita harus membayar cash untuk setiap barrel yang di impor dengan harga pasar (pernah >$70). Setelah proses pengolahan Crude Oil menjadi BBM maka langkah selanjutnya adalah menjual sebagian BBM kepada masyarakat umum sebagai konsumen dengan harga yang masih disubsidi (minyak tanah, bensin Premium dan minyak solar / gas oil) dan non-subsidi (bensin high octan – pertamax dan pertamax plus / produk Pertamina) oleh Pemerintah. Inilah situasi yang disebut “double whammy” atau “double jeopardy” oleh karena dua kali kena. Pertama waktu harus impor karena status kita net importer dengan harga pasar dan kedua karena harus jual BBM dengan harga yang disubsidi. Jika negara Indonesia tidak segera menemukan solusi dari permasalahan
ini maka negara kita akan terus menerus
mengalami krisis finansial yang cukup membahayakan. Dari Gambar 1 diatas kita ketahui bahwa lebih dari 90 % minyak dan Gas bumi yang pada saat ini diproduksi negara kita berasal dari Production Sharing Contract (PSC) yang ditanda tangani sebelum tahun 1990. Hal ini sangat serius yang berarti bahwa eksplorasi sesudah tahun 1990 sangat sedikit hasilnya. Produksi hanya berhasil bila didahului oleh eksplorasi yang sukses, maka di Indonesia penurunan produksi diakibatkan menurunnya eksplorasi sesudah tahun 1990. Situasi ini merupakan hal yang fatal diakibatkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan di sektor hulu setelah tahun 1990, situasi ini diperparah karena pada waktu yang bersamaan local demand akan BBM meningkat karena adanya subsidi , akibatnya tampak di Figure 2 yang memperlihatkan saat negara kita menjadi ”net importer” yaitu ditahun 2004 ketika terjadi persilangan antara supply curve dan demand curve .
Figure 3
menunjukkan turunnya jumlah sumur eksplorasi yang dilakukan oleh para pengusaha minyak dan Gas bumi di Indonesia. Gambar 2 Grafik Penawaran Dan Permintaan Bahan Bakar Minyak di Indonesia MBOPD 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Demand
Supply
MBOPD 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Demand
Supply
Sumber:Wood MacKenzie (2006)
Dalam mekanisme penetapan harga, industri migas berpedoman pada internasional crude market price dimana OPEC (organization of petroleum exporting countries) antara lain berfungsi untuk memberikan informasi harga acuan minyak dunia dan turut mengendalikan tingkat supply, sejauh supply itu berasal dari negara anggotanya. Dengan demikian, penentuan harga minyak terjadi melalui pengaturan
supply and demand, antara lain oleh OPEC dan oleh negara non-OPEC (China, Rusia, Amerika, Norwegia, Malaysia dan lain- lain) serta oleh internasional oil traders di beberapa pusat perdagangan dunia seperti New York, London, Hongkong dan Singapura. Di Indonesia, bisnis penyediaan bahan bakar Migas bumi pada masa lalu merupakan usaha monopoli yang ditangani oleh suatu Perusahaan Negara yaitu Pertamina. Strategi pengelolaan bisnis BBM dan gas bumi dijalankan oleh Pemerintah dengan diterbitkannya UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan minyak dan gas bumi negara, disingkat PERTAMINA, yang diberikan mandat untuk melaksanakan explorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan dan penjualan minyak dan gas bumi. Dalam UU no.8 1971 pasal 13 dikemukakan bahwa tugas Perusahaan (PERTAMINA) adalah: a) Melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dengan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran Rakyat dan Negara; b) Menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas bumi untuk dalam negeri yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah sebagai regulator dalam kebijakan industri migas masih memegang kendali penuh terhadap kontrol harga BBM. Dalam perkembangan saat ini dimana konsumsi bahan bakar minyak dan Gas bumi semakin meningkat sementara produksi dalam negeri sudah menurun pesat, mengakibatkan Indonesia menghadapi situasi double jeopardy, yang sekali lagi kita simpulkan karena: 1.
Kenaikan harga minyak dunia yang tajam dalam tahun - tahun terakhir pernah mencapai $78 per barel (merupakan yang tertinggi dalam sejarah perminyakan).
2.
Pada waktu yang bersamaan dengan naiknya harga minyak dunia, produksi minyak Indonesia menurun secara drastis dibawah 1 juta barel / hari sedangkan konsumsi BBM dalam negeri mengalami peningkatan yang sangat drastis mencapai tingkat >1 juta barel / hari sehingga menyebabkan Indonesia harus melakukan impor minyak untuk menutupi selisih konsumsi BBM dalam negeri yang membuat BUMN Pertamina harus mengalokasikan dana sebesar $500 juta / bulan atau ekivalen dengan $6 milyar / tahun.
3.
Rasio perbandingan konsumsi BBM dalam negeri untuk jenis BBM oktan tinggi/non-subsidi dengan jenis BBM oktan rendah/bersubsidi adalah 95% (Premium, Solar, Minyak Tanah) berbanding 5% (Pertamax dan Pertamax Plus). Komparasi dua data pembanding diatas menggambarkan, bahwa tingkat konsumsi BBM bersubsidi masih jauh lebih besar ketimbang jenis BBM yang melalui market mechanism. 4. Indonesia telah menjadi net importer minyak semenjak tahun 2004.
Gambar 3 Grafik Penurunan Tingkat Eksplorasi Minyak di Indonesia
200 Planned
Exploratory Wells
Realized
100
* 0
2001
2002
2003
2004
* Through June, 2004
200 Planned
Exploratory Wells
Realized
100
* 0
2001
2002
2003
2004
* Through June, 2004
Sumber: Jakarta Post, July 17, 2004 Situasi double jeopardy ini menyebabkan strategi Pemerintah, yang pada awalnya akan menghapus subsidi BBM, masih harus ditunda mengingat harga minyak dunia terus naik mencapai $78 / barel dan reaksi masyarakat yang tidak dapat menerima realitas ini. Sebagian dapat difahami karena pertumbuhan ekonomi yang masih lambat sekitar 5,7 persen (tahun 2006 penyerapan tenaga kerja setiap satu
persen pertumbuhan ekonomi hanya 42.000 orang) yang menyebabkan angka pengangguran (formal dan informal) semakin membengkak dan biaya hidup yang semakin membumbung tinggi, pada umumnya membuat masyarakat semakin menderita bila harga BBM pun dina ikkan lagi sehubungan dengan penghapusan subsidi. Akan tetapi ada sebagian masyarakat Indonesia yang terlalu lama dimanjakan oleh BBM murah sebagai bagian dari kebijakan Orde Baru. Mereka tidak dapat menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi ”cheap oil”. Kondisi ini membuat beban Pemerintah semakin berat, meskipun Pemerintah telah menaikkan harga jual BBM yang semakin mendekati harga pasar, akan tetapi karena di waktu yang bersamaan harga minyak dunia terus mengalami kenaikan membuat Pemerintah masih harus menanggung beban subsidi BBM dalam negeri sebesar Rp.65 triliun . Gambar 4 Neraca Energi Nasional
Sumber: Kementrian ESDM (2006) Satu hal yang harus diingat, kita akan membahas mengenai sektor hilir, akan tetapi tanpa kebijakan yang jitu dan tanpa keberhasilan di sektor hulu maka hilirpun akan terbengkalai bila kebutuhan akan BBM harus dipenuhi dengan impor minyak mentah atau impor BBM sebagai produk akhir. Kebijakan Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina yang menerapkan sistem monopoli di sektor hilir selama kurun waktu 30 tahun, setelah diundangkannya UU no 22/2001, mulai dibenahi dengan cenderung mengacu pada mekanisme pasar. Kebijakan ini juga mulai diimplementasikan pada negara – negara berkembang lainnya yang juga sudah terbiasa dengan tradisi proteksionis yaitu dengan memonopoli sistem penyediaan dan distribusi BBM. Pelaksanaaan reformasi dalam industri hilir ini dilakukan melalui deregulasi usaha yaitu dengan menghilangkan intervensi Pemerintah, monopoli dan perlakuan khusus pada Pertamina serta mengizinkan pemain baru (Badan Usaha Swasta, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Daerah) masuk disektor hilir untuk berkompetisi dengan Pertamina. Peranan Pemerintah yang selama ini dipandang cukup dominan dalam menentukan arah kebijakan industri hilir mulai berubah. Perubahan ini terlihat dari langkah Pemerintah untuk menghapuskan subsidi secara bertahap, mengurangi peran dalam kontrol harga serta menghapus pembatasan perniagaan dan sistem monopoli. Berkaitan dengan revisi kebijakan sektor hilir, Pemerintah Indonesia pada tanggal 23 November 2001 mengeluarkan UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan
gas bumi, yang pada pasal 1 point 10 menyebutkan bahwa “Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan atau Niaga”. Kemudian sebagai peraturan pelaksanaannya dikeluarkan PP No.36 tahun 2004 tentang “Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas bumi”, yang pada pasal 1 point 7 berbunyi: “Cadangan Strategis Minyak Bumi adalah jumlah tertentu Minyak Bumi yang ditetapkan Pemerintah yang harus tersedia setiap saat untuk kebutuhan bahan baku pengolahan di dalam negeri guna mendukung ketersediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dalam negeri”. Disahkan dan diterapkannya UU no.22/2001 pada tanggal 23 November 2001 ini merupakan tonggak sejarah dalam memberikan landasan hukum bagi langkahlangkah pembaharuan dan penataan kembali Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi yang terdiri dari Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir. Gambar 5 Struktur Industri Perminyakan Nasional
Sumber: Kementrian ESDM (2006) Kegiatan Usaha Hilir dituntut untuk lebih mampu mendukung kesinambungan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dalam pengusahaan kegiatan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi bertujuan antara lain untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. UU No.22 tahun 2001 dan PP No.36 tahun 2004 ini membuka peluang bagi pendatang baru yaitu badan usaha swasta dan asing untuk turut berpartisipasi pada kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga BBM, seperti yang terlihat dijelaskan pada pasal 2 PP No. 36/2004: Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan izin usaha dan hanya diberikan kepada Badan Usaha setelah memenuhi persyaratan administratif dan teknis yang diperlukan. Badan Usaha yang melaksanakan kegiatan Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir dan Badan Usaha Hilir Tidak dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu kecuali dengan membentuk badan hukum yang terpisah atau Holding Company dan untuk mengatur hal tersebut Pemerintah membentuk BP Migas untuk mengatur kegiatan Hulu dan BPH Migas untuk mengatur kegiatan Hilir.
Peluang ini mulai
dimanfaatkan oleh beberapa investor seperti terlihat dari kehadiran para pemain baru industri hilir yang sebenarnya sudah cukup lama eksis dalam industri perminyakan di Indonesia di bidang hulu seperti Shell dan Petronas yang belakangan ini berupaya mengembangkan ‘sayap’ bisnisnya di kegiatan usaha hilir (down stream) minyak dan gas bumi.
Aktivitas perusahaan - perusahaan asing yang mulai merambah ke sektor hilir ini membuktikan bahwa Indonesia semakin realistis dalam menghadapi globalisasi dengan dilonggarkannya iklim usaha dalam sektor hilir minyak. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah ini merupakan bentuk terobosan baru untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia dengan menciptakan mekanisme persaingan pasar (market competition) yang merupakan bagian integral dari proses globalisasi. Peluang investor lokal maupun asing untuk berpartisipasi di industri hilir masih relatif kecil, hal ini disebabkan karena jenis BBM yang ditawarkan Pemerintah untuk dipasarkan oleh para investor tersebut belum sepenuhnya dijalankan melalui mekanisme pasar dimana Pemerintah masih mematok harga BBM bersubsidi seperti Premium, Solar dan Minyak Tanah. Penerapan kebijakan Pemerintah terhadap BBM bersubsidi yang tidak open market ini membuat para investor enggan untuk memasarkan jenis BBM bersubsidi. Marjin keuntungan yang di dapat dari industri hilir ini cukup kecil karena untuk membangun oil refinery membutuhkan investasi yang sangat besar dengan resiko yang tinggi terutama jika harga minyak dunia itu terus naik. Meskipun demikian ada juga investor yang cukup berani untuk memasarkan BBM bersubsidi (Shell) dengan menggunakan premium yang di import langsung dari Singapura, namun realisasi pemasarannya masih menunggu keputusan dari Pemerintah melalui BPH Migas. Sepanjang setahun 2006 Pemerintah mulai menggalakkan energi alternatif untuk mengantisipasi harga minyak dunia yang cenderung naik sementara di sisi lain kapasitas produksi minyak bumi Indonesia semakin menipis. Energi alternatif ini
diantaranya adalah BioEthanol sebagai pengganti bensin yang terbuat dari starch Plants (biji padi-padian/gandum, jagung, singkong, ubi), sugar plants (biang gula, batang tebu). Bioethanol di produksi dengan cara menggunakan teknologi biologi yaitu melaui proses fermentasi dan berikutnya diperkaya dengan cara penyulingan dan pengeringan. Sebagai contoh: yang sering di lakukan adalah mencampur 10% ethanol and 90 % bensin (E10). Berikutnya adalah Biodiesel sebagai pengganti minyak solar itu bisa dibuat dari bahan kelapa, kelapa sawit, kacang, kedelai, algae (lumut) dan buah jarak. Sebagai contoh faktor yang membedakan bahan – bahan itu adalah kadar biodiesel yang dihasilkan. Kelapa sawit misalnya, hanya menggunakan kandungan biodiesel 40 persen (B-40) dan buah jarak bisa mencapai kadar 80 persen (B-80). Kadar biodiesel B-80 berarti, minyak biodiesel masih harus dicampur dengan minyak solar sebesar 20 persen. Biodiesel tersebut dikembangkan karena adanya keterbatasan cadangan minyak bumi. Sumber energi alternatif terbarukan menjadi solusi menipisnya cadangan minyak fosil.
Gambar 6 Penggunaan Energi Mix Nasional
Sumber: Kementrian ESDM (2003) Namun perlu diakui bahwa kebijakan ini memerlukan sosialisasi dan penelitian yang lebih dalam mengingat pola konsumsi BBM pada masyarakat masih bergantung pada energi konvensional (Minyak Bumi) dan beberapa efek negatif dari penggunaan Biodiesel ataupun Bioethanol tersebut belum tampak dengan jelas misalnya bahaya corrosion terhadap mesin mobil yang menggunakannya kelak..
1.1.2 Kondisi Mikro Sektor Hilir Pembahasan ini akan lebih difokuskan pada strategi pendistribusian BBM. Berikut adalah beberapa spesifikasi yang diperlukan untuk pencapaian strategi bisnis pada segmen hilir : •
Kepastian hukum yang jelas untuk badan usaha baru yang berbisnis di Industri Hilir.
•
Fasilitas penyimpanan (storage) dan pengangkutan yang cukup untuk memenuhi permintaan pasar.
•
Peran Pertamina setelah monopoli dicabut
•
Peran pendatang baru
•
Kemudahan, fasilitas serta insentif perlu diberikan untuk kebutuhan investor yang akan masuk ke pasar.
•
Standarisasi dalam pelaksanaan operasional (standard operational procedure) yang ditetapkan sebagai acuan untuk melaksanakan kegiatan distribusi dan penetapan parameter
untuk
mengukur
kualitas
BBM
termasuk
ukuran
kualifikasinya serta membuat pedoman mekanisme bekerja yang baik dalam menjaga keselamatan dan minimalisasi kerusakan lingkungan. •
Refleksi harga sebagai diferensiator dalam ongkos pengangkutan dan mekanisme pasar.
•
Blueprint (cetak biru) ke depan sebagai road map untuk menjadikan sektor hilir lebih berorientasi pasar.
1.2
Rumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana menerapkan strategi yang tepat oleh Pemerintah RI di sektor hilir berdasarkan kebijakan pasar bebas yang ditargetkan oleh UU No. 22 tahun 2001.
Pertanyaan yang muncul adalah: 1. Apa dasar yang mendorong Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh BPH Migas dalam melakukan perubahan strategi bisnis BBM dari sistem monopoli ke sistem pasar bebas? 2. Apa saja yang menjadi dasar dalam pembentukan BPH Migas setelah keluarnya UU No.22 Tahun 2001 dan sejauh mana wewenang serta peran yang dimiliki badan tersebut? 3. Bagaimana strategi pelaku bisnis BBM yang akan diterapkan untuk dapat menghadapi sistem pasar bebas? 4. Apa yang menjadi kekuatan (strength), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunity) dan ancaman (Threats) kebijakan pemerintah melalui BPH Migas dan Pertamina sebagai BUMN sesuai dengan UU No.22 tahun 2001 dalam bisnis BBM? 5. Strategi apa yang akan digunakan Pertamina sebagai satu – satunya pemain lokal milik negara di bisnis hilir dalam menghadapi era pasar bebas?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dimaksudkan antara lain : •
Mengidentifikasi faktor pendorong perubahan strategi dalam bisnis usaha BBM dan peranan BPH Migas dari sistem monopoli ke sistem pasar bebas.
•
Menjelaskan dasar hukum pembentukan BPH Migas pasca keluarnya UU.22 tahun 2001 dan wewenang serta peran yang dimiliki oleh badan tersebut.
•
Meneliti strategi pelaku bisnis BBM yang akan ditetapkan mengingat munculnya pesaing pada era pasar bebas. .
•
Mengidentifikasi faktor – faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang akan dan dihadapi BPH Migas dan Pertamina.
•
Menganalisa strategi yang akan digunakan BUMN perminyakan Pertamina dalam menghadapi era pasar bebas.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan manfaat yang berkaitan dengan
tujuan akademis yang antara lain menggunakan teori- teori pendukung penelitian yang dikombinasikan dengan bahan bacaan, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat analisis terhadap masalah- masalah praktis yang dihadapi perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atas permasalahan yang ada. Secara praktis diharapkan dunia usaha dapat mengambil manfaat dari penelitian ini sebagai bahan pertimbangan tambahan bagi manajemen perusahaan dalam penerapan strategi yang tepat dalam melaksanakan bisnis BBM di Indonesia dengan
mempertimbangkan pengaruh kondisi internal dan eksternal yang dihadapi oleh perusahaan pada era pasar bebas.
1.5
Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan Menguraikan dan menjelaskan latar belakang permasalahan yang berkaitan dengan bisnis BBM, rumusan permasalahan,
tujuan dan manfaat penelitian,
sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori Merupakan teori – teori yang dipergunakan dalam kaitannya dengan upaya memecahkan permasalahan. Konsep - konsep managemen strategi / SWOT analisis dalam menghadapi globalisasi dicoba dipaparkan pada bab ini dalam rangka memberikan pengertian – pengertian, dasar ideal dalam melihat suatu masalah.
Bab III : Metodologi Penelitian Metoda yang digunakan adalah metoda pengumpulan data, analisis secara deskriptif kualitatif, menggunakan data primer melalui wawancara dan data sekunder yaitu melalui sumber – sumber dari internet, artikel dan buku.
Bab IV : Analisa dan Pembahasan Merupakan penjabaran analitis serta arus pembahasan yang ditekankan pada rumusan masalah di Bab I serta aplikasi penggunaan metode – metode yang direkomendasikan kedalam thesis.
Bab V
: Kesimpulan dan Saran Merupakan kesimpulan serta konklusi yang dihasilkan dari pembahasan Bab I
- Bab IV serta saran – saran komprehensif yang diberikan sebagai dasar atas rekomendasi terhadap objek penelitian.