BAB 3
KERANGKA KONSEP dan DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Kelompok I (Kontrol) -
Pemberian air putih
Kelompok II -
Pb asetat 100mg/kg/hari
Eritrosit basophilic stippling
Kelompok III -
Pb asetat 100 mg/kg/hari & madu 0,04 ml/20 gr mencit/hari
3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Independen - Adapun variabel-variabel independen, antara lain: a. Pemberian Pb asetat b. Pemberian Pb asetat dan madu
3.2.2. Variabel Dependen - Adapun variabel-variabel dependen, antara lain: a. Basophilic stippling pada eritrosit mencit
Universitas Sumatera Utara
3.2.3. Definisi Operasional - Adapun definisi operasional, antara lain: a. Pemberian Pb asetat: Pb asetat yang akan diberikan pada mencit dengan dosis 100mg/ kgBB/ hari. b. Pemberian Pb asetat & madu: Pb asetat 100mg/kgBB/hari yang diberikan bersamaan dengan madu 0,04 mL madu/20 gram mencit/hari yang diencerkan hingga 0,2 cc. c. Gambaran morfologi sel-sel darah merah: Eritrosit normal mencit berbentuk cakram dengan ukuran tebal 1,5–2,5 μm diameter 5–7 μm. Dengan pewarnaan Wright Giemsa, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit normal tidak berinti, berbentuk bulat dan tipis, bagian tengah lebih tipis daripada bagian tepinya (Bijanti et al., 1997). Sel muda lebih besar dari sel dewasa dengan inti sel relatif besar. Makin dewasa inti sel dari eritrosit semakin kecil selanjutnya menghilang. Inti sel muda warna selnya lebih merah. d. Kelainan morfologi sel darah merah yang akan diamati berupa: Basophilic stippling pada sel-sel darah merah (berhubungan dengan degradasi mitokondria, ribosom dan RNA yang berakibat penyatuan dan pengendapan ribosom yang bersifat basofilik) (Robbins dan Kumar, 1995). Kriteria normal: bila tidak dijumpai Basophilic Stippling pada eritrosit mencit Derajat keparahan (dihitung dalam 1000 eritrosit): 0= tidak dijumpai Basophilic Stippling 1= dijumpai 1% - 30% Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit 2= dijumpai 31% - 60% Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit 3= dijumpai 61% - 100% Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit 3.3. Hipotesis Ada pengaruh pemberian madu terhadap basophilic stippling eritrosit mencit setelah pemberian Pb asetat.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian Desain
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
penelitian
eksperimental dengan pendekatan post test only group design tiga kelompok hewan percobaan mencit jantan (Mus musculus) yang terdiri atas satu kelompok kontrol dan dua kelompok yang diberi intervensi. Hasil yang diperoleh kemudian akan dilakukan analisis untuk melihat adanya perbedaan. Tidak dilakukan pretest pada seluruh kelompok eksperimen, kelompok eksperimen I langsung diberi paparan Pb (timbal) asetat, dan pada kelompok eksperimen II bersamaan diberikan Pb asetat dan madu. 4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini memerlukan waktu selama 8 minggu. Untuk perawatan dan pemberian perlakuan pada hewan percobaan dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA USU, dan dilanjutkan dengan pembuatan hapusan darah dan pembacaan hasil yang dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran USU.
4.3. Populasi Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah mencit jantan umur 8-11 minggu dengan berat badan 25-35 gr dan sehat yang ditandai dengan gerakan yang aktif, diperoleh dari Fakultas Biologi USU. 4.3.1. Kriteria Inklusi 1. Mencit jantan 2. Umur 8-11 minggu 3. Berat badan 25-35 gram 4.3.2. Kriteria Eksklusi 1. Terdapat abnormalitas anatomi yang tampak
Universitas Sumatera Utara
2. Mencit tampak sakit, tidak bergerak aktif Adapun klasifikasi (galur) ilmiah dari mencit Mus Muskulus: Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Mammalia Ordo: Rodentia Famili: Muridae Upafamili: Murinae Genus: Mus Spesies: M. Musculus (Tabel 4.1. Amori, G. 1996) 4.4. Besar Sampel Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan rumus Federer (1963) dalam Wahyuni (2008): (t-1) (n-1) ≥ 15
- t = kelompok perlakuan (tiga kelompok) - n = jumlah sampel tiap kelompok
Banyaknya sampel pada penelitian ini adalah : (t-1) (n-1) ≥ 15 2n-2 ≥ 15 n≥9 Dari hasil perhitungan di atas, dibutuhkan jumlah sampel sebanyak 9 ekor mencit pada tiap perlakuan sehingga total jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 27 ekor mencit dengan perincian sebagai berikut : 1. K = kelompok kontrol yang diberikan air putih sebanyak 9 ekor mencit selama 8 minggu. 2. P1 = kelompok perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/hari sebanyak 9 ekor mencit selama 8 minggu 3. P2 = kelompok perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/hari dan madu 0,4 ml/ 20 grBB/hari sebanyak 9 ekor selama 8 minggu.
Universitas Sumatera Utara
4.5. Pelaksanaan penelitian 4.5.1. Penentuan Dosis Plumbum dan Dosis Madu Pada penelitian ini dosis Pb asetat yang diberikan adalah 100 mg/kg BB / hari (Anggraini, 2008). Pb asetat yang digunakan dalam bentuk serbuk kemudian dilarutkan dengan aquades kemudian dimasukkan langsung ke lambung mencit dengan menggunakan jarum gavage peroral. Madu yang digunakan dalam penelitian ini adalah madu murni produksi High-Desert USA, dengan nama dagang “`Clover Honey“, yaitu madu yang nektarnya berasal dari bunga Clover, merupakan madu murni tanpa dilakukan pemrosesan, yang masih mengandung Bee Pollen, dan Royal Jelly. Dosis madu yang diberikan adalah 0,04 ml/20 grBB/hari yang kemudian diencerkan dengan aquadest menjadi volume 0,2 ml, merujuk pada penelitian sebelumnya oleh Dewi (2010). Penggunaan madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2 kali/hari 1 sendok makan (Suranto,2007). Dosis dikonversikan dengan tabel konversi Ngatidjan sehingga ditemukan dosis yang sesuai untuk mencit (Mus musculus). Perhitungan dosis madu menurut Dewi (2010) : Dosis mencit setara dengan dosis untuk manusia yaitu 15 ml. Nilai konversi x 15 ml = 0.0026 x 15 ml madu = 0.04 ml madu. Madu kemudian diencerkan dengan perbandingan madu dan aquadest adalah 1:5 sehingga madu yang akan disondekan untuk mencit dengan berat badan 20 gram adalah 0.2 ml.
4.5.2. Pengumpulan dan Pemeliharaan Hewan percobaan Mencit yang digunakan untuk penelitian adalah mencit jantan, umur 8-11 minggu, sehat dengan berat badan 25-35 gr. Kandang percobaan dibersihkan setiap hari untuk mencegah infeksi yang dapat terjadi akibat kotoran mencit tersebut dan mencit dapat tetap sehat. Kandang ditempatkan dalam suhu kamar dan cahaya menggunakan sinar matahari tidak langsung. Makanan hewan
Universitas Sumatera Utara
percobaan diberikan berupa pellet dan jagung halus. Makanan dan minuman diberikan secukupnya dalam wadah terpisah dan diganti setiap hari. Plumbum asetat dan madu diberikan pada mencit dengan menggunakan jarum gavage per oral. 4.5.3. Persiapan Hewan percobaan Setiap kelompok hewan percobaan dipersiapkan dalam kandang yang terpisah dan disiapkan untuk beradaptasi selama satu minggu sebelum dilakukan penelitian. Sebelum perlakuan setiap mencit ditimbang berat badannya terlebih dahulu dan diamati kesehatan fisiknya (gerakannya, berat badan, makan dan minum). Bila terdapat mencit yang sakit pada saat berdaptasi maka mencit diganti yang baru dengan kriteria yang sama dan diambil secara acak (Anggraini, 2008). 4.5.4. Perlakuan Hewan percobaan Setelah persiapan selesai maka hewan percobaan kelompok I, kelompok II, dan kelompok III diberikan perlakuan sebagai berikut : Setelah 8 minggu, hewan percobaan diaspirasi sedikit darah dari vena ekor mencit dan dijadikan sampel darah. Kemudian, sampel darah tersebut langsung dibuat menjadi sediaan hapusan. 4.5.5. Pembuatan Sediaan Hapusan Darah Pemeriksaan hapusan darah dilakukan dengan metode Giemsa (Gandasoebrata, 1992). a. Alat dan Bahan Alat yang digunakan: gelas objek, kaca pendorong (untuk membuat hapusan darah) Bahan yang digunakan: Sampel darah dan reagensia Giemsa dari P.T. Merek, aquadest serta metanol. b. Cara kerja:
Universitas Sumatera Utara
Letakkan satu tetes kecil darah pada 2-3 mm dari ujung kaca objek. Letakkan kaca penghapus dengan sudut 30-450 terhadap kaca objek di depan tetesan darah. Tarik kaca penghapus ke belakang hingga menyeluruh tetesan darah, tunggu hingga darah menyebar pada sudut tersebut. Dengan gerakan yang cepat dorong kaca penghapus hingga terbentuk hapusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek. Biarkan hapusan darah mengering diudara lalu warnai dengan pewarnaan Giemsa. c. Cara pemeriksaan Hapusan Darah Preparat diobservasi di bawah mikroskop dengan pembesaran okuler 10 kali dan objektif 100 kali, mempergunakan minyak emersidicari untuk menghitung gambaran eritrosit basophilic stipling (berhubungan dengan degradasi ribosom dan RNA yang berakibat penyatuan dan pengendapan ribosom yang bersifat basofilik) yang tampak secara zig zag per lapangan pandang dalam 1000 eritrosit (Soebroganda, 1992).
4.6. Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil pengamatan morfologi sel-sel darah merah akan dianalisis dengan SPSS. Terlebih dahulu data tersebut akan diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika data berdistribusi normal maka dilakukan uji ANOVA, tetapi jika data tidak berdistribusi normal maka dilakukan uji Kruskal Wallis. Kemudian, bila dengan uji Kruskal Wallis tidak dapat menentukan kelompok mana yang mempunyai perbedaan yang signifikan, maka dapat dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk menentukan kelompok mana yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Pada penelitian ini lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas MIPA dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran USU. Hewan percobaan ditempatkan di suatu ruangan khusus tempat pemeliharan mencit. Dan hewan percobaan dibagi dalam tiga kandang sesuai dengan kelompok perlakuan, yaitu kandang satu (K1) sebagai kelompok kontrol, kandang dua (K2) yaitu kelompok perlakuan yang diberi Pb asetat dan kandang tiga (K3) yaitu kelompok perlakuan yang diberi Pb asetat dan Madu. 5.1.2. Karakteristik Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa mencit jantan, umur 8-11 minggu, sehat dengan berat badan 25-35 gr dan tidak tampak abnormalitas anatomi. Jumlah sampel pada penelitian ini sebagai berikut, kelompok K1 (kontrol) sebanyak sembilan ekor, kelompok K2 (Pb asetat) sebanyak sembilan ekor, dan kelompok K3 (Pb asetat dan Madu) sebanyak sembilan ekor. 5.1.3. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Erythrocyte basophilic stippling Pengaruh pemberian Pb 100 mg/ kgBB/ hari (Anggraini, 2008) dan pemberian Pb dengan madu 0,04 ml/ 20 grBB/ hari (Dewi, 2010) terhadap jumlah erythrocyte basophilic stippling dapat dilihat di tabel berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.1. Distribusi erythrocyte basophilic stippling pada kelompok perlakuan (n=27 ekor) Kontrol (9ekor) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 0
P1 (9ekor) 14 22 19 10 10 14 22 34 17 162
P2 (9ekor) 8 7 4 6 4 5 7 6 7 54
Rata- rata 0
18
6
Keterangan: Jumlah erythocyte basophilic stippling yang dihitung dalam 1000 eritosit tiap mencit dibawah mikroskop cahaya. Menurut derajat keparahan (dihitung dalam 1000 eritrosit): 0= tidak dijumpai basophilic stippling 1= dijumpai 1% - 30% Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit 2= dijumpai 31% - 60% Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit 3= dijumpai 61% - 100% Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit Namun, berdasarkan jumlah erythocyte basophilic stippling yang didapati sesuai tabel distribusi diatas, jumlah erythocyte basophilic stippling tidak memenuhi kriteria derajat keparahan tersebut. Oleh karena itu, perhitungan uji statistiknya langsung memasukan data dari distribusi erythocyte basophilic stippling. Dari hasil uji normalitas data (lampiran 2), didapat bahwa P = .026 dan P= .001 yang diuji masing-masing dengan uji Kolmogrov-Smirnov dan uji ShapiroWilk. Kedua nilai P dibawah 0.05, maka didapat bahwa data dari jumlah erythrocyte basophilic stippling tidak berdistribusi normal.
Universitas Sumatera Utara
Karena dari uji normalitas data Basophilic stippling tidak berdistribusi normal, maka tidak dapat dilakukan dengan uji Anova, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji statistik non-parametrik yaitu Kruskal-Wallis Test. Berdasarkan data hasil uji Kruskal-Wallis Test (lampiran 2), didapatkan P value < 0.001. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan nilai basophilic stippling pada ketiga kelompok perlakuan. Hasil analisis statistik penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan nilai rata-rata yang bermakna antara kelompok kontrol dengan perlakuan, akan tetapi untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan masing-masing kelompok tersebut, maka dilanjutkan dengan uji Mann- whitney. Tabel 5.2. Hasil uji Mann- Whitney Basophilic stippling pada kelompok perlakuan (n=27) Variabel Kontrol: P1 Kontrol: P2 P1: P2
Pvalue < 0.001 < 0.001 < 0.001
Pada uji Mann-Whitney didapatkan bahwa antar kelompok terdapat perbedaan yang signifikan. Mencit dengan perlakuan Pb saja (Kontrol-P1) didapatkan p < 0.001, yang berarti Ho ditolak, hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan jumlah erythrocyte basophilic stippling pada kedua kelompok perlakuan tersebut. Dimana hal tersebut menjelaskan bahwa Pb menyebabkan toksik pada eritrosit secara signifikan. Sementara itu antara kelompok kontrol dengan mencit yang diberi perlakuan Pb dan Madu juga terdapat perbedaan yang signifikan. Hal tersebut dapat memberikan penjelasan bahwa Pb memang terbukti toksik pada eritrosit. Namun, untuk memberi penjelasan bahwa madu dapat mengurangi jumlah erythrocyte basophilic stippling, maka diuji antara kelompok perlakuan Pb (P1) dan perlakuan Pb dan madu (P2). Hasil p < 0.001, maka menjelaskan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pemberian madu 0,04 ml/ 20 grBB/ hari dapat menurunkan jumlah erythrocyte basophilic stippling eritrosit secara signifikan.
Universitas Sumatera Utara
5.2. Pembahasan Dari uji Kruskal-Wallis terhadap erythrocyte basophilic stippling, dijumpai perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok sehingga layak dilakukan penelitian mengenai pengaruh madu terhadap jumlah erythrocyte basophilic stippling mencit. Uji Mann-Whitney menunjukkan terjadi penurunan yang signifikan erythrocyte basophilic stippling mencit antara kelompok yang diberi timbal dan madu (K3) dengan kelompok yang hanya diberi timbal (K2). Hasil- hasil tersebut sesuai dengan penelitian dari Ganiswara, et al (1995) dalam Nelma (2005), dimana pada pematangan eritrosit, Pb menyebabkan defisiensi enzim G-6PD dan penghambatan enzim pirimidin-5’-nukleotidase sehingga terjadi akumulasi degradasi RNA (pyrimidine nucleotides) serta ribosom eritrosit yang ditandai dengan ditemukannya basophilic Stippling (terdapat bintik biru atau bintik basofilik pada eritrosit). Hal ini menyebabkan turunnya masa hidup eritrosit. Pada penelitian ini ditemukan pada kelompok mencit yang diberikan perlakuan timbal asetat 20mg/kgBB secara intraperitoneal selama 2 hari. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Kurniawati (1996) menyebutkan bahwa penelitian larutan timbal dapat menyebabkan kerusakan eritrosit (Kurniawati, 1996). Hal ini juga didukung oleh penelitian (Wahyuni, 2000) yang menyatakan pemberian larutan timbal dapat menurunkan nilai volume padat eritrosit (PCV/ packed cell volume). Selain itu, Pb juga memberikan dampak negatif bagi proses eritropoesis maupun pematangan eritrosit. Pb yang berikatan dengan eritrosit menyebabkan eritrosit menjadi rapuh (terjadi kerusakan membran sel), mengurangi eritropoesis, mengurangi masa hidup eritrosit matang, dan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik (Lu, 1995) Menurut ATSDR (2003), Pb menyebabkan 2 macam anemia, yang sering disertai dengan eritrosit berbintik basofilik. Dalam keadaan keracunan timbal akut terjadi anemia hemolitik, sedangkan pada keracunan timbal yang kronis terjadi anemia mikrositik hipokromik, hal ini karena menurunnya masa hidup eritrosit
Universitas Sumatera Utara
akibat interfensi logam timbal dalam sintesis hemoglobin dan juga terjadi peningkatan korproporfirin dalam urin. Disamping itu, seperti yang diungkapkan oleh National Board Honey 2005, salah satu kelebihan madu yaitu sebagai sumber antioksidan. Penelitian menunjukkan bahwa madu kaya akan antioksidan. Jumlah dan kandungan antioksidan sangat tergantung pada sumber nektarnya. Madu yang berwarna gelap (seperti madu manuka) terbukti memiliki kadar antioksidan yang lebih tinggi daripada madu yang berwarna terang (seperti madu akasia) (Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010).
Ekstrak fenol dari madu telah dibuktikan memberikan efek inhibisi kepada kerusakan okisidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas pada eritrosit. Selain itu, flavonoid dari kandungan madu juga menghambat hemolisis yang diakibatkan oleh radikal-radikal bebas tertentu. Efek proteksi dari madu dikarenakan flavonoid yang bersifat lipofilik berikatan dengan membran sel eritrosit, dan akan berfungsi sebagai pelindung terhadap radikal-radikal bebas (Blasa, 2007).
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan pembahasan yang telah diuraikan, penulis berkesimpulan bahwa: 1. Terjadi perbedaan jumlah erythrocyte basophilic stippling yang nyata pada kelompok kontrol yang hanya diberi air putih, dibandingkan dengan kelompok yang diberi paparan Pb. 2. Terjadi perbedaan yang bermakna jumlah erythrocyte basophilic stippling antara kelompok P1 yang diberi paparan Pb saja dan kelompok P2 yang diberi paparan Pb dan madu. 3. Jumlah erythrocyte basophilic stippling secara signifikan banyak dijumpai pada kelompok P1 yaitu mencit yang diberi paparan Pb. Pada kelompok P2 di mana selain dipapar Pb, mencit juga diberi madu, didapati jumlah erythrocyte basophilic stippling menurun secara bermakna. Hal tersebut membuktikan bahwa madu dapat menurunkan toksik Pb terhadap eritrosit yang berfungsi sebagai alat transportasi oksigen.
6.2. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan hewan uji spesies yang berbeda serta dengan jumlah yang lebih banyak sehingga hasil akan lebih signifikan. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemeriksaan hematologi lainnya, seperti pemeriksaan jumlah, volume ataupun enzim- enzim yang terdapat dalam eritrosit tersebut. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan dosis madu yang bervariasi dengan jumlah kelompok yang lebih banyak.
Universitas Sumatera Utara