Bab 3 Analisis Data
3.1 Tahap Persiapan Sebelum Melaksanakan Chanoyu Dalam melaksanakan chanoyu dibutuhkan sebuah persipan-persiapan kecil baik dari tuan rumah itu sendiri maupun tamu yang akan mengikuti chanoyu. Keduanya memerlukan persiapan dalam menghadiri chanoyu, persiapan seperti dari teishu (tuan rumah) itu sendiri yaitu menyiapkan tempat pelaksanaan serta peralatan-peralatan yang akan digunakan. Begitu juga dengan para tamu yang diundang ke dalam chanoyu, tentunya mereka harus melakukan serangkaian kegiatan persiapan sebelum mengikuti chanoyu. Pada sub bab Berikut ini saya akan konsep Zen pada persiapan yang dilakukan teishu sebelum melaksanakan chanoyu. 3.1.1. Analisis Prinsip Wa (Keharmonisan) Pada Persiapan yang Dilakukan Teishu Melalui Konsep Zen Sebelum Chanoyu Diselenggarakan Dalam persiapan sebelum chanoyu, teishu membersihkan roji baik sehari sebelum pelaksanaan chanoyu ataupun di hari pelaksanaan chanoyu. Gambar 3.1 Roji (Taman Pada Rumah Teh)
Sumber : http://www.hibiki-an.com/readings/japanese-tea-ceremony.html.
24
Menurut analisis saya terdapat prinsip wa (keharmonisan) pada saat teishu membersihkan roji. Wa adalah bagian dalam konsep Zen yang berperan penting di dalam chanoyu. Tujuan teishu membersihkan roji baik sehari sebelum pelaksanaan chanoyu ataupun di hari pelaksanaan chanoyu yaitu ingin membawa keharmonisasian antara manusia dengan alam, dan juga antara teishu dengan para tamu atau peserta chanoyu. Karena pada saat para tamu datang ke rumah teishu, mereka akan melewati roji yang akan memberi kesan bahwa tamu yang melewati roji (gambar 3.1) dapat menikmati suasana damai dan tenang di hati. Menurut Sadler (1998 : 19) roji adalah istilah yang dikenal sebagai taman pada rumah teh, roji memiliki arti “jalan embun” atau “daratan embun”. Ketika tamu menikmati secangkir teh pun sambil menikmati dan memuji keindahan taman dapat mempererat hubungan antara tuan rumah dengan para tamu. Selain itu, ketika teishu menata dan membersihkan chashitsu bagaimana ia memberikan suasana yang harmonis dengan alam yaitu membuat ruangan pada chashitsu menjadi tidak kering, agar udara di dalam ruangan chashitsu menjadi hangat. Pada gambar 3.1 merupakan bagian dari roji (jalan embun atau daratan embun) kesan yang ditampilkan pada gambar terlihat lembab atau selalu basah yang mana menimbulkan suasana damai dan tenang dalam roji. Di dalam roji pun juga menampilkan hubungan dengan alam seperti yang terlihat pada gambar di atas bahwa di dalam roji terdapat tanaman-tanaman hijau seperti sejenis pakis dan lumut. Pada dasarnya teishu ingin mendekatkan diri pada alam yaitu roji, maka teishu membersihkan roji dari daun-daun berguguran dan kotoran agar kebersihan alam tetap terjaga. Secara tidak langsung hal tersebut munjukkan adanya keharmonisan antara teishu sebagai manusia dengan alam, sesuai dengan konsep wa yang berarti keharmonisan. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Pettigrew (2007), yang mengatakan, bahwa wa 25
melambangkan keharmonisan. Seperti keharmonisan pada alam, teishu akan berusaha membawa keharmonisan ini ke dalam chashitsu (ruangan teh) dan taman di sekitar sukiya (rumah teh). 3.1.2 Analisis Prinsip Kei (Rasa Hormat) Pada Persiapan yang Dilakukan Teishu Melalui Konsep Zen Sebelum Chanoyu Diselenggarakan Dalam persiapan sebelum chanoyu teishu membersihkan kotoran-kotoran seperti debu pada peralatan-peralatan teh dan teishu membersihkan roji serta pada saat teishu menemui para tamu. Menurut analisis saya, terdapat prinsip kei (rasa hormat) ketika teishu menemui para tamu dengan memberikan hormat berupa membungkukan badan kepada para tamu yang memiliki arti adanya rasa saling hormat menghormati antara teishu dengan para tamu. Hubungan prinsip kei dengan konsep Zen adalah kei merupakan bagian dalam konsep Zen yang berperan penting di dalam chanoyu. Selain itu ketika teishui membersihkan kotoran-kotoran seperti debu pada peralatan-peralatan teh, ini menandakan bahwa adanya rasa hormat pada peralatan-peralatan yang akan digunakan dan juga pada saat teishu membersihkan roji menandakan bahwa ada rasa hormat kepada alam, sesuai dengan konsep sei yang berarti rasa hormat. Hal ini sesuai dengan pendapat Shoshitsu (1997:13) mengenai kei (rasa hormat) adalah kesungguhan hati yang melepaskan kita untuk membuka hubungan dengan lingkungan yang paling dekat, yakni sesama manusia dan alam, yang saling menghargai dengan sikap sopan santun satu sama lain. Rasa hormat menuntut struktur sosial dalam upacara teh, untuk saling menghormati satu sama lain di antara peserta, terutama melalui dasar etiket minum teh. Dalam pengertian luas, tanpa adanya rasa hormat dari penampilannya, prinsip ini menekankan kita untuk melihat lebih dalam lagi ke dalam hati semua orang yang kita jumpai dan segala sesuatu dalam lingkungan kita, yang kemudian hal tersebut, 26
kita sadari kekeluargaan dengan dunia di sekitar kita. Rasa hormat atas segala sesuatunya yang berasal dari rasa syukur yang tulus atas keberadaanya. Seseorang diwajibkan untuk mengerti perasaan setiap orang yang dijumpainya dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh keadaan di sekitarnya agar dengan demikian ia dapat memperlakukan sesamanya sebagai dirinya sendiri. 3.1.3 Analisis Prinsip Sei (Kemurnian) Pada Persiapan yang Dilakukan Teishu Melalui Konsep Zen Sebelum Chanoyu Diselenggarakan Pada bab ini saya akan menganalisis prinsip sei pada persiapan yang dilakukan teishu melalui konsep Zen sebelum chanoyu diselenggarakan. Gambar 3.2 Teishu Membersihkan Kedua Tangan dan Mulut Di Tsukubai
Sumber : http://www.artsmia.org/art-of-asia/architecture/japaneseDalam persiapan chanoyu, teishu membersihkan tangan dan mulutnya dengan air segar pada tsukubai seperti pada gambar 3.2. Teishu juga membersihkan debu pada chashitsu dan membersihkan roji dari daun-daun yang berguguran pada jalan setapak. Menurut analisis saya, prinsip sei (kemurnian) terdapat pada saat teishu membersihkan debu pada chashitsu dan pada gambar 3.2 dapat kita lihat teishu
27
membersihkan tangan dan mulutnya dengan air segar pada tsukubai. Keduanya menandakan pembersihan diri dari “debu dunia”, sehingga hati dan pikiran menjadi satu sama lain. Prinsip sei dapat kita lihat juga pada saat teishu membersihkan roji dari daundaun yang berguguran pada jalan setapak. Hal ini merupakan tindakan membersihkan hati dan pikiran ketika membersihkan roji di mana kita dapat merasakan hati dan pikiran yang damai dan tenang, serta ketika taman telah dibersihkan, jiwa dan hati menjadi suci atau murni. Analisis tersebut sesuai dengan yang tertulis di dalam konsep sei yaitu yang diungkapkan oleh Shoshitsu (1997:14) mengenai sei (kemurnian) yaitu, melalui tindakan yang sederhana dalam pembersihan merupakan bagian yang terpenting dari chanoyu, baik dalam persiapan sebelumnya, menyajikan teh yang sesungguhnya dan setelah para tamu pergi, membereskan kembali peralatan teh, serta pada saat penutupan akhir dari ruang teh. Tindakan seperti membersihkan debu pada ruangan dan membersihkan daundaun yang berguguran dari jalan setapak pada taman dan semuanya merupakan tindakan pembersihan “debu keduniawian” atau penambahan secara lisan, dari hati dan pikiran menjadi satu. Sei
yang berarti kemurnian juga menyiratkan baik kebersihan
keduniawian maupun kebersihan jiwa. Seseorang harus menghapuskan “debu keduniawian” dari hati dan pikirannya agar setelah ia menyampingkan kepentingan material itu ia mampu melihat manusia dan benda dalam keadaan yang sesungguhnya. “Sei”adalah bagian dalam konsep Zen yang berperan penting di dalam chanoyu. Membersihkan dalam Zen merupakan bagian terpenting guna menyucikan hati dan pikiran kita menuju jalan pencerahan. Sei juga diungkapkan oleh Suzuki (1991 : 281) bahwa, “Kemurnian”, dinilai sebagai perolehan jiwa dari seni minum teh, yang mungkin bisa dikatakan menjadi kontribusi dari mentalitas orang Jepang. Kemurnian adalah kebersihan atau terkadang sesuatu yang rapi yang nampak pada segala sesuatu dan 28
segala tempat memperhatikan seni. Air segar merupakan air yang digunakan dengan bebas dalam taman (roji), dalam hal ini keadaan yang alamiah dari air yang mengalir tidak ada, di sana terdapat batu penampung air, yang diisi dengan air, yang dekat dengan rumah teh, di mana kealamian tetap dijaga bersih dan bebas dari debu dan kotoran.
3.2 Tahap Persiapan yang Dilakukan Tamu Sebelum Chanoyu Diselenggarakan Sebelum melaksanakan chanoyu bukan teishu saja yang membutuhkan persiapan, tamu juga membutuhkan persiapan. Pada sub berikut ini, saya akan menganalisis terdapatnya konsep Zen pada persiapan bagi tamu sebelum melakukan aktifitas dalam Chanoyu. 3.2.1 Analisis Prinsip Kei (Rasa Hormat) Pada Hal-Hal yang Dilakukan Tamu Melalui Konsep Zen Sebelum Chanoyu Diselenggarakan. Dalam persiapan bagi tamu sebelum melaksanakan aktifitas dalam chanoyu, tamu memberikan hormat kepada teishu ketika teishu menemui tamu dan pada saat tamu memasuki chashitsu. Menurut analisis saya, prinsip kei (rasa hormat) terdapat pada saat ketika para tamu bertemu dengan teishu di mana mereka saling membungkukkan badan mereka satu sama lain ini menandakan bahwa mereka saling hormat menghormati, seperti yang terlihat pada gambar 3.3 di bawah ini. Gambar 3.3 Teishu (Tuan Rumah) Menyambut Para Tamu
Sumber : Chanoyu The Urasenke Tradition of Tea (1988) 29
Adanya rasa saling hormat menghormati tidak hanya dapat kita lihat pada gambar 3.2 yakni saat para tamu membungkukkan badan mereka ketika bertemu teishu. Rasa saling hormat menghormati dapat kita lihat juga antara tamu yang satu dengan tamu yang lain pada saat mereka memasuki chashitsu dengan melewati sebuah pintu yang ukurannya sangat rendah dan kecil yang disebut nijiriguchi. Di mana mereka harus membungkukan kepala dan badan mereka untuk dapat melaluinya, yang bertujuan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama dalam teh, terlepas dari status maupun kedudukan sosial, oleh karena itu diantara para tamu memiliki rasa hormat satu sama lain, seperti yang terlihat pada gambar 3.4 di bawah ini. Gambar 3.4 Tamu Memasuki Chashitsu (Ruangan Teh) Melalui Nijiriguchi.
http://www.artsmia.org/art-of-asia/architecture/japanese-
Hal tersebut sesuai dengan Pettigrew (2007), yang mengungkapkan bahwa kei, melambangkan rasa hormat. Para tamu harus menghormati segala sesuatu, segala hal tanpa melibatkan status atau posisi mereka dalam kehidupan. Mereka harus merangkak 30
melalui pintu masuk kecil yang dinamakan nijiriguchi untuk dapat masuk ke dalam ruangan. Kei adalah bagian dari konsep Zen yang memiliki peran penting di dalam chanoyu. Kei menurut Shoshitsu (1997 : 13) adalah kesungguhan hati di mana melepaskan kita untuk membuka hubungan dengan lingkungan yang paling dekat, sesama manusia dan alam. Di mana saling menghargai dengan sikap sopan santun satu sama lain. Rasa hormat menuntut struktur sosial dalam upacara teh, untuk saling menghormati satu sama lain di antara peserta, terutama melalui dasar etiket minum teh. Dalam pengertian luas, tanpa adanya rasa hormat dari penampilannya, prinsip ini menekankan kita untuk melihat lebih dalam lagi ke dalam hati semua orang yang kita jumpai dan segala sesuatu dalam lingkungan kita. Yang kemudian hal tersebut, kita sadari sebagai kekeluargaan dengan dunia di sekitar kita. Rasa hormat atas segala sesuatu yang berasal dari rasa syukur
yang tulus atas keberadaanya. Seseorang
diwajibkan untuk mengerti perasaan setiap orang yang dijumpainya dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh keadaan di sekitarnya agar demikian ia dapat memperlakukan sesamanya sebagai dirinya sendiri. 3.2.2 Analisis Prinsip Sei (Kemurnian) Pada Hal-Hal yang Dilakukan Tamu Melalui Konsep Zen Sebelum Chanoyu Diselenggarakan Dalam persiapan bagi tamu sebelum melaksanakan aktifitas dalam chanoyu, hanto memerciki tamu saat melewati roji dengan air. Kemudian pada saat tamu akan masuk ke dalam chashitsu, sebelumnya mereka menyucikan diri mereka dengan membersihkan kedua tangan dan mulut mereka dengan air segar yang berada di tsukubai seperti pada gambar 3.5. Setelah itu mereka memasuki chashitsu dengan merangkak masuk melewati nijiriguchi.
31
Gambar 3.5 Tamu Membersihkan Mulut Dan Kedua Tangan di Tsukubai (Batu Penampung Air)
Sumber : Chanoyu The Urasenke Tradition of Tea (1988)
Menurut analisa saya, prinsip sei (kemurnian) terdapat pada saat hanto memerciki tamu saat melewati roji dengan air. Sei adalah bagian dari konsep Zen yang berperan penting dalam chanoyu Kemudian pada saat tamu akan masuk ke dalam chashitsu, sebelumnya mereka menyucikan diri mereka dengan membersihkan kedua tangan dan mulut mereka dengan air segar yang berada di tsukubai seperti pada gambar 3.5. Juga pada saat mereka memasuki chashitsu dengan merangkak melewati nijiriguchi. Tujuan dari rangkaian di atas dapat saya analisis yakni ketika mereka diperciki air pada waktu di roji oleh hanto, bertujuan untuk membersihkan tamu agar suci dari “debu” dunia fana, dan agar para tamu masuk ke dalam dunia spiritual teh, sehingga ketika mereka berada di dalam ruangan teh para tamu harus jauh dari kehidupan sehari-hari mereka, tidak boleh membicarakan keduniawian seperti masalah politik, negara, bahkan kehidupan mereka. Ketika mereka sudah berada dalam dunia spiritual teh mereka hanya boleh 32
mebicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan seni dalam teh. Seperti yang di ungkapkan oleh Pettigrew (2007) mengenai sei yaitu melambangkan kesucian. Merangkak ke dalam ruang teh, berarti bahwa seseorang meninggalkan segala pikiran dan kegelisahan dari kehidupan sehari-hari. Ruang teh merupakan dunia yang berbeda di mana seseorang dapat menghayati kembali, secara perlahan dan menikmati kehadiran teman-teman. Hal mengenai sei juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Shoshitsu (1997 : 14), yang mengatakan tentang sei (kemurnian), yakni melalui tindakan yang sederhana dalam pembersihan adalah bagian yang terpenting dari upacara minum teh, baik dalam persiapan sebelumnya, menyajikan teh yang sesungguhnya dan setelah para tamu pergi, membereskan kembali peralatan teh, serta pada saat penutupan akhir dari ruang teh. Tindakan seperti membersihkan debu pada ruangan dan membersihkan daundaun yang berguguran dari jalan setapak pada taman dan semuanya merupakan tindakan pembersihan “debu keduniawian” atau penambahan secara lisan, dari hati dan pikiran menjadi satu. 3.2.3 Analisis Prinsip Jaku (Ketenangan) Pada Hal-Hal yang Dilakukan Tamu Melalui Konsep Zen Sebelum Chanoyu Diselenggarakan Dalam persiapan bagi tamu sebelum melaksanakan aktifitas dalam chanoyu, teishu melewati roji. Menurut analisis saya prinsip jaku (ketenangan) terdapat ketika tamu melewati roji. Saat tamu melewati roji, tamu secara tidak langsung telah menjalani ketiga prinsip (keharmonisan, rasa hormat, dan kemurnian), keharmonisan antar tamu dengan alam di sekitar roji, rasa hormat untuk menghargai dunia dan alam, dan kemurnian dengan memerciki tamu dengan air untuk membersihkan tamu dari “debu duniawi”. Dengan menjalani ketiga prinsip tersebut maka tamu dapat merasakan ketenangan saat melewati roji. Jaku adalah bagian dari Zen yang berperan penting di 33
dalam chanoyu. Melangkah dengan tidak tergesa-gesa saat menuju taman roji memancarkan esensi ketenangan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pettigrew (2007) mengenai jaku yaitu melambangkan ketenangan. Hanya setelah tiga konsep pertama (keharmonisan, rasa hormat dan kemurnian), ditemukan, dialami dan dicakupi seseorang akhirnya dapat mewujudkan ketenangan.
3.3 Tahap Pelaksanaan Chanoyu di Dalam Chashitsu Setelah teishu dan tamu selesai mempersiapkan segala sesuatu dalam chanoyu, mereka siap untuk melaksanakan chanoyu yang akan dilakukan dalam chashitsu. Pada sub bab Berikut ini saya akan menganalisis konsep Zen dalam chanoyu pada aktivitas yang dilakukan dalam chasitsu. 3.3.1 Analisis Prinsip Wa (Keharmonisan) Pada Aktivitas Chanoyu di Dalam Chashitsu Melalui Konsep Zen Menurut analisis saya terdapat konsep wa pada saat chanoyu diselenggarakan di dalam chashitsu. Wa adalah bagian dari Zen yang berperan penting di dalam chanoyu. Aktivitas yang dilakukan oleh tamu dan teishu di dalam chashitsu, yakni ketika teishu menyajikan kaiseki untuk para tamu, makanan yang disajikan disesuaikan dengan musim pada saat itu. Pada saat teishu mempersiapkan peralatan untuk dipamerkan kepada tamu, menurut analisis saya terdapat prinsip wa (keharmonisan) pada saat teishu menyajikan kaiseki untuk para tamu, yakni pada saat itu makanan yang disajikan disesuaikan dengan musim pada saat pelaksanaan chanoyu, tujuannya agar makanan yang disajikan seirama dengan alam. Kemudian pada saat teishu mempersiapkan peralatan minum teh untuk diperlihatkan atau dipamerkan kepada para tamu. Selain itu wa (keharmonisan) juga
34
terdapat pada cara teishu menyelaraskan peralatan yang digunakan dengan mengikuti irama dari alam. Seperti pada mangkuk teh jika chanoyu dilaksanakan pada saat musim panas mangkuk yang digunakan berukuran pendek agar teh yang disajikan sedikit dingin, sedangkan pada musim dingin mangkuk teh yang digunakan agak tinggi agar kehangatan teh tetap terjaga dan tidak cepat dingin. Warna yang ditampilkan juga sangat sederhana diselaraskan dengan alam yaitu tidak terlalu menyolok, terlihat tua namun tetap indah dan anggun, biasanya warna yang digunakan pada mangkuk teh berwaran coklat, hitam, atau pun putih sedangkan gambar yang digunakan disesuaikan dengan musim atau seirama dengan alam. Pada saat teishu menyambut tamu di dalam chashitsu dan melayani tamu baik pada saat menyajikan kaiseki dan teh, terdapat hubungan interaksi yang terjalin antara teishu dan tamu, segala keharmonisan dapat terjadi di dalam chashitsu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Shoshitsu (1997 : 13), wa (keharmonisan) adalah hasil dari hubungan interaksi antara tuan rumah dan tamu, makanan yang disajikan dan peralatan yang digunakan mengikuti irama dari alam. Hal tersebut menggambarkan dengan melenyapkan semua hal yang tidak berubah menuju pada suatu perubahan. Tuan rumah berinteraksi dengan para tamu, keduanya saling memikirkan satu sama lain sebagaimana jika berada dalam posisi sebaliknya. Sebelum teh dihidangkan, tuan rumah akan menawarkan sesuatu yang manis kepada para tamu atau kaiseki. Apa yang dihidangkan harus sesuai dengan musim pada saat itu. Peralatan harus selaras dengan satu sama lain antara suasana hati dan tema dari upacara teh tersebut. Pendekatan terhadap alam memusatkan perhatian kita lebih lanjut terhadap kualitas upacara minum teh. Prinsip dari keharmonian memiliki arti bebas dari keinginan menjalani kehidupan dengan tidak berlebihan dan tidak pernah melupakan untuk menjaga sikap rendah hati. Wa berarti keserasian atau keharmonisan, keserasian di 35
antara sesama manusia, antara manusia dengan alam dan keserasian peralatana minum teh dengan cara penggunaanya. Pendapat lain mengenai wa juga diungkapkan oleh Pettigrew (2007) yang mengatakan bahwa, Wa, melambangkan keharmonisan. Seperti keharmonisan pada alam, teishu akan berusaha membawa keharmonisan ini ke dalam chashitsu (ruangan teh) dan taman di sekitar sukiya (rumah teh). Peralatan yang digunakan saat upacara minum teh bersifat harmonis satu sama lain, jadi tema pada ruangan teh disesuaikan dengan warna peralatan. Taman teh harus diperluas dengan tanaman alam yang mengelilinginya. 3.3.2 Analisis Prinsip Kei (Rasa Hormat) Pada Aktivitas Chanoyu di Dalam Chashitsu Melalui Konsep Zen Dalam aktivitas yang dilakukan oleh tamu dan teishu di dalam chashitsu, tamu masuk ke dalam chashitsu dengan merangkak melewati nijiriguchi kemudian tamu mengagumi lukisan gulung atau lukisan gantung yang tergantung pada tokonoma dengan berlutut sambil membungkukan badan mereka., Lalu mereka memuji ketel dan juga perapian. Menurut analisis saya, terdapat prinsip kei (rasa hormat) pada saat tamu merangkak masuk melewati nijiriguchi lalu menuju tokonoma yang terdapat gulungan kaligrafi atau lukisan beserta rangkaian ikebana yang kemudian tamu mengagumi lukisan gulung dan ikebana dengan membungkukan badan mereka. Karena gulungangulungan kaligrafi dan lukisan gantung tersebut melambangkan jiwa para penciptanya, sehingga para tamu di dalam chanoyu menghormati mereka dengan membungkukan badan mereka. Setelah itu tamu mengamati dan memuji ketel dan juga perapian, kemudian para tamu duduk di tempat masing-masing dan selanjutnya setelah teishu duduk, pertukaran salam pun dilakukan. Pertama antara teishu dengan tamu utama, kemudian teishu dengan tamu lainnya. Hal tersebut menandakan adanya keinginan untuk 36
membuka rasa hormat dengan sesama manusia tanpa melibatkan status sosial mereka, karena ketika sudah berada di dalam chashitsu status dan kedudukan sosial manusia sederajat atau memiliki kedudukan yang sama dalam teh. Ketika teishu memberikan teh pada saat chanoyu kepada tamu, tamu membungkukan badannya setelah itu mangkuk yang sudah ia terima kemudian diangkat dan diputar di dalam tangan sambil mengagumi mangkuk teh tersebut, dan dengan segera tamu meminum teh itu dengan mengeluarkan suara sebagai tanda bahwa tamu menghormati teishu atas teh yang sudah dibuat dan disajikan untuknya. Seperti yang diungkapkan oleh Pettigrew (2007) mengenai kei bahwa, kei, melambangkan kehormatan. Para tamu harus menghormati segala sesuatu, segala hal tanpa melibatkan status atau posisi mereka dalam kehidupan. Mereka harus merangkak melalui pintu masuk kecil yang disebut nijiriguchi untuk dapat masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan tersebut mereka akan berlutut dan membungkuk pada gulungan yang tergantung, mereka akan duduk berhadapan satu sama lain dalam posisi seiza di atas tatami. Rasa hormat yang diperlihatkan dengan memegang dan mengamati mangkuk teh dan benda lain secara hati-hati pada saat haiken. Pendapat lain menurut Shoshitsu (1997 : 13), kei (rasa hormat) adalah kesungguhan hati yang melepaskan kita untuk membuka hubungan dengan lingkungan yang paling dekat, yakni sesama manusia dan alam, yang saling menghargai dengan sikap sopan santun satu sama lain. Rasa hormat menuntut struktur sosial dalam upacara teh, untuk saling menghormati satu sama lain di antara peserta, terutama melalui dasar etiket minum teh. Kei adalah bagian dari Zen yang berperan penting di dalam chanoyu. Dalam pengertian luas, tanpa adanya rasa hormat dari penampilannya, prinsip ini menekankan kita untuk melihat lebih dalam lagi ke dalam hati semua orang yang kita jumpai dan segala sesuatu dalam lingkungan kita, yang kemudian hal tersebut, kita sadari 37
kekeluargaan dengan dunia di sekitar kita. Rasa hormat atas segala sesuatunya yang berasal dari rasa syukur yang tulus atas keberadaanya. Seseorang diwajibkan untuk mengerti perasaan setiap orang yang dijumpainya dan memperhatikan dengan sungguhsungguh keadaan di sekitarnya agar dengan demikian ia dapat memperlakukan sesamanya sebagai dirinya sendiri. 3.3.3 Analisis Prinsip Sei (Kemurnian) Pada Aktivitas Chanoyu di Dalam Chashitsu Melalui konsep Zen Menurut analisis saya terdapat prisip sei pada aktivitas yang dilakukan oleh tamu dan teishu di dalam chashitsu. Sei adalah bagian dari konsep Zen yang berperan penting di dalam chanoyu. Tamu harus masuk ke dalam chashitsu melalui nijiriguchi dengan cara membungkuk dan merangkak untuk bisa melalui pintu tersebut. Ketika tamu keluar dari chashitsu untuk melanjutkan chanoyu yang sesungguhnya sambil menunggu teishu membereskan dan membersihkan chashitsu, tamu keluar sebentar hingga teishu membunyikan dora (gong) untuk memberitahukan kepada tamu bahwa mereka bisa masuk kembali ke dalam chashitsu. Sebelum masuk tamu diwajibkan untuk membersihkan diri lagi dengan membersihkan mulut dan kedua tangan mereka pada tsukubai, baru setelah itu masuk ke dalam chashitsu. Kemudian teishu membersihkan peralatan teh dan pada saat itu juga tamu membersihkan pinggiran mangkuk teh bekas ia minum. Menurut analisis saya, terdapat prinsip sei saat melaksanakan chanoyu di dalam chashitsu yaitu pada saat teishu membersihkan kembali chashitsu untuk melanjutkan ke ritual chanoyu yang sebenarnya, tujuannya adalah membersihkan debu duniawi untuk kembali ke dunia spiritual teh, lalu pada saat teishu membersihkan peralatan teh, dapat kita lihat bahwa apa yang dilakukan oleh teishu memiliki sikap murni. Prinsip sei bisa dilihat pada saat tamu masuk ke dalam chashitsu pertama kali melalui nijiriguchi 38
dengan merangkak dan membungkukkan badan mereka. Tujuannya agar seseorang meninggalkan segala pikiran dan kegelisahannya dari kehidupan sehari-hari, membersihkan diri dari keduniawian maupun kebersihan jiwa. Ini berarti ketika seseorang berada di dalam chashitsu, pada saat ingin melakukan chanoyu diwajibkan agar orang tersebut tidak memikirkan hal-hal keduniawian baik permasalahan di dalam kehidupan sehari-hari maupun di sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pettigrew (2007) bahwa sei, melambangkan kesucian. Merangkak ke dalam ruang teh, berarti bahwa seseorang meninggalkan segala pikiran dan kegelisahan dari kehidupan sehari-hari. Ruang teh merupakan dunia yang berbeda di mana seseorang dapat menghayati kembali, secara perlahan dan menikmati kehadiran teman-teman. Sikap murni diperoleh dari ritual membersihkan chawan, natsume, chasaku dan kensui secara ringan oleh tuan rumah. Bisa dikatakan bahwa di saat kita melaksanakan chanoyu, kita berada di dalam sebuah ritual yang dipisahkan dari kehidupan sehari. 3.3.4 Analisis Prinsip Jaku (Ketenangan) Pada Aktivitas Chanoyu di Dalam Chashitsu Melalui konsep Zen Menurut analisis saya terdapat konsep jaku pada aktivitas di dalam chashitsu, yakni pada saat teishu mempersiapkan kaiseki untuk tamu, teishu mempersiapkan kaiseki dengan tenang, kemudian pada saat tamu berada dalam chashitsu, tamu bersikap dengan tenang ditambah dengan suasana pada saat di dalam chashitsu yang membawa suasana yang memenuhi aspek dari ketiga prinsip wa-kei-sei (keharmonisan, rasa hormat dan kemurnian) mampu menghasilkan prinsip jaku. Jaku adalah bagian dari Zen yang berperan penting di dalam chanoyu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Shoshitsu (1997 : 14) mengenai jaku (ketenangan), adalah konsep estetika khusus dalam upacara teh, dengan melaksanakan ke-tiga prinsip utama yaitu keharmonian, rasa hormat, dan 39
kemurnian di dalam kehidupan kita sehari-hari secara terus menerus, seseorang dapat mewujudkan ketenangan. Dengan menikmati teh sambil duduk seorang diri, dan merasakan jauh dari dunia, menyatu dengan irama alam bebas, bebas dari kebutuhan material dan kenyamanan fisik, peka terhadap kesucian dari segala sesuatu yang terdapat di sekitarnya, seseorang tersebut membuat dan menikmati teh dengan berpikir untuk mencapai keadaan yang mulia maka akan memperoleh suatu ketenangan. Tapi, anehnya ketenangan muncul bahkan bertambah apabila orang lain yang memasuki mikro kosmos (dunia kecil) ruangan teh itu ikut merenungkan keadaan tersebut sambil menikmati teh bersama-sama. Sungguh suatu hal yang berlawanan bahwa kita dapat memperoleh ketenangan dalam diri kita justru pada saat orang lain berada bersama kita. 3.3.5 Analisis Prinsip Wabi Sabi Pada Aktivitas Chanoyu di Dalam Chashitsu Melalui konsep Zen Dalam aktivitas di dalam chashitsu terdapat prinsip wabi sabi. Menurut analisis saya yaitu terdapat prinsip wabi sabi pada saat ketika tamu berada dalam chashitsu. Wabi sabi adalah elemen-elemen yang berperan dalam apresiasi Zen. Ketika tamu berada dalam chashitsu mereka melepas dan tidak memikirkan hal-hal keduniwian, mereka hanyalah ingin merasa mendapatkan sebuah ketenangan dan bebas dari hal-hal keduniawian. Pada sub bab sebelumnya saya menganalisis bahwa dalam aktivitas di dalam chashitsu terdapat prinsip jaku. Sedangkan jaku sendiri berkaitan erat dengan wabi sabi, khususnya prinsip sabi, seperti yang diungkapkan Suzuki (1991 : 284), bahwa hubungan “ketenangan” sebagai elemen yang keempat membangkitkan jiwa atau semangat dalam seni teh, yang dalam karakter Cina adalah chi atau jaku dalam bahasa Jepang. Jaku adalah sabi. Akan tetapi sabi mengandung makna lebih dari sekedar “ketenangan”. Dapat dikatakan bahwa makna sabi yang sesungguhnya adalah 40
“ketenangan”, “kedamaian”, “ketentraman” dan jaku lebih sering digunakan dalam kesusasteraan agama Buddha yang merupakan “kematian” atau “nirwana”. Dalam hubungan
yang
dipergunakan
pada
seni
teh,
jaku
berbarti
“kemiskinan”,
“kesederhanaan”, dan “kesendirian”. Hal ini berarti sabi memiliki makna yang sama dengan wabi. Wabi dan sabi berasal dari Zen yang menonjolkan kesederhanaan yang mengungkapkan kerendahan hati. Pendapat Kamakura dan Varley (1989) tentang sabi adalah kata sabi berasal dari kata sabu sebagai kata kerja, sabishii sebagai kata sifat yang berarti sepi dan tenang, dan arti dalam kehidupan manusia ialah ketenangan yang ingin dicapai oleh orang-orang yang sudah meninggalkan kehidupan dan hal-hal keduniawian. Dasar pemikiran sabi adalah ketenangan dan kesepian yang diungkapkan dalam bidang kesenian. Sabi banyak diungkapkan dan berkembang di dalam waka, renga, noh, haiku dan chanoyu. Dalam perkembanganya wabi sabi dipakai secara bersama-sama dan saling berkaitan. Kemudian menurut analisis saya, prinsip wabi sabi juga terlihat pada peralatan teh yang digunakan. Pada mangkuk teh, warna yang ditampilkan juga sangat sederhana diselaraskan dengan alam yaitu tidak terlalu mencolok, terlihat tua namun tetap indah dan anggun, corak pada mangkuk teh juga disesuaikan dengan tema pada ruangan dan musim dan biasanya yang ditampilkan penuh dengan kesederhanaan dan keindahan. Hal tersebut diungkapkan oleh Abercrombie (2001 : 125) bahwa, “Wabi”, adalah prinsip kesunyian, pengendalian, kesegaran, dan sesuatu yang baru, dan “Sabi” sebagai pelengkap prinsip dari kecantikan yang ditemukan pada sesuatu yang sudah berusia dan agung. Keduanya dapat mencapai keseimbangan harmonisasi di dalam lingkungan kita yang dapat kita lihat pada alam.
41
3.4 Tahap Penyelesaian chanoyu Setelah melaksanakan inti dari chanoyu yaitu melaksanakan chanoyu yang sesungguhnya, teishu dan tamu akan melanjutkan pada tahap akhir pelaksanaan chanoyu. Pada sub bab Berikut ini saya akan menganalisis konsep Zen dalam mengakhiri chanoyu. 3.4.1 Analisis Prinsip Kei (Rasa Hormat) Pada Saat Mengakhiri Chanoyu Melalui Konsep Zen Dalam mengakhiri rangkaian chanoyu menurut analisis saya, prinsip kei terdapat pada saat tamu akan pulang, mereka mengucapkan terima kasih dan membungkukkan badan kepada teishu, kemudian sebelum keluar dari chashitsu tamu kembali berlutut sambil membungkukkan badan mereka di depan tokonoma, tujuannya bersyukur atas ritual chanoyu guna mencapai dunia spiritual teh. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Shoshitsu (1997 : 13), bahwa kei (rasa hormat) adalah kesungguhan hati di mana melepaskan kita untuk membuka hubungan dengan lingkungan yang paling dekat, sesama manusia dan alam. Di mana saling menghargai dengan sikap sopan santun satu sama lain. Rasa hormat menuntut struktur sosial dalam upacara teh, untuk saling menghormati satu sama lain di antara peserta, terutama melalui dasar etiket minum teh. Dalam pengertian luas, tanpa adanya rasa hormat dari penampilannya, prinsip ini menekankan kita untuk melihat lebih dalam lagi ke dalam hati semua orang yang kita jumpai dan segala sesuatu dalam lingkungan kita. Yang kemudian hal tersebut, kita sadari kekeluargaan dengan dunia di sekitar kita. Rasa hormat atas segala sesuatunya yang berasal dari rasa syukur yang tulus atas keberadaanya. Seseorang diwajibkan untuk mengerti perasaan setiap orang yang dijumpainya dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh keadaan disekitarnya agar dengan demikian ia dapat memperlakukan
42
sesamanya sebagai dirinya sendiri. Kei adalah bagian dari Zen yang berperan penting di dalam chanoyu. 3.4.2 Analisis Prinsip Sei (Kemurnian) Pada Saat Mengakhiri Chanoyu Melalui Konsep Zen Dalam mengakhiri rangkaian chanoyu menurut analisis saya, prinsip sei terdapat pada saat teishu membersihkan mengkuk-mangkuk teh untuk dibersihkan hingga bersih. Chasaku (sendok teh) dibasuh, dan ketel ditambah isinya. Setelah teko teh dan sendok teh dibersihkan, para tamu dipersilahkan untuk memeriksa kebersihannya. Menurut Shoshitsu (1997 : 14), mengenai sei (kemurnian), adalah tindakan sederhana dalam pembersihan yang merupakan bagian terpenting dari upacara minum teh, baik dalam persiapan sebelumnya, menyajikan teh yang sesungguhnya dan setelah para tamu pergi, membereskan kembali peralatan teh, serta pada saat penutupan akhir dari ruang teh. Sei menyiratkan baik kebersihan keduniawian maupun kebersihan jiwa. Sei adalah bagian dari Zen yang berperan penting di dalam chanoyu.
43