BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori agensi (agency theory) merupakan dasar yang digunakan perusahaan untuk memahami good corporate governance. Hal yang dibahas dalam teori ini adalah hubungan antara principal (pemilik dan pemegang saham) dan agent (manajemen) menurut (Jensen Mecling dalam Santoso, 2014). Teori keagenan (Agency Theory), hubungan agen muncul ketika satu orang atau lebih memperkerjakan orang lain untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Baik principal dan agent merupakan pemaksimum kesejahteraan diri sendiri, sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik principal (Jensen and meckling dalam Widyasaputri, 2012). Inti dari hubungan keagenan adalah terdapat pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Pandangan teori keagenan bahwa terdapat pemisahan antara pihak agent dan principal mengakibatkan munculnya potensi konflik yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan (Bodroastutik, 2009). Menurut Hanifah (2013) Salah satu penyebab agency problem adalah adanya asymmetric information. Terdapat 2 permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya asimetri informasi tersebut, yaitu adverse selection dan moral hazard. Moral hazard yaitu
permasalahan yang muncul jika agent tidak melaksanakan hal–hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja. Adverse selection yaitu suatu keadaan dimana principal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agent benar–benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai kelalaian dalam tugas. Agency theory memberikan penjelasan mengenai dasar perlunya praktek pengungkapan laporan keuangan oleh manajemen kepada pemegang saham dan investor, dimana teori ini merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara pihak principal dan agent. Dalam hubungan agency, manajer sebagai pengelola perusahaan memiliki akses langsung terhadap informasi internal perusahaan dan lebih mengetahui prospek perusahaan dimasa yang akan datang dibandingkan principal, oleh karena itu sebagai pengelola, manager berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada principal. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan, akan tetapi laporan informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris. Asimetris informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibandingkan pihak lain. Pengelolaan
perusahaan
harus
diawasi
dan
dikendalikan
untuk
memperkecil asimetris informasi dan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai agency cost yang
menurut teori agency adalah biaya yang mencakup pengeluaran untuk pengawasan oleh pemegang saham dan biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang indepent dan pengendalian internal serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk bonding expenditure yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menselaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Salah satu cara mengurangi konflik antara agent dan principal ini adalah melalui pengungkapan informasi oleh manajemen (agent), dimana sejalan dengan berkembangnya isu mengenai good corporate governance. Good corporate governance merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan. Dengan demikian diharapkan agen dapat bekerja memenuhi permintaan dari principal. Dan hal ini akan meningkatkan perhatian terhadap masalah pengungkapan pada aspek good corporate governance suatu perusahaan. 2.1.2 Financial Distress Kondisi financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan perusahaan yang terjadi sebelum kebangkrutan atau likuidasi (Platt dan Platt dalam Aini, 2012). Menurut Almilia dan Emanuel (2003) mendefinisikan kondisi financial distress sebagai suatu kondisi dimana perusahaan mengalami delisted akibat laba bersih dan nilai buku ekuitas negative berturut – turut serta perusahaan tersebut telah di merger. Menurut Brigham dan Gapenski (dalam Aini, 2012) menyatakan bahwa terdapat berbagai tipe kesulitan keuangan yaitu :
1. Economic failure Economic failure atau kegagalan ekonomi adalah keadaan dimana pendapatan perusahaan tidak dapat memenuhi total biaya, termasuk biaya modalnya. Bisnis ini dapat melanjutkan operasinya sepanjang kreditur mau menyediakan modal dan pemiliknya mau menerima tingkat pengembalian (rate of return) dibawah pasar. Meskipun tidak ada suntikan modal baru saat aset tua sudah harus diganti, perusahaan dapat juga menjadi sehat secara ekonomi. 2. Business failure Kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang menghentikan operasi dengan akibat beban hutang yang terlalu tinggi kepada kreditur yang menyebabkan kerugian. 3. Technical insolvency Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan technical insolvency jika tidak dapat memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh tempo. Ketidakmampuan membayar hutang secara teknis menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, yang jika diberi waktu, perusahaan mungkin dapat membayar hutangnya dan survive. Disisi lain, jika technical insolvency adalah gejala awal kegagalan ekonomi, ini mungkin menjadi perhentian pertama menuju bencana keuangan. 4. Insolvency in bankruptcy Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan insolvent in bankruptcy jika nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset. Kondisi ini lebih serius daripada technical insolvency karena umumnya ini adalah tanda economic failure, dan
bahkan mengarah kepada likuidasi bisnis. Perusahaan yang dalam keadaan insolvent in bankruptcy tidak perlu terlibat dalam tuntutan kebangkrutan secara hukum. 5. Legal bankruptcy Perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika telah diajukan tuntutan secara resmi dengan undang–undang. Menurut Almilia (dalam Triwahyuningtyas, 2012) prediksi distress
pada
financial
umumnya dilakukan oleh pihak eksternal maupun internal
perusahaan, seperti: 1. Pemberi pinjaman, kaitannya adalah dalam pengambilan keputusan apakah akan memberikan suatu pinjaman dan menentukan kebijakan untuk mengawasi pinjaman yang telah diberikan. 2. Investor, model prediksi financial distress dapat membantu investor ketika akan menilai kemungkinan masalah suatu perusahaan dalam melakukan pembayaran pokok dan bunga. 3. Pembuat
peraturan.
Lembaga
regulator
mempunyai
tanggung
jawab
mengawasi kesanggupan membayar hutang dan menstabilkan perusahaan individu, oleh karena itu diperlukan model prediksi financial
distress untuk
mengetahui kesanggupan perusahaan membayar hutang dan menilai stabilitas perusahaan. 4. Pemerintah, prediksi financial distress juga penting bagi pemerintah dalam antritrust regulation.
5. Auditor, model prediksi financial distress dapat menjadi alat yang berguna bagi auditor dalam membuat penilaian going concern suatu perusahaan. 6. Manajemen, apabila perusahaan mengalami
kebangkrutan maka
perusahaan akan menanggung biaya langsung (fee akuntan dan biaya pengacara) dan biaya tidak langsung (kerugian penjualan atau kerugian paksa akibat
ketetapan pengadilan). Sehingga dengan adanya model prediksi
financial distress diharapkan perusahaan dapat menghindari kebangkrutan dan otomatis juga dapat menghindari biaya langsung dan tidak langsung dari kebangkrutan. Menurut Platt dan Platt (dalam
Santoso, 2014) meyatakan kegunaan
informasi jika suatu perusahaan mengalami financial distress antara lain: 1. Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelum terjadinya kebangkrutan. 2. Pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau takeover agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan lebih baik. 3. Memberikan tanda peringatan awal adanya kebangkrutan pada masa yang akan datang. 2.1.3 Penyebab Financial Distress Salah satu penyebab terjadinya financial distress menurut Fachrudin (dalam Hadi, 2014) penyebab utamanya adalah faktor ekonomi (37%) dan faktor keuangan (47,3%), selain itu disebabkan oleh kelalaian, malapetaka, dan kecurangan yaitu sebanyak (14%). Faktor ekonomi meliputi kelemahan industri,
dan lokasi yang buruk, faktor keuangan meliputi hutang yang terlalu banyak dan modal yang tidak memadahi. Pentingnya faktor-faktor yang berbeda ini dari waktu kewaktu, bergantung beberapa hal seperti keadaan ekonomi, dan tingkat suku bunga. Kebanyakan kegagalan bisnis karena kombinasi sejumlah faktor yang membuat bisnis tidak dapat bertahan. Fachrudin (dalam Hadi, 2014) mengatakan bahwa kesulitan keuangan terjadi karena akibat economic distress, penurunan dalam industri perusahaan dan manajemen yang buruk. Tata kelola perusahaan yang buruk dapat menimbulkan kesulitan keuangan bagi perusahaan yang terjadi adanya penyelewengan operasional perusahaan. 2.1.4. Faktor Penyebab Financial Distress Financial distress dapat timbul karena adanya pengaruh dari dalam perusahaan (internal) dan dari luar perusahaan (eksternal). Faktor internal perusahaan meliputi : 1. Kesulitan arus kas Kesulitan arus kas dapat disebabkan adanya kesalahan manajemen ketika mengelola aliran kas perusahaan untuk pembayaran aktivitas perusahaan yang memperburuk kondisi keuangan perusahaan. 2. Besarnya jumlah hutang Hutang perusahaan timbul karena untuk menutupi biaya perusahaan yang terjadi akibatnya operasi perusahaan akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk mengembalikan hutangnya di masa depan.
3. Kerugian dari kegiatan operasi perusahaan selama beberapa tahun. Kerugian merupakan suatu akibat dari aktivitas perusahaan yang perlu diatasi dengan kebijakan tepat dalam jangka waktu singkat. kerugian operasi perusahaan arus kas negatif. Apabila mampu untuk menutupi tiga hal diatas, belum tentu perusahaan dapat terhindar dari kondisi financial distress, karena masih ada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Faktor eksternal dapat berupa kenaikan tingkat suku bunga pinjaman yang menyebabkan beban bunga yang ditanggung perusahaan meningkat, selain itu adapula kenaikan biaya tenaga kerja yang mengakibatkan besarnya biaya produksi suatu perusahaan menyebabkan kenaikan biaya tenaga kerja juga meningkat. 2.1.5 Good Corporate Governance Good corporate governance memiliki banyak definisi yang dinyatakan oleh berbagai organisasi maupun pendapat seseorang. Menurut Agusti (2013) Berikut ini dituliskan berbagai definisi good corporate governance dari sumber – sumber yang berbeda: 1.
Good corporate governance menurut komite nasional kebijakan governance (KNKG) adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar yang berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu Negara.
2.
Good corporate governance sebagai konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan dapat meminimalkan masalah agensi antara prinsipal dan agen dengan memberikan keyakinan terhadap pihak prinsipal terhadap
kinerja manajemen. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri atau menggelapkan atau menginvestasikan kedalam proyek–proyek yang tidak menguntungkan. 3.
Corporate governance adalah aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol atau pengawasan terhadap keputusan tersebut.
4.
Corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan menurut (Monks &Minow) dalam Wardhani, 2007).
5.
GCG sebagai keseluruhan sistem yang dibentuk mulai dari hak, proses serta pengendalian, baik yang ada didalam maupun diluar manajemen perusahaan. Porter (dalam Wardhani, 2006) menyatakan bahwa alasan mengapa
perusahaan sukses atau gagal mungkin lebih disebabkan oleh strategi yang diterapkan oleh perusahaan. Kesuksesan suatu perusahaan banyak ditentukan oleh karakteristik strategis dan manajerial perusahaan tersebut. Strategi tersebut diantaranya dapat juga mencakup strategi penerapan sistem good corporate governance (GCG) dalam perusahaan dan struktur good corporate governance bisa jadi juga ikut menentukan sukses tidaknya suatu perusahaan (Wardhani, 2006). Menurut komite nasional kebijakan governance (KNKG), (dalam Agusti, 2013) fungsi penerapan good corporate governance bagi perusahaan adalah
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. 2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing–masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi dan rapat umum pemegang saham. 3. Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris, anggota direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan. 4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama disekitar perusahaan. 5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya. 6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Penerapan good corporate governance harus didasarkan pada prinsipprinsip tertentu agar pelaksanaanya sesuai dengan aturan dan rencana yang telah ditetapkan. Agusti (2013) menjelaskan prinsip–prinsip dasar dari good corporate governace telah dituliskan dalam pedoman umum good coporate governance Indonesia adalah : 1. Transparency (keterbukaan informasi) yaitu perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan perundang–undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. 2. Accountability
(akuntabilitas),
yaitu
perusahaan
harus
dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. 3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundang–undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional secara independen tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang–undangan yang berlaku dan prinsip–prinsip korporasi yang sehat. 5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan atas kewajaran dan kesetaraan. Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Jakarta Nomor : Kep-305/BEJ/07-2004, (dalam Agusti, 2013) Tentang ketentuan umum pencatatan efek bersifat ekuitas di bursa, Perusahaan yang menyelengarakan pengelolaan yang baik (good corporate governance) wajib memiliki :
1. Komisaris Independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang - kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh komisaris. 2. Komite Audit 3. Sekretaris perusahaan Penerapan good corporate governance (GCG) dapat didorong dari dua sisi, yaitu etika dan peraturan. Dorongan dari etika datang dari kesadaran individuindividu pelaku bisnis untuk menjalankan praktik bisnis yang mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan, kepentingan stakeholders, dan menghindari cara-cara menciptakan keuntungan sesaat. Disisi lain dorongan dari peraturan “memaksa” perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk membuktikan ada tidaknya pengaruh positif atas dilaksanakan good corporate governace, maka penelitian ini menggunakan elemen–elemen dari good corporate governance. Elemen yang digunakan adalah 1. Kepemilikan Institusional 2. Kepemilikan Manajerial 3. Jumlah Dewan Direksi 4. Jumlah Dewan Komisaris 5. Jumlah Komite audit
2.1.6 Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dan kepemilikan institusi lain. (Tarjo dalam Santoso, 2014). Menurut Permana Sari (dalam Santoso, 2014) kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan mempunyai keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Pertama, dengan adanya kepemilikan institusional, perusahaan memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi. Kedua, dengan adanya investor institusional, perusahaan memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi didalam perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional, maka pemanfaatan aktiva perusahaan semakin efisien (Hadi, 2014). Dengan demikian, proporsi kepemilikan institusioanal bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen. 2.1.7 Kepemilikan Manajerial Menurut Hadi (2014). Kepemilikan Manajerial adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh manajemen atau pengelolah perusahaan tersebut. Kepemilikan ini menunjukkan adanya peran ganda seorang manajer, yakni manajer bertindak juga sebagai pemegang saham. Sebagai seorang manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham tidak ingin perusahaan dalam keadaan kesulitan keuangan bahkan mengalami kebangkrutan. Kepemilikan manajerial adalah mekanisme corporate governance utama yang membantu masalah keagenan (agency conflict) kepemilikan manajerial
yang tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan Menurut (Jensen & Meckling dalam Santoso, 2014). Dengan asumsi bahwa peningkatan proporsi saham yang dimiliki manajer akan menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan mengkonsumsi penghasilan tambahan diluar gaji. Dengan demikian akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dan pemegang saham.
2.1.8 Jumlah Dewan Direksi Menurut Hadi (2014). Dewan direksi merupakan pimpinan perusahaan yang dipilih oleh para pemegang saham untuk mewakili kepentingan mereka dalam mengelolah perusahaan. Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan mentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang (Wardhani, 2007). Menurut Fama dan Jensen (dalam Agusti (2013) direktur memiliki dua fungsi utama yaitu: (1) berfungsi sebagai pembuat keputusan manajemen (strategi perusahaan dalam jangka pendek, kebijakan investasi dan keuangan), (2) berfungsi dalam mengendalikan keputusan (kompensasi manajerial, pengawasan alokasi modal). Kemungkinan jumlah dewan direksi yang kecil tidak mampu menjalankan perusahaan dengan optimal sedangkan jumlah dewan direksi yang besar memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan karena terciptanya network dengan pihak luar dalam menjamin ketersediaan sumber daya (Darmawati, dalam Bodroastutik, 2009). Dengan demikian jumlah dewan direksi yang besar dapat
membantu perusahaan dalam mengambil kebijakan–kebijakan yang bermanfaat bagi perusahaan sehingga dapat menguntungkan perusahaan tersebut dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan (Fuad, 2013). 2.1.9 Jumlah Dewan Komisaris Dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang melakukan fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi Hadi (2014). Menurut Wardhani (2007) dewan komisaris juga memiliki peran yang diharapkan dapat meminimalisir permasalahan agency yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham. Peran ini diharapkan mampu meminimalisir permasalan agensi yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham. Dalton et al (dalam Santoso, 2014) mengungkapkan bahwa dewan komisaris yang besar menyediakan lingkungan pengendalian yang baik dan kinerja yang lebih sempurna sehingga dapat menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami tekanan. 2. 1.10 Jumlah Komite Audit Menurut revisi peraturan nomor IX.I.5 Bapepam LK (2011) dalam Ellen & Juniarti (2013) komite audit adalah komite yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsi dewan komisaris. Jumlah komite audit setidaknya ada 3 orang. Selain itu salah seorang anggota komite audit harus memiliki latar belakang dan kemampuan akuntansi dan atau keuangan.
2.1.11 Rasio Keuangan Rasio keuangan dinyatakan sebagai persen atau sebagai kali per periode. Sebuah rasio dapat dihitung dari sebuah pasang angka. Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat analisa berupa rasio ini akan dapat menjelaskan atau memberi gambaran kepada penganalisa tentang baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu perusahaan. Menurut Chen dan Le (dalam Santoso, 2014). Dari sudut pandang seorang investor, memprediksi masa depan adalah tentang apa saja analisis laporan keuangan, sedangkan dari sudut manajemen, laporan analisis keuangan berguna baik untuk membantu mengantisipasi kondisi masa depan dan yang lebih penting, sebagai titik awal untuk tindakan perencanaan yang akan meningkatkan kinerja masa depan perusahaan. Dengan demikian, rasio keuangan dapat juga digunakan untuk menilai financial distress. 2.1.12 Likuiditas Likuiditas menggambarkan kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek (utang lancar) pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar (Syahrial dan Purba, 2011;36). Semakin tinggi rasio ini adalah semakin baik artinya aktiva lancar dapat menutupi kewajiban lancar yang disebut liqud. Menurut John Toto (dalam Andre, 2013), ketidakmampuan membayar kewajiban secara tepat akan langsung dirasakan oleh kreditor, terutama kreditor yang berhubungan dengan operasional perusahaan (supplier). Menurut Almilia
(2004), hal ini telah mengindikasikan adanya sinyal distress yang menyebabkan adanya penundaan pengiriman dan masalah kualitas produk. Minimal rasio likuiditas untuk perusahaan dapat dinilai aman adalah 2, artinya jika perusahaan mempunyai hutang sebesar Rp 1, makan perusahaan harus juga mempunyai aset lancar minimal Rp 2. Dari sinilah diperoleh pandangan tentang keadaan solvabilitas kas pada saat ini dan kemampuan perusahaan untuk tetap memperhatikan solvabilitasnya. Rasio likuiditas yang kurang baik dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap solvabilitas perusahaan. Current ratio merupakan indicator likuiditas yang dipakai secara luas, dengan alasan selisih lebih aset lancar diatas hutang lancar merupakan suatu jaminan terhadap kemungkinan rugi yang timbul dari usaha dengan cara merealisasikan aset lancar non kas menjadi kas. Apabila perusahaan mampu mendanai dan melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan baik maka potensi perusahaan mengalami financial distress akan semakin kecil. 2.1.13 Leverage Leverage menggambarkan kemampuan perusahaan melunasi kewajiban jangka panjang apabila perusahaan diliquidasi (Syahrial dan Purba, 2011;37). Semakin kecil rasio ini adalah semakin baik (kecuali rasio kelipatan bunga yang dihasilkan) karena kewajiban jangka panjang lebih sedikit dari modal dan atau aktiva.
Menurut Brigham dan Daves (dalam Santoso, 2014) ada 3 implikasi penting dimana perusahaan menggunakan pembiayaan hutang atau financial leverage, yaitu : (1) dengan meningkatkan dana melalui hutang, pemegang saham dapat memelihara control perusahaan tanpa menambahi investasi mereka, (2) Jika perusahaan menghasilkan lebih banyak investasi yang dibiayai dengan hutang dibandingkan pembayaran bunga, maka return para pemegang saham membesar, tetapi resiko perusahaan juga membesar, dan (3) Kreditur melihat pada ekuitas untuk menyediakan margin aman, jadi semakin besar proporsi dana dari pemegang saham, maka semakin kecil resiko yang dihadapi oleh kreditur. 2.1.14 Operating Capacity Operating capacity disebut juga dengan rasio efisiensi, rasio ini dihitung dengan total asset turnover yaitu dengan membandingkan total penjualan dengan total aset yang dimiliki oleh perusahaan. Semakin efektif suatu perusahaan menggunakan aktivanya untuk mengahasilkan penjualan diharapkan dapat memberikan keuntungan yang semakin besar bagi perusahaan (Ardiyanto dalam Hadi, 2014). Namun sebaliknya jika penggunaan aktiva perusahaan yang tidak efektif maka akan berakibat perusahaan mengalami potensi kesulitan keuangan, hal ini menunjukkan adanya kinerja dalam perusahaan tersebut tidak baik karena perusahaan tidak mampu dalam menghasilkan volume penjualan yang cukup dibandingkan dengan investasi dalam aktivanya.
2.1.15 Profitabilitas Profitabilitas merupakan pengukuran kemampuan dalam memperoleh laba dengan menggunakan aset atau modal perusahaan (Syahrial dan Purba, 2011;40). Semakin tinggi rasio ini adalah semakin baik karena laba yang diperoleh semakin besar. Menurut Wahyu (dalam Andre, 2013), profitabilitas menunjukkan efisiensi dan efektifitas penggunaan aset perusahaan karena rasio ini mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba berdasarkan penggunaan aset. Dengan adanya efektifitas dari penggunaa aset perusahaan maka akan mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, maka perusaahaan akan memperoleh penghematan dan akan memiliki
kecukupan dana
untuk
menjalankan usahanya. Dengan adanya kecukupan dana tersebut maka kemungkinan perusahaan mengalami financial distress akan lebih kecil.
2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 1 No
Indikator
Tri Bodroastutik
Orina Andre
Dian
(2012)
(2013)
Fuad
Sastriana
(2013) 1.
Judul
Pengaruh
Penelitian
struktur
Pengaruh
Pengaruh
corporate
profitabilitas,
corporate
governance terhadap
likuiditas,
financial distress
leverage
dan dalam
governance
dan
firm size terhadap
memprediksi
perusahaan yang
financial distress
mengalami kesulitan keuangan
2.
Variabel
Jumlah
dewan
Profitabilitas,
Jumlah
dewan
Independen
direksi,
jumlah
likuiditas,
direksi,
proporsi
leverage
dewan komisaris
dewan
komisaris,
Kepemilikan publik,
independen,
Jumlah
direksi
kepemilikan
keluar, kepemilikan
institusional,
institusional,
kepemilikan
kepemilikan dewan
manajerial,
direksi dan dewan
komite
komisaris
leverage,
audit,
likuiditas 3.
Variabel
Financial distress
Dependen 4.
5.
Alat Analisis
Financial
Financial distress
distress Analisis
logit
Analisis Regresi
Analisis
Regresi
regression model
logistik
logistik
Hasil
Jumlah
dewan
Profitabilitas
Ukuran
Penelitian
direksi berpengaruh
berpengaruh
direksi , proporsi
dewan
negatif
dan
signifikan,
dan
dewan komisaris,
signifikan
kepemilikan
komisaris
terhadap
institusional,
berpengaruh positif
financial
kepemilikan
dan
distress,
manajerial,ukuran
Likuiditas
perusahaan tidak
distress, kepemilikan
berpengaruh
berpengaruh
publik
jumlah
negatif dan tidak
signifikan
keluar,
signifikan
terhadap financial
terhadap
distress,
dewan
jumlah
negatif
signifikan
terhadap
financial
,
direksi kepemilikan institusional
dan
financial
komite
kepemilikan
oleh
distress, leverage
memiliki
direksi
dan
berpengaruh
pengaruh
komisaris
tidak
berpengaruh signifikan
terhadap
financial distress.
positif
dan
jumlah audit
signifikan
signifikan
terhadap financial
terhadap
distress.
financial distress.
Penelitian ini menggunakan beberapa variabel dari penelitian sebelumnya, yaitu variabel independen yang terdiri dari Jumlah dewan direksi, proporsi dewan komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit, rasio likuiditas rasio leverage, dan variabel dependen yang digunakan adalah financial distress. Sementara itu perbedaannya adalah penambahan variabel independen yaitu operating capacity dan profitabilitas.
1.3
Rerangka Pemikiran
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Keterangan : 1. Analisis kebangkrutan suatu perusahaan dapat diukur melalui laporan keuangan 2. Kebangkrutan perusahaan dapat dilihat dari laporan keuangan dengan cara analisis laporan keuangan 3. Analisis laporan keuangan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa rasio keuangan 4. Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur yaitu rasio likuiditas, leverage, operating capacity dan profitabilitas. 5. Agency teory merupakan dasar dalam memahami good corporate governance karena menggambarkan hubungan antara agent dan principal. 6. Penerapan good corporate governance menjadi salah satu usaha yang dapat mengurangi konflik keagenan dalam good corporate governance terdiri dari kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, jumlah dewan direksi, jumlah dewan komisaris, dan jumlah komite audit. 7. Good corporate governance akan memiliki dampak baik dan buruk bagi manajemen. 8. Good corporate governance dapat berakibat manajemen yang buruk jika tidak dijalankan dengan baik, sebagai alat dalam menganalisis laporan keuangan dalam penelitian ini berupa beberapa rasio diantaranya rasio likuiditas, leverage, operating capacity, dan profitabilitas. Dalam penelitian ini kondisi manajemen yang buruk merupakan akibat dari good corporate governance dan rasio likuiditas, leverage, operating capacity dan profitabilitas berpengaruh parsial dan berpengaruh simultan terhadap financial distress.
2.4 Pengembangan Hipotesis Berdasarkan kerangka penelitian dan penelitian terdahulu maka dapat dibuat hipotesisnya, dalam hipotesis memperlihatkan hubungan tertentu antara dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut : 1.
Pengaruh good corporate governance terhadap financial distress Kepemilikan institusional merupakan salah satu mekanisme good corporate governance yang dapat mengurangi masalah dalam teori keagenan antara pemilik perusahaan dan manajer. Sehingga tidak menimbulkan agency cost yang dapat menyebabkan kondisi kesulitan keuangan perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan, sehingga potensi kesulitan keuangan dapat diminimalkan. Dengan demikian hipotesisnya sebagai berikut : H. 1. 1: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial distress. Kepemilikan governance
yang
manajerial
adalah
mekanisme
good
membantu
masalah
keagenan
(agency
corporate conflict)
kepemilikan manajerial yang tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan karena adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan ada pengawasan terhadap kebijakan–kebijakan yang akan diambil oleh manajemen perusahaan. Peningkatan kepemilikan manajerial akan mampu mendorong turunnya potensi terjadinya kesulitan keuangan. Keadaan tersebut disebabkan karena peningkatan kepemilikan manajerial akan
mampu menyatukan kepentingan antara pemegang saham dan manajer (dalam Fuad, 2013). Dengan demikian hipotesisnya sebagai berikut : H. 1. 2 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap financial distress Jumlah dewan direksi adalah mekanisme good corporate governance yang membantu masalah keagenan (agency conflict). Jumlah dewan direksi yang besar dapat membantu perusahaan dalam mengambil kebijakan– kebijakan yang bermanfaat bagi perusahaan sehingga dapat menguntungkan perusahaan tersebut dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan (Fuad, 2013). Nilai tambah yang dimaksud adalah Jumlah dewan direksi yang sesuai dengan besarnya perusahaan akan lebih efektif dalam dalam memonitoring kinerja perusahaan dan terciptanya network dengan pihak luar perusahaan. Semakin besar jumlah direksi yang dimiliki oleh suatu perusahaan maka kemungkinan perusahaan akan mengalami tekanan keuangan akan semakin kecil. Dengan demikian hipotesisnya sebagai berikut : H. 1. 3 : Jumlah dewan direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress. Dewan komisaris merupakan mekanisme good corporate governance yang dapat meminimalisir permasalahan agency yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham. Peran ini diharapkan mampu meminimalisir permasalan agensi yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham. Peran ini lebih ditekankan pada fungsi monitoring implementasi kebijakan
direksi. Semakin banyak dewan komisaris maka akan dapat menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami tekanan keuangan. Dengan demikian hipotesisnya sebagai berikut : H. 1. 4 ; Dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap financial distress. Jumlah komite audit
merupakan mekanisme
good corporate
governance yang dapat menghindari terjadinya permasalahan keuangan karena keberadaan komite audit yang efektif dapat mengubah kebijakan yang berbeda dalam pencapaian laba akuntansi pada beberapa tahun kedepan. Efektifitas komite audit akan meningkat jika ukuran komite meningkat, karena komite memiliki sumber daya lebih untuk menangani masalah– masalah yang dihadapi perusahaan (Fuad, 2013). Semakin banyak jumlah komite audit dapat menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami permasalahan keuangan. Dengan demikian hipotesisnya sebagai berikut : H. 1. 5 : Jumlah komite audit berpengaruh negatif terhadap financial distress. 2.
Pengaruh rasio keuangan terhadap financial distress Likuiditas merupakan suatu rasio mengenai kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek (utang lancar) pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar. Semakin tinggi rasio ini adalah semakin baik artinya aktiva lancar dapat menutupi kewajiban lancar yang disebut liqud. Apabila perusahaan mampu mendanai dan melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan baik maka potensi perusahaan mengalami financial distress akan semakin kecil. Dengan demikian hipotesisnya sebagai berikut : H. 2. 1 : likuiditas berpengaruh negatif terhadap financial distress.
Leverage merupakan rasio mengenai kemampuan perusahaan melunasi kewajiban jangka panjang apabila perusahaan diliquidasi. Semakin kecil rasio ini adalah semakin baik (kecuali rasio kelipatan bunga yang dihasilkan) karena kewajiban jangka panjang lebih sedikit dari modal dan atau aktiva. Dengan demikian hipotesisnya sebagai berikut : H. 2. 2 : Leverage berpengaruh positif terhadap financial distress. Operating capacity diproksikan dengan rasio perputaran total aktiva, rasio perputaran total aktiva yang rendah harus membuat manajemen untuk mengevaluasi strategi, pemasaran dan pengeluaran modalnya. Apabila rasio tersebut rendah maka perusahaan tidak menghasilkan volume penjualan yang cukup dibanding dengan investasi dalam aktivanya, sehingga menunjukkan kinerja yang tidak baik dan dapat mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan dan memicu terjadinya financial distress.
Dengan demikian
hipotesisnya sebagai berikut : H. 2. 3 : Operating Capacity berpengaruh positif terhadap financial distress. Profitabilitas merupakan suatu rasio mengenai kemampuan dalam memperoleh laba dengan menggunakan aset atau modal perusahaan. Semakin tinggi rasio ini adalah semakin baik karena laba yang diperoleh semakin besar dan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress lebih kecil. Dengan demikian hipotesisnya sebagai berikut : H. 2. 4 : Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap financial distress