14
BAB 2 Tinjauan Teoritis dan Perumusan Hipotesis 2.1
Tinjauan teoritis
2.1.1
Teori Sinyal (Signalling Theory) Menurut Jama’an (2008) Signalling Theory mengemukakan tentang
bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Adanya signalling theory ini disebabkan karena informasi yang diterima oleh investor tidak sama dengan informasi yang dimiliki oleh manajer perusahaan. Sehingga hal ini mengakibatkan timbulnya asimetri informasi, yaitu manajer perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dari pada pihak luar (investor dan pelaku bisnis). Isyarat atau sinyal adalah suatu tindakan yang diambil perusahaan untuk memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh perusahaan untuk mengurangi asimetri informasi adalah dengan memberikan sinyal kepada pihak eksternal, salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat diandalkan, dipercaya dan akan mengurangi pesimisme pihak eksternal terhadap prospek perusahaan di masa mendatang. Teori sinyal juga dapat membantu pihak perusahaan (agen), pemilik (prinsipal), dan pihak luar perusahaan mengurangi asimetri informasi dengan
14
15
menghasilkan kualitas atau integritas informasi laporan keuangan. Untuk memastikan pihak-pihak yang berkepentingan meyakini keandalan informasi keuangan yang disampaikan pihak perusahaan (agen), perlu mendapatkan opini dari pihak lain yang bebas memberikan pendapat tentang laporan keuangan (Jama’an, 2008). Informasi pada hakekatnya adalah untuk memberikan keterangan, catatan atau cerminan perusahaan baik untuk keadaan historis, saat ini maupun masa yang akan datang, bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan. Informasi tersebut dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini investor dan pelaku bisnis. Penting bagi investor dan pelaku bisnis untuk menganalisis setiap informasi yang didapat dalam pengambilan keputusan investasi. Oleh karena itu, informasi yang diperoleh investor diharapkan telah mengandung unsur yang relevan, akurat, dapat diandalkan dan tepat waktu agar dapat dijadikan acuan oleh investor dalam pengambilan keputusan investasi. Informasi yang dapat dijadikan sinyal bagi pihak eksternal diluar perusahaan terutama investor adalah laporan keuangan. Laporan keuangan pada dasarnya harus memberikan informasi yang dapat digunakan oleh pihak eksternal dalam pengambilan keputusan investasi, kredit dan keputusan sejenis yang berdampak bagi perusahaan. Kualitas laporan keuangan yang baik merupakan simbol integritas perusahaan dalam memberikan sinyal positif bagi investor guna pertumbuhan perusahaan, sehingga hal itu juga dapat meningkatkan harga saham.
16
2.1.2 Harga Saham Weston dan Copeland (1999) pernah mengemukakan bahwa “the goal of financial management is to maximize the value of the firm”. Nilai perusahaan bukanlah laba yang diperoleh atau seberapa besar nilai kapitalisasi pasarnya, melainkan kemauan serta upaya yang sungguh-sungguh untuk menaikkan harga saham. Peningkatan harga saham menggambarkan kemakmuran para pemilik saham (Brigham, 1996 dalam Wiharjo, 2014). Dengan meningkatnya harga saham maka dapat menimbulkan rasa kepercayaan investor terhadap prospek perusahaan dimasa yang akan datang. Semakin tinggi harga saham maka semakin tinggi pula nilai perusahaannya. Harga saham juga dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan manajemen dalam mengelola aset perusahaan. Menurut Jogiyanto (2008:143) harga saham adalah harga yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham yang bersangkutan di pasar modal. Harga saham merupakan salah satu tolok ukur investor dalam menilai kinerja perusahaan atau dapat dikatakan juga sebagai cerminan dari baik atau buruknya nilai perusahaan, artinya jika harga saham di bursa menunjukkan peningkatan berarti nilai perusahaan semakin meningkat. Sedangkan jika harga saham mengalami penurunan dari sebelumnya bisa dikatakan nilai perusahaan semakin menurun. 2.1.2.1 Macam-Macam Harga Saham Menurut Sawidi Widoatmojo (2005:91) harga saham dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
17
a) Harga Nominal Harga nominal adalah harga yang tercantum dalam sertifikat saham yang ditetapkan oleh emiten untuk menilai setiap lembar saham yang dikeluarkan. b) Harga Perdana Harga perdana adalah harga yang didapatkan pada waktu harga saham tersebut dicatat di bursa efek. c) Harga pasar Harga pasar adalah harga jual dari investor yang satu dengan investor yang lain. 2.1.2.2 Penilaian Harga Saham a) Nilai Buku Nilai buku per lembar saham adalah nilai aktiva bersih yang dimiliki oleh pemegang saham dengan memiliki satu lembar saham. b) Nilai Pasar Nilai pasar adalah nilai saham di pasar, yang ditunjukkan oleh harga saham tersebut di pasar. c) Nilai Intrinsik Nilai intrinsik atau dikenal dengan nilai teoritis merupakan nilai saham yang sebenarnya atau seharusnya terjadi. Dalam membeli atau menjual saham investor harus membandingkan nilai intrinsk dengan nilai pasar saham yang bersangkutan, sehingga investor harus mengerti cara menghitung nilai intrinsik suatu saham.Jika nilai pasar lebih besar dari nilai instrinsiknya, maka saham tersebut lebih baik dijual, tetapi jika nilai pasar lebih kecil dari nilai instrinsik, maka saham tersebut lebih baik dibeli.
18
2.1.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Harga Saham Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2011) harga saham dibentuk karena adanya pemintaan dan penawaran atas saham. Permintaan dan penawaran tersebut terjadi karena adanya banyak faktor, baik yang sifatnya spesifik atas saham tersebut (kinerja perusahaan dan industri dimana perusahaan tersebut bergerak) maupun faktor yang sifatnya makro seperti kondisi ekonomi negara, kondisi sosial dan politik, maupun informasi-informasi yang berkembang, selanjutnya Husnan dan Pudjiastuti (1998:134) mengatakan apabila kemampuan perusahaan menghasilkan laba meningkat, harga saham akan meningkat. Dengan kata lain, profitabilitas akan mempengaruhi harga saham. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga saham dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Faktor yang bersifat fundamental Merupakan faktor yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya. Faktor-faktor ini meliputi: a. Kemampuan manajemen dalam mengelola kegiatan operasional perusahaan. b. Prospek bisnis perusahaan di masa datang. c. Prospek pemasaran dari bisnis yang dilakukan. d. Perkembangan teknologi yang digunakan dalam kegiatan operasi perusahaan. e. Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. 2. Faktor yang bersifat teknis Faktor teknis menyajikan informasi yang menggambarkan pasaran suatu efek, baik secara individu maupun secara kelompok. Para analis teknis dalam menilai harga saham banyak memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
19
a. Perkembangan kurs b. Keadaan pasar modal c. Volume dan frekuensi transaksi suku bunga d. Kekuatan pasar modal dalam mempengaruhi harga saham perusahaan. 3. Faktor sosial politik a. Tingkat inflasi yang terjadi b. Kebijaksanaan moneter yang dilakukan oleh pemerintah c. Kondisi perekonomian d. Keadaan politik suatu negara 2.1.3
Faktor-Faktor Mikro Rivan et al. (2014) menyatakan bahwa faktor mikro menentukan nilai
saham perusahaan dengan cara menganalisis variabel-variabel dari internal perusahaan. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi dengan menggunakan empat variabel, earning per share, price earning ratio, return on equity dan dividend per share. a).
Earning Per Share (EPS) Earning Per Share (EPS) merupakan komponen penting pertama yang
perlu diperhatikan dalam analisis suatu perusahaan. Informasi EPS suatu perusahaan menunjukkan besarnya laba bersih perusahaan yang siap dibagikan untuk semua pemegang saham perusahaan. EPS merupakan rasio yang menunjukkan berapa besar keuntungan (return) yang diperoleh investor atau pemegang saham per lembar saham (Darmadji dan Fakhrudin, 2011).
20
Para calon pemegang saham tertarik dengan earning per share yang tinggi, karena hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu perusahaan. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai EPS tentu saja akan menyenangkan pemegang saham, karena semakin besar laba yang disediakan untuk pemegang saham. Besarnya Earning Per Share (EPS) suatu perusahaan, bisa diketahui dari informasi laporan keuangan perusahaan langsung atau dapat dihitung berdasarkan laporan neraca dan laporan rugi laba perusahaan. Sebagai indikator keberhasilan di masa yang lalu dan harapan di masa yang akan datang, earning per share memberikan gambaran yang penting dari keberhasilan itu. Pada umumnya dalam menanamkan modalnya investor mengharapkan manfaat yang akan dihasilkan dalam bentuk laba per lembar saham (EPS). Sedangkan jumlah laba per lembar saham (EPS) yang didistribusikan kepada para investor tergantung pada kebijakan perusahaan dalam hal pembayaran deviden. Laba per lembar saham (EPS) dapat menunjukan tingkat kesejahteraan perusahaan, jadi apabila laba per lembar saham (EPS) yang dibagikan kepada para investor tinggi maka menandakan bahwa perusahaan tersebut mampu memberikan tingkat kesejahteraan yang baik kepada pemegang saham, sedangkan laba per lembar saham (EPS) yang dibagikan rendah maka menandakan bahwa perusahaan tersebut gagal memberikan kemanfaatan sebagaimana diharapkan oleh pemegang saham. Menurut Besley dan Brigham (2000:83) laba per lembar saham (EPS), adalah : “Earning Per Share is called ‘the bottom line’, denoting that of all the
21
items of on the income statement.” (Poin dari arti tersebut adalah laba per lembar saham merepresentasikan semua item dari pada laporan laba rugi). Dengan demikian, laba per lembar saham (EPS) menunjukan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dan mendistribusikan laba yang diraih perusahaan kepada pemegang saham. Laba per lembar saham (EPS) dapat dijadikan sebagai indikator tingkat nilai perusahaan. Laba per lembar saham (EPS) juga merupakan salah satu cara untuk mengukur keberhasilan dalam mencapai keuntungan bagi para pemilik saham dalam perusahaan. Eaning per share dapat diukur dengan : Earning per share : b).
Laba bersih Jumlah lembar saham
Price Earning Ratio (PER) Price Earning Ratio (PER) juga merupakan ukuran untuk menentukan
bagaimana pasar memberi nilai atau harga pada saham perusahaan. Keinginan investor melakukan analisis saham melalui rasio-rasio keuangan seperti Price Earning Ratio (PER), dikarenakan adanya keinginan investor atau calon investor akan hasil (return) yang layak dari suatu investasi saham. Price Earning Ratio (PER) adalah ukuran kinerja saham yang didasarkan atas perbandingan antara harga pasar saham terhadap pendapatan per lembar saham (earning per share). Menurut Sugianto (2008:26) price earning ratio adalah rasio yang diperoleh dari harga pasar saham biasa dibagi dengan laba per saham (EPS), maka semakin tinggi rasio ini akan mengindikasikan bahwa kinerja perusahaan juga semakin membaik, sebaliknya jika PER terlalu tinggi juga dapat mengindikasikan bahwa
22
harga saham yang ditawarkan sudah sangat tinggi atau tidak rasional. Rumus untuk menghitung price earning ratio adalah : Price Earning Ratio : c).
Harga Saham Laba per Lembar Saham
Return On Equity (ROE) Dalam mengukur kinerja perusahaan, investor biasanya melihat kinerja
keuangan yang tercermin dari berbagai macam rasio. Return On Equity (ROE) merupakan salah satu alat ukur penting yang digunakan investor untuk menilai tingkat profitabilitas perusahaan sebelum melakukan investasi. Menurut Harahap (2007:156) ROE digunakan untuk mengukur besarnya pengembalian terhadap investasi para pemegang saham. Angka tersebut menunjukkan seberapa baik manajemen memanfaatkan investasi para pemegang saham. ROE diukur dalam satuan persen. Tingkat ROE memiliki hubungan yang positif dengan harga saham, sehingga semakin besar ROE semakin besar pula harga pasar, karena besarnya ROE memberikan indikasi bahwa pengembalian yang akan diterima investor akan tinggi sehingga investor akan tertarik untuk membeli saham tersebut, dan hal itu menyebabkan harga pasar saham cendrung naik. Return On Equity dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Return On Equity : d).
Laba Bersih Total modal
x 100 %
Dividend Per Share (DPS) Pengertian dividen per lembar saham (DPS) menurut Susan Irawati
(2006:64) menyatakan bahwa : “Dividen per lembar saham (DPS) adalah
23
besarnya pembagian dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham setelah dibandingkan dengan rata-rata tertimbang saham biasa yang beredar”. Weston dan Copeland (1999:325) menyatakan bahwa dividend per share merupakan total semua dividen tunai yang dibagikan kepada pemegang saham dibandingkan dengan jumlah saham yang beredar. Menurut Gibson (2003:116), salah satu alasan investor membeli saham adalah untuk mendapatkan dividen. Investor mengharapkan dividen yang diterimanya dalam jumlah besar dan mengalami peningkatan setiap periode. DPS yang tinggi mencerminkan perusahaan memiliki prospek yang baik dan akan menarik minat investor yang memanfaatkan dividen untuk keperluan konsumsi. Apabila DPS yang diterima naik tentu saja hal ini akan membuat investor tertarik untuk membeli saham perusahaan tersebut. Dengan banyaknya saham yang dibeli maka harga saham perusahaan tersebut akan naik di pasar modal (Sutrisno, 2003: 305). Hasil penelitian Naibaho (2010) menunjukkan bahwa Dividend per Share (DPS) berpengaruh terhadap Harga Saham. Rumus untuk menghitung dividen per share adalah : Dividend Per Share : 2.1.4
Dividen Tunai Jumlah saham beredar
Faktor-Faktor Makro Harga saham perusahaan publik selain dipengaruhi oleh kinerja emiten,
juga dipengaruhi faktor lain diluar kemampuan perusahaan atau biasa disebut faktor makro. Faktor makro merupakan faktor yang berada diluar perusahaan tetapi mempunyai pengaruh terhadap fluktuasi kinerja perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung yang terjadi di pasar modal. Harga saham sangat
24
rentan terhadap isu-isu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar perusahaan. Ada beberapa variabel faktor makro yang dapat mempengaruhi harga saham seperti suku bunga, tingkat inflasi, kurs rupiah, kebijakan ekonomi, harga minyak dunia dan lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tingkat infasi dan tingkat suku bunga sebagai indikator untuk menilai faktor makro. a).
Inflasi Boediono (1994) mengemukakan bahwa inflasi adalah kecenderungan
harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus-menerus. Artinya bahwa kenaikan tersebut tidak kepada barang tertentu saja namun pada sebagian besar barang. Inflasi didefinisikan sebagai kecenderungan kenaikan harga secara umum. Kecenderungan yang dimaksudkan disini adalah bahwa kenaikan tersebut bukan terjadi sesaat. Misalnya, harga-harga barang menjelang lebaran, atau hari libur lainnya, cenderung naik. Namun setelah perayaan usai, masyarakat kembali hidup seperti semula, harga akan kembali ke kondisi semula (Djohanputro, 2006). Singkatnya inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus-menerus (Rahardja dan Manurung, 2004). Menurut Boediono (1997), sebab terjadinya inflasi dibagi menjadi dua yaitu : a.
Demand pull inflation, inflasi yang terjadi disebabkan oleh adanya suatu kenaikan permintaan pada beberapa jenis barang. Dalam hal ini, untuk permintaan masyarakat akan meningkatkan secara agregat atau aggregate demand. Adanya peningkatan permintaan ini bisa terjadi karena terjadi
25
peningkatan belanja yang dilakukan oleh pemerintah, terjadi kenaikan permintaan terhadap barang yang diekspor, dan terjadi kenaikan permintaan barang untuk kebutuhan pihak swasta. Peningkatan permintaan yang muncul dimasyarakat atau aggregate demand ini dapat mengakibatkan harga-harga menjadi naik yang disebabkan oleh adanya penawaran tetap. b.
Cost Pull Inflation, inflasi yang seperti ini disebabkan oleh adanya suatu kenaikan dari biaya produksi. Peningkatan pada biaya produksi ini terjadi yang diakibatkan oleh karena adanya peningkatan harga-harga dari bahan baku, semisal yang disebabkan oleh keberhasilan dari serikat buruh didalam meningkatkan upah atau bisa jadi disebabkan oleh adanya peningkatan harga bahan bakar minyak. Peningkatan biaya produksi ini akan mengakibatkan harga menjadi naik dan terjadilah peristiwa inflasi. Sedangkan menurut Putong (2002), penggolongan inflasi dijelaskan sebagai
berikut : 1.
Penggolongan berdasarkan sifatnya : a. Inflasi rendah (<10% setahun) b. Inflasi sedang (10%-30% setahun) c. Inflasi berat (30%-100% setahun) d. Hiper Inflasi (>100% setahun)
2.
Penggolongan berdasarkan pada sumber penyebabnya : a. Inflasi Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation), yaitu inflasi yang terjadi karena kelebihan permintaan atas barang dan jasa. Kelebihan permintaan yang tidak dapat dipenuhi produsen tersebut tentu akan
26
mendorong kenaikan harga-harga, karena permintaan lebih besar daripada penawaran. b. Inflasi Dorongan Biaya Produksi (Cost Push Inflation), yaitu inflasi yang terjadi karena kenaikan biaya produksi. Biaya produksi yang naik akan mendorong naiknya harga-harga barang dan jasa. Selain itu, kenaikan biaya produksi akan mengakibatkan turunnya jumlah produksi sehingga penawaran menjadi berkurang, jika penawaran berkurang sedangkan permintaan diasumsikan tetap, maka akibatnya harga-harga akan naik. c. Inflasi lain-lain, yaitu inflasi yang terjadi karena berbagai penyebab selain yang sudah disebutkan di atas. Seperti, Inflasi yang disebabkan karena pencetakan uang baru dan inflasi karena lambatnya produksi barang tertentu. 3.
Penggolongan didasarkan pada asal inflasi : a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) Inflasi ini timbul karena terjadinya defisit dalam pembiyaaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja negara. Untuk mengatasinya, biasanya pemerintah mencetak uang baru. Selain itu, harga-harga naik dikarenakan musim paceklik (gagal panen), bencana alam yang berkepanjangan dan sebagainya. b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation) Inflasi ini timbul karena negara-negara yang menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi yang tinggi, sehingga harga-harga barang dan juga ongkos produksi relatif mahal, sehinggi negara lain harus mengimpor
27
barang tersebut maka harga jualnya didalam negeri tentu saja bertambah mahal. Dalam menghitung inflasi, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu :
b)
1.
Menggunakan harga umum,
2.
Menggunakan angka deflator,
3.
Menggunakan indeks harga konsumen,
4.
Menggunakan harga pengharapan,
5.
Menggunakan indeks harga dalam negeri dan luar negeri.
Tingkat Suku Bunga Tingkat suku bunga adalah salah satu dari variabel makro yang selalu
menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu atau tidak bersifat konstan. Tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator dalam menentukan apakah seseorang akan melakukan investasi atau menabung (Boediono, 1994). Suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan untuk membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk deposito atau tabungan. Tingkat
suku
bunga
merupakan
suatu
variabel
penting
mempengaruhi masyarakat dalam memilih bentuk investasi
yang
yang ingin
dimilikinya, apakah dalam bentuk uang, aset finansial atau benda-benda riil seperti tanah, rumah, mesin, barang dagangan, dan lain sebagainya. Mana yang memberikan tingkat bunga lebih tinggi akan lebih diminati (Pohan, 2008).
28
Tingkat suku bunga yang tinggi dapat menyebabkan investor tertarik untuk memindahkan instrumen investasinya ke dalam bentuk deposito. Hal ini dikarenakan kenaikan tingkat suku bunga SBI akan diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan oleh bank-bank komersial. Apabila tingkat suku bunga deposito lebih tinggi dari tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor, investor akan mengalihkan dananya ke deposito. Terlebih lagi investasi di deposito sendiri merupakan salah satu jenis investasi yang bebas resiko (risk free rate). Pengalihan dana oleh investor dari pasar modal ke deposito tentu akan mengakibatkan penjualan saham secara besar-besaran sehingga akan menyebabkan penurunan indeks harga saham. Bagi masyarakat sendiri, tingkat suku bunga yang tinggi berarti tingkat inflasi di negara tersebut cukup tinggi. Dengan adanya inflasi yang tinggi akan menyebabkan penurunan tingkat konsumsi riil masyarakat sebab nilai uang yang dipegang masyarakat mengalami depresiasi. Hal ini akan menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat atas suatu barang akan menurun pula. Sehingga hal ini tentu akan mengurangi tingkat pendapatan perusahaan yang juga akan mempengaruhi tingkat keuntungan perusahaan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan tersebut (Sunariyah, 2006). Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2006) adalah: 1.
Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.
2.
Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor industri apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam
29
dana, maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain. 3.
Pemerintah dapat memamfaatkan suku bunga untuk mengontrol uang yang beredar. Suku bunga yang mempengaruhi laba perusahaan, dapat mempengaruhi
harga saham (common stock) dengan tiga cara yaitu: a)
Perubahan suku bunga dapat mempengaruhi kondisi perusahaan, kondisi bisnis secara umum dan tingkat profitabilitas perusahaan yang tentunya akan mempengaruhi harga saham di pasar modal.
b) Perubahan suku bunga juga akan mempengaruhi hubungan perolehan dari obligasi dan perolehan dividen saham, oleh karena itu daya tarik yang relatif kuat antara saham dan obligasi. c)
Perubahan suku bunga juga akan mempengaruhi psikologis para investor sehungan dengan investasi kekayaan, sehingga mempengaruhi harga saham. Tingkat suku bunga yang tinggi merupakan sinyal negatif terhadap harga
saham. Tingkat suku bunga yang meningkat akan meningkatkan pula suku bunga yang diisyaratkan atas investasi pada suatu saham. Di samping itu, tingkat suku bunga yang meningkat bisa juga menyebabkan investor menarik investasinya pada saham dan memindahkannya pada investasi berupa tabungan ataupun deposito. Brigham dan Houston (2004) mengemukakan bahwa tingkat suku bunga mempunyai pengaruh yang besar terhadap harga saham. Suku bunga yang makin tinggi memperlesu perekonomian, menaikkan biaya bunga dengan demikian menurunkan laba perusahaan, dan menyebabkan para investor menjual saham dan mentransfer dana ke pasar obligasi.
30
2.1.5
Penelitian terdahulu Tabel 1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
No. 1
Nama dan Tahun Bunga Novitasari (2015)
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Pengaruh Profitabilitas, Pertumbuhan Penjualan, Dan Kebijakan Dividen Terhadap Harga Saham.
Return on equity berpengaruh terhadap harga saham. Net profit margin, pertumbuhan penjualan, dividend payout ratio tidak berpengaruh.
2
Dwi Kartiningsih (2012)
Pengaruh Variabel Fundamental Terhadap Harga Saham Perusahaan Yang Termasuk Dalam Kelompok LQ 45.
Debt to asset ratio, debt to equity ratio, return on asset, return on equity terbukti tidak berpengaruh secara parsial terhadap harga saham. Sedangkan earning per share dan net profit margin secara parsial berpengaruh terhadap harga saham.
3
Eko Wahyudi (2012)
Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Retail Yang Go Public Di Bursa Efek Indonesia.
Return on equity, net profit margin, debt to equity ratio tidak terbukti berpengaruh terhadap harga saham. Akan tetapi, earning per share terbukti berpengaruh terhadap harga saham.
4.
Helmi Bachtiar (2012)
Pengaruh Earning Per Share, Net Profit Margin, Return On Asset dan Price Earning Ratio Terhadap Harga Saham Perusahaan Otomotif di BEI.
Net profit margin, return on asset, earning per share, price earning ratio berpengaruh baik secara simultan maupun parsial terhadap harga saham.
5.
Mery Dwilinda Puspita (2015)
Earning per share (EPS) dan Pengaruh Likuiditas, ukuran perusahaan terbukti Profitabilitas, Kebijakan Dividen dan berpengaruh terhadap harga
31
Ukuran Perusahaan Dengan Pertumbuhan Laba Sebagai Variabel Moderating Terhadap Harga Saham.
saham. Sedangkan dividen per share dan current ratio tidak terbukti berpengaruh terhadap harga saham.
Rescyana Putri Hutami (2012)
Pengaruh Dividen Per Share, Return On Equity Dan Net Profit Margin Terhadap Harga Saham Perusahaan Industri Manufaktur Yang Tercatat Di Bursa Efek Indonesia Periode 2006-2010.
Variabel dividend per share, return on equity, dan net profit margin terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham
7.
Tami Anggrani (2013)
Analisis Faktor Fundamental Dan Risiko Sistematik Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Makanan Dan Minuman Yang Go Public Di BursaEfek Indonesia.
Return on asset (ROA, return on equity (ROE), price earning ratio (PER), earning per share (EPS) berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Sedangkan debt to equity ratio, tingkat suku bunga, tingkat inflasi terbukti tidak berpengaruh terhadap harga saham.
8.
Zhara Shafira (2015)
Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dan Kinerja Keuangan Pada Harga Saham.
Pengungkapan CSR terbukti tidak berpengaruh terhadap harga saham. Sedangkan ROA dann ROE terbukti berpengaruh signifikan terhadap harga saham.
6.
Sumber dari berbagai skripsi dan jurnal
32
2.2
Rerangka pemikiran
Pasar Modal
Perusahaan Sektor Pertambangan
Faktor Fundamental
Fundamental Mikro
Fundamental Makro
Rasio Keuangan
EPS
PER
ROE
DPS
Harga Saham
Gambar 1 Rerangka pemikiran
Inflasi
Tingkat Suku Bunga
IHK
BI rate
33
2.3
Perumusan Hipotesis
2.3.1
Pengaruh Earning Per Share terhadap Harga Saham Earning Per Share (EPS) adalah rasio antara laba bersih setelah pajak
dengan jumlah lembar saham. EPS memberikan informasi untuk menunjukkan besarnya laba bersih perusahaan yang siap dibagikan kepada semua pemegang saham perusahaan. Bagi para investor, informasi EPS merupakan informasi yang paling mendasar dan berguna, karena bisa menggambarkan prospek earning perusahaan dimasa depan (Tandelilin, 2001:233). Semakin tinggi nilai earning per share (EPS), maka akan semakin banyak investor yang mau membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham akan tinggi pula. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bachtiar (2012) menunjukkan bahwa earning per share berpengaruh positif terhadap harga saham perusahaan otomotif di BEI. Hal serupa, Puspita (2016) juga menyatakan bahwa earning per share berpengaruh positif terhadap harga saham perusahaan food and beverages. Berdasarkan penjelasan diatas dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H1
: Earning Per Share (EPS) berpengaruh secara positif terhadap Harga
Saham. 2.3.2 Pengaruh Price Earning Ratio terhadap Harga Saham Menurut Sugianto (2008:26) price earning ratio adalah rasio yang diperoleh dari harga pasar saham biasa dibagi dengan laba per saham (EPS), maka semakin tinggi rasio ini akan mengindikasikan bahwa kinerja perusahaan juga semakin membaik, sebaliknya jika PER terlalu tinggi juga dapat mengindikasikan bahwa harga saham yang ditawarkan sudah sangat tinggi atau tidak rasional. Hal
34
ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Bachtiar (2012) yang menyatakan bahwa price earning ratio berpengaruh terhadap harga saham perusahaan otomotif di Bursa Efek Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggrani (2013) dan Hadianto (2008) yang menyatakan bahwa price earning ratio berpengaruh terhadap harga saham. H2
: Price Earning Ratio (PER) berpengaruh secara positif terhadap
Harga Saham. 2.3.3 Pengaruh Return On Equity terhadap Harga Saham Return On Equity (ROE) adalah rasio yang substansial bagi para pemilik dan pemegang saham karena rasio tersebut menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola modal dari pemegang saham untuk mendapatkan laba bersih. Menurut Tandelilin (2001:269), ROE (Return On Equity) merefleksikan seberapa banyak perusahaan telah memperoleh hasil atas dana yang telah diinvestasikan oleh pemegang saham. Semakin tinggi ROE yang dihasilkan oleh perusahaan, maka semakin tinggi pula dividen yang diperoleh para pemegang saham sehingga menyebabkan kenaikan harga saham. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Novitasari (2015) menunjukkan bahwa ROE berpengaruh terhadap harga saham. H3
: Return On Equity (ROE) berpengaruh secara positif terhadap Harga
Saham. 2.3.4
Pengaruh Dividend Per Share terhadap Harga Saham Dividend Per Share (DPS) adalah total dividen yang akan dibagikan pada
investor untuk setiap lembar saham. DPS yang tinggi mencerminkan perusahaan memiliki prospek yang baik karena dapat membayarkan DPS dalam jumlah yang
35
tinggi. Hasil penelitian Naibaho (2010) menunjukkan bahwa dividend per share (DPS) berpengaruh terhadap harga saham perusahaan makanan dan minuman yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Hal serupa juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mery Dwilinda (2015) yang menyatakan bahwa dividend per share berpengaruh terhadap harga saham perusahaan food and beverages. Selain itu, penelitian Sukarman dan Khairani (2013) yang berjudul pengaruh dividend per share dan earning per share terhadap harga saham pada perusahaan sektor otomotif di Bursa Efek Indonesia menunjukkan bahwa dividend per share berpengaruh signifikan terhadap harga saham. H4
: Dividend Per Share (ROA) berpengaruh secara positif terhadap
Harga Saham. 2.3.5
Pengaruh Inflasi terhadap Harga Saham Boediono (1994) mengemukakan bahwa inflasi merupakan kecenderungan
dimana harga-harga mengalami kenaikan secara umum dan terus menerus. Hubungan yang berlawanan antara tingkat inflasi dengan harga saham terjadi karena ketika ada kenaikan tingkat inflasi akan mendorong investor untuk menamkan modalnya dalam bentuk tabungan dan deposito, serta meninggalkan jenis investasi dalam bentuk saham yang dipandang terlalu berisiko tinggi. Dampak dari subsitusi investasi ini akan berpengaruh pada melemahnya permintaan saham sehingga pada giliranya harga saham pun menurun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rakasetya, Darminto, dan Dzulkirom (2013) menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh terhadap harga saham. Hal ini membuktikan bahwa tingkat inflasi suatu negara juga menjadi indikator yang
36
penting bagi investor atau calon investor dalam pengambilan keputusan investasi.
H5
: Inflasi berpengaruh secara negatif terhadap Harga Saham.
2.3.6
Pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap Harga Saham Tingkat suku bunga merupakan variabel makro yang dapat mempengaruhi
harga saham. Mekanismenya adalah setiap peningkatan suku bunga membuat nilai imbal hasil dari deposito dan obligasi menjadi lebih menarik, sehingga banyak investor pasar
modal
yang mengalihkan portofolio sahamnya.
Meningkatnya aksi jual dan minimnya permintaan akan menurunkan harga saham dan sebaliknya (Prastowo, 2008:9). Secara teoritis, terjadi hubungan yang negatif antara harga saham dan tingkat suku bunga. Apabila tingkat suku bunga mengalami peningkatan maka akan terjadi penurunan harga saham sebuah perusahaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin (2009) menyatakan bahwa memiliki suku bunga memiliki pengaruh yang negatif terhadap harga saham. Berdasarkan penjelasan diatas dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H6
: Tingkat Suku Bunga berpengaruh secara negatif terhadap Harga
Saham.